Anda di halaman 1dari 15

BAB 4: TRANSFORMASI STRUKTURAL

A. Perubahan Struktural
Pembangunan ekonomi dalam jangka panjang, mengikuti pertumbuhan pendapatan
nasional, akan membawa perubahan mendasar dalam struktur ekonomi, dari ekonomi
tradisional dengan pertanian sebagai sektor utama ke ekonomi modern yang didominasi
sektor non primer, khususnya industri manufaktur dengan increasing return to scale (adanya
korelasi positif antara pertumbuhan output dan pertumbuhan produktivitas) yang dinamis
sebagai mesin utama pertumbuhan ekonomi.
Meminjam istilah Kuznets, perubahan struktur ekonomi umum disebut transformasi
struktural dan dapat didefinisikan sebagai rangkaian perubahan yang saling terkait satu
dengan lainnya dalam komposisi permintaan agregat, perdagangan luar negeri (ekspor dan
impor), dan penawaran agregat (produksi dan penggunaan faktor-faktor produksi seperti
tenaga kerja dan modal) yang diperlukan guna mendukung proses pembangunan dan
pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Teori perubahan struktural menitikberatkan pembahasan pada mekanisme transformasi
ekonomi yang dialami oleh negara-negara sedang berkembang, yang semula bersifat faktor
(pertanian tradisional) dan menitikberatkan sektor pertanian menuju struktur
perekonomian yang lebih modern yang didominasi sektor non primer, khususnya industri
dan jasa.
Ada dua teori utama yang umum digunakan dalam menganalisis perubahan struktur
ekonomi yakni dari Arthur Elwis (teori migrasi) dan Holis Chendry (teori transformasi
struktural).
Teori Arthur Lewis pada dasarnya membahas proses pembangunan ekonomi yang terjadi
di pedesaan dan perkotaan (urban). Dalam teorinya, Lewis mengasumsikan bahwa
perekonomian suatu negara pada dasarnya terbagi menjadi dua, yaitu perekonomian
modern di perkotaan dengan industri sebagai sektor utama. Di pedesaan, karena
pertumbuhan penduduknya tinggi, maka kelebihan suplai tenaga kerja dan tingkat hidup
masyarakatnya berada pada kondisi subsisten akibat perekonomian yang sifatnya juga sub
sistem. Over supply tenaga kerja ini ditandai dengan nilai produk marginalnya nol dan
tingkat upah riil yang rendah.
Di dalam kelompok negara-negara berkembang, banyak negara yang juga mengalami
transisi ekonomi yang pesat dalam tiga dekade terakhir ini, walaupun pola dan prosesnya
berbeda antarnegara. Hal ini disebabkan oleh perbedaan antarnegara dalam sejumlah
faktor-faktor internal berikut: 1) kondisi dan struktur awal dalam negeri (economic base), 2)
besarnya pasar dalam negeri, 3) pola distribusi pendapatan, 4) karakteristik industrialisasi,
5) keberadaan SDA, dan 6) kebijakan perdagangan.
Teori perubahan struktural menitikberatkan pembahasan pada mekanisme transformasi
ekonomi yang ditandai oleh negara-negara kurang berkembang, yang semula lebih bersifat
subsisten dan menitikberatkan pada sektor pertanian menuju ke struktur perekonomian
yang lebih modern, yang didominasi oleh sektor-sektor non primer.
Teori transformasi struktural (Hollis Chenery), memfokuskan pada perubahan struktur
dalam tahapan proses perubahan ekonomi di negara sedang berkembang, yang mengalami
transportasi dari pertanian tradisional ke sektor industri sebagai mesin utama penggerak
pertumbuhan ekonomi.
Perubahan struktur ekonomi berbarengan dengan pertumbuhan Produk Domestik Bruto
(PDB) yang merupakan total pertumbuhan dari semua sektor ekonomi yang dapat dijelaskan
dengan perubahan sektor industri dan pertanian.
Berdasarkan model ini, kenaikan produksi sektor industri manufaktur dinyatakan sama
besarnya dengan jumlah empat faktor berikut: 1) Kenaikan permintaan domestik, yang
memuat permintaan langsung untuk produk industri manufaktur plus efek tidak langsung
dari kenaikan permintaan domestik untuk produk sektor-sektor lainnya terhadap industri
manufaktur. 2) Perluasan ekspor atau efek total dari kenaikan jumlah ekspor terhadap
produk industri manufaktur. 3) Substitusi impor atau efek total dari kenaikan proporsi
permintaan di tiap sektor yang dipenuhi lewat produksi domestik terhadap output industri
manufaktur. 4) Perubahan teknologi, atau efek total dari perubahan koefisien input-output
di dalam perekonomian akibat kenaikan upah dan tingkat pendapatan terhadap sektor
industri manufaktur.
Faktor-faktor internal yang membedakan kelompok negara sedang berkembang yang
mengalami transisi ekonomi yang sangat pesat adalah: a) kondisi dan struktur awal ekonomi
dalam negeri, b) sarnya pasar dalam negeri, c) pola distribusi pendapatan, d) karakteristik
dari industrialisasi, e) keberadaan SDA, dan f) kebijakan perdagangan luar negeri.

