Anda di halaman 1dari 19

1

BAB I
PENDAHULUAN

A.Latar Belakang
Pembangunan Jangka Panjang Pertama (PJP I) yang dilaksanakan
secara bertahap, dimaksudkan untuk meningkatkan taraf hidup dan
kesejahteraan seluruh rakyat serta meletakkan landasan yang kuat
untuk pembangunan tahap berikutnya. Titik berat dalam Repelita I
sampai dengan Repelita V adalah pembangunan bidang ekonomi
dengan sasaran utama untuk mencapai struktur ekonomi yang
seimbang di mana terdapat kemampuan dan kekuatan industri yang
maju yang didukung oleh kekuatan dan kemampuan pertanian yang
tangguh, serta terpenuhinya kebutuhan pokok rakyat.

Sebelum PJP I dimulai, Indonesia merupakan salah satu negara


yang termiskin di dunia. Pada saat itu sebagian besar penduduk yang
umumnya berada di pedesaan hidup di bawah garis kemiskinan baik
dalam arti tingkat pendapatan maupun dalam arti keadaan gizi.
Produksi pertanian dan industri mengalami stagnasi. Tingkat inflasi
dan pengangguran sangat tinggi. Jumlah devisa sangat terbatas, sehingga.
tidak mampu mengimpor barangbarang yang diperlukan untuk memenuhi
kebutuhan di dalam negeri. Dalam keadaan ekonomi semacam ini, dimana
sektor pertanian merupakan sumber lapangan kerja dan pendapatan
sebagian besar masyarakat, peranan pembangunan sektor pertanian sangat
strategis, terutama untuk memenuhi kebutuhan pangan, meningkatkan
kesempatan kerja dan pendapatan para petani, meningkatkan devisa serta
mendorong pertumbuhan industri. Perbaikan taraf hidup hanya mungkin
dicapai apabila sektor pertanian dapat digerakkan, sehingga produksi dan
produktivitasnya meningkat. Sehubungan dengan itu Garis-garis Besar
Haluan Negara sejak awal Repelita sampai dengan Repelita V menetapkan
bahwa prioritas pembangunan diletakkan pada pembangunan bidang
ekonomi dengan titik berat pada sektor pertanian untuk memantapkan
swasembada pangan dan meningkatkan produksi hasil-hasil pertanian
2

lainnya, dalam rangka mewujudkan struktur ekonomi yang seimbang antara


industri dan pertanian baik dari segi nilai tambah maupun penyerapan
tenaga kerja.

B.Topik Bahasan
Makalah ini akan membahas seputar Memantapkan struktur
ekonomi secara seimbang antara sektor industri dan pertanian.

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui apa itu struktur ekonomi?
2. Mengetahui perubahan struktur ekonomi
3. Mengetahui bagaimana proses struktur ekonomi?
4. Mengetahui laju pertumbuhan sektor industri dan pertanian
3

BAB II
PEMBAHASAN

A. Struktur Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi yang didukung oleh stabilitas ekonomi
yang mantap juga telah diiringi dengan pergeseran pada struktur
ekonomi Indonesia ke arah yang makin kukuh dan seimbang.
Struktur ekonomi juga telah berkembang dari ekonomi agraris
tradisional menjadi ekonomi yang lebih maju, dengan struktur yang lebih
kukuh, yaitu ekonomi yang didukung oleh industri yang makin kuat dan
pertanian yang makin tangguh sehingga kebutuhan pokok rakyat telah
makin terpenuhi secara makin merata.
Bidang ekonomi: terpenuhinya kebutuhan pokok rakyat dan
tercapainya struktur ekonomi yang seimbang, yaitu kemampuan dan
kekuatan industri yang maju didukung oleh kekuatan dan kemampuan
pertanian yang tangguh. Struktur ekonomi yang seimbang ini akan dicapai
secara bertahap melalui Repelita I sampai Repelita V. Repelita I sampai
dengan Repelita V adalah pembangunan bidang ekonomi dengan
sasaran utama untuk mencapai struktur ekonomi yang seimbang di
mana terdapat kemampuan dan kekuatan industri yang maju yang
didukung oleh kekuatan dan kemampuan pertanian yang tangguh, serta
terpenuhinya kebutuhan pokok rakyat.

