Anda di halaman 1dari 21

Hg hbuy

DAFTAR ISI
HALAMAN
SAMPUL.............................................................................................................................................i
KATA
PENGANTAR.............................................................................................................................................
ii
DAFTAR
ISI...........................................................................................................................................................iii
Bagian Satu
Pendahuluan........................................................................................................................................iv
BAB I KONSEP
HUKUM..........................................................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang Menegakkan Hukum..................................................................................................1
1.2 Pengertian Hukum................................................................................................................................2
1.2.1 Pengertian...................................................................................................................................2
1.2.2 Hukum dan Masyarakat..............................................................................................................4
1.3 Tujuan dan Fungsi Hukum...................................................................................................................5
1.4 Unsur-unsur Hukum.............................................................................................................................7
1.5 Jenis Hukum.........................................................................................................................................8
LATIHAN SOAL BAB
1.........................................................................................................................................8
BAB II SEJARAH, FAKTOR MEMPENGARUHI,
DINAMIKA..........................................................................9
2.1 Sejarah Hukum...................................................................................................................................11
2.1.1 Sejarah Hukum di Luar Negeri..................................................................................................11
2.1.2 Sejarah Hukum di Indonesia......................................................................................................15
2.2 Faktor Mempengaruhi Penegakan
Hukum.........................................................................................17
2.3 Kondisi Penegakan Hukum di
Indonesia............................................................................................22
2.4 Dinamika Pelanggaran Hukum..........................................................................................................23
LATIHAN SOAL BAB
2.......................................................................................................................................27
BAB III IMPLEMENTASI DAN
PARTISIPASI..................................................................................................28
3.1 Kasus Pelaksanaan dan Penegakkan Hukum di
Indonesia.................................................................28
3.1.1 Penyebab Permasalahan Hukum...............................................................................................28
3.1.2 Permasalahan Hukum yang Pernah Terjadi...............................................................................31
3.2 Implementasi Hukum.........................................................................................................................37
3.3 Peran Lembaga Hukum......................................................................................................................38
3.4 Partisipasi Masyarakat.......................................................................................................................42
KATA PENGATAR
1.1 Latar Belakang Masalah

Gender adalah perbedaan jenis kelamin berdasarkan budaya, di mana laki- laki dan perempuan
dibedakan sesuai dengan perannya masing-masing yang dikonstruksikan oleh kultur setempat
yang berkaitan dengan peran, sifat, kedudukan, dan posisi dalam masyarakat tersebut. Seks atau
jenis kelamin merupakan perbedaan antara laki-laki dengan perempuan berdasarkan ciri
biologisnya. Manusia yang berjenis kelamin laki-laki adalah manusia yang bercirikan memiliki
penis, memiliki jakala (kala menjing), dan memproduksi sperma. Perempuan memiliki alat
reproduksi seperti rahim dan saluran untuk melahirkan, memproduksi telur, memiliki vagina, dan
memiliki alat menyusui (Mansour Fakih, 2008: 8). Pembedaan laki-laki dengan perempuan
berdasarkan sex atau jenis kelamin merupakan suatu kodrat atau ketentuan dari Tuhan. Ciri-ciri
biologis yang melekat pada masing-masing jenis kelamin tidak dapat dipertukarkan. Alat-alat
yang dimiliki laki-laki maupun perempuan tidak akan pernah berubah atau bersifat permanen.
Dalam konsep gender, pembedaan antara laki-laki dengan perempuan berdasarkan konstruksi
secara sosial maupun budaya. Perilaku yang menjadi identitas laki-laki maupun perempuan
dibentuk melalui proses sosial dan budaya yang telah diperkenalkan sejak lahir. Ketika terlahir
bayi laki-laki maka orang tua akan mengecat kamar bayi dengan warna biru, dihiasi dengan
gambar mobil-mobilan dan pesawat, serta memberikannya mainan seperti

bola, robot-robotan, dan tamia. Apabila terlahir bayi perempuan maka orang tua akan mengecat
kamar bayinya dengan warna merah jambu, menghiasinya dengan gambar hello kitty, dan
menyiapkan boneka-boneka lucu untuk putrinya. Watak sosial budaya selalu mengalami
perubahan dalam sejarah, gender juga berubah dari waktu ke waktu, dari satu tempat ke tempat
lain. Sementara jenis kelamin sebagai kodrat Tuhan tidak mengalami perubahan dengan
konsekuensi-konsekuensi logisnya (Elfi Muawanah, 2009: 8).
Masyarakat menentukan dan membentuk sifat-sifat individu, yang mencakup penampilan,
pakaian, sikap, dan kepribadian. Jika ia seorang laki- laki maka ia harus terlihat maskulin dan
apabila ia perempuan maka ia harus feminim. Maskulinitas seorang laki-laki ditunjukkan dengan
karakter yang gagah berani, kuat, tangguh, pantang menyerah, egois, dan berpikir rasional.
Apabila sifat-sifat tersebut banyak ditinggalkan atau bahkan tidak dimiliki oleh seorang laki-laki,
maka ia akan dianggap sebagai laki-laki yang kebanci- bancian. Feminimitas seorang perempuan
ditunjukkan dengan karakter yang lembut, rendah hati, anggun, suka mengalah, keibuan, lemah,
dan dapat memahami kondisi orang lain. Apabila sifat-sifat positif ini banyak ditinggalkan oleh
seorang wanita, atau bahkan tidak dimilikinya, maka wanita yang bersangkutan dikatakan sebagai
wanita yang tidak menarik (Heniy Astiyanto, 2006: 310).
Sesungguhnya perbedaan gender tidak akan menjadi masalah selama tidak melahirkan
ketidakadilan gender, namun yang menjadi persoalan ternyata perbedaan gender telah
melahirkan berbagai ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki dan terutama terhadap kaum
perempuan (Mansour Fakih,

2008: 12). Ketidaksetaraan gender juga disebabkan oleh adanya sikap bias gender yang
didasarkan pengetahuan-pengetahuan masyarakat yang memiliki kecenderungan bersifat tidak
adil gender. Kultur sosial budaya yang ada menempatkan perempuan pada kelas kedua,
perempuan lebih banyak didominasi oleh kaum laki-laki. Budaya hegemoni patriarkhi
menempatkan laki-laki sebagai pemimpin dalam keluarga, organisasi, maupun politik, sehingga
partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan masih relatif rendah. Kurangnya
kesempatan yang dimiliki perempuan untuk ikut serta dalam pengambilan keputusan atau
bahkan menjadi pemimpin dari suatu organisasi, membuat perempuan lebih memilih bersikap
pasif.
Manifestasi ketidakadilan gender masih terjadi dalam setiap pengambilan keputusan,
kepengurusan, maupun kepemimpinan dalam Organisasi Himpunan Mahasiswa Mesin. Pengaruh
budaya patriarkhi yang menempatkan perempuan sebagai pengurus dan penanggung jawab
dalam pekerjaan domestik, membuat perempuan dalam organisasi cenderung ditunjuk sebagai
sie konsumsi, bendahara, sekretaris, dan posisi lain yang mengacu pada sektor domestik.
Kebijakan-kebijakan ini tentu dapat melanggengkan ketidaksetaraan gender dalam masyarakat
yang menganut hegemoni patriarkhi.
Dapur dan garasi memiliki konotasi gender yang kuat. Dapur ruang untuk mengolah makanan
sangat kuat asosiasinya dengan aktivitas feminim, sementara garasi ruang untuk menyimpan
kendaraan dengan aktivitas yang lebih maskulin (Irwan Abdullah, 1997: 145). Persepsi ini
memunculkan stereotipe terhadap beberapa jurusan yang sangat kental dengan identitas

