Anda di halaman 1dari 5

PERTUMBUHAN EKONOMI

Sumber-sumber Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi dapat


bersumber dari : Pertumbuhan sisi permintaan agregat (AD). Jika terjadi
pertumbuhan, maka kurva AD bergeser ke kanan. Sisi AD terdiri dari : C, I, G dan
ekspor netto (X - M). Atau Y = C + I + G + X-M jika Y meningkat maka permintaan
agregat akan semakin besar.
Pertumbuhan dari sisi penawaran agregat (AS). Pertumbuhan ini dipengaruhi
oleh peningkatan volume dari faktor-faktor produksi yang digunakan. Pertumbuhan
juga didorong oleh peningkatan produktivitas dari faktor-faktor tersebut.
Hubungan antara output dengan faktor produksi adalah : Q = f (X1, X2, X3,
.Xn) dimana, Q = volume output, dan X1, X2,Xn = volume faktor-faktor produksi
yang digunakan untuk menghasilkan output.
Faktor-faktor yang memengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia, yaitu :
a.
Faktor Internal, yaitu :
Faktor internal ekonomi : kondisi fundamental ekonomi seperti perkembangan inflasi,
jumlah cadangan devisa, kondisi sektor perbankan, realisasi RAPBN, kebijakan
ekonomi pemerintah di bidang fiskal dan moneter serta perkembangan ekspor
nasional.
Faktor internal nonekonomi : kondisi politik dan sosial, keamanan, dan hukum
(berkaitan dengan kepastian hukum di bidang kegiatan bisnis dan pelaksanaan
otonomi daerah)
b. Faktor eksternal : Prospek perekonomian dan perdagangan dunia, Kondisi politik
global

Perubahan Struktur Ekonomi


Perubahan Struktur Ekonomi Pembangunan ekonomi jangka panjang dengan
pertumbuhan PDB atau PN akan membawa suatu perubahan mendasar dalam
struktur ekonomi, dari ekonomi tradisional dengan pertanian sebagai sektor utama
ke ekonomi modern yang didominasi oleh sektor-sektor nonprimer, khususnya
industri manufaktur dengan increasing return to scale (relasi positif antara
pertumbuhan output dan pertumbuhan produktivitas ) yang dinamis sebagai motor
utama penggerak pertumbuhan ekonomi (Weiss, 1988).
Ada kecendrungan (dapat dilihat sebagai suatu hipotesis) bahwa semakin
tinggi laju pertumbuhan ekonomi yang membuat semakin tinggi pendapatan
masyarakat per kapita, semakin cepat perubahan struktur ekonomi dengan asumsi
faktor-faktor penentu lain mendukung proses tersebut, seperti tenaga kerja, bahan
baku, dan teknologi tersedia.
Menurut Kuznets, perubahan struktur ekonomi umumnya disebut transformasi
struktural. Didefinisikan sebagai suatu rangkaian perubahan yang saling terkait satu
dengan lainnya dalam komposisi Aggregate Demand (AD) , perdagangan luar negeri
(ekspor impor), Aggregate Supply (AS) atau produksi dan penggunaan faktor-faktor
produksi yang diperlukan guna mendukung proses pembangunan dan pertumbuhan
ekonomi yang berkelanjutan (Chenery, 1979).

