Anda di halaman 1dari 17

TUGAS MAKALAH

ANALISIS MATERI AJAR


“LAJU REAKSI”

DOSEN PENGAMPU:

1. Dr. H. RADJAWALY USMAN RERY, M.Pd.


2. Dr. LENNY ANWAR, M.Si.

DISUSUN OLEH :
SUKRISNO
2210246956

MAGISTER PENDIDIKAN KIMIA PASCASARJANA


UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2022
DESKRIPSI SINGKAT

Laju/kecepatan reaksi adalah jumlah produk reaksi yang dihasilkan dalam suatu
reaksi persatu waktu, atau jumlah pereaksi yang dikonsumsi dalam suatu reaksi persatu
waktu. Jumlah zat yang berubah dinyatakan dalam satuan volume total campuran. Oleh
sebab itu, laju kecepatan reaksi didefinisikan sebagai pertambahan konsentrasi molar
produk reaksi persatuan waktu, atau pengurangan konsentrasi molar pereaksi persatuan
waktu. Satunya adalah ml per liter per detik atau mol L¯¹ s¯¹.

Laju Reaksi adalah perubahan konsentrasi reaktan atau produk per satuan
waktu. Laju berkurangnya reaktan atau bertambahnya produk yang dinyatakan dalam
molar/detik atau M/s. Laju reaksi tidak bisa ditentukan secara teoritis, melainkan
melalui percobaan. Dari percobaan tersebut akan diperoleh data yang nantinya dapat
digunakan untuk penentuan laju reaksi.
Salah satu faktor yang mempengaruhi laju reaksi adalah besarnya
konsentrasi reaktan yang digunakan dalam reaksi. Kecepatan reaksi kimia hampir selalu
berbanding lurus dengan konsentrasi reaktan dengan pangkat tertentu yang merupakan
orde suatu reaksi. Besarnya konsentrasi reaktan berpengaruh terhadap tumbukan yang
terjadi. Tumbukan antar molekul- molekul reaktan dengan arah yang tepat serta memiliki
energi yang cukup untuk mengatasi rintangan energi berupa energi aktivasi molekul
reaktan merupakan syarat agar dapat berlangsungnya reaksi kimia. Agar terjadi reaksi
kimia maka energi aktivasi yang merupakan energi potensial harus dilampaui.
URAIAN MATERI
LAJU REAKSI
A. Pengertian Laju Reaksi
Laju Reaksi adalah perubahan konsentrasi reaktan atau produk per satuan
waktu. Laju berkurangnya reaktan atau bertambahnya produk yang dinyatakan dalam
molar/detik atau M/s. Laju reaksi tidak bisa ditentukan secara teoritis, melainkan
melalui percobaan. Dari percobaan tersebut akan diperoleh data yang nantinya dapat
digunakan untuk penentuan laju reaksi.

Laju reaksi A B

B. Laju reaksi dan stokiometri reaksi


Laju berkurangnya tiap reaktan dan laju bertambahnya tiap produk reaksi harus
mengikuti stokiometri reaksi, seperti pada contoh reaksi berikut :
2H2 + O2 → 2 H2O
Laju reaksi dapat ditulis:

Setiap 2 mol H2 yang bereaksi (habis) maka bereaksi pula 1 mol O2, artinya laju
berkurangnya H2 adalah dua kali laju berkurangnya O2 sehingga berlaku

Untuk reaksi umum : a A + b B → c C + d D, berlaku :


Dengan tanda minus (-) menunjukan konsentrasi pereaksi makin berkurang. Tanda positif
(+) menunjukkan konsentrasi produk makin bertambah.

Contoh Soal
Tulislah persamaan laju untuk reaksi di bawah ini!
CH4 (g) + 2O2 (g) → CO2 (g) + 2H2O (g)

C. Hukum Laju, Orde Reaksi, dan Konstanta Laju

Hukum Laju untuk reaksi sederhana berbanding lurus dengan hasil kali
konsentrasi-konsentrasi reaktan yang dipangkatkan dengan koefisien reaksinya. Hukum
laju dapat dinyatakan dalam bentuk diferensial atau bentuk integral. Hukum laju untuk
setiap reaksi kimia harus ditentukan dari percobaan dan tidak dapat diprediksikan dari
persamaan reaksi kimianya. Metode laju awal sering digunakan untuk menentukan hukum
laju, yaitu dengan mengamati pengaruh dari perubahan konsentrasi reaktan awal terhadap
laju awal reaksi. Sedangkan orde reaksi merupakan jumlah pangkat faktor konsentrasi
dalam bentuk laju bentuk diferensial.