gender, misalnya adanya pelabelan bahwa Jurusan Teknik Mesin untuk laki- laki sebab hal-hal
yang bersinggungan dengan mesin menunjukkan sifat maskulin, sedangkan Jurusan Tata Boga
untuk perempuan, sebab di Jurusan Tata Boga mengajarkan hal-hal yang berkaitan dengan dapur.
Kultur yang ada menganggap perempuan sebagai konco wingking, sehingga segala urusan yang
berkaitan dengan dapur merupakan hak dan kewajiban perempuan.
Seiring dengan perkembangan masyarakat yang memperjuangkan kesetaraan gender, beberapa
peran yang dilekatkan pada laki-laki dan perempuan telah dipertukarkan. Hal ini dapat dibuktikan
dengan cukup banyaknya kaum perempuan yang berani memasuki area maskulinitas dan berani
tampil di sektor publik. Tidak jarang pula kaum pria yang ikut mengerjakan tugas perempuan di
sektor domestik. Sejalan dengan pengarusutamaan gender, telah ada perempuan yang
mendalami ilmu permesinan dengan menjadi mahasiswa jurusan teknik mesin meski pun masih
dianggap tabu oleh kultur setempat, dan mereka merupakan kelompok minoritas dari total
keseluruhan mahasiswa di jurusan tersebut.
Organisasi kemahasiswaan sebagai wadah bagi aspirasi seluruh mahasiswa seharusnya netral
gender, tidak mengandung unsur hegemoni patriarkhi di mana laki-laki lebih dominan dalam
kepengurusan organisasi Kemahasiswaan Jurusan Teknik Mesin. Dibutuhkan usaha dari organisasi
itu sendiri melalui kebijakan-kebijakannya untuk menyetarakan peran gender dalam berbagai
aspek kepengurusan organisasi.
Menurut McDonald dalam Amin Abdullah (2004: 39), suatu organisasi atau institusi tidaklah
netral gender, karena mereka merupakan gambaran dari

lingkungan sosial budayanya ketika mereka dibangun. Dalam kepengurusan organisasi Himpunan
Mahasiswa Mesin FT UNY, sesungguhnya dalam aturan formal tidak ada pembedaan antara laki-
laki dan perempuan. Tetapi dalam aplikasinya masih ada beberapa kebijakan yang belum ramah
gender.
Lebih banyaknya jumlah mahasiswa laki-laki dari pada jumlah mahasiswa perempuan di Jurusan
Teknik Mesin, mendukung besarnya potensi adanya ketidaksetaraan gender dalam menjalankan
organisasi mereka. Perempuan masih distereotipkan tidak memiliki kemampuan dalam
memimpin seperti laki-laki. Perempuan ditempatkan di jabatan-jabatan yang tidak membutuhkan
tenaga dan tanggung jawab yang besar. Peneliti ingin melihat sejauh mana aplikasi kesetaraan
gender dalam kepengurusan Himpunan Mahasiswa Mesin Fakultas Teknik Universitas Negeri
Yogyakarta Periode 2012

1.2 RUMUSAN MASALAH


Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka teridentifikasi beberapa masalah, antara lain
adalah sebagai berikut,
1. Masih ada budaya hegemoni patriarkhi dalam kepengurusan organisasi
sejalan dengan perkembangan paradigma masyarakat menyangkut wacana
kesetaraan gender
2. Akses dan kesempatan yang diberikan kepada perempuan untuk
menduduki jabatan penting belum seimbang dengan yang diberikan kepada laki-laki
3. Banyaknya permasalahan Gender di masyarakat
4. Bentuk ketidakadilan gender di lingkungan sosial
5. Pentingnya peran masyarakat dalam kesetaraan gender
6.Kesetaraan gender diindonesia dalam bermasyarakat

BAB 1
1.1 Permasalahan gender merupakan masalah yang tidak ada habisnya. Banyak isu-isu yang
muncul kemudian tertuju pada kesetaraan gender yang dialami antara laki-laki dan perempuan.
Padahal sebetulnya kesetaraan gender ini bukan melulu pada perempuan dan laki-laki namun,
kesetaraan gender ini juga sebenarnya terjadi pada kelompok-kelompok rentan atau kelompok
minoritas.

“Kemunculaan persoalan gender ini muncul ketika pada abad ke-19 di Prancis, di mana ketika itu
upah yang didapat oleh laki dan perempuan saat bekerja sangat berbeda. Hal inilah yang
kemudian memunculkan ketidakadilan antara perempuan dan laki-laki. Selain itu faktor biologis
ini juga dijadikan sebagai titik tolak awal kemunculan gender,“ jelas Anggoro Budi Prasetya selaku
Direktur LSM Aksara yang ketika itu menjadi pembicara dalam acara diskusi terbuka dengan tema
““Menentang” Determinasi Biologis Pada Gender”, pada hari Selasa (27/5) di Taman Batu Gedung
D Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY).

Permasalahan gender seakan tidak ada habisnya. Banyak isu-isu yang muncul kemudian tertuju
pada kesetaraan gender yang dialami antara laki-laki dan perempuan. Padahal sebetulnya
kesetaraan gender ini tidak melulu tentang perempuan dan laki-laki, kesetaraan gender juga
sebenarnya terjadi pada kelompok-kelompok rentan atau kelompok minoritas. Kemunculan
persoalan gender ini muncul pada abad ke-19 di Prancis, ketika upah yang didapat oleh laki-laki
dan perempuan saat bekerja sangat berbeda. Hal inilah yang kemudian memunculkan
ketidakadilan antara perempuan dan laki-laki. Faktor biologis juga dijadikan sebagai titik tolak
awal kemunculan gender.

Berbagai usaha telah dilakukan, termasuk perubahan terhadap peran serta perempuan di segala
bidang kehidupan. Namun tidak dapat dipungkiri, kesetaraan gender yang diharapkan terjadi
belum sepenuhnya tercapai. Kesenjangan gender tampak masih terjadi di berbagai bidang
pembangunan, misalnya di bidang pendidikan, kesehatan, politik, dan di bidang pemerintahan.

