Anda di halaman 1dari 20

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

BAB II
LANDASAN TEORI

A. Susu Formula
1. Definisi

Codex alimentarius for Infant Formula (CODEX STAN 72-


1981 direvisi tahun 2007) mendefinisikan susu formula sebagai
pengganti ASI yang secara khusus diproduksi untuk memenuhi
kebutuhan nutrisi pada bayi dalam satu tahun pertama kehidupan
sampai saat diberikan makanan pendamping ASI (CODEX, 2007).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh National Health and
Medical Research Council pada tahun 2012, pada bayi yang tidak
diberi ASI atau sebagian ASI, susu formula diberikan sebagai
alternatif untuk ASI. Pemberian susu formula pada kondisi tertentu
harus didasari bahwa risiko pemberian makanan selain ASI kurang
dari faktor risiko yang ditimbulkan jika tetap menyusui (World
Health Organization, 2009).

2. Kandungan susu formula


Susu formula mengandung susu, gula, air, dan beberapa
bahan modifikasi. Protein yang ada dalam susu sapi cenderung
lebih tinggi dibandingkan dengan ASI, yakni mengandung sekitar
20 % energi dan berbeda dengan ASI yang hanya mengandung
sekitar 7 %. Kualitas protein ditentukan oleh kadar asam amino.
Protein pada ASI mengandung casein lebih rendah, dalam
pencernaan casein berinteraksi dengan chloride membentuk curd
(gumpalan). Casein dalam susu formula cenderung lebih tinggi
sehingga curd yang dihasilkan lebih keras dan sulit dicerna oleh
bayi. Umumnya, susu formula pada bayi memiliki rasio whey :
commit to user

5
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

casein sebesar 60:40, sedangkan ASI memiliki rasio 70:30


(Damayanti, 2011).

3. Kondisi yang memungkinkan ibu memberi susu formula


Menurut Pudjiadi, (2008) terdapat beberapa kondisi yang
menyebabkan ibu memberikan susu formula pada bayi,
diantaranya:
1) Berhubungan dengan penyakit yang dialami ibu dan dilarang
oleh dokter untuk menyusui dengan ASI:
a. Ibu dengan HIV positif
Virus HIV juga ditularkan melalui ASI. Untuk ibu HIV
positif sebaiknya:
i. Tidak menyusui sama sekali bila pengadaan susu
formula dapat diterima, mungkin dilaksanakan, terbeli,
berkesinambungan dan aman (AFASS: acceptable,
feasible, affordable, sustainable dan safe).
ii. Bila ibu dan bayi dapat diberikan obat-obat ARV (Anti
Retroviral) dianjurkan menyusui eksklusif sampai bayi
berumur 6 bulan dan dilanjutkan menyusui sampai
umur bayi 1 tahun bersama dengan tambahan makanan
pendamping ASI yang aman.
iii. Bila ibu dan bayi tidak mendapat ARV.
b. Ibu penderita HTLV (Human T-lymphotropic Virus) tipe 1
dan 2 virus ini juga menular melalui ASI. Virus tersebut
dihubungkan dengan beberapa keganasan dan gangguan
neurologis setelah bayi dewasa. Bila ibu terbukti positif,
dan syarat AFASS dipenuhi, tidak dianjurkan memberi ASI.
c. Ibu penderita CMV (citomegalovirus) yang melahirkan bayi
prematur juga tidak dapat memberikan ASI.
2) Bayi memiliki kelainan metabolik bawaan yang akan bereaksi
commit
buruk apabila bayi to user
tersebut menerima ASI, seperti:

6
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

a. Galaktosemia: penyakit ini disebabkan tidak adanya enzim


galactose-l-phosphate uridyltransferase yang diperlukan
untuk mencerna galaktosa, hasil penguraian laktosa. Bentuk
klasik bisa berakibat fatal, sedangkan bentuk ringan
menyebabkan gagal tumbuh dan membesarnya organ hati
dan limpa (hepatosplenomegali). ASI mengandung laktosa
tinggi sehingga bayi harus disapih, diberi susu tanpa
laktosa, selanjutnya penderita harus diet makanan tanpa
galaktosa sepanjang hidupnya.
b. Maple syrup urine disease, pada penyakit ini tubuh tidak
dapat mencerna jenis protein leusin, isoleusin dan valine.
Bayi tidak boleh mendapat ASI atau susu bayi biasa, dan
memerlukan formula khusus tanpa leusin, isoleusin dan
valin.
c. Fenilketonuria, memerlukan formula tanpa fenilalanin.
Dengan diagnosis dini, disamping pemberian susu khusus
dianjurkan untuk diberikan berselang-seling dengan ASI
karena kadar fenilalanin ASI rendah dan agar manfaat
lainnya tetap diperoleh asalkan disertai pemantauan ketat
kadar fenilalanin dalam darah.
3) Ibu sedang dirawat di rumah sakit dan terpisah dengan
bayinya.
4) Kondisi ibu yang tidak memungkinkan untuk memberikan
ASI:
a. Laktogenesis memang terganggu, misalnya karena ada sisa
plasenta (hormon prolaktin terhambat), sindrom Sheehan
(perdarahan pasca melahirkan hebat dengan komplikasi
nekrosis hipotalamus)
b. Insufisiensi kelenjar mammae primer: dicurigai bila
payudara tidak membesar tiap menstruasi/ketika hamil dan
commit
produksi ASI to user
memang minimal.

7
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

c. Pasca operasi payudara yang merusak kelenjar atau saluran


ASI.
d. Rasa sakit yang hebat ketika menyusui yang tidak teratasi
oleh intervensi seperti perbaikan pelekatan, kompres hangat
maupun obat.
5) Produksi ASI yang sedikit atau tidak keluar sama sekali.

4. Jenis-jenis susu formula


Susu Formula dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu:
1) Berdasarkan usia
a) Susu Formula Pertama
Susu formula berbahan protein susu sapi yang
digunakan sejak lahir hingga usia 12 bulan. Variasi lain
berupa soya dan susu berbahan protein susu kambing
(Oconnor, 2009).

b) Susu Formula Lanjutan


Susu formula yang digunakan untuk bayi berusia enam
bulan ke atas. Susu formula ini merupakan lanjutan dari
formula yang telah dikonsumsi bayi sebelumnya
(Oconnor, 2009).

2) Berdasarkan Kandungan Protein


a) Berbahan Dasar Protein Susu Sapi
Susu sapi umumnya telah diolah sedemikian rupa
sehingga dapat menyerupai ASI. Susu formula jenis ini
merupakan susu pilihan pertama yang diberikan pada
bayi yang tidak menerima ASI eksklusif. Formula ini
biasanya diberikan pada bayi cukup bulan tanpa adanya
riwayat alergi susu sapi (ASS), asma, maupun eksema
commit toSusu
dalam keluarga. user sapi memberikan kadar kalsium

8
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

yang cukup pada bayi hingga usia satu tahun (Oconnor,


2009).
Komponen protein susu sapi dapat berbentuk
predominasi casein dan whey. Casein yang berupa
bagian susu berbentuk kental biasanya terdiri dari 76-
86% dari protein susu sapi. Casein dapat dipresipitasi
dengan zat asam pada pH 4,6. Whey mengandung 20%
dari total protein susu sapi, yang terdiri dari β-
lactoglobulin (9% dari total protein susu), α-lactalbumin
(4%), bovine immunoglobulin (2%), bovine serum
albumin (1%), dan sebagian kecil beberapa protein lain,
seperti laktoferin, transferin, dan lipase (4%). Kandungan
protein yang disarankan pada susu formula jenis ini
adalah 1,8 sampai 2 g/100kkal (Damayanti, 2011).

b) Berbahan Dasar Protein Susu Kambing


Susu kambing tidak mengandung aglutinin sehingga
lebih mudah dicerna. Namun, kandungan protein yang
tinggi pada susu kambing dapat menimbulkan asidosis
dalam penggunaannya. Jika dibandingkan dengan susu
sapi, susu kambing mengandung lemak esensial yang
lebih banyak, seperti linoleat dan asam arakhidonat. Susu
kambing juga memiliki kandungan laktosa yang lebih
sedikit sehingga dapat diberikan pada bayi dengan
intoleransi laktosa (Oconnor, 2009).

