Disusun oleh :
1. Triayu Beatric
2. Mekar Sari
3. Steven N. Karitos
4. Komang Tio
Dosen Pengampu :
Pdt. Tomson Saut Parulian Lumbantobing, M.Th
2022
BAB 1 PENDAHULUAN
Alkitab Perjanjian Baru yang diterima sekarang ini berjumlah 27 Kitab. Sebagaimana
dengan Perjanjian Lama, naskah dalam Perjanjian Baru ini ditulis oleh penulis yang
berbeda, di tempat yang berbeda, serta pada kurun waktu yang berbeda juga.
Terbentuknya Perjanjian Baru yang hari ini di tangan kita, sebenarnya telah melalui
proses dan seleksi perkamen-perkamen yang ditemukan.1
Berikut kita akan mempelajari lebih dalam mengenai sejarah kanonisasi Kitab
Perjanjian Baru.
1
Yunianto Yunianto and Hani Rohayani, ‘Alkitab Sebagai Buku Pegangan Orang Kristen
(Ketidakbersalahan Alkitab)’, Fidei: Jurnal Teologi Sistematika Dan Praktika, 4.1 (2021), 140–57
<https://doi.org/10.34081/fidei.v4i1.243>.
BAB II PEMBAHASAN
Berlainan dengan Nabi Muhammad, Yesus tidak pernah menulis atau me nyuruh-
tulis pengajaran-Nya. Pemberitaan tentang itu mula semata-mata berdasarkan
pengetahuan langsung ("penyaksi mata telinga") atau berdasarkan tradisi lisan. Hal
ini tidak berarti bahwa umat Kristen mula-mula tidak memiliki Kitab Suci. Dari
permulaan sudah ada Kitab Suci, yakni Per janjian Lama. Bukankah itu kitab Mesias?
Bukankah umat Kristen itu ada lah Israel yang sejati (1 Ptr. 2:9). Bahwa mereka
memakai Perjanjian La ma, itu tidak mereka rasakan selaku penyerobotan:
sebaliknya! Hanya merekalah yang tahu mempergunakannya dengan benar (2 Kor.
3:14 18)7. Jadi, Perjanjian Lama tetap merupakan Kitab Suci bagi umat Kristen.6
Yang paling tegas ialah 2 Ptr. 3:15-17: "hal itu dibuatnya dalam semua
suratnya" . Bahkan karangan Paulus sudah disebutkan bersama-sama dengan Kitab
Suci: "sama seperti yang juga mereka buat dengan tulisan tulisan yang lain" . Cuma
baiklah kesaksian surat ini ditinggalkan dulu sebab waktunya kurang pasti.
Masih adakah bahan-bahan lain yang dapat menolong kita, sehingga kita bisa
mengusut lebih lanjut soal pengumpulan surat-surat Paulus itu? Ada, tetapi samar-
samar: bila teori yang dipaparkan tentang bagian akhir Surat Roma itu tepat¹6, maka
Paulus sendirilah yang mengirim salinan Su rat Roma ke Efesus. Di Efesuslah Paulus
bekerja paling lama, dibandingkan dengan di segala jemaat lainnya. Pada tahun 115,
Ignatius menghubung kan jemaat Efesus erat-erat dengan Paulus, tetapi mengenai
Yohanes, di singgung pun tidak! Alamat Surat "Efesus" paling mudah diterangkan de
ngan dugaan bahwa surat edaran itu akhirnya disimpan di sana, sehingga waktu
dikumpulkan, surat yang tidak terang alamatnya itu, menerima nama saja dari tempat
penyimpanannya: Efesus.
Semuanya ini menuju pada kesimpulan: sudah segera surat-surat Paulus mulai
dikumpulkan. Pusat kegiatan itu di Asia, bahkan mungkin sekali di Efesus.
6
M.E. Duyverman, Pembimbing Ke Dalam Perjanjian Lama,(jakarta: PT.BPK Gunung Mulia, 2016). Hal
226
Surat-surat Paulus manakah yang digunakan? Semuanya. Berang sur-angsur
dalam pemakaian itu, surat-surat Paulus didampingi oleh "ki tab-kitab lain", yakni
kitab-kitab yang sudah diakui sebagai firman Allah. Untuk itu, tidak perlu sinode
resmi; ini pun terjadi "dengan sendirinya sama seperti pada Injil-injil; domba-domba
mendengar di dalamnya suara Gembala Hermas 18.