Gender merupakan konstruksi sosial tentang bagaimana menjadi laki-laki dan perempuan
sebagaimana tuntutan masyarakat. Gender erat kaitannya dengan pembagian peran, kedudukan
dan tugas antara laki-laki dan perempuan yang ditetapkan oleh masyarakat berdasarkan sifat
yang dianggap pantas bagi laki-laki dan perempuan menurut norma, adat, kepercayaan dan
kebiasaan masyarakat. Ketika konstruksi sosial itu kemudian dihayati sebagai sesuatu yang tidak
boleh diubah karena ‘dianggap’ kodrati dan alamiah.

Banyak upaya telah dilakukan oleh berbagai lembaga untuk meningkatkan peran serta
perempuan, bahkan lembaga negara sejak awal secara eksplisit telah menjamin persamaan hak
dan kedudukan setiap warga negara, untuk laki-laki dan perempuan. Dalam konstitusi dasar
negara UUD 1945, telah dikemukakan dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 jaminan negara atas
persamaan hak bagi setiap warga dalam hukum dan pemerintahan, pekerjaan dan penghidupan
yang layak pada Pasal 27 ayat (2), usaha bela negara pada Pasal 30 dan memperoleh pendidikan
pada Pasal 31. Pemerintah Indonesia juga telah meratifikasi berbagai konvensi dunia dan
menandatangani sejumlah deklarasi internasional berkaitan dengan persamaan hak antara laki-
laki dan perempuan.

Jaminan konstitusi dan berbagai kebijakan formal tidak dengan sendirinya dapat mewujudkan
kesetaraan dan keadilan gender itu sendiri. Kita masih melihat bentuk ketimpangan gender pada
berbagai aspek kehidupan. Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengukur
kesenjangan ini adalah Gender Empowerment Measurement (GEM) dan Genderrelated
Development Index (GDI) yang merupakan bagian tak terpisahkan dari Human Development
Index.

Harapan ke depan, seiring berjalannya waktu dan perubahan budaya maka mindset masyarakat
juga harus bisa berubah. Dari anggapan ‘perempuan itu lemah dan hanya mengurus domestik’
sedangkan ‘laki-laki berurusan pada publik’ menjadi mengerti bahwa memasak dan mengurus
anak itu adalah keterampilan, bukan kodrat. Dalam urusan rumah tanggapun, antara suami dan
istri itu harus bisa saling membantu satu sama lain. Tak ada lagi pandangan ‘aneh’ tentang suami
yang pergi membeli beras di pasar. Budaya dan pola pikir inilah yang harus kita terapkan, dari hal
kecil agar terbiasa dengan perubahan yang lebih besar. Dengan begitu, laki-laki dan peremouan
memiliki kesempatan yang sama untuk melakukan kegiatan lain di luar untuk memenuhi
kebutuhan bermasyarakat dan mengembangkan diri.

Inti dari kesetaraan adalah tidak ada yang mendominasi dan tidak ada yang didominasi. Keduanya
harus saling memberi. Keadilan gender itu sesuai dengan kebutuhan yang dimiliki oleh keduanya.
Saat ini, masyarakat Indonesia perlu untuk mengetahui, mengerti dan mau menjunjung
kesetaraan agar dapat mewujudkan pembangunan nasional dalam hal peningkatan kualitas
sumber daya manusia serta mewujudkan kesejahteraan. Proses ini memerlukan suatu strategi
yang menempatkan laki-laki dan perempuan pada posisi aktif sebagai aktor pembangunan.

BAB II
2.1 PELIBATAN LAKI-LAKI UNTUK PEREMPUAN (HE FOR SHE)

Dengan disepakatinya komitmen global untuk mewujudkan Agenda Pembangunan Berkelanjutan


2030 (SDGs), kesetaraan gender menjadi salah satu tujuan yang ingin dicapai secara global, yang
dikenal dengan istilah Planet 50:50, di mana perempuan dan laki-laki bersama-sama setara
berperan dan terlibat dalam pembangunan. Untuk memperkuat komitmen itu, Presiden RI Joko
Widodo menerima peran sebagai duta HeForShe dalam program & quot; Impact 10x10x10”
bersama pemimpin negara lainnya, antara lain Presiden Malawi, Arthur Peter Mutharika;
Presiden Rwanda, Paul Kagame; Presiden Romania, Klaus Werner Iohannis; Presiden Finlandia,
Sauli Niinisto; Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe; dan Perdana Menteri Swedia, Stefan Lofven.

Dalam laman profilnya sebagai HeForShe Champion, Presiden Joko Widodo menyatakan
“Perempuan mewakili separuh dari penggerak pembangunan negara. Sebagai Presiden, saya
telah mengarusutamakan isu kesetaraan gender karena itu sangat penting untuk mencabut akar
penyebab diskriminasi dan kekerasan.” Terkait hal tersebut, maka isu-isu tentang
pengarusutamaan gender menjadi fokus utama di dalam pemerintahan. Hal ini menunjukkan
komitmen Indonesia untuk memperjuangkan perubahan positif bagi kaum perempuan khususnya
yang menyangkut akses, partisipasi, kontrol, dan manfaat dari pembangunan. Untuk mendorong
pelaksanaan pembangunan yang responsif gender tidak hanya melalui kebijakan, program, dan
kegiatan saja tetapi perlu langkah nyata melalui suatu gerakan perubahan masif dan perubahan
pola pikir dan paradigma dari seluruh segmen masyarakat. Langkah nyata itu antara lain melalui
kampanye “HeForShe” atau peningkatan partisipasi laki-laki terhadap isu perempuan dan anak.
HeForShe adalah kampanye solidaritas untuk kesetaraan gender yang bertujuan untuk
melibatkan laki-laki dan anak laki-laki sebagai agen perubahan untuk mencapai kesetaraan
gender dan hak-hak perempuan, dan mendorong mereka untuk terlibat dalam upaya mengakhiri
isu-isu terhadap ketidaksetaraan yang dihadapi oleh perempuan dan anak perempuan. Sebagai
Duta HeforShe, Presiden RI melalui pernyataan tertulisnya menyatakan misinya untuk
meningkatkan partisipasi dan keterwakilan perempuan dalam politik dan pembangunan serta
melindungi perempuan, anak-anak, dan kelompok marjinal melalui 3 (tiga) fokus area, yaitu :

Peningkatan partisipasi perempuan dalam politik dan pengambilan keputusan;


Penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) Melahirkan; dan
Penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan.

Deskriminasi akan hal gender di berbagai wilayah memiliki sifat dan tingkat yang beragam.
Gender sendiri jika diartikan adalah pembedaan peran, atribut, sifat, sikap dan perilaku yang
tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Tidak hanya itu, peran gender terbagi menjadi
peran produktif, peran reproduksi serta peran sosial kemasyarakatan. Ada perbedaan mencolok
yang sudah lama dikaitkan dengan seperangkat tuntuan sosial tentang kepantasan dalam
berperilaku, dan pada gilirannya hak-hak, sumber daya, dan kuasa. Terdapat pengelompokan
sosial yang menentukan jalan hidup seseorang dan partisipasinya dalam kehidupan
bermasyarakat maupun kegiatan ekonomi. Misalkan saja, dalam sebuah keluarga, pihak ibu
memainkan peran dalam mengasuh anak, sedangkan pihak ayah memainkan peran untuk
bekerja. Kondisi seperti ini terkadang bisa berubah secara drastis apabila terjadi perubahan
kebijakan dan masalah ekonomi.