c) Berbahan Dasar Protein Susu Kedelai


Pemberian susu formula kedelai sebagai pengganti
susu sapi untuk bayi yang alergi susu sapi banyak sekali
dilakukancommit to user
(Munasir et al., 2013). Menurut penelitian

9
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

yang dilakukan oleh Bhatia et al., (2008) pemakaiannya


mencapai angka 20% dari seluruh pemakaian susu
formula, jauh di atas kejadian pemakaian susu sapi (2-
6%). Susu formula berbahan dasar kedelai merupakan
susu formula yang berbahan isolat protein kedelai yang
bebas protein susu sapi, bebas laktosa, dan dapat
menyediakan energi sebesar 67 kkal/dl (Munasir et al.,
2013). Semua formula berbahan dasar kedelai diperkaya
zat besi dan mencukupi standar karbohidrat, lemak,
vitamin, mineral, dan elektrolit yang telah ditentukan.
Penggunaan protein kedelai pada anak adalah
irrasional, karena kandungan antinutrisi dan toksinnya
hanya akan hilang sempurna melalui proses fermentasi
(Vandenplas et al., 2011). Isolasi protein kedelai pada
susu formula kedelai tidak melewati proses fermentasi
ini. Kedelai hanya dipanaskan sehingga kandungan
antinutrisi dan toksinnya masih ada. Phytate, salah satu
kandungan antinutrisi pada kedelai, mempengaruhi
penyerapan mineral, seperti seng, besi, dan kalsium,
yang penting bagi tumbuh kembang anak (Koletzko et
al., 2012).

3) Berdasarkan Pemecahan Protein


a) Susu Formula Parsial Hidrolisat
Susu formula parsial hidrolisat dibagi menjadi:
i. Susu Formula Parsial Hidrolisat Rendah Laktosa
Susu formula ini tidak lazim digunakan pada anak
sehat maupun untuk mencegah alergi. Walaupun
demikian, susu formula ini aman dan dapat diterima
anak, terutama untuk anak dengan keluhan kembung dan
commit
rewel. Susu to user
formula ini mengandung casein dan whey

10
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

yang separuhnya telah terhidrolisa dengan kadar laktosa


yang rendah (Damayanti, 2011).

ii. Susu Formula Parsial Hidrolisat kandungan whey 100 %


Susu formula ini memiliki kandungan whey 100%
yang telah terhidrolisa sebagian. Formula ini
direkomendasikan untuk penderita yang berisiko tinggi
mengalami alergi sebelum menunjukkan adanya gejala
alergi. Penelitian menunjukkan pemberian formula
hidrolisat parsial mengurangi onset gejala alergi yang
dapat ditimbulkan (Damayanti, 2011).

b) Susu Formula Bebas Laktosa


Susu formula ini digunakan pada anak dengan
gangguan penyerapan laktosa (kekurangan enzim laktase)
yang dikonfirmasi oleh dokter. Defisiensi laktosa ini dapat
disebabkan karena kelainan intoleransi laktosa kongenital
dan intoleransi laktosa sekunder akibat diare berat maupun
diare karena virus. Susu formula ini tidak dapat digunakan
pada anak dengan alergi susu sapi maupun galaktosemia
(Damayanti, 2011).

c) Susu Formula Ekstensif Hidrolisat


Penggunaan susu formula ini diindikasikan bagi anak
dengan alergi makanan terutama alergi susu sapi, alergi
susu kedelai, dan untuk masalah malabsorbsi yang spesifik.
Susu formula ini merupakan pilihan pertama dan terbaik
saat ini dalam penanganan alergi susu sapi dan
pencegahannya (Agostoni et al., 2006).

commit to user

11
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

d) Susu Formula Asam Amino


Susu formula asam amino sanggup mencukupi
kebutuhan nutrisi bagi anak yang alergi susu sapi dan
intoleransi terhadap banyak makanan. Protein pada susu
formula asam amino pun paling kecil diantara susu formula
yang lain sehingga memiliki sifat antigenik paling rendah
yang sangat cocok diberikan pada anak dengan alergi.
Namun, karena harganya yang sangat mahal, susu formula
ini hanya menjadi pilihan kedua dari penanganan alergi
susu sapi. Biasanya, anak mencoba terlebih dahulu
memakai susu formula ekstensif hidrolisat (Agostoni,
2006).