Kedua, perhatikanlah baik-baik bahwa karangan yang sudah disebut kan itu
agaknya baru dibaca dalam wilayah yang cukup luas, atau di pusat gereja yang
penting (Gembala Hermas di Roma), tetapi belum di seantero gereja.
Pada tahun 144 Marcion berpisah dari gereja. Kitab mana yang diakui aya
sudah disebutkan 19. Dalam arti yang terbatas, kita boleh mengatakan bahwa
Marcionlah yang pertama membentuk suatu kanon; dialah yang pertama
7
menyebutkan suatu daftar kitab-kitab yang diakuinya, dalam arti bahwa yang lain
ditolaknya. Tetapi, penentuan itu sama sekali tidak ada dasarnya dalam gereja.
Mengenai orang Montanis, tak ada catatan bahwa mereka mempergu nakan
kitab lain di samping yang sudah disebutkan: cuma mereka menga kui penuh nubuat
baru yang timbul di tengah-tengah mereka.
Dari aliran Valentinian suatu gerakan Gnostik kita mengetahui agak baik
buku-buku mana yang mereka pergunakan: di samping keempat Injil, Kisah Para
Rasul dan sekurang-kurangnya 7 surat Paulus 20 masih terdapat bekas-bekas Wahyu
7
M.E. Duyverman, Pembimbing Ke Dalam Perjanjian Lama,(jakarta: PT.BPK Gunung Mulia, 2016). Hal
227-232
Yohanes, 1 dan 2 Petrus (!), lagi pula Surat Ibrani. Tetapi, bukan itu saja! Masih
diakui pula Injil Kebenaran, Injil Petrus. Kisah Yohanes, Kisah Petrus21, Ireneus,
yang menentang mereka, menyebut kitab-kitab ini dalam karangannya juga sebagai
kitab-kitab yang tidak patut diterima.
Akhirnya, dalam Kanon Muratori itu diakui: keempat Injil, Kisah Para Rasul, surat-
surat Paulus, Yudas, 2 surat Yohanes (1 dan 2?), Hikmat Salomo(!); "juga Wahyu
Yohanes dan Petrus kami terima, yang beberapa di antara kami tidak setuju untuk
dibacakan di dalam gereja". Adakah itu mengenai kedua-duanya atau hanya Wahyu
Petrus? Entahlah! Gembala Hermas boleh dibaca, tetapi tidak dapat dipertahankan
dalam gereja umum, sebab baru saja dibuat, dan tidak ada tempatnya di antara nabi
nabi maupun rasul-rasul. Di samping itu beberapa kitab masih ditolak.Yang
mengherankan, kitab-kitab seperti Ibrani, 1 dan 2 Petrus, 3 Yohanes dan Yakobus
disebut pun tidak, padahal Ibrani dan 1 Petrus pastilah sudah dikenal di Roma pada
waktu itu. Sungguh mengherankan!
Dengan ini kita sudah meninjau pendirian beberapa pemuka gereja di Barat
(Ireneus, Kanon Muratori), Afrika Utara (Tertullianus) dan Mesir(Klemen). Agaknya
tidak salahlah anggapan bahwa mereka memantulkan kebiasaan gereja masing-
masing, cuma terhadap Klemen ada kesangsian seperti yang telah dinyatakan di atas.
Kita melihat bahwa kedudukan Yakobus dan 2 Petrus masih lemah pada masa itu.
Perhatikanlah juga bahwa Surat Ibrani justru di Roma dan di Barat, mungkin daerah
asalnya, tidak diakui; dukungan datang dari luar!