V=k[A] a[B]b[C] c

a = orde reaksi terhadap komponen A; b =orde reaksi terhadap komponen B; c = orde


reaksi terhadap komponen C. Jumlah pangkat konsentrasi setiap komponen dinyatakan
sebagai orde reaksi keseluruhan, yaitu a+b+c. Konsep orde reaksi seperti ini hanya
berlaku untuk reaksi sederhana. Namun untuk reaksi kompleks hal ini tidak berlaku.
Pada reaksi kompleks orde reaksi tidak sama dengan stoikiometri reaksi. Dengan
demikian, hukum laju reaksi harus dinyatakan sebagai:

d [ A]
V= =k [ A ] x [B] y [C] z
dt

Orde reaksi tidak sebanding dengan stoikiometri reaksi karena laju reaksi tidak
mengikuti konsep reaksi sederhana. Jadi orde reaksi harus ditentukan melalui eksperimen.
Eksponen pada hukum laju menunjukkan bagaimana laju dipengaruhi oleh konsentrasi
masing-masing reaktan. Orde reaksi tidak harus merupakan bilangan bulat, bisa berupa
pecahan ataupun bernilai negative dan tidak harus sesuai dengan stokiometri reaksi,
seperti pada contoh berikut :

2 N2O5(g) → 4 NO2(g) + O2(g) laju = k [N2O5] 1/2


CHCl3(g) + Cl2(g) → CCl4(g) + HCl(g) laju = k [CHCl3] [Cl2]
H2(g) + I2(g) → 2 HI(g) laju = k [H2] [I2]

Tetapan (Konstanta) laju reaksi (k) adalah perbandingan antara laju reaksi dengan
konsentrasi reaktan. Nilai k akan semakin besar jika reaksi berlangsung cepat, walaupun
dengan konsentrasi reaktan dalam jumlah kecil. Nilai k hanya dapat diperoleh melalui
analisis data eksperimen, tidak berdasarkan stoikiometri maupun koefisien reaksi.

Contoh:
Laju awal reaksi A + B → C, diukur pada beberapa konsentrasi A dan B yang
berbeda dengan hasil sebagai berikut :

Tentukan : (a) hukum laju reaksi


(b) nilai tetapan laju
Jawab:
diandaikan hukum laju dinyatakan sebagai persamaan umum : laju = k [A]m [B]n,
sehingga bila orde reaksi m dan n dapat ditentukan, maka tetapan laju dapat dihitung.
Dengan membandingkan laju awal diperoleh :

D. Faktor-faktor yang mempengaruhi Laju Reaksi


1) Konsentrasi

Salah satu prinsip dasar dari teori tumbukan adalah bahwa partikel harus
bertumbukan untuk dapat bereaksi. Reaksi terjadi jika partikel pereaksi saling
bertumbukan efektif. Laju reaksi akan lebih cepat terjadi jika tumbukan efektif antar
partikel zat yang bereaksi lebih banyak. Konsentrasi menyatakan jumlah mol zat terlarut
yang terkandung dalam larutan. Pengaruh konsentrasi pereaksi berkaitan dengan jumlah
partikel yang terlibat dalam tumbukan efektif.
2) Luas Permukaan

Luas permukaan menyatakan jumlah luas seluruh permukaan/bidang suatu bangun


ruang atau dalam hal ini adalah partikel. Pengaruh luas permukaan berkaitan dengan area
sentuhan ketika partikel saling bertumbukan efektif. Partikel yang kecil berukuran kecil
mempunyai luas permukaan yang lebih besar dibandingkan partikel yang berukuran besar.
Permukaan yang lebih luas memungkinkan semakin banyak area/tempat terjadinya
tumbukan efektif.
Reaksi akan lebih cepat jika partikel pereaksi berukuran kecil, dan sebaliknya
reaksi akan berjalan lebih lambat jika partikel berukuran besar. Sebagai contoh, api unggun
dibuat dengan menggunakan kayu balok yang telah dibelah. Kayu yang telah dibelah-
belahdibelah. Kayu yang telah dibelah-belah akan lebih mudah terbakar daripada kayu
balok yang masih utuh.
3) Pengaruh Tekanan

Pengaruh tekanan akan terlihat pada reaksi kimia yang melibatkan pereaksi
berupa gas, peningkatan tekanan pada reaksi yang melibatkan pereaksi gas akan
meningkatkan laju reaksi, pengaruh ini tidak akan terlihat pada reaksi yang melibatkan
zat padat dan zat cair.