B. Transformasi Pertanian
Todaro (2006) mengartikan pembangunan ekonomi sebagai suatu proses yang bersifat
multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-
sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional, di samping tetap mengejar akselerasi
pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan
kemiskinan. Jadi pada hakikatnya, pembangunan itu harus mencerminkan perubahan total
suatu masyarakat atau penyesuaian sosial secara keseluruhan tanpa mengabaikan
keanekaragaman kebutuhan dasar dan keinginan individual maupun kelompok-kelompok
sosial di dalamnya untuk bergerak maju menuju suatu kondisi kehidupan yang lebih baik,
secara materiil maupun spiritual.
Sukirno (2006) menyatakan bahwa pembangunan ekonomi adalah pertumbuhan
ekonomi ditambah dengan perubahan. Artinya, ada atau tidaknya pembangunan ekonomi
dalam suatu negara pada suatu tahun tertentu tidak saja diukur dari kenaikan produksi
barang dan jasa yang berlaku dari tahun ke tahun, tetapi juga perlu diukur dari perubahan
lain yang berlaku dalam berbagai aspek kegiatan ekonomi seperti perkembangan
pendidikan, perkembangan teknologi, peningkatan dalam kesehatan, peningkatan dalam
infrastruktur yang tersedia, peningkatan dalam pendapatan serta kemakmuran masyarakat.
Weiss (2001), menyatakan bahwa pembangunan ekonomi dalam periode jangka panjang,
mengikuti pertumbuhan pendapatan nasional akan membawa suatu perubahan mendasar
dalam struktur ekonomi, dari ekonomi tradisional dengan pertanian sebagai sektor utama,
ke ekonomi modern yang didominasi oleh sektor-sektor non primer, khususnya industri
manufaktur dengan increasing returns to scale (korelasi positif antara pertumbuhan output
dengan pertumbuhan produktivitas yang dinamis sebagai mesin utama pertumbuhan
ekonomi).
Keberhasilan pembangunan ekonomi di suatu wilayah dapat dilihat dari pendapatan per
kapita masyarakat yang mengalami peningkatan secara terus-menerus (dalam jangka
panjang) dan disertai terjadinya perubahan fundamental dalam struktur ekonomi. Dengan
demikian, pembangunan ekonomi lebih bersifat kualitatif, bukan hanya pertambahan
produksi, tetapi juga terdapat perubahan-perubahan dalam struktur produksi dan adanya
alokasi input pada berbagai sektor perekonomian seperti dalam lembaga, pengetahuan atau
pendidikan, dan teknik.
Pembangunan ekonomi tidak terlepas dari pertumbuhan ekonomi. Pembangunan
ekonomi mendorong pertumbuhan ekonomi, dan sebaliknya, pertumbuhan ekonomi
memperlancar proses pembangunan ekonomi. Yang dimaksud dengan pertumbuhan
ekonomi adalah proses kenaikan kapasitas produksi suatu perekonomian yang diwujudkan
dalam bentuk kenaikan pendapatan nasional. Suatu wilayah dikatakan mengalami
pertumbuhan ekonomi apabila terjadi peningkatan GNP riil di wilayah tersebut.
Pertumbuhan ekonomi adalah kenaikan jangka panjang dalam kemampuan suatu negara
untuk menyediakan semakin banyak barang kepada penduduknya, kemampuan ini
bertambah sesuai dengan kemajuan teknologi dan penyesuaian kelembagaan dan ideologis
yang diperlukan. Dengan demikian, ukuran keberhasilan pertumbuhan ekonomi lebih
bersifat kuantitatif, di mana ditunjukkan dengan adanya kenaikan dalam standar
pendapatan dan tingkat produksi (output) yang dihasilkan (Kuznets, 2003).
Pembangunan ekonomi makro memakai pendekatan sektoral dengan target peningkatan
produksi di setiap sektor, yang akan mencerminkan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan
ekonomi merupakan faktor penting yang harus ada di dalam pembangunan ekonomi, di
mana laju pertumbuhan ekonomi diharapkan harus lebih besar daripada laju pertumbuhan
penduduk, dengan demikian peningkatan pendapatan per kapita dapat tercapai.
Pertumbuhan ekonomi yang terjadi dengan sendirinya ataupun dengan campur tangan
pemerintah harus dapat dinikmati masyarakat.
Proses pembangunan ekonomi akan membawa suatu perubahan mendasar dalam
struktur ekonomi baik dari sisi permintaan agregat (Aggregate Demand) maupun dari sisi
penawaran agregat (Aggregate Supply).
Dari sisi permintaan agregat (Aggregate Demand), perubahan pada struktur ekonomi
disebabkan karena adanya peningkatan pendapatan masyarakat yang membuat perubahan
pada selera (taste) yang akan terefleksi pada perubahan pola konsumsinya. Sedangkan dari
sisi penawaran agregat (Aggregate Supply), faktor-faktor pendorong utamanya adalah
terjadinya perubahan teknologi (technological progress), peningkatan Sumber Daya
Manusia (SDM), serta penemuan materiil-materiil baru untuk produksi.
Dengan demikian, produksi merupakan sumber penting pertumbuhan. Pertumbuhan
ekonomi yang terjadi secara terus-menerus dapat menyebabkan terjadinya perubahan
dalam struktur perekonomian wilayah. Transformasi struktural berarti suatu proses
perubahan struktur perekonomian dari sektor pertanian ke sektor industri atau jasa, di
mana masing-masing sektor akan mengalami proses transformasi yang berbeda-beda.
Proses perubahan struktur ekonomi terkadang diartikan sebagai proses industrialisasi.
Tahapan ini diwujudkan secara historis melalui kenaikan kontribusi sektor industri
manufaktur dalam permintaan konsumen, total Produk Domestik Regional Bruto (PDRB),
ekspor dan kesempatan kerja.
Selanjutnya Chenery dalam Tambunan (2001) juga menyatakan bahwa perubahan
struktur ekonomi yang umum disebut dengan transformasi struktural diartikan sebagai
suatu rangkaian perubahan yang saling terkait satu dengan yang lainnya dalam komposisi
Aggregate Demand, perdagangan luar negeri (ekspor dan impor), Aggregate Supply
(produksi dan penggunaan faktor-faktor produksi seperti tenaga kerja dan modal) yang
diperlukan guna mendukung proses pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang
berkelanjutan
Transformasi ekonomi merupakan salah satu indikator terjadinya pembangunan
perekonomian wilayah. Jika terjadi proses transformasi ekonomi maka dapat dinyatakan
bahwa telah terjadi pembangunan ekonomi dan perlu pengembangan lebih lanjut, akan
tetapi jika tidak terjadi proses transformasi maka pemerintah daerah perlu mengadakan
perbaikan dalam penyusunan perencanaan wilayahnya, sehingga kebijakan pembangunan
yang disusun menjadi lebih terarah agar tujuan pembangunan dapat tercapai.
Adapun beberapa faktor penyebab terjadinya transformasi ekonomi yaitu, pertama,
disebabkan oleh sifat manusia dalam kegiatan konsumsinya. Sesuai dengan Hukum Engels
bahwa makin tinggi pendapatan masyarakat, maka makin sedikit proporsi pendapatan yang
digunakan untuk membeli bahan pertanian, sebaliknya proporsi pendapatan yang
digunakan untuk membeli barang-barang produksi industri menjadi bertambah besar.
Dengan demikian, peranan sektor industri akan semakin besar dibandingkan sektor
pertanian. Kedua, perubahan struktur ekonomi disebabkan pula oleh perubahan teknologi
yang berlangsung secara terus-menerus. Proses transformasi struktural akan berjalan cepat
jika terjadi pergeseran pola permintaan domestik ke arah output industri manufaktur
diperkuat oleh perubahan yang serupa dalam komposisi perdagangan luar negeri atau
ekspor. Sektor-sektor ekonomi dalam perekonomian Indonesia dibedakan dalam tiga
kelompok utama (Sukirno, 2006), yaitu: 1) Sektor primer, yang terdiri dari sektor pertanian,
peternakan, kehutanan, perikanan, pertambangan dan penggalian. 2) Sektor sekunder,
terdiri dari industri pengolahan, listrik, gas dan air, bangunan. 3) Sektor tertier, terdiri dari
perdagangan, hotel, restoran, pengangkutan dan komunikasi, keuangan, sewa dan jasa
perusahaan, jasa-jasa lain (termasuk pemerintahan).
Pada umumnya, transformasi yang terjadi di negara berkembang adalah transformasi
dari sektor pertanian ke sektor industri, atau terjadinya transformasi dari sektor primer
kepada sektor non primer (sekunder dan tertier). Seperti yang terlihat pada Gambar 4.1
VA/G ini, di mana berdasarkan hasil studi Chenery dan
berikut Services
rquin bahwa perubahan kontribusi
sektoral terhadap pembentukan Produk Domestik Bruto Regional dalam Industry
jangka panjang
akan menunjukkan pola sebagai berikut.