Data yang ada menujukkan bahwa perempuan secara konsisten berada pada posisi yang
lebih dirugikan, misalkan saja tentang hal kesenjangan gender di pasar kerja dimana adanya
segmentasi jenis kelamin angkatan kerja, ada juga kekerasan fisik dimana mereka mendapat
kekerasan dalam rumah tangga, perdangan perempuan, bahkan mendapat catcalling di tempat
umum . Pihak perempuan menjadi penanggung paling berat akibat ketidaksetaraan yang terjadi,
namun pada dasarnya ketidaksetaraan itu merugikan semua orang. Oleh sebab itu, kesetaraan
gender merupakan persoalan pokok suatu tujuan pembangunan yang memiliki nilai tersendiri.

Pada tahun 2020 sampai dengan tahun 2035 merupakan masa dimana Indonesia mengalami
bonus demografi diaman jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun) akan lebih besar
dibandingkan dengan jumlah penduduk usia tidak produktif (>64 tahun), menurut Badan pusat
Statistik (BPS). Persiapan yang bisa dilakuakn adalah dengan kesetaraan gender. Hal ini bertujuan
agar perempuan dan laki-laki memperoleh akses yang sama untuk berpartisipasi dalam proses
pembangunan, seperti proses pengambilan keputusan, memiliki kontrol yang sama dalam
pembangunan, dan memperoleh manfaat yang sama dari pembangunan. Dengan adanya
kesetaraan gender ini dapat menjadi strategi pembangunan dalam rangka memberdayakan
masyarakat, baik laki-laki ataupun perempuan untuk keluar dari rantai kemiskinan ataupun untuk
meningktakan taraf hidup mereka

Kesetaraan gender sendiri tidak melulu dipandang sebagai hak dan kewajiban yang sama
tanpa adanya pertimbangan. Mengingat bahwa isu yang muncul mengenai isu kesetraan gender
diartikan menjadi segala sesuatu, baik itu hak maupun kewajiban, mutlak sama dengan laki-laki.
Pihak perempuan pastinya tidak akan bisa menanggung tanggung jawab laki-laki, maupun
sebaliknya. Maka dari itu, perlu adanya pembangunan yang berkelanjutan yang setiap butir
tujuannya tidak lupa menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia untuk mencapai kesetaraan gender
dan pemberdaayaan perempuan sehingga perempuan mendapatkan kedudukan yang layak
bukan karena rasa iba, tetapi kerja keras memberi pengaruh terhadap sekitarnya.

BAB III

suatu penilaian atau anggapan bahwa suatu peran yang dilakukan oleh satu jenis kelamin lebih
rendah dari yang lain. Telah diketahui, nilai-nilai yang berlaku di masyarakat, telah memisahkan
dan memilah-milah peran-peran gender, laki-laki dan perempuan. Perempuan dianggap
bertanggung jawab dan memiliki peran dalam urusan domestik atau reproduksi, sementara laki-
laki dalam urusan public atau produksi. Pertanyaannya adalah, apakah peran dan fungsi dalam
urusan domestic dan reproduksi mendapat penghargaan yang sama dengan peran publik dan
produksi? Jika jawabannya

Ketidakadilan Gender

Perbedaan peran dan fungsi antara laki-laki dan perempuan atau yang lebih tinggi dikenal dengan
perbedaan gender yang terjadi di masyarakat tidak menjadi suatu permasalahan sepanjang
perbedaan tersebut tidakmengakibatkan diskriminasi atau ketidak adilan. Patokan atau ukuran
sederhana yang dapat digunakan untukmengukur apakah perbedaan gender itu menimbulkan
ketidakadilan atau tidak.

Sterotype

Semua bentuk ketidakadilan gender diatas sebenarnya berpangkal pada satu sumber kekeliruan
yang sama, yaitu stereotype gender laki-laki dan perempuan. Stereotype itu sendiri berarti
pemberian citra baku atau label/cap kepada seseorang atau kelompok yang didasarkan pada
suatu anggapan yang salah atau sesat. Pelabelan umumnya dilakukan dalam dua hubungan atau
lebih dan seringkali digunakan sebagai alasan untuk membenarkan suatu tindakan dari satu
kelompok atas kelompok lainnya. Pelabelan juga menunjukkan adanya relasi kekuasaan yang
timpang atau tidak seimbang yang bertujuan untuk menaklukkan atau menguasai pihak lain.
Pelabelan negative juga dapat dilakukan atas dasar anggapan gender. Namun seringkali pelabelan
negative ditimpakan kepada perempuan. Contoh : 1. Perempuan dianggap cengeng, suka digoda.
2. Perempuan tidak rasional, emosional. 3. Perempuan tidak bisa mengambil keputusan penting.
4. Perempuan sebagai ibu rumah tangga dan pencari nafkah tambahan. 5. Laki-laki sebagai
pencari nafkah utama.

Kekerasan

Kekerasan (violence) artinya tindak kekerasan, baik fisik maupun non fisik yang dilakukan oleh
salah satu jenis kelamin atau sebuah institusi keluarga, masyarakat atau negara terhadap jenis
kelamin lainnya. Peran gender telah membedakan karakter perempuan dan laki-laki. Perempuan
dianggap feminism dan laki-laki maskulin. Karakter ini kemudian mewujud dalam ciri-ciri
psikologis, seperti laki-laki dianggap gagah, kuat, berani dan sebagainya. Sebaliknya perempuan
dianggap lembut, lemah, penurut dan sebagainya. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan
pembedaan itu. Namun ternyata pembedaan karakter tersebut melahirkan tindakan kekerasan.
Dengan anggapan bahwa perempuan itu lemah, itu diartikan sebagai alasan untuk diperlakukan
semena-mena, berupa tindakan kekerasan. Contoh : 1. Kekerasan fisik maupun non fisik yang
dilakukan oleh suami terhadap isterinya di dalam rumah tangga. 2. Pemukulan, penyiksaan dan
perkosaan yang mengakibatkan perasaan tersiksa dan tertekan. 3. Pelecehan seksual. 4.
Eksploitasi seks terhadap perempuan dan pornografi.