5. Susu Formula yang beredar di Indonesia


Ada beberapa susu formula untuk bayi yang dapat dikonsumsi
dan beredar di Indonesia (Munasir, 2016), yaitu:
1) Susu formula berbahan dasar protein sapi
Formula berbahan dasar protein susu sapi merupakan
pilihan terbanyak dari bayi yang sehat, tidak menderita
alergi susu sapi (ASS), dan tidak menerima ASI eksklusif.
Formula susu sapi tidak cocok digunakan pada anak dengan
alergi susu sapi, intoleransi laktosa, dan galaktosemia.

2) Susu formula ekstensif hidrolisat


Pada formula ini, protein susu sapi terdapat dalam
bentuk yang telah dipecah menjadi komponen yang lebih
kecil. Sebagian besar bayi dan anak ASS dapat mentoleransi
susu jenis ini dengan baik. Susu yang termasuk jenis ini
misalnya Nutramigen, Pregestimil, dan Pepti-Yunior.

commit to user

12
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

3) Susu formula asam amino


Formula yang mengandung asam amino bebas (bentuk
paling sederhana dari protein) sebagai sumber nitrogen ini
merupakan pilihan terbaik untuk bayi dengan alergi susu
sapi (ASS), terutama pada ASS berat. Formula asam amino
dianggap sebagai pengobatan pilihan pertama untuk ASS.
Formula yang termasuk jenis ini misalnya Neocate.

4) Susu formula berbahan dasar kedelai (soya)


Formula ini menggunakan kedelai sebagai sumber
protein untuk mengganti komponen susu sapi. Meskipun
tidak mengandung susu sapi, tetapi dapat terjadi reaksi
silang antara protein susu sapi dengan protein kedelai,
sehingga 10 – 14% bayi ASS dapat mengalami reaksi alergi
dengan penggunaan susu ini. Formula kedelai tidak
dianjurkan untuk bayi di bawah enam bulan. Formula ini
dapat dipertimbangkan pada bayi dengan keadaan khusus,
misalnya masalah ekonomi keluarga, bayi tidak dapat
mentoleransi susu formula jenis lain, atau adanya preferensi
khusus (pola makan vegetarian).

5) Susu formula parsial hidrolisat


Susu formula ini tidak dianjurkan untuk bayi dengan
ASS. Susu formula parsial hidrolisat masih mengandung
peptida cukup besar sehingga masih berpotensi untuk
menyebabkan reaksi alergi susu sapi.

commit to user

13
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

B. ASI
1. Definisi
ASI (air susu ibu) merupakan suatu emulsi lemak dalam
larutan protein. Kelenjar susu mensekresi laktosa dan garam-garam
anorganik. ASI mengandung nutrisi dasar yang jumlahnya biasanya
sesuai dengan kebutuhan bayi. Sedangkan ASI eksklusif atau lebih
tepatnya pemberian ASI eksklusif adalah bayi yang hanya diberi
ASI saja dari ibu, tanpa tambahan cairan lain seperti susu formula,
jeruk, madu, air putih, air teh, dan tanpa tambahan makanan padat
seperti pisang, pepaya, bubur susu, biskuit, bubur nasi, dan tim.
Pemberian ASI eksklusif ini dianjurkan untuk jangka waktu
setidaknya 4 bulan, tetapi bila memungkinkan sampai 6 bulan
(Roesli, 2005).

