Anda di halaman 1dari 59

Accounting as a Profession

Characteristics of a Profession
(Akuntansi sebagai Profesi, Karakteristik Profesi)

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan


Nilai Tugas Mata Kuliah Etika Bisnis
Program Studi Magister Akuntansi

Disusun Oleh :

1. DENI ARIADI 21062020010

2. GEMPITA ASMAUL HUSNA 21062020013

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
JAWA TIMUR
2022
BAB 1
LATAR BELAKANG

KOMPAS.com - Profesi bidang akuntansi biasanya mendapat gelar "Ak." atau "CPA"
(certified publik accountant). Para akuntansi bisa menjadi akuntan publik, auditor, konsultan
manajemen, atau menjadi akuntan internal di perusahaan. Dalam buku Akuntansi Dasar (2019)
karya Irmah Halimah Bachtiar, terdapat beberapa profesi bidang akuntansi yaitu:

1. Akuntan privat (intern) Profesi bidang akuntansi yang bekerja pada perusahaan tertentu
dan merupakan karyawan perusahaan tersebut. Tugas akuntan perusahaan antara lain:

a. Menyusun sistem akuntansi


b. Menyusun laporan akuntansi untuk pihak luar perusahaan
c. Menyusun anggaran
d. Menangani masalah pajak

2. Akunan publik Akuntan yang bekerja memberikan layanan kepada masyarakat. Tugas
akuntan publik antara lain:

a. Pemeriksaan laporan keuangan


b. Penyusunan sistem akuntansi Penyusunan laporan keuangan untuk kepentingan
perpajakan
c. Konsultasi manajemen

3. Akuntan pemerintah Profesi bidang akuntansi yang bekerja pada lembaga-lembaga


pemerintahan. Tugas akuntan pemerintah antara lain:

a. Pemeriksaan dan pengawasan terhadap aliran keuangan negara.


b. Melakukan perancangan sistem akuntansi untuk pemerintah.

4. Akuntan pendidik Akuntan yang bekerja pada lembaga pendidikan. Adapun tugas
akuntan pendidik adalah:

a. Menyusun kurikulum pendidikan akuntansi


b. Mengajar akuntansi di berbagai lembaga pendidikan
c. Melakukan penelitian untuk pengembangan ilmu akuntansi

Bidang spesialisasi profesi akuntansi Dengan kemajuan teknologi dan perekonomian,


muncul kebutuhan akan keahlian khusus. Hal tersebut juga berlaku di bidang akuntansi. Muncul
bidang-bidang spesialisasi akuntansi, antara lain:

1. Akuntansi keuangan adalah Akuntansi yang mengkhususkan diri pada masalah


pencatatan transaksi-transaksi perusahaan hingga penyusunan laporan keuangan berkala.
Dalam penyusunan laporan keuangan, mengikuti aturan yang berlaku dari Standar
Akuntansi Keuangan (SAK) yang dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia.
2. Pemeriksaan akuntansi (auditing) Bidang akuntansi yang berkaitan dengan peeriksaan
akuntansi secara bebas yang dihasilkan oleh akuntansi keuangan. Tujuan pemeriksaan
akuntansi adalah:

a. Memberikan kepastian informasi yang terpercaya


b. Memastikan ketaatan terhadap kebijakan, prosedur, atau peraturan serta menilai
efisiensi dan efektivitas suatu kegiatan.

Dalam melakukan auditing, akuntan tunduk dan taat pada standar kode etik akuntan.

1. Akuntansi manajemen Akuntansi ini menitikberatkan pada pengembangan dan


penafsiran informasi akuntansi. Hal tersebut untuk membantu manajemen dalam
menjalankan perusahaan. Manfaat akuntansi manajemen adalah mengendalikan kegiatan
perusahaan, memonitor arus kas, dan menilai alternatif dalam mengambil keputusan.
2. Akuntansi biaya Akuntansi yang menekankan pada pencatatan dan penyajian informasi
biaya. Informasi biaya digunakan oleh pengelola perusahaan sebagai alat untuk
melakukan perencanaan dan pengendalian biaya. Disamping itu, akuntansi biaya
mempelajari bagaimana menentukan harga pokok produk dengan tepat.
3. Akuntansi perpajakan Akuntansi perpajakan mengkhususkan pada penyusunan laporan
keuangan dengan tujuan perpajakan, pengisian formulir perpajakan, dan pemberian
nasihat sehubungan dengan masalah perpajakan.
4. Penganggaran Suatu sarana untuk menjabarkan tujuan perusahaan. Anggaran merupakan
rencana kegiatan yang akan dilakukan perusahaan ke depannya. Penganggaran
berhubungan dengan penyusunan rencana keuangan mengenai kegiatan perusahaan
untuk jangka waktu tertentu di masa datang serta analisis dan kontrol.
5. Akuntansi pemerintahan Akuntansi pemerintahan khusus mencatat dan melaporkan
setiap transaksi yang terjadi di lembaga pemerintah. Bidang ini menyediakan laporan
akuntansi tentang aspek kepengurusan.

Aturan profesi bidang akuntansi Sama seperti profesi lainnya, profesi bidang akuntansi
memiliki kode etik yang jika dilanggar akan dikenai sanksi. Dalam RUU Akuntan publik,
dijelaskan bahwa akuntan publik bisa dikenakan pidana penjara enam tahun paling lama, denda
Rp 300 juta. Beberapa kesalahan dengan sengaja, sebagai berikut:

a. Membuat kertas kerja atau dokumen lain tidak dapat dipergunakan dalam rangka
pemeriksaan yang berwenang.
b. Menerbitkan laporan tanpa kertas kerja
c. Memberikan pernyataan tidak benar atau dokumen palsu untuk mendapatkan izin praktik.

SIMPULAN FENOMENA
Profesi akuntan semakin memiliki banyak peminat dan berkembang, seoarang akuntan tidak
hanya berfokus pada Laporan Keuangan saja, seperti yang dijelaskan dari fenomena diatas
terdapat banyak sekali jenis profesi akuntan seperti akuntan pendidik, akuntan perpajakan.
Aturan profesi bidang akuntansi Sama seperti profesi lainnya, profesi bidang akuntansi memiliki
kode etik yang jika dilanggar akan dikenai sanksi. Dalam RUU Akuntan publik, dijelaskan
bahwa akuntan publik bisa dikenakan pidana penjara enam tahun paling lama, denda Rp 300
juta.
BAB 2
LITERATUR REVIEW BUKU & JURNAL

LITERATUR REVIEW BUKU


Akuntansi sebagai Profesi: Karakteristik dari sebuah Profesi

Pada pertengahandiAmerika Serikat, ketika disiplin akuntansi sedang mencari status


profesi, Komisi Standar Pendidikan dan Pengalaman untuk Akuntan Publik mengeluarkan
laporan yang mencantumkan tujuh ciri-ciri profesi berikut:
1. Butuh pengetahuan khusus.
2. Proses pendidikan formal yang diakui untuk memperoleh pengetahuan khusus yang
diperlukan.
3. Standar kualifikasi profesional yang mengatur penerimaan ke profesi.
4. Standar perilaku yang mengatur hubungan praktisi dengan klien, kolega, dan publik.
5. Pengakuan status.
6. Penerimaan tanggung jawab sosial yang melekat dalam pekerjaan yang diberkahi dengan
kepentingan publik.
7. Sebuah organisasi yang ditujukan untuk kemajuan kewajiban sosial kelompok.

Jelas bahwa akuntansi memenuhi dua karakteristik pertama. Akuntansi adalah disiplin
rumit yang membutuhkan studi formal untuk menjadi ahli. Untuk menjadi akuntan publik
bersertifikat (CPA) biasanya membutuhkan gelar sarjana di bidang akuntansi, serta lulus ujian
CPA yang ketat. Mempertahankan status CPA membutuhkan tetap mengikuti perkembangan
terbaru dengan melanjutkan pendidikan. Dalam memenuhi standar ketiga, profesi akuntansi
seperti banyak kelompok lain yang telah bersatu untuk melayani masyarakat umum dari posisi
keahlian. Dokter, pengacara, guru, insinyur, dan lainnya membentuk kelompok profesional yang
didedikasikan untuk melayani klien mereka. Kelompok-kelompok ini umumnya menentukan
kualifikasi yang diperlukan untuk memperoleh keanggotaan. Keanggotaan yang berkelanjutan
membutuhkan kepatuhan terhadap standar perilaku kelompok, termasuk persyaratan untuk
bertindak demi kepentingan terbaik klien. Hanya individu yang memenuhi kualifikasi yang akan
diterima ke dalam profesi, dan individu dapat dikeluarkan dari profesi jika mereka tidak
memenuhi standarnya.

Karakteristik keempat menyatakan bahwa suatu profesi membutuhkan “standar perilaku


yang mengatur hubungan praktisi dengan klien, kolega, dan publik.” Tetapi apa yang harus
dimasukkan dalam standar perilaku itu? Standar enam menetapkan kebutuhan untuk
"penerimaan tanggung jawab sosial yang melekat dalam pekerjaan yang diberkahi dengan
kepentingan publik." Tapi apa tanggung jawab sosial profesi akuntansi berutang kepada publik?
Kita dapat menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini dalam analisis standar
etika profesionalisme yang dikembangkan oleh Doctor Solomon Huebner, pendiri The American
College. Huebner mendirikan perguruan tinggi untuk memberikan pendidikan lanjutan bagi
tenaga penjual asuransi. Tujuannya adalah untuk meningkatkan tenaga penjual asuransi menjadi
agen profesional. Beberapa tahun sebelum ia mendirikan perguruan tinggi, Huebner
menyampaikan pidato pada pertemuan tahunan Baltimore Life dan New York Life Underwriters,
di mana ia memaparkan visinya tentang apa artinya menjadi seorang profesional, serta
pernyataan tentang apa yang diperlukan untuk menjadi profesional seperti yang ada. Huebner
mengutip empat karakteristik profesional:
1. Profesional terlibat dalam panggilan yang berguna dan cukup mulia untuk menginspirasi
cinta dan antusiasme di pihak praktisi.
2. Panggilan profesional dalam praktiknya membutuhkan pengetahuan seorang ahli.
3. Dalam menerapkan pengetahuan itu, praktisi harus meninggalkan pandangan komersial
yang sangat egois dan selalu mengingat keuntungan klien.
4. Praktisi harus memiliki semangat kesetiaan kepada rekan-rekan praktisi, membantu
tujuan bersama yang mereka semua anut, dan tidak boleh membiarkan tindakan tidak
profesional apa pun mempermalukan seluruh profesi.

Kode Etik Akuntansi


Akuntan memiliki tanggung jawab untuk menyajikan gambaran keuangan yang paling jujur
dan akurat dari suatu organisasi. Sebagai auditor, mereka memiliki tanggung jawab untuk
mengevaluasi gambar akuntan lain dan membuktikan kebenaran dan akurasi mereka. Dalam
melakukannya, akuntan mencapai tujuan profesi mereka - untuk memenuhi kebutuhan klien atau
perusahaan tempat mereka bekerja, atau untuk melayani kepentingan terbaik pemegang
saham/pemangku kepentingan yang berhak atas representasi yang benar dari status keuangan
organisasi.

Profesi akuntansi telah mengembangkan beberapa kode etik yang menetapkan standar
perilaku akuntan, standar yang membutuhkan lebih dari sekadar mematuhi aturan hukum. Kami
menyarankan bahwa kode-kode canggih ini setara dengan hukum moral organisasi yang
mengikat Akibatnya, kode menentukan apa yang secara etis dituntut dari seorang akuntan. Bisnis
Etika 2 menyebutkan beberapa cara agar kode etik dapat bernilai:
1. Sebuah kode dapat memotivasi melalui penggunaan tekanan teman sebaya, dengan
memegang set yang diakui secara umum harapan perilaku yang harus dipertimbangkan
dalam pengambilan keputusan
2. Kode dapat memberikan panduan, terutama dalam situasi yang ambigu
3. Kode dapat membantu menentukan tanggung jawab sosial bisnis itu sendiri
Kode Etik Profesional AICPA

Kode Etik AICPA terdiri dari empat bagian; bagian pertama adalah kata pengantar, berlaku
untuk semua anggota, termasuk Prinsip Perilaku Profesional. Bagian 1 dari kode menjabarkan
aturan untuk anggota dalam praktik publik. Bagian 2 dari kode ini menyajikan aturan untuk
anggota dalam bisnis dan Bagian 3 dari kode tersebut mencakup aturan untuk semua anggota
lainnya. Prinsip-prinsip adalah norma-norma umum perilaku, dan mereka menyediakan kerangka
kerja untuk aturan-aturan yang lebih spesifik. Dewan AICPA menunjuk badan-badan untuk
menafsirkan aturan dan memberikan standar teknis untuk mereka. Interpretasi ini menghasilkan
Aturan Etis, yang mengatur aktivitas tertentu tetapi juga dapat diterapkan pada perilaku serupa
lainnya.

Kode AICPA dimulai dengan menjelaskan tujuan dan ruang lingkupnya. Itu diadopsi "untuk
memberikan panduan dan aturan kepada semua anggota dalam pelaksanaan tanggung jawab
profesional mereka."6 Tujuannya , kemudian, adalah untuk membimbing, dan ruang lingkupnya
mencakup semua akuntan public bersertifikat yang termasuk dalam AICPA. Itu mengikat mereka
dan hanya mereka. Karena, bagaimanapun, kode tersebut mengungkapkan "prinsip dasar
perilaku etis dan profesional,"7 itu dapat berfungsi sebagai buku pegangan etika untuk semua
akuntan.