Pada dasarnya, pengaruh tekanan terhadap laju reaksi sama halnya dengan
pengaruh konsentrasi kerena peningkatan tekanan biasanya dilakukan untuk
meningkatkan persentase gas yang bereaksi dalam kesetimbangan campuran, dengan
demikian peningkatan tekanan gas sama dengan peningkatan pada kosentrasinya dan
mempengaruhi laju reaksi.
4) Pengaruh Suhu

Suhu menyatakan derajat panas dinginnya suatu benda. Kalor atau panas yang
dimiliki benda bersuhu tinggi menyebabkan energi kinetik partikelnya juga tinggi
sehingga bergerak lebih cepat. Pengaruh suhu terhadap laju reaksi berkaitan dengan
energi kinetik partikel yang saling bertumbukan efektif.
Partikel yang memiliki energi kinetik yang tinggi akan bergerak lebih cepat dan
dapat mengimbangi energi aktivasinya (Ea) ketika bertumbukan. Semakin banyak
partikel yang mempunyai energi kinetik yang tinggi memungkinkan semakin banyak
terjadi tumbukan efektif.
Reaksi yang terjadi pada suhu tinggi akan lebih cepat daripada reaksi pada suhu
rendah. Sebagai contoh, makanan kentang akan lebih cepat masak jika digoreng dalam
minyak panas dibandingkan jika direbus dalam air. Hal ini karena suhu minyak panas
lebih tinggi dibandingkan suhu air mendidih.
5) Katalis
Katalis adalah zat yang dapat mempercepat laju reaksi kimia tanpa mengalami
suatuperubahan secara permanen. Reaksi katalisis dikelompokkan sebagai :
 Reaksi katalisis homogen

dimana fase katalis sama dengan fase molekul-molekul yangbereaksi,


misalnya sebagai fase gas atau fase larutan. Sebagai contoh adalah reaksi
dekomposisi larutan dalam hidrogen peroksida menjadi air yang dikatalisis
oleh ion Br- dalam suasana asam:
2 Br-(aq) + H2O2(aq) + 2 H+ → Br2(aq) + 2 H2O(l)
Selanjutnya H2O2 bereaksi lanjut dengan Br2(aq) :
Br2(aq) + H2O2(aq) → 2 Br-(aq) + 2 H+(aq) + O2(g)

 Reaksi katalisis heterogen,


dimana fase katalis berbeda dengan fase molekul reaktan, biasanya
merupakan katalis padatan dengan reaktan dalam fase gas atau dalam
larutan. Reaksi gas hidrogen dengan gas etilen membentuk gas etana
berjalan sangat lambat meskipun merupakan reaksi eksoterm. Dengan
adanya bubuk logam yang sangat halus, seperti Ni, Ptatau Pd, reaksi
berlangsung dengan mudah pada temperatur ruang.

Metode untuk Menentukan Orde Reaksi


Ada tiga metode yang dapat digunakan untuk menentukan orde reaksi, yaitu:
1. Metode differensial
Metode diferrensial didasarkan atas penggunaan persamaan laju secara
langsung. Untuk kasus satu komponen, dengan persamaaan laju
v = k[A]a maka ln v = ln k + a ln [A]
Bila reaksi terdiri atas dua pereaksi, dengan persamaan laju dituliskan sebagai
v = k[A]a [B]b
salah satu komponen dibuat berharga “tetap”, denagan cara menggunakan
konsentrasi yang jauh lebih besar dari yang lain. Jadi, jika [B]>>[A],maka
perubahan harga [A] tak akan banyak mempengaruhi [B] sehingga selama
reaksi berlangsung dapat dianggap “tetap”. Dengan demikian, dari ungkapan
ln v = {ln k + b ln [B]} + a ln [A]
2. Metode integrasi
Metode ini merupakan metode triar and error. Orde reaksi akan diperoleh dari
hukum laju yang telah diintegrasi yang memberikan harga k yang konstan, atau
memberikan kurva yang linier.
a. Orde Reaksi ke nol
dx
=k
dt
dx = kdt
∫dx = k ∫ dt + konstanta/tetapan x = kt + tetapan
pada awal reaksi t = 0, maka x = 0, tetapan = 0
x = kt
b. Orde Reaksi ke 1
Reaksi orde 1 adalah reaksi-reaksi yang lajunya berbanding langsung
hanya dengan konsentrasi satu senyawa.

