Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH AKHLAK KEPADA LINGKUNGAN

( Makalah Ini Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Akidah


Akhlak)

Kelompok 11

Dosen Pengampu : Novita Herawati M.Pd

NIP : 199208032020122024

Disusun Oleh :

1. Aldo Serena (2301071004)


2. Neni Eryanti (2301072008)

PROGRAM STUDI S1 TADRIS ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI METRO

TAHUN AKADEMIK 2023/2024


Kata Pengantar

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
nikmat kesehatan dan kesempatan sehingga kelompok penulis bisa
menyelesaikan tugas makalah “Akhlak Kepada Lingkungan” sebagai mana
mestinya. Tak lupa pula penulis ucapkan banyak terima kasih terhadap
pihak-pihak yang turut ikut andil dalam menyelesaikan tugas ini. Penulis
sadar dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekeliruan dan
kekurangan dalam segi penyusunan dan sistematika penulisan yang baik dan
benar oleh karena itu penulis selaku penyusun sangat berharap banyak
terhadap para pembaca agar memberi saran dan masukkan sehingga penulis
bisa menyempurnakan kekurangan tersebut. Semoga makalah yang penulis
susun ini bermanfaat bagi kita semua terutama terhadap penulis.

BAB 1 Metro, 29 September 2023

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang
Kelompok 11
Akhlak mempunyai kedudukan yang
tinggi dan istimewa dalam Islam.
Rasulullah saw. menempatkan
penyempurnaan akhlak yang mulia
sebagai misi pokok ajaran Islam.
Akhlak merupakan perangai atau
perilaku yang diwujudkan dengan
tuntutan dan dorongan dari hati. Meskipun akhlak sudah dimiliki setiap
manusia dari lahir, akan tetapi akhlak juga harus dibentuk. Akhlak yang baik
merupakan fondasi yang kokoh bagi terciptanya hubungan baik antara
manusia dengan sesamanya maupun lingkungannya. Sehingga orang- orang
yang mampu mewujudkan hubungan baik tersebut adalah orang-orang yang
ruhnya bersih, yang konsisten menunaikan segala perintah, dan menjauhi
segala larangan Allah Swt. Agama Islam selain mengatur hubungan dengan
Allah (hablum minallah) dan mengatur hubungan sesama manusia (hablum
minannas), juga mengatur hubungan dengan alam dan lingkungan hidup
(hablum minal’alam). Hubungan dengan Allah yaitu melalui ibadah berupa
sholat, puasa, haji dan lainnya. Hubungan dengan manusia dijalin melalui
ibadah sosial berupa zakat, infak, sedekah dan lainnya. Sedangkan
hubungan dengan lingkungan hidup diwujudkan dengan memelihara
kelestarian lingkungan hidup dalam berbagai aspeknya. Pada dasarnya,
akhlak yang diajarkan Al-Qur’an terhadap lingkungan bersumber dari fungsi
manusia sebagai khalifah. Kekhalifahan menuntut adanya interaksi antara
manusia dengan sesamanya dan manusia terhadap alam lingkungan.
Kekhalifahan mengandung arti pengayom, pemeliharaan, dan
pembimbingan agar setiap makhluk mencapai tujuan penciptanya. Alasan
Nabi Adam as. diturunkan Allah Swt. ke dunia, tidak lain dan tidak bukan
adalah untuk menjadi khalifah di muka bumi serta mengatur dan mengurusi
dunia yang pada saat itu belum tertata dan masih liar. Seiring berjalannya
waktu, tak bisa dipungkiri bahwa manusia sangat bergantung pada
lingkungan dalam kehidupan sehari-hari, baik untuk bernafas, tempat
tinggal, makanan dan lain-lain. Maka kelestarian lingkungan dibutuhkan
untuk terciptanya kehidupan manusia yang damai, tenteram dan nyaman
tinggal di bumi. Akan tetapi, tidak sedikit manusia yang merasa bahwa
dirinya khalifah di muka bumi kemudian berbuat semena-mena sehingga
tejadi kerusakan di muka bumi ini. Padahal, jika lingkungan hidup dirusak,
maka akan berakibat kepada manusia itu sendiri, hanya saja mereka belum
merasakannya. Sebenarnya, alam tidak membutuhkan manusia. Alam dapat
hidup meskipun tak ada manusia. Akan tetapi, manusia lah yang
membutuhkan alam. Manusia tak akan bisa hidup bila tak ada lingkungan.
Ilmu Akhlak dengan judul “Akhlak Terhadap Lingkungan (Hablum
Minal’alam)” untuk menambah wawasan dan ilmu pengetahuan kita
mengenai akhlak sebagai manusia terhadap lingkungannya. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi semua orang. kemudian berbuat semena-
mena sehingga tejadi kerusakan di muka bumi ini. Padahal, jika
lingkungan hidup dirusak, maka akan berakibat kepada manusia itu sendiri,
hanya saja mereka belum merasakannya. Sebenarnya, alam tidak
membutuhkan manusia. Alam dapat hidup meskipun tak ada manusia. Akan
tetapi, manusia lah yang membutuhkan alam. Manusia tak akan bisa hidup
bila tak ada lingkungan. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka kami
membuat makalah tentang Ilmu Akhlak dengan judul “Akhlak Terhadap
Lingkungan (Hablum Minal’alam)” untuk menambah wawasan dan ilmu
pengetahuan kita mengenai akhlak sebagai manusia terhadap
lingkungannya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua orang

.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, maka masalah yang akan dikaji pada makalah ini
adalah
sebagai berikut:
1. Apa pengertian dari akhlak terhadap lingkungan (Hablum Minal’alam)?
2. Apa urgensi berakhlak terhadap lingkungan?
3. Bagaimana bentuk akhlak yang baik terhadap lingkungan?
4. Bagaimana keprihatinan islam terhadap masalah lingkungan?
5. Bagaimana cara menyikapi bencana alam?

C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan yang hendak dicapai
pada
makalah ini yaitu untuk:
1. Menjelaskan pengertian akhlak terhadap lingkungan (Hablum
Minal’alam),
2. Menjelaskan urgensi berakhlak terhadap lingkungan,
3. Menjelaskan bentuk akhlak yang baik terhadap lingkungan,
4. Menjelaskan keprihatinan islam terhadap masalah lingkungan, dan
5. Menjelaskan cara menyikapi bencana alam.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Akhlak Terhadap Lingkungan