Kode menentukan tiga konstituen kepada siapa akuntan memiliki tanggung jawab etis:
publik, klien, dan kolega. Dalam profesi akuntan, khususnya bagi akuntan “publik”, tanggung
jawab kepada publik adalah yang terpenting. Tanggung jawab utama ini berbeda dalam
akuntansi daripada di berbagai profesi lain, seperti hukum dan kedokteran, di mana tanggung
jawab utama adalah kepada klien atau pasien. Tanggung jawab akuntan kepada publik sangat
penting sehingga mengesampingkan kewajibannya kepada perusahaan atau klien. Dalam kasus
audit eksternal, misalnya, meskipun perusahaan yang diaudit mempekerjakan dan membayar
akuntan, tanggung jawab pertama akuntan adalah mereka yang berada di konstituen publik yang
berhak melihat laporan keuangan perusahaan. Ini menciptakan situasi anomali di mana akuntan
secara teknis tidak bekerja untuk orang atau perusahaan yang membayarnya. Karena akuntan
memiliki tanggung jawab kepada publik, klien, dan kolega, kita perlu memeriksa semua
hubungan dan kewajiban pemegang jabatan. Mempelajari ketentuan kode AICPA membantu
memperjelas berbagai hubungan.
Kesimpulan Literatur Buku
Kesimpulan dari literatur buku yaitu terdapat beberapa karakteristik profesi akuntan yang
disebutkan oleh Huebner salah satunya yaitu Profesional terlibat dalam panggilan yang berguna
dan cukup mulia untuk menginspirasi cinta dan antusiasme di pihak praktisi. Selian itu profesi
akuntan juga memiliki kode etik diantaranya Kode menentukan tiga konstituen kepada siapa
akuntan memiliki tanggung jawab etis: publik, klien, dan kolega. Dalam profesi akuntan,
khususnya bagi akuntan “publik”, tanggung jawab kepada publik adalah yang terpenting.
LITERATUR JURNAL INDONESIA
JURNAL ILMIAH REVIEW, KRITIK, SARAN
JUDUL

Pengaruh Kode Etik Akuntan, Personal Penelitian ini mengambil judul Pengaruh
Ethical Philosophy, Corporate Ethical Value Kode Etik Akuntan, Personal Ethical
Terhadap Persepsi Etis Dan Pertimbangan Philosophy, Corporate Ethical Value
Etis Auditor (Studi Empiris pada Kantor Terhadap Persepsi Etis Dan Pertimbangan
Akuntan Publik di Jakarta) Etis Auditor (Studi Empiris pada Kantor
Akuntan Publik di Jakarta)
Agung Wibowo
Program Studi Akuntansi, Fakultas
Ekonomika dan Bisnis Universitas 17
Agustus 1945 Semarang
2015
ABSTRAK

Rest (1986) mengemukakan bahwa untuk Tujuan dari penelitian ini adalah menguji
bertindak secara moral, seseorang paling tidak secara empiris pengaruh dari kode etik
harus telah melakukan empat proses psikologi akuntan, personal ethical philosophy,
dasar, yaitu: sensitivitas etis; pertimbangan corporate ethical value terhadap persepsi etis
etis; motivasi etis; dan karakter etis. dan pertimbangan etis auditor.
Penelitian ini memfokuskan pada komponen
pertama dan kedua, yaitu sensitivitas etis dan Populasi penelitian ini adalah para auditor
pertimbangan etis, dari empat komponen yang bekerja pada kantor akuntan publik
model Rest. Tujuan penelitian ini adalah (KAP) di Jakarta. penelitian ini menggunakan
menguji secara empiris pengaruh dari kode purposive sampling.
etik akuntan, personal ethical philosophy,
corporate ethical value terhadap persepsi etis Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada
dan pertimbangan etis auditor. Populasi suatu efek positif yang secara statistik
penelitian ini adalah para auditor yang bekerja signifikan dari kode etik akuntan, personal
pada kantor akuntan publik (KAP) di Jakarta. ethical philosophy, corporate ethical value
Untuk mengumpulkan data, penelitian ini terhadap persepsi etis dan pertimbangan etis
menggunakan purposive sampling. Sebuah auditor.
sampel yang terdiri atas 52 auditor telah
digunakan untuk menginvestigasi efek dari Kritik: peneliti tidak menjelaskan metode
kode etik akuntan, serta personal ethical penelitian apa yang digunakan
philosophy dan corporate ethical value
mereka terhadap persepsi etis dan
pertimbangan etis.Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa ada suatu efek positif
yang secara statistik signifikan dari kode etik
akuntan, personal ethical philosophy,
corporate ethical value terhadap persepsi etis
dan pertimbangan etis auditor.
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Kesadaran etika dan sikap profesional Pada pendahuluan peneliti menjelaskan
memegang peran yang sangat besar bagi terkait dengan peran kesadaran etika dan
seorang akuntan (Louwers, et al., 1997 dalam sikap professional bagi seorang akuntan.
Husein, 2004). Hal ini disebabkan oleh Peneliti juga menjelaskan terkait dengan kode
kenyataan bahwa dalam menjalankan etik menurut jurnal-jurnal dari peneliti
profesinya, seorang akuntan (termasuk terdahulu.
seorang auditor) secara terus menerus
berhadapan dengan dilema etis yang Rumusan masalah adari penelitian ini yaitu:
melibatkan pilihan di antara nilai-nilai yang 1. Apakah nilai-nilai yang terdapat dalam
bertentangan. Kode Etik Akuntan yang ditetapkan oleh
Ikatan Akuntan Indonesia berpengaruh
Dalam menghadapi situasi dilema etis seperti terhadap Persepsi Etis dan Pertimbangan Etis
ini, maka persepsi etis dan pertimbangan etis auditor?
auditor yang berlandaskan pada 2. Apakah Personal Ethical Philosophy
profesionalisme memainkan peran penting berpengaruh terhadap Persepsi Etis dan
dalam pengambilan keputusan etis. Rest Pertimbangan Etis auditor?
(1986) mengusulkan empat komponen dari 3. Apakah Corporate Ethical Value
suatu kerangka pengambilan keputusan etis, berpengaruh terhadap Persepsi Etis dan
yaitu sensitivitas etis (persepsi etis), Pertimbangan Etis auditor?
pertimbangan etis, motivasi etis, dan karakter
etis. Persepsi etis adalah kemampuan Tujuan dari penelitian ini yaitu:
seseorang untuk mengetahui adanya masalah- 1. Menguji pengaruh Kode Etik Akuntan
masalah etis yang terjadi pada lingkungan Indonesia terhadap auditor dalam mengakui
pekerjaan (Hebert, et al., 1990). Sedangkan dan memecahkan permasalahan etika ketika
pertimbangan etis menyangkut penilaian menjalankan tugasnya.
macam-macam tindakan mana yang dapat 2. Menguji pengaruh Personal Ethical
dibenarkan secara moral (Thorne, 2000). Philosophy terhadap persepsi etis dan
pertimbangan etis auditor ketika menghadapi
Di Amerika Serikat, kode etika akuntan yang permasalahan etika dalam melaksanakan
dikembangkan oleh Institute of Management tugasnya.
Accountants (IMA) menjadi dasar yang 3. Menguji pengaruh Corporate Ethical Value
penting di dalam pengembangan kode etik terhadap persepsi etis dan pertimbangan etis
akuntan. Beberapa studi telah dilakukan untuk auditor ketika menghadapi permasalahan
menelaah kelayakan kode etik akuntan dalam etika dalam melaksanakan tugasnya
pengambilan keputusan etis, misalnya:
Lambert (1974), Coppage (1988), Etherington
dan Hill (1998). Di Indonesia penelitian
mengenai kode etik akuntan telah dilakukan
oleh beberapa peneliti. Desriani (1993)
meneliti persepsi akuntan publik terhadap
Kode Etik Akuntan Indonesia, yang
menunjukkan hasil bahwa terdapat perbedaan
persepsi yang signifikan antar kelompok
akuntan publik. Sihwahjoeni dan Gudono
(2000) menguji secara empiris persepsi
terhadap Kode Etik Akuntan Indonesia di
antara tujuh kelompok akuntan yang meliputi
akuntan publik, akuntan pendidik, akuntan
manajemen, akuntan pemerintah, akuntan
pendidik sekaligus akuntan publik, akuntan
pendidik sekaligus akuntan manajemen, dan
akuntan pendidik sekaligus akuntan
pemerintah, yang hasilnya menunjukkan
bahwa tidak terdapat perbedaan persepsi
tentang pentingnya kode etik akuntan. Namun
dari beberapa penelitian tersebut masih
mengabaikan pengaruh Kode Etik Akuntan
Indonesia terhadap persepsi etis dan
pertimbangan etis auditor. Meskipun beberapa
studi telah dilakukan untuk menelaah
kelayakan kode etik akuntan dalam
pengambilan keputusan etis oleh para
akuntan, namun tidak satupun yang mengacu
pada apakah kode etik akuntan benar-benar
secara nyata dapat memberikan pengaruh
pada persepsi etis dan pertimbangan etis.

Efek kode etik akuntan pada persepsi etis dan


pertimbangan etis baru untuk pertama kalinya
diuji oleh Ziegenfuss dan Martinson (2000;
2002) yang melaporkan bahwa secara statistik
berpengaruh secara signifikan. Penelitian
tentang pengaruh personal ethical philosopy
terhadap persepsi etis dan pertimbangan etis
telah dilakukan oleh Ziegenfuss dan
Martinson (2002) yang menunjukkan hasil
adanya pengaruh yang lemah. Sedangkan
penelitian Shaub, et al., (1993) tentang
pengaruh orientasi etis terhadap sensitivitas
etika menunjukkan hasil adanya pengaruh
yang cukup kuat. Penelitian ini diperkuat
penelitian yang dilakukan oleh Khomsiyah
dan Indriantoro (1998), yang menunjukkan
bahwa orientasi etis berpengaruh signifikan
terhadap sensitivitas etika. Namun demikian,
penelitian yang dilakukan oleh Khomsiyah
dan Indriantoro (1998) mengabaikan
pengaruh personal ethical philosopy terhadap
pertimbangan etis. Pengaruh personal ethical
philosopy terhadap pertimbangan etis ini
menarik untuk diteliti karena pertimbangan
etis seseorang akan menentukan dalam
pengambilan keputusan ketika menghadapi
dilema etis.

Argumen dan beberapa temuan penelitian di


atas menunjukkan bahwa masalah etika
profesi bagi auditor merupakan isu yang
menarik untuk diteliti termasuk di Indonesia,
mengingat penelitian di bidang ini masih
jarang dilakukan di Indonesia. Berdasarkan
pemikiran di atas, penelitian ini menguji
faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi
persepsi etis dan pertimbangan etis para
auditor ketika menjalankan tugasnya.
Penelitian ini pada dasarnya merupakan
replikasi dari penelitian Ziegenfuss dan
Martinson (2002) yang berjudul: ”The IMA
Code of Ethica and IMA Members’ Ethical
Perception and Judgment”.

Perumusan Masalah
Dalam menjalankan profesinya, auditor
dihadapkan pada dilema etis. Dilema etis
dapat dipersepsikan berbeda oleh masing-
masing auditor tergantung pada faktor filosofi
etis masing-masing individu, nilai etis
lingkungan tempat auditor ditugaskan,
maupun pemahaman terhadap kode etik
profesinya. Permasalahan tersebut selanjutnya
dapat dirumuskan dalam bentuk pertanyaan
sebagai berikut:
1. Apakah nilai-nilai yang terdapat dalam
Kode Etik Akuntan yang ditetapkan oleh
Ikatan Akuntan Indonesia berpengaruh
terhadap Persepsi Etis dan Pertimbangan Etis
auditor?
2. Apakah Personal Ethical Philosophy
berpengaruh terhadap Persepsi Etis dan
Pertimbangan Etis auditor?
3. Apakah Corporate Ethical Value
berpengaruh terhadap Persepsi Etis dan
Pertimbangan Etis auditor?

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk
menemukan bukti empiris mengenai faktor-
faktor yang mempengaruhi persepsi etis dan
pertimbangan etis auditor ketika menghadapi
dilema etis dalam melaksanakan tugasnya.
Secara khusus, penelitian ini dimaksudkan
untuk:
1. Menguji pengaruh Kode Etik Akuntan
Indonesia terhadap auditor dalam mengakui
dan memecahkan permasalahan etika ketika
menjalankan tugasnya.
2. Menguji pengaruh Personal Ethical
Philosophy terhadap persepsi etis dan
pertimbangan etis auditor ketika menghadapi
permasalahan etika dalam melaksanakan
tugasnya.
3. Menguji pengaruh Corporate Ethical Value
terhadap persepsi etis dan pertimbangan etis
auditor ketika menghadapi permasalahan
etika dalam melaksanakan tugasnya.
KAJIAN TEORI

Persepsi Etis dan Pertimbangan Etis


Gibson (1987) menyatakan bahwa persepsi Pada kajian teori, rumusan hipotesis yang
adalah proses pemberian arti terhadap diajukan peneliti yaitu:
lingkungan oleh individu. Oleh karena tiap- 1. Kode Etik Akuntan Indonesia, Persepsi
tiap individu memberi arti kepada stimulus, Etis dan Pertimbangan Etis
maka individu yang berbeda-beda akan H1a : Nilai-nilai yang terdapat dalam
melihat barang yang sama dengan cara yang Kode Etik Akuntan Indonesia
berbeda-beda. Karena persepsi itu berpengaruh positif dan signifikan
berhubungan dengan cara mendapatkan terhadap persepsi etis auditor.
pengetahuan khusus tentang obyek atau H1b: Nilai-nilai yang terdapat dalam Kode
kejadian pada saat tertentu, maka persepsi Etik Akuntan Indonesia berpengaruh
terjadi kapan saja stimulus menggerakkan positif dan signifikan terhadap
indera. pertimbangan etis auditor.
2. Personal Ethical Philosophy, Persepsi Etis
Robbins (2001) menyatakan bahwa individu dan Pertimbangan Etis
yang memandang sesuatu yang sama tetapi H2a :Personal ethical philosophy
dapat mempersepsikannya secara berbeda. berpengaruh positif dan signifikan
Perbedaan persepsi tersebut dipengaruhi oleh terhadap persepsi etis auditor.
faktor-faktor yang membentuk dan kadang H2b: Personal ethical philosophy
memutar balik persepsi yaitu karakteristik berpengaruh positif dan signifikan
pribadi pelaku persepsi (perceiver), obyek terhadap pertimbangan etis auditor
atau target yang dipersepsikan dan situasi atau 3. Corporate Ethical Value, Persepsi Etis dan
lingkungan di mana persepsi itu dilakukan Pertimbangan Etis
(Robbins, 2006). H3a : Corporate ethical value tempat
auditor ditugaskan berpengaruh positif
Karakteristik pribadi dari pelaku persepsi dan signifikan terhadap persepsi etis
akan mempengaruhi individu tersebut dalam auditor.
memandang ataupun menafsirkan suatu H3b : Corporate ethical value tempat
obyek. Karakteristik pribadi yang relevan auditor ditugaskan berpengaruh positif
mempengaruhi persepsi adalah sikap, motif, dan signifikan terhadap pertimbangan etis
kepentingan atau minat, pengalaman masa auditor.
lalu dan pengharapan (Robbins, 2006).
Karakter pribadi meliputi juga kognisi
(pengetahuan). Jadi persepsi mencakup
penafsiran obyek, tanda dan orang dari sudut
pengalaman yang bersangkutan (Gibson,
1987). Dengan kata lain, persepsi mencakup
penerimaan stimulus (inputs),
pengorganisasian stimulus dan penterjemahan
atau penafsiran stimulus yang telah
diorganisasi dengan cara yang dapat
mempengaruhi perilaku dan membentuk
sikap.