Beban ganda (double burden)

Beban ganda (double burden) artinya beban pekerjaan yang diterima salah satu jenis kelamin
lebih banyak dibandingkan jenis kelamin lainnya. Peran reproduksi perempuan seringkali
dianggap peran yang statis dan permanen. Walaupun sudah ada peningkatan jumlah perempuan
yang bekerja diwilayah public, namun tidak diiringi dengan berkurangnya beban mereka di
wilayah domestic. Upaya maksimal yang dilakukan mereka adalah mensubstitusikan pekerjaan
tersebut kepada perempuan lain, seperti pembantu rumah tangga atau anggota keluarga
perempuan lainnya. Namun demikian, tanggung jawabnya masih tetap berada di pundak
perempuan. Akibatnya mereka mengalami beban yang berlipat ganda.

Marjinalisasi

Marjinalisasi artinya : suatu proses peminggiran akibat perbedaan jenis kelamin yang
mengakibatkan kemiskinan. Banyak cara yang dapat digunakan untuk memarjinalkan seseorang
atau kelompok. Salah satunya adalah dengan menggunakan asumsi gender. Misalnya dengan
anggapan bahwa perempuan berfungsi sebagai pencari nafkah tambahan, maka ketika mereka
bekerja diluar rumah (sector public), seringkali dinilai dengan anggapan tersebut. Jika hal
tersebut terjadi, maka sebenarnya telah berlangsung proses pemiskinan dengan alasan gender.
Contoh : 1. Guru TK, perawat, pekerja konveksi, buruh pabrik, pembantu rumah tangga dinilai
sebagai pekerja rendah, sehingga berpengaruh pada tingkat gaji/upah yang diterima. 2. Masih
banyaknya pekerja perempuan dipabrik yang rentan terhadap PHK dikarenakan tidak mempunyai
ikatan formal dari perusahaan tempat bekerja karena alasan-alasan gender, seperti sebagai
pencari nafkah tambahan, pekerja sambilan dan juga alasan factor reproduksinya, seperti
menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui. 3. Perubahan dari sistem pertanian tradisional
kepada sistem pertanian modern dengan menggunakan mesin-mesin traktor telah
memarjinalkan pekerja perempuan.

BAB IV

Keadilan gender dimaknai sebagai perlakuan yang sesuai dengan hak dan kewajiban yang
diterima oleh seseorang sebagai manusia yang bermartabat. Posisi yang sama untuk
mendapatkan kesempatan yang sama dan imbalan yang setimpal adalah salah satu contohnya.
Sayangnya, masih banyak perlakuan yang diskriminatif terhadap salah satu jenis kelamin,
terutama perempuan.

Ketidakadilan dalam perlakuan juga membuat suatu ketimpangan sosial di masyarakat yang akan
berdampak pada pewarisan perlakuan tersebut secara terus-menerus. Sebagai generasi penerus
bangsa yang menginginkan perubahan yang lebih baik, maka perlu diketahui dan dipahami apa
saja bentuk ketidakadilan gender di lingkungan sosial.
1. Subordinasi atau menomorduakan perempuan
Seseorang berhak meraih kesempatan yang sama dalam politik, ekonomi, sosial, pendidikan,
jabatan dan karier. Memprioritaskan penyerahan jabatan kepada seorang laki-laki daripada
perempuan yang juga memiliki kapabilitas yang sama adalah salah satu contoh ketidakadilan.
Tidak hanya menomorduakan, pandangan superioritas terhadap laki-laki untuk sebuah jabatan
tertentu harus diubah.

Kemampuan kecerdasan bekerja tidak ditentukan oleh jenis kelamin, melainkan ditentukan oleh
kapasitas dan kesanggupannya memikul tanggung jawab.

2.Stigma negatif yang melekat


Banyak stigma atau label yang melekat pada diri kita karena konstruksi sosial di masyarakat.
Misalkan saja, perempuan harus bekerja pada ranah domestik, sedangkan laki-laki pada sektor
publik. Anak laki-laki yang mudah menangis dianggap sebagai laki-laki yang lemah atau cengeng,
bukannya dianggap sebagai ungkapan emosi yang wajar.

Anak perempuan sudah sewajarnya mudah menangis dan harus selalu diberi kelembutan dan
pengistimewaan. Padahal pandangan seperti itu adalah salah karena menggeneralisasikan satu
sifat tertentu kepada semua orang. Pandangan atau label yang diberikan selama ini harus diubah
dan membutuhkan pendewasaan untuk tatanan gender yang baik di masyarakat.

3. Perlakuan tindak kekerasan


Seseorang yang diperlakukan kasar bukan dianggap sebagai subjek, tetapi objek yang wajar
dijadikan pelampiasan. Telah banyak kasus yang tercatat bahwa perempuan sering dijadikan
objek kekerasan oleh laki-laki yang tidak bertanggung jawab. Tindakan tersebut terjadi karena
masih ada anggapan kuasa dan superioritas laki-laki terhadap perempuan.

Sudah demikian, korban kekerasan jika melawan malah dianggap berdusta, mencemarkan nama
baik, dan hanya sekedar mencari sensasi. Apabila tidak menaati perintah laki-laki atau suami
malah dikatakan durhaka, dan melanggar perintah agama. Tentu ironi yang masih banyak ditemui
di lingkungan sekitar kita.

4.Beban ganda yang dipaksa


Biasanya sering terjadi dalam ranah rumah tangga, perempuan yang berkarier di luar harus
mengurus urusan domestik juga tanpa bantuan siapapun. Pembagian kerja tanpa kesepakatan
seperti ini masih sering dialamatkan kepada perempuan sebagai korbannya. Bukannya malah
saling membantu, ada pula laki-laki atau suami yang tidak membantu urusan rumah tangganya
sendiri.

Sedangkan laki-laki tersebut bisa jadi tidak banyak bekerja dan hanya bersantai saja.

5.Marginalisasi terhadap perempuan


Proses atau perlakuan peminggiran seseorang khususnya karena perbedaan jenis kelamin masih
terjadi. Kurangnya pemahaman seksualitas khususnya pada sistem reproduksi kerap menjadi
sasaran utamanya. Misalkan ketika seorang buruh pabrik perempuan hamil atau melahirkan, jika
ia izin tidak masuk bekerja bisa diancam potong gaji atau bahkan pemutusan hubungan kerja.

Atau masih ada anggapan suatu profesi yang dilakoni perempuan adalah lebih cocok yang
berjabatan rendah dan tidak terlalu tinggi. Alasan pandangan tersebut adalah laki-laki akan
menjadi tersingkirkan dan merasa direndahkan pula. Padahal akar permasalahan yang memang
salah adalah penyebab kuatnya budaya patriarki.

Jadi dari semua permasalahan tersebut adalah perlunya pendidikan seksualitas dan gender yang
mumpuni agar generasi kelak tidak mewarisi sifat patriarki yang menindas, merasa superior,
merasa rendah atau direndahkan.
BAB V
Masih rendahnya penanganan gender di Kabupaten Banyumas mendapat perhatian dari Komisi E
DPRD Provinsi Jateng. Dalam diskusi di Kantor Dinas Pengendalian Penduduk & KB,
Pemberdayaan Perempuan & Perlindungan Anak (DPPKBP3A) Kabupaten Banyumas, Kamis
(30/12/2021), Sri Ruwiyati selaku Sekretaris Komisi E DPRD Provinsi Jateng menanyakan soal
peran serta masyarakat dalam persoalan gender terkait penyusunan Raperda Pengarusutamaan
Gender (PUG).

