Anda di halaman 1dari 20

Tugas Kelompok Dosen Pengampu

Aqidah Akhlak Sariah, Dra, Hj.,M.Pd

MAKALAH
AKHLAK KEPADA ALAM DAN NEGARA

OLEH KELOMPOK 5 :

LIVIA MURDIYATI 12110520008


NABILA ANNADHIRA 12110520211
NELDA GUSMELY 12110520204
SILVIA MUHARANI 12110521529

KELAS 1 C
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SUSKA RIAU
2021
KATA PENGANTAR

Dengan segala kerendahan dan keikhlasan hati, Penulis memanjatkan puji


syukur kehadirat Allah Subhaanahu wa Ta’aala karena berkat rahmat dan karunia-
Nya serta atas segala kemudahan yang telah diberikan sehingga penyusunan
makalah tentang “Tokoh Ilmuwan Muslim” ini dapat terselesaikan. Shalawat
terbingkai salam semoga abadi terlimpahkan kepada sang pembawa risalah
kebenaran yakni nabi besar Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Makalah ini berisi ulasan-ulasan yang membahas mengenai akhlak kepada
alam dan negara.
Dalam kesempatan kali ini, penulis juga ingin mengucapkan terima kasih
kepada :
1 Media massa dan media lainnya yang artikelnya kami gunakan dalam
penulisan makalah ini.
2 Semua pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan yang tidak
dapat kami sebutkan satu persatu.

Setitik harapan dari penulis, semoga makalah ini dapat bermanfaat serta
bisa menjadi bacaan yang berguna. Penulis menyadari keterbatasan yang kami
miliki. Untuk itu, penulis mengharapkan dan menerima segala kritik dan saran
yang membangun demi perbaikan dan penyempurnaan makalah ini.

Pekanbaru, November 2021

Kelompok 5
DAFTAR ISI

BAB I.................................................................................................................................4

PENDAHULUAN.............................................................................................................4

1.1 Latar Belakang...................................................................................................4

1.2 Rumusan Masalah..............................................................................................5

1.3 Tujuan................................................................................................................6

BAB II...............................................................................................................................7

PEMBAHASAN................................................................................................................7

2.1 Akhlak Kepada Alam.........................................................................................7

2.2 Akhlak Kepada Negara....................................................................................11

3. BAB III....................................................................................................................20

PENUTUP.......................................................................................................................20

3.1 Kesimpulan......................................................................................................20

3.2 Saran................................................................................................................20
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Islam adalah agama yang diridhai Allah, agama yang sempurna
yang mengatur tata cara kehidupan manusia. Di dalamnya lengkap diatur
hubungan antara manusia dengan Tuhannya, manusia dengan sesamanya,
dan manusia dengan alam lingkungannya. Membangun kesempurnaan
akhlak mulia adalah misi utama Nabi Muhammad. Ini berarti akhlak
menjadi inti dan tujuan agama Islam dan keluhuran akhlak menjadi
landasan penting bagi kehidupan manusia. Pemaknaan akhlak mencakup
tataran praksis yang tidak hanya ditujukan kepada Allah (hablumminallah)
dan kepada sesama manusia (hablumminannas), melainkan juga akhlak
terhadap alam dan seluruh isinya.
Dalam konteks kebencanaan dan lingkungan hidup, implementasi
akhlak terhadap alam dan seisinya termasuk binatang dan tumbuh-
tumbuhan menjadi niscaya untuk ditingkatkan. Ini bukan berarti akhlak
kepada Allah dan sesama manusia menjadi tidak penting, tetapi justru
kedua akhlak tersebut harus termanifestasi ke dalam akhlak terhadap alam
dan seluruh isinya.
Kemunculan ayat-ayat kauniyah (bencana di berbagai belahan
bumi) jelas menuntut kesadaran serta kepekaan hati kita akan pentingnya
meninggikan akhlak pada dimensi yang ketiga, yaitu tidak membuat
kerusakan di muka bumi (QS al-'Araf: 56). Begitu seriusnya al-Qur’an
berbicara soal larangan tadi sehingga ayat semacam ini diulang 40 kali.
Allah telah menunjukkan banyak bukti bahwa apabila alam
diperlakukan semena-mena, dampaknya tidak hanya menimpa manusia,
hewan, dan tumbuh-tumbuhan, tetapi juga bisa berakibat fatal terhadap
makhluk lain, seperti tanah, batu, sungai, gunung, dan benda-benda tak
bernyawa lainnya sehingga ekosistem terganggu. Jika alam terganggu,
bencana telah menjadi ancaman serius yang akan kita hadapi.
Penerapan akhlak terhadap lingkungan merupakan peranti utama
dalam kesiapsiagaan menghadapi bencana yang akan mengancam tidak
hanya pada jiwa tetapi juga harta, kehormatan, dan keturunan bahkan
agama. Karena alasan itulah tindakan mengantisipasi ancaman mutlak
dilakukan oleh setiap individu ataupun kelompok di dalam masyarakat
demi tercapainya kemaslahatan bersama.
Izin Allah kepada manusia dalam memanfaatkan alam adalah demi
kebaikan dan kebahagiaan umat manusia. Oleh karena itu, pemanfaatan
alam harus berdasarkan akhlak yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya.
Di sinilah arti pentingnya peran negara agar pemanfaatan sumber
daya alam dapat diatur menurut standar kebutuhan yang layak dan tidak
boleh melenceng dari garis konstitusi. Kontrol negara diperlukan agar
pemanfaatan sumber daya alam tidak merusak alam dan menimbulkan
kesengsaraan hidup manusia.
Oleh karena itu tata cara kehidupan manusia yang telah diatur
dalam ajaran Islam juga mencakup tentang hak dan kewajiban warga
Negara yang merupakan perwujudan dari akhlak seseorang kepada
Negara.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa itu akhlak terhadap lingkungan
2. Apa itu akhlak terhadap negara