Pada permulaan fase ini, muncullah tokoh Origenes (182-254), ahli teologi
dari Iskandaria yang masyhur itu. Ia bukan saja seorang terpelajar, tetapi juga
pengunjung banyak negeri. Dan sudah sering perkunjungannya itu tampak
bermanfaat besar untuk ilmu teologi. Pada perkunjungannya ke Roma, Atena,
Kapadokia, Antiokhia, Palestina dan Arabia (hampir daerah gerejawi seluruhnya!) ia
mengumpulkan banyak bahan tentang pema kaian kitab-kitab gerejawi. Berdasarkan
bahan-bahan itu ia membuat daftar yang berikut:
B. Yang disangsikan ialah: Surat Ibrani, 2 Petrus, 2 dan 3 Yohanes, Yakobus, Yudas
dan (Injil Ibrani). 8
1. Yang diakui umumnya: keempat Injil, Kisah Para Rasul, 14 surat Paulus, 1
Petrus, 1 Yohanes dan "jika sudah nyata" Wahyu Yohanes.
2. 2 Yang disangsikan dibagi dua:
a. yang dikenal oleh banyak orang: Yakobus, Yudas, 2 Petrus, 2 dan 3 Yohanes;
b. yang tidak tulen: Kisah Paulus, Gembala Hermas, Wahyu Petrus, Barnabas,
Didakhe, dan "jika sudah nyata" Wahyu. Lagi, menurut separuh orang. "Injil Ibrani".
Selanjutnya masih disebutkan satu golongan "yang tidak masuk di akal dan
jahat", a.l. "Injil Petrus", "Injil Tomas", "Kisah Yohanes", dll. Dengan meninjau
daftar ini,kita melihat beberapa pergeseran diban dingkan dengan Origenes.
Kedua, sikap yang berlain-lainan terhadap Wahyu Yohanes. Sesudah kitab ini
diakui, boleh dikatakan secara umum, maka pada abad ketiga ia mulai dicurigai,
khususnya di bagian Timur. Pada waktu Origenes masih menyebutnya selaku kitab
yang umum diakui, Uskup Dionysius di Iskan daria (jadi juga di Mesir!) menyanggah
keasliannya. Pandangan Eusebius pribadi - sesuai dengan Gereja-gereja Yunani,
Siria, dll. - ialah bahwa kitab itu harus ditolak.
Dalam satu hal yang sangat penting, Eusebius menentang anggapan beber
gereja, yakni dengan menilai baik Surat-surat Katolik (Am): Ge reja Siria menolak
semua, sedangkan Gereja Antiokhia cuma menerima: Yakobus, 1 Petrus dan 1
Yohanes.
Kita balik ke Mesir. Pada tahun 367-jadi beberapa puluh tahun sesu dah
Eusebius - Uskup Athanasius dari Iskandaria menyusun dalam surat
penggembalaannya, buku-buku manakah yang boleh dibacakan. Tindakan ini
diambilnya melihat banyaknya kitab apokrif yang dipakai seoara tetap pada waktu
itu.9
9
M.E. Duyverman, Pembimbing Ke Dalam Perjanjian Lama,(jakarta: PT.BPK Gunung Mulia, 2016). Hal
235-236
2.3 Kanon Dan Konsili
A. Kanon
Istilah kanon berasal dari dunia Semit. Dalam bahasa Ibrani qaneh (band.
Yeheskiel 40:3) yang pada mulanya berarti alat peng ukur, kemudian dalam arti
kiasan yakni: peraturan. Kata ini men dapat tempat dalam bahasa gerejawi. Dalam
pada itu menunjuk kepada rumusan pengakuan iman atau ajaran gereja secara umum
Kemudian istilah tersebut mengacu kepada peraturan-peraturan gereja yang sifatnya
berbeda-beda dalam arti daftar atau rentetan Baru setelah abad 4 kata tersebut
diterapkan kepada Alkitab.
Pada pertengahan abad II, telah dibahas "kanon kebenaran" dan "kanon Iman"
yakni: ikrar atau pengakuan gereja resmi sehingga keputusan tersebut disebut canines
atau disebut juga dengan regula fidei. Di kalangan Gereja Roma Katolik, hukum
gereja disebut juga dengan: "Kanonik". Istilah "Kanon" sering juga berarti daftar
barang, daftar angka, daftar orang dan sebagainya. Akhirnya, arti ini menunjukkan
pada Kitab Suci, yakni: "Daftar kitab-kitab tertentu yang dihormati dan diakui gereja
sebagai firman Allah". Daftar kitab kitab yang dipakai oleh gereja dalam ibadahnya,
daftar kitab-kitab yang diakui gereja sebagai yang diilhamkan, yang menentukan bagi
iman dan praktik hidup."