Agriculture
Time
Pre-Industrialization Industrialization Post-Industrialization

Gambar 4.1 Perubahan Kontribusi Sektoral Terhadap Pembentukan Produk Domestik Bruto
Regional dalam Jangka Panjang

Terlihat pada Gambar 4.1 tersebut bahwa kontribusi output dari sektor primer terhadap
pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) semakin mengecil sedangkan pangsa Produk
Domestik Bruto (PDB) dari sektor sekunder dan tertier mengalami peningkatan seiring
dengan peningkatan pendapatan nasional per kapita. Dengan demikian, transformasi
ekonomi menunjukkan terjadinya peralihan kegiatan ekonomi dari perekonomian
tradisional menjadi perekonomian yang modern.

C. Industrialisasi dan Perdagangan Luar Negeri


1. Industrialisasi
Industrialisasi adalah suatu proses perubahan sosial ekonomi yang mengubah sistem
pencaharian masyarakat agraris menjadi masyarakat industri. Industrialisasi juga bisa
diartikan sebagai suatu keadaan di mana masyarakat berfokus pada ekonomi yang meliputi
pekerjaan yang semakin beragam (spesialisasi), gaji, dan penghasilan yang semakin tinggi.
Industrialisasi adalah bagian dari proses modernisasi di mana perubahan sosial dan
perkembangan ekonomi erat hubungannya dengan inovasi teknologi.
Dalam industrialisasi ada perubahan filosofi manusia di mana manusia mengubah
pandangan lingkungan sosialnya menjadi lebih kepada rasionalitas (tindakan didasarkan atas
pertimbangan, efisiensi, dan perhitungan, tidak lagi mengacu kepada moral, emosi,
kebiasaan atau tradisi). Menurut para peneliti ada faktor yang menjadi acuan modernisasi
industri dan pengembangan perusahaan. Mulai dari lingkungan politik dan hukum yang
menguntungkan untuk dunia industri dan perdagangan, bisa juga dengan sumber daya alam
yang beragam dan melimpah, dan juga sumber daya manusia yang cenderung rendah biaya,
memiliki kemampuan dan bisa beradaptasi dengan pekerjaannya.
Negara pertama yang melakukan industrialisasi adalah Inggris ketika terjadi revolusi
industri pada abad ke-18, dan diikuti pada akhir abad ke20 negara di Asia Timur yang
menjadi bagian dunia yang paling banyak melakukan industrialisasi.
Menurut klasifikasi sektor ekonomi dapat dibagi menjadi tiga bagian. Pertama, terdiri
dari produksi komoditas (pertanian, peternakan, eksploitasi sumber daya mineral). Kedua,
proses produksi barang untuk dijual dan Ketiga, sebagai industri layanan. Proses
industrialisasi didasarkan pada perluasan bagian kedua yang kegiatan ekonominya
didominasi oleh kegiatan bagian pertama.
Revolusi Industri pertama terjadi pada pertengahan abad ke-18 sampai awal abad ke-19
di daerah Eropa Barat, Amerika Utara, dimulai pertama kali di Inggris. Revolusi Industri
kedua terjadi pada pertengahan abad ke19 setelah penemuan mesin uap, listrik, mesin
pembakaran dalam (tenaga fosil) dan pembangunan kanal-kanal, rel kereta api sampai ke
tiang listrik.
Dampak Sosial dan Lingkungan dari industrialisasi: 1) Urbanisasi. Terpusatnya tenaga
kerja pada pabrik-pabrik di suatu daerah, sehingga daerah tersebut berkembang menjadi
kota besar. 2) Eksploitasi tenaga kerja. 3) Perubahan pada struktur keluarga, Pekerja harus
meninggalkan keluarga agar bisa bekerja di mana industri itu berada. Perubahan struktur
sosial berdasarkan pada pola praindustrialisasi di mana suatu keluarga besar cenderung
menetap di suatu daerah. Setelah industrialisasi keluarga biasanya berpindah-pindah
tempat dan hanya terdiri dari keluarga inti (orang tua dan anak-anak). Keluarga dan anak-
anak yang memasuki kedewasaan akan semakin aktif berpindah-pindah sesuai tempat di
mana pekerjaan itu berada. 4) Lingkungan hidup. Industrialisasi menimbulkan banyak
masalah penyakit. Mulai polusi udara, air, dan suara, masalah kemiskinan, alat-alat
berbahaya, kekurangan gizi. Masalah kesehatan di negara industri disebabkan oleh faktor
ekonomi, sosial politik, budaya dan juga patogen (mikroorganisme penyebab penyakit).
2. Industrialisasi di Indonesia
Industrialisasi di Indonesia semakin menurun semenjak krisis ekonomi tahun 1998.
Kemunduran ini bukanlah berarti Indonesia tidak memiliki modal untuk melakukan investasi
pada industri dalam negeri, tetapi lebih kepada penyerapan barang hasil produksi industri
dalam negeri. Membuka pasar dalam negeri adalah kunci penting bagi industri Indonesia
untuk bisa bangkit lagi karena saat ini pasar Indonesia dikuasai oleh produk-produk asing.
Adapun faktor-faktor pembangkit industri di Indonesia, antara lain: 1) Struktur organisasi,
perlu dilakukan inovasi dalam jaringan institusi pemerintah dan swasta yang melakukan
impor. Sebagai pihak yang membawa, mengubah, mengembangkan dan menyebarluaskan
teknologi. 2) Ideologi, perlu sikap dalam menentukan pilihan untuk mengembangkan suatu
teknologi apakah menganut techno-nasionalism, techno-globalism, atau techno-hybrids. 3)
Kepemimpinan, pemimpin dan elit politik Indonesia harus tegas dan cermat dalam
mengambil keputusan. Hal ini dimaksudkan untuk mengembalikan kepercayaan pasar dalam
negeri maupun luar negeri.
Faktor-faktor yang menjadi penghambat industri di Indonesia meliputi: 1) Keterbatasan
teknologi, kurangnya perluasan dan penelitian dalam bidang teknologi menghambat
efektivitas dan kemampuan produksi. 2) Kualitas sumber daya manusia, terbatasnya tenaga
profesional di Indonesia menjadi penghambat untuk mendapatkan dan mengoperasikan
alat-alat dengan teknologi terbaru. 3) Keterbatasan dana pemerintah, terbatasnya dana
pengembangan teknologi oleh pemerintah untuk mengembangkan infrastruktur dalam
bidang riset dan teknologi.
Dampak industrialisasi di Indonesia: 1) Teknologi memungkinkan negara tropis seperti
Indonesia untuk memanfaatkan kekayaan hutan untuk meningkatkan devisa negara dan
pembangunan infrastruktur. Hilangnya hutan di Indonesia berarti hilang juga tanaman-
tanaman yang memiliki khasiat sebagai obat dan juga fauna langka yang hidup di ekosistem
hutan tersebut. 2) Di balik kesuksesan Indonesia dalam pembangunan sebenarnya ada
kemerosotan dalam cadangan sumber daya alam dan peningkatan pencemaran lingkungan.
Pada kota-kota yang sedang berkembang seperti Gresik, Medan, Jakarta, Surabaya,
Bandung, Lhoksumawe, bahkan hampir seluruh kota-kota di Pulau Jawa sudah mengalami
peningkatan suhu udara, walaupun daerah tersebut tidak pesat perkembangan industrinya.
Pencemaran dapat diklasifikasikan dalam bermacam-macam bentuk menurut pola
pengelompokannya, mengelompokkan pencemaran atas dasar: 1) Bahan pencemar yang
menghasilkan bentuk pencemaran biologis , kimiawi, fisik, dan budaya. 2) Pengelompokan
menurut medium lingkungan menghasilkan bentuk pencemaran udara, air, tanah, makanan,