1.3 Tujuan
1. Mengetahui apa itu akhlak terhadap lingkungan
2. Mengetahui apa itu akhlak terhadap negara
BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Akhlak Kepada Alam
Akhlak kepada alam adalah perilaku atau perbuatan kita terhadap alam.
Akhlaq terhadap alam yaitu manusia tidak dibolehkan memanfaatkan sumber
daya alam dengan jalan mengeksploitasi secara besar besaran, sehingga
timbul ketidakseimbangan alam dan kerusakan bumi. Alam harus
diperlakukan dengan baik dengan selalu menjaga, merawat dan
melestarikannya karena secara etika hal ini merupakan hak dan kewajiban
suatu masyarakat serta merupakan nilai yang mutlak adanya.
Dengan kata lain bahwa berakhlak yang baik terhadap alam merupakan
salah satu manifestasi dari etika itu sendiri. Dari Syaddad bin Aus berkata,
“Ada dua hal yang aku hapal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
beliau berkata, ‘Sesungguhnya Allah mewajibkan berlaku ihsan kepada
segala sesuatu. Binatang, tumbuhan, dan benda-benda tak bernyawa
semuanya diciptakan oleh Allah SWT dan menjadi milik-Nya, serta semua
memiliki ketergantungan kepada-Nya. Keyakinan ini mengantarkan sang
Muslim untuk menyadari bahwa semuanya adalah "umat" Allah yang harus
diperlakukan secara wajar dan baik. Karena itu dalam Al-Quran surat Al-
An'am (6) : 38 ditegaskan bahwa binatang melata dan burung-burung pun
adalah umat seperti manusia juga, sehingga semuanya tidak boleh
diperlakukan secara aniaya."
Allah memerintahkan seluruh manusia untuk tidak hanya memikirkan
kepentingan diri sendiri, kelompok, atau bangsa, dan jenisnya saja, melainkan
juga harus berpikir dan bersikap demi kemaslahatan semua pihak. Ia tidak
boleh bersikap sebagai penakluk alam atau berlaku sewenang-wenang
terhadapnya. Memang, istilah penaklukan alam tidak dikenal dalam ajaran
Islam. Istilah itu muncul dari pandangan mitos Yunani. Yang menundukkan
alam menurut Al-Quran adalah Allah. Manusia tidak sedikit pun mempunyai
kemampuan kecuali berkat kemampuan yang dianugerahkan Tuhan
kepadanya.
Jika demikian, manusia tidak mencari kemenangan, tetapi keselarasan
dengan alam. Keduanya tunduk kepada Allah, sehingga mereka harus dapat
bersahabat. Al-Quran menekankan agar umat Islam meneladani Nabi
Muhammad yang membawa rahmat untuk seluruh alam (segala sesuatu).
Untuk menyebarkan rahmat itu, Nabi Muhammad bahkan memberi nama
semua yang menjadi milik pribadinya, sekalipun benda-benda itu tak
bernyawa. "Nama" memberikan kesan adanya kepribadian, sedangkan kesan
itu mengantarkan kepada kesadaran untuk bersahabat dengan pemilik nama.
Nabi Muhammad telah mengajarkan : "Bertakwalah kepada Allah dalam
perlakuanmu terhadap binatang, kendarailah, dan beri makanlah dengan
baik."