Kata Akhlak adalah jamak dari khilqun atau khuluqun yang artinya
perangai, tabiat, kebiasaan, dan agama. Sedangkan, akhlak secara
terminologi atau istilah yaitu tingkah laku seseorang yang didorong oleh
suatu keinginan secara sadar untuk melakukan suatu perbuatan baik itu
perbuatan yang baik maupun perbuatan yang buruk. Lingkungan adalah
segala sesuatu yang berada di sekitar manusia, seperti binatang, tumbuh-
tumbuhan, dan benda-benda tak bernyawa. Akhlak yang dianjurkan Alquran
terhadap lingkungan bersumber dari fungsi manusia sebagai khalifah.
Kekhalifahan menuntut adanya interaksi antara manusia dan sesamanya
serta antara manusia dan alam. Maka, dapat disimpulkan bahwa akhlak
kepada lingkungan adalah perilaku, sikap, atau perbuatan kita terhadap
segala sesuatu yang ada disekitar kita. Alam sama seperti manusia, jika
diperlakukan baik, maka akan memberikan kebaikan kepada kita. Namun
jika diperlakukan tidak baik, maka alam pun marah dan akan memberikan
sesuatu yang tidak baik kepada kita. Contohnya seperti perilaku kita
terhadap sungai. Sungai akan sangat bermanfaat jika dirawat dengan baik.
Namun apabila sungai diperlakukan sebagai tempat pembuangan sampah,
maka sungai pun akan marah dan meluapkan airnya ketika hujan dan
menyebabkan banjir. Maka dari itu, lingkungan harus diperlakukan dengan
baik dengan selalu menjaga, merawat dan melestarikannya karena secara
etika hal ini merupakan hak dan kewajiban suatu masyarakat serta
merupakan nilai yang mutlak adanya. Dengan kata lain bahwa berakhlak
yang baik terhadap lingkungan merupakan salah satu manifestasi dari
etika itu sendiri. Pada dasarnya, akhlak yang diajarkan Al-Qur’an terhadap
lingkungan bersumber dari fungsi manusia sebagai khalifah. Kekhalifahan
menuntut adanya interaksi antara manusia dengan sesamanya dan manusia
terhadap alam lingkungan. Kekhalifahan mengandung arti pengayoman,
pemeliharaan, dan pembimbingan agar setiap makhluk mencapai tujuan
penciptanya. Dalam pandangan akhlak islam, seseorang tidak dibenarkan
mengambil buah sebelum matang atau memetik bunga sebelum mekar.
Karena hal ini berarti tidak memberi kesempatan kepada makhluk untuk
mencapai tujuan penciptaannya. Ini berarti manusia dituntut untuk mampu
menghormati proses-proses yang sedang berjalan, dan terhadap semua
proses yang sedang terjadi, sehingga ia tidak melakukan pengrusakan atau
bahkan dengan kata lain, setiap perusakan terhadap lingkungan harus dinilai
sebagai perusakan pada diri manusia sendiri. Akhlak yang baik terhadap
lingkungan dapat ditunjukkan kepada penciptaan suasana yang baik, serta
pemeliharaan lingkungan agar tetap membawa kesegaran, kenyamanan
hidup, tanpa membuat kerusakan dan polusi sehingga pada akhirnya akan
berpengaruh terhadap manusia itu sendiri yang menciptanya.
Dari Syaddad bin Aus berkata, “Ada dua hal yang aku hapal dari Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau berkata, ‘Sesungguhnya Allah
mewajibkan berlaku ihsan kepada segala sesuatu. Binatang, tumbuhan, dan
benda-benda tak bernyawa semuanya diciptakan oleh Allah SWT dan
menjadi milik-Nya, serta semua memiliki ketergantungan kepada-
Nya.’ Keyakinan ini mengantarkan sang Muslim untuk menyadari bahwa
semuanya adalah "umat" Tuhan yang harus diperlakukan secara wajar dan
baik. Karena itu dalam Al-Quran surat Al-An'am (6): 38 ditegaskan bahwa
binatang melata dan burung-burung pun adalah umat seperti manusia juga,
sehingga semuanya --seperti ditulis Al-Qurthubi (W. 671 H) di dalam
tafsirnya-- "Tidak boleh diperlakukan secara aniaya." Tuhan ini
mengundang seluruh manusia untuk tidak hanya memikirkan kepentingan
diri sendiri, kelompok, atau bangsa, dan jenisnya saja, melainkan juga harus
berpikir dan bersikap demi kemaslahatan semua pihak. Ia tidak boleh
bersikap sebagai penakluk alam atau berlaku sewenang-wenang
terhadapnya. Memang, istilah penaklukan alam tidak dikenal dalam ajaran
Islam. Istilah itu muncul dari pandangan mitos Yunani. Yang menundukkan
alam menurut Al-Quran adalah Allah. Manusia tidak sedikit pun
mempunyai kemampuan kecuali berkat kemampuan yang
dianugerahkan Tuhan kepadanya. Mahasuci Allah yang menjadikan
(binatang) ini mudah bagi kami, sedangkan kami
sendiri tidak mempunyai kemampuan untuk itu (QS Az-Zukhruf [43]: 13)
Jika demikian, manusia tidak mencari kemenangan, tetapi keselarasan
dengan alam. Keduanya tunduk kepada Allah, sehingga mereka harus dapat
bersahabat.
Al-Quran menekankan agar umat Islam meneladani Nabi Muhammad saw
yang membawa rahmat untuk seluruh alam (segala sesuatu). Untuk
menyebarkan rahmat itu, Nabi Muhammad saw bahkan memberi nama
semua yang menjadi milik pribadinya, sekalipun benda-benda itu tak
bernyawa. "Nama" memberikan kesan adanya kepribadian, sedangkan
kesan itu mengantarkan kepada kesadaran untuk bersahabat dengan pemilik
nama. Nabi Muhammad saw telah mengajarkan : "Bertakwalah kepada
Allah dalam perlakuanmu terhadap binatang, kendarailah, dan beri
makanlah dengan baik."
Alam sebagai rahmat dan karunia Allah dijelaskan dalam QS. Al-Jatsiyah
(45) : 13, yang berbunyi:

‫َو َس َّخ َر َلُك ْم َّم ا ِفى الَّس ٰم ٰو ِت َو َم ا ِفى اَاْلْر ِض‬


‫َجِم ْيًعا ِّم ْنُه ِۗاَّن ِفْي ٰذ ِلَك ٰاَل ٰي ٍت ِّلَقْو ٍم َّيَتَفَّك ُر ْو َن‬
Artinya : “Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa
yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) dari-Nya. Sesungguhnya pada
yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi
kaum yang berpikir”. Ini berarti bahwa alam raya telah ditundukkan Allah
untuk manusia. Manusia dapat memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya.
Namun pada saat yang sama, manusia tidak boleh tunduk dan merendahkan
diri kepada segala sesuatu yang telah direndahkan Allah untuknya, berapa
pun harga benda-benda itu. Ia tidak boleh diperbudak oleh benda-benda
itu. Manusia dalam hal ini dituntut untuk selalu mengingat-ingat, bahwa ia
boleh meraih apa pun asalkan yang diraihnya serta cara meraihnya diridhoi
Allah SWT, sesuai dengan kaidah kebenaran dan keadilan. Akhirnya kita
dapat mengakhiri uraian ini dengan menyatakan bahwa keberagamaan
seseorang diukur dari akhlaknya. Nabi bersabda : “Agama adalah hubungan
interaksi yang baik.” Beliau juga bersabda: “Tidak ada sesuatu yang lebih
berat dalam timbangan (amal) seorang mukmin pada hari kiamat, melebihi
akhlak yang luhur.” (Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi).
Selain itu, berdasarkan kandungan Surah Al-Ahqaf ayat 3 dan Surah
Luqman ayat 20, Dr Quraish Shihab mengatakan, dalam memanfaatkan
alam manusia tidak hanya dituntut untuk tidak bersikap angkuh terhadap
sumber daya yang dimilikinya, tetapi juga dituntut untuk memerhatikan apa
yang sebenarnya dikehendaki oleh Allah SWT, Pemilik Alam ini.
Kemudian, manusia juga dituntut untuk tidak hanya memikirkan
kepentingan diri sendiri atau kelompoknya saja, tetapi kemaslahatan semua
pihak juga. Dengan demikian, manusia diperintahkan bukan untuk mencari
kemenangan, tetapi keselarasan dengan alam.

B. Urgensi Berakhlak Terhadap Lingkungan


Alam dan segala isinya merupakan maha karya yang diciptakan Allah swt.
tanpa sedikit cacat di dalamnya. Karya yang menjadi bukti kekuasaan-Nya
serta sebagai arena bagi manusia dan makhluk lainnya untuk menjalani
proses kehidupan. Hamparan alam dan lingkungan adalah instrumen
kehidupan, dengan potensi sangat luar biasa yang dapat dimanfaatkan oleh
segenap makhluk hidup bahkan yang sudah mati sekalipun. Manusia
sebagai khalifah Allah di bumi telah diberikan “lisensi” untuk mengelola
alam dan memanfaatkannya untuk memenuhi berbagai kebutuhan, dari yang
profan (bersifat duniawi) seperti pemenuhan hajat hidup, sampai yang sakral
seperti menjadi media untuk beribadah. Setiap bagian dari alam dan
lingkungan yang diciptakan tidak ada yang percuma. Selain bahaya terbesar
manusia kepada lingkungannya juga kepada sesamanya. Tingkah laku yang
tidak pantas kepada sesamanya akan menyebabkan kerusakan di muka
bumi. Semuanya telah didesain dan diciptakan lengkap dengan manfaatnya
masing-masing dan menjadi kewajiban manusia untuk mencari rahasia
manfaat dan memanfaatkan tiap
ciptaan-Nya. Termasuk untuk senatiasa menjaga dan melestarikan
lingkungan. Sebagaimana dalam QS. Al-A’raaf: 56 yang berbunyi :