B. Laju Pertumbuhan Pemerintahan Orde Baru


Pada bulan April 1969 Repelita I (Rencana Pembangunan Lima Tahun
Pertama) dimulai dengan penekanan utama pada sektor pertanian dan
industri-industri yang terkait,seperti agroindustri.Strategi pada Repelita I
terpusat pada industri-industri yang dapat menghasilkan devisa lewat ekspor
dan substitusi impor, industri-industri yang memproses bahan-bahan baku
yang tersedia di dalam negeri, industri-industri yang padat karya, industri-
4

industri yang mendukung pembangunan regional, dan juga industri-industri


dasar, seperti pupuk, semen, kimia dasar, pulp, kertas, dan tekstil.
Secara sektoral, dapat dilihat bahwa laju pertumbuhan output di sektor
industri sejak pemerintahan orde baru berkuasa juga meningkat drastis
dibandingkan sebelumnya. Misalnaya, dalam periode 1968-1973 sektor
tersebut diperkirakan mengalami laju pertumbuhan rata-rata per tahun
sekitar 13% dibandingkan hanya 1,9% selama periode 1960-1966. Sektor
pertanian, walaupun lebih kecil daripada sektor industri,juga mengalami
perbaikan sejak tahun 1966 dengan perkiraan laju pertumbuhan output-nya
rata-rata di atas 2%hingga menjelang akhir decade 1970-an.
Perubahan ekonomi struktural juga sangat nyata selama masa orde
baru bila dilihat dari perubahan pangsa Produk Domestik Bruto (PDB),
terutama dari sektor pertanian dan sektor industri. Berdasarkan harga
berlaku, kontribusi sektor pertanian terhadap pembentukan output nasional
menurun dari sekitar hampir 54% tahun 1960 menjadi sekitar 26% tahun
1983. Berdasarkan harga konstan, trend perkembangannya juga sama, yakni
menurun selama periode tersebut. Sedangkan persentase dari PDB yang
berasal dari sektor industri manufaktur meningkat setiap tahun, dari sekitar
8% (atas dasar harga berlaku) atau 7,6% (atas dasar harga konstan) pada
tahun 1960 menjadi 12% lebih (atas dasar harga berlaku) atau 15% (atas
dasar harga konstan) pada tahun 1983.

C. Perubahan Struktur Ekonomi


Teori perubahan struktural menitikberatkan pembahasan pada
mekanisme transformasi ekonomi yang dialami oleh Negara-negara sedang
berkembang (LDCs), yang semula lebih bersifat subsissten dan
menitikberatkan pada sektor pertanian menuju ke struktur perekonomian
yang lebih modern yang didominasi oleh sektor-sektor nonprime, khususnya
industri dan jasa. Ada dua teori utama yang umum digunakan dalam
menganalisis perubahan struktur ekonomi, yakni dari Arthur Lewis (teori
migrasi) dan Hollis Chenery (teori transformasi struktural).
Teori Arthur Lewis pada dasarnya membahas proses pembangunan
ekonomi yang terjadi di daerah pedesaan dan daerah perkotaan (urban).
5

Dalam teorinya, Lewis mengasumsikan bahwa perekonomian suatu Negara


pada dasarnya terbagi menjadi dua,yaitu perekonomian tradisional di
pedesaan yang didominasi oleh sektor pertanian dan perekonomian modern
di perkotaan dengan industri sebagai sektor utama.
Perbedaan upah di pertanian/pedesaan dan di industri/perkotaan (Wp
< Wi) menarik banyak tenaga kerja pindah dari sektor pertama ke sektor
kedua sehingga terjadilah suatu proses migrasi dan urbanisasi. Tenaga kerja
yang pindah ke industri mendapat penghasilan yang lebih tinggi daripada
sewaktu masih bekerja di pertanian (Yi > Yp). Berpindahnya sebagian
tenaga kerja dari sektor dengan upah rendah ke sektor dengan upah tinggi
membuat pendapatan di Negara bersangkutan meningkat. Bersamaan
dengan peningkatan pendapatan tersebut, permintaan terhadap makanan
meningkat, dan ini menjadi faktor pendorong utama pertumbuhan output di
sektor tersebut dari sisi permintaan da dalam jangka panjang perekonomian
pedesaan mengalami pertumbuhan. Di pihak lain, terjadi pola
perubahanpermintaan konsumen : masyarakat / tenaga kerja yang
mengalami peningkatan pendapatan mengkonsumsikan sebagian besar dari
pendapatannya untuk berbagai macam produk-produk industry dan jasa.
Pemikiran teori Chenery pada dasarnya sama dengan model Lewis. Teori
Chenery, dikenal dengan teori pattern of development, memfokuskan pada
perubahan struktur dalam tahapan proses perubahan ekonomi di LDCs yang
mengalami transformasi dari pertanian tradisional (subsisten) ke sektor
industri sebagai mesin utama pertumbuhan ekonomi.
Relasi antara tingkat pendapatan per kapita dan perubahan struktur
ekonomi dapat dianalisis dengan pendekatan time series ( studi di sejumlah
Negara untuk beberapa tahun tertentu) dan pendekatan cross section (studi
di sejumlah Negara pada suatu titik waktu tertentu/ dalam periode yang
sama). Negara-negara dengan pendapatan rendah memiliki pangsa pertanian
di dalam total penyerapan tenaga kerja dan pembentukan produk domestik
bruto (PDB) jauh lebih tinggi dibandingkan Negara-negara dengan
pendapatan tinggi, seperti Amerika Serikat dan Inggris. Bahkan, di Negara-
negara miskin di Afrika rasionya mencapai diatas 70%. Rendahnya peranan
sektor pertanian di kedua Negara industri maju tersebutbisa disebabkan oleh
6

