JURNAL ILMIAH
Disusun oleh :
Bahwa artikel Jurnal tersebut dibuat sebagai persyaratan ujian skripsi yang
dipertahankan di depan Dewan Penguji pada tanggal 15 Mei 2018.
ABSTRAK
Pangan merupakan kebutuhan dasar yang bertujuan untuk mempetahankan kelangsungan hidup
manusia. Isu terkait tentang fluktuasi harga komoditas pangan berdampak menyebabkan inflasi.
Penelitian ini menganalisis fluktuasi harga komoditas yang menjadi penyumbang Inflasi yaitu beras
jenis mentik, daging sapi, daging ayam, cabai rawit dan bawang merah di Provinsi Jawa Timur
periode Januari 2015- Desember 2017. Penelitian ini menggunakan metode analisis VAR-VECM.
Hasil VECM menerangkan bahwa dalam jangka pendek fluktuasi harga komoditas cabai rawit dan
bawang merah berpengaruh positif terhadap inflasi, sedangkan harga komoditas beras jenis mentik,
daging sapi dan daging ayam berpengaruh negatif terhadap Inflasi. Dalam jangka panjang fluktuasi
harga komoditas beras jenis metik, daging ayam dan cabai rawit berpengaruh positif terhadap inflasi.
fluktuasi harga daging sapi dan bawang merah berpengaruh negatif terhadap inflasi.
A. PENDAHULUAN
Pangan merupakan kebutuhan dasar yang bertujuan untuk mempertahakan kelangsungan hidup
manusia. Undang-undang No. 18 tahun 2012 mendefinisikan pangan adalah segala sesuatu yang
berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai
makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku
pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan
makanan dan minuman.
Di Indonesia komoditas pangan yang fluktuasi harganya sering menjadi sorotan publik adalah beras,
jagung, kedelai, tepung terigu, gula pasir, minyak goreng, bawang merah, cabai, telur, daging, dan susu
(Sumaryanto, 2009). Faktor utama yang menyebabkan harga komoditas sering mengalami fluktuasi
adalah karena kondisi cuaca yang tidak menentu serta gangguan hama pertanian memicu kegagalan
panen sehingga otomatis harga mengalami kenaikan. Selain itu infrastruktur Indonesia yang masih
belum merata dapat menghambat jalur distribusi pangan yang akan membuat harga di tempat tujuan
distribusi menjadi mahal. Perubahan harga komoditas bahan pangan dapat menjadi penyumbang
terbesar laju inflasi dikarenakan dengan jumlah cukup besar, permintaan bahan makanan akan menjadi
cukup tinggi. Namun terkadang penawaran belum cukup mampu untuk memenuhi permintaan tersebut,
sehingga akhirnya mendorong laju inflasi (Santoso, 2011).
Sementara itu, inflasi sendiri diartikan sebagai kenaikan jumlah uang beredar atau kenaikan
likuiditas dalam suatu perekonomian. Pengertian tersebut mengacu pada gejala umum yang
ditimbulkan oleh adannya kenaikan harga-harga. Dalam perkembangan lebih lanjut, inflasi secara
singkat dapat diartikan sebagai suatu kecenderungan meningkatnya harga-harga barang dan jasa secara
umum dan terus menerus (Suseno dan Astiyah, 2009). Sebagai Provinsi dengan populasi penduduk
terbesar kedua di Indonesia, dengan jumlah total penduduk 37.476.011 jiwa pada tahun 2016. Maka,
pergerakan fluktuasi harga komoditas di provinsi Jawa Timur harus selalu di monitoring. Hal tersebut
penting dilakukan karena harga komoditas pangan merupakan representasi ketahanan .pangan suatu
wilayah. Harga komoditas pangan mampu mencerminkan kondisi nyata ketersediaan pasokan pangan,
permintaan pangan, kelancaran disribusi pangan, kondisi perdagangan Internasional, implementasi
kebijakan pemerintah (stakeholder), kondisi daya beli masyarakat, dan juga kesejahteraan penduduk
Di sisi lain, keberhasilan pengendalian harga komoditas akan berbanding lurus dengan upaya
pengendalian laju inflasi. Pengendalian laju inflasi menjadi pertimbangan bahwa inflasi yang tinggi
dan tidak stabil dapat memberikan dampak terhadap perekonomian masyarakat. Inflasi yang tinggi
akan menyebabkan pendapatan riil masyarakat menurun sehingga mengakibatkan menurunnya daya
beli masyarakat. Selanjutnya, inflasi yang tidak stabil akan menciptakan ketidakpastian bagi pelaku
ekonomi dalam pengambilan keputusan (Riyadh et al,2009).