Kebersihan lingkungan
Kebersihan adalah keadaan bebas dari kotoran, termasuk di antaranya,
debu, sampah, dan bau. Di zaman modern, setelah Louis Pasteur menemukan
proses penularan penyakit atau infeksi disebabkan oleh mikroba, kebersihan
juga berarti bebas dari virus, bakteri patogen, dan bahan kimia berbahaya.
Kebersihan adalah salah satu tanda dari keadaan higienis yang baik. Manusia
perlu menjaga kebersihan lingkungan dan kebersihan diri agar sehat, tidak
bau, tidak malu, tidak menyebarkan kotoran, atau menularkan kuman
penyakit bagi diri sendiri maupun orang lain.
Kebersihan lingkungan adalah kebersihan tempat tinggal, tempat bekerja,
dan berbagai sarana umum. Kebersihan tempat tinggal dilakukan dengan cara
melap jendela dan perabot rumah tangga, menyapu dan mengepel lantai,
mencuci peralatan masak dan peralatan makan (misalnya dengan abu gosok),
membersihkan kamar mandi dan jamban, serta membuang sampah.
Kebersihan lingkungan dimulai dari menjaga kebersihan halaman dan
selokan, dan membersihkan jalan di depan rumah dari sampah.
Tingkat kebersihan berbeda-beda menurut tempat dan kegiatan yang
dilakukan manusia. Kebersihan di rumah berbeda dengan kebersihan kamar bedah
di rumah sakit, sedangkan kebersihan di pabrik makanan berbeda dengan
kebersihan di pabrik semikonduktor yang bebas debu.
Di Indonesia, masalah kebersihan lingkungan selalu menjadi perdebatan
dan masalah yang berkembang. Kasus-kasus yang menyangkut masalah
kebersihan lingkungan setiap tahunnya terus meningkat. Problem tentang
kebersihan lingkungan yang tidak kondusif dikarenakan masyarakat selalu tidak
sadar akan hal kebersihan lingkungan. Tempat pembuangan kotoran tidak
dipergunakan dan dirawat dengan baik. Akibatnya masalah diare, penyakit kulit,
penyakit usus, penyakit pernafasan dan penyakit lain yang disebabkan air dan
udara sering menyerang golongan keluarga ekonomi lemah. Berbagai upaya
pengembangan kesehatan anak secara umum pun menjadi terhambat.

Cara memelihara kebersihan lingkungan:


a. Dimulai dari diri sendiri dengan cara memberi contoh kepada masyarakat
bagaimana menjaga kebersihan lingkungan,
b. Selalu libatkan tokoh masyarakat yang berpengaruh untuk memberikan
pengarahan kepada masyarakat akan pentingnya menjaga kebersihan
lingkungan,
c. Sertakan para pemuda untuk ikut aktif menjaga kebersihan lingkungan.

Syarat-syarat Lingkungan Yang Sehat


a. Keadaan Air
Air yang sehat adalah air yang tidak berbau, tidak tercemar dan dapat dilihat
kejernihan air tersebut, kalau sudah pasti kebersihannya dimasak dengan suhu 100
derajat Celcius, sehingga bakteri yang di dalam air tersebut mati.
b. Keadaan Udara
Udara yang sehat adalah udara yang didalamnya terdapat zat yang diperlukan,
contohnya oksigen dan di dalamnya tidak tercemar oleh zat-zat yang merusak
tubuh, contohnya zat CO2 (zat karbondioksida).
c. Keadaan tanah
Tanah yang sehat adalah tanah yang baik untuk penanaman suatu tumbuhan, dan
tidak tercemar oleh zat-zat logam berat. Salah satu konsep pelestarian lingkungan
dalam Islam adalah perhatian akan penghijauan dengan cara menanam dan
bertani.
Nabi Muhammad menggolongkan orang-orang yang menanam pohon
sebagai shadaqah. Hal ini diungkapkan secara tegas dalam dalam hadits
Rasulullah, yang artinya : “…. Rasulullah SAW bersabda : tidaklah seorang
muslim menanam tanaman, kemudian tanaman itu dimakan oleh burung, manusia,
ataupun hewan, kecuali baginya dengan tanaman itu adalah sadaqah”. (HR. al-
Bukhari dan Muslim dari Anas).
Imam al-Qurtubi, mengatakan di dalam tafsirnya ; “Bertani bagian dari
fardhu kifayah, maka pemerintah harus menganjurkan manusia untuk
melakukannya, salah satu bentuk usaha itu adalah dengan menanam pohon.”