dan sosial. 3) Pengelompokan menurut sifat sumber menghasilkan pencemaran dalam
bentuk primer dan sekunder.
3. Perdagangan Luar Negeri
Perdagangan internasional bukan hanya bermanfaat di bidang ekonomi saja. Manfaatnya
di bidang lain pada masa globalisasi ini juga semakin terasa. Bidang itu antara lain politik,
sosial, dan pertahanan keamanan. Di bidang ekonomi, perdagangan internasional dilakukan
semua negara untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya. Negara dapat diibaratkan manusia,
tidak ada manusia yang bisa hidup sendiri, tanpa bantuan orang lain. Begitu juga dengan
negara, tidak ada negara yang bisa bertahan tanpa kerja sama dengan negara lain. Negara
yang dahulu menutup diri dari perdagangan internasional, sekarang sudah membuka
pasarnya. Misalnya, Rusia, Cina, dan Vietnam.
Perdagangan internasional juga memiliki fungsi sosial. Misalnya, ketika harga bahan
pangan dunia sangat tinggi. Negara-negara penghasil beras berupaya untuk dapat
mengekspornya. Di samping memperoleh keuntungan, ekspor di sini juga berfungsi secara
sosial. Jika krisis pangan dunia terjadi, maka bisa berakibat pada krisis ekonomi. Akibat
berantainya akan melanda ke semua negara.
Pada era globalisasi ini banyak muncul perusahaan multinasional. Perusahaan seperti ini
sahamnya dimiliki oleh beberapa orang dari beberapa negara. Misalnya, saham Telkomsel
dimiliki oleh beberapa orang dari Indonesia dan Singapura. Perusahaan multinasional
seperti ini dapat mempererat hubungan sosial antarbangsa. Di dalamnya banyak orang dari
berbagai negara saling bekerja sama. Maka terjadilah persahabatan di antara mereka.
Perdagangan internasional juga bermanfaat di bidang politik. Perdagangan antarnegara
bisa mempererat hubungan politik antarnegara. Sebaliknya, hubungan politik juga bisa
mempererat hubungan dagang.
Perdagangan internasional juga berfungsi untuk pertahanan keamanan. Misalnya, suatu
negara non-nuklir mau mengembangkan senjata nuklir. Negara ini dapat ditekan dengan
dikenai sanksi ekonomi. Artinya, negara lain tidak diperbolehkan menjalin hubungan dagang
dengan negara tersebut. Biasanya upaya seperti ini harus dengan persetujuan PBB. Hal ini
dilakukan demi terciptanya keamanan dunia.
Perdagangan internasional juga terkait dengan pertahanan suatu negara. Setiap negara
tentu membutuhkan senjata untuk mempertahankan wilayahnya. Padahal, tidak semua
negara mampu memproduksi senjata. Maka diperlukan impor senjata. Untuk mencegah
perdagangan barang-barang yang membahayakan, diperlukan kerja sama internasional.
Barang yang membahayakan tersebut misalnya senjata gelap, obat-obatan terlarang, hewan
langka, ternak yang membawa penyakit menular, dan sebagainya.
Untuk kepentingan inilah pemerintah semua negara memiliki bea cukai. Instansi ini
dibentuk pemerintah suatu negara untuk memeriksa barang-barang dan bagasi ketika
memasuki suatu negara. Pemeriksaan ini diperlukan untuk melihat apakah pajaknya telah
dibayar. Pemeriksaan juga untuk mengecek barang-barang tersebut barang selundupan
ataupun barang terlarang atau tidak. Cara yang digunakan dalam pemeriksaan antara lain
dengan melihat dokumen barang, menggunakan detektor barang berbahaya, atau
menggunakan anjing pelacak.
Menurut Amir M.S., bila dibandingkan dengan pelaksanaan perdagangan di dalam negeri,
perdagangan internasional sangatlah rumit dan kompleks. Kerumitan tersebut antara lain
disebabkan karena adanya batas-batas politik dan kenegaraan yang dapat menghambat
perdagangan, misalnya dengan adanya bea, tarif, atau kuota barang impor. Selain itu,
kesulitan lainnya timbul karena adanya perbedaan budaya, bahasa, mata uang, taksiran dan
timbangan, dan hukum dalam perdagangan.
Selain daripada itu menurut Sadono Sukirno, manfaat perdagangan internasional adalah
sebagai berikut: 1) Menjalin Persahabatan Antar Negara, 2) Memperoleh barang yang tidak
dapat diproduksi di negeri sendiri, 3) Memperoleh keuntungan dari spesialisasi 3)
Memperluas pasar dan menambah keuntungan, 4) Transfer teknologi modern.
4. Teori dalam Perdagangan Internasional
Banyak faktor yang mendorong suatu negara melakukan perdagangan internasional, di
antaranya sebagai berikut: 1) faktor alam/potensi alam, 2) untuk memenuhi kebutuhan
barang dan jasa dalam negeri, 3) keinginan memperoleh keuntungan dan meningkatkan
pendapatan negara, 4) adanya perbedaan kemampuan penguasaan ilmu pengetahuan dan
teknologi dalam mengolah sumber daya ekonomi, 5) adanya kelebihan produk dalam negeri
sehingga perlu pasar baru untuk menjual produk tersebut, 6) adanya perbedaan keadaan
seperti sumber daya alam, iklim, tenaga kerja, budaya, dan jumlah penduduk yang
menyebabkan adanya perbedaan hasil produksi dan adanya keterbatasan produksi, 7)
adanya kesamaan selera terhadap suatu barang, 8) keinginan membuka kerja sama,
hubungan politik dan dukungan dari negara lain, 9) terjadinya era globalisasi sehingga tidak
satu negara pun di dunia dapat hidup sendiri.
Beberapa teori dalam perdagangan internasional, yaitu:
a. Model Adam Smith
Model Adam Smith ini memfokuskan pada keuntungan mutlak yang menyatakan bahwa
suatu negara akan memperoleh keuntungan mutlak dikarenakan negara tersebut mampu
memproduksi barang dengan biaya yang lebih rendah dibandingkan negara lain. Menurut
teori ini jika harga barang dengan jenis sama tidak memiliki perbedaan di berbagai
negara maka tidak ada alasan untuk melakukan perdagangan internasional.
Dengan spesialisasi, sebuah negara dapat mengkhususkan pada produksi barang yang
mempunyai keuntungan. Sebuah negara akan mengimpor barang-barang yang
seandainya diproduksi sendiri (dalam negeri) tidak efisien atau kurang menguntungkan,
sehingga keunggulan mutlak diperoleh bila sebuah negara mengadakan spesialisasi
dalam memproduksi barang.
Dengan adanya pembagian kerja dalam Menghasilkan Sejenis Barang, suatu negara dapat
memproduksi barang dengan biaya yang lebih murah dibanding negara lain, sehingga
dalam mengadakan perdagangan negara tersebut memperoleh keunggulan mutlak.
Keuntungan mutlak diartikan sebagai keuntungan yang dinyatakan dalam banyaknya
jam/hari kerja yang dibutuhkan untuk menciptakan barang-barang produksi. Sebuah
negara akan mengekspor barang tertentu karena bisa menghasilkan barang tersebut
dengan biaya yang secara mutlak lebih murah dibanding negara lain. Dengan kata lain,
negara tersebut mempunyai keuntungan mutlak dalam produksi barang.
Jadi, keuntungan mutlak terjadi seandainya sebuah negara lebih unggul terhadap satu
macam produk yang dihasilkan, dengan biaya produksi yang lebih murah jika
dibandingkan dengan biaya produksi di negara lain.