Berdasarkan kelompok komponen kenaikan inflasi pada triwulan III dan IV tahun 2017, yang
digambarkan dalam grafik 1, kenaikan inflasi di dorong oleh kelompok volatile foods dan kelompok
administrated prices. Rata-rata peningkatan inflasi bulanan kelompok volatile foods di triwulan IV
2017 adalah sebesar 1,2% mengalami peningkatan dibandingkan triwulan sebelumnya yang deflasi
sebesar 0,95%. Sedangkan ratarata inflasi kelompok administrated prices juga mengalami peningkatan
-0,09% dari Triwulan III 2017 menjadi 0,37% di triwulan IV 2017. Disisi lain, inflasi kelompok core
Inflation turun dari rata-rata 0,33% menjadi 0,12.
Dari Grafik 2 di bawah ini menunjukkan bahwa di Provinsi Jawa Timur dari tahun 2015- 2017.
Komoditas yang sangat berfluktuatif, adalah harga komoditas cabai rawit kemudian disusul oleh harga
komoditas bawang merah. sedangkan harga yang daging sapi menunjukkan gambar yang tidak
fluktuatif akan tetapi berada di harga yang tinggi. Sedangkan untuk harga daging ayam menunjukkan
gejolak yang landai. Untuk harga beras menunjukkan harga yang stagnan karena harga dasar dan harga
atap diatur pemerintah. Untuk mencapai kestabilan harga pangan diperlukan kebijakan yang
memperkecil fluktuasi harga, namun kendala permintaan dan penawaran yang bersifat inelastic (tidak
elastis) karena harga bahan pokok tersebut mengalami gagal panen akibat gangguan cuaca seperti
banjir, kemarau panjang dan terganggunya jalannya distribusi, komoditas pangan tersebut
menyebabkan cost push inflation. Sedangkan dari sisi permintaan, karena tingginya permintaan
komoditas pangan tersebut akibat terjadi hari besar keagamaan mengakibatkan demand pull Inflation.
Grafik 2: Perkembangan Harga Komoditas Pangan Provinsi Jawa Timur
Dari grafik 2 diatas maka dapat disimpulkan fluktuasi harga dari masing-masing komoditas, oleh
karena itu maka sangat penting untuk mengidentifikasi dan menganalisis perkembangan harga
komoditas di Provinsi Jawa Timur. Setelah itu menganalisis data untuk mengetahui bagaimana
pengaruh masing-masing komoditas di Provinsi Jawa Timur. Oleh itu penulis mengambil judul
“Pengaruh Harga Komoditas Pangan Terhadap Inflasi di Provinsi Jawa Timur”.
B. KAJIAN PUSTAKA
Definisi Pangan
Berdasarkan undang-undang nomor 12 tahun 2012 tentang pangan, definisi pangan adalah sesuatu
yang berasal dari sumber hayati pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, perairan, dan air, baik
yang diolah maupun tidak diolah yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai
makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku
pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan
makanan atau minuman.
Pada umumnya produksi hasil pertanian selalu berubah-ubah dari satu musim ke musim lainnya.
Perubahan musim dipengaruhi oleh cuaca, iklim, dan fakor alamiah lain, seperti banjir dan hujan yang
terlalu banyak atau kemarau yang terlalu panjang. Di samping itu, serangan hama dan penyakit dapat
mempengaruhi produksi pertanian. Permintaan akan barang-barang pertanian yang tidak elastis
menyebabkan harga mengalami perubahan yang sangat besar jika penawaran hasil pertanian
mengalami perubahan. Ilustrasi mengenai fluktuasi harga komoditas pangan dari sisi perubahan
penawaran ditampilkan pada Gambar 1.
Setiap perekonomian tidak selalu mencapai tingkat kegiatan yang tinggi, adakalannya mengalami
resesi dan kemunduran dan adakalanya kegiatan ekonomi mencapai tingkat yang tinggi. Perubahan
tersebut akan memengaruhi permintaan barang dan jasa, termasuk hasil pertanian. Perubahan
permintaan yang disebabkan oleh naik turunnya kegiatan ekonomi ini akan menimbulkan perubahan
harga. Akan tetapi, sifat perubahan harga ini berbeda untuk berbagai jenis barang. Barang-barang
pertanian cenderung mengalami perubahan harga yang lebih besar daripada harga barang-barang
industri. Sifat perubahan harga seperti itu disebabkan penawaran harga barang-barang pertanian,
seperti juga dengan sifat permintaannya adalah tidak elastis. Ketidakstabilan penawaran barang
pertanian yang diikuti dengan ketidakelastisan permintaannya menyebabkan perubahan harga yang
sangat besar apabila terjadi perubahan permintaan. Ilustrasi perubahan harga komoditas
dari sisi permintaan adalah dijelaskan pada gambar 2.