Menghidupkan Lahan Mati


Lahan mati berarti tanah yang tidak bertuan, tidak berair, tidak di isi
bangunan dan tidak dimanfaatkan. Kematian sebuah tanah akan terjadi kalau
tanah itu ditinggalkan dan tidak ditanami, tidak ada bangunan serta peradaban,
kecuali kalau kemudian tumbuh didalamnya pepohonan. Tanah dikategorikan
hidup apabila di dalamnya terdapat air dan pemukiman sebagai tempat tinggal.
Menghidupkan lahan mati adalah ungkapan dalam khazanah keilmuan yang
diambil dari pernyataan Nabi saw, dalam bagian matan hadis, yang artinya :
“Barang siapa yang menghidupkan tanah (lahan) mati maka ia menjadi
miliknya)”.
Dalam hadis ini Nabi saw, menegaskan bahwa status kepemilikan bagi
tanah yang kosong adalah bagi mereka yang menghidupkannya, sebagai motivasi
dan anjuran bagi mereka yang menghidupkannya. Menghidupkan lahan mati,
usaha ini dikategorikan sebagai suatu keutamaan yang dianjurkan Islam, serta
dijanjikan bagi yang mengupayakannya pahala yang amat besar, karena usaha ini
adalah dikategorikan sebagai usaha pengembangan pertanian dan menambah
sumber-sumber produksi. Sedangkan bagi siapa saja yang berusaha untuk
merusak usaha seperti ini dengan cara menebang pohon akan dicelupkan
kepalanya ke dalam neraka. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw
sebagaimana dalam bagian matan hadis, yang artinya : “Barang siapa yang
menebang pepohonan, maka Allah akan mencelupkannya ke dalam neraka”.
Maksud hadis di atas, dijelaskan kemudian oleh Abu Daud setelah
meriwayatkan hadis tersebut, yaitu kepada orang yang memotong pepohonan
secara sia-sia sepanjang jalan, tempat para musafir dan hewan berteduh. Ancaman
keras tersebut secara eksplisit merupakan ikhtiar untuk menjaga kelestarian
pohon, karena keberadaan pepohonan tersebut banyak memberi manfaat bagi
lingkungan sekitar. Kecuali, jika penebangan itu dilakukan dengan pertimbangan
cermat atau menanam pepohonan baru dan menyiramnya agar bisa menggantikan
fungsi pohon yang ditebang itu.

Cara-cara Pemeliharaan Kesehatan Lingkungan:


a. Tidak mencemari air dengan membuang sampah disungai.
b. Mengurangi penggunaan kendaraan bermotor.
c. Mengolah tanah sebagaimana mestinya.
d. Menanam tumbuhan pada lahan-lahan kosong.

2.2 Akhlak Kepada Negara


Modernisasi zaman yang semakin berkembang dari waktu ke waktu
menutut manusia untuk memahami akhlak secara essensial, dalam arti bahwa
manusia memahami akhlak bukan hanya sebagai sikap dan perilaku. Melainkan,
akhlak tersebut diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Cinta tanah air
merupakan sikap dan perbuatan yang sangat terpuji karena dengan semangat cinta
tanah air, akan menumbuhkan semangat membangun negaranya serta membela
pada saat ada pihak yang akan merusaknya. Setiap warga negara menginginkan
adanya tempat tinggal yang aman dan tentram. Sebagai Muslim sudah selayaknya
menampilkan tingkah laku perbuatan yang menunjukkan partisipasinya kepada
bangsa dan negaranya dalam upaya mewujudkan cita-cita masyarakat adil dan
makmur.
Akhlak bernegara meliputi musyawarah, menegakkan keadilan, amar
ma’ruf nahi munkar, dan hubungan pemimpin dan yang dipimpin.
1) Musyawarah