Transformasi struktural dapat dilihat pada perubahan pangsa Nilai Output


(NO) atau Nilai Tambah Bruto (NTB) dari setiap sektor di dalam pembentukan PDB
atau PNB atau PN. Berdasarkan hasil studi Chenery dan Syrquin, perubahan
pangsa dalam periode jangka panjang menunjukkan suatu pola dimana kontribusi
sektor primer semakin turun dan sektor sekunder dan tersier semakin meningkat.
Kontribusi output dari pertanian (sektor primer) terhadap pembentukan PDB
mengecil, sedangkan pangsa PDB dari industri manufaktur dan jasa (sektor
sekunder dan tersier) mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan PDB atau
PN per kapita. Pangsa output sektoral thd PDB Tersier Sekunder Primer Waktu
Perubahan Struktur Ekonomi
Indikator lain yang digunakan dalam studi-studi empiris untuk mengukur pola
perubahan struktur ekonomi adalah : distribusi kesempatan kerja menurut sektor.
Pada tingkat pendapatan rendah (tahap awal pembangunan ekonomi), sektor-sektor
primer merupakan kontributor terbesar dalam penyerapan tenaga kerja. Pada tingkat
pendapatan per kapita yang tinggi (tahap akhir) sektor-sektor sekunder terutama
industri menjadi sangat penting dalam penyediaan kesempatan kerja.
Di dalam kelompok negara-negara sedang berkembang (Low Developing
Countries (LDCs), banyak negara yang juga mengalami transisi ekonomi yang pesat
dalam 30 tahun terakhir, meskipun pola dan prosesnya berbeda antarnegara.
Variasi tersebut disebabkan oleh :
Kondisi dan struktur awal ekonomi dalam negeri (basis ekonomi). Jika suatu negara
awalnya sudah memiliki basis industri dasar (mesin, baja, dsb.) yang relatif kuat,
maka akan mengalami proses indutrialisasi yang lebih pesat/cepat dibandingkan
negara yang hanya memiliki industri ringan (tekstil, pakaian, alas kaki, dsb.)
Besarnya pangsa dalam negeri (kombinasi jumlah populasi dan tingkat pendapatan
riil per kapita). Pola distribusi pendapatan. Jika pendapatan per kapita meningkat
pesat namun tidak diiringi dengan distribusi yang relatif merata, maka kenaikan
pendapatan tersebut tidak terlalu berarti bagi pertumbuhan industri-industri
Karakteristik dari industrialisasi.
Misalnya cara pelaksanaan atau strategi pengembangan industri yang diterapkan,
jenis industri yang diunggulkan, pola pembangunan industri, dan insentif yang
diberikan bagi pelaku di bidang industri.
Keberadaan SDA.
Ada kecenderungan bahwa negara yang kaya SDA justru mengalami pertumbuhan
ekonomi lebih rendah atau terlambat melakukan industrlalisasi atau tidak berhasil
melakukan diversifikasi ekonomi (perubahan struktur) dari pada negara miskin SDA.
Kebijakan perdagangan luar negeri.
Negara yang menerapkan kebijakan ekonomi tertutup (inward looking), memiliki pola
dan hasil industrilaisasi yang berbeda dibandingkan negara yang menerapkan
kebijakan terbuka (outward looking). Banyak negara berkembang seperti Indonesia
yang menerapakn kebijakan protektif terhadap sektor industrinya (kebijakan industri
substitusi impor/ISI).

Namun, hasilnya adalah sektor industrinya berkembang tidak efisien dan


memiliki tingkat diversifikasi rendah, khususnya lemah dalam kelompok industri
tengah (hollow midle industry). Sehingga lebih tepat dikatakan menerapkan sistem
produksi assembling. Kasus Perubahan Struktur Ekonomi Indonesia. Orde Baru
hingga sekarang dapat dikatakan terjadi perubahan struktur ekonomi cukup pesat.
Data BPS : 1970 : NTB sektor pertanian : 45% thd PDB, tahun 1990 tinggal 16
20% thd PDB. Ini menunjukkan penurunan pangsa pertanian dalam pembentukan
PDB.

KEMISKINAN
PENDAPATAN

DAN

KESENJANGAN

DISTRIBUSI

1. Permasalahan Pokok Masalah kesenjangan distribusi pendapatan dan tingkat


kemiskinan merupakan salah satu masalah di banyak negara berkembang (LDCs).
Kebijakan pembangunan ekonomi di Era Orde Baru yang hanya mengejar
pertumbuhan tanpa memperhatikan pemerataan hasil-hasil pembangunan telah
membawa dampak jumlah kemiskinan yang masih relatif besar hingga saat ini.
Trickle down effect (efek menetes) atau proses mengalir ke kalangan bawah dalam
menikmati hasil-hasil pembangunan selama Orde Baru belum dapat dirasakan
secara optimal.
2. Konsep dan Definisi
Ada dua pengertian kemiskinan, yaitu :
a) Kemiskinan Relatif, yaitu kemiskinan yang mengacu kepada garis kemiskinan.
Menurut Kemiskinan ini, ukuran kemiskinan adalah kesenjangan dalam distribusi
pendapatan.
b) Kemiskinan Absolut, yaitu kemiskinan yang paling bawah, di mana kebutuhankebutuhan minimum tidak dapat terpenuhi. Kebutuhan minimum dalam bentuk
kebutuhan kalori (makanan) ditambah nonmakanan yang sangat diperlukan untuk
bertahan hidup.Kemiskinan absolut juga disebut dengan kemiskinan ek
3. Pertumbuhan, Kesenjangan, dan Kemiskinan
Hubungan antara Pertumbuhan dan Kesenjangan :
Hipotesis Kuznets. Hipotesis Kuznets timbul setelah dia melakukan
penelitian di beberapa negara secara time series. Dari penelitian tersebut ditemukan
hubungan kesenjangan pendapatan dan tingkat pendapatan per kapita dalam kurva
yang berbentu huruf U terbalik. Kurva tersebut menggambarkan terjadinya evolusi
dari distribusi pendapatan dalam proses transisi dari ekonomi pedesaan (pertanian)
ke ekonomi perkotaan (industri).
Pada awal proses pembangunan, ketimpangan pendapatan bertambah besar
sebagai akibat dari proses urbanisasi dan industrialisasi. Namun setelah itu pada
tingkat pembangunan yang lebih tinggi atau akhir dari proses pembangunan,
ketimpangan menurun, dimana pada saat sektor industri di perkotaan sudah dapat
menyerap sebagian besar tenaga kerja yang dtg dr pedesaan (sektor pertanian)
atau pada saat kontribusi sektor pertanian semakin kecil dalam produksi dan
penciptaan lapangan kerja.

