A. Mata Kuliah
B. Aktifitas
Berpartisipasi dan menganalsis proses distribusi dan service.
C. Penugasan
D. Kode penugasan
MOPM-05-5.1
E. Sub rotasi
F. Tanggal rotasi
A. Kajian Teori
Distribusi makanan dalam penyelenggaraan makanan adalah proses emindahkan
makanan dari ruang pemorsian/dapur ke tangan pasien/konsumen, pelaku dari proses
distribusi adalah petugas distribusi makanan (Arfiani et al., 2018). Pendistribusian
makanan juga diartikan sebagai suatu rangkaian kegiatan penyaluran makanan sesuai
dengan jumlah porsi dan jenis makanan pasien yang dilayani mulai dari makanan biasa
sampai dengan makanan khusus dan diet. Sistem distribusi makanan yang digunakan
bergantung pada jumlah tenaga, peralatan, jarak antara dapur pusat dan ruangan, kondisi
jalan, perlengkapan yang ada dan faktor lainnya (Kemenkes RI, 2013). Menurut Palacio and
Theis (2016), sistem pendistribusian makanan dibedakan menjadi 2, yaitu sentralisasi dan
desentralisasi. Sedangkan, menurut Kemenkes RI (2013), sistem distribusi makanan
dibedakan menjadi 3, yaitu sentralisasi, desentralisasi dan distribusi makanan kombinasi.
Berikut merupakan penjelasan dari beberapa sistem tersebut :
1. Distribusi makanan sentralisasi
Pada sistem sentralisasi, setelah makanan selesai diproduksi, makanan tersebut
kemudian diangkut menggunakan kereta ke unit layanan dan disajikan kepada pasien
(Palacio and Theis, 2016). Metode ini dilakukan dari ruang pemorsian atau dapur pusat ke
tangan pasien (Arfiani dkk., 2018). Berikut merupakan kelebihan dan kekurangan dari
sistem sentralisasi:
• Kelebihan: tenaga dan biaya lebih hemat; pengawasan dapat dilakukan dengan
mudah dan teliti; makanan dapat disampaikan langsung ke pasien dengan sedikit
kemungkinan kesalahan pemberian makanan; serta pekerjaan dapat dilakukanlebih
cepat.
• Kekurangan: membutuhkan waktu yang lama; memerlukan tempat, peralatan dan
perlengkapan makanan yang lebih banyak; adanya tambahan biaya untuk peralatan,
perlengkapan serta pemeliharaan, makanan sampai ke pasien sudah agak dingin; dan
makanan mungkin sudah tercampur serta kurang menarik, akibat perjalanan dari
ruang produksi ke ruang perawatan.
• Kelebihan: tidak memerlukan tempat yang luas, peralatan makan yang ada didapur
ruangan tidak banyak; makanan dapat dihangatkan kembali sebelum dihidangkan ke
pasien; kualitas makanan dapat dijaga dengan baik; dan makanan dapat disajikan
lebih rapi dan baik serta dengan porsi yang sesuai kebutuhan pasien.
• Kekurangan: membutuhkan energi yang lebih besar, memerlukan tenaga lebih banyak
di ruangan dan pengawasan menyeluruh yang agak sulit; makanan dapat rusak bila
petugas lupa untuk menghangatkan kembali; besar porsi sukar diawasi, khususnya
bagi pasien yang menjalankan diet; serta ruangan pasien dapat terganggu oleh
kebisingan pada saat pembagian makanan serta bau masakan.
3. Forecasting
Forecasting merupakan prediksi dari kebutuhan makanan dalam sehari atau dalam
periode tertentu. Forecasting dapat mencegah atau meminimalkan risiko terjadinya
overproduction atau underproduction jika dilakukan dengan akurat. Beberapa metode
forecasting, yaitu :
Ketepatan waktu pemberian makan dan ketepatan diet dapat dicapai dengan
menetapkan waktu makan serta melakukan identifikasi pasien. Ketepatan waktu
pemberian makanan ini penting bagi pasien karena sangat berkaitan erat dengan siklus
biologis manusia dan metabolisme tubuh. Menurut Kepmenkes Nomor 129 tahun 2008,
ketepatan waktu pemberian makan dan pemberian diet merupakan indikator dari Standar
Pelayanan Gizi. Standart yang masing-masing ditetapkan 100% artinya bahwa waktu
pemberian makan harus sesuai jadwal makan dan tidak ada kesalahan pemberian diet
(Depkes RI, 2008 dalam Kemenkes RI, 2013). berian makanan yang terlalu cepat dapat
menyebabkan pasien tidak segera memakannya karena merasa belum lapar sehingga
kemungkinan makanan tersebut akan mengalami penurunan suhu yang pada akhirnya
menyebabkan penurunan nafsu makan (Rosita., 2017). Ketepatan waktu distribusi
disesuaikan dengan Standar Prosedur Operasional (SPO). Ketepatan waktu distribusi ini
juga merupakan salah satu yang akan mempengaruhi kepuasan pasien terhadap
pelayanan gizi. (Kemenkes RI, 2013).