Musyawarah adalah sesuatu yang sangat penting guna menciptakan


peraturan di dalam masyarakat. Musyawarah dapat berjalan dengan lancar dan
penuh persahabatan, terdapat beberapa sikap yang harus dilakukan dalam
bermusyawarah, yaitu sikap lemah lembut, pemaaf, dan memohon ampunan
Allah.
a) Arti Penting Musyawarah
Musyawarah atau syuara adalah sesuatu yang sangat penting guna
menciptakan persaturan di dalam masyarakat mana pun. Setiap negara maju yang
menginginkan keamanan, ketrentraman, kebahagiaan, dan kesuksesan bagi
rakyatnya, tetap memegang prinsip musyawarah. Adapun salah satu ayat dalam Al
– Qur’an yang membahas mengenai Musyawarah adalah surah Al-Syura ayat 37-
38, yang artinya “Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan
perbuatan keji, dan apabila mereka marah, mereka memberi maaf. Dan (bagi)
orang-orang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat,
sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antar mereka; dan
mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka”
(QS. Asy-Syura : 37-38).
Dalam ayat di atas, syura atau musyawarah sebagai sifat ketiga bagi
masyarakat Islam dituturkan setelah iman dan shalat. Menurut Taufiq asy-Syawi,
hal ini memberi pengertian bahwa musyawarah mempunyai martabat setelah
ibadah terpenting, yakni shalat, sekaligus memberi pengertian bahwa musyawarah
merupakan salah satu ibadah yang tingkatannya sama dengan shalat dan zakat.
Masyarakat yang mengabaikannya dianggap sebagai masyarakat yang tidak
menetapi salah satu ibadah. Musyawarah sangat diperlukan untuk dapat
mengambil keputusan yang paling baik disamping untuk memperkokoh rasa
persatuan dan rasa tanggung jawab bersama. Ali Bin Abi Thalib menyebutkan
bahwa dalam musyawarah terdapat tujuh hal penting yaitu mengambil kesimpulan
yang benar, mencari pendapat, menjaga kekeliruan, menghindari celaan,
menciptakan stabilitas emosi, keterpaduan hati, dan mengikuti atsar.
b) Beberapa Sikap Bermusyawarah
Musyawarah dapat berjalan dengan lancar dan penuh persahabatan. Allah
SWT mengisyaratkan ada beberapa sikap yang harus dilakukan dalam
bermusyawarah:
i. Lemah-lembut

Seseorang yang melakukan musyawarah, apalagi sebagai pimpinan harus


menghindari tutur kata yang kasar serta sikap keras kepala, jika tidak mitra
musyawarah akan bertebaran pergi.
ii. Pema’af

Setiap orang yang bermusyawarah harus menyiapkan mental untuk selalu


bersedia memberi maaf. Karena mungkin saja ketika bermusyawarah terjadi
perbedaan pendapat, atau keluar kalimat-kalimat yang menyinggung pihak lain.
Bila hal itu masuk ke dalam hati, akan mengeruhkan pikiran, bahkan boleh jadi
akan mengubah musyawarah menjadi pertengkaran.
iii. Mohon Ampunan Allah SWT

Untuk mencapai hasil yang terbaik ketika musyawarah hubungan dengan


Tuhan harus harmonis. Oleh sebab itu, semua anggota musyawarah harus
berusaha selalu membersihkan diri dengan cara memohon ampun kepada Allah
SWT baik untuk diri sendiri maupun untuk anggota musyawarah yang lainnya.
2) Menegakkan Keadilan