2. Komposisi ASI
ASI merupakan makanan alami pertama untuk bayi, ASI
menyediakan semua elemen nutrisi dan energi yang dibutuhkan
oleh bayi pada bulan-bulan pertama kehidupan. ASI menyediakan
hingga setengah atau lebih dari kebutuhan gizi bayi pada paruh
kedua dari tahun pertama bayi, dan sampai sepertiga selama tahun
kedua kehidupan (WHO, 2012).
Karbohidrat utama ASI adalah laktosa (gula). Latosa ASI 20-30
% lebih banyak daripada susu sapi (Roesli, 2005). ASI
mengandung protein yang tinggi dengan dua macam protein utama,
yaitu whey dan casein. Whey adalah protein halus, lembut, dan
mudah dicerna. Casein merupakan protein yang kasar, bergumpal,
dan sukar dicerna oleh usus pada bayi. ASI memiliki perbandingan
whey dan casein yang sesuai untuk bayi. ASI mngandung bahan
larut yang rendah. Bahan larut tersebut yaitu 3,8 % lemak, 0,9 %
protein, 7 % laktosa, dan 0,2 % bahan-bahan lain (Riksani, 2012).
commit to user

14
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

3. Tahap Pembentukan ASI


1) Kolostrum
Kolostrum merupakan ASI yang keluar pada saat
kelahiran sampai hari ke-4 atau ke-7. Kolostrum mengandung
sel darah putih dan protein imunoglobulin pembunuh kuman
dalam jumlah paling tinggi (Roesli, 2005). Selain komposisi
sel darah putih serta protein tersebut, kolostrum mengandung
banyak faktor imunosupresif yang mencegah terjadinya
stimulasi berlebih akibat masuknya antigen dalam jumlah
besar (Sumardiono, 2010).

2) Susu transisi
Susu transisi yaitu ASI yang keluar pada hari ke-3 sampai
hari ke-10 setelah kelahiran. Susu transisi warnanya lebih
bening dengan jumlah yang lebih banyak. Kadar protein dan
imunoglobulinnya menurun, sedangkan kadar lemak dan
laktosa meningkat (Riksani, 2012).

3) Susu matur
Susu matur atau matang yaitu ASI yang keluar setelah hari
ke-10 pasca persalinan.Umumnya, komposisinya stabil dan
tidak berubah (Riksani, 2012).

C. Gastroesophageal Reflux (GER)


1) Definisi
Gastroesophageal Reflux (GER) adalah suatu keadaan
dimana terjadi disfungsi sfingter esofagus bagian bawah sehingga
menyebabkan kembalinya makanan dari lambung ke esofagus dan
dapat kembali ke lambung atau dikeluarkan oleh mulut menyerupai
“muntah” (Pramitha et al., 2007). Hal ini merupakan proses
commit
fisiologis normal yang to user
dapat terjadi pada bayi, anak-anak, maupun

15
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

orang dewasa. Episode refluks bersifat singkat, fisiologis dan tidak


menyebabkan gejala kompleks, durasinya kurang dari 3 menit,
yang mana selama itu disebut periode postprandial (Vandenplas,
2009). Gastroesophageal reflux (GER) terjadi lebih sedikit pada
orang dewasa dan lebih sering pada bayi terutama di tahun pertama
kehidupannya (Ciro et al., 2004). Keadaan refluks ini terjadi
sebagai bagian dari relaksasi sfingter esofagus bagian bawah.
Menurut Gery, (2008) relaksasi ini terjadi mulai dari proses
menelan makanan hingga makanan masuk ke dalam sistem
pencernaan di perut, kemudian dalam perut terisi oleh gas yang
nantinya dilepaskan.

2) Gejala Klinis
Gejala klinis yang paling khas dari GER ialah regurgitasi. Hal
ini biasanya karena sehabis mendapat asupan makan dalam jumlah
yang besar. Keadaan regurgitasi ini umumnya terjadi setiap hari
secara spontan pada sekitar 50 % bayi berusia dibawah tiga bulan
dan berlangsung secara normal hingga usia satu tahun (Cheema et
al., 2014). Regurgitasi disebabkan katup penutup lambung yang
belum sempurna, menangis berlebihan, bayi yang bergerak terlalu
aktif, posisi menyusui yang salah, bayi mengalami kembung,
pemakaian gurita yang terlalu ketat, intoleransi susu formula,
pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) yang terlalu dini,
dan cacat bawaan (Button et al., 2007).
Disamping itu, riwayat perjalanan penyakit dan gejala klinis
lainnya sangat berperan dalam mendiagnosis GER. Dengan
mengamati gejala klinis yang timbul, pemeriksaan penunjang untuk
diagnosis dapat sangat selektif dilakukan pada bayi yang mengalami
GER. Dikarenakan banyaknya variasi gejala klinis yang muncul,
maka dalam beberapa penelitian dilakukan untuk mendapat
commitklinis
gambaran tentang gejala to useryang dianggap paling bermakna