‫َو اَل ُتْفِس ُد ْو ا ِفى اَاْلْر ِض َبْع َد ِاْص اَل ِح َها َو اْد ُع ْو ُه‬
‫َخ ْو ًفا َّو َطَم ًع ۗا ِاَّن َر ْح َم َت ِهّٰللا َقِر ْيٌب ِّم َن اْلُم ْح ِس ِنْيَن‬
Artinya : “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah
(Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak
akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah
amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” Demikian janji Allah
dalam mengajarkan kepada hamba-Nya untuk senantiasa menjaga dan
melestarikan lingkungan, bukan justru merusak atau hanya sekadar
memanfaatkannya saja. Rahmat Allah adalah balasan terbaik bagi mereka
yang melaksanakannya. Salah satunya melakukan konservasi alam, yaitu
perlindungan dan pemeliharaan alam secara teratur untuk mencegah
kerusakan dan kemusnahan dengan jalan pelestarian. Pelestarian tersebut di
antaranya melalui pendekatan agama. Pentingnya berakhlak kepada
lingkungan dikarenakan oleh kehidupan dunia sebagai modal kehidupan
sesudahnya mestilah diarungi dengan baik tanpa cela. Karena akhlak
merupakan segala tindakan dalam kehidupan baik hubungan dengan Allah,
diri sendiri, dengan manusia lain, ataupun hubungan dengan alam. Oleh
karenanya, berbuat kerusakan di atas dunia, termasuk merusak lingkungan
adalah perbuatan tercela. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Ar-Ruum
ayat 41 yang berbunyi:

‫َظ َهَر اْلَف َس اُد ِفى اْلَب ِّر َو اْل َب ْح ِر ِبَم ا َك َسَب ْت َاْيِدى الَّن اِس ِلُيِذ ْي َقُهْم َب ْع َض‬
41 ‫اَّلِذ ْي َعِم ُلْو ا َلَع َّلُه ْم َي ْر ِج ُعْو َن‬

Artinya : “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena


perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka
sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan
yang benar).” Selain itu manusia sebagai makhluk berakal harus memelihara
ekosistem. Keseimbangan mutlak harus dijaga demi kelangsungan hidup
umat manusia. Semua makhluk yang diciptakan Tuhan adalah mulia dan
berguna. Maka siapapun dilarang mengeksploitasi berlebih-lebihan.
Manusia sebagai pemimpin di muka bumi adalah pengelolaan alam demi
kelestarian kehidupan. Segala tindakannya di dunia akan
dipertanggungjawabkan di akhirat kelak.

C. Bentuk Akhlak Yang Baik Terhadap Lingkungan

Akhlak manusia terhadap lingkungan, terutama alam, bukan hanya semata-


mata untuk kepentingan lingkungan atau alam itu sendiri, tetapi jauh dari itu
untuk memelihara, melestarikan dan memakmurkan lingkungan atau alam
ini. Dengan memenuhi kebutuhannya sehingga kemakmuran, kesejahteraan,
dan keharmonisan hidup dapat terjaga. Berikut ini ada beberapa bentuk
akhlak yang baik terhadap lingkungan :

a).Keharusan Menjaga Lingkungan Hidup.

Menjaga kelestarian lingkungan hidup dan tidak melakukan kerusakan di


dalamnya merupakan suatu keharusan bagi setiap manusia. Karena itu,
siapapun orangnya, melakukan kerusakan hidup dianggap sebagai sesuatu
yang tidak baik sehingga orang munafik sekalipun tidak mau dituduh telah
melakukan kerusakan di muka bumi ini meskipun ia sebenarnya telah
melakukan kerusakan, Allah Swt. berfirman dalam QS. Al-Baqarah ayat 11-
12 :

‫َو ِإَذ ا ِقيَل َلُهْم اَل ُتْفِس ُدوا ِفي األْر ِض َقاُلوا ِإَّنَم ا َنْح ُن ُم ْص ِلُح وَن‬
‫) َأال ِإَّنُهْم ُهُم اْلُم ْفِس ُدوَن َو َلِكْن اَل َيْش ُعُر وَن‬11(

Artinya : “Dan apabila dikatakan kepada mereka: Janganlah kamu


membuat kerusakan di muka bumi, mereka menjawab:
Sesungguhnya kami orang yang mengadakan perbaikan. Ingatlah,
sesungguhnya mereka itulah orang-orang
yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak menyadari.”

Oleh karena itu, orang-orang yang suka melakukan kerusakan di muka harus
diwaspadai, Allah Swt berfirman : dalam QS. Al-Baqarah ayat 205 :

‫َو ِاَذ ا َتَو ّٰل ى َس ٰع ى ِفى اَاْلْر ِض ِلُيْفِس َد ِفْيَها َو ُيْهِلَك‬


‫اْلَح ْر َث َو الَّنْس َل ۗ َو ُهّٰللا اَل ُيِح ُّب اْلَفَس اَد‬
Artinya : “Dan apabila ia (munafik) berpaling (dari kamu), ia berjalan di
muka bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanaman-

tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan”

b). Anjuran Menanam Pohon

Agar lingkungan hidup yang kita diami tetap asri dan lestari, maka kaum
muslimin sangat dianjurkan untuk menanam pohon, dengan adanya pohon,
apalagi pohon yang besar, manusia akan memperoleh keuntungan seperti
penghijauan, air hujan bisa menyerap lebih banyak ke dalam tanah sebagai
cadangan air, udara tidak terlalu panas, buah yang dihasilkan serta kayu
yang bisa dimanfaatkan untuk berbagai keperluan manusia. Anjuran
menanam pohon ini terdapat dalam hadits Nabi Saw: Jika hari kiamat
datang dan pada tangan seseorang diantara kamu terdapat sebuah bibit
tanaman, jika ia mampu menanamnya sebelum datangnya kiamat itu, maka
hendaklah ia menanamnya (HR. Ahmad dan Bukhari)

c) Tidak Boleh Buang Air di Jalan, Tempat Bernaung dan dekat


sumber air.

Lingkungan hidup yang bersih, indah dan nyaman merupakan dambaan bagi
setiap orang, karena itu harus dicegah adanya usaha untuk mengotori
lingkungan, karena itu Rasulullah Saw melarang siapapun untuk membuang
air di jalan, tempat bernaung maupun dekat sumber air, Rasulullah Saw
bersabda: Takutlah kepada dua hal yang dilaknati. Mereka (sahabat)
bertanya: Apakah dua hal yang dilaknati itu, ya Rasulullah?. Rasulullah Saw
menjawab: Orang yang membuang hajat di jalan umum atau di bawah
pohon tempat orang berteduh (HR. Muslim)

d) Tidak Boleh Buang Air di Air Yang Tergenang.

Air merupakan kebutuhan yang sangat utama bagi masusia, dalam


kehidupan sekarang, manusia tidak hanya mengandalkan air dari dalam
tanah, tapi justeru sekarang ini banyak orang yang mengandalkan air sungai
yang dibersihkan dan disucikan. Karena itu, manusia jangan sampai
mengotori atau mencemari air sungai. Disamping itu, kebersihan lingkungan
juga harus dijaga dan dipelihara dengan tidak “buang air “ pada air yang
tergenang, karena hal itu akan mendatangkan penyakit dan bau yang tak
sedap, Rasulullah Saw bersabda: Jabir ra berkata: Rasulullah Saw telah
melarang kencing dalam air yang berhenti tidak mengalir (HR. Muslim).

e.) Memelihara Tanaman.