Islam memerintahkan kepada umat manusia untuk bersikap adil dalam


segala aspek kehidupan. Baik terhadap diri dan keluarga, orang lain, bahkan
kepada musuh sekalipun harus dapat berlaku adil. Di dalam Al-Qur’an terdapat
beberapa ayat yang memerintahkan supaya manusia berlaku adil dan menegakkan
keadilan. Yang bersifat umum misalnya: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu)
berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah
melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi
pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS.An-Nahl : 90).
Islam mengajarkan bahwa semua orang mendapat perlakuan yang sama
dan sederajat dalam hukum, tidak ada diskriminasi hukum karena perbedaan kulit,
status sosial, ekonomi, politik, dan lains sebagainya. Allah menegaskan:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara
manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi
pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
Mendengar Lagi Maha Melihat”. (QS.An-Nisa’ : 58).
Keadilan hukum harus ditegakkan walaupun terhadap diri sendiri, atau
terhadap keluarga dan orang-orang yang dicintai. Tatkala seorang sahabat yang
dekat dengan Rasulullah SAW meminta keistimewaan hukum untuk seorang
wanita bangsawan yang mencuri, Rasulullah menolaknya dengan tegas: “Apabila
anda hendak meminta keistimewaan dalam pelaksanaan hukum Allah?
Sesungguhnya kehancuran umat yang terdahulu karena mereka menghukum
pencuri yang lemah, dan membiarkan pencuri yang elit. Demi Allah yang
memelihara jiwa saya, kalaulah Fatimah binti Muhammad mencuri, pastilah
Muhammad akan memotong tangan puterinya itu.” (HR. Ahmad, Muslim dan
Nasa’i).
Menegakkan keadilan menurut ajaran Islam, maka orang yang diangkat
menjadi hakim haruslah yang betul-betul memenuhi syarat keahlian dan
kepribadian. Kecuali, mempunyai ilmu yang luas, haruslah seorang yang taat
kepada Allah, mempunyai akhlak yang mulia, terutama kejujuran atau amanah.
Apabila hakim itu seorang yang lemah, maka dia mudah dipengaruhi, ditekan dan
disuap. Akibatnya orang-orang yang bersalah dibebaskan dari hukuman, sekalian
kesalahan atau kejahatannya sangat merugikan masyarakat dan negara. Rasulullah
SAW bersabda dari tiga orang hakim, dua akan masuk neraka dan hanya satu
yang masuk surga. Hakim yang masuk neraka (1) hakim yang menjatuhkan
hukuman dengan cara yang tidak adil, bertentangan dengan hati nuraninya,
bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah, sedang dia sendiri mengetahui dan
menyadari perbuatannya itu (2) hakim yang menjatuhkan hukuman yang tidak
adil karena kebodohannya dan hakim yang masuk surga adalah hakim yang
menjatuhkan hukuman berdasarkan keadilan dan kebenaran.
a) Keadilan dalam Segala Hal
Di samping keadilan hukum, Islam memerintahkan kepada umat manusia,
terutama orang-orang yang beriman untuk bersikap adil dalam segala aspek
kehidupan, baik terhadap diri dan keluarganya sendiri, apalagi kepada orang lain.
Bahkan kepada musuh sekalipun setiap mukmin harus dapat berlaku adil. Ada
beberapa nash berikut ini:
1.) Adil terhadap diri sendiri
“Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar
menegakkan keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri
atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia (terdakwa atau tergugat itu) kaya atau
miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti
hawa nafsu kamu ingin menyimpang dari kebenaran.”(QS. An-Nisa’:135).
2.) Adil terhadap isteri dan anak-anak
“Kawinilah wanita-wanita yang kamu sukai dua, tiga, atau empat. Tapi jika kamu
khawatir tidak dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja.”(QS.An-
Nisa’:3).
“Bertaqwalah kepada Allah dan berlaku adillah di antara anak-
anakmu.”(HR.Muslim).
3.) Adil dalam mendamaikan perselisihan
“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka
damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat
aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat
aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada Allah. Jika golongan itu telah
kembali (kepada perintah Allah) maka damaikanlah antara keduanya dengan adil
dan berlaku adillah, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku
adil.”(QS. Al-Hujurat:9).
4.) Adil dalam berkata
“Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil kendatipun dia
adalah kerabat(mu), dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan
Allah kepadamu agar kamu ingat.”(QS. Al-An’am:152).
5.) Adil terhadap musuh sekalipun
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah
sekali-sekali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk
berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan
bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang
kamu kerjakan.”(QS. Al-Maidah:8).
3) Amar Ma’ruf Nahi Mungkar