Karakteristik dari target atau obyek yang


diamati mempengaruhi apa yang
dipersepsikan (Robbins, 2006). Gerakan,
bunyi, ukuran dan atribut- atribut lain dari
target membentuk cara kita memandangnya.
Hubungan suatu terget dengan latar
belakangnya juga mempengaruhi persepsi,
seperti kecenderungan kita untuk
mempersepsikan obyek-obyek yang
berdekatan atau yang mirip (Robbins, 2006).

Persepsi terhadap suatu obyek juga


dipengaruhi oleh konteks obyek atau
peristiwa itu sendiri (Robbins, 2006).
Sedangkan unsur-unsur lingkungan sekitar
(situasional) yang mempengaruhi persepsi
antara lain waktu, lokasi, cahaya, keadaan,
nilai- nilai yang ada di lingkungan sekitar,
hubungan antar anggota masyarakat dalam
lingkungan itu sendiri dan sebagainya
(Robbins, 2006). Dalam konteks etika profesi,
kemampuan seorang profesional untuk
berperilaku etis sangat dipengaruhi oleh
sensitivitas individu tersebut.

Faktor yang penting dalam menilai perilaku


etis adalah kesadaran para individu bahwa
mereka adalah agen moral (Syaikhul, 2006).
Kesadaran individu tersebut dapat dinilai
melalui kemampuan untuk menyadari adanya
nilai-nilai etis dalam suatu lingkungan
pekerjaan mereka yang disebut sebagai
sensitivitas etika (Velasquez dan
Rostankowski, 1985 dalam Syaikhul, 2006).

Filosofi Etis Pribadi (Personal Ethical


Philosophy)
Hal yang perlu diperhatikan dalam etika
adalah konsep diri dari sistem nilai yang ada
pada individu yang tidak lepas dari sistem
nilai di luar dirinya. Tiap-tiap pribadi
memiliki konsep diri sendiri tentang sistem
nilai (personal ethical philosophy) yang turut
menentukan persepsi etisnya yang pada
gilirannya akan berpengaruh pada
pertimbangan etisnya, sesuai dengan peran
yang disandangnya (Khomsiyah dan
Indriantoro, 1998). Menurut Cohen et al.
(1980) konsep diri setiap individu pertama-
tama ditentukan oleh kebutuhannya.
Kebutuhan tersebut berinteraksi dengan
pengalaman pribadi dan sistem nilai individu
yang akan menentukan harapan-harapan atau
tujuan dalam setiap perilakunya sehingga
pada akhirnya individu tersebut menentukan
tindakan apa yang akan diambilnya.

Suatu sistem etika seseorang berisi jaringan


tentang norma-norma etika dan prinsip-
prinsip sebagai pegangan yang mendasari
filosofi etis seseorang (Stead et al. 1990).
Norma- norma etis ini memandu perilaku etis
seseorang dalam mengenali masalah- masalah
etis dan membuat pilihan- pilihan atau
pertimbangan yang etis (ethical judgment)
(Cavanagh et al, 1981).

Individu dapat menggunakan tiga kriteria


berbeda dalam membuat pertimbangan yang
etis (ethical judgment), yaitu kriteria
utilitarian, penekanan pada hak, dan
penekanan pada keadilan (Cavanagh et al,
1981). Kriteria-kriteria pertimbangan etis ini
tidak bertentangan dengan teori-teori etika,
namun hanya mengadopsi sebagian dari teori
etika yang ada, dengan demikian kriteria
Cavanagh ini masih sesuai dengan prinsip-
prinsip etika yang dikemukakan dalam teori.
Kriteria etis pertama adalah menekankan pada
hasil atau manfaat.

Di dalam kriteria utilitarian keputusan-


keputusan diambil semata-mata atas dasar
hasil atau konsekuensi tindakan. Tujuan
utilitarianisme adalah memberikan manfaat
terbesar untuk jumlah orang terbesar.
Pandangan ini cenderung mendominasi
pengambilan keputusan bisnis. Pandangan
tersebut konsisten dengan tujuan-tujuan
seperti efisiensi, produktivitas, dan laba yang
tinggi (Bertens, 2000). Kriteria etis kedua
adalah menekankan pada hak. Kriteria ini
menuntut individu untuk mengambil
keputusan yang konsisten dengan kebebasan
dan keistimewaan mendasar seperti
dikemukakan dalam dokumen- dokumen
seperti Piagam Hak Asasi. Tekanan pada hak
dalam pengambilan keputusan berarti
menghormati dan melindungi hak dasar para
individu, misalnya hak privasi, kebebasan
berbicara, dan hak perlindungan (Robbins,
2006). Kriteria ketiga adalah berfokus pada
keadilan. Kriteria ini mensyaratkan individu
untuk memberlakukan dan menegakkan
aturan-aturan secara adil dan tidak berat
sebelah, fokus pada keadilan ini melindungi
kepentingan mereka yang kurang terwakili
dan yang kurang berkuasa sehingga terdapat
pembagian manfaat dan biaya yang pantas
(Robbins, 2006).

Nilai Etis Perusahaan (Corporate Ethical


Value) Schein (1985) mendefinisikan
corporate ethical value sebagai standard yang
memandu adaptasi eksternal dan integrasi
internal organisasi. Sedangkan Hunt et al.,
(1989) mendefinisikan corporate ethical value
sebagai suatu gabungan dari nilai-nilai etis
individu para manajer dengan kebijakan
informal dan formal atas etika organisasi
(dalam Vitell, 2006).

Hunt dan Vitell ( 1986; 1993) menyatakan


bahwa lingkungan organisasi (misalnya,
corporate ethical values dan enforcement of
ethical codes) sebagai salah satu dari faktor
yang mempengaruhi pengambilan keputusan
etis (dalam Vitell, 2006). Namun, Alchian dan
Demzets (1972), Chamberlin (1933)
sebagaimana dikutip oleh Hunt et al., (1989)
menyatakan bahwa corporate ethical value
sebagai dimensi inti dari sebuah budaya etis
perusahaan dan mengakui bahwa hal ini
memiliki pengaruh kuat yang dapat
membedakan antara satu perusahaan dengan
perusahaan lainnya.

Goffman (1959), dalam menggambarkan


kultur/budaya etis perusahaan, memusatkan
observasi pada keteraturan tingkah laku dalam
interaksi masyarakat (Hunt et al., 1989).
Selanjutnya Robbins (2006) menyatakan
bahwa budaya menjalankan sejumlah fungsi
di dalam organisasi. Fungsi pertama dari
budaya dalam organisasi adalah menetapkan
tapal batas; artinya budaya menciptakan
pembedaan yang jelas antara satu organisasi
dengan organisasi yang lain. Kedua, bahwa
budaya memberikan rasa identitas kepada
anggota-anggota organisasi. Ketiga, budaya
mempermudah timbulnya komitmen pada
sesuatu yang lebih luas daripada kepentingan
diri pribadi seseorang. Keempat, budaya
meningkatkan kemantapan sistem sosial.
Budaya merupakan perekat sosial yang
membantu mempersatukan organisasi dengan
memberikan standar-standar yang tepat
mengenai apa yang harus dikatakan dan
dilakukan oleh para karyawan. Sedangkan
yang terakhir, budaya berfungsi sebagai
mekanisme pembuat makna dan mekanisme
pengendalian yang memandu dan membentuk
sikap serta perilaku para karyawan (Robbins,
2006).

Peran budaya organisasi dalam


mempengaruhi perilaku individu tampaknya
makin penting di tempat kerja dewasa ini.
Dengan telah dilebarkannya rentang kendali,
didatarkannya struktur, diperkenalkannya tim-
tim, dikuranginya formalisasi, dan
diberdayakannya karyawan oleh organisasi,
makna atau nilai bersama yang diberikan oleh
budaya yang kuat memastikan bahwa semua
orang diarahkan ke arah yang sama (Robbins,
2006). Hunt et al. (1980) dalam studinya
terhadap anggota American Marketing
Association (AMA) menemukan hubungan
yang positif antara corporate ethical value
sebagai inti dari budaya organisasi dengan
komitmen atau kesetiaan terhadap
perusahaan. Sedangkan penelitian Vitell dan
Hidalgo (2006) menunjukkan adanya
pengaruh yang signifikan dari corporate
ethical value terhadap persepsi pentingnya
etika dan tanggungjawab sosial dalam bisnis

Kode Etik Akuntan Indonesia


Etika profesi akuntan di Indonesia diatur
dalam Kode Etik Akuntan Indonesia. Kode
Etik Akuntan Indonesia ini dimaksudkan
sebagai panduan dan aturan bagi seluruh
anggota, baik yang berpraktik sebagai
akuntan publik, bekerja di lingkungan dunia
usaha, pada instansi pemerintah, maupun di
lingkungan dunia pendidikan dalam
pemenuhan tanggung-jawab profesionalnya
(Nanang, 1999).

Tujuan profesi akuntansi adalah memenuhi


tanggung-jawabnya dengan standar
profesionalisme tertinggi, mencapai tingkat
kinerja tertinggi, dengan orientasi kepada
kepentingan publik. Untuk mencapai tujuan
tersebut terdapat empat kebutuhan dasar yang
harus dipenuhi (Nanang, 1999), yaitu:
1. Kredibilitas. Masyarakat membutuhkan
kredibilitas informasi dan sistem informasi.
2. Profesionalisme. Diperlukan individu yang
dengan jelas dapat diidentifikasikan oleh
pemakai jasa akuntan sebagai profesional di
bidang akuntansi.
3. Kualitas Jasa. Terdapatnya keyakinan
bahwa semua jasa yang diperoleh dari
akuntan diberikan dengan standar kinerja
yang tinggi.
4. Kepercayaan. Pemakai jasa akuntan harus
dapat merasa yakin bahwa terdapat kerangka
etika profesional yang melandasi pemberian
jasa oleh akuntan.

Kode Etik Akuntan Indonesia terdiri dari tiga


bagian: (1) Prinsip Etika, (2) Aturan Etika,
dan (3) Interpretasi Aturan Etika (Arief
Basuki, 2004). Prinsip Etika memberikan
kerangka dasar bagi Aturan Etika, yang
mengatur pelaksanaan pemberian jasa
profesional oleh anggota.

Prinsip Etika disahkan oleh Kongres dan


berlaku bagi seluruh anggota di dalam
membuat pertimbangan-pertimbangan etika
dalam rangka pemberian jasa profesionalnya,
sedangkan Aturan Etika disahkan oleh Rapat
Anggota Himpunan dan hanya mengikat
anggota himpunan yang bersangkutan.
Interpretasi Aturan Etika merupakan
interpretasi yang dikeluarkan oleh Badan
yang dibentuk oleh Himpunan setelah
memperhatikan tanggapan dari anggota, dan
pihak-pihak berkepentingan lainnya, sebagai
panduan dalam penerapan Aturan Etika, tanpa
dimaksudkan untuk membatasi lingkup dan
penerapannya (Arief Basuki, 2004).

Pernyataan Etika Profesi yang berlaku saat ini


dapat dipakai sebagai Interpretasi dan/ atau
Aturan Etika sampai dikeluarkannya aturan
dan interpretasi baru untuk menggantikannya
(Arief Basuki, 2004). Kepatuhan terhadap
Kode Etik, tergantung terutama sekali pada
pemahaman atau persepsi etika dan tindakan
sukarela anggota (Arief Basuki, 2004). Di
samping itu, kepatuhan anggota juga
ditentukan oleh adanya pemaksaan oleh
sesama anggota dan oleh opini publik, dan
pada akhirnya oleh adanya mekanisme
pemrosesan pelanggaran Kode Etik oleh
organisasi, apabila diperlukan, terhadap
anggota yang tidak mentaatinya (Arief
Basuki, 2004). Jika perlu, anggota juga harus
memperhatikan standar etik yang ditetapkan
oleh badan pemerintahan yang mengatur
bisnis klien atau menggunakan laporannya
untuk mengevaluasi kepatuhan klien terhadap
peraturan perundang-undangan yang berlaku
(Arief Basuki, 2004).