dua kemungkinan. Pertama, dengan tingkat produktivitas tenaga kerja atau


rasio tenaga kerja output tertentu, volume produksi pertanian di kedua
Negara tersebut jauh lebih rendah dibandingkan di LDCs karena kedua
Negara itu lebih berspesialisasi pada produksi manufaktur. Kedua, tingkat
modernisasi / mekanisasi sektor pertanian di Amerika Serikat dan Inggris
jauh lebih tinggi dibandingkan di LDCs. Semakin modern sektor pertanian
semakin padat modal atau semakin sedikit tenaga kerja yang terserap sektor
tersebut.
Perubahan struktur ekonomi yang memperlemah posisi relative dari
pertanian dan pertambangan di dalam perekonomian nasional ini disebabkan
laju pertumbuhan output rata-rata per tahun di kedua sektor tersebut relatif
lebih lambat dibandingkan laju pertumbuhan output rata-rata per tahun di
sektor-sektor sekunder (terutama industri manufaktur) dan tersier
(khususnya keuangan dan perbankan). Perubahan ini boleh dianggap
sebagai salah satu konsekuensi dari proses pembangunan ekonomi jangka
panjang. Persentase pertumbuhan output pertanian menurun terus selama
kurun waktu tersebut. Pada tahun 1995 tercatat hanya sekitar 4,38% dan
pada tahun 1998 akibat krisis ekonomi menurun drastis menjadi 0,22%.
Namun, dibandingkan sektor-sektor lain, pertanian dan listrik,gas, dan air
minum merupakan dua sektor yang dapat bertahan selama krisis ekonomi
dengan tetap memilki pertumbuhan positif, walaupun sangat kecil.
Industri manufaktur memiliki laju pertumbuhan rata-rata per tahun
cukup stabil dan tinggi selama periode 1980-an hingga tahun 1997. Pada
tahun 1998 sektor tersebut mengalami kemerosotan produksi yang sangat
signifikan, yakni hampir 13%. Dampak negatif dari krisis ekonomi terhadap
sektor tersebut bersumber dari dua sisi sekaligus. Dari sisi permintaan
agregat, turunnya kemampuan belanja (purchasing power) masyarakat dan
lesunya kegiatan ekonomi domestik. Sedangkan melalui sisi penawaran
agregat adalah terutama karena tigginya suku bunga pinjaman, terbatasnya
dana kredit dari perbankan nasional, mahalnya bahan-bahan impor, dan
akibat ditolaknya letter of credit (L/C) dari bank-bank nasional oleh bank-
bank di luar negeri.
7

Pemerintah sudah mulai menyadari keadaan yang menunjukkan


buruknya kualitas pembangunan yang telah dilakukan . Oleh karena itu,
sejak Pelita III strategi pembangunan mulai diubah. Sasaran utama
pembangunan tidak lagi hanya pertumbuhan, tatapi juga kesejahteraan
masyarakat. Disamping itu, konsentrasi pembangunanjuga tidak hanya di
Jawa, tetapi juga di luar Jawa. Sejak itu perhatian mulai diberikan pada
usaha-usaha untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, misalnya
dengan mengembangkan industri-industri yang padat karya dan sektor
pertanian.
Pada awal proses pembangunan, ketimpangan dalam distribusi
pendapatan naik sebagai akibat dari proses urbanisasi dan industrialisasi dan
pada akhir proses pembangunan ketimpangan menurun, yakni pada saat
sektor industri di daerah perkotaan sudah dapat menyerap sebagian besar
dari tenaga kerja yang datang dari pedesaan (sektor pertanian) atau pada saat
pangsa pertanian lebih kecil di dalam produksi dan penciptaan pendapatan.
Jadi, hipotesis tingkat kesenjangan pendapatan didasarkan pada argumentasi
teori dari Lewis mengenai perpindahan penduduk dari pedesaan (sektor
pertanian) ke perkotaan (sektor industri). Daerah pedesaan yang sangat
padat jumlah penduduknya mengakibatkan tingkat upah di sektor pertanian
sangat rendah (sedangkan di daerah perkotaan tingkat upah relatif tinggi
karena jumlah pendudukya atau tenaga kerjanya relatif sedikit) dan
membuat suplai tenaga kerja dari sektor tersebut ke sektor industri tidak
terbatas. Proses perpindahan tenaga kerja ini terus berlangsung dan pada
fase terakhir, pada saat sebagian besar tenaga kerja yang berasal dari sektor
pertanian telah diserap oleh sektor industri, perbedaan pendapatan per kapita
antara di pedesaan dan perkotaan menjadi kecil atau tidak ada lagi.
Dampak positif dari proses pembangunan ekonomi nasional. Dampak
tersebut bisa dalam beragam bentuk, yaitu:
a. Semakin banyak kegiatan-kegiatan ekonomi di pedesaan di luar
sektor pertanian, seperti industri manufaktur (kebanyakan dalam
skala kecil atau industri rumah tangga), perdagangan,
perbengkelan, bangunan, dan jasa lainnya. Diversifikasi ekonomi
8