Ketika para sahabat telah menanam pohon kurma, mereka ingin agar pohon
itu tumbuh dengan baik dan menghasilkan buah yang banyak, tapi mereka
agak bingung bagaimana harus mengurusnya, karenanya mereka bertanya
kepada Nabi tentang hal itu, namun Nabi menjawab: “Kamu lebih tahu
tentang urusan duniamu”. Kisah di atas menunjukkan bahwa pohon yang
sudah ditanam harus dipelihara dengan sebaik-baiknya, namun teknisnya
diserahkan kepada masing-masing orang sesuai dengan perkembangannya.
Dalam kaitan dengan memelihara tanaman, penebangan pohon pun sedapat
mungkin dihindari, kecuali bila hal itu memang sangat diperlukan, itupun
bila tidak menganggu lingkungan, ini berarti harus sesuai dengan izin Allah
Swt meskipun dalam keadaan perang, Allah Swt berfirman dalam QS. Al
Hasyr ayat 5 :

‫َم ا َقَطْع ُتْم ِّم ْن ِّلْيَنٍة َاْو َتَر ْك ُتُم ْو َها َقۤا ِٕىَم ًة َع ٰٓلى ُاُص ْو ِلَها‬
‫َفِبِاْذ ِن ِهّٰللا َو ِلُيْخ ِز َي اْلٰف ِس ِقْيَن‬
Artinya : “Apa saja yang kamu tebang dari pohon kurma (milik orang kafir)
atau yang kamu biarkan (tumbuh) berdiri di atas pokoknya, maka (semua
itu) adalah 10 dengan izin Allah; dan karena Dia hendak memberikan
kehinaan kepada orang-orang fasik”

f) Boleh Memakan Buah.

Bagi seorang muslim, disadari bahwa Allah Swt telah menganugerahkan


buah yang begitu banyak macamnya, karenanya boleh saja kita
memakannya, namun jangan sampai berlebih-lebihan, setelah itu jangan
sampai lupa memanjatkkan rasa syukur dengan menunaikan zakatnya pada
saat panen, Allah berfirman dalam QS. Al-An'am ayat 141 :

‫َّٰن‬
‫َو ُهَو ٱَّلِذ ٓى َأنَش َأ َج ٍت َّم ْعُروَٰش ٍت َو َغْيَر َم ْعُروَٰش ٍت َو ٱلَّنْخ َل‬
ۚ‫َو ٱلَّز ْر َع ُم ْخ َتِلًفا ُأُك ُل ۥُه َو ٱلَّز ْيُتوَن َو ٱلُّر َّم اَن ُم َتَٰش ِبًها َو َغْيَر ُم َتَٰش ِبٍه‬
ۚ ‫ُك ُلو۟ا ِم ن َثَم ِرِهٓۦ ِإَذ ٓا َأْثَم َر َو َء اُتو۟ا َح َّق ۥُه َيْو َم َح َص اِدِهۦۖ َو اَل ُتْس ِر ُفٓو ۟ا‬
‫ِإَّن ۥُه اَل ُيِح ُّب ٱْلُم ْس ِر ِفيَن‬
Artinya : “Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan
yang tidak berjunjung, pohon kurma, tanaman-tanaman yang bermacam-
macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya), dan
tidak sama rasanya. Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu)
bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya dari memetik hasilnya (zakat); dan
janganlah kamu berlebih-lebihan, sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang yang berlebih-lebihan.”

g) Tidak Menggunakan Air Secara Boros.

Hal yang juga amat penting untuk mendapat perhatian kita adalah
menggunakan air secara hemat, karenanya wudhu itu masing-masing
dilakukan maksimal tiga kali, meskipun wudhu pada air yang banyak,
bahkan wudhu di sungai sekalipun, karenanya Rasulullah berwudhu hanya
menggunakan sedikit air, hal ini tergambar dalam hadits: Rasulullah Saw
berwudhu, dengan satu mud air (HR. Abu Daud dan Nasa’I). Datang
seorang Badui kepada Nabi Saw, kemudian bertanya kepada beliau tentang
wudhu, maka Nabi Saw memperlihatkan padanya tiga kali, tiga kali, lalu
sabda: “Inilah wudhu, siapa yang lebih berarti telah berbuat keburukan dan
kezaliman (HR. Nasa’I, Ahmad dan Ibnu Majah).

h) Meminta Hujan Saat Kemarau.

Musim kemarau apalagi kemarau panjang bisa mengakibatkan kesengsaraan


bagi manusia, karena bisa mengakibatkan kekurangan persediaan air yang
pada akhirnya kegagalan dalam pertanian dan perkebunan. Bahkan musim
kemarau bisa mengakibatkan bencana yang lebih besar lagi seperti
mudahnya terjadi kebakaran, termasuk kebakaran hutan. Disamping itu,
kesengsaraan juga dialami oleh binatang yang kesulitan bahan makanan
karena daun dan rumput yang biasa dimakan menjadi kering serta
kesengsaraan bagi lingkungan hidup itu sendiri. Oleh karena itu, sebagai
upaya menumbuhkan alam lingkungan yang subur, indah dan nyaman,
menjadi suatu keharusan bagi kaum muslimin untuk berdo’a meminta hujan
dengan melaksanakan shalat istisqa.

D. Keprihatinan Islam Terhadap Lingkungan

Berdasarkan QS. Al-A'raf (7) : 56 “Dan janganlah kamu membuat


kerusakan di muka bumi ini, sesudah (Allah) memperbaikinya dan
berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harap
kan dikabulkan. sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang
yang berbuat baik.". Ayat ini menunjukkan bahwa apa yang diberikan Allah
kepada manusia, sesuai dengan ukuran yang diberikan Allah, yang berarti
harus dijaga. Atas dasar kedudukan manusia sebagai khalifah di muka bumi
ini dengan kewajiban dan tanggung jawabnya terhadap lingkungan sebagai
konsekuensi nikmat yang diberikan Allah Tuhan yang maha Pengasih dan
maha Penyayang kepada manusia, sebagaimana tampak dari ayat di atas,
yang patut disukuri dan dilindungi serta di junjung tinggi manusia yang
perlu meningkatkan kesadaran lingkungan. Tetapi manusia sebagai khalifah
terkadang lupa posisi mereka yang menyebabkan kerusakan yang ada di
muka bumi baik di darat maupun di laut.

a) Pemananasan Global

Badai tornado, dan gelombang laut raksasa kini makin sering muncul di
bumi. Penduduk kota pantai di Amerika dan Eropa kini dilanda kecemasan.
Indonesia juga tidak luput dari berbagai bencana alam yang muncul akibat
adanya global warming tersebut. Pesawat penumpang hancur diterjang badai
seperti pesawat Adam Air, kapal laut tenggelam karena tak sanggup
menghadapi terjangan ombak besar, dan orang di darat ketakutan karena
menghadapi topan yang sering menghantam rumah-rumah mereka. Semua
fenomena ini merupakan reaksi alam atas terjadinya pemanasan global
Manusia di bumi harus membiasakan diri menghadapi perubahan iklim yang
ekstrem dan menghadapi bencana alam yang muncul dari atmosfer bumi.
Berdasarkan berbagai studi menunjukkan bahwa dalam 20 tahun terakhir
kenaikan air laut makin cepat. Jika kenaikan air terus berlangsung, maka
sejumlah negara kecil di Pasifik dan Atlantik akan tenggelam. Ribuan kota
pantai di Asia, Eropa, dan Amerika akan terendam air laut. Kondisi ini besar
kemungkinan tidak akan kembali seperti semula. Penyebabnya antara lain
adalah industrialisasi yang tampaknya, dua abad industrialisasi telah
merusak keseimbangan kimiawi dan fisika atmosfer bumi. Miliaran ton
CO2 dari pembakaran batu bara, migas kayu dan berjuta ton gas methan
akibat eksplorasi gas bumi atau mengudara di atas tanah persawahan di Asia
telah mengubah lapisan udara menjadi perangkap panas. Sebuah perangkap
raksasa yang berfungsi seperti `rumah kaca` menyekap sinar matahari
dengan akibat peningkatan suhu bumi. Efek rumah kaca ini akan bertambah
akibat penggunaan gas di seluruh dunia. Penipisan lapisan ozon secara
radikal berpeluang mengakibatkan terkoyaknya lapisan ozon. Lapisan ozon
merupakan lapisan yang mampu menyerap dan menghalangi radiasi
matahari yang paling radikal, yaitu sinar ultra violet. sinar ultra violet
merupakan sinar yang sangat berbahaya dan membahayakan bagi penghuni
bumi. Permasalahan tersebut ide dasarnya dapat dikelompokkan menjadi
dua yaitu “jika langit terbelah” dan `jika langit menjadi lemah`. ide dasar
pertama mengandung nilai substansial fenomena terjadinya pemanasan
global yang ditandai antara lain dengan terkoyaknya lapisan ozon. Hanya
saja penyebab lebih lengkap memang belum terlihat. Oleh karena itu,
informasi lebih detail tentang penyebab terjadinya pemanasan global yang
bersifat antropogenik perlu bantuan disiplin ekologi. Secara ekologis,
penyebab terjadinya pemanasan global antara lain karena terjadinya
konsentrasi atau penumpukan karbon dioksida, metana, nitrat, ozon dan
CFC. Oleh sebab itu, insan beriman wajib mengemilir terjadinya konsentrasi
gas-gas rumah kaca tersebut. Adapun secara teknis yang harus dilakukan
adalah hemat energi, eliminasi emisi CO2, nitrat, metana dan CFC,
sedangkan ide dasar kedua mengandung nilai ekologis Islam bahwa jika
terjadi pemanasan gelobal, langit terbelah, maka fungsi ekologis langit akan
menurun bahkan jika penurunan tersebut secara radikal, maka terjadilah
kiamat.