PENINGKATAN PERAN

Mengenai rendahnya penanganan permasalahan gender di Banyumas, Kabid Pemberdayaan


Perempuan DPPKBP3A Kabupaten Banyumas Erina mengakui beberapa tahun lalu Indeks
Pemberdayaan Gender masih rendah. Hal itu dikarenakan keterwakilan perempuan di legislatif
dan eksekutif masih rendah. Selain itu, sumbangan ekonomi dari kaum perempuan juga masih
rendah karena banyak yang kena PHK dampak pandemi Covid-19.

Dari situ, ada beberapa peraturan daerah dan bupati untuk meningkatkan persoalan tersebut.
Disamping itu, ada pengalokasian anggaran dalam pemberdayaan dan perlindungan perempuan.

“Memang, kami belum ada Perda PUG tapi selama ini sudah memiliki Perda Nomor 3 Tahun 2015
tentang Penyelenggaraan Perlindungan Korban Kekerasan Berbasis Gender dan Perda Nomor 1
Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Anak. Tidak hanya itu, ada juga Keputusan-
keputusan dan Peraturan Bupati soal Gender,” jelas Erina.
Ia sependapat penanganan PUG itu perlu peran serta masyarakat karena persoalan gender tidak
bisa diselesaikan dalam waktu singkat. Meski pemerintah sudah mengalokasikan anggaran dan
pendampingan, namun keterlibatan masyarakat masih harus ditingkatkan.

“Peran masyarakat itu dapat berupa kepedulian terhadap isu gender sehingga dapat bersama-
sama mengatasi dan menyelesaikan permasalahan kesetaraan gender seperti ikut melaporkan
adanya ketimpangan gender. Juga, ada dukungan untuk memberdayakan perempuan agar
mampu ikut meningkatkan perekonomian,” tambahnya. (ariel/priyanto)
Masalah gender yang harus diprioritaskan penanganannya, adalah tingginya Angka Kematian Ibu
(AKI), pemberantasan Tuberculosis Paru, Malaria, HIV/AIDS, masalah gizi masyarakat dan
lingkungan yang tidak sehat. Hal ini menunjukkan masih banyak terdapat ketimpangan antara
status kesehatan pada perempuan dan laki- laki.

Hal itu disampaikan, dr. Bambang Giatno Rahardjo, MPH, Kepala Badan Pengembangan dan
Pemberdayaan Sumber Daya Manusia (PPSDM) Kesehatan dalam lokakarya Pengarusutamaan
Gender Bidang Kesehatan (PUG-BK) di Balai Besar Pelatihan Kesehatan (BBPK) Cilandak Jakarta,
(26/02, 2009). Seminar ini mengangkat tema 'melalui PUG-BK, Pusat Pelatihan Gender Bidang
Kesehatan (PPG-BK) BBPK Cilandak menjembatani pencapaian program yang responsive Gender'

Ditambahkan dr. Bambang bahwa pengarusutamaan gender merupakan salah satu strategi
pembangunan yang dilakukan untuk mencapai kesetaraan gender dan keadilan gender melalui
pengintegrasian pengalaman, aspirasi, kebutuhan, dan permasalahan perempuan dan laki-laki.
Untuk mempercepat pengarusutamaan gender, perlu dilakukan pengembangan kapasitas SDM
kesehatan, antara lain melalui seminar gender bidang kesehatan.

Kesetaraan gender adalah wujud kesamaan kondisi laki-laki dan perempuan dalam memperoleh
hak-haknya sebagai manusia agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik,
ekonomi, sosial budaya dan kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan.

Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) sudah menjadi komitmen bangsa-bangsa di dunia yang
dipertegas dalam Deklarasi Global 'Konferensi Perempuan Sedunia ke-IV ' tahun 1995 di Beijing,
dimana salah satu Negara anggotanya adalah Indonesia. Konsep KKG ini menjadi tonggak
keberhasilan bagi pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM).

Dalam RPJMN 2004-2009 disebutkan bahwa berdasarkan Human Development Report 2004,
Gender Development Index (GDI) mencapai 59,2 dan Human Development Index (HDI) mencapai
65,8. Selisih nilai HDI dan GDI ini menunjukkan bahwa masih adanya kesenjangan gender dalam
pelaksanaan pembangunan SDM.

Hadir dalam acara Kepala Pusat Kajian Pembangunan Kesehatan, Dr. H. Untung Suseno S, M. Kes,
Kepala BBPK Ir. Ace Yatihayati, MS, Kepala Pusat Pemeliharaan Penanggulangan Peningkatan
Intelegensia Depkes, Dr. H. Jofizal Jannis, Sp.S (K).

Ir. Ace Yatihayati Kepala BBPK Cilandak sekaligus Ketua Panitia menyatakan maksud
penyelenggaran lokakarya ini adalah sebagai bagian dari kegiatan BBPK Cilandak yang didasarkan
pada SK Menkes No. 423/menkes/SK/V/2008 tertanggal 1 Mei 2008 tentang pembentukkan
(PPG-BK). Hal ini seiring dengan dicanangkannya Rencana Aksi Nasional PUG-BK yang mempunyai
kebijakan bahwa semua kebijakan kesehatan responsive gender, dengan salah satu strateginya
peningkatan kemampuan pendidikan dan pelatihan.
Dalam lokakarya ini, metode yang dipakai adalah round table discussion yang dipimpin oleh
Fasilitator Nasional Gender yaitu Bapak Nardho dan Ny. Yulfita beserta tim PPG-BK Cilandak
untuk mendapatkan gambaran sejauh mana isu gender dalam program kesehatan dan komitmen
dari pemegang dalam program kesehatan dan terhadap PUG-BK, ungkap Ir. Ace.

Dalam kesempatan tersebut Dr. H. Untung Suseno S, M.Kes yang bertindak sebagai nara sumber
mengungkapkan, PUG merupakan langkah strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan
gender menjadi satu dimensi integral dari perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan,
dan evaluasi atas kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan nasional, ungkap Dr. H. Untung
Suseno S, M. Kes (Kapus Kabangkes) bertindak sebagai narasumber utama.

Dr. Untung menyatakan bahwa isu kesehatan yang saat ini menjadi program prioritas Depkes,
salah satunya adalah upaya penurunan AKI dan AKB dimana AKI sampai dengan saat ini sudah
mencapai 228 per 100.000 Kelahiran Hidup (KH) sedangkan AKB (34 per 100.000 KH).