Periode Hipotesis Kuznets tersebut tidak selamnya benar, karena berdasarkan


penelitian empiris yang dilakukan peneliti lain, ternyata tidak hanya faktor
pertumbuhan ekonomi yang mempengaruhi ketimpangan distribusi pendapatan.
Faktor-faktor lain yang memengaruhi adalah tingkat pendidikan tenaga kerja,
struktur produksi suatu negara. Hal ini didasarkan pada penelitian yang dilakukan
oleh Bourguignon & Morisson (1990) serta Papanek dan Kyn (1986).
Hubungan antara Pertumbuhan dan Kemiskinan
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh antara pertumbuhan
output agregat atau PDB atau PN maupun pertumbuhan output sektoral terhadap
pengurangan jumlah orang miskin. Ravallion dan Datt (1996) di India : menemukan
bahwa pertumbuhan output di sektor-sektor primer (pertanian) jauh lebih efektif
terhadap penurunan kemiskinan dibandingkan sektor-sektor sekunder. Kakwani
(2001, Filipina) : peningkatan 1% output di sektor pertanian dapat mengurangi
jumlah org yg hidup di bwh garis kemiskinan sedikit di atas 1%. Sedangkan %
pertumbuhan yg sama di sektor industri dan jasa hanya mngakibatkan pengurangan
kemiskinan 0,25 0.3%.
Kakwani (2001, Filipina) : peningkatan 1% output di sektor pertanian dapat
mengurangi jumlah org yg hidup di bwh garis kemiskinan sedikit di atas 1%.
Sedangkan % pertumbuhan yg sama di sektor industri dan jasa hanya mngakibatkan
pengurangan kemiskinan 0,25 0.3%.
Hasan dan Quibra (2002), melakukan penelit di 45 negara Asia Timur & Sltn,
Amerika Latin, Karibian, dan Afrika Sub-Sahara mengemukakan model utk
mengukur relasi kemiskinan dan pertumbuhan sektoral : Ln P = a + b1LnY1 +
b2LY2 + b3LnY3 + u + R
di mana : P = kemiskinan : suatu fraksi/bagian dari jml populasi dg pengeluaran
konsumsi di bwh suatu tk pengeluaran min ttt yg telah ditetapkan sblmnya (grs
kemiskinan) Y = tingkat ouput per kapita di tiga sektor (pertanian, industri
pengolahan/manufaktur, dan jasa). u dan R = term kesalahan (standar error). Hasil
penelitian tsb menunjukkan bahwa : terdapat korelasi negatif antara tingkat
pendapatan dan kemiskinan. semakin tinggi tk pndptn /kapita, semakin rendah
kemiskinan, atau negara-negara dengan tingkat PN per kapita yg lbh tinggi
cenderung mempunyai tk kemiskinan yg lbh rendah dibandingkan negara-negara yg
tk PN/kapitanya lebih rendah.
Beberapa Indikator Kesenjangan dan Kemiskinan
Beberapa ukuran kemiskinan
Beberapa ukuran kemiskinan : BPS : mengukur kemiskinan dengan menggunakan
besarnya rupiah yang dibelanjakan untuk memenuhi kebutuhan makanan dan bukan
makanan. Untuk tahun 2004 batas miskin Rp 126.000,00 per kapita per bulan.
Sayogyo dan Sam F. Poli : garis kemiskinan ekuivalen dengan konsumsi beras per
kapita per tahun. Tahun 1994 : 240 kg/kapita untuk desa dan 360 kg/kapita untuk
kota.
Bank Dunia : menggunakan standar dolar AS untuk konsumsi bagi penduduk.
Batas miskin th 1980 : USD 75 (kota) dan USD 50 (desa). Garis kemiskinan utk wil

desa maupun kota, dan regional maupun nasional selalu berubah disesuaikan dg
kenaikan harga-harga (inflasi) dari barang kebutuhan pokok yg dikonsumsi masy.

Anda mungkin juga menyukai