Dari gambar di atas dapat diketahui, bahwa Vietnam lebih unggul untuk memproduksi
beras dan Korea Selatan lebih unggul untuk produksi elektronik, sehingga negara
Vietnam seharusnya berspesialisasi untuk produk beras dan negara Korea Selatan
berspesialisasi untuk produk elektronik. Dengan demikian, jika kedua negara tersebut
mengadakan perdagangan internasional (ekspor dan impor), maka keduanya akan
memperoleh keuntungan. Besarnya keuntungan kedua negara dapat dihitung sebagai
berikut.
Keuntungan Vietnam, untuk negara Vietnam, Dasar Tukar Dalam Negerinya (DTD) 1 kg
beras akan mendapatkan 1 unit elektronik, sedangkan Korea Selatan 1 kg beras akan
mendapatkan 4 unit elektronik. Dengan demikian, jika Vietnam menukarkan beras
dengan elektronik Korea Selatan akan memperoleh keuntungan sebesar 3 unit elektronik,
yang diperoleh dari (4 elektronik - 1 elektronik).
Keuntungan Korea Selatan, untuk negara Korea Selatan Dasar Tukar Dalam Negerinya
(DTD) 1 unit elektronik akan mendapatkan 0,25 beras, sedangkan di Vietnam 1 unit
elektronik akan mendapatkan 1 kg beras. Dengan demikian, jika negara Korea Selatan
mengadakan perdagangan internasional atau menukarkan elektroniknya dengan
Vietnam, akan memperoleh keuntungan sebesar 0,75 kg beras, yang diperoleh dari (1 kg
beras - 0,25 beras).