pedesaan ini tentu menambah jumlah kesempatan kerja di


pedesaan dan juga menambah pendapatan petani.
b. Tingkat produktivitas dan pendapatan (dalam nilai riil) tenaga
kerja di sektor pertanian meningkat, bukan saja akibat arus
manusia dari sektor tersebut ke sektor-sektor lainnya di perkotaan
(seperti di dalam teori A.Lewis), tetapi juga akibat penerapan /
pemakaian teknologi baru dan penggunaan input-input yang lebih
baik, misalnya pupuk hasil pabrik, dan permintaan pasar domestik
dan ekspor terhadap komoditas-komoditas pertanian meningkat.
c. Potensi sumber daya alam (SDA) yang ada di daerah pedesaan
semakin baik dimanfaatkan oleh penduduk desa (pemakaian
semakin optimal).

D. Sektor Industri
Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) Tahun 1988 meng-
amanatkan amanatkan bahwa pembangunan sektor industri harus mampu
mem-bawa perubahan-perubahan fundamental dalam struktur ekonomi
Indonesia sehingga produksi nasional yang berasal dari sek- tor-sektor
di luar pertanian menjadi bagian yang semakin besar. Selanjutnya
digariskan pula bahwa pembangunan industri sekaligus harus dapat
mendorong terwujudnya struktur ekonomi yang semakin seimbang
dengan sektor industri yang maju dan didukung oleh sektor pertanian
yang tangguh.

Didasarkan pada arah dan kebijaksanaan tersebut, maka


pembangunan sektor industri dalam Repelita V diarahkan pada
peningkatan pengembangan sektor industri sebagai penggerak utama
pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja baru, sumber
peningkatan ekspor dan penghematan devisa, penunjang pembangunan
daerah, penunjang pembangunan sektor-sektor lain-nya serta sekaligus
sebagai wahana pengembangan dan penguasa- an teknologi. Hal ini
berarti bahwa pembangunan industri dalam Repelita V harus dapat
mendorong industri menjadi lebih efisien dan peranannya dalam
9

perekonomian nasional semakin meningkat baik dari segi nilai tambah


maupun lapangan kerja. Untuk itu kebijaksanaan pembangunan industri
yang ditempuh adalah dengan mengupayakan secara terus-menerus
promosi industri-industri yang dapat tumbuh dan berkembang secara
efisien dan kompetitif dengan hasil produk yang semakin ber- mutu
dengan memanfaatkan sebaik-baiknya sumber daya manusia, sumber daya
alam dan energi, sumber dana dan teknologi serta dengan tetap
memperhatikan kelestarian lingkungan. Pengembangannya diutamakan
pada industri-industri yang memiliki daya saing yang kuat.

Berdasarkan arah dan kebijaksanaan pembangunan sektor industri


tersebut, langkah-langkah prioritas pengembangan sektor industri yang
dilaksanakan dan dimantapkan dalam Repelita V meliputi:
1. pengembangan industri yang berorientasi ekspor;
2. Penguat dan pendalaman struktur industri;
3. Pengembngan industri kecil;
4. Pengembangan industri pengolahan hasil pertanian;
5. Peningkatan penguasaan teknologi dan kemampuan inovasi;
6. Pengembangan tenaga profesi dan wirausaha industri.

Langkah-langkah prioritas tersebut pada hakekatnya tidaklah


merupakan langkah yang terpisah satu dengan lainnya. Keterkaitan antara
langkah yang satu dan lainnya sangat diperlukan untuk memantapkan
pelaksanaan kebijaksanaan industrialisasi dan memacu peningkatan
kegiatan dunia usaha sebagai pelaku utama pengembangan sektor
industri.

Dari sejarah tampak bahwa industrialisasi merupakan suatu proses


interaksi antara pengembangan teknologi, inovasi, spesialisasi, dan
perdagangan antarnegara yang pada akhirnya sejalan dengan meningkatnya
pendapatan masyarakat mendorong perubahan struktur ekonomi.
Walaupun penting bagi kelangsungan pertumbuhan ekonomi yang
tinggi dan stabil, industrialisasi bukanlah merupakan tujuan akhir,
10