Kerangka Pemikiran Teoritis


DanRumusan Hipotesis
1. Kode Etik Akuntan Indonesia, Persepsi
Etis dan Pertimbangan Etis
Nanang (1999) menyatakan bahwa etika
profesi akuntan di Indonesia diatur dalam
Kode Etik Akuntan Indonesia. Kode Etik
Akuntan Indonesia ini dimaksudkan sebagai
panduan dan aturan bagi seluruh anggota
dalam pemenuhan tanggung-jawab
profesionalnya. Ini berarti bahwa dengan
patuh terhadap Kode Etik Akuntan Indonesia
maka para akuntan dapat bertindak secara
profesional.
Tindakan yang profesional adalah tindakan
yang dapat dibenarkan secara moral. Dengan
demikian, kepatuhan terhadap Kode Etik
Akuntan Indonesia akan meningkatkan
kemampuan menilai ada-tidaknya
permasalahan etika pada lingkungan
pekerjaannya serta membuat pertimbangan-
pertimbangan didalam mengambil tindakan
yang dapat dibenarkan secara etika.
Penelitian Ziegenfuss dan Martinson (2000;
2002) menyatakan Kode Etika IMA
mempunyai pengaruh yang signifikan
terhadap persepsi etis dan pertimbangan etis
akuntan manajemen dalam memecahkan
dilema etis. Ini berarti bahwa akuntan
manajemen yang lebih dapat menerima dan
memahami nilai-nilai yang terdapat dalam
kode etik IMA akan lebih mampu memahami
adanya permasalahan etika dan membuat
pertimbangan- pertimbangan yang dapat
dibenarkan secara etis. Sihwahjoeni dan
Gudono (2000) meneliti tentang persepsi kode
etik di antara tujuh kelompok akuntan.
Hasil penelitiannya mengungkapkan bahwa di
antara kelompok profesi akuntan tersebut
mempunyai persepsi yang sama positifnya
terhadap kode etik akuntan dalam membantu
memecahkan permasalahan etika.
Berdasarkan pada hasil penelitian di atas,
maka hipotesis yang diajukan adalah:
H1a : Nilai-nilai yang terdapat dalam Kode
Etik Akuntan Indonesia berpengaruh positif
dan signifikan terhadap persepsi etis auditor.
H1b: Nilai-nilai yang terdapat dalam Kode
Etik Akuntan Indonesia berpengaruh positif
dan signifikan terhadap pertimbangan etis
auditor.

2. Personal Ethical Philosophy, Persepsi


Etis dan Pertimbangan Etis
Tiap-tiap individu memiliki konsep diri
sendiri tentang sistem nilai (personal ethical
philosophy) yang turut menentukan persepsi
etis dan pertimbangan etisnya, sesuai dengan
peran yang disandangnya (Khomsiyah dan
Indriantoro, 1998). Suatu sistem etika
seseorang berisi jaringan tentang norma-
norma etika dan prinsip-prinsip sebagai
pegangan yang mendasari filosofi etis
seseorang (Stead et al. 1990). Cavanagh et al.,
(1981) menyatakan bahwa norma-norma etika
ini memandu perilaku etis seseorang dalam
mengenali masalah-masalah etis dan
membuat pilihan-pilihan atau pertimbangan
yang etis (ethical judgment) Penelitian
Ziegenfuss dan Martinson (2002) tentang
pengaruh personal ethical philosopy terhadap
persepsi etis dan pertimbangan etis
menunjukkan hasil adanya pengaruh yang
lemah. Namun demikian penelitian Shaub, et
al., (1993) tentang pengaruh orientasi etis
terhadap sensitivitas etika menunjukkan hasil
adanya pengaruh yang cukup kuat. Penelitian
ini diperkuat penelitian yang dilakukan oleh
Khomsiyah dan Indriantoro (1998), yang
menunjukkan bahwa orientasi etis
berpengaruh signifikan terhadap sensitivitas
etika. Oleh karena itu hipotesis kedua dari
penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
H2a :Personal ethical philosophy berpengaruh
positif dan signifikan terhadap persepsi etis
auditor.
H2b : Personal ethical philosophy
berpengaruh positif dan signifikan terhadap
pertimbangan etis auditor.

3. Corporate Ethical Value, Persepsi Etis


dan Pertimbangan Etis
Hunt dan Vitell (1986; 1993) menyatakan
bahwa lingkungan organisasi (misalnya,
corporate ethical values dan enforcement of
athical codes) sebagai salah satu dari faktor
yang mempengaruhi pengambilan keputusan
etis (Vitell, 2006). Alchian dan Demzets
(1972) dan Chamberlin (1933) mengakui
bahwa corporate ethical value memiliki
pengaruh kuat yang dapat mempengaruhi
pemikiran dan perilaku etis orang-orang yang
berada di dalam perusahaan (Hunt et al.,
1980). Penelitian Vitell dan Hidalgo (2006)
menunjukkan adanya pengaruh yang
signifikan dari corporate ethical value
terhadap persepsi pentingnya etika dan
tanggungjawab sosial dalam bisnis. Namun
penelitian mengenai pengaruh corporate
ethical value terhadap persepsi etis dan
pertimbangan etis yang dilakukan oleh
Ziegenfuss dan Martinson (2000; 2002)
menunjukkan adanya pengaruh yang lemah.
Sedangkan penelitian Aras dan Muslumov
(2001) terhadap praktisi akuntansi dan
keuangan di Turki menunjukkan bahwa
corporate ethical value berpengaruh signifikan
terhadap persepsi etis dan pertimbangan etis.
Berdasarkan hasil penelitian terdahulu maka
hipotesis ketiga dirumuskan sebagai berikut:
H3a : Corporate ethical value tempat auditor
ditugaskan berpengaruh positif dan signifikan
terhadap persepsi etis auditor.
H3b : Corporate ethical value tempat auditor
ditugaskan berpengaruh positif dan signifikan
terhadap pertimbangan etis auditor
METODE PENELITIAN

Rancangan Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan
(field research), yaitu penelitian yang (field research), yaitu penelitian yang
dilakukan dengan cara survei untuk dilakukan dengan cara survei untuk
mengumpulkan data di lapangan guna mengumpulkan data di lapangan guna
memperoleh gambaran tentang faktor-faktor memperoleh gambaran tentang faktor-faktor
yang berpengaruh terhadap persepsi etis dan yang berpengaruh terhadap persepsi etis dan
pertimbangan etis auditor. Desain penelitian pertimbangan etis auditor.
yang digunakan dalam penelitian ini bersifat
penjelasan (explanatory research) karena Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh
merupakan penelitian yang menjelaskan auditor yang bekerja pada Kantor Akuntan
hubungan kausal antar variabel melalui Publik (KAP) di Jakarta. Pengambilan sampel
pengujian hipotesis. dilaksanakan dengan teknik pengambilan
sampel bertujuan (purposive sampling
Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Variabel-variabel dalam penelitian ini terdiri
auditor yang bekerja pada Kantor Akuntan dari Variabel Dependen dan Variabel
Publik (KAP) di Jakarta. Berdasarkan data Independen.
dalam direktori yang dikeluarkan oleh IAI
Kompartemen Akuntan Publik, jumlah Data penelitian ini dikumpulkan dengan cara
Kantor Akuntan Publik yang terdaftar di mengirimkan kuesioner melalui pos kepada
Jakarta sebanyak 289 KAP. Pengambilan 289 orang auditor yang bekerja pada berbagai
sampel dilaksanakan dengan teknik Kantor Akuntan Publik (KAP) di Jakarta.
pengambilan sampel bertujuan (purposive
sampling). Kriteria- kriteria yang digunakan Alat statistik yang digunakan untuk menguji
dalam pertimbangan yaitu telah hipotesis adalah regresi berganda (multiple
berpengalaman kerja sebagai auditor di atas 5 regression).
tahun dan berlatar belakang pendidikan Kritik: pada metode penlitian ini tidak
formal akuntansi serendah-rendahnya diploma dijelaskan metode penelitian apa yang di
III. Dengan pengalaman kerja di atas 5 tahun gunakan oleh peneliti.
diharapkan seorang auditor sudah pernah
terlibat langsung dengan dilema etis.
Penelitian ini dilakukan dengan metode mail
survey. Karena besarnya populasi penelitian
ini tidak diketahui, maka dasar penentuan
ukuran sampel adalah berdasarkan pendapat
Roscoe (1975) yang dikutip oleh Sekaran
(2006) sebagai berikut:
1. Ukuran sampel lebih dari 30 dan kurang
dari 500 adalah tepat untuk kebanyakan
penelitian.
2. Dalam penelitian multivariat (termasuk
analisis regresi berganda), ukuran sampel
sebaiknya beberapa kali (pada umumnya 10
kali atau lebih) lebih besar dari jumlah
variabel dalam penelitian.

Berdasarkan pendapat Roscoe (1975) tersebut


serta karena pada penelitian ini terdapat 4
variabel, maka ukuran sampel minimal adalah
40 responden. Menurut Nur Indriantoro dan
Bambang Supomo (1999) rata-rata tingkat
respon di Indonesia sebesar 10% sampai
dengan 20%. Pada penelitian ini diharapkan
tingkat respon sebesar 20%, maka kuesioner
yang dikirim seharusnya sebanyak 200
kuesioner. Karena jumlah KAP di Jakarta
sebanyak 289 dan dengan harapan satu KAP
dapat diwakili oleh satu responden, maka
kuesioner yang dikirim adalah sebanyak 289
kuesioner.

Pengukuran Variabel
Variabel-variabel dalam penelitian ini terdiri
dari: 1. Variabel Dependen.
Variabel dependen dalam penelitian ini adalah
persepsi etis dan pertimbangan etis. Hebert et
al. (1990) menyatakan bahwa persepsi etis
adalah kemampuan seseorang untuk
mengetahui adanya masalah-masalah etis
yang terjadi pada lingkungan pekerjaan.
Sedangkan pertimbangan etis adalah
pertimbangan-pertimbangan apa yang harus
dilakukan untuk mengantisipasi dilema etis
(Rest, 1979 dalam Syaikhul, 2006).
Penelitian ini menggunakan empat skenario,
setiap skenario berisi situasi nyata yang
diikuti dengan penjelasan atas tindakan yang
dilakukan oleh auditor secara hipotesis. Untuk
pengukuran persepsi etis dan pertimbangan
etis, digunakan skala Likert lima poin. Skor 1
(sangat tidak setuju) mengindikasikan
responden sangat tidak peka terhadap
permasalahan etika, sedangkan skor 5 (sangat
setuju) mengindikasikan responden sangat
peka terhadap permasalahan etika di
lingkungan pekerjaannya.
3. Variabel Independen.
Variabel independen dalam penelitian ini
adalah Kode Etik Akuntan, Personal Ethical
Philosophy, dan Corporate Ethical Value.
Definisi operasional variabel-variabel
independen tersebut adalah sebagai berikut.

Kode Etik Akuntan


Kode Etik Akuntan Indonesia adalah kode
etik yang diterbitkan oleh IAI dan
dimaksudkan sebagai panduan dan aturan
bagi seluruh anggota, baik yang berpraktik
sebagai akuntan publik, bekerja di lingkungan
dunia usaha, pada instansi pemerintah,
maupun di lingkungan dunia pendidikan
dalam pemenuhan tanggung-jawab
profesionalnya (Nanang, 1999).
Penelitian ini mengadopsi daftar dari Aturan
Etika yang tercantum dalam Kode Etik
Akuntan Indonesia dan meminta responden
untuk memberikan peringkat atas pentingnya
tiap-tiap aturan etika tersebut. Untuk
mengukur jawaban yang diberikan oleh
responden digunakan skala lima poin dengan
pernyataan yang berkisar dari “sangat tidak
penting” (skor 1) hingga pernyataan “sangat
penting” (skor 5). Skor yang tinggi
memberikan indikasi bahwa responden
cenderung menyetujui untuk
mempertimbangkan Kode Etik Akuntan
Indonesia sebagai salah satu alat untuk
membantu memecahkan dilema atau
permasalahan etis dalam dunia kerja dan
sebaliknya.

Personal Ethical Philosophy


Khomsiyah dan Indriantoro (1998)
menyatakan bahwa personal ethical
philosophy adalah konsep diri sendiri tentang
sistem nilai yang ada pada individu yang tidak
lepas dari sistem nilai di luar dirinya.
Seperti halnya Ziegenfuss dan Martinson
(2002), penelitian ini menggunakan dua
dimensi milik Forsyth (1980), yaitu dimensi
idealisme dan dimensi relativisme, yang
tercantum dalam alat ukur Ethic Position
Questionnaire (EPQ) untuk mengukur
filosofis etis yang dimiliki masing-masing
individu atau masing-masing responden. EPQ
terdiri dari 20 pertanyaan, pertanyaan nomer 1
sampai dengan nomer 10 digunakan untuk
mengukur dimensi idealisme sedangkan
pertanyaan nomer 11 sampai dengan nomer
20 digunakan untuk mengukur dimensi
relativisme. Responden diminta untuk
memberikan indikasi persetujuan atau
ketidaksetujuanmereka terhadap masing-
masing dari 20 item pertanyaan yang ada
dengan menggunakan skala Likert lima point.
Skor 1 (sangat tidak setuju) mengindikasikan
bahwa responden sangat kurang sensitif
terhadap situasi yang melanggar norma atau
aturan, sedangkan skor 5 (sangat setuju)
mengindikasikan bahwa responden sangat
sensitif terhadap situasi yang melanggar
norma atau aturan.

Corporate Ethical Value


Hunt et al., (1989) mendefinisikan corporate
ethical value sebagai suatu gabungan dari
nilai-nilai etis individu para manajer dengan
kebijakan informal dan formal atas etika
organisasi (dalam Vitell, 2006). Nilai etis
perusahaan (corporate ethical value atau
CEV) diukur dengan menggunakan skala lima
item (skor 1= sangat tidak setuju, skor 5=
sangat setuju). Skor 1 (sangat tidak setuju)
mengindikasikan bahwa lingkungan di mana
para auditor ditugaskan sangat kurang
menghargai nilai-nilai etika, sedangkan skor 5
(sangat setuju) mengindikasikan bahwa
lingkungan di mana para auditor ditugaskan
sangat menghargai nilai-nilai etika.

Metode Pengumpulan Data


Data penelitian ini dikumpulkan dengan cara
mengirimkan kuesioner melalui pos kepada
289 orang auditor yang bekerja pada berbagai
Kantor Akuntan Publik (KAP) di Jakarta.
Metode ini dilakukan karena lokasi obyek
penelitian yang berjauhan. Kuesioner yang
dikirim disertai surat permohonan serta
penjelasan tentang tujuan penelitian yang
dilakukan. Petunjuk pengisian kuesioner
dibuat sederhana dan sejelas mungkin untuk
memudahkan pengisian jawaban
sesungguhnya dengan lengkap.