b) Musibah Banjir, dan Kekeringan Akibat Penggundulan Hutan

Secara ekologis, banjir merupakan peristiwa alam berupa peningkatan debet


air secara cepat, sehingga meluap dari palungnya dan menggenangi daerah
sekitarnya secara temporer. Adapun macam-macam terjadinya banjir baik di
sungai, danau dan laut yaitu: Curah hujan yang tinggi sehingga air hujan
melebihi daya tampung sungai; menurnya daya serap tanah yang disebabkan
oleh penutupan permukaan tanah karena betonisasi dan sejenisnya,
rendahnya daya penahan air hujan karena terjadi dehutanisasi; penipisan
hutan lindung dan perluasan lahan pertanian tepi di daerah hulu sungai,
penipisan hutan lindung untuk kepentingan lahan pertanian, cepatnya ke
sungai karena gundulnya pepohonan, pengelupasan permukaan tanah;
kondisi alam yang disebabkan kecekungan geografis daerah aliran sungai,
sehingga rentan menjadi daerah pelanggan tetap banjir. Kerapuhan atau
ketidakadaan daerah penangkal banjir. Perubahan daerah pemukiman atau
lingkungan industri (reklamasi). Dalam konsideran UU no. 41 Tahun 1999,
tentang kehutanan, dikatakan bahwa hutan adalah sebagai karunia dan
amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada bangsa
Indonesia, merupakan kekayaan yang dikuasai oleh negara, memberikan
manfaat serba guna bagi umat manusia. Karenanya wajib disukuri, diurus,
dan dimanfaatkan secara optimal, serta dijaga kelestariannya untuk sebesar-
besar kemakmuran rakyat, bagi generasi sekarang maupun generasi
mendatang. Tapi, di sisi lain banyak penebangan hutan liar yang
menyebabkan penggundulan hutan, seperti yang terjadi pada suku Sakai
yang kini terancam eksistensinya itu, sebenarnya memiliki kearifan lokal
dalam menjaga keseimbangan ekologi selama berabad-abad lamanya, jauh
melebihi manusia moderen yang mengak lebih beradab. Terbukti sebelum
kedatangan mesin-mesin industri, masyarakat Sakai mampu menjaga hutan
mereka tetap lestari. Salah satu cara yang dipakai untuk menjaga ekologi
hutan adalah dengan menerapkan zonifikasi lahan yang ketat. Namun,
semuanya aturan itu kemudian dihancurkan. Awalnya adalah perusahan
besar, yang mendapat izin negara untuk menembus jantung hutan larangan
suku Sakai. Sering terjadi bentrokan antara pengusaha dan suku Sakai, tapi
mereka tidak berdaya dan hanya bisa melihat hutan mereka dihancurkan
oleh PT Arara Abadi yang juga anak perusahaan PT Indah Kiat Plup dan
Paper (IKKP). Masyarakat juga diusir dan rumahnya dibakar oleh perusahan
tersebut yang mengeksplorasi hutan secara besar-besaran. Pantaslah
Indonesia mendapat Guinness World Record sebagai negara penghancur
hutan. Dari fakta yang ada bisa dapat ditarik kesimpulan bahwa Indonesia
yang mengalami kebanjiran setiap musim hujan akibat resapan air tidak ada,
serta musim kemarau yang berkepanjangan dalam kurun waktu yang begitu
lama, di samping itu hutan yang menjadi tempat resapan air sudah banyak
ditebang, sehingga Indonesia menjadi lazim terkena banjir setiap tahun.
Dilihat dari kacamata al-Qur`an bahwa banjir adalah bentuk
kemurkaan Allah atau musibah dari Allah akibat kerusakan yang diperbuat
manusia. Refleksi teologis demikian terlihat dari muatan ayat prolog banjir
Nabi Nuh (Q.S. 1- 24), al-A`raf: 59-63) dan banjir nabi Hud yang didahului
oleh penceritaan pelaksanaan religius mengajak umat untuk beriman pada
Allah (al-`Araf: 65-71). Akan tetapi, umat kedua Nabi tersebut menolak
ajakan religius tersebut. Kedua Nabi tersebut tidak sabar, kemudian
mengadu kepada Allah sekaligus memohon kepada Allah sekaligus mohon
agar diturunkan bencana kepada para pendusta Ternyata permohonan kedua
nabi tersebut dikabulkan dan terjadilah bencana banjir. seperti al-Qur`an
yang berbunyi: "Mereka mendustakan Allah, maka kami selamatkan nabi
Nuh dan pengikutnya dengan
naik kapal dan kami tenggelamkan orang-orang yang mendustai ayat-ayat
kami, sesungguhnya mereka adalah kaum yang buta." Q.S. Al-A'raf(7):64.
Dalam al-Qur`an ayat yang lain berbunyi “Maka kami selamatkan nabi
Hud dan pengikutnya dengan kasih-Ku dan kami musnahkan orang-orang
yang mendustai tanda-tanda (kekuasaan ) kami. Mereka bukan termasuk
orang-orang beriman.” Q.S. Hud (11):58. Konsep al-Qur’an mengenai
banjir dapat dirumuskan bahwa banjir bukan fenomena kemurkaan Allah
kepada umat manusia yang disebabkan manusia tidak mau menerima
kehadiran Tuhan dalam dirinya, tetapi banjir merupakan fenomena ekologis
yang disebabkan karena prilaku manusia dalam mengelola lingkungan
menentang sunnatullah. Hal ini berdasarkan pada fakta bahwa banjir di
masa kini lebih dominan diakibatkan oleh kesalahan manusia dalam
mengelola lingkungan. Adapun kerangka acuan teologisnya adalah
didasarkan pada catatan ayat-ayat banjir dalam al-Qur`an seperti Q.S 11:
101, Bukan kami yang menganiaya mereka tapi merekalah yang
menganiaya diri mereka sendiri, citra lingkungan mereka tidak mampu
menolong di saat terjadinya banjir, bahkan mereka semakin terpuruk pada
kehancuran. Refleksi teologi banjir yang demikian akan melahirkan sikap
ekologis yang positif dan bertanggung jawab yang kuat bagi manusia
modern cukup dominan dalam pengelolaan lingkungan yang potensial
menjadi penyebab banjir, maka manusia merupakan makhluk yang paling
bertanggung jawab pula untuk mencegah terjadinya banjir. Oleh karena itu,
mukmin sejati adalah mukmin mencegah terjadinya banjir.