melainkan hanya merupakan salah satu strategi yang harus ditempuh untuk
mendukug proses pembangunan ekonomi guna mencapai tingkat
pendapatan per kapita yang tinggi (Riedel, 1992). Meskipun pelaksanaannya
sangat bervariasi antarnegara, periode industrialisasi merupakan tahapan
logis dalam proses perubahan struktur ekonomi. Tahapan ini diwujudkan
secara historis melalui kenaikan kontribusi sektor industri manufaktur dalam
permintaan konsumen, produksi, ekspor, dan kesempatan kerja (Chenery,
1992).
Pangsa ekspor manufaktur dari total ekspor juga dapat digunakan
sebagai salah satu alat untuk mengukur tingkat pembangunan industri
manufaktur. Semakin maju industri manufaktur semakin dominan ekspor
produk-produk dari sektor tersebut di dalam total ekspor.
Selama periode 1965-1995, laju pertumbuhan nilai tambah dari industri
manufaktur lebih tinggi daripada laju pertumbuhan nilai tambah dari
pertanian sehingga akhirnya pangsanya melampaui pangsa pertanian.
Struktur industri manufaktur erat kaitannya dengan tiga hal, yakni tingkat
diversifikasi produk, intensitas pemakaian faktor-faktor produksi (termasuk
sumber daya alam), dan orientasi pasar.
Selama pemerintahan orde baru hingga saat ini Indonesia selain
mengalami perubahan struktur ekonomi yang cukup pesat, di sektor industri
manufakturnya sendiri juga terjadi transformasi atau pendalaman struktur
atau diversifikasi industri yang cukup mengesankan. Banyak indikator yang
dapat digunakan untuk menganalisis proses atau tingkat pendalaman
struktur industri, di antaranya adalah nilai output (NO) atau nilai tambah
(NT) per subsektor atau kelompok industri, atau dalam nilai relatif, yakni
pangsa output per subsektor dalam pembentukan total NO/NT dari industri
manufaktur.
Perbedaan pangsa output/NT industri manufaktur antarsubsektor
disebabkan oleh faktor-faktor yang memang berbeda menurut kelompok
industri, yang sifatnya bisa internal atau eksternal. Faktor internal di
antaranya adalah jenis teknologi dan bahan baku yang digunakan, sumber
daya manusia yang tersedia, proses produksi, pola manajemen,dan kendala-
kendala internal yang ada. Sedangkan faktor-faktor ekternal di antaranya
11

yang sangat penting adalah jenis atau karakteristik pasar yang dilayani
(misalnya pembeli menurut kelompok pendapatan dan bentuk serta tingkat
persaingan). Semua faktor ini memang berbeda sesuai dengan perbedaan
karakteristik atau jenis dari produk yang dibuat.

E. Sektor pertanian
1. Kontribusi Produk
Laju paling tinggi dari penurunan pentingnya sektor pertanian secara
relative di dalam ekonomi cenderung berasosiasi dengan kombinasi dari tiga
hal, yakni pangsa awal dari output sektor-sektor nonpertanian yang relative
lebih tinggi daripada pangsa awal dari output pertanian, laju pertumbuhan
output pertanian yang relatif rendah, dan laju pertumbuhan output sektor-
sektor nonpertanian yang relatif tinggi (yang membuat suatu perbedaan
positif yang besar antara pangsa output nonpertanian dan pangsa output
pertanian).
Di dalam sistem ekonomi terbuka, besarnya kontribusi produk dari
sektor pertanian, baik lewat pasar maupun lewat keterkaitan produksi
dengan sektor-sektor nonpertanian, misalnya industri manufaktur, juga
sangat dipengaruhi oleh kesiapan sektor itu sendiri dalam menghadapi
persaingan dari luar (tingkat daya saingnya). Dari sisi pasar, kasus Indonesia
menunjukkan bahwa pasar domestik didominasi oleh berbagai produk
pertanian dari luar negeri, mulai dari beras, buah-buahan, sayuran, hingga
daging. Dari sisi keterkaitan produksi, kasus Indonesia menunjukkan bahwa
banyak industri, seperti industri minyak kelapa sawit (CPO) dan industri
barang-barang dari kayu dan rotan, sering mengalami kesulitan
mendapatkan bahan baku di dalam negeri karena komoditi-komoditi
tersebut di ekspor dengan harga jual di pasar luar negeri jauh lebih mahal
daripada di jual ke industri-industri tersebut.
2.Kontribusi Pasar
Negara agraris dengan proporsi populasi pertanian (petani dan
keluarganya) yang besar, seperti Indonesia, merupakan sumber yang sangat
penting bahi pertumbuhan pasar domestik bagi sektor-sektor nonpertanian,
khususnya industri manufaktur. Pengeluaran petani untuk produk-produk
12