Alat Analisis Data


Alat statistik yang digunakan untuk menguji
hipotesis adalah regresi berganda (multiple
regression) dengan alasan bahwa alat ini
dapat digunakan sebagai model prediksi
terhadap variabel dependen dengan beberapa
variabel independen, dengan model
persamaan matematik sebagai berikut:
Y1 = +1X1+2X2+3X3+e
Y2 = +1X1+2X2+3X3+e
HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari pengolahan data dengan menggunakan Hasil dari penelitian ini yaitu :
SPSS diperoleh model regresi sebagai 1. Pengaruh kode etik akuntan terhadap
berikut: persepsi etis sebesar 0,048 (bersifat
Y1 = 9,639+0,048X1+0,055X2+0,093X3+e positif), sedangkan terhadap
Y2 = 5,449+0,088X1+0,069X2+0,104X3+e pertimbangan etis sebesar 0,088
Model regresi tersebut telah memenuhi syarat (bersifat positif) yang berarti
uji normalitas, uji multikolinearitas, uji menerima hipotesis H1a dan H1b
heteroskedastisitas, uji model sehingga layak 2. Pengaruh personal ethical philosophy
digunakan sebagai alat analisis. terhadap persepsi etis sebesar 0,055
(bersifat positif), sedangkan terhadap
Hasil Analisis Data pertimbangan etis sebesar 0,069
Output SPSS pada tabel 5 dan tabel 6 (bersifat positif). Koefisien regresi ini
menunjukkan bahwa koefisien regresi dari menunjukkan adanya pengaruh yang
seluruh variabel independen secara statistik signifikan secara statistik dari personal
signifikan mempengaruhi variabel persepsi ethical philosophy terhadap persepsi
etis maupun pertimbangan etis. Hal ini etis dan pertimbangan etis, yang
tampak dari probabilitas signifikansi di bawah berarti menerima hipotesis H2a dan
=0,05. Jadi dapat disimpulkan bahwa kode H2b
etik akuntan, personal ethical philosophy, dan 3. Pengaruh corporate ethical value
corporate ethical value secara parsial terhadap persepsi etis sebesar 0,093
berpengaruh signifikan terhadap persepsi etis (bersifat positif), sedangkan terhadap
dan pertimbangan etis. pertimbangan etis sebesar 0,104
(bersifat positif). Koefisien regresi ini
Pembahasan menunjukkan adanya pengaruh yang
1. Pengaruh Kode Etik Akuntan terhadap secara statistik signifikan dari
Persepsi Etis danPertimbangan Etis corporate ethical value terhadap
Pengaruh kode etik akuntan terhadap persepsi persepsi etis dan pertimbangan etis,
etis sebesar 0,048 (bersifat positif), sedangkan yang berarti menerima hipotesis H3a
terhadap pertimbangan etis sebesar 0,088 dan H3b
(bersifat positif) yang berarti menerima
hipotesis H1a dan H1b, hal ini disebabkan
karena responden menganggap bahwa nilai-
nilai yang terdapat dalam kode etik akuntan
sangat membantu auditor dalam mengenali
permasalahan etika dan membantu membuat
pertimbangan yang dapat dibenarkan secara
etika di lingkungan pekerjaannya.
Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil
penelitian Ziegenfuss dan Martinson (2000;
2002) yang menyatakan bahwa Kode Etika
IMA mempunyai pengaruh yang signifikan
terhadap persepsi etis dan pertimbangan etis
akuntan manajemen dalam memecahkan
dilema etis. Ini berarti bahwa auditor yang
lebih dapat menerima dan memahami nilai-
nilai yang terdapat dalam kode etik akuntan
akan lebih mampu memahami adanya
permasalahan etika dan membuat
pertimbangan-pertimbangan yang dapat
dibenarkan secara etika.
Hasil penelitian ini juga sesuai dengan hasil
penelitian Sriwahjoeni dan Gudono (2000),
yang meneliti tentang persepsi kode etik di
antara tujuh kelompok akuntan yang meliputi
akuntan pendidik, akuntan publik, akuntan
publik, akuntan pemerintah, akuntan pendidik
sekaligus akuntan pemerintah. Hasil
penelitiannya mengungkapkan bahwa di
antara kelompok profesi akuntan tersebut
mempunyai persepsi yang sama positifnya
terhadap kode etik akuntan dalam membantu
memecahkan permasalahan etika.
Namun hasil penelitian ini berbeda dengan
hasil penelitian Aras dan Muslumov (2001)
terhadap praktisi akuntansi dan keuangan di
Turki, yang menunjukkan bahwa IMA code
of ethics berpengaruh tidak signifikan
terhadap ethical judgment, meskipun
metodologi yang digunakan oleh Aras dan
Muslumov (2001) sama dengan Ziegenfuss
dan Martinson (2000).
Namun demikian, secara teoritis hasil
penelitian ini sesuai dengan teori deontologi.
Dalam kerangka deontologi, suatu perbuatan
adalah baik atau etis jika dilakukan karena
kewajiban, bukan karena konsekuensi yang
dihasilkan oleh perbuatan (Bertens, 2000).
Dengan demikian seorang auditor yang
bertindak baik atau etis dalam melaksanakan
tugasnya adalah auditor yang memenuhi
kewajibannya, yaitu patuh terhadap kode etik
akuntan. Kepatuhan terhadap kode etik
akuntan akan meningkatkan kemampuan
menilai ada-tidaknya permasalahan etika pada
lingkungan pekerjaannya, serta membuat
pertimbangan-pertimbangan di dalam
mengambil tindakan yang dapat dibenarkan
secara etika.
Dengan patuh terhadap kode etik akuntan,
seorang auditor diharapkan dapat bertindak
secara profesional. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Nanang (1999), bahwa Kode Etik
Akuntan Indonesia dimaksudkan sebagai
panduan dan aturan bagi seluruh anggota
dalam pemenuhan tanggungjawab
profesionalnya.
Dengan patuh terhadap Kode Etik Akuntan
Indonesia maka para auditor diharapkan dapat
bertindak secara profesional. Salah satu
tindakan yang profesional adalah tindakan
yang dapat dibenarkan secara etika. Secara
teoritis hasil penelitian ini juga sesuai dengan
teori hak, karena sebenarnya teori hak
merupakan suatu aspek dari teori deontologi,
sebab hak berkaitan dengan kewajiban. Setiap
pengguna informasi keuangan yang
dihasilkan oleh jasa profesi auditor
mempunyai hak untuk menuntut auditor agar
mematuhi kode etik akuntan, sebab dengan
patuhan terhadap kode etik akuntan
diharapkan akan dihasilkan informasi
keuangan yang benar sehingga dapat
dipercaya.
Hasil penelitian ini juga sesuai dengan teori
utilitarianisme, di mana teori utilitarianisme
sangat menekankan pada pentingnya
konsekuensi perbuatan. Kualitas moral suatu
perbuatan (baik buruknya) tergantung pada
konsekuensi atau akibat yang dibawanya. Jika
suatu perbuatan mengakibatkan manfaat
paling besar, artinya paling memajukan
kemakmuran, kesejahteraan, dan kebahagiaan
masyarakat, maka perbuatan itu adalah baik.
Jadi dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa auditor yang patuh terhadap kode etik
akuntan akan bertindak secara profesional.
Salah satu tindakan yang profesional adalah
tindakan yang obyektif, dengan bertindak
secara obyektif auditor akan menghasilkan
informasi keuangan yang obyektif pula, yang
pada gilirannya akan memberikan manfaat
kepada sebagaian besar masyarakat pengguna
informasi keuangan.
Namun demikian hasil penelitian ini tidak
sesuai dengan teori egoisme yang menyatakan
bahwa mengutamakan kepentingan diri
sendiri seseorang adalah suatu tindakan yang
baik. Karena perilaku egois mengutamakan
kepentingan diri sendiri, meskipun
kepentingan diri sendiri tersebut hanya dapat
dicapai dengan biaya atau pengorbanan orang
lain, maka dengan jelas bahwa egoisme tidak
dapat diterima oleh suatu profesi seperti
akuntansi, di mana di dalam profesi akuntansi
terdapat kode etika yang mengamanatkan
terhadap "kewajiban untuk bertindak dengan
cara yang akan melayani orang
banyak/masyarakat" (Duska, 2003).

2. Pengaruh Personal Ethical Philosophy


terhadap Persepsi Etis dan
Pertimbangan Etis
Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa
pengaruh personal ethical philosophy terhadap
persepsi etis sebesar 0,055 (bersifat positif),
sedangkan terhadap pertimbangan etis sebesar
0,069 (bersifat positif). Koefisien regresi ini
menunjukkan adanya pengaruh yang
signifikan secara statistik dari personal ethical
philosophy terhadap persepsi etis dan
pertimbangan etis, yang berarti menerima
hipotesis H2a dan H2b. Hal ini
mengindikasikan bahwa konsep diri sendiri
tentang sistem nilai ikut menentukan
responden dalam mengenali permasalahan
etika serta dalam membuat pertimbangan-
pertimbangan yang dapat dibenarkan secara
etika ketika melaksanakan pekerjaannya.
Hasil penelitian ini sesuai dengan pernyataan
Khomsiyah dan Indriantoro (1998), bahwa
tiap-tiap individu memiliki konsep diri sendiri
tentang sistem nilai (personal ethical
philosophy) yang turut menentukan persepsi
etis dan pertimbangan etisnya, sesuai dengan
peran yang disandangnya. Hasil penelitian ini
sesuai dengan penelitian Shaub, et al., (1993)
serta Khomsiyah dan Indriantoro (1998)
tentang pengaruh orientasi etis terhadap
sensitivitas etika yang menunjukkan hasil
adanya pengaruh yang cukup kuat, meskipun
penelitian Shaub, et al., (1993) serta
Khomsiyah dan Indriantoro (1998) masih
mengabaikan pengaruh orientasi etis terhadap
pertimbangan etis. Namun penelitian ini
menunjukkan hasil yang berbeda dengan
penelitian Ziegenfuss dan Martinson (2002)
tentang pengaruh personal ethical philosopy
terhadap persepsi etis dan pertimbangan etis
yang menunjukkan hasil adanya pengaruh
yang lemah. Perbedaan hasil ini semata- mata
disebabkan karena adanya perbedaan budaya,
seperti yang dinyatakan oleh Robbins (2006)
bahwa tidak terdapat standar etis yang bersifat
global. Jadi apa yang dianggap etis oleh
masyarakat barat belum tentu dianggap etis
juga oleh masyarakat timur. Namun demikian,
secara teoritis hasil ini sesuai dengan tahap
autonomous dalam teori perkembangan moral
kognitif yang dikembangkan oleh Dewey
(1932). Hal ini didukung oleh kenyataan
bahwa 69,24% responden berusia 40 tahun ke
atas, di mana pada usia ini secara umum
seseorang telah berada pada usia yang sudah
cukup dewasa, sehingga telah mencapai tahap
autonomous. Sebagaimana dikutip oleh
Kohlberg (1977), Dewey (1932) membagi
tahap-tahap perkembangan moral menjadi
tiga, yaitu tahap preconventional, tahap
conventional dan tahap autonomous. Tahap
autonomous, menjelaskan bahwa seseorang
berbuat atau bertingkah laku sesuai dengan
akal pikiran dan pertimbangan dirinya sendiri
dan tidak sepenuhnya menerima
kelompoknya. Teori Dewey ini menunjukkan
bahwa tiap-tiap individu memiliki konsep diri
sendiri tentang sistem nilai (personal ethical
philosophy) yang turut menentukan persepsi
etis dan pertimbangan etisnya. Hasil ini juga
sesuai dengan pendapat Stead et al., (1990)
dan Cavanagh, et al. (1981) bahwa suatu
sistem etika seseorang berisi jaringan tentang
norma-norma etika dan prinsip-prinsip
sebagai pegangan yang mendasari filosofi etis
seseorang. Norma-norma etis ini memandu
perilaku etis seseorang dalam mengenali
masalah-masalah etis dan membuat pilihan-
pilihan atau pertimbangan yang etis.
3. Pengaruh Corporate Ethical Value
terhadap Persepsi Etis dan
Pertimbangan Etis
Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa
pengaruh corporate ethical value terhadap
persepsi etis sebesar 0,093 (bersifat positif),
sedangkan terhadap pertimbangan etis sebesar
0,104 (bersifat positif). Koefisien regresi ini
menunjukkan adanya pengaruh yang secara
statistik signifikan dari corporate ethical value
terhadap persepsi etis dan pertimbangan etis,
yang berarti menerima hipotesis H3a dan H3b.
Hal ini mengindikasikan bahwa nilai etis
perusahaan, sebagai faktor lingkungan tempat
bekerja para auditor, ikut serta menentukan
dalam mengenali permasalahan etika dan
membuat pertimbangan-pertimbangan yang
dapat dibenarkan secara etika ketika
melaksanakan pekerjaannya. Hasil penelitian
ini sesuai dengan hasil penelitian Vitell dan
Hidalgo (2006) yang menunjukkan adanya
pengaruh signifikan dari corporate ethical
value terhadap persepsi pentingnya etika dan
tanggungjawab sosial dalam bisnis. Namun
demikian hasil penelitian ini agak berbeda
dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Ziegenfuss dan Martinson (2000; 2002)
mengenai pengaruh corporate ethical value
terhadap persepsi etis dan pertimbangan etis,
yang menunjukkan adanya pengaruh yang
lemah. Perbedaan hasil ini semata-mata
disebabkan karena adanya perbedaan budaya,
seperti yang dinyatakan oleh Robbins (2006)
bahwa tidak terdapat standar etis yang bersifat
global. Jadi apa yang dianggap etis oleh
masyarakat barat belum tentu dianggap etis
juga oleh masyarakat timur. Namun demikian,
secara teoritis hasil penelitian ini sesuai
dengan pernyataan Hunt dan Vitell (1986;
1993) seperti yang dikutip oleh Vitell dan
Hidalgo (2006) bahwa lingkungan organisasi
(misalnya, corporate ethical values dan
enforcement of ethical codes) sebagai salah
satu dari faktor yang mempengaruhi
pengambilan keputusan etis. Selanjutnya hasil
penelitian ini juga sesuai dengan pernyataan
Chamberlin (1933), Alchian dan Demzets
(1972) sebagaimana dikutip oleh Hunt et al.,
(1989) yang menyatakan bahwa corporate
ethical value sebagai dimensi inti dari sebuah
budaya etis perusahaan dan mengakui bahwa
hal ini memiliki pengaruh kuat yang dapat
membedakan antara satu perusahaan dengan
perusahaan lainnya. Demikian juga dengan
Robbins (2006) yang menyatakan bahwa
budaya organisasi menjalankan fungsi sebagai
mekanisme pembuat makna dan mekanisme
pengendalian yang memandu dan membentuk
sikap serta perilaku para individu yang berada
di dalamnya. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa individu, termasuk
auditor, yang berada dalam suatu organisasi
dengan lingkungan atau budaya yang etis akan
terdorong untuk berperilaku etis juga.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pengujian analisis regresi Kesimpulan dari penelitian ini yaitu:
secara parsial, variabel kode etik akuntan 1. Variabel kode etik akuntan memiliki
memiliki pengaruh positif dan signifikan pengaruh positif dan signifikan
terhadap persepsi etis dan pertimbangan etis. terhadap persepsi etis dan
Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar pertimbangan etis
persepsi terhadap pentingnya nilai-nilai yang 2. Variabel personal ethical philosophy
terdapat dalam kode etik akuntan, maka memiliki pengaruh positif dan
semakin tinggi persepsi etis dan pertimbangan signifikan terhadap persepsi etis dan
etis auditor. Hal ini konsisten dengan hasil pertimbangan etis
penelitian Ziegenfuss dan Martinson (2000; 3. Variabel corporate ethical value
2002) serta Sriwahjoeni dan Gudono (2000), memiliki pengaruh positif dan
namun berbeda dengan hasil penelitian Aras signifikan terhadap persepsi etis dan
dan Muslomov (2001). Variabel personal pertimbangan etis
ethical philosophy memiliki pengaruh positif
dan signifikan terhadap persepsi etis dan
pertimbangan etis. Hal ini menunjukkan
bahwa semakin tinggi personal ethical
philosophy masing-maisng individu, maka
semakin tinggi persepsi etis dan pertimbangan
etis. Artinya bahwa auditor dengan personal
ethical philosophy yang tinggi akan lebih
mampu mengenali masalah-masalah yang
mengandung muatan etika dan lebih mampu
membuat pertimbangan- pertimbangan yang
dapat dibenarkan secara etika. Hasil
penelitian ini konsisten dengan hasil
penelitian Shaub, et al. (1993), serta
Khomsiyah dan Nur Indriantoro (1998),
namun agak berbeda dengan hasil penelitian
Ziegenfuss dan Martinson (2000; 2002) yang
menunjukkan adanya pengaruh yang lemah.
Variabel corporate ethical value memiliki
pengaruh positif dan signifikan terhadap
persepsi etis dan pertimbangan etis. Hal ini
menunjukkan bahwa semakin tinggi nilai-
nilai etis lingkungan tempat auditor
ditugaskan, maka semakin tinggi kemampuan
para auditor untuk mengenali masalah-
masalah yang mengandung nilai-nilai etika
dan lebih mampu membuat pertimbangan-
pertimbangan yang dapat dibenarkan secara
etika. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil
penelitian Aras dan Muslomov (2001), serta
Vitell dan Hidalgo (2006), namun agak
berbeda dengan hasil penelitian Ziegenfuss
dan Martinson (2000; 2002) yang
menunjukkan adanya pengaruh yang lemah.