10
10
Dr. R.M. Drie S. Brotosudarmo Pengantar Perjanjian baru (Andi, Yogyakarta:2017), 152-157
B. Konsili
1. Konsili Ekumenis
Konsili Ekumenis dalam Gereja Katolik dan Gereja Ortodoks Timur adalah
pertemuan seluruh uskup keseluruhan Gereja untuk membahas dan mengambil
keputusan yang menyangkut doktrin Gereja dan aturan praktisnya. Kata ekumene
bersumber dari bahasa Yunani Οικουμένη (oikumene), secara harfiah manfaatnya
'didiami' atau 'dihuni', bersumber dari istilah yang dipakai untuk menunjukkan
kawasan Kekaisaran Romawi, karena konsili-konsili yang pertama dilaksanakan
dalam teritori Kekaisaran Romawi. Kata ekumene selanjutnya mengalami perluasan
makna, menunjukkan seluruh tempat yang dihuni oleh umat manusia, dengan kata
lain, seluruh dunia.
2. Dokumen-dokumen konsili
Konsili Nicea berlangsung dua bulan duabelas hari. Konsili Nicea I sangat
istimewa. Konsili ini terjadi atas konvokasi dari St. Alexander, Uskup Alexandria.
Partisipan terdiri dari 300-an uskup (jumlah yang pasti sulit ditentukan mengingat
laporan yang berbeda dari Eusebius dan Athanasius tentang estimasi para peserta).
Uskup Cordova bertindak sebagai yang mewakili Paus Sylvester. Kaisar
Konstantinus juga hadir. Eusebius, sejarawan Gereja, melukiskan Konsili Nicea
merupakan konsili yang sangat besar mengingat para uskup di sekitar wilayah
Palestina, Mesir, Yunani dan sekitarnya hadir. Seringkali Konsili Nicea diadakan
untuk “menghukum” (anathema) kesesatan yang diajarkan oleh Arius. Tetapi tidak
hanya itu. Konsili ini juga dimaksudkan untuk upaya-upaya perdamaian yang pada
waktu itu sangat mahal karena perpecahan umat karena ajaran-ajaran bidaah yang
terjadi. Peritus dalam Konsili ini ialah St. Athanasius, Uskup Alexandria dan St.
Ephrem. Keduanya adalah doktor Gereja.
Dari Konsili ini kita mewarisi Credo Nicean, sekaligus melawan ajaran Arius
tentang kodrat keilahian Putera Allah (homoousios). St. Athanasius mengajukan
rumusan “Credo” yang menegaskan kodrat keilahian Kristus, dan dengan demikian
sekaligus melawan ajaran Arius yang memegang teguh bahwa Yesus hanya memiliki
satu kodrat, kemanusiaan saja. Rumusan iman ini hingga sekarang masih tetap
demikian adanya, dan diucapkan dalam Misa setiap hari minggu atau hari-hari raya.
Hadir dalam Konsili ini 150 uskup. Konsili dipanggil oleh Kaisar Theodosius I.
Konsili Konstantinopel I sering disebut sebagai Konsili Gereja Katolik Yunani.
Konsili ini dimaksudkan untuk melawan para pengikut Macedonius yang menisbikan
kodrat keilahian dari Roh Kudus. Credo yang dimiliki Gereja Katolik saat ini adalah
Credo (rumusan iman) produk dari Konsili Nicea dan Konstantinopel, yang di
dalamnya Roh Kudus dan Putera ditegaskan kodrat keilahiannya (qui simul adoratur).
Konsili ini dipimpin oleh St. Gregorius Nazianze, Uskup Konstantinopel dan St.
Sirilus dari Yerusalem. Dalam patristik Yunani, Konsili Konstantinopel dilaporkan
memproduksi 7 kanon penting. Tetapi dalam versi Latin, empat kanon, di antaranya
kanon ketiga berisi deklarasi bahwa Patriarch Konstantinopel merupakan “New
Rome” maka layak mendapat penghormatan keprimatan setelah Paus di Roma.
Konon Tradisi Gereja Latin tidak mengakui kanon ini sampai tahun 869 delegasi
Paus di Roma mengakui Konstantinopel sebagai primat kedua. Pengakuan ini akan
berlanjut Konsili Lateran IV (1215) dan Konsili di Florence (1439).