industri, baik barang-barang konsumsi (pakaian, mebel, alat-alat bangunan,


dan peralatan rumah tangga) maupun barang-barang produsen ( pupuk,
pestisida, alat-alat pertanian), memperlihatkan satu aspek kontribusi pasar
dari sektor pertanian terhadap pembangunan ekonomi (melalui diversifikasi
sektoral).
3.Kontribusi Faktor-faktor Produksi
Ada dua faktor produksi yang dapat dialihkan dari sektor pertanian ke
sektor industri, tanpa harus menurangi volume produksi (produktivitas) di
sektor pertanian, yaitu:
1. Tenaga kerja.
Pada saat pertanian mengalami surplus tenaga kerja ( di mana
marjinal produk dari tenaga kerja mendekati atau sama dengan nol) yang
menyebabkan tingkat produktivitas dan pendapatan riil per pekerja di sektor
tersebut rendah, akan terjadi transfer tenaga kerja dari sektor pertanian ke
sektor industri. Sebagai dampaknya, kapasitas dan volume produksi di
sektor industri meningkat.
2. Modal.
Market surplus (MS) di sektor pertanian bisa menjadi salah satu
sumber modal bagi investasi di sektor-sektor lain. Untuk mendapatkan
market surplus, kinerja sektor pertanian itu sendiri harus baik, dalam arti
bisa menghasilkan surplus. Faktor ini sangat ditentukan oleh kekuatan sisi
suplainya (teknologi, infrastruktur, dan sumber daya manusia) dan dari sisi
permintaan (pasar) oleh nilai tukar antara produk pertanian dan produk
industri, baik di pasar dalam negeri maupun luar negeri.
Selain itu, juga harus ada mekanisme yang well-developed yang
menciptakan atau menjamin free market transfer dari modal di sektor
pertanian ke sektor-sektor industri. Mekanisme ini sangat dipengaruhi antara
lain oleh pembangunan sektor perbankan dan pasar modal yang baik dan
kebijakan moneter yang kondusif sehingga tidak menimbulkan distorsi di
pasar uang / modal yang dapat menghambat kelancaran arus investasi antar
sektor atau yang dapat mengakibatkan pelarian modal ke luar negeri.
Di Indonesia investment linkage antara pertanian dan industri sangat
perlu ditingkatkan, terutama untuk mengurangi ketergantungan Indonesia
13

pada pinjaman luar negeri (ULN). Namun, agar peranan sektor pertanian
dapat direalisasikan, ada beberapa kondisi yang harus terpenuhi terlebih
dahulu. Pertama, petani-petani harus menjual sebagian dari output-nya ke
luar sektornya atau dengan perkataan lainharus ada market surplus dari
produk pertanian. Kedua, petani-petani harus merupakan net savers, yakni
pengeluaran mereka untuk konsumsi harus lebih kecil daripada produksi
mereka. Ketiga, tabungan para petani harus lebih besar daripada kebutuhan
investasi di sektor pertanian.

F. Keterkaitan Pertanian dengan Industri


Salah satu penyebab krisis ekonomi di Indonesia adalah karena
kesalahan industrialisasi selama pemerintahan orde baru yang tidak berbasis
pada pertanian. Selama krisis juga terbukti bahwa sektor pertanian masih
mampu mengalami laju pertumbuhan yang positif, walaupun dalam
persentase yang kecil, sedangkan sektor industri mengalami laju
pertumbuhan yang negatif di atas satu digit.
Dalam PJP I, pembangunan pertanian mendapat prioritas utama dalam
pembangunan bidang ekonomi, sasaran pokoknya adalah swasembada beras.
Swasembada beras dapat dicapai pada tahun 1984, dan dapat dipertahankan
sampai sekarang. Keberhasilan ini telah mengubah posisi Indonesia dari
negara pengimpor beras terbesar di dunia dalam tahun 1970-an menjadi negara
yang berswasembada. Swasembada beras terwujud dengan berbagai
kebijaksanaan yang terpadu sehingga laju peningkatan produksi padi
melebihi laju, pertumbuhan penduduk.

Sejak tahun 1968 sampai dengan tahun 1992 berbagai hasil pertanian
penting juga mengalami peningkatan produksi. Kesemuanya telah membuat
meningkatnya pendapatan petani, dan berperan besar dalam menurunkan
kemiskinan. Peningkatan produksi pertanian dapat terwujud antara lain
karena dukungan prasarana pengairan yang makin luas. Pembangunan
prasarana pengairan mendapatkan prioritas yang tinggi dalam PJP I seiring
dengan prioritas yang diberikan pada pembangunan pertanian.
14