Konsep Inflasi
Pada awalnya inflasi diartikan sebagai kenaikan jumlah uang beredar atau kenaikan likuiditas dalam
suatu perekonomian. Pengertian tersebut mengacu pada gejala umum yang ditimbulkan oleh adannya
kenaikan jumlah uang beredar yang diduga telah menyebabkan adannya kenaikan harga-harga. Dalam
perkembangan lebih lanjut, inflasi secara singkat dapat diartikan sebagai suatu kecenderungan
meningkatnya harga-harga barang dan jasa secara umum dan terus-menerus (Suseno dan Astiyah,
2009). (Rahardja dan Manurung, 2008) menambahkan inflasi adalah kenaikan harga barang-barang
yang bersifat umum dan terusmenerus. Dari definisi ini, ada tiga komponen yang harus dipenuhi agar
dapat dikatakan telah terjadi inflasi. a). Kenaikan Harga b). Bersifat umum c). Berlangsung Terus-
Menerus.
Dalam IHK 2016 (2012=100) jumlah kelompok dan sub kelompok masih tetap 7 (tujuh) kelompok
dan 35 sub kelompok. Kelompok Bahan makanan terdiri dari 11 sub kelompok, kelompok Makanan
jadi, Minuman, Rokok & Tembakau 3 sub kelompok, kelompok Perumahan 4 sub kelompok,
kelompok Sandang 4 sub kelompok, kelompok Perumahan 4 sub kelompok, kelompok Sandang 4 sub
kelompok, kelompok Kesehatan 4 sub kelompok, kelompok Pendidikan, Rekreasi dan Olahraga 5 sub
kelompok dan kelompok Transport, Komunikasi dan Jasa keuangan 5 sub kelompok (BPS Jatim,
2016).
(Rahardja dan Manurung, 2008) Tiga gejala di atas menunjukkan gejala inflasi berdasarkan faktor
penyebabnya, yaitu inflasi tekanan permintaan (demand-pull inflation), inflasi dorongan biaya (cost –
push inflation, dan kombinasi keduanya.
Inflasi Tekanan Permintaan (Demand-Pull Inflation)
Inflasi tekanan permintaan (demand-pull inflation) adalah inflasi yang terjadi karena dominannya
tekanan permintaan agregat. Pada gambar 3 tekanan permintaan digambarkan dengan bergesernya
kurva bertambah, tetapi disertai inflasi, dilihat dari makin tingginya tingkat harga umum. Dalam inflasi
tekanan permintaan, tidak selalu berarti penawaran agregat (AS) tidak bertambah. Yang pasti,
kalaupun terjadi pertambahan penawaran agregat, jumlahnya lebih kecil dibanding peningkatan
permintaan agregat.
Stagflasi
Stagflasi menerangkan kombinasi dari dua keadaan buruk, yaitu stagnasi dan inflasi. stagnasi adalah
kondisi di mana tingkat pertumbuhan ekonomi sekitar nol persen per tahun. Jumlah output relatif tidak
bertambah. Sayangnya, kondisi ini disertai inflasi. Secara grafis dalam gambar 5 terlihat stagflasi akan
terjadi jika permintaan agregat (AD) bertambah, sedangkan penawaran (AS) berkuranng.
Gambar 5: Stagflasi
Komponen inflasi non inti (Non Core Inflation) adalah komponen inflasi dengan volatilitas
cenderung tinggi karena dipengaruhi non fundamental yang cenderung bersifat sementara. Inflasi non
inti dapat didefinisikan sebagai inflasi yang disebabkan oleh gangguan dari penawaran dan di luar
kendali otoritas moneter serta bersifat sesaat. Inflasi non inti sering disebut noises inflation. Komponen
Inflasi non inti sendiri dapat dibagi kedalam dua kelompok yaitu:
(i) Inflasi Komponen Bergejolak (Volatile Food) Inflasi yang dominan dipengaruhi oleh shocks
(kejutan) dalam kelompok bahan makanan, seperti: panen, gangguan alam, atau perkembangan harga
komoditas pangan domestik maupun internasional. Sebagai contoh: inflasi beras, cabe, dan beberapa
jenis sayuran sering berfluktuasi tajam karena dipengaruhi kondisi kecukupan pasokan komoditas
tersebut, seperti faktor musim panen, gangguan distribusi, bencana alam maupun hama.
(ii) Inflasi Komponen Harga yang Diatur Pemerintah Pemerintah (Administerd Prices):Inflasi yang
dominan dipengaruhi oleh shocks (kejutan) kebijakan harga pemerintah , seperti harga BBM
bersubsidi, tariff listrik, tariff angkutan umum, dan lain-lain (Utari et al, 2015).
C. METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Data harga beras jenis mentik, harga daging sapi,
harga daging ayam, cabai rawit dan bawang merah di Provinsi Jawa Timur dalam kurun waktu Januari
2015-Desember 2017. Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data runtut waktu (time series)
dengan menggunakan data sekunder yang diperoleh dari SISKAPERBAPO dan Bank Indonesia.