b. Model Ricardian
Model ini memfokuskan pada kelebihan komparatif dan mungkin merupakan konsep
paling penting dalam teori perdagangan internasional. Dalam sebuah model Ricardian,
negara mengkhususkan dalam memproduksi apa yang mereka paling baik produksi. Tidak
seperti model lainnya, rangka kerja model ini memprediksi di mana negara-negara akan
menjadi spesialis secara penuh dibandingkan memproduksi bermacam barang
komoditas. Juga, model Ricardian tidak secara langsung memasukkan faktor pendukung,
seperti jumlah relatif dari buruh dan modal dalam negara.
c. Model Heckscher-Ohlin
Model ini dibuat sebagai alternatif dari model Ricardian dan dasar kelebihan komparatif.
Mengesampingkan kompleksitasnya yang jauh lebih rumit model ini tidak membuktikan
prediksi yang lebih akurat. Bagaimanapun, dari sebuah titik pandangan teoretis model
tersebut tidak memberikan solusi yang elegan dengan memakai mekanisme harga
neoklasikal ke dalam teori perdagangan internasional. Teori ini berpendapat bahwa pola
dari perdagangan internasional ditentukan oleh perbedaan dalam faktor pendukung.
Model ini memperkirakan kalau negara-negara akan mengekspor barang yang membuat
penggunaan intensif dari faktor pemenuh kebutuhan dan akan mengimpor barang yang
akan menggunakan faktor lokal yang langka secara intensif. Masalah empiris dengan
model H-O, dikenal sebagai Paradoks Leontief, yang dibuka dalam uji empiris oleh
Wassily Leontief yang menemukan bahwa Amerika Serikat lebih cenderung untuk
mengekspor barang buruh intensif dibanding memiliki kecukupan modal dan sebagainya.
d. Model Gravitasi
Model gravitasi perdagangan menyajikan sebuah analisis yang lebih empiris dari pola
perdagangan dibanding model yang lebih teoretis di atas. Dalam model gravitasi, pada
dasarnya, untuk melakukan perdagangan jarak antarnegara dan interaksi antarnegara
dalam ukuran ekonomis menjadi penentu. Model ini meniru hukum gravitasi Newton
yang juga memperhitungkan jarak dan ukuran fisik di antara dua benda. Model ini telah
terbukti menjadi kuat secara empiris oleh analisis ekonometri. Faktor lain seperti tingkat
pendapatan, hubungan diplomatik, dan kebijakan perdagangan juga dimasukkan dalam
model ini.

5. Peraturan/Regulasi Perdagangan Internasional


Umumnya perdagangan diregulasikan melalui perjanjian bilateral antara dua negara.
Selama berabad-abad di bawah kepercayaan dalam Merkantilisme kebanyakan negara
memiliki tarif tinggi dan banyak pembatasan dalam perdagangan internasional. Pada abad
ke-19, terutama di Britania, ada kepercayaan akan perdagangan bebas menjadi yang
terpenting dan pandangan ini mendominasi pemikiran di antara negara Barat untuk
beberapa waktu sejak itu di mana hal tersebut membawa mereka ke kemunduran besar
Britania. Pada tahun-tahun sejak Perang Dunia II, perjanjian multilateral kontroversial
seperti GATT dan WTO memberikan usaha untuk membuat regulasi global dalam
perdagangan internasional. Kesepakatan perdagangan tersebut kadang-kadang berujung
pada protes dan ketidakpuasan dengan klaim dari perdagangan yang tidak adil yang tidak
menguntungkan secara mutual.
Perdagangan bebas biasanya didukung dengan kuat oleh sebagian besar negara yang
berekonomi kuat, walaupun mereka kadang-kadang melakukan proteksi selektif untuk
industri-industri yang penting secara strategis seperti proteksi tarif untuk agrikultur oleh
Amerika Serikat dan Eropa. Belanda dan Inggris Raya keduanya mendukung penuh
perdagangan bebas di mana mereka secara ekonomis dominan, sekarang Amerika Serikat,
Inggris, Australia, dan Jepang merupakan pendukung terbesarnya. Bagaimanapun, banyak
negara lain (seperti India, Rusia, dan Tiongkok) menjadi pendukung perdagangan bebas
karena telah menjadi kuat secara ekonomi. Karena tingkat tarif turun ada juga keinginan
untuk menegosiasikan usaha nontarif, termasuk investasi luar negeri langsung, pembelian,
dan fasilitasi perdagangan. Wujud lain dari biaya transaksi dihubungkan dengan
perdagangan pertemuan dan prosedur cukai.
Umumnya kepentingan agrikultur biasanya dalam koridor dari perdagangan bebas dan
sektor manufaktur seringnya didukung oleh proteksi. Ini telah berubah pada beberapa
tahun terakhir, bagaimanapun. Faktanya, lobi agrikultur, khususnya di Amerika Serikat,
Eropa dan Jepang, merupakan penanggung jawab utama untuk peraturan tertentu pada
perjanjian internasional besar yang memungkinkan proteksi lebih dalam agrikultur
dibandingkan kebanyakan barang dan jasa lainnya.
Selama reses ada sering kali tekanan domestik untuk meningkatkan tarif dalam rangka
memproteksi industri dalam negeri. Ini terjadi di seluruh dunia selama depresi besar
membuat kolapsnya perdagangan dunia dipercaya memperdalam depresi tersebut.
Regulasi dari perdagangan internasional diselesaikan melalui World Trade Organization
pada level global, dan melalui beberapa kesepakatan regional seperti MerCOSUR di Amerika
Selatan, NAFTA antara Amerika Serikat, Kanada dan Meksiko, dan Uni Eropa antara 27
negara mandiri. Pertemuan Buenos Aires tahun 2005 membicarakan pembuatan dari Free
Trade Area of America (FTAA) gagal total karena penolakan dari populasi negara-negara
Amerika Latin. Kesepakatan serupa seperti MAI (Multilateral Agreement on Invesment) juga
gagal pada tahun-tahun terakhir.