16
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

untuk mendiagnosis terjadinya GER (Khosoo et al., 2000). Gejala


klinis yang biasanya timbul pada bayi yang mengalami GER, yaitu:
a. Manifestasi klinis akibat refluks asam lambung :
 Sendawa (pirosis)
 Mual
 Muntah
 Sakit uluhati
 Sakit menelan
 Hematemesis melena
 Striktura
 Iritabel (bayi)
 Gangguan pada saluran pernafasan
 Erosi pada gigi
b. Manifestasi klinis akibat refluks gas (udara)
 Eructation
 Cekukan
 Rasa penuh setelah makan
 Mudah merasa kenyang
 Perut sering gembung
 Manifestasi klinis akibat refluks makanan dan minuman
 Muntah
 Menolak diberi makanan (pada bayi dan anak)
 Aspirasi ke saluran pernafasan (apneu, SIDS)
 Anemia
 Penurunan berat badan
 Gagal tumbuh
 Retardasi psikomotor
 Sandifer syndrome (dimana terjadi hiper-ekstensi leher
dan torticolis pada bayi)
commit to user

17
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Pengelompokkan gejala klinis diatas dilakukan untuk


mempermudah mengenali gejala pada GER (Supriatmo, 2011).
Secara umum, gejala GER pada bayi yakni muntah secara
berulang, batuk-batuk, terdapat masalah pernafasan, dan
terkadang mengalami anemia serta gagal tumbuh (Behrman et
al., 2012).

3) Faktor Risiko
Menurut Gambino, (2008) faktor risiko gastroesophageal
reflux umumnya terjadi karena beberapa faktor, diantaranya:
1) Relaksasi sfingter esofagus bagian bawah
Dalam kondisi yang normal, relaksasi sfingter esofagus
bagian bawah terjadi sebagai respon dari sendawa atau
membiarkan makanan untuk masuk. Selama episode refluks
berlangsung, sfingter esofagus bagian bawah mengalami
relaksasi yang terlalu lama sehingga menyebabkan makanan
beserta asam yang dicerna naik dari saluran pencernaan ke
dalam esofagus.

2) Motilitas yang buruk


Otot-otot dan saraf-saraf dalam esofagus butuh koordinasi
antara kontraksi dan relaksasi sehingga makanan dapat melewati
esofagus dan masuk ke saluran pencernaan dengan baik. Motilitas
yang buruk terjadi ketika kurangnya koordinasi antara otot dan
saraf dalam esofagus tersebut.

3) Sistem saraf yang belum matur


Gangguan atau prematuritas sistem saraf dapat menyebabkan
sinyal yang dikirim dari otak menuju sfingter esofagus bagian
bawah ketika melakukan kontraksi dan relaksasi datang dalam
waktu yang tidak commit to user sistem saraf yang belum matur
tepat. Akibatnya,

18
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

ini dapat mempengaruhi relaksasi sfingter esofagus bagian bawah


dan menyebabkan penurunan tonus sfingter.

4) Makan terlalu banyak


Ketika bayi makan dalam porsi yang sangat besar, dapat
memberi tekanan pada saluran pencernaan dan menyebabkan
makanan mendorong untuk terbukanya sfingter esofagus bagian
bawah. Bayi yang diberi makanan dalam jumlah besar
mengakibatkan perut bayi terasa penuh dan makanan akan kembali
ke kerongkongan dan dapat menyebabkan gumoh hingga muntah.