Komoditas yang dipilih adalah harga komoditas jenis mentik, harga daging sapi, harga daging ayam,
harga cabai rawit dan harga bawang merah.
Keterngan:
IHKt =Indeks harga konsumen (persen)
HBJMt = rata-rata harga beras jenis mentik (rupiah)
HDSt = rata-rata harga daging sapi periode bulanan (rupiah)
HDAt = rata-rata harga daging ayam periode bulanan (rupiah)
HCRt = rata-rata harga cabai rawit periode bulanan (rupiah)
HBMt = rata-rata harga bawangmerah periode bulanan (rupiah)
εt = errorterm
Selanjutnya untuk melihat jangka panjang persoalan jangka panjang terbentuk pengkombinasian
antara model VAR struktural dengan model Vector Error Correction Model (VECM) sehingga
persamaan menjadi sebagai berikut:
∆yt = µ0x+ µ1xt +∏x yt-1+ ix ∆yt-i + t , t = 1,2,…………………………………………………….(7)
∆yt = (IHK, HBJM, HDS,HDA,HCB, HBM)
µ0x= Vektor Intersep.
t = time trend
∏x = αxβ’ dimana b’ mengandung persamaan kointegrasi jangka panjang
yt-1 = variabel in-level
Γix = matriks koefisien regresi
k-1 = ordo VECM dari VAR
εt =error term
Alur Metode Penelitian yang dilakukan antara lain:
1. Uji Stasioner
Menurut (Gujarati, 2006) pengujian kestasioneran data dilakukan untuk mengatasi permasalahan
unit root yang terdapat pada data time series tidak stasioner. Uji stasioneritas data dapat dilakukan
dengan menggunakan uji akar unit, kebanyakan uji yang sering digunakan untuk pengaruh
kewujudan akar unit dilakukan dengan menggunakan uji Augmented Dickey-Fuller (ADF) dan uji
Philips-Perron (PP).
2. Uji Stabilitas VAR
(Firdaus, 2011) Langkah berikutnya yaitu. menguji stabilitas VAR. Uji stabilitas VAR dilakukan
dengan menghitung akar-akar dari fungsi polinomial atau dikenal dengan roots of characteristic
polinomial. Jika semua akar dari fungsi polinomial tersebut berada di dalam unit circle atau jika
nilai modulusnya < 1 maka model VAR tersebut dianggap stabil, sehingga Impulse Response
Function (IRF) dan Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) yang dianggap valid.
3. Penentuan Lag Optimal
Hal penting lainnya dalam estimasi model VAR (p) adalah penentuan lag atau p dalam sistem
VAR. Lag yang optimal diperlukan dalam kerangka menangkap pengaruh peubah dari setiap
peubah terhadap peubah lainnya dalam sistem VAR. Dalam penentuan lag optimal, dapat
ditentukan dengan menggunakan beberapa kriteria, yaitu LR (sequential modified Likelihood Ratio
test statistic), AIC (Akaike Information Criterion) dan SC (Schwarz Information Criterion), LR
(Sequential modified LR test statistic), FPE (Final Prediction Error) dan HQ (Hannan-Quinn
information criterion). Kriteria pemilihan lag optimal adalah pada LR yang terbesar atau AIC, SC,
FPE, dan HQ bernilai terkecil. Agar semua kriteria dapat dibandingkan untuk berbagai lag, maka
banyaknya observasi yang digunakan dalam setiap model VAR yang dibandingkan haruslah sama
(Juanda dan Junaidi, 2012).
4. Uji Kointegrasi
Tujuan utama pengujian kointegrasi adalah untuk menentukan variabel yang stasioner
terkointegrasi atau bukan stasioner terkointegrasi. Pengujian hubungan kointegrasi dilakukan
dengan menggunakan selang optimal sesuai dengan pengujian sebelumnya. Sementara penentuan
asumsi deterministik yang melandasi pembentukan persamaan kointegrasi didasarkan pada nilai
kriteria informasi AIC dan SC Berdasarkan asumsi deterministik tersebut akan diperoleh
informasi mengenai banyaknya hubungan kointegrasi antar variabel sesuai Trace dan
Max.(Erkananda, 2017).
5. Uji Kausalitas
Untuk melihat hubungan jangka pendek (short-run causality) dapat dilakukan uji kausalitas
granger. Uji kausalitas Granger dilakukan untuk melihat hubungan kausalitas diantara variabel-
variabel yang ada dalam model. Uji ini untuk mengetahui suatu variabel bebas (Independent
variable) meningkatkan kinerja forecasting dari variabel tidak bebas (Independent variable).
