Ulasan:
Ketidakseragaman batasan usia dewasa atau batasan usia anak pada berbagai peraturan
perundang-undangan di Indonesia memang kerap menimbulkan pertanyaan mengenai
batasan yang mana yang seharusnya digunakan. Berikut di bawah ini beberapa pengaturan
batasan usia anak dan dewasa menurut peraturan perundang-undangan yang ada di
Indonesia, yang juga kami sarikan dari buku Penjelasan Hukum Tentang Batasan Umur
(Kecakapan dan Kewenangan Bertindak Berdasar Batasan Umur) terbitan NLRP.
Tabel 1: Umur Anak/belum dewasa
Dasar Hukum Pasal
Berdasarkan beberapa ketentuan dalam peraturan perundang-undangan tersebut di atas
memang masih tidak ditemui keseragaman mengenai usia dewasa seseorang, sebagian
memberi batasan 21 (dua puluh satu) tahun, sebagian lagi 18 (delapan belas) tahun,
bahkan ada yang 17 (tujuh belas) tahun. Ketidakseragaman ini juga kita temui dalam
berbagai putusan hakim yang contohnya kami kutip dari buku Penjelasan Hukum Tentang
Batasan Umur (Kecakapan dan Kewenangan Bertindak Berdasar Batasan Umur) terbitan
NLRP berikut ini:
Putusan Pengadilan Negeri Palembang No. 96/1973/PN.Plg tanggal 24 Juli
1974 jis. Putusan Pengadilan Tinggi Sumatera Selatan di Palembang No.
41/1975/PT.PERDATA tanggal 14 Agustus 1975 (hal. 143), dalam amarnya majelis
hakim memutuskan bahwa ayah berkewajiban untuk memberi nafkah kepada anak hasil
perkawinan yang putus tersebut sampai anaknya berumur 21 tahun. Dalam hal ini,
majelis hakim berpendapat bahwa seseorang yang belum berumur 21 tahun dianggap
masih di bawah umur atau belum dewasa sehingga ayahnya berkewajiban untuk
menafkahinya sampai anak tersebut berumur 21 tahun, suatu kondisi di mana anak
tersebut telah dewasa, dan karenanya telah mampu bertanggung jawab penuh dan
menjadi cakap untuk berbuat dalam hukum.
Dalam kasasi di Mahkamah Agung, dengan Putusan MA RI No.477/K/ Sip./1976 tanggal
2 November 1976, majelis hakim membatalkan putusan pengadilan tinggi dan mengadili
sendiri, di mana dalam amarnya majelis hakim memutuskan bahwa ayah berkewajiban
untuk memberian nafkah kepada anak hasil perkawinan yang putus tersebut sampai
anaknya berumur 18 tahun. Majelis hakim berpendapat bahwa batasan umur anak yang
berada di bawah kekuasaan orang tua atau perwalian ialah 18 tahun, bukan 21 Tahun.
Dengan demikian, dalam umur 18 tahun, seseorang telah dianggap mampu
mempertanggungjawabkan perbuatannya, dan karenanya menjadi cakap untuk berbuat
dalam hukum. Keputusan ini tepat, mengingat Pasal 47 dan 50 UU No. 1 Tahun 1974
mengatur bahwa seseorang yang berada di bawah kekuasaan orang tua atau perwalian
adalah yang belum berumur 18 tahun.
Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Timur No. 1 15/Pdt.P/2009/PN. Jaktim
Tanggal 17 Maret 2009 (hal. 145). Hakim menggunakan pertimbangan bahwa
batasan umur dewasa seseorang untuk cakap bertindak secara hukum mengacu pada
Pasal 47 ayat (1) dan (2) UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Dengan
mendasarkan pada Pasal 47 ayat (1) dan (2) UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
menunjukkan bahwa hakim berpendapat batasan umur yang digunakan sebagai
parameter untuk menentukan kecakapan untuk berbuat dalam hukum adalah telah
berumur 18 tahun.