Lebih dari 200 uskup, Konsili ini dipimpin oleh St. Sirilus dari Alexandria,
mewakili Paus Celestinus I. Konsili mendefinisikan kesatuan personal Kristus,
mendeklarasikan Maria Bunda Allah (Theotokos) melawan Nestorius, Uskup
Konstantinopel, dan sekaligus menghukum Pelagius. Konsili ini juga melawan ajaran
Apollinarianisme yang mengajarkan kesesatan berkaitan dengan Yesus. Menurut
Apollinaris, Kristus tidak sungguh-sungguh manusia, Ia hanya memakai “pakaian”
tubuh manusia, tak memiliki “jiwa” manusia. Dalam Konsili ini, iman akan Kristus
ditegaskan sebagai sungguh-sungguh manusia.
4. KONSILI EKUMENIS IV : KALSEDON (451)
Kinsili Kalsedon diikuti oleh 150 uskup pada waktu jaman Paus Leo 1 ( Leo
Agung) dan Kaisar Marcianus. Konsili ini menegaskan dua Kodrat dalam diri Kristus.
Dan dengan demikian melawan Eutyches yang telah diekskomunikasikan, karena
mengajar kesesatan Monophysitim, yaitu bahwa Kristus hanya memiliki kodrat ilahi
saja.
5. KONSILI EKUMENIS V : KONSTANTINOPEL II (553)
Konsili Konstantinopel yang keempat ini diadakan pada waktu jaman Paus
Adrianus II dan Kaisar Basilius. Sejumlah 132 uskup dan 3 utusan Sri Paus, serta 4
Patriarch dalam konsili ini melawan konsili liar yang dibuat oleh Photius melawan
Paus Nikolas dan Ignatius (Uskup dan Patriarch Konstantinopel). Konsili ini
mengutuk Photius yang secara tak sah menjarah martabat ke-patriarch-an. Konsili ini
– bagaimanapun juga – menegaskan betapa skisma Photius sungguh mendominasi
Gereja Yunani. Dan, uniknya tidak pernah diadakan konsili di Gereja Timur untuk
melawan Photius.
9. KONSILI EKUMENIS IX : LATERAN I (1123)
Konsili Lateran I adalah konsili pertama yang diadakan di kota Roma, di
bawah Paus Callistus II. Partisipan sejumlah 900 uskup dan para abas (= pemimpin
biara). Konsili ini menghilangkan hak-hak yang diklaim para pangeran atau raja atas
benefisi kegerejaan. Konsili ini juga membahas disiplin dalam Gereja dan pemulihan
Tanah Suci (Yerusalem) dari para penyerang, kaum tidak beriman (infidels).
11
Seminarisantopetrusclaver.wordpress.com/info-seputar-gereja/daftar-konsili-gereja/
BAB II PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kanon bukanlah hasil penilaian sewenang-wenang siapa pun, juga bukan hasil
keputusan suatu konsili apa pun. Ia adalah hasil dari penggunaannya dalam pelbagai
tulisan yang membuktikan keunggulan serta keharmonisannya oleh daya penggerak
yang dikandungnya. Beberapa di antaranya lebih lambat memperoleh pengakuan oleh
karena isinya yang terlalu singkat, sifat tujuannya pribadi atau terpencil, atau nama
pengarangnya yang tidak jelas, atau isinya yang dirasa kurang dapat memenuhi
kebutuhan gereja yang mendesak. Tidak satu pun di antara faktor-faktor ini yang
mengurangi ilham dari kitab-kitab ini, atau membatalkan tempatnya dalam
keseluruhan firman Tuhan yang berkuasa.
DAFTAR PUSTAKA
6. Yunianto Yunianto and Hani Rohayani, ‘Alkitab Sebagai Buku Pegangan Orang
Kristen (Ketidakbersalahan Alkitab)’, Fidei: Jurnal Teologi Sistematika Dan
Praktika, 4.1 (2021), 140–57 <https://doi.org/10.34081/fidei.v4i1.243>.
7. Seminarisantopetrusclaver.wordpress.com/info-seputar-gereja/daftar-konsili-
gereja/