Pengujian hubungan sebab akibat, dalam pengertian Granger (1969), dengan menggunakan F-test
untuk menguji apakah lag informasi dalam variabel Y informasi statistik yang signifikan tentang
variabel X dalam menjelaskan perubahan X. Jika tidak, Y tidak ada hubungan sebab akibat Granger
dengan X. Eviews akan menjalankan estimasi dengan bentuk persamaan:
yt = 𝜶0 + 𝜶1yt-1 +…+𝜶1yt-1+ 𝜷1x1,t-1+…+𝜷tx-1)+𝜺t………………………………….(8)
xt = 𝜶0+𝜶1xt-1+…+ 𝜶1xt-1+𝜷1y1,t-1+…+𝜷ty-1)+𝝁………………………………........(9)
Nilai F-statistik dihitung berdasarka Wald statistic untuk hipotesis:
𝜷1=𝜷2 = …=𝜷t =0……………………………………………………………………..(10)
Untuk setiap persamaan. Pada persamaan pertama, hipotesis nol-nya adalah x tidak mempengaruhi
Granger y sedangkan y tidak mempengaruhi Granger x pada persamaan kedua (Firdaus, 2011).
6. Vector Error Correction Model (VECM)
menurut (Firdaus, 2011) Vector Error CorrectionModel (VECM) adalah VAR terestriksi yang
digunakan untuk variabel yang non-stationer tetapi memiliki potensi untuk terkointegrasi, setelah
dilakukan pengujian kointegrasi pada model yang digunakan, maka dianjurkan untuk memasukkan
persamaan kointegrasi ke dalam model yang digunakan, dengan demikian dalam VECM terdapat
speed of adjustment dari jangka pendek ke jangka panjang.
Adapun spesifikasi model VECM secara umum adalah sebagai berikut:
∆yt = µ0x+ µ1xt +∏x yt-1+ ix ∆yt-i + t , t = 1,2,…………………………………(11)
Keterangan
yt = vektor yang berisi variabel yang dianalisis dalam penelitian.
µ0x = vektor intercept.
t = time trend
∏x = αx β’ dimana b’mengandung persamaan kointegrasi jangka panjang.
yt-I = variabel in-level.
Γix = matriks koefisien regresi.
k-1 = ordo VECM dari VAR.
Ɛt = error terms.
7. Analisis IRF (Impulse Response Function)
Impulse Response Function (IRF) pada VECM mirip dengan proses yang berlaku pada VAR,
namun dengan kondisi adannya faktor koreksi dan hubungan kointegrasi. IRF pada shock residual
menggunakan format VECM untuk menghasilkan forecast endogen masa yang akan datang,
sedangkan IRF pada shock cholesky decomposition menggunakan format rekursif hubungan
contemporaneous variabel endogen. Urutan hubungan rekursif mengikuti urutan variabel VECM
(Erkananda, 2017).
8. Forecast Error Decomposition Variance (FEDV)
Analisis FEDV dalam model VAR bertujuan untuk memprediksi kontribusi persentase varian
setiap peubah karena adannya perubahan peubah tertentu dalam sistem VAR. pada analisis impulse
response sebelumnya digunakan untuk melihat dampak guncangan dari suatu peubah terhadap
peubah lainnya, dalam analisis FEDV digunakan untuk menggambarkan relative pentingnya setiap
peubah dalam sistem VAR karena adannya shock (Junaidi dan Juanda, 2012).
D. HASIL PEMBAHASAN
Hasil dan pembahasan yang diperoleh untuk menjawab rumusan masalah penelitian
disesuaikan berdasarkan alur prosedur metode penelitian. Secara terperinci, hasil dan pembahasan
yang diperoleh dalam mewujudkan tujuan penelitian akan melalui beberapa tahapan, antara lain : Uji
Stasioneritas, Uji Stabilitas VAR, Penentuan Lag Optimal, Uji Kointegrasi, Uji Kausalitas, Uji VECM,
Analisis IRF, Analisis FEDV (Forecast Error Decomposition Variance). Tahapan Pertama, melakukan
uji stasioneritas pada data penelitian. Uji Stasioneritas ditujukan pada data inflasi (variabel dependen),
harga komoditas beras jenis mentik, harga daging sapi, harga daging ayam, harga cabai rawit, harga
bawang merah di Provinsi Jawa Timur. Berikut ini akan ditampilkan ringkasan uji stasioner yang
ditampilkan dalam tabel berikut:
Tabel 1 merupakan hasil uji stasioneritas pada tingkat level. Dalam tabel tersebut diketahui hanya
variabel daging ayam yang stasioner pada tingkat level. Variabel harga daging ayam stasioner pada
tingkat level penyebabnya adalah ADFtest > MacKinnon critical value, sedangkan variabel lain seperti
IHK, harga beras, harga daging sapi, harga cabai rawit, dan harga bawang merah tidak stasioner pada
derajat stasioneritas pada derajat kepercayaan 1%, 5%, maupun 10% maka perlu dilakukan uji ADF
pada tingkat first difference.Setelah dilakukan uji stasioner pada tingkat first difference. Pada tabel 2 di
bawah ini merupakan hasil uji stasioneritas pada tingkat first difference, hasil uji tersebut menjelaskan
bahwa semua data yaitu variabel IHK, harga daging sapi, harga daging ayam, harga cabai rawit dan
harga bawang merah telah stasioner pada derajat kepercayaan 1%, 5% dan 10%. Hal ini disebabkan
nilai ADF statistik yang lebih kecil daripada MacKinnon Critical Value.