A B
d[A]
Laju reaksi = - = k [A]
dt
Hasil eksperimen memberikan harga konsentrasi A pada berbagai waktu. Jika
konsentrasi pada t = 0 adalah A0 dan pada t tertentu konsentrasi A adalah A,
maka integrasinya :
A t
d [ A]
−∫ =k ∫ dt
A0 A 0

kt= ln [Ao]/[A]
kt= ln [A0] - ln[A]
kt-ln [A0] = - ln [A]
ln [A] = -kt+ ln [A0]
2,303 log [A] = -kt + 2,303 log [A0]
Log [A]= -kt/2,303 + log [A0]

c. Orde Reaksi ke 2
Reaksi dikatakan memiliki orde 2, jika laju reaksi sebanding dengan kuadrat
konsentrasi salah satu pereaksi atau dengan hasil kali konsentrasi dua pereaksi
yang masing-masing dipangkatkan satu.
1) Jika konsentrasi awal kedua pereaksi sama

2) Jika konsentrasi awal kedua pereaksi tidak sama


d. Reaksi Orde 3

3. Metode waktu paruh


Suatu reaksi tidak akan berakhir secara mutlak karena grafik memotong sumbu x
pada t tak hingga. Akibatnya tidak mungkin membandingkan laju dua reaksi dari
lamanya reaksi itu berlangsung. Sebagai jalan keluar, dua reaksi yang ordenya sama
dapat dibandingkan dari nilai waktu paruh (t1/2)-nya. Waktu paruh adalah waktu yang
diperlukan sampai jumlah (konsentrasi) pereaksi menjadi setengah (separuh)
konsentrasi semula. Perlu diingat bahwa yang dihitung dalam waktu paruh adalah
jumlah pereaksi yang tinggal, dan ini dapat dilakukan bila reaksi berpereaksi tunggal
(satu macam). Cara menghitung waktu paruh bergantung pada orde reaksi, apakah
satu, dua, atau tiga.
1) Orde nol
Waktu paruh (t1/2)
Mula-mula = a x = 1/2a

2) Orde satu

Jadi waktu paruh reaksi orde satu tidak tergantung pada konsentrasi awal, sehingga
waktu paruh konstan selama reaksi.

3) Orde tiga

E. Teori Tumbukan
Laju reaksi yang dipengaruhi oleh konsentrasi reaktan dan temperatur dapat
dijelaskan dengan model tumbukan, yaitu bahwa molekul-molekul harus bertumbukan
supaya terjadi reaksi. Makin banyak jumlah tumbukan perdetiknya, maka makin besar
laju reaksi. Bila konsentrasi molekul reaktan makin besar, maka makin meningkat jumlah
tumbukan yang menyebabkan naiknya laju reaksi. Demikian pula sesuai dengan teori
molekular kinetik gas, temperatur yang meningkatkan menyebabkan molekul bergerak
lebih cepat, bertumbukan dengan energi yang lebih besar dan lebih sering, sehingga laju
reaksi meningkat.
Meskipun demikian, reaksi terjadi membutuhkan lebih dari tumbukan sederhana.
Pada kebanyakan reaksi, hanya sebagian kecil dari tumbukan yang menyebabkan reaksi,
sebagai contoh dalam campuran H2 dan I2 pada temperatur dan tekanan ruang, setiap
molekul mengalami 1010 tumbukan perdetik. Jadi bila setiap tumbukan antara H2 dan I2
menghasilkan pembentukan HI, maka reaksi akan selesai dalam waktu kurang dari 1
detik. Sedangkan pada temperatur ruang reaksi berjalan sangat lambat, hanya sekitar satu
dalam setiap 1013 tumbukanyang menghasilkan reaksi.