D. Tabungan dan Pembangunan


Pendekatan pembangunan ekonomi yang menekankan pada pentingnya proses
pembentukan modal mungkin merupakan pendekatan yang paling berpengaruh dan
bertahan lama, karena: pertama, bila dibandingkan dengan pendekatan-pendekatan lain,
pendekatan ini mempunyai landasan teoretis yang cukup kuat seperti ditunjukkan oleh
model Harrod-Domar.
Secara singkat, model Harrod-Domar ini menunjukkan hubungan antara pertumbuhan
investasi dengan pendapatan nasional. Pandangan yang menganggap bahwa pembentukan
modal merupakan kunci bagi pertumbuhan ekonomi ini kemudian dikenal sebagai aliran
fundamentalisme modal (capital fundamentalism).
Kedua adalah karena aliran fundamentalisme modal ini sejalan dengan tujuan-tujuan dan
keinginan-keinginan dari para donor bantuan luar negeri/asing pada era 1950-an dan 1960-
an. Pada akhirnya, keterbatasan modal dinilai sebagai satu-satunya hambatan pokok bagi
percepatan pembangunan ekonomi di setiap negara. Selain itu, kerangka perencanaan
pembangunan di berbagai negara, terutama NSB, mencerminkan pandangan tersebut.
Contoh yang baik dari rencana seperti itu adalah REPELITA II dari Indonesia pada tahun
1970-an. Rencana tersebut menunjukkan betapa pentingnya modal awal dan perlunya
suntikan awal modal asing (terutama bantuan luar negeri) yang cukup besar. Suntikan
bantuan awal yang besar tersebut diharapkan akan merangsang timbulnya arus tabungan
domestik yang baru sehingga pada akhirnya akan mengurangi permintaan akan aliran
bantuan luar negeri dalam jangka panjang.
Akhirnya, alasan lain mengapa aliran fundamentalisme modal ini bisa bertahan adalah
karena kerangka kerjanya cukup fleksibel dalam memasukkan gagasan-gagasan baru dalam
ilmu ekonomi yang lahir pada tahun 1960-an, khususnya tentang konsep modal insani
(human capital). Dimasukkannya modal insani ke dalam kerangka kerja ini bukanlah hanya
untuk “pantas-pantasan” saja, sebab jika stok modal insani ini dibandingkan dengan
persediaan modal fisik, maka perbandingan tersebut sangat besar. Bahkan untuk beberapa
negara maju, rasio modal insani terhadap modal fisik bisa setinggi 1:1. Sebagai contoh,
estimasi mutakhir secara kasar menunjukkan nilai persediaan modal insani di AS pada
pertengahan 1970an sama besar dengan nilai persediaan modal fisik.
Tingginya tingkat pembentukan modal karena melimpahnya tabungan awal hanya sedikit
akan menyumbang pada pertumbuhan ekonomi —penciptaan lapangan kerja sedikit dan
kurang mampu memperbaiki distribusi pendapatan— bila modal tersebut ditanamkan pada
proyek-proyek yang produktivitasnya rendah. Selain itu, proyek-proyek investasi raksasa
yang dibiayai dengan tabungan asing —betapa pun produktifnya— mungkin hanya
mempunyai dampak yang kecil terhadap pertumbuhan ekonomi bila kebijakan-kebijakan
negara tuan rumah sangat lemah dalam menetapkan sistem bagi-hasil yang adil. Dalam Bab
6, ada beberapa contoh, khususnya sebelum pertengahan 1960-an, tentang keadaan-
keadaan di mana negara-negara tuan rumah, khususnya negara-negara yang kaya akan
sumber daya alamnya, akhirnya hanya mendapat bagian sangat sedikit dari proyek-proyek
investasi asing.
Kita tak perlu harus menjadi pengikut aliran fundamentalisme modal jika hanya ingin
memahami betapa pentingnya peranan tabungan dan modal bagi pertumbuhan ekonomi.
Keterkaitan antara tabungan, modal, dan pertumbuhan ekonomi telah ditunjukkan dengan
baik sekali oleh pengalaman-pengalaman masyarakat-masyarakat industri. Misalnya,
sejumlah penelitian telah mengungkapkan bahwa sekitar setengah dari pertumbuhan
pendapatan agregat pada 9 negara maju sejak 1975 disebabkan oleh ekspansi input modal
fisik riil. Banyak studi yang mengungkapkan bahwa rendahnya tingkat investasi di AS pada
tahun 1970-an (sebesar 18% dari GNP, terendah di antara semua negara industri maju)
sebagai penyebab pokok -rendahnya pertumbuhan produktivitas, dari rendahnya tingkat
pertumbuhan pendapatan per kapita negara tersebut sejak 1970, dibandingkan dengan
Jepang dan Eropa Barat.
Analisis terhadap kontribusi relatif dari modal terhadap pertumbuhan ekonomi tersebut
di Negara Sedang Berkembang (NSB) tidak banyak jumlahnya dan mengestimasi hasil
estimasinya pun kurang meyakinkan, karena terbatasnya data yang tersedia. Namun
demikian, bukti yang ada menunjukkan bahwa dampak pembentukan modal terhadap
pertumbuhan ekonomi juga cukup signifikan di negara-negara tersebut, khususnya pada
tahap-tahap awal pembangunan ekonominya; sementara itu pada tingkat-tingkat
pendapatan yang lebih tinggi, pertumbuhan produktivitas tampaknya jauh lebih penting
ketimbang proses pembentukan modal. Studi-studi di beberapa negara berpenghasilan
menengah seperti Korea Selatan, Filipina, dan Mexico menunjukkan bahwa pada tahun-
tahun terakhir ini pertumbuhan persediaan modal fisik —sangat berbeda dengan
pertumbuhan modal insani— bisa memberikan kontribusi antara seperempat sampai
sepertiga dari pertumbuhan ekonomi dan sebanyak-banyaknya sebesar setengah di NSB
pada umumnya. Sayangnya, tak satu pun dari studi-studi ini yang memasukkan kontribusi
modal insani terhadap pertumbuhan ekonomi —yang hasilnya mungkin akan mengecilkan
peranan pembentukan modal fisik— dan tabungan terhadap pertumbuhan ekonomi.
Dalam setiap kasus, akumulasi modal tidak lagi dilihat sebagai obat mujarab bagi NSB,
meskipun jelas bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi yang mantap dan kuat dalam jangka
panjang hanya bisa terjadi jika masyarakat mampu mempertahankan proporsi investasi
yang cukup besar dari GDP-nya. Proporsi ini jarang kurang dari 15%; pada banyak kasus bisa
setinggi 25%, tergantung lingkungan di mana akumulasi modal terjadi dan tergantung pada
berapa tingkat pertumbuhan ekonomi yang diinginkan untuk mencapai tujuan pokok
masyarakat.