Setelah melakukan Uji Stasioner pada tabel 2 selanjutnya adalah Uji Stabilitas VAR yang bertujuan
untuk melihat model VAR telah stabil atau tidak. Uji stabilitas VAR dilakukan dengan menghitung
akar-akar dari fungsi polinomial atau dikenal dengan roots of characteristic polinomial. Jika semua
akar dari fungsi polinomial tersebut berada di dalam unit circle atau jika nilai modulusnya < 1 maka
model VAR tersebut dianggap stabil, sehingga Impulse Response Function (IRF) dan Forecast Error
Variance Decomposition (FEVD) yang dianggap valid (Firdaus, 2011). Pada penelitian ini,
berdasarkan uji stabilitas VAR yang ditunjukkan pada tabel 3 dapat disimpulkan bahwa estimasi
stabilitas VAR yang akan digunakan untuk analisis IRF dan FEVD telah stabil karena kisaran modulus
< 1.
Root Modulus
0.991411 0.991411
0.840055 0.840055
0.394113-0.727766i 0.827628
0.394113+0.727766i 0.827628
0.673165-0.242771i 0.715604
0.673165+0.242771i 0.715604
-237646-0.545233i 0.594773
-237646+0.545233i 0.431125
0.288499-0.106194i 0.307422
0.288499+0.106194i 0.307422
-0.025498 0.025498
Tabel 4. diatas merupakan hasil uji lag optimal. Dalam estimasi VAR, sebelum melakukan uji
kointegrasi terlebih dahulu menguji lag optimal. Penentuan lag optimal penting dilakukan karena
estimasi VAR sangat peka terhadap panjang lag optimal. Penentuan lag berdasarkan pada nilai
Likelihood Ratio (LR), Final Prediction Error (FPE), Akaike Information Criteria (AIC), Schwarz
information criterion (SC), dan Hannan-Quinn Criterion (HQ). Dalam penelitian ini, lag optimal
ditunjukkan dengan menggunakan kriteria Akaike Information Criterion (AIC), yang menghasilkan
nilai terkecil yaitu -22.3305. berdasarkan tabel 4.5 diatas dapat dilihat bahwa nilai AIC terdapat pada
lag dua, sehingga lag yang digunakan adalah lag dua, selain itu untuk menentukan lag dapat dilihat
jumlah bintang (*) terbanyak dari masing-masing kriteria informasi tersebut, berdasarkan pengamatan
dari hasil penelitian ini jumlah bintang terbanyak terdapat dalam lag ke 2, sehingga dari semua kriteria
tersebut disarankan memilih lag ke-2 sebagai lag optimal terbaik.
Dari pengaplikasian model VECM diperoleh hasil bahwa dalam jangka pendek pada tabel 7 di
bawah ini adalah sebagai berikut, pada selang kepercayaan 5%, fluktuasi harga komoditas pangan di
Provinsi Jawa Timur hanya variabel harga cabai rawit dan bawang merah yang signifikan berpengaruh
terhadap inflasi pada periode masing-masing ke (-1) pada komoditas harga cabai rawit, dan pada
periode ke (-2) pada bawang merah. sedangkan variabel lain tidak signifikan. (Firdaus, 2011) yang
menyatakan bahwa variabel yang berpengaruh signifikan dalam jangka pendek hanya sedikit, karena
variabel bereaksi terhadap variabel lainnya membutuhkan waktu (lag), sehingga pada umumnya reaksi
suatu variabel terhadap variabel lainnya terjadi dalam jangka panjang. Gambaran lengkapnya sebagai
berikut:
Tabel 7: Hasil Estimasi VECM Jangka Pendek
Jangka Pendek
Tabel 8 erupakan hasil estimasi pengaruh fluktuasi harga komoditas pangan terhadap inflasi di
Provinsi Jawa Timur dalam jangka panjang pada selang kepercayaan 5%. Hasil tersebut menjelaskan
bahwa di Provinsi Jawa Timur variabel harga komoditas pangan yang berpengaruh terhadap inflasi
adalah sebagai berikut:
1. Variabel harga beras jenis mentik mempunyai pengaruh positif dalam jangka panjang terhadap
kenaikan indeks harga konsumen sebesar 0,60 persen. Artinya, jika terjadi kenaikan harga beras
jenis mentik dari bulan sebelumnya maka akan menyebabkan kenaikan indeks harga konsumen
sebesar 0,60 persen.