5) Hiatus hernia
Hiatus hernia terjadi ketika bagian dalam sistem pencernaan
menonjol ke arah diafragma dan masuk ke dalam rongga dada.
Makanan yang berada di perut bagian atas dapat terjepit diantara
paru-paru setiap kali bernafas, yang menyebabkan nyeri dan ada
rasa panas di dalam perut. Hiatus hernia meningkatkan episode
refluks dan memperlama pembersihan esofagus dengan
mengalirkan kembali makanan yang sudah ditelan melewati
esophagogastric junction ketika relaksasi sfingter esofagus bagian
bawah terjadi.

6) Lamanya pengosongan sistem pencernaan


Lamanya pengosongan sistem pencernaan dapat meningkatkan
periode postprandial pada refluks, yang kemungkinan juga dapat
mempengaruhi transien relaksasi sfingter esofagus bagian bawah.
Gastroparesis (pengosongan sistem pencernaan yang lama)
merupakan salah satu gejala terjadinya GER, terutama yang
memiliki kelainan pada sistem saraf. Gastroparesis ini terjadi
ketika saraf dalam sistem pencernaan tidak berfungsi dengan baik
sehingga makanancommit to userdalam saluran pencernaan terlalu
tetap berada

19
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

lama, yang menyebabkan saluran pencernaan terasa penuh dan


tidak nyaman.

7) Intoleransi dan alergi


Alergi makanan dapat menyebabkan saluran pencernaan
menolak makanan yang masuk, yang mengakibatkan terjadinya
muntah dan iritasi pada esofagus. Gangguan tersebut juga dapat
mengganggu semua organ tubuh terutama pencernaan (sering
muntah, gumoh, kembung, sering buang air besar), kulit (sering
timbul bintik atau bisul kemerahan terutama di pipi, telinga dan
daerah yang tertutup popok), saluran nafas dan organ lainnya.

8) Konstipasi
Konstipasi dapat memperlambat pencernaan dan mencegah
makanan untuk meninggalkan saluran pencernaan pada waktu yang
semestinya. Konstipasi umumnya terjadi karena rasa sakit yang
dialami saat buang air besar sehingga sulit untuk dikeluarkan.

9) Infeksi pernafasan
Adanya riwayat infeksi pada saluran pernafasan, dapat
mempengaruhi terjadinya GER. Dapat dikatakan menjadi
berbahaya jika cairan asam lambung yang naik ke esofagus dapat
sampai ke paru-pau sehingga menimbulkan infeksi dapat terjadi
kembali.

1) Patofisiologi
Transien relaksasi dari sfingter esofagus bagian bawah (LES)
merupakan mekanisme utama terjadinya Gastroesophageal Reflux
(GER). Transien relaksasi sfingter esofagus bagian bawah
merupakan proses yang normal saat menelan (Salvatore, et al.,
commit
2015). Hal ini dapat to usersebagai refleks saraf yang dipicu
dikatakan

20
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

oleh distensi perut bagian atas serta dalam kerjanya diatur oleh
otak, dengan mekanisme aferen dan eferen dalam nervus vagus,
yang mengaktifkan pelepasan dari nitrit oksida untuk merelaksasi
sfigter esofagus bagian bawah.
Episode refluks bervariasi tergantung kandungan isinya,
volume, lamanya, dan hubungannya dengan makan. Saat proses
terjadinya refluks, sfingter esofagus bagian bawah dalam keadaan
relaksasi atau melemah oleh peningkatan tekanan intraabdominal
sehingga terbentuk rongga di antara esofagus dan lambung. Isi
lambung mengalir atau terdorong kuat ke dalam esofagus (Asroel,
2008). Jika isi lambung mencapai esofagus bagian proksimal dan
sfingter esofagus atas berkontraksi, maka isi lambung tersebut tetap
berada di esofagus dan peristaltik akan mengembalikannya ke
dalam lambung. Jika sfingter esofagus bagian atas mengalami
relaksasi sebagai respon terhadap distensi esofagus, maka isi
lambung akan masuk ke faring, laring, mulut atau nasofaring (Hay
DW, 2007).
Distensi gaster dan akomodasi yang terganggu pada fundus
gaster dapat semakin memicu terjadinya transien relaksasi sfingter
esofagus bagian bawah. Pengosongan yang lama pada lambung
dapat menambah terjadinya episode refluks pada bayi dan anak-
anak, terutama yang memiliki masalah kelainan atau kematangan
dari sistem saraf (Salvatore, et al., 2015).