Dengan peningkatan produksi basil pertanian, sektor pertanian mengalami


pertumbuhan rata-rata 3,6 persen per tahun. Penyerapan tenaga kerja di sektor
ini meningkat dari 24,9 juta orang pada tahun 1969 menjadi 36,5 juta orang
pada tahun 1993. Pertumbuhan sektor pertanian yang cukup tinggi telah
disertai peningkatan produktivitas dan luas areal pertanian sehingga
meningkatkan kesejahteraan petani. Hal ini dicerminkan oleh
meningkatnya pendapatan dan kemampuan daya beli petani, termasuk
nelayan. Produk domestik bruto rill per tenaga kerja per tahun di
sektor pertanian meningkat dari sekitar Rp427.000 pada tahun 1971
menjadi Rp625.000 pada tahun 1990. Pembangunan pertanian juga
telah berperan dalam mengentaskan penduduk dari kemiskinan. Jumlah
penduduk miskin di perdesaan telah menurun dari 44,2 juta jiwa pada
tahun 1976 menjadi 17,8 juta jiwa pada tahun 1990.
Sementara itu, selama 25 tahun terakhir sektor industri
mengalami perkembangan yang sangat pesat. Antara tahun 1969 dan
tahun 1992, produksi sektor industri telah tumbuh dengan rata -rata
sekitar 12 persen per tahun. Pertumbuhan yang cepat ini telah
meningkatkan sumbangannya dalam produk domestik bruto (PDB)
dari 9,2 persen dalam tahun 1969 menjadi 21 persen dalam tahun
1992. Sementara itu, meskipun produksi pertanian juga terus
meningkat, sumbangan sektor pertanian dalam produksi nasional telah
menurun dari 49,3 persen dalam tahun 1969 menjadi 19,2 persen
dalam tahun 1992. Perkembangan ini menunjukkan prestasi yang
sangat berarti dan telah memperkukuh struktur ekonomi nasional.
Selama PJP I, industri telah dapat menghasilkan berbagai
kebutuhan pokok masyarakat seperti pangan, sandang, dan bahan
bangunan, serta menghasilkan sarana dan peralatan untuk keper luan
peningkatan produksi dan pengolahan hasil pertanian. Pada repelita
yang terakhir, industri lebih berkembang sehingga mampu
meningkatkan barang-barang modal yang canggih serta rancang
bangun dan perekayasaan. Pengembangan industri telah berhasil
mendorong perkembangan pesat dalam ekspor. Ekspor nonmigas
dalam lima tahun terakhir telah tumbuh dengan rata-rata sekitar 19,1
persen per tahun, dan khususnya industri pengolahan mening kat sekitar
15

21,1 persen. Sementara itu, industri kecil dan menengah juga


berkembang. Industri ini menyerap tenaga kerja yang banyak dan juga
merupakan penghasil devisa.

Ada beberapa alasan kenapa sektor pertanian yang kuat sangat


esensial dalam proses industrialisasi di Negara seperti Indonesia, yakni :
1. Sektor pertanian yang kuat berarti ketahanan pangan terjamin dan
ini merupakan salah satu prasyarat penting agar proses industrialisasi pada
khususnya dan pembangunan ekonomi pada umumnya bisa berlangsung
dengan baik.
2. Dari sisi permintaan agregat, pembangunan sektor pertanian yang
kuat membuat tingkat pendapatan riil per kapita di sektor tersebut tinggi yang
merupakan salah satu sumber permintaan terhadap barang-barang nonfood,
khususnya manufaktur (keterkaitan konsumsi atau pendapatan).
3. Dari sisi penawaran, sektor pertanian merupakan salah satu sumber
input bagi sektor industri yang mana Indonesia memiliki keunggulan
komparatif, misalnya industri makanan dan minuman, industri tekstil dan
pakaian jadi, industri kulit, dan sebagainya.
4. Masih dari sisi penawaran, pembangunan yang baik di sektor
pertanian bisa menghasilkan surplus di sektor tersebut dan ini bisa menjadi
sumber investasi di sektor industri, khususnya industri skala kecil di pedesaan
(keterkaitan investasi).
Keterkaitan antara sektor pertanian dan sektor industri terutama
didominasi oleh efek keterkaitan pendapatan, disusul kemudian oleh efek
keterkaitan produksi.
Tanpa suatu peningkatan output atau produktivitas di sektor pertanian,
sektor industri tidak dapat meningkatkan output-nya (atau pertumbuhan
yang tinggi akan sulit tercapai). Oleh karena itu, sektor pertanian
memainkan suatu peranan penting dalam pembangunan sektor industri di
suatu daerah. Sektor pertanian tepat dikatakan sebagai andalan
perekonomian nasional, yang berarti juga sebagai motor utama penggerak
sektor industri.
16

Di Indonesia data Input Output Table (IO) dari BPS menunjukkan


bahwa keterkaitan produksi antara sektor pertanian dan sektor industri
sangat lemah dan tingkat ketergantungan kedua sektor tersebut terhadap
impor barang-barang modal dan perantara sangat tinggi. Idealnya dan
memang harus menjadi pola industrialisasi di Indonesia, yakni keterkaitan
produksi yang kuat antara kedua sektor tersebut sehingga
ketergantungannya terhadap impor dapat dikurangi atau sama sekali
dihilangkan.