2. Variabel harga daging sapi mempunyai pengaruh negatif dalam jangka panjang terhadap indeks
harga konsumen sebesar 1,2 persen. Artinya, jika terjadi penurunan harga dari bulan sebelumnya
maka akan menyebabkan penurunan indeks harga konsumen sebesar 1,2%.
3. Variabel harga daging ayam mempunyai pengaruh positif dalam jangka panjang terhadap kenaikan
indeks harga konsumen sebesar 0,13 persen yang mempunyai artian, jika terjadi kenaikan harga
daging ayam dari bulan sebelumnya maka akan menyebabkan kenaikan indeks harga konsumen
(inflasi) sebesar 0,13 persen.
4. Variabel harga cabai rawit mempunyai pengaruh positif dalam jangka panjang terhadap indeks
harga konsumen yang artinya jika harga cabai rawit mengalami peningkatan di bulan sebelumnya
maka akan menyebabkan peningkatan indeks harga cabai rawit sebesar 0,01 persen.
5. Variabel harga bawang merah mempunyai pengaruh negatif dalam jangka panjang terhadap
penurunan harga konsumen sebesar 0,12 persen yang artinya adalah jika terjadi penurunan harga
bawang merah di bulan sebelumnya maka akan menyebabkan penurunan indeks harga konsumen
sebesar 0,12 persen.
guncangan harga komoditas beras jenis mentik di Provinsi Jawa Timur secara umum direspon positif
oleh inflasi. Komoditas harga beras jenis mentik grafiknya menunjukkan tren yang berfluktuasi dimana
puncak guncangan terjadi pada periode ke-3 dan ke-8 yang artinya bahwa guncangan harga beras jenis
mentik sebesar satu standar deviasi pada periode ke-3 akan menyebabkan peningkatan inflasi sebesar
0,001557% dan pada periode ke-8 akan menyebabkan peningkatan inflasi sebesar 0,001467%.
guncangan harga komoditas daging sapi di Provinsi Jawa Timur secara umum direspon negatif oleh
inflasi. Namun harga komoditas daging sapi menunjukkan respon guncangan positif di bulan ke-5
yang artinya bahwa guncangan harga sebesar satu standar deviasi akan menyebabkan peningkatan
inflasi sebesar 0.000500%.
guncangan harga daging ayam di Provinsi Jawa Timur yang secara umum direspon positif oleh
inflasi hingga periode ke-3, kemudian pada periode ke-4 mengalami guncangan harga daging ayam
yang direspon negatif oleh inflasi. Selanjutnya pada periode ke-6 guncangan harga daging ayam
direspon positif oleh inflasi dan berlanjut mendekati titik kestabilan masing-masing. Pada periode-3
guncangan harga daging ayam direspon positif artinya bahwa guncangan harga daging ayam sebesar
satu standar deviasi akan menyebabkan kenaikan inflasi 0.000662%.
guncangan harga cabai rawit di Provinsi Jawa Timur yang secara keseluruhan periode direspon
secara positif oleh inflasi. Sehingga secara keseluruhan periode cabe rawit menjadi salah satu
penyebab inflasi di Provinsi Jawa Timur meskipun reaksinya menunjukkan gejala yang berfluktuatif.
Dalam grafik tersebut tergambarkan bahwa titik tertinggi guncangan harga cabai merah berada di
periode ke-3 yang artinya bahwa guncangan harga cabai rawit sebesar satu standar deviasi akan
menyebabkan inflasi sebesar 0.001616%.
guncangan harga bawang merah secara keseluruhan 11 periode penelitian menujukkan pengaruh
negatif terhadap inflasi, dalam artian fluktuasi harga bawang merah di Provinsi Jawa Timur tidak
menyebabkan selama 11 periode ke depan.
Grafik 4: Hasil Uji FEDV
bahwa analisis FEDV pada periode pertama, keragaman di Provinsi Jawa Timur penyebab utamanya
adalah disebabkan guncangan inflasi di Provinsi Jawa Timur dengan nilai 100%. Kemudian, pada
periode ke-2, variabel lain mulai mempengaruhi keragaman inflasi Provinsi Jawa Timur. Dijelaskan
keragaman inflasi 88.2% dipengaruhi oleh variabel inflasi itu sendiri, kemudian dijelaskan oleh
variabel harga beras sebesar 5.17%, 0,02% variabel daging sapi, disusul 0.51% variabel daging ayam,
selanjutnya 2.23% dipengaruhi variabel harga cabe rawit, serta terakhir 3.8% harga variabel bawang
merah.
Pada akhir periode penelitian yaitu periode ke-12, kontribusi Inflasi di Provinsi Jawa Timur dalam
menjelaskan keragaman inflasi Provinsi Jawa Timur sendiri semakin berkurang menjadi 80.25%.