F. Energi Aktivasi
Pada tahun 1888 seorang ahli kimia Swedia bernama Svante Arrhenius
mengusulkan bahwa molekul-molekul harus memiliki sejumlah energi minimum tertentu
untuk dapat bereaksi. Menurut model tumbukan, energi ini berasal dari energi kinetik dari
molekul- molekul yang bertumbukan. Pada saat tumbukan, energi kinetik dari molekul
dapat digunakan untuk mengulur, menekuk dan akhirnya memutuskan ikatan untuk
menghasilkan reaksi kimia. Dalam hal ini energi kinetik digunakan untuk merubah energi
potensial molekul. Bila molekul bergerak dengan sangat lambat, dengan energi kinetik
yang sangat kecil, maka molekul- molekul hanya saling menempel tanpa terjadi
perubahan. Supaya terjadi reaksi, molekul- molekul yang bertumbukan harus memiliki
total energi kinetik yang sama atau lebih besar dari suatu nilai minimum, yaitu energi
aktivasi, Ea, yang dibutuhkan untuk menginisiasi suatu reaksi kimia.
Sebagai contoh adalah reaksi metil isonitril menjadi asetonitril (Gambar 1.8),
yang menggambarkan bagaimana energi potensial molekul berubah selama reaksi :

Gambar 1.8. Profil energi isomerisasi metil isonitril.

Pada gambar terlihat bahwa energi harus diberikan untuk mengulur ikatan
antara gugus H3C dan gugus N≡C sehingga gugus N≡C dapat berputar. Setelah gugus
N≡C cukup terputar, maka ikatan C–C mulai terbentuk dan energi molekul
berkurang. Jadi energi penghalang adalah energi yang diperlukan untuk
memaksa molekul melewati keadaan intermediet tak stabil untuk menghasilkan
produk reaksi. Energi aktivasi, Ea adalah selisih antara energi awal molekul dan energi
tertinggi pada jalan reaksi. Susunan atom-atom pada keadaan energi teratas disebut
kompleks teraktivasi atau keadaan transisi.
Reaksi konversi H3C–N≡C menjadi H3C–C≡N adalah reaksi isotermik, dimana
energi produk lebih kecil dari energi reaktan. Beda energi reaksi Ek tidak mempengaruhi
laju reaksi. Pada umumnya laju tergantung pada besarnya Ea, makin rendah Ea makin
cepat reaksi. Reaksi baliknya adalah endotermik, sehingga energi penghalangnya
adalah jumlah dari Ek dan Ea.
Ilustrasi pada Gambar 1.9 berikut menunjukkan distribusi energi kinetik pada
dua temperatur yang berbeda :

Gambar 1.9. Pengaruh temperatur pada


distribusienergi kinetik.
Pada gambar tersebut terlihat bahwa pada temperatur yang lebih tinggi lebih
banyak fraksi molekul yang memiliki energi kinetik lebih besar dari E a, sehingga laju
reaksi juga lebih besar. Fraksi molekul yang memiliki energi yang sama atau lebih
besar dari Ea.
Hubungan antara katalis dengan energi pengaktifan terlihat pada gambar
dibawah ini :

Gambar Hubungan antara Katalis dengan Energi Aktivasi.


Homogenitas katalis dapat dilihat dari fasenya, oleh karena itu katalis
homogen merupakan katalis yang mempunyai fase yang sama dengan fase reaktan,
sedangkan katalis heterogen merupakan katalis yang mempunyai fase berbeda
dengan fase reaktannya. Pada umumnya katalis heterogen digunakan dalam wujud
padat. Sementara itu, reaktannya berwujud gas atau cairan.Pemberian katalis pada
sistem reaksi akan memunculkan tambahan tahap- tahap reaksi yang memberikan jalan
alternatif lain dengan energi aktivasi (Ea) lebih rendah. Agar tumbukan partikel
menghasilkan reaksi maka partikel harus mempunyai energi minimal sebesar energi
aktivasi (Ea). Tahap pengikatan katalis dan tahap pelepasan katalis pada akhir reaksi
merupakan tahap-tahap reaksi tambahan. Katalis hanya dapat berfungsi untuk suatu
reaksitertentu, sehingga katalis dikatakan bersifat spesifik. Fungsi katalis adalah untuk
menurunkan energi aktivasi. Dengan adanya katalis akan mengakibatkan reaksi
berlangsung dalam beberapa tahap.