LITERATUR JURNAL INTERNASIONAL


JURNAL INTERNASIONAL REVIEW, KRITIK, DAN SARAN
TITLE JUDUL

Effect of Independence, Work Experience and Peneliti mengambil judul Effect Of


Competence on Audit Quality with Independence, Work Experience And
Professional Ethics as Moderating Variable Competence On Audit Quality With
Professional Ethics As Moderating Variable
Diyan Hera Prasanti Wita Ramadhanti Novita atau Pengaruh Independensi, Pengalaman
Puspasari Universitas Jenderal Soedirman Kerja dan Kompetensi Terhadap Kualitas
2019 Audit dengan Etika Profesi sebagai Variabel
Moderasi

ABSTRACT ABSTRAK

This study aims to examine the effect of Penelitian ini bertujuan untuk menguji
independence, work experience and pengaruh independensi, pengalaman kerja dan
competence on audit quality with professional kompetensi terhadap kualitas audit dengan
ethics as a moderating variable in public etika profesi sebagai variabel moderasi pada
accounting firms in DKI Jakarta. The Kantor Akuntan Publik di DKI Jakarta.
population in this study were all auditors at
the Public Accounting Office in DKI Jakarta. Analisis data untuk pengujian hipotesis
The sample of this study amounted to 80 dilakukan dengan menggunakan SPSS 16
obtained from the determination of the sample dengan regresi linier berganda dan Analisis
using the purposive sampling method. This is Regresi Moderat
a survey research with primary data derived
from questionnaires distributed to the Public Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa:
Accounting Firm in DKI Jakarta. Data Pengalaman kerja berpengaruh positif
analysis for hypothesis testing was performed terhadap kualitas audit, kompetensi
using SPSS 16 with multiple linear regression berpengaruh positif terhadap kualitas audit,
and Moderated Regression Analysis. The etika profesi memperkuat pengaruh
results of this study indicate that: Work pengalaman kerja terhadap kualitas audit, dan
experience has a positive effect on audit etika profesi memperkuat pengaruh
quality, competence has a positive effect on kompetensi terhadap kualitas audit
audit quality, professional ethics strengthens
the influence of work experience on audit
quality, and professional ethics strengthens
the influence of competence on audit quality.
INTRODUCTION PENDAHULUAN

An audit is a systematic examination Pada pendahuluan, peneliti mengajukan


conducted by financial statements prepared by hipotesis sebagai berikut:
management and finance, to provide financial H1: Auditor’s independence has a positive
statements (Agoes, 2004). The financial effect on audit quality
statements are summaries of the process of H2: Auditor’s work experience has positive
recording the financial transactions that effect on audit quality
occurred during the year. The financial H3: Auditor’s competence has a positive
statements based on generally accepted effect on audit quality
accounting principles (Financial Accounting H4: professional ethics strengthens the effect
Standards), which are applied consistently of independence on audit quality
and do not contain material errors are H5: professional ethics strengthens the effect
reasonable financial statements. The financial of work experience on audit quality
statements provide a variety of financial H6: professional ethics strengthens the effect
information that is quantitative and necessary of competence on audit quality
for decision-making by both internal and
external parties company. To increase the
quality of the financial report, auditing is
needed. An audit can decrease the risk of
financial report error, so it can increase the
credibility of the financial report. So the
information users require thirdparty services
that are independent auditors to provide
assurance that the financial statements are
relevant and reliable and can increase the
confidence of all parties concerned with the
company (Singgih and Bawono, 2010). The
number of fraud conducted by external
auditors during the audit process makes the
quality of audits that produced questionable.
Some example of cases, that occurred in
Indonesia is the case of PT Kimia Farma in
2001, whereas the management of PT Kimia
Farma reported financial statements that have
been audited by Hans Tuanakotta & Mustofa
with net profit of Rp 132 billion, while the
ministry of SOEs and BAPEPAM restate the
financial statements and profit generated only
amounted to Rp 99.56 billion, or overstated
Rp 32.6 billion (24.70% of reported initial
profit). This case example indicates low audit
quality. The other case happened to the two
members of the largest public accounting firm
in the world of the Big Four, namely KPMG
and PwC who were subjected to sanctions in
the form of millions of pounds in fines for
failing their audits. KPMG was fined more
than US $ 6.2 million by the Securities and
Exchanges Commission (SEC) because of its
audit failure on the Miller Energy Resources
company that had increased its asset value.
The assets of the Miller Energy Resources
increase by 100 times the real value in the
financial statements in 2011. KPMG also
issued an unqualified opinion on the financial
statements. PwC was fined GBP 5.1 million
and was criticized by the Financial Reporting
Council in the UK after PwC admitted
wrongly in its audit of RSM Tenon Group in
the 2011 financial year (Priantara, 2017).
Public accounting firm’s audit failures on
financial statements are generally caused by
public accountants and their auditing teams
not implementing audit standards as expected.
Objectivity, professional accuracy, tiered
supervision will occur, if risk analysis does
not work so that an audit failure occurs. The
impact is damage to credibility and trust in
the public accounting firm, the relevant public
accountant, and the audit profession in
general. According to Al - Khaddash et al.
(2013; in Adha, 2016), Audit quality is the
probability that an auditor provides assurance
that the audited financial statements are free
from material misstatement. Based on survey
doing by International Forum of Independent
Auditor Regulator (IFIAR) stated that the
level of audit quality still low. The problem in
the managing the public accountant
profession categorized as 5 issues. First,
unstable competence and professional level of
staff in each public accounting firm. Second,
quality of control system in public accounting
firm. Third, sunction maintenance to the
violation of professional standard and law
regulation. Fourth, the level of awareness in
responsibility and competences in make the
financial statement by management is low.
Fifth, determining service fee
(mediaindonesia.com). An auditor must be
independent in performing his duties.
Accountants according to IAI, mentioned that
the independence is the attitude expected
from a public accountant to have no personal
interest in carrying out its duties, which is
contrary to the principle of integrity and
objectivity. Besides independence, the
auditor's work experience may also affect the
level of audit quality result. The audit
experience is related to how long the auditor
works and how many audit cases have been
completed. Code of ethics of public
accountants is also a tool to provide
confidence to clients, users of financial
statements and the public in general about the
quality of services provided. Competence is
also one of the variables that can affect audit
quality. This study is a combination of
previous research. These variables include
independence, auditor work experience,
competence of auditor, and audit quality
adopted from their research. This study adopts
a contingency framework to evaluate the
relationship between independence, auditor
work experience, and competence of auditor
on the quality of the audit. This contingency
approach performed by defining the
professional ethics variable as a moderating
variable that may influence strongly or
weakly the relationship between competence,
independence and audit quality. so the
objectives of this study are is to examine the
effect of independence, work experience and
competence on audit quality, and also to
examine whether professional ethics moderate
the effect of independence, work experience
and competence on audit quality.

Behavioral Decision-making Theory


This research uses behavioral decision
making theory, where a person in making
decisions is influenced by several factors. In
this context, the auditor is an external party
that makes an audit opinion in the financial
statements of a company, so that the auditor
in carrying out his duties in making decisions
must be in accordance with the actual
situation. This theory states that a person has
limited knowledge and acts based on his
perception of the situation faced and any
factors such as self-interest, decision maker
usually not use rational mind when make a
decision. Auditors who are afraid of a
downward reputation will tend to provide
qualified opinion on problematic firms,
whereas auditors who ignore their economic
interests will be less likely to give unqualified
opinions to troubled firms (Ariati, 2014). In
this study, the use of decision-making theory
because researchers will conduct a perceptual
study to determine the factors that affect
auditors on audit quality, and the accuracy of
the judgment generated by the auditor in
completing the audit work gives effect to the
final conclusion (opinion) that the result
indirectly influences the decision to be taken
by the users of information that rely on
audited financial statements.

Audit Quality
Arens et al., (2011: 105; in Saputra, 2015)
state audit quality means how well an audit
detects and report material misstatements in
financial statements, the detection aspects are
a reflection of auditor competence, while
reporting is a reflection of ethics or auditor
integrity, particularly independence. In
addition, public accountants must also be
guided by the Standards of Professional
Public Accountants (SPAP) established by the
Indonesian Institute of Accountants (IAI), in
this case is auditing standards. The audit has a
function as a process to reduce diversification
information available between managers and
shareholders by using outside parties to
provide validation to the financial statements.
Users of financial statements, especially
shareholders will make decisions based on
reports made by the auditor. This means that
auditors have an important role in approving a
company's financial statements. The
Indonesian Institute of Accountants (IAI)
states that audits conducted by auditors are
said to be qualified, if they meet auditing
standards and quality control standards.

Independence
Independence is a mental attitude free from
influence, not controlled by others and not
dependent on others. Independence also
means the existence of honesty in the auditor
in considering facts and the existence of
objective consideration is not impartial in the
auditor in formulating and expressing his
opinion (Mulyadi, 2012). According Arens et
al. (2004) the independent mental attitude is
independence in fact or independence in
appearance. Independence in fact (actual
independence) exists when the auditor is
perfectly capable of maintaining an unbiased
attitude of auditing, while independence in
appearance is the result of another
interpretation of this independence.
Independence is an attitude that is not
influenced by anyone, is not controlled by
anyone and does not take sides with anyone.
This character is very important for the public
accounting profession in carrying out an audit
of its clients. Trust is given by clients to
public accountants in conducting audits and
users of financial statements in order to prove
the fairness of financial statements that have
been compiled by the client. Independence
according to Halim et al. (2014) has a positive
effect on audit quality. According to Suyono
(2012) independence also positively has an
effect on audit quality partially. According to
Futri and Juliarsa (2014) independence
affected audit quality simultaneously and
partially. Behavioral decision-making theory
explains that an auditor in making decisions is
influenced by several factors, one of which is
independence. An independence auditor will
make decisions in accordance with the facts
and not be influenced by anyone, thus the
more independent an auditor is the better the
quality of the audit produced. Based on that
explanation, the hypothesis can be determined
as follows.
H1: Auditor’s independence has a positive
effect on audit quality

Work Experience
Knoers and Haditono (1999; in Furyadi and
Kurnia, 2015) define work experience as a
learning process and enhance the
development of better self-potential with
formal and non-formal education, as well as
the process of becoming someone who has a
higher ability in the field of work. Work
experience relates to how long an auditor
works and how many cases have been
completed. The more often the auditor
handles audit cases will improve the quality
of audits generated, especially in making
audit judgment. The experience of public
accountants will continue to increase along
with the increasing number of audits
performed and the complexity of audited
corporate financial transactions that will add
and expand its knowledge in the field of
accounting and auditing (Christiawan, 2002).
In behavioral decision making theory explains
that in making a decision will be influenced
by many things. in this case the auditor's work
experience is very influential on the auditor's
decision to provide an audit opinion. The
results of Silvia (2014) study show that work
experience positively has a significant effect
on audit quality. This shows that the more
hours an auditor has in auditing a company's
financial report will have greater influence on
audit judgment. Based on the explanation,
work experience has a positive effect on audit
quality produced, because the more
experienced an auditor is in carrying out his
duties, the smaller the errors that occur so that
the audit quality is higher. Based on that
explanation, the hypothesis can be determined
as follows.
H2: Auditor’s work experience has positive
effect on audit quality