Holding time merupakan waktu tunggu makanan saat makanan selesai dimasak
hingga makanan dikonsumsi oleh konsumen. Waktu tunggu makanan bervariasi
bergantung pada jenis makanan dan suhu lingkungan atau ruangan. Makanan yang
dibiarkan terlalu lama di zona berbahaya dapat menyebabkan penyakit bawaan makanan.
Zona bahaya suhu makanan didefinisikan sebagai suhu antara 41 ° F (50 C) - 135 ° F (60C).
FDA merekomendasikan untuk tidak menahan makanan panas selama lebih dari 2 jam
pada suhu kamar, 50 ° F hingga 70 ° F (10 ° hingga 21 ° C), atau lebih dari satu jam ketika
suhu ruangan 90 ° F (32 ° C) karena tingkat bakteri berbahaya dapat tumbuh dengan cepat
(FDACS, 2016; FDA, 2017).
H. Rekomendasi Akhir
Berdasarkan dengan hasil analisis dan pengamatan yang dilakukan terkait dengan jalannya jadwal
pemorsian dan distribusi makanan pada unit instalasi gizi RSUD Sidoarjo, maka dapat
direkomendasikan beberaapa hal untuk menjadi bahan pertimbangan diantaranya :
a. Perlu dilakukan time manajemen yang tepat untuk taksiran perkiraan proses pengolahan hingga
selesai proses distribusi ke pasien dengan mempertimbangkan kesesuaian suhu, waktu makanan
diperjalanan sehingga tingkat keamanan makanan masih dapat dijaga kualitasnya, untuk jangka
panjang jika memungkinkan dibuat pengadaan trolley dengan fitur penghangat makanan, agar
suhu makanan saat diperjalanan hingga kepasien masih tetap stabil.
b. Terkait dengan taksiran jumlah pasien secara aktual, jika memungkinkan dapat menugaskan
petugas pramusaji sebelum jadwal distribusi berlangsung dapat melakukan pengecekan ke ruang-
ruang masing-masing untuk memastikan ketepatan jumlahnya.
c. Melakukan peningkatan pengawasan mutu oleh ahli gizi yang bertugas saat sebelum kegiatan
produksi berlangsung hingga ke pelaksanaan pemorsian dan distribusi, untuk menghindari
kesalahan atau ketidaktepatan diet maupun jumlah produksi, selain itu perlu adanya pencatatan
yang mencantumkan jumlah porsi makanan yang telah dilebihkan, dilakukan penentuan jumlah
total produksi ditambah dengan 10% kelebihan (spilling) untuk mengantisipasi terjadinya
kekurangan jumlah porsi atau lonjakan pasien.
I. Daftar Pustaka
Arimba Wani, Y., Tanuwijaya, L. K. and Arfiani, E. P. (2019) Manajemen Operasional Penyelenggaraan
Makanan Massal. Cetakan Pe. Edited by Tim UB Press. Malnag: UB Press.
Cahyaningrum, P. (2013) Hubungan mutu pelayanan gizi dengan kepuasan pasien di rumah sakit
panti waluyo surakarta. Universitas Muhammadiyah Surakarta.
FDA (2017) ‘Safe Food Handling: What You Need to Know’, United States Food and Drug
Administration, (March), pp. 1–2. Available at:
https://www.fda.gov/food/resourcesforyou/consumers/ucm255180.htm.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (2013) ‘Pedoman Pelayanan Gizi Rumah Sakit’, Pedoman
PGRS. Jakarta, pp. 1–165.
Payne-Palacio, J. and Theis, M. (2016) Foodservice Management : Principles and Practices. Edited by
D. Fox. England: Printed and bound by Vivar, Malaysia.
Wayansari, L., Anwar, I. Z. and Amri, Z. (2018) Bahan Ajar Gizi. Manajemen Sistem Penyelenggaraan
Makanan Institusi. Pertama. Edited by S. Suharmini. Jakarta: Kemenkes RI.