Semua yang diperintahkan oleh agama adalah ma’ruf. Tauhidullah,


mendirikan shalat, membayar zakat, amanah, disiplin, dan lain sebagainya adalah
beberapa contoh sikap dan perbuatan yang ma’ruf. Sebaliknya sirik,
meninggalkan shalat, tidak membayar zakat, penipuan, tidak toleran beragama,
mengabaikan kaum dhuafa dan mustadh’afin, tidak disiplin, dan sebagainya
adalah beberapa contoh sikap dan perbuatan yang mungkar.
Menurut M. Quraish shihab dalam buku Tafsir Al-Mishbah menyebutkan
bahwa ma’ruf adalah nilai-nilai luhur serta adat istiadat yang diakui baik oleh
masyarakat, selama hal itu tidak bertentangan dengan nilai-nilai Ilahiyah.
Sedangkan munkar adalah nilai buruk lagi diingkari oleh akal sehat masyarakat,
dan bertentangan dengan nilai-nilai Ilahiyah. Bahwa yang menjadi ukuran ma’ruf
atau munkarnya sesuatu ada dua, yaitu agama dan akal sehat atau hati nurani. Bisa
kedua-duanya sekaligus atau salah satunya. Semua yang diperintahkan oleh
agama adalah ma’ruf, begitu juga sebaliknya, semua yang dilarang oleh agama
adalah munkar.
a) Perintah dan Kedudukan Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Amar ma’ruf nahi munkar adalah kewajiban orang-orang yang beriman, baik
secara individual maupun kolektif. Allah SWT berfirman: “Dan hendaklah ada di
antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, dan menyuruh
kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Merekalah orang-orang
yang beruntung.”(QS. Ali Imran : 104).
Di samping kewajiban, amar ma’ruf nahi munkar adalah tugas yang
menentukan eksistensi dan kualitas umat Islam. Dalam hal ini Allah menegaskan:
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh
kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada
Allah.”(QS. Ali Imran:110).
Dalam ayat di atas dijelaskan bahwa keberadaan umat Islam sebagai umat
terbaik ditentukan oleh perannya dalam mengemban tugas amar ma’ruf nahi
munkar ini. Bila tugas tersebut diabaikan atau tidak dilaksanakan dengan
sendirinya umat Islam tidak lagi menjadi umat yang terbaik, bahkan bisa terpuruk
menjadi umat buruk kalau tidak yang terburuk sebagai lawan yang terbaik. Bila
demikian keadaannya keberadaan umat Islam sama sekali tidak akan
diperhitungkan oleh umat-umat yang lain.
b) Nahi Munkar
Dibandingkan dengan amar ma’ruf, nahi munkar lebih berat karena
beresiko tinggi, apabila bila dilakukan terhadap penguasa yang zalim. Oleh sebab
itu, Rasulullah SAW sangat memuliakan orang-orang yang memiliki keberanian
menyatakan kebenaran di hadapan penguasa yang zalim. Beliau bersabda:
“Jihad yang paling utama ialah menyampaiakan al-haq terhadap penguasa yang
zalim.” (HR. Abu Daud, Tirmizi dan Ibn Majah).
Nahi munkar dilakukan sesuai dengan kemampuan masing-masing. Bagi
yang mampu melakukan dengan tangan (kekuasaannya) dia harus menggunakan
kekuasaannya itu, apabila tidak bisa dengan kata-kata dan bila dengan kata-kata
juga tidak mampu paling kurang menolak dengan hatinya. Dalam hal ini
Rasulullah SAW bersabda:
“Barangsiapa di antara kamu melihat kemunkaran, hendaklah dia merobahnya
dengan tangannya. Kalau tidak sanggup (dengan tangan, maka robahlah) dengan
lisannya. Dan apabila tidak sanggup (dengan lisan), maka robahlah dengan
hatinya. Yang demikian itu adalah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim).
4) Hubungan Pemimpin dan yang Dipimpin