E. Migrasi dan Urbanisasi


1. Faktor Penyebab Terjadinya Migrasi dan Urbanisasi
Migrasi adalah peristiwa berpindahnya suatu organisme dari suatu wilayah ke wilayah
lainnya dengan maksud untuk meningkatkan taraf hidup dan ekonomi mereka. Sebagai
contohnya pada tahun ke-5 kerasulan, Nabi Muhammad Saw dan para sahabat telah
melakukan proses penghijrahan atau migrasi dari Makkah ke Madinah untuk
mempertahankan akidah dan agama Islam.
Dalam banyak kasus, orang bermigrasi untuk mencari sumber-cadangan-makanan yang
baru untuk menghindari kelangkaan makanan yang mungkin terjadi karena datangnya
musim dingin atau karena overpopulasi.
Proses migrasi dalam sebuah negara, jelas menunjukkan bahwa negara tersebut sedang
membangun dengan begitu pesat. Namun ia bukanlah satu hal yang dapat dibanggakan.
Kemasukan pendatang asing memang diperlukan oleh suatu negara yang ketika itu dalam
proses peralihan ketergantungan ekonomi sektor pertanian menuju sektor industri dan jasa.
Urbanisasi adalah perpindahan penduduk dari desa ke kota. Urbanisasi biasanya
dilakukan oleh orang muda usia yang pergi mencari pekerjaan di industri atau perusahaan
yang jauh dari tempat di mana mereka berasal. Urbanisasi adalah masalah yang cukup
serius bagi kita semua.
Persebaran penduduk yang tidak merata antara desa dengan kota akan menimbulkan
berbagai permasalahan kehidupan sosial kemasyarakatan. Jumlah peningkatan penduduk
kota yang signifikan tanpa didukung dan diimbangi dengan jumlah lapangan pekerjaan,
fasilitas umum, aparat penegak hukum, perumahan, penyediaan pangan, dan lain
sebagainya tentu adalah suatu masalah yang harus segera dicarikan jalan keluarnya.
Secara rinci faktor penyebab terjadinya migrasi dan urbanisasi dapat disebabkan
beberapa faktor sebagai berikut: 1) Faktor ekonomi, faktor ekonomi merupakan faktor
utama yang penyumbang terbesar terjadinya proses migrasi ini. Kedudukan ekonomi yang
mantap dan kukuh di sebuah wilayah menyebabkan sekaligus membuka peluang seseorang
termasuk juga golongan pendatang akan datang untuk mencari rezeki di negara orang, 2)
Taraf ekonomi yang rendah di wilayah sendiri, bagi negara Malaysia khususnya,
kemakmuran ekonomi sering kali dijadikan alasan untuk menjelaskan mengapa negara ini
menarik perhatian ramai rakyat Indonesia dan Bangladesh untuk bermigrasi. 3) Faktor
sosiobudaya, sebenarnya faktor sosiobudaya juga memainkan peranan utama menyebabkan
pendatang Indonesia semakin bertambah dari hari ke hari ke negara Malaysia. Bahkan boleh
dikatakan faktor sosiobudaya ini memainkan peranan yang sama pentingnya dengan faktor
ekonomi. 4) Faktor kestabilan politik, kestabilan politik di sebuah negara memainkan
peranan yang penting dan terkait dengan ekonomi negara dan proses migrasi antarbangsa.
Sebuah negara yang aman dan makmur secara tidak langsung dapat terjadi migrasi
penduduk negara tersebut ke negara lain.
2. Faktor Pendorong dan Penarik Migrasi
Pada dasarnya ada dua pengelompokan faktor-faktor yang menyebabkan seseorang
melakukan migrasi, yaitu faktor pendorong (push factor) dan faktor penarik (pull factor).
a. Faktor-faktor pendorong (push factor) antara lain adalah:
1) Makin berkurangnya sumber-sumber kehidupan seperti menurunnya daya dukung
lingkungan, menurunnya permintaan atas barang-barang tertentu yang bahan
bakunya makin susah diperoleh seperti hasil tambang, kayu, atau bahan dari
pertanian.
2) Menyempitnya lapangan pekerjaan di tempat asal (misalnya tanah untuk pertanian di
wilayah perdesaan yang makin menyempit).
3) Adanya tekanan-tekanan seperti politik, agama, dan suku, sehingga mengganggu hak
asasi penduduk di daerah asal.
4) Alasan pendidikan, pekerjaan atau perkawinan.
5) Bencana alam seperti banjir, kebakaran, gempa bumi, tsunami, musim kemarau
panjang atau adanya wabah penyakit.
b. Faktor-faktor penarik (pull factor) antara lain adalah:
1) Adanya harapan akan memperoleh kesempatan untuk memperbaiki taraf hidup.
2) Adanya kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang lebih baik.
3) Keadaan lingkungan dan keadaan hidup yang menyenangkan, misalnya iklim,
perumahan, sekolah, dan fasilitas-fasilitas publik lainnya.
4) Adanya aktivitas-aktivitas di kota besar, tempat-tempat hiburan, pusat kebudayaan
sebagai daya tarik bagi orang-orang daerah lain untuk bermukim di kota besar.
Proses urbanisasi sangat terkait mobilitas maupun migrasi penduduk. Ada sedikit
perbedaan antara mobilitas dan migrasi penduduk. Mobilitas penduduk didefinisikan
sebagai perpindahan penduduk yang melewati batas administratif, namun tidak berniat
menetap di daerah yang baru.
Sedangkan migrasi didefinisikan sebagai perpindahan penduduk yang melewati batas
administratif dan sekaligus berniat menetap di daerah yang baru tersebut. Di dalam
pelaksanaan perhitungannya, data yang ada sampai saat ini baru merupakan data migrasi
penduduk dan bukan data mobilitas penduduk. Di samping itu, data migrasi pun baru
mencakup batasan daerah tingkat I.
Dengan demikian, seseorang dikategorikan sebagai migran seumur hidup jika provinsi
tempat tinggal orang tersebut sekarang ini, berbeda dengan provinsi di mana yang
bersangkutan dilahirkan. Selain itu seseorang dikategorikan sebagai migran risen jika
provinsi tempat tinggal sekarang berbeda dengan provinsi tempat tinggalnya lima tahun
yang lalu.
Oleh karena itu, pemerintah di samping mengembangkan kebijaksanaan pengarahan
persebaran dan mobilitas penduduk, termasuk di dalamnya urbanisasi, juga berkewajiban
menyempurnakan sistem pencatatan mobilitas dan migrasi penduduk agar kondisi data
yang ada lebih sesuai kondisi di lapangan. Terutama bila diperlukan untuk perumusan suatu
kebijakan kependudukan.

Anda mungkin juga menyukai