c) Masalah Kritis Energi


Pada dasarnya, munculnya kesadaran manusia tentang kebutuhan energi
adalah sejak awal keberadaan manusia itu sendiri. Hanya saja munculnya
kesadaran akan pemakaian fungsional terhadap sumber daya mengalami
perkembangan. Citra energi kayu bakar semula dianggap sebagai sumber
daya tunggal, tetapi setelah ditemukan batu bara maka kayu bakar mulai
ditinggalkan. Batu Bara mulai tergeser citranya setelah ditemukannya
minyak bumi yang hanya menjadi penggerak mesin internal. Kemudian
ditemukannya lagi sumber daya listrik, gas alam, nuklir dan matahari citra
minyak bumi tidak lagi menjadi satu-satunya penggerak mesin internal.
Secara global, sumber daya alam (SDA), dapat dikelompokkan menjadi dua
macam, yakni sumber daya alam yang dapat terbarui dan yang tidak dapat
diperbaharui. Adapun sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui
adalah sumber daya alam yang habis setelah dipakai. Dengan kata lain,
sumber daya alam yang tidak diperbaharui adalah sumber daya alam yang
tidak memiliki kemampuan untuk memulihkan diri setelah dipakai. Sumber
daya alam tak terbaharui meliputi: tanah, bahan bakar Fosil (minyak bumi),
batu bara, nuklir, mineral. Betapapun dikategorikan sebagai sumber daya
alam tak terbaharui, namun rentang usia pemanfaatan dapat diperpanjang
asal dikelola secara lestari. Pandangan dunia terhadap energi yang tidak
terbarui inilah yang menyebabkan banyak negara berupaya untuk mencari
solusi untuk mendapatkan energi dengan menggunakan energi alternatif.
Indonesia yang diperkirakan 90 tahun lagi minyak bumi akan habis,
berupaya untuk mencari alternatif dengan menggantikan minyak tanah
dengan gas. Masyarakat Barat mulai memalingkan energi minyak bumi
dengan energi nuklir. Sebenarnya, keperihatinan terhadap akibat negatif
teologi energi berkelimpahan menimbulkan kesadaran baru bagi masyarakat
ekologi untuk merumuskan sistem teologi energi alternatif untuk
mengantisipasi terjadinya krisis energi yang lebih parah. Hal ini disebabkan
oleh embargo minyak bumi yang diprakarsai negara negara Timur Tengah
terhadap negara Barat, Amerika dan Eropa pada dekade tahun 1973 yang
merupakan titik letup terjadinya krisis energi minyak bumi. Padahal energi
minyak bumi yang diimpor negara Barat tersebut adalah dari OPEC.
Akhirnya mereka mencari energi pengganti minyak bumi untuk upaya jalan
keluar. Islam sendiri memandang energi yang ada itu terbatas sekali. Secara
teologis berpeluang kuat untuk dinyatakan bahwa salah satu pilar
keberimanan dalam sistem keimanan Islam adalah `Percaya bahwa energi
itu terbatas`. Teologi keterbatasan energi didasarkan pada spiritual Islam
antara lain: “Kami ciptakan sumber daya alam dan lingkungan dengan cara
yang benar dan dalam keadaan terbatas. Sementara itu, orang-orang kafir
cenderung mengabaikan peringatanku.” Q.S Al-Ahqaf (46):3. Pokok pikiran
dari ayat ini mengenai ciptaan Allah yang mempunyai batasan tertentu.
Telah dimaklumi bersama bahwa sesungguhnya sumber energi itu terdapat
di berbagai langit dan bumi seperti matahari. Selanjutnya, maka fungsional
teologis bahwa salah satu dasar keimanan yaitu percaya akan terbatasnya
energi yang ada di langit dan di bumi.. Dengan ungkapan lain, tidak
sempurna iman seseorang jika orang tersebut tidak meyakini bahwa energi
itu terbatas.Tegasnya salah satu rukun iman dalam konsep ekoteologi Islam
dalah percaya bahwa energi itu terbatas.

E. Cara Menyikapi Bencana Alam

Manusia sebagai khalifah fil ardh telah diperintakan Allah Swt.untuk


memelihara, melestarikan dan mempergunakan lingkungan hidup untuk
kepentingan manusia itu sendiri. Sebagaimana firman Allah Swt.dalam al
Qur’an : alam ini diciptakan untuk kita dan kita diperintakan untuk
melestarikan, memakmurkan dan memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya
untuk kepentingan diri kita sendiri. Namun harus diingat, bahwa kita harus
menjaga keseimbangan alam dan lingkungan hidup. Janganlah kita
membuat kerusakan di muka bumi ini, tidak boleh mengeksploitasi alam
hanya untuk kepentingan nafsu serakah. Misalnya menebang pohon seenak
udelnya tanpa menanam kembali pohon sebagai pengantinya. Karena itu
akan mengakibatkan bencana bagi manusia itu sendiri. Setiap kali muncul /
terjadi suatu bencana, sering orang bertanya-tanya, ada apa dengan
bencana? Setiap orang beragam dalam menjawab pertanyaan seperti ini.
Ada yang menjawab, terjadi karena pergeseran lempengan-lempengan yang
ada di dasar laut, sehingga berpotensi menimbulkan gempa tektonik dan
tsunami. Ada lagi yang menjawab, mungkin karena alam sudah tidak
bersahabat dengan kita. Bahkan ada yang lebih radikal lagi jawabannya,
karena alam sudah terlalu sering disakiti, dirusak, dizholimi (dieksploitasi)
oleh manusia, maka alam itu marah yang membabi buta. Dan kalau alam itu
sudah marah dan murka maka dampaknya adalah kepada manusia itu
sendiri. Semua jawaban di atas apabila disimpulkan, karena umat manusia
sudah tidak lagi memelihara dan menjaga akhlak yang baik terhadap alam
dan lingkungan hidup yang ada di sekitarnya. Sudah bosan rasanya telinga
kita mendengar berita-berita yang menggambarkan tentang prilaku manusia
yang berbuat tidak adil terhadap alam dan lingkungan. Padahal dampak dari
perbuatannya itu akan kembali lagi kepada manusia itu sendiri. Sebut saja
misalnya penebangan liar (penggundulan) hutan tanpa memperhatikan
undang- undang yang berlaku, mengakibatkan banjir bandang dan longsor.
Membakar hutan secara ilegal, untuk kepentingan oknum para pengusaha
Kelapa Sawit, mengakibatkan asap tebal dimana-mana bahkan sampai ke
negara tetangga. Dan pengeboran minyak tanpa memperhatikan peraturan
yang berlaku, berdampak luapan lumpur yang tidak terkendali seperti di
Sidoarjo dan lain-lain. Kenapa manusia tega berbuat demikian? Allah Swt.
berfirman dalam Al-Qur’an :

‫ۤا‬
‫ُز ِّيَن ِللَّناِس ُحُّب الَّش َهٰو ِت ِم َن الِّنَس ِء َو اْلَبِنْيَن َو اْلَقَناِط ْيِر‬
‫اْلُم َقْنَطَرِة ِم َن الَّذ َهِب َو اْلِفَّض ِة َو اْلَخْيِل اْلُمَس َّو َم ِة َو اَاْلْنَع اِم‬
14 ‫َو اْلَح ْر ِثۗ ٰذ ِلَك َم َتاُع اْلَح ٰي وِة الُّد ْنَياۗ َو ُهّٰللا ِع ْنَد ٗه ُح ْسُن اْلَم ٰا ِب‬

Artinya : “Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap


apa yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda
yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak
dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah
tempat kembali yang baik.” (QS. Ali Imran (3) : 14)

Ayat ini mengisyaratkan bahwa setiap manusia diberi potensi hawa nafsu
untuk mendapatkan rasa cinta kepada wanita cantik, ingin memiliki harta
Benda yang banyak seperti emas, perak, kuda pilihan (kendaraan mewah),
binatang ternak dan sawah ladang. Mereka berlomba-lomba untuk
mendapatkan semuanya itu, walaupun dengan berbagai cara, tidak peduli
apakah cara yang digunakan itu merusak alam dan lingkungan atau tidak
yang penting bagi dirinya bahwa tujuan itu tercapai. Maka dari sinilah awal
mula proses terjadinya kerusakan alam yang mengakibatkan bencana yang
sangat dasyat di negeri ini. Islam memandang bahwa segala musibah yang
terjadi di alam ini akibat perbuatan manusia itu sendiri. Seperti dalam
firman Allah Swt QS. Ar-Rum ayat 41 :
‫َظَهَر ٱْلَفَس اُد ِفى ٱْلَبِّر َو ٱْلَبْح ِر ِبَم ا َك َسَبْت َأْيِد ى ٱلَّناِس ِلُيِذ يَقُهم‬
‫َبْع َض ٱَّلِذ ى َع ِم ُلو۟ا َلَع َّلُهْم َيْر ِج ُعوَن‬

Artinya : “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena


perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan
sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan
yang benar).”