G. Persamaan Arrhenius
Arrhenius mencatat, bahwa peningkatan laju kebanyakan reaksi dengan
meningkatnya temperatur adalah tidak linier. Demikian juga ditemukan bahwa data
laju reaksi mengikuti persamaan yang didasarkan pada 3 faktor, yaitu (a) fraksi
molekul yang memiliki energi yang sama atau lebih besar dari Ea, (b) jumlah
tumbukan yang terjadi per detik dan (c) fraksi tumbukan molekul yang memiliki
orientasi yang sesuai. Ketiga faktor ini dirumuskan dalam persamaan Arrhenius sebagai :

Dimana k adalah tetapan laju, Ea adalah energi aktivasi, R adalah konstanta gas
(8,314J/mol.K) dan T adalah temperatur absolut. Faktor frekuensi A adalah tetap atau
hampir konstan bila temperatur berubah.
Untuk menentukan energi aktivasi, persamaan diubah dalam bentuk logaritma
naturalnya :

yang akan menghasilkan hubungan linier antara ln k terhadap 1/T dengan kemiringan -
Ea/RT dan potongan sumbu y sama dengan ln A (Perhatikan Gambar 1.10). Jadi energi
aktivasi dapat ditentukan dengan mengukur nilai k pada beberapa temperatur.
H. Mekanisme reaksi
Persamaan reaksi yang merupakan persamaan rumus kimia reaktan menjadi
produk reaksi tidak menggambarkan bagaimana reaksi itu terjadi. Proses yang
menggambarkan terjadinya reaksi kimia disebut mekanisme reaksi, yang secara terperinci
menjelaskan bagaimana suatu ikatan terputus dan terbentuk dengan perubahan relatif
posisi atom-atom selama reaksi.

Reaksi-reaksi elementer
Reaksi terjadi sebagai hasil tumbukan antara molekul-molekul yang bereaksi, seperti
antara molekul-molekul metil isonitril (CH3NC) yang dapat menyediakan energi yang
mencukupi untuk terjadinya penyusunan sebagai berikut:

reaksi ini terjadi melalui sebuah tahapan reaksi tunggal dan disebut reaksi elementer
atau proses elementer. Banyaknya molekul yang berpartisipasi sebagai reaktan pada
reaksi elementer menentukan molekularitas dari reaksi. Bila hanya sebuah molekul
tunggal yang berpartisipasi disebut unimolekul, seperti pada penyusunan metil isonitril
adalah proses unimolekular, sedangkan dua molekul yang berpartisipasi disebut
bimolekular dan bila 3 molekul secara simultan bertumbukan (sangat jarang terjadi),
disebut termolekular.
GLOSARIUM

 Laju Reaksi adalah perubahan konsentrasi reaktan atau produk per satuan waktu.
 Hukum Laju untuk reaksi sederhana berbanding lurus dengan hasil kali konsentrasi-
konsentrasi reaktan yang dipangkatkan dengan koefisien reaksinya
 Orde Reaksi merupakan jumlah pangkat faktor konsentrasi dalam bentuk laju bentuk
diferensial.
 Tetapan (Konstanta) laju reaksi (k) adalah perbandingan antara laju reaksi dengan
konsentrasi reaktan.
 Energi kinetik adalah energi yang dimiliki suatu benda karena gerakan dilakukan atau
dialaminya.
 Energi Aktivasi adalah energi yang harus dilampaui agar reaksi kimia dapat terjadi.
 Katalis adalah zat yang dapat mempercepat laju reaksi kimia tanpa mengalami suatu
perubahan secara permanen.
DAFTAR PUSTAKA

Brady, J, E. 1989. Kimia Universitas Asas dan Struktur. Binarupa Aksara: Bandung

Chang, Raymond. (2005). General Chemistry The Essentiap Concepts Third Edition. USA:
McGraw Hill

Haryono, Heni Ekawati. 2019. Kimia Dasar. Yogyakarta : Deepublish.

Keenan, C. W., Kleinfelter, D.C., Wood, J.H. (1984). Ilmu Kimia untuk Universitas,
terjemahan oleh Hadyana Pudjaatmaka. Edisi 6, Jakarta: Erlangga

Petrucci, R.H. (1992). Kimia Dasar Prinsip dan Terapan Modern, terjemahan oleh Suminar
Achmadi. Jakarta : Erlangga.

Syukri, S. (1999). Kimia Dasar 2. Bandung : ITB.

Sari, Wiwik Kartika, Ella Izzatin Nada .2020. Efektivitas Lesson Design Berbasis
Hypothetical Learning Trajectory dalam Pembelajaran Faktor yang Mempengaruhi
Laju Reaksi. JNSI: Journal of Natural Science and Integration, Vol. 3, No. 1, April
2020, Hal 26-34

Whitten, K, W., Davis, R, E., Larry Peck, M., Stanley G, G. (2004). General Chemistry 7th
Ed. USA:Brooks/Cole

Anda mungkin juga menyukai