G. Kedudukan Sektor Pertanian Dalam Perekonomian


Ada beberapa alasan-alasan yang lebih rasional mengapa sektor
industri dianggap lebih penting untuk dikembangkan yaitu:
1. Karena penanaman modal di sektor pertanian dinilai kurang
menguntungkan.
2. Karena tekanan perkembangan penduduk yang terus menerus,maka
bidang ini akan makin terkena hokumhasil yang makin kecil
3. Bahwa sektor pertanian dianggap lambat pertumbuhannya
4. Disebabkan karena terdapatnya hambatan sosial dan institutional yang
sulit diubah
Di Negara-negara yang sektor pertaniannya sangat dominan, strategi
industrialisasi ini menimbulkan masalah. Dalam retorika atau rencana
pembangunan yang resmi. Mungkin saja sektor pertanian ditempatkan
sebagai prioritas. Dan ini mungki dibuktikan juga dengan adanya alokasi
anggaran yang cukup besar ke sektor pertanian. Namun dalam
kenyataannya atau dalam kebijaksanaan dan program yang benar-benar
dilaksanakan, sektor industri ternyata lebih diuntungkan,atau setidak-
tidaknya,sektor-sektor lain, khususnya pertanian dirugikan,secara sengaja
atau tidak, secara terang-terangan atau tersembunyi. Di sini sektor pertanian
juga dibangun, tapi diabdikan kepada tujuan industrialisasi. Kerap kali juga
nampak bahwa sektor pertanian memang dikurbankan untuk keperluan
pembangunan industri.
Dalam perdebatan teoritis mengenai strategi pembangunan memang
nampak adanya perbedaan pendapat antara mereka yang menganut doktrin
17

industri adalah kunci pembangunan ekonomi dengan mereka yang


berpendapat bahwa pembangunan pertanian harus diutamakan terlebih
dahulu sekurang-kurangnya menganjurkan bahwa hendaknya sektor
pertanian jangan diabaikan. Pendapat yang terakhir ini nampakya bersifat
defensive terhadap arus pandangan yang kuat untuk menempatkan
industrialisasi sebagai tema sentral pembangunan. Mereka pada umumnya
berusaha menonjolkan pentingya peranan sektor pertanian, atau
mengatakan bahwa sektor pertanian adalah fondasi bagi pembangunan
selanjutnya atau proses industrialisasi yang secara simultan dilaksanakan.
Tentu saja di antara dua pola pandangan itu terdapat pula pendapat yang
menginginkan adanya suatu strategi seimbang (balanced growth) antara
sektor pertanian dan sektor industri.
Tapi bagaimanapun juga sektor industri diutamakan, pembangunan
pertanian tak bisa diabaikan atau kurang diperhatikan. Jika sektor pertanian
di suatu Negara kurang penting artinya dalam perekonomian nasional,
dengan satu dan lain cara Negara yang bersangkutan pun akan bergantung
pada hasil pembangunan pertanian dari Negara-negara lain. Di Indonesia,
bidang pertanian menduduki posisi yang penting, bukan saja karena sekitar
59% penduduk Indonesia masih bekerja di sektor ini, tetapi juga pada tahun
1979 itu bidang pertanian masih menyumbang bagian yang cukup besar
dari pendapatan nasional, yaitu sekitar 30%. Oleh karena itu di Indonesia,
bidang pertanian diletakkan pada prioritas utama dalam strategi
pembangunannya.
18

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sesuai dengan Pola Umum Pembangunan Jangka Panjang per-tama, maka
dalam Repelita V prioritas diletakkan pada pem-bangunan ekonomi dengan titik
berat pada sektor pertanian untuk memantapkan swasembada pangan dan
meningkatkan produksi hasil pertanian lainnya,, serta pada sektor industri, khusus-
nya industri yang menghasilkan untuk ekspor, industri yang banyak menyerap
tenaga kerja, industri pengolahan hasil per-tanian, serta industri yang dapat
menghasilkan mesin-mesin industri. Semua itu adalah dalam rangka mewujudkan
struktur ekonomi yang seimbang antara industri dan pertanian, baik dari segi nilai
tambah maupun dari segi penyerapan tenaga kerja.

B. Saran
Sektor industri harus diutakan terlebih dahulu sekurang-kurangnya
menganjurkan bahwa hendaknya sektor pertanian tidak diabaikan. Jadi, agar
adanya suatu strategi seimbang antara sektor pertanian dan sektor industri

DAFTAR PUSTAKA

Sumodiningrat, Gunawan. 2000. Pembangunan Ekonomi Melalui Pengembangan Pertanian.


PT Bina Rena Pariwara.
Tambunan,Tulus T.H. 2001. Perekonomian Indonesia.Jakarta:Ghalia Indonesia.
19

Rahardjo, M.Dawam.1986.Transformasi Pertanian,Industrialisasi dan Kesempatan


Kerja. Jakarta:Universitas Indonesia.

Subandi. Sistem Ekonomi Indonesia. Bandung: Penerbit Alfabeta.

Arysad, Lincoln. 2005. Ekonomi Pembangunan. Edisi ke-4. Yogyakarta: Bagian


Penerbit STIE YKPN.

Basri, Faisal. 2002. Perekonomian Indonesia, Tantangan dan Harapan Bagi


Kebangkitan Ekonomi Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Erlangga.

Samuelson dan Nordhaus. Makroekonomi. Edisi ke-14. Jakarta: Erlangga.

Nanga, Muana. 2005. Makro Ekonomi Teori, Masalah, dan Kebijakan. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada.

Anda mungkin juga menyukai