Dalam ayat ini menjelaskan bahwa musibah yang terjadi baik di daratan
maupun di lautan akibat ulah manusia yang mengumbar hawa nafsunya
untuk kepentingan dirinya. Dan musibah sengaja Allah Swt. timpahkan
kepada manusia agar manusia kembali ke jalan Tuhannya yakni jalan yang
benar. Bila mempergunakan lingkungan hidup di jalan yang dimurkai Allah
Swt., misalnya membiarkan bumi (tanah) dan berbagai macam kemaksiatan
tumbuh subur di negeri ini, para pemimpin negara banyak yang korupsi,
kaum muda-mudi tidak risih memamerkan auratnya di depan umum,
tayangan TV penuh dengan pornografi dan pornoaksi, maka jangan heran
bila bencana silih berganti, sebagai peringatan dari Allah Swt. na’udzu
billah min dzalik.

Manusia di muka bumi ini adalah khalififah, yang diberi kemampuan oleh
Allah untuk mengelola, merawat dan mendaya gunakan dengan sebaik-
baiknya, apabila manusia sebagai khalifah tak mumpu mengelolanya dengan
baik maka akan munculah musibah- musibah dari hukum alam ini yang
susah sekali untuk mengelakkannya, sekedar contoh apabila manusia
membabat habis hutan maka yang terjadi adalah banjir besar yang bisa
meluluh lantakan orang yang tak bersalah sekalipun. Bencana seperti ini
adalah merupakan ujian bagi kita semua, karena musibah ini telah menimpa
tidak saja bagi orang yang berdosa tapi juga bagi orang yang beriman.
Mereka menanggung penderitaan yang sama, marilah kita menghindarkan
anggapan bahwa ini merupakan azab atas dosa-dosa yang diperbuat oleh
para korban sendiri., disaat kita menganggap ini azab, maka bagi korban
yang menderita akan mendapatkan kesusahan dua kali, pertama musibah itu
sediri dan yang kedua adalah suudlon kita, tentunya ungkapan- ungkapan itu
akan menyudutkan bagi yang terkena musibah.

Cara kerja azab Tuhan di dalam Alquran hanya menimpa kaum yang
durhaka dan tidak menimpa atau mencederai orang-orang yang shaleh dan
taat pada Tuhan. Sedangkan cara kerja mushibah dan bala tidak
membedakan satu sama lainnya. Seperti sabda Rasulullah SAW, ''Siapa
yang akan diberi limpahan kebaikan dari Allah, maka diberi ujian terlebih
dahulu.'' (HR Bukhari Muslim). Semua ujian haruslah kita hadapi dengan
kesabaran,karena kesabaran adalah sebuah tanda lulusnya sebuah ujian,
seperti pada sebuah hadis : ''Sungguh menakjubkan perkara orang yang
beriman seluruh perkaranya menjadi baik. Ketika ditimpa musibah dia
bersabar, itu membawa kebaikan baginya.

Dan ketika mendapatkan nikmat dia bersyukur dan itu membawa kebaikan
baginya.'' (Al-Hadis). Bahwa seberat apapun ujian yang berupa musibah
alam raya ini, kita yakin Allah pasti sudah proprosional dalam mengujinya
dan tidak akan melebihi dari kesanggupan dalam menjalaninya bagi orang
yang tertimpa

‫اَل ُيَك ِّلُف ُهّٰللا َنْفًسا ِااَّل ُو ْس َعَهاۗ َلَها َم ا َك َسَبْت َو َع َلْيَها َم ا اْك َتَسَبْت‬
‫ۗ َر َّبَنا اَل ُتَؤ اِخ ْذ َنٓا ِاْن َّنِس ْيَنٓا َاْو َاْخ َطْأَناۚ َر َّبَنا َو اَل َتْح ِم ْل َع َلْيَنٓا‬
‫ِاْص ًرا َك َم ا َح َم ْلَتٗه َع َلى اَّلِذ ْيَن ِم ْن َقْبِلَناۚ َر َّبَنا َو اَل ُتَح ِّم ْلَنا َم ا اَل‬
‫َطاَقَة َلَنا ِبٖۚه َو اْعُف َع َّنۗا َو اْغ ِفْر َلَنۗا َو اْر َح ْم َناۗ َاْنَت َم ْو ٰل ىَنا‬
286 ࣖ ‫َفاْنُصْر َنا َع َلى اْلَقْو ِم اْلٰك ِفِرْيَن‬
Artinya : “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya. Dia mendapat (pahala) dari (kebajikan) yang
dikerjakannya dan dia mendapat (siksa) dari (kejahatan) yang diperbuatnya.
(Mereka berdoa), “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika
kami lupa atau kami melakukan kesalahan. Ya Tuhan kami, janganlah
Engkau bebani kami dengan beban yang berat sebagaimana Engkau
bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah
Engkau pikulkan kepada kami apa yang tidak sanggup kami memikulnya.
Maafkanlah kami, ampunilah kami, dan rahmatilah kami. Engkaulah
pelindung kami, maka tolonglah kami menghadapi orang-orang kafir.” (QS.
Al-Baqarah (2) : 286).

Apapun bentuk musibah yang di derita oleh seorang muslim, baik itu berupa
kesususahan, penderitaan maupun penyakit, Allah akan menghapus
sebagian kesalahan dan dosa, dengan demikian derajat para korban bencana
akan mulia, bagi yang meninggal dunia dia akan mati syahid dan bagi yang
masih hidup tentunya dengan kesabaran atas penderitaan itu Allah akan
hapus sebagian kesalahan dan dosa dosanya. Bagi kita yang tidak secara
langsung mengalami musibah itu, hendaknya kita jadi peristiwa itu sebagai
momentum untuk menyaksikan kebesaran dan keagungan Allah, sehingga
akan menguatkan iman kita pada sang pencipta alam semesta. Marilah kita
bayangkan apabila musibah itu menimpa diri kita sendiri, keluarga kita, atau
temen-teman kita, tentunya kita akan menderita dan susah menjalani cobaan
besar ini. Maka marilah kita bantu para korban bencana semaksimal
mungkin karena sekecil apapun bantuan itu akan sangat berharga sekali bagi
kehidupan para korban yang masih hidup. Kita berharap musibah ini akan
membawa kebaikan-kebaikan dalam ridlo Allah. Kita semua berduka atas
musibah ini. Kita semua harus mohon ampun atas semua dosa. Namun, kita
tidak boleh mengeluh dan bersedih berkepanjangan serta kehilangan
harapan pada Tuhan Sembari bertobat dan mohon petunjuk Tuhan, mari kita
baca hikmah dan pembelajaran dari musibah ini. Jalan terbaik menyikapi
musibah adalah kita pasrahkan diri kita kepada Allah SWT dengan sikap
tawakkal dan tawaddhu’ serta bersabar. Mudah-mudahan banyak hikmah
yang bisa kita petik dan ambil pelajaran dalam mengarungi kehidupan ini.
Islam tidak memandang musibah itu adalah bentuk murkanya Allah, tapi
adalah teguran kepada umat- Nya, cobaan bagi orang-orang yang beriman
dan pelajaran buat orang-orang yang masih bergelimang dosa dan maksiat.
Melalui musibah seyogianya dapat mempertebal keimanan kita karena
begitu mudahnya Allah SWT menunjukkan keperkasaan-Nya kepada kita.
Allah SWT berfirman:

‫اَّلِذ ْي َخ َلَق اْلَم ْو َت َو اْلَح ٰي وَة ِلَيْبُلَو ُك ْم َاُّيُك ْم َاْح َس ُن َع َم ۗاًل َو ُهَو‬
2 ‫اْلَع ِز ْيُز اْلَغ ُفْو ُۙر‬

Artinya : “Yang menjadikan kematian dan kehidupan, supaya Dia menguji


kamu, siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha
Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS Al-Mulk : 2).