D. Susu Formula terkait Kejadian Gastroesophageal Reflux (GER)


pada Bayi

Susu formula mengandung asam lemak jenuh yang relatif sulit


dicerna oleh sistem pencernaan bayi. Sistem pencernaan perlu bekerja
lebih keras untuk memecah susu formula menjadi nutrien yang mudah
commit to user
diserap oleh tubuh. Akibatnya, waktu pengosongan lambung terjadi

21
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

lebih lama hingga terjadinya refluks asam dan memicu terjadinya


regurgitasi (Dina K & Rina Y, 2002). Hal ini juga dapat didukung
dengan teknik pemeberian susu formula yang tidak benar. Seringkali
ibu yang memiliki bayi dengan konsumsi susu formula kurang
memperhatikan gejala yang dialami dan cara pemberian susu formula,
apalagi jika tidak menunjukkan gejala maupun penanganan yang
serius. Selain itu, terjadi perubahan pH pada esofagus akibat
pemberian susu formula. Dalam hal ini, penurunan pH terjadi sesaat
setelah pemberian susu formula yang awalnya memiliki pH normal,
tetapi kemudian mengalami penurunan pH hingga dibawah 4.
Penurunan pH ini juga mempengaruhi gerakan peristaltik yang
menjadi terganggu (Widodo, 2006).
Menurut Hegar, (2013) bayi yang mengonsumsi susu formula
memiliki risiko lima hingga sepuluh kali lebih besar mengalami
frekuensi regurgitasi dan muntah yang lebih sering dibandingkan
dengan bayi yang mengonsumsi ASI eksklusif. Seperti yang telah
diketahui bersama, ASI eksklusif merupakan nutrisi terbaik dan
protektif bagi bayi pada satu tahun pertama kehidupannya. ASI
eksklusif yang mengandung asam lemak tak jenuh cenderung lebih
cepat diserap oleh sistem pencernaan bayi sehingga pengosongan
lambung juga lebih singkat dan menghindari peningkatan frekuensi
dan regurgitasi.
Vandenplas menyebutkan, (2009) susu formula kemungkinan
dapat mengurangi regurgitasi secara visibel, tetapi belum tentu
mengurangi frekuensi dari episode refluks. Frekuensi episode refluks
umumnya juga dipengaruhi oleh banyaknya porsi atau volume dari
susu formula yang dikonsumsi.

commit to user

22
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

E. Kerangka Pemikiran

Pemberian Susu Formula pada Bayi Usia 0-12 Bulan


 Berhubungan dengan
penyakit yang dialami
ibu.
 Kondisi ibu yang tidak
memungkinkan
\
Tidak didapatkannya pemberian ASI Eksklusif memberikan ASI pada
bayi.
 Produksi ASI yang
keluar sedikit atau tidak
Dilakukan pemberian Susu Formula sama sekali.
 Kondisi bayi dengan
kelainan metabolik.
 Asam lemak jenuh dalam susu formula lebih lama
bawaan
diserap dalam sistem pencernaan
 Susu Formula mengandung asam lemak jenuh

Pengosongan Lambung pada Bayi menjadi


lebih lama  Relaksasi sfingter
esofagus bagian bawah
 Motilitas yang buruk
Penurunan pH pada Esofagus  Sistem saraf yang
belum matur
 Makan terlalu banyak
Gerakan peristaltik terganggu  Hiatus hernia
 Lamanya pengosongan
sistem pencernaan
Terjadi regurgitasi dan muntah  Intoleransi dan alergi
 Konstipasi
 Infeksi pernafasan
Refluks gastroesofagus
Keterangan:

Variabel yang diteliti

commit to user Variabel yang tidak


diteliti

23
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

F. Hipotesis
Terdapat hubungan antara pemberian susu formula dengan kejadian
gastroesophageal reflux (GER) pada bayi usia 0-12 Bulan.

commit to user

24

Anda mungkin juga menyukai