Competence
According to Dinata (2006; in Ariati (2014),
competence is the overall knowledge, ability
or skill and work attitude plus personality
attributes possessed by a person. Based on the
LOMA competency dictionary in Ariati
(2016), Competence is defined as personal
aspects of a worker that allows him to achieve
superior performance. These personal aspects
include the nature, motives, value systems,
attitudes, knowledge and skills where
competence will direct behavior, while
behavior will produce performance. Murtanto
(1998; in Alim, 2007) mentions that the
competency component for auditors in
Indonesia consists of;
a) Component of knowledge, this component
is an important component in a competency
which includes knowledge of facts,
procedures and experience. Kanfer and
Ackerman (1989; in Alim, 2007) also state
that experience will provide results in
gathering and providing progress for
knowledge,
b) Characteristics of psychology, this
characteristic feature is an important element
in audit competence, such as the ability to
communicate, creativity, and the ability to
work with others. Auditor competence is a
qualification needed by the auditor to carry
out audits correctly. Auditors who are highly
educated will have a broader view of things.
The auditor will increasingly have a lot of
knowledge about the field he is engaged in so
that he can find out various problems in more
depth. Within sufficient knowledge, auditors
will find it easier to keep up with increasingly
complex developments. Harjanto (2014) in
his research shows that competence has a
positive effect on audit quality. The results of
Alim et al research (2007) also showed that
competency positively has a significant effect
on audit quality. This shows the more
competent an auditor is, the better the audit
quality is produced. Based on that
explanation, the hypothesis can be determined
as follows.
H3: Auditor’s competence has a positive
effect on audit quality

Effect of Interaction between


Independence and Audit Quality
An auditor in performing his duties should
pay attention to professional ethics as a public
accountant. Based on the results of Harjanto's
research (2014), auditor ethics strengthens the
influence of auditor independence on audit
quality, this indicates that the auditor's ethics
influence an auditor to be independent, and
the higher the auditor's independence the
better the audit quality produced. This is in
line with the theory of decision making where
ethics and independence are internal auditor
factors that can influence the auditor in
making decisions. Based on that explanation,
the hypothesis can be determined as follows.
H4: professional ethics strengthens the effect
of independence on audit quality

Effect of Interaction between Work


Experience and Audit Quality
Professional ethics is very important for an
auditor in carrying out his duties as an
auditor. Experience also has a role in
determining auditor performance. Auditors
who have long work experience will better
understand about auditor ethics in accordance
with the code of ethics of public accountants,
and it will affect the audit quality that will be
produced. Based on Harjanto (2014), in his
research stated that auditor ethics strengthens
the influence of work experience on audit
quality. This shows that the more
experienced, the auditor will be better able to
carry out audit tasks that can improve audit
quality. Based on that explanation, the
hypothesis can be determined as follows.
H5: professional ethics strengthens the effect
of work experience on audit quality

Effect of Interaction between Competence


and Audit Quality
An auditor who has high competence in
carrying out an audit will always adhere to the
audit principles and comply with the
applicable code of ethics to be able to produce
high audit quality. In producing reports that
have high audit quality, an auditor must
comply with the auditors' ethics that have
been established. The higher the auditor
adheres to the auditor's ethics, the higher the
audit quality will be. This is supported by
Ramadhani (2015) and Nasrullah et al (2014)
in their research shows that interaction
between competency and Auditor ethics has a
significant effect on Audit Quality. Arens et
al., (2012: 78) defines ethics as a moral
principle or value possessed by each
individual. Ethics is the value that comes
from society to regulate human behavior that
is spiritual and unethical behavior in the form
of oral arrangement (custom) and there is
written or code of ethics (Agoes, and Ardana,
2012). According to Arens et al., (2012),
professionalism is the responsibility of
behaving more than the responsibilities
afforded to the auditor and more than
following the legislative (written) and
community (unwritten) regulations. Based on
the explanation can be concluded that auditor
professional ethics is a moral principle or
values held by the auditor to act
professionally in accordance with
professional standards. Professional ethics for
auditors is called the code of professional
accountant ethics. Based on that explanation,
the hypothesis can be determined as follows.
H6: professional ethics strengthens the effect
of competence on audit quality
RESEARCH METHODOLOGY METODELOGI PENELITIAN

Type of this research is a survey with Jenis penelitian ini adalah survei dengan
quantitative research approach. Data used in pendekatan penelitian kuantitatif. Data yang
this study is primary data that obtained digunakan dalam penelitian ini adalah data
through questionnaires distributed to primer yang diperoleh melalui penyebaran
respondents (auditors) in DKI Jakarta. The kuesioner kepada responden (auditor) di DKI
data can be measured by the numerical scale Jakarta. Data dapat diukur dengan skala
or in the form of numbers. The population of numerik atau dalam bentuk angka. Populasi
this study is all auditors in the public penelitian ini adalah seluruh auditor pada
accounting firm in Jakarta. The sample of this Kantor Akuntan Publik di Jakarta.
study is determined by purposive sampling
method. In this sample determination, there Variabel independen dalam penelitian ini
are two specific criteria for the auditor to adalah independensi auditor (X1),
serve as a sample (1) public accounting firm pengalaman kerja auditor (X2), dan
obtained license from minister of finance, (2) kompetensi auditor (X3). Untuk variabel
not under leave condition. This study use pemoderasi, penelitian ini menggunakan etika
three variables, there are variable dependent, profesi (X4).
variable independent and moderating variable.
Variable dependent of this study is audit Teknik analisis data yang digunakan dalam
quality (Y). Variable independent of this penelitian ini adalah uji statistik deskriptif, uji
study are auditor’s independence (X1), kualitas data, uji asumsi, pengujian hipotesis
auditor’s work experience (X2), and auditor’s menggunakan regresi linier berganda, analisis
regresi moderasi, uji t, Uji-F, dan koefisien
competence (X3). For moderating variable, determinan.
this study uses professional ethics (X4).
Likert scale is used to measure variable by
giving a score of 1 to 5 on each instrument.
Respondents were asked to give an opinion on
each item of questions ranging from strongly
agree to strongly disagree. Data analysis
techniques used in this study are (1) statistical
descriptive test, (2) data quality test which
consists of validity tests and reliability tests
used to determine the quality of the
instruments to be distributed to respondents to
test validity and reliability, the author uses S1
students majoring in accounting who have
taken audit and financial accounting courses,
(3) assumption classic test consisting of
normality test, multicollinearity test and
heteroscedasticity test, (4) hypothesis testing
using multiple linear regression, moderated
regression analysis, t-test, F-test, and
determinant coefficient.
RESULT AND DISCUSSION HASIL DAN PEMBAHASAN

Descriptive Statistics of Research Data


The results of descriptive statistical analysis, Hasil dari penelitian ini yaitu :
for the independence variable (X1) has an 1. pengaruh independensi terhadap
average value of 3.85 in the agreed quadrant, kualitas audit. Dari hasil pengujian
indicating that respondents have a high hipotesis dapat diketahui bahwa
perception of independence. Work experience independensi tidak berpengaruh
variable (X2) has an average value of 4.27, terhadap kualitas audit atau hipotesis
this indicates that respondents have a high pertama ditolak. Hal ini menunjukkan
perception of work experience. Then the bahwa independensi yang baik tidak
competency variable (X3) has an average selalu memberikan hasil yang baik
value of 4.087 which indicates that pada kualitas audit.
respondents have a fairly high perception of 2. pengaruh pengalaman kerja terhadap
competence. Professional ethical moderation kualitas audit. Berdasarkan uji
variables (X4) have an average value of 4,050 hipotesis yang telah dilakukan,
which indicates that respondents have a high diperoleh hasil bahwa pengalaman
perception of professional ethics. Audit kerja berpengaruh positif terhadap
quality variable (Y) has an average value of kualitas audit atau hipotesis kedua
4,118 which indicates that respondents have a diterima. Pengalaman auditor
high perception of audit quality. merupakan proses pembelajaran dan
pengembangan potensi perilaku
Quality Test Data auditor saat berinteraksi dengan tugas-
Quality test data using reliability and validity tugas yang dilakukan selama periode
test. The results of the calculation or the waktu tertentu
results of Corrected Item-Total Correlation, 3. pengaruh kompetensi terhadap
Pearson Product Moment correlation in the kualitas audit. Berdasarkan uji
statement item independence variable is hipotesis yang telah dilakukan,
greater than the rtable value or greater than diketahui bahwa hipotesis ketiga
0.361 at the 5% significance level, so all diterima. Berdasarkan hasil tersebut
statement item of independence variable (X1) dapat disimpulkan bahwa kompetensi
are stated valid. The results of the calculation berpengaruh positif signifikan
or the results of Corrected Item-Total terhadap kualitas audit.
Correlation, Pearson Product Moment 4. interaksi antara etika profesi dan
correlation in the work experience variable independensi terhadap kualitas audit.
statement item is greater than the rtable value Berdasarkan uji analisis regresi
or greater than 0.361 at the 5% significance moderasi, hasil hipotesis keempat
level, so all statements item of work ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa
experience variable (X2) declared valid. The etika auditor tidak dapat memperkuat
results of the calculation or the results of pengaruh independensi terhadap
Corrected Item-Total Correlation, Pearson kualitas audit
Product Moment correlation in the statement 5. interaksi antara etika profesi dan
item competency variable are greater than the pengalaman kerja terhadap kualitas
rtable value or greater than 0.361 at the 5% audit. Dari hasil pengujian dapat
significance level, so all statements item of diketahui bahwa hipotesis kelima
competence (X3) are stated valid. The results diterima. Artinya etika profesi dapat
of the calculation or the results of Corrected memperkuat pengaruh pengalaman
Item-Total Correlation, Pearson Product kerja terhadap kualitas audit
Moment correlation in the statement items of 6. interaksi antara etika profesi dan
professional ethical variables are greater than kompetensi terhadap kualitas audit.
the rtable value or greater than 0.361 at the Berdasarkan hasil pengujian dapat
5% significance level, so all the items of diketahui bahwa hipotesi keenam
professional ethics statements are (X4) diterima. Artinya etika profesi dapat
declared valid. The results of the calculation memperkuat pengaruh kompetensi
or the results of Corrected ItemTotal terhadap kualitas audit
Correlation, Pearson Product Moment
correlation in the audit quality variable
statement item is greater than the rtable value
or greater than 0.361 at the 5% significance
level, so all statement item in variable of audit
quality (Y) declared valid. The results of
research instrument reliability testing which
can be interpreted that the Cronbach Alpha
(α) audit quality (Y), independence (X1),
work experience (X2), competence (X3), and
professional ethics (X4) is greater than
Cronbach Alpha Minimum value is 0.60, so
all items in the statement instrument are
declared reliable.

Assumption Classic Test


The results of the normality test conducted
obtained by the results of normality testing
using the Kolmogorov Smirnov One Sample
test, it can be seen that the asymptotic value is
0.118 > 0.05. Therefore, the regression model
data shows a normal distribution. Based on
the conclusions of the multicollinearity test, it
is known that the VIF values of the variables
independence, work experience, competence,
professional ethics and audit quality each
have a value of less than 10. Tolerance values
in the variables of independence, work
experience, competence and audit
qualifications are more from 0.10. Therefore,
it can be stated that there is no
multicollinearity in the multiple regression
model. The results of heteroscedasticity test
with a significant value of the independence
variable which is 0.088 work experience
0.028 competencies 0.305, and professional
ethics 0.347. From these results it can be seen
that there are symptoms of heteroscedasticity,
so to overcome this data transformation is
done using the transformation of natural
logarithms. The results of heteroscedasticity
tests using the transformation of natural
logarithms. The transformation obtained
significant values of the variables of
independence, work experience, competence,
professional ethics and audit quality, each of
which has a value greater than the value of α
(0.05). Therefore, it can be stated that there is
no heteroscedasticity in the multiple
regression model in this study.

Multiple Regression Analysis


Based on the conclusions of multiple
regression analysis in Table 1 above shows
that the tstatistic value is smaller than the
value of t table (1.992). Thus, H0 is accepted
and Ha is rejected, this means that
independence does not have a positive and
significant effect on audit quality. Therefore,
the first hypothesis state that independence
has a positive effect on audit quality is
rejected. Table 1 shows tstatistic (2.580) is
greater than the value of t table (1.992) and a
significance value of 0.012 ttable (1.992) and
a significant value of 0.005 ≤ 0.05, which
means that competency has a positive effect
on audit quality in KAP in DKI Jakarta.
Therefore, the third hypothesis state
competence has a positive effect on audit
quality is accepted.

Moderate Regression Analysis


The results of the moderated regression
analysis show that the statistical value (0.353)
is smaller than the ttable (1.992). This shows
that H0 is accepted and Ha is rejected, so that
it can be said that professional ethics does not
moderate the influence of independence on
audit quality. Based on these results, the
fourth hypothesis state that professional ethics
strengthen the effect of independence on audit
quality is rejected. The results of tstatistic
value (2.013) are greater than the value of t
table (1.992). This shows that H0 is rejected
and Ha is accepted, which means that
professional ethics variables can modify the
influence of work experience on audit quality.
Based on these results, the fifth hypothesis,
namely professional ethics can strengthen the
effect of work experience on audit quality is
accepted. The results of tstatistic (3.756) is
greater than t table (1.992), so H0 is rejected
and Ha is accepted. This result means that the
variables of professional ethics can moderate
the influence of competence on audit quality.
So that the sixth hypothesis state professional
ethics strengthens the influence of
competence on audit quality is accepted.