Ayat ini mengajarkan kita Allah SWT akan menguji kesabaran kita sebagai
orang beriman, sama halnya dengan orang-orang yang menempuh
pendidikan, ada ujian yang dilalui agar dapat lulus dengan hasil yang
memuaskan. Rasulullah SAW bersabda: “Jika Allah berkehendak positif
kepada hamba-Nya, maka Dia akan mendahulukan siksanya terhadap
hamba-Nya, dan jika Allah berkehendak negatif terhadap hamba-Nya, maka
siksa akibat dosa-dosanya ditunda sampai ke akherat kelak.” (HR Tirmidzi).
Sikap yang diajarkan Rasulullah SAW hendaknya senantiasa mampu kita
terapkan karena lima belas abad yang lalu Nabi mengalami banyak
serangkaian musibah dan cobaan ketika berupaya meyakinkan orang-orang
kafir tentang kebenaran Islam. Cobaan dan musibah datang silih berganti.
Beliau dicela, dicaci maki dan hendak dibunuh. Tapi beliau tidak pernah
berputus asa dan menyurutkan langkah serta menganggap itu adalah
“bencana” sebagai bentuk ujian yang harus ia lalui. Nabi akhirnya dapat
memetik hasil sempurna dari perjuangannya: Islam dapat diterima. Selain
meneladani perilaku yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW, kita harus
menyikapi musibah yang terjadi dan menimpa kita dengan tetap ber-
husnuzzhan kepada Allah SWT, berbaik sangka kepada-Nya dengan
memandang serba positif terhadap keputusan yang Dia ambil. Baik terhadap
diri kita, orang lain dan alam seluruhnya. Orang yang ber-husnuzzhan
terhadap Allah SWT memiliki pandangan yang luas yang didasari oleh
keimanan yang tangguh. Ia meyakini bahwa segala keputusan atau takdir
Allah baik berupa kesenangan maupun yang menyusahkan tidak mungkin
ditujukan-Nya untuk menyengsarakan umat manusia. Keputusan Allah atas
manusia tadi adalah bentuk dari pendidikan, cobaan atau ujian untuk
mengukur sejauhmana keimanan seseorang. Bagi yang memiliki sifat
husnuzzhan kepada Allah SWT, bila ia mendapat ujian kenikmatan tidak
sombong tetapi tetap tawaddhu’ dan bila mendapat musibah di kala sulit
tidak berkeluh kesah, tetap kukuh berprasangka baik kepada-Nya. Karena
Allah tidak akan memberikan beban kepada umat-Nya di luar kemampuan.
Hal ini Allah tegaskan dalam firman-Nya : “Allah menghendaki kemudahan
bagimu, bukan kesusahan.” (QS Al- Baqarah 185).

Islam memberikan pedoman bagaimana menyikapi musibah sebagaimana


ditulis Ibrahim Anis dalam bukunya Al-Mu’jam Al-Wasith: Iman dan ridha
terhadap ketentuan Allah SWT. Sebagai orang yang beriman kita harus
mempunyai keyakinan bahwa setiap bencana dan musibah adalah benar
datangnya dari Allah, tidak mengaitkan dengan hal-hal lain seperti
murkanya makhluk halus yang menunggu tempat tersebut. Karena setiap
musibah dan bencana yang menimpa kita adalah bentuk pelajaran yang
harus kita ambil hikmahnya. Sabar menghadapi musibah. Sabar adalah
orang yang mampu menahan diri terhadap bentuk ujian yang menimpa kita
dan menerimanya dengan lapang dada. Karena orang yang beriman itu bila
dia ditimpa musibah akan tetap sabar dan bila dia diberi nikmat akan tetap
tawaddhu’ atau tidak sombong. Ada hikmah dibalik musibah. Setiap
musibah dan bencana yang datang pasti mengandung hikmah yang
tersembunyi. Bagi orang yang beriman menganggap itu merupakan
pelajaran atau mungkin Allah punya rencana dan maksud lain yang kita tahu
rahasia dibalik musibah tersebut. Tetap berikhtiar. Maksudnya tetap
berusaha untuk memperbaiki keadaan atau menghindarkan diri dari bencana
yang menimpa tidak pasrah, menunggu dan diam saja. Kita harus punya
inisiatif untuk berbuat dan bertindak agar kita dapat keluar dari kesulitan
yang menghimpit. Bertobat. Tobat adalah kembali kepada Allah setelah kita
melakukan maksiat atau kita membersihkan semua kesalahan yang kita
perbuat dengan jalan dekat kepada-Nya. Islam tidak memandang manusia
itu bagaikan malaikat tanpa berbuat dosa, tapi sebaik-baik manusia itu
adalah segera berhenti dari perbuatan dosa dan bertobat dari kesalahan yang
diperbuat. Memperbanyak doa dan dzikir. Selagi sedang ditimpa musibah
kita dianjurkan memperbanyak zikir karena dengan jalan tersebut dapat
menentramkan hati dan menghilangkan kegelisahan sambil berdoa supaya
kita bisa keluar dari masalah tersebut. Nabi SAW mengajarkan dalam
doanya: “Allahumma jurnii khairon fii mushiibathii wa akhluf lii khairan
minhaa.” Artinya: “Ya Allah, berilah pahala dalam musibahku ini dan
berilah ganti bagiku yang lebih baik daripadanya.” (HR Muslim). Tetap
Istiqamah. Seorang muslim yang tangguh dalam menjalani cobaan yang
diberikan Allah, dia tetap konsisten dan teguh pendirian dalam menjalankan
dan mengamalkan ajaran Islam. Tidak lantas dengan ujian tersebut membuat
ia semakin jauh dari ajaran agama bahkan timbul penyakit stres atau
mengambil jalan pintas bunuh diri.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Akhlak yang diajarkan Al-Qur’an terhadap lingkungan bersumber dari


fungsi manusia sebagai khalifah. Kekhalifahan menuntut adanya interaksi
antara manusia dengan sesamanya dan manusia terhadap alam lingkungan.
Kekhalifahan mengandung arti pengayoman, pemeliharaan, dan
pembimbingan agar setiap makhluk mencapai tujuan penciptanya. Manusia
sebagai khalifah Allah di bumi sebagai penjaga alam raya agar tetap asri dan
nyaman, karena bumi dengan segala ekosistemnya adalah untuk digunakan
manusia yang Allah menjadikan bumi sebagai tempat bagi umat manusia.
Bila kerusakan-kerusakan diperbuat manusia, maka sunnatullah akan
berperanan di situ dengan bentuk musibah seperti; banjir, angin topan,
kekeringan serta bencana angin topan sebagai bagian dari sebab-akibat dari
dampak yang diperbuat manusia itu sendiri. Kunci keberhasilan dalam
menangani masalah lingkungan hidup adalah faktor manusia yang
menentukan itu semua.

B. Saran

Dengan adanya makalah ini, harapan dari penulis adalah kita sebagai
manusia kaitannya dengan akhlak memiliki tanggung jawab pada
pelestarian dan pemeliharaan lingkungan hidup. Bahkan, inti dari risalah
Nabi Muhammad SAW atau agama Islam adalah berkasih sayang terhadap
alam semesta. Dengan demikian, perilaku umat Islam menjadikan kasih
sayang terhadap alam semesta termasuk pelestarian lingkungan sebagai
orientasi beragama manusia.

DAFTAR PUSTAKA

Sanur, Adlan. Akhlak Kepada Lingkungan (Hewan, Tumbuh-Tumbuhan


Dan Air). Diakses pada tanggal 7 Oktober 2022 di
https://www.academia.edu/27635157/AKHLAK_KEPADA_LINGKUNGA
N Juliansyah, Aldi. Akhlak Kepada Lingkungan. Al Islam Dan
Kemuhammadiyahan 2. Diakses pada tanggal 7 Oktober 2022 di
https://www.academia.edu/12955476/akhlak_terhadap_lingkungan
Alfathah, Suryana. 2017. Kajian Akhlak Terhadap Lingkungan. Diakses
pada tanggal 7 Oktober 2022 di
https://www.academia.edu/82187942/Kajian_Akhlak_Terhadap_Lingkunga
n Qomarullah, Muhammad. LINGKUNGAN DALAM KAJIAN AL-
QUR`AN: Krisis Lingkungan dan Penanggulangannya Perspektif Al-
Qur`an. Jurnal Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an dan Hadis, Vol. 15, No. 1, Januari
2014. Kurniawan. Alhafiz. 2021. Akhlak kepada Lingkungan. Diakses pada
tanggal 8 Oktober 2022 di https://islam.nu.or.id/tasawuf-akhlak/akhlak-
kepada-lingkungan-Z4EgH.

Anda mungkin juga menyukai