Ditambahkan, bahwa isu kebijakan gender yang berkembang, antara lain; urusan kehamilan dan
kelahiran, sosialisasi pedoman Making Pregnancy Safer (MPS) ditujukan pada ibu-ibu, Strategi
Nasional Peningkatan Pemberian ASI, Safe Motherhood ( keselamatan ibu pasca melahirkan ),
serta dalam hal reproduksi yang dituntut penggunaan alat kontrasepsi, jumlah anak dan rujukan
pelayanan kesehatan. Kesemuanya itu dianggap hanya menjadi urusan perempuan saja (laki-laki
tidak).

Akan tetapi untuk implementasi PUG di daerah itu sendiri masih kurang didukung dengan
instrument kebijakan yang bersifat prosedur (SOP), contohnya persalinan dengan pendampingan
suami harus dilakukan sesuai instruksi APN (Asuhan Persalinan Normal). Hal ini dikarenakan
belum seluruh instrument kebijakan tentang Gender sudah dapat diakses oleh pelaku kesehatan
di daerah, kata dr. Untung.

Untuk meningkatkan adekuasi kebijakan gender tersebut, diperlukan beberapa hal, diantaranya;
Kebijakan Program Kesehatan berbasis gender, Kebijakan Penganggaran Program Kesehatan
berbasis gender, dan Kebijakan Sektor untuk melakukan fasilitator sektor.
BAB VI

KKN UNDIP Tim I berlangsung sejak 05 Januari hingga 15 Februari 2022 dengan mengambil tema
“Pemberdayaan Masyarakat Menuju Pasca Pandemi Covid-19 Berbasis SDGs”.

Kurangnya pengetahuan akan kesetaraan gender, membuat kesetaraan gender banyak


disalahartikan. Masih banyak pula, masyarakat yang tidak tahu apa itu kesetaraan gender.
Sesungguhnya perbedaan gender tidak akan menjadi masalah selama tidak melahirkan
ketidakadilan gender, namun yang menjadi persoalan ternyata perbedaan gender telah
melahirkan berbagai ketidakadilan, terutama terhadap kaum perempuan. Ketidaksetaraan
gender disebabkan oleh adanya sikap bias gender yang didasarkan pengetahuan-pengetahuan
masyarakat yang memiliki kecenderungan bersifat tidak adil gender. Kesetaraan Gender juga
masuk dalam poin kelima Pilar Pembangunan Sosial dalam Indikator Sustainable Development
Goals (SDGs).

Diskusi mengenai perempuan dan gender terus berjalan hingga sekarang. Selain itu, perempuan
seringkali dianggap sebagai kelompok subordinat yang dinilai hanya mampu melakukan
pekerjaan domestik dalam rumah tangga. Dengan semngat memanusiakan manusia dan
mencapai kesetaraan gender, mahasiswa KKN Undip di Kelurahan Kalisegoro menyebarkan poster
sebagai ajakan dan pengenalan terhadap “Kesetaraan Gender” terhadap anggota-anggota
masyarakat yang masih bersikap patriarkis. Dengan Harapan bahwa masyarakat menyadari jika
dengan adanya kesetaraan gender, kehiduapan sehari-hari akan menjadi lebih baik.

Saat ini, peranan wanita sangatlah besar dalam berbagai bidang. Baik dalam peran pendidikan,
sosial, budaya, ekonomi, bahkan peranan wanita telah kita rasakan diranah publik, seperti
contohnya politik. Dan itu membuktikan bahwa kesetaraan gender merupakan salah satu hak
asasi manusia. Hak untuk hidup secara terhormat, bebas dari rasa ketakutan dan bebas
menentukan pilihan hidup. Tidak hanya diperuntukkan bagi para laki-laki, pada hakikatnya
perempuan pun mempunyai hak yang sama.

Isu gender merupakan salah satu isu utama dalam pembangunan, khususnya pembangunan
sumber daya manusia. Walaupun sudah banyak upaya yang dilakukan pemerintah untuk
meningkatkan kualitas hidup perempuan dan penguatan kapasitas kelembagaan
pengarusutamaan gender, namun data menunjukkan masih adanya kesenjangan antara
perempuan dan laki-laki dalam hal akses, partisipasi, kontrol, dan manfaat, serta penguasaan
terhadap sumber daya, seperti pada bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, sosial budaya, dan
bidang strategis lainnya. Adanya ketertinggalan salah satu kelompok masyarakat dalam
pembangunan, khususnya perempuan disebabkan oleh berbagai permasalahan di masyarakat
yang saling berkaitan satu sama lainnya. Permasalahan paling mendasar dalam upaya
peningkatan kualitas hidup perempuan dan anak adalah pendekatan pembangunan yang belum
mengakomodir tentang pentingnya kesetaraan antara perempuan dan laki-laki, anak perempuan
dan anak laki-laki dalam mendapatkan akses, partisipasi, kontrol, dan manfaat pembangunan.
Untuk itu, pengarusutamaan gender diperlukan sebagai salah satu strategi untuk mewujudkan
pembangunan yang dapat dinikmati secara adil, efektif, dan akuntabel oleh seluruh penduduk,
baik perempuan, laki-laki, anak perempuan, dan anak laki-laki.

Pembangunan nasional bertujuan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan
mewujudkan kesejahteraan rakyat. Peningkatan kualitas SDM sebagai salah satu kunci
keberhasilan pembangunan disesuaikan dengan keberagaman aspirasi dan hambatan kemajuan
kelompok masyarakat laki-laki dan perempuan. Proses ini memerlukan suatu strategi yang
menempatkan rakyat pada posisi aktif sebagai aktor pembangunan. Memerankan rakyat sebagai
aktor berarti memerankan perempuan dan laki-laki sebagai aktor. Filosofi ini yang kemudian
diterapkan dalam program pembangunan melalui strategi pengarusutamaan gender dalam
pembangunan.

Dalam rangka mendorong, mengefektifkan serta mengoptimalkan upaya pengarusutamaan


gender secara terpadu dan terkoordinasi, Pemerintah Indonesia mengeluarkan Instruksi Presiden
No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional yang
mengamanatkan bahwa dalam rangka meningkatkan kedudukan, peran dan kualitas perempuan,
serta upaya mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan berkeluarga,
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, perlu melakukan strategi pengarusutamaan gender ke
dalam seluruh proses pembangunan nasional. Pengarusutamaan gender ini merupakan bagian
yang tak terpisahkan dari kegiatan fungsional utama semua instansi dan lembaga pemerintah di
tingkat pusat dan daerah.

Strategi PUG diperlukan untuk memastikan semua lapisan masyarakat, baik laki-laki maupun
perempuan, dari semua kelompok usia, wilayah, dan yang kebutuhan khusus, dapat terlibat
dalam proses pembangunan sehingga diharapkan pembangunan yang dilaksanakan bisa
bermanfaat untuk semua; dan semua penduduk dapat ikut serta dalam pengambilan
keputusan/kebijakan. Strategi PUG dilaksanakan dengan cara memastikan adanya akses,
partisipasi, kontrol, dan manfaat yang adil dan setara bagi laki-laki maupun perempuan dalam
pembangunan.