DISCUSSION
Based on statistical results, this research has
several findings. First, effect of independence
on audit quality. From the results of
hypothesis testing it can be seen that
independence has no effect on audit quality or
the first hypothesis is rejected. This shows
that good independence not always give good
result on audit quality. Independence is the
attitude of the auditor who is not affected by
other parties in carrying out their work. But in
reality, the auditor in carrying out his duties
sometimes faces some pressure by the client
which makes the auditor feel the ethical
dilemma that can affect the auditor in making
an audit opinion. This is in line with the
theory in this study, namely behavioral
decision-making theory, where in this theory
it is explained that someone in making
decisions is influenced by various things. So
that in this case the auditor could lose his
independence in carrying out his duties which
can influence in making decisions and cause
the audit quality produced is not good. This
research is in line with the research conducted
by Priyambodo (2015) state that
independence does not affect audit quality.
This condition can occur when the auditor is
in a dilemma condition, which affects his
independence in carrying out his duties as an
auditor. This study also supports previous
research conducted by Wardani and Astika
(2018) state that independence does not affect
audit quality. Second, effect of work
experience on audit quality. Based on the
hypothesis test that has been done, the results
show that work experience has a positive
effect on audit quality or the second
hypothesis is accepted. The auditor's
experience is a learning process and the
development of the auditor's potential
behaviour while interacting with the tasks
performed during a certain period of time.
The more experienced an auditor, the better
the quality of the audit produced. The more
experienced, the auditor is easy to find fault
and find out the cause of the error. All
experience gained will be used well by the
auditor in carrying out the next work, so that
the audit results will be more qualified than
before. Theoretically, this finding is in line
with the theory of decision-making theory
which states that in making decisions,
someone is influenced by several factors. In
this case, work experience is one of the
important factors for auditors in making
decisions when carrying out their duties.
According to Kusharyanti (2003), an
experienced auditor is expected to have a
better understanding of financial statements
so as to be able to provide a reasonable
explanation for errors in financial statements.
Experience will also have an impact on every
decision taken in the audit so that every
decision taken is expected to be the right
decision. This indicates that the longer the
auditor's working period, the better the quality
of the audit produced. This research is in line
with the research conducted by Dewi (2016),
Indah (2010) state that auditor work
experience has a positive effect on audit
quality. Third, effect of competence on audit
quality. Based on the hypothesis test that has
been done, it is known that the third
hypothesis is accepted. Based on these results
it can be concluded that competence has a
significant positive effect on audit quality.
This shows that the more competent an
auditor the quality of audit that produce is
better. Competence is the knowledge and
expertise possessed by the auditor to complete
the tasks for which he is responsible. Based
on the behavioral decision-making theory
which states that in making a decision,
someone will be influenced by several things.
In this case, competence is a very influential
thing for the auditor in making decisions
regarding the results of his work (judgment /
opinion). Competence relates to professional
expertise possessed by auditors as a result of
formal education, professional examinations
and participation in training, seminars,
symposiums. Alim, et al. (2007) added that
auditors as the spearhead of the
implementation of audit tasks must always
increase their knowledge so that the
application of knowledge can be maximized
in practice. The application of maximum
knowledge will certainly be in line with the
increasing experience. So that when the
auditor is competent then in making a
decision or making an audit opinion will be in
accordance with the actual situation. This
research is in line with research conducted by
Wardani and Astika (2018), Pertiwi (2013),
Aprianti (2010), Basmar and pura (2015)
concluded that competence has a positive
effect on audit quality. The more expert or
competent an auditor, the better the audit
quality produced will be. If the auditor has a
good level of competency, the auditor will be
easier to carry out audit tasks and if the
competency level is low then the auditor will
have difficulties in carrying out his duties
which will result in low audit quality. Fourth,
interaction between professional ethics and
independence on audit quality. Based on
moderated regression analysis test, the result
of fourth hypothesis is rejected. This shows
that the ethics of the auditor cannot strengthen
the influence of independence on the audit
quality. An independent auditor will carry out
his duties in accordance with existing
procedures and not be affected by other
parties. When an auditor is not independent in
carrying out his duties, this means that the
auditor has not applied his professional ethics
in carrying out his work. This also makes
professional ethics have no influence on the
interaction of auditor independence with audit
quality. This research is not in line with the
research conducted by Sulistiani et al. (2018)
states that the ethics of auditors are able to
moderate the influence of independence on
audit quality. Independent auditors are certain
to apply professional ethics in carrying out
their duties. If an auditor behaves
independently, he will give a true assessment
of the financial statements being examined,
without having any burden on any party. Then
the assessment will reflect the actual
conditions of the company being examined.
Thus, the guarantee of the reports reliability
provided by the auditor can be trusted by all
interested parties. However, this study is also
in line with the research of Wardhani and
Astika (2018), Deli et al. (2015) stated that
professional ethics are not able to moderate
independency to audit quality. The client is a
party that has a large influence on the auditor.
This can be seen from the current conditions
where there are various regulations governing
the cooperation of clients with auditors.
Besides that, it is very difficult for an auditor
to remain independent, especially if in
addition to providing client financial
statement audit services, the auditor also
provides other non-audit services. Thus, the
provision of non-audit services to the audit
client, good relations with the client, or the
length of the cooperation relationship with the
client will make the auditor more difficult to
maintain the attitude of independence and this
will have an impact on the audit quality
produced by the auditor. Fifth, interaction
between professional ethics and work
experience on audit quality. From the test
results it can be seen that the fifth hypothesis
is accepted. This means that professional
ethics can strengthen the influence of work
experience on audit quality. The auditor's
work experience is an activity to conduct
financial report audits both in terms of the
length of time and the number of assignments
that have been handled. Auditors who have
long experience in the task will of course be
better at carrying out their duties resulting in
good audit quality. Ethics is a set of moral
principles or values where in carrying out
work, an auditor must also pay attention to it.
In this study professional ethics is able to
strengthen the influence of auditor work
experience on audit quality. Professional
ethics is able to strengthen the influence of
work experience on audit quality, because an
experienced auditor certainly understands the
ethics of his profession. An auditor who has
long worked and completed many audit tasks
tends to be more biased to understand the
problems that exist, so that in carrying out
their duties work according to what they are
and produce the right decisions so that the
quality of the audit produced is also good.
Purnamasari, (2005; in Marbun and Azhari,
2015) concludes that an employee who has
high work experience will have advantages in
several ways including: 1) detecting errors, 2)
understanding errors and 3) looking for
causes of errors. So that this is in line with the
decisionmaking theory behaviour, where
when an auditor is experienced and able to
detect errors correctly then the decision taken
is also right by still applying the professional
ethics as an auditor so that the quality of the
audit produced is also good. This research is
in line with the research of Dewi (2015)
which states that the more experienced an
auditor, the better the quality of the audit
produced. So that professional ethics applied
by experienced auditors will strengthen the
influence of work experience on audit quality.
Sixth, interaction between professional ethics
and competence on audit quality. Based on
the test results it can be seen that the sixth
hypothesis is accepted. This means that
professional ethics can strengthen the
influence of competence on audit quality.
Competence is the auditor's ability to
complete his task. Auditors who have good
competence can produce good audit quality
and apply professional ethics as well. In
general, this can be explained that audit ethics
performed well by auditors will increase the
influence of competencies on audit quality.
Auditors' ethics are not only in behavior, but
ethics codes of an auditor who must also be
upheld in carrying out their duties, to obtain
quality audit results. This is in line with the
behavioral decision-making theory, where
competence is an influential thing for the
auditor in determining audit opinions.
Auditors who have high competence will
apply professional ethics and provide audit
opinions according to the actual conditions so
as to improve audit quality. The existence of
ethical auditors also results in higher auditors'
competencies, so that they can produce good
audit quality. This research is in line with the
Nasrullah et al. (2014), Wardhani and Astika
(2018) which state that professional ethics can
strengthen the influence of auditor
competence on audit quality. Overall, this
empirical result consistent with Behavioral
Decision-Making Theory. Where in the
theory explained that someone in making
decisions is influenced by various factors,
both factors from internal or external. In this
study, the auditor as the party that makes the
audit opinion, in making decisions is
influenced by several things such as
independence, work experience, competence
and professional ethics so that the audit
quality produced by the auditor can be
maintained.
CONCLUSSIONS KESIMPULAN

This study aims to determine the effect of Berdasarkan hasil analisis yang telah
independence, work experience and dilakukan, dapat ditarik kesimpulan sebagai
competence on audit quality with professional berikut:
ethics as a moderating variable. Based on the 1. independensi tidak berpengaruh
results of the analysis that has been done, terhadap kualitas audit pada Kantor
conclusions can be drawn as follows. First, Akuntan Publik di DKI Jakarta.
independence has no effect on audit quality at Artinya seorang auditor dalam
the Public Accountant Firm in DKI Jakarta. It melaksanakan tugasnya masih dapat
means that an auditor in carrying out his dipengaruhi oleh pihak lain yang
duties can still be influenced by other parties membuat kualitas hasil audit menjadi
that make the result of audit quality is not tidak baik
good. This result support previous research 2. pengalaman kerja berpengaruh positif
conducted by Wardhani and Astika (2018) terhadap kualitas audit pada Kantor
which stated that independence has no effect Akuntan Publik di DKI Jakarta.
on audit quality. Second, work experience has Artinya semakin berpengalaman
a positive effect on audit quality at Public seorang auditor maka kualitas audit
Accounting Firms in DKI Jakarta. It means yang dihasilkan semakin baik
that more experienced an auditor, audit 3. Ketiga, kompetensi berpengaruh
quality that produced is better. It’s support positif terhadap kualitas audit pada
study conducted by Dewi (2016). Third, Kantor Akuntan Publik di DKI
competence has a positive effect on audit Jakarta. Hal ini menunjukkan bahwa
quality in public accounting firms in DKI kompetensi merupakan hal penting
Jakarta. This shows that competence is an yang harus dimiliki auditor dalam
important thing that the auditor must have in melaksanakan tugasnya
carrying out his duties. Therefore, the more 4. Keempat, etika profesi tidak dapat
competent the auditor, audit quality produced memperkuat pengaruh independensi
by an auditor also increases. Fourth, terhadap kualitas audit pada Kantor
professional ethics cannot strengthen the Akuntan Publik di DKI Jakarta. Jika
effect of independent on audit quality at auditor tidak independen, berarti
Public Accounting Firm in DKI Jakarta. If an auditor tidak berlaku etika
auditor not independent, it means that auditor professional
not apply professional ethics. Fifth, 5. Kelima, etika profesi memperkuat
professional ethics strengthens the effect of pengaruh pengalaman kerja auditor
auditor work experience on audit quality at terhadap kualitas audit pada Kantor
the Public Accounting Firm in DKI Jakarta. Akuntan Publik di DKI Jakarta
Auditor with high level of experience will 6. Keenam, Etika Profesi memperkuat
understanding the professional ethics, so the pengaruh kompetensi terhadap
auditor will apply the ethical code, so in make kualitas audit pada Kantor Akuntan
an opinion it will be based on the reality. Publik di DKI Jakarta. Artinya auditor
Sixth, professional ethics strengthens the yang kompeten akan memiliki standar
effect of competence on audit quality in etika yang tinggi sehingga dapat
Public Accounting Firms in DKI Jakarta. menghasilkan kualitas audit yang baik
Means that competent auditor will have high
ethical standards so that it can produce good implikasi dari penelitian ini yaitu Kantor
audit quality. This results related with Akuntan Publik harus menjaga kompetensi
behavioral decision-making theory, which is dan pengalaman kerja masing-masing auditor
in make decision auditor will influence by dengan tetap menerapkan etika profesi yang
other things such as work experience, ada agar kualitas audit yang dihasilkan oleh
competence and professional ethics that will seorang auditor dapat dilaksanakan secara
affect in audit quality produced. Based on the optimal dan tetap terjaga. sesuai dengan
conclusions above, there are implications of SPAP
this research, that is, public accountant offices
must maintain the competence and work
experience of each auditor while
implementing existing professional ethics so
that the audit quality produced by an auditor
can be carried out optimally and remain
consistent with the SPAP. The further
research needs to expand the study and
develop a research model by including
independent variables and other moderator
variables. Further research also needs to
develop a broader object of research to
produce better research results more generally
and objectively. further research needs to
increase the number of public accounting
offices studied in order to get better results.
BAB 3
PEMBAHASAN
(SINTESA FENOMENA DI BAB 1 DENGAN LITERATUR DI BAB 2)

FENOMENA LITERATUR BUKU


1. Karakteristik profesi
Profesi bidang akuntansi biasanya mendapat 2. Kode etik akuntansi
gelar "Ak." atau "CPA" (certified publik 3. Kode etik professional
accountant). Para akuntansi bisa menjadi AICPA
akuntan publik, auditor, konsultan manajemen,
atau menjadi akuntan internal di perusahaan.
Dalam buku Akuntansi Dasar (2019) karya
Irmah Halimah Bachtiar, terdapat beberapa
profesi bidang akuntansi

LITERATUR JURNAL INDONESIA


LITERATUR JURNAL INTERNASIONAL Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh
Tujuan dari penelitian ini adalah menguji secara independensi, pengalaman kerja dan kompetensi
empiris pengaruh dari kode etik akuntan, personal terhadap kualitas audit dengan etika profesi
ethical philosophy, corporate ethical value terhadap sebagai variabel moderasi pada Kantor Akuntan
persepsi etis dan pertimbangan etis auditor. Publik di DKI Jakarta.

Analisis data untuk pengujian hipotesis dilakukan


Populasi penelitian ini adalah para auditor yang
dengan menggunakan SPSS 16 dengan regresi linier
bekerja pada kantor akuntan publik (KAP) di
berganda dan Analisis Regresi Moderat
Jakarta. penelitian ini menggunakan purposive
sampling. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa:
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada suatu

.
BAB 4
KESIMPULAN

Kesimpulan yang bisa diambil yaitu dengan adanya berbagai teori didalam etika

BAB 5
IMPLIKASI

Adapun implikasi dari penelitian ini adalah:


DAFTAR PUSTAKA

Ronald F. Duska, Brenda Shay Duska, and Kenneth Wm. Kury, accounting ethics 3rd edition.
Wiley Blackwell

Serafica Gischa 2020. Menengok Profesi Bidang Akuntansi. Kompas.com


Prasanti, D. H., Ramadhanti, W., & Puspasari, N. (2019). Effect of independence, work experience and
competence on audit quality with professional ethics as moderating variable. Jurnal Akuntansi
Aktual, 6(1), 223-233.

Wibowo, A. (2015). Pengaruh Kode Etik Akuntan, Personal Ethical Philosophy, Corporate Ethical Value
Terhadap Persepsi Etis Dan Pertimbangan Etis Auditor (Studi Empiris pada Kantor Akuntan Publik di
Jakarta). Serat Acitya, 3(2), 30.

Anda mungkin juga menyukai