Hubungan pemimpin dan yang dipimpin dalam pergaulan sehari-hari


berlandaskan kepada prinsip-prinsip Ukhuwah Islamiyah, bukan prinsip atasan
dan bawahan. Al-Qur’an menjelaskan bahwa Allah SWT adalah pemimpin orang-
orang yang beriman: “Allah pemimpin orang-orang beriman; Dia mengeluarkan
mereka dari kegelapan kepada cahaya. Dan orang-orang kafir, pemimpin-
pemimpin mereka adalah thaghut, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada
kegelapan. Mereka itu adalah penghuni neraka. Mereka kekal didalamnya.”(QS.
Al-Baqarah:257).
Secara operasional kepemimpinan Allah SWT itu dilaksanakan oleh
Rasulullah saw, dan sepeninggal beliau kepemimpinan itu dilaksanakan oleh
orang-orang yang beriman. Hal itu dinyatakan di dalam Al-Qur’an:
“Sesungguhnya pemimpin kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang
yang beriman, yaitu yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka
tunduk (kepada Allah).”(QS.Al-Maidah:55).
a) Kriteria Pemimpin
Pemimpin umat atau ulil amri adalah penerus kepemimpinan Rasulullah saw
setelah beliau meninggal dunia. Sebagai Nabi dan Rasul, Nabi Muhammad SAW
tidak bisa digantikan, tapi sebagai kepala negara, pemimpin, ulil amri tugas beliau
dapat digantikan. Orang-orang yang dapat dipilih menggantikan beliau sebagai
pemimpin minimal harus memenuhi empat kriteria sebagai berikut:
1) Beriman kepada Allah SWT
Ulil amri adalah peneus kepemimpinan Rasulullah saw, sedangkan Rasulullah
sendiri adalah pelaksana kepemimpinan Allah SWT, maka tentu saja yang
pertama sekali harus dimiliki oleh penerus kepemimpinan beliau adalah keimanan
(kepada Allah, Rasul dan rukun iman yang lainnya). Tanpa keimanan kepada
Allah dan Rasul-Nya bagaimana mungkin dia dapat diharapkan memimpin umat
menempuh jalan Allah di atas permukaan bumi ini.
2) Mendirikan Shalat
Shalat adalah ibadah vertikal langsung kepada Allah SWT. Seorang pemimpin
yang mendirikan shalat diharapkan memiliki hubungan vertikal yang baik dengan
Allah SWT. Diharapkan nilai-nilai kemuliaan dan kebaikan yang terdapat di
dalam shalat dapat tercermin dalam kepemimpinannya. Misalnya nilai kejujuran.
Apabila wudhu’ seorang imam yang sedang memimpin shalat batal, sekalipun
tidak diketahui orang lain dia akan mengundurkan diri dan siap digantikan orang
lain, karena dia sadar bahwa dia tidak lagi berhak menjadi imam.
3) Membayarkan Zakar
Zakat adalah ibadah mahdhah yang merupakan simbol kesucian dan kepedulian
sosial. Seorang pemimpin yang berzakat diharapkan selalu berusaha mensucikan
hati dan hartanya. Dia tidak akan mencari dan menikmati harta dengan cara yang
tidak halal (misalnya dengan korupsi, kolusi dan nepotisme). Dan lebih dari itu
memiliki kepedulian sosial yang tinggi terhadap kaum dhu’afa dan mustadh’afin.
Dia akan menjadi pembela orang-orang yang lemah.
4) Selalu Tunduk Patuh Kepada Allah SWT
Ruku’ adalah simbol kepatuhan secara mutlak kepada Allah dan Rasul-Nya yang
secara konkret dimanifestasikan dengan menjadi seorang muslim yang kafah
(total), baik dalam aspek aqidah, ibadah, akhlak maupun mu’amalat. Aqidahnya
benar (bertauhid secara murni dengan segala konsekuensinya, bebas dari segala
bentuk kemusyrikan), ibadahnya tertib dan sesuai tuntunan Nabi, akhlaknya
terpuji (shidiq, amanah, adil, istiqamah dan sifat-sifat mulia lainnya) dan
mu’amalatnya (dalam seluruh aspek kehidupan) tidak bertentangan dengan
syari’at Islam.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Manusia diciptakan sebagai khalifah di bumi. Semua yang ada di bumi
termasuk alam semesta diciptakan untuk manusia. Seharusnya kita menyadari
bahwa Allah manciptakan flora & fauna untuk kemanfaatan manusia, seperti
halnya, dengan mengambil manfaat dari buah-buahan. Karena itu kita harus
menjaga dan melestarikannya. Jangan sampai kita membuat kerusakan terhadap
flora & fauna. Dia (Allah) menundukkan untuk kamu semua yang ada di langit
dan di bumi semuanya (sebagai rahmat) dari-Nya (QS Al-Jatsiyah [45] : 13). Ini
berarti bahwa alam raya telah ditundukkan Allah untuk manusia. Manusia dapat
memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya.

3.2 Saran
Penulis menyadari keterbatasan yang kami miliki. Untuk itu, penulis
mengharapkan dan menerima segala kritik dan saran yang membangun demi
perbaikan dan penyempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Hasnawati. (2020). AKHLAK KEPADA LINGKUNGAN, volume 2 no. 2
Desember 2020
Thubany, S.H. (2016). Akhlak Terhadap Lingkungan. Diakses pada 9 November
2021, dari https://m-republika-
co.id.cdn.ampproject.org/v/s/m.republika.co.id/amp/od2m4h9?amp_js_v=
a6&amp_gsa=1&usqp=mq331AQKKAFQArABIIACAw%3D%3D#aoh=
16358325970848&referrer=https%3A%2F%2Fwww.google.com&amp_tf
=Dari%20%251%24s&ampshare=https%3A%2F%2Fwww.republika.co.i
d%2Fberita%2Fod2m4h9%2Fakhlak-terhadap-lingkungan
Thamrin, H. (2015). Akhlak Terhadap Lingkungan (DR. Husni Thamrin). Dari
https://uin-suska.ac.id/2015/09/07/akhlak-terhadap-lingkungan-dr-husni-
thamrin/
UMM Institutional Repository. Diakses 9 November 2021
http://eprints.umm.ac.id/38359/3/BAB%20II.pdf

Anda mungkin juga menyukai