Telah banyak bukti yang menunjukkan peran perempuan sebagai faktor kunci pengembangan
sosial ekonomi masyarakat. Perempuan adalah salah satu elemen penting bagi proses
transformasi sosial, budaya, politik, dan ekonomi. Sejak Konferensi Dunia tentang Perempuan
yang pertama pada 1975 di Meksiko, negara-negara di dunia bahkan telah mengupayakan dan
menunjukkan perbaikan terhadap posisi perempuan dalam kedudukannya di masyarakat melalui
peningkatan pemahaman pentingnya peran perempuan dalam proses pembangunan. Indonesia
juga meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita melalui UU
No. 7 Tahun 1984, yang secara eksplisit mengakui pentingnya pemenuhan hak-hak substantif bagi
perempuan menuju keadilan dan kesetaraan gender. Hal tersebut semakin memperkuat hadirnya
tindakan nyata dan kerangka kerja untuk mewujudkan langkah-langkah yang dibutuhkan sebagai
upaya menghadapi permasalahan yang terkait dengan isu kesetaraan gender di seluruh bidang
pembangunan.

PELIBATAN LAKI-LAKI UNTUK PEREMPUAN (HE FOR SHE)

Dengan disepakatinya komitmen global untuk mewujudkan Agenda Pembangunan Berkelanjutan


2030 (SDGs), kesetaraan gender menjadi salah satu tujuan yang ingin dicapai secara global, yang
dikenal dengan istilah Planet 50:50, di mana perempuan dan laki-laki bersama-sama setara
berperan dan terlibat dalam pembangunan. Untuk memperkuat komitmen itu, Presiden RI Joko
Widodo menerima peran sebagai duta HeForShe dalam program & quot; Impact 10x10x10”
bersama pemimpin negara lainnya, antara lain Presiden Malawi, Arthur Peter Mutharika;
Presiden Rwanda, Paul Kagame; Presiden Romania, Klaus Werner Iohannis; Presiden Finlandia,
Sauli Niinisto; Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe; dan Perdana Menteri Swedia, Stefan Lofven.

Dalam laman profilnya sebagai HeForShe Champion, Presiden Joko Widodo menyatakan
“Perempuan mewakili separuh dari penggerak pembangunan negara. Sebagai Presiden, saya
telah mengarusutamakan isu kesetaraan gender karena itu sangat penting untuk mencabut akar
penyebab diskriminasi dan kekerasan.” Terkait hal tersebut, maka isu-isu tentang
pengarusutamaan gender menjadi fokus utama di dalam pemerintahan. Hal ini menunjukkan
komitmen Indonesia untuk memperjuangkan perubahan positif bagi kaum perempuan khususnya
yang menyangkut akses, partisipasi, kontrol, dan manfaat dari pembangunan. Untuk mendorong
pelaksanaan pembangunan yang responsif gender tidak hanya melalui kebijakan, program, dan
kegiatan saja tetapi perlu langkah nyata melalui suatu gerakan perubahan masif dan perubahan
pola pikir dan paradigma dari seluruh segmen masyarakat. Langkah nyata itu antara lain melalui
kampanye “HeForShe” atau peningkatan partisipasi laki-laki terhadap isu perempuan dan anak.
HeForShe adalah kampanye solidaritas untuk kesetaraan gender yang bertujuan untuk
melibatkan laki-laki dan anak laki-laki sebagai agen perubahan untuk mencapai kesetaraan
gender dan hak-hak perempuan, dan mendorong mereka untuk terlibat dalam upaya mengakhiri
isu-isu terhadap ketidaksetaraan yang dihadapi oleh perempuan dan anak perempuan. Sebagai
Duta HeforShe, Presiden RI melalui pernyataan tertulisnya menyatakan misinya untuk
meningkatkan partisipasi dan keterwakilan perempuan dalam politik dan pembangunan serta
melindungi perempuan, anak-anak, dan kelompok marjinal melalui 3 (tiga) fokus area, yaitu :

Peningkatan partisipasi perempuan dalam politik dan pengambilan keputusan;


Penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) Melahirkan; dan
Penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan.
SINERGI SELURUH UNSUR MASYARAKAT

Jika kita melihat angka kekerasan berdasarkan Survey Pengalaman Hidup Perempuan Nasional
2016 di Indonesia masih sangat memprihatinkan dan terungkapnya berbagai kasus kejahatan
seksual akhir-akhir ini di beberapa daerah di Indonesia yang dapat kita saksikan dalam berbagai
media menimbulkan berbagai kekhawatiran, dimana perempuan dan anak menjadi objek dan
sekaligus korban dari kejahatan ini. Untuk itu dalam upaya pencegahan terjadinya kekerasan dan
mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender perlu keterlibatan dari semua pihak.

Melihat luasnya dan besarnya cakupan kesetaraan gender dalam berbagai bidang pembangunan,
sinergitas menjadi kata kunci untuk mempercepat perwujudannya. Salah satu strateginya adalah
pengarusutamaan Gender Perencanaan dan Penganggaran yang Resposif Gender (PPRG), di
mana pemerintah pusat dan daerah melakukan analisis gender dalam proses perencanaan dan
penganggaran untuk memastikan ada keadilan dalam hal akses, partisipasi, kontrol, dan manfaat
pembangunan bagi laki-laki, perempuan, anak, lansia, penyandang disabilitas dan kelompok
rentan lainnya. Karena kesetaraan gender ini merupakan cross-cutting issues, maka sinergitas
antar K/L, pusat-daerah, dan antar daerah juga berperan besar untuk meningkatkan daya ungkit
pembangunan untuk mewujudkan tujuan pembangunan nasional, termasuk SDGs, secara merata
dan adil.

Masyarakat, termasuk akademisi, juga memiliki peran penting. Akademisi mentransmisikan


pengetahuan, nilai, norma, dan ideologi serta pembentukan karakter bangsa, tidak terkecuali
kesetaraan dan keadilan gender yang terkait erat dengan nilai hakiki kemanusiaan. Perguruan
Tinggi sesuai dengan peran dan tugasnya melaksanakan Tridharma Perguruan Tinggi, yang
meliputi pengembangan ilmu riset, melakukan proses belajar mengajar dan pengabdian
masyarakat. Peran tersebut akan menghasilkan ilmu pengetahuan, para lulusan yang mempunyai
kemampuan akademik memadai dan menjadi pusat rujukan ilmu pengetahuan untuk berbagai
fenomena sosial dan kebudayaan. Melalui peran dan tugas inilah diharapkan Perguruan Tinggi
dapat membantu membangun dan meningkatkan pemahaman tentang kesetaraan gender yang
lengkap, yang akan berdampak pada pengetahuan, sikap dan perilaku mahasiswa, sehingga akan
dibawa dalam praktek kehidupan sehari-hari dan profesi yang akan dijalani.

Anda mungkin juga menyukai