Bahkan di antara para hakim pun belum ada keseragaman dalam menerapkan batasan usia
dewasa. Beberapa artikel berikut yang menunjukkan ketidakseragaman batasan usia
dewasa dalam peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia dapat Anda simak
juga:
1. Meski Sudah Menikah, Usia 18 Tahun Diperlakukan Sebagai Anak.
2. Ekonomi Syariah Hanya Buat yang Dewasa.
3. Anak yang Belum Dewasa Tidak Memiliki Legal Standing.
4. Perlu Harmonisasi Peraturan Batas Usia Anak.
5. Masalah Hukum Pembatasan Usia Dalam Undang-Undang.
6. Awal Kemandirian Seorang Wanita.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23);
2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
3. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
4. Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan;
5. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;
6. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana terakhir
diubah dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 2014;
7. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
8. Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia;
9. Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Orang;
10. Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi;
11. Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak;
12. Kompilasi Hukum Islam (Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991);
13. SK Mendagri Dirjen Agraria Direktorat Pendaftaran Tanah (Kadaster) No. Dpt.7/539/7-
77, tertanggal 13-7-1977.
Referensi:
Penetapan Pengadilan Negeri Kepanjen Nomor : 891/Pdt.P/2013/PN Kpj.
Pelayanan Kesehatan Anak
Beda usia, maka beda pula lah penanganan masalah kesehatan yang harus dilakukan oleh seorang dokter.
Seperti hal nya masalah kesehatan anak, mulai dari bayi baru lahir, anak-anak hingga remaja usia sekitar
18 tahun idealnya ditangani oleh dokter spesialis anak.
Tidak semua penyakit yang dialami seseorang dapat ditangani oleh dokter umum. Dalam arti, pada situasi dan
kondisi tertentu karena keterbatasan fasilitas dan kompetensi beberapa penyakit hanya dapat ditangani oleh
dokter khusus atau dokter spesialis.
Dokter spesialis anak atau ahli pediatri adalah dokter yang memiliki fokus pada kesehatan fisik, mental,
emosional, tumbuh kembang, dan sosial anak-anak. Selain itu juga juga, dokter spesialis anak bertugas
memberikan tindakan pencegahan pada anak yang sehat salah satunya melalui pemberian vaksinasi serta
memberikan pengobatan pada anak yang sehat baik penyakit akut maupun kronis.
Ukuran tubuh yang berbeda diikuti dengan perubahan pendewasaan merupakan perbedaan utama yang dapat
langsung kita kenali. Ukuran tubuh yang lebih kecil pada bayi atau neonatus akan memengaruhi perbedaan
fisiologis anak dari dewasa. Penyakit turunan, variasi genetic, dan masalah pertumbuhan merupakan masalah
yang umum dihadapi dokter anak. Pepatah umumnya mengatakan bahwa anak-anak bukanlah “orang dewasa
kecil”, sehingga tenaga kesehatan harus memahami fisiologi yang belum matang pada bayi atau anak-anak saat
mempertimbangkan gejala, meresepkan obat, dan mendiagnosis penyakit.
Fisiologi anak langsung memengaruhi sifat farmakokinetik obat yang memasuki tubuh. Absorpsi, distribusi,
metabolisme, dan eliminasi obat berbeda antar anak dan orang dewasa. Meskipun demikian, masih belum ada
penelitian dan kajian yang menyeluruh untuk membedakan kedua kelompok usia ini, maka dari ini masih
diperlukan penelitian lanjutan untuk lebih memahami bagaimana faktor-faktor ini dapat memengaruhi
keputusan yang diambil tenaga kesehatan saat meresepkan dan memberikan obat untuk populasi pediatrik.
Demam
Muntah atau diare berat
Dehidrasi
Kejang
Gangguan pernapasan seperti batuk dan pilek yang tidak kunjung sembuh atau menyebabkan gejala berat
seperti sesak napas
Nyeri saat buang air kecil
Muncul ruam
Anak mengalami masalah tumbuh kembang
Bayi terlahir prematur
RSGM Maranatha mempunyai rasa tanggung jawab dan turut peduli dalam rangka meningkatkan derajat
kesehatan anak-anak di seluruh lapisan masyarakat kearah yang lebih baik, optimal, dan prima. Sehingga
sebagai rasa kepedulian tersebut, mulai 22 Oktober 2020 kembali menyelenggarakan pelayanan klinik spesialis
anak.
Bagaimanapun juga menjaga kesehatan lebih baik daripada mengobati terlebih bagi kesehatan anak. Sehingga
sangat penting bagi orangtua untuk lebih memperhatikan dan lebih peduli terhadap kondisi kesehatan anak.
Sumber:
https://www.alodokter.com/informasi-terkait-dokter-spesialis-anak
https://www.sehatq.com/dokter/anak
https://skata.info/article/detail/727/mengenal-imunisasi-dasar-lanjutan-dan-ulangan-booster-untuk-anak