Berdasarkan pengamatan tersebut, komoditas beras, komoditas daging ayam dan komoditas cabai rawit
dalam menjelaskan keragaman inflasi di Provinsi Jawa Timur di periode mendatang lebih cenderung
menujukkan peningkatan, sedangkan variabel yang lainnya yaitu komoditas daging sapi dan bawang
merah cenderung menujukkan penurunan.
Berdasarkan analisis tersebut, di Provinsi Jawa Timur komoditas yang paling dominan dalam
menjelaskan keragaman inflasi adalah komoditas beras yakni pada periode ke-12 dengan
presentasenya sebesar 8,25%. Sedangkan urutan kedua adalah komoditas daging ayam presentasenya
dalam menjelaskan keragaman inflasi tidak terlalu tinggi yakni sebesar 0.73% sedangkan untuk
komoditas cabe rawit menjelaskan keragaman inflasi sebesar 4.8%.
Selain ketiga komoditas tersebut, komoditas daging sapi pada peeriode ke-12 menjelaskan
keragaman inflasi dengan presentasenya sebersar 0,54% dan dalam periode yang sama komoditas
bawang merah menjelaskan keragaman inflasi dengan presentase 5,4% namun dalam grafik 4 kedua
komoditas tersebut menunjukkan reaksi yang negatif yaitu dengan posisi gambar yang menurun
artinya kedua komoditas tersebut menunjukkan fluktuasi harga yang berkontribusi negatif terhadap
inflasi.
Bank Indonesia. 2018. Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional Provinsi Jawa Timur.Surabaya,
Laporan Keuangan.
Badan Ketahan Pangan Kementrian Pertanian. 2015. “Data Statistik Ketahanan Pangan Tahun 2014”.
Diakses https://bkp.pertanian.go.id. Pada tanggal 01 Januari 2018.
Badan Pusat Statistik, 2016. Indeks Harga Konsumen 8 Kota Provinsi Jawa Timur. Jawa Timur:BPS.
Tim Pengendali Inflasi Daerah/TPID (2014). Buku Petunjuk TPID. Jakarta.Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan. 2012. Jakarta.
Erkananda, Mahyus. 2015. Ekonometrika Dasar untuk Penelitian Ekonomi, Sosial dan Bisnis. Jakarta,
Mitra Wacana Media.
Firdaus, M. 2008. Manajemen Agribisnis. Bumi Aksara. Jakarta
Firdaus, 2011. Aplikasi Ekonometrika untuk Data Panel dan Time Series. Bogor (ID): IPB
Press.
Gujarati, D. 2006. Dasar-Dasar Ekonometrika . “Ed ke-3”. Jakarta: Erlangga.
Juanda, Bambang., Junaidi. 2012. Ekonometrika Deret Waktu: Teori dan Aplikasi.Bogor (ID): IPB
Press.
Prastowo.N.J., Yanuarti, T.,& Depari, Y. 2008. Pengaruh distribusi dalam pembentukan harga
komoditas dan implikasinya terhadap inflasi. Working Paper. Bank Indonesia.
Rahardja P dan Manurung M. 2008. Pengantar Ilmu Ekonomi (Mikroekonomi dan Makroekonomi).
Edisi Ke-3. Jakarta (ID): Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI.
Riyadh, M, I., Oktaviani, Rina.,& Siregar, Hermanto. 2009. Analisis fluktuasi nilai tukar rupiah dan
inflasi Indonesia periode 1999-2006. Jurnal Form Pascasarjana IPB. 32(3): 1-18.
Santoso, Teguh. 2011. Aplikasi Model GARCH pada data inflasi bahan makanan Indonesia periode
2005.1-2010.6. Jurnal Organisasi dan Manajemen, Volume 13, Nomor 1: 65-76.
Suseno dan Astiyah. 2009. Inflasi. Jakarta. Bank Indonesia.
Siskaperbapo Jawa Timur.2017. Harga Komoditas Beras Jenis Mentik, Harga Komoditas Daging
Sapi, Harga Komoditas Daging Ayam, Harga Komoditas Cabai Rawit, Harga Komoditas Bawang
Merah Provinsi Jawa Timur 2015-2017.Http://siskaperbapo.com/harga/grafik. [Diakses pada 30
Desember 2017].
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan. 2012. Jakarta.
Sumaryanto. 2009. Analisis volatilitas harga eceran beberapa komoditas pangan utama dengan model
ARCH-GARCH. Jurnal Agroekonomi, Volume.27, No.2: 135-163. Oktober, ISSN (Online) 2541-1527
http://www.ejurnal.litbang.pertanian.go.id.
Utari, G.A Diah., S, Retni, Cristina., & Sudiro, Pambudi. 2015. Inflasi di Indonesia: Karakteristik dan
Pengendaliannya. Working Paper. Bank Indonesia.