Anda di halaman 1dari 22

TUGAS

MEMBUAT PROPOSAL SKRIPSI BAB II


MATA KULIAH METODOLOGI PENELITIAN PENDIDIKAN BAHASA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PAKUAN

NAMA : Regita Aprillia amanda


NPM : 032118028 nilai
KELAS :6A
JUDUL : Penerapan Model Somatic-Audiotory-Visualization-Intellectualy (SAVI)
dalam Keterampilan Berbicara Teks Drama Kelas VIII SMP di Bogor.

Petunjuk:
1. Sebelum mengerjakan tugas ini, pastikan bahwa Anda sudah memiliki judul
penelitian.
2. Perhatikan sistematika yang telah diberikan.

Tugas:

Buatlah Kerangka proposal penelitian skripsi BAB II dengan memperhatikan sistematika dan
pedoman penulisan proposal skripsi, dan disesuaikan dengan jenis penelitian yang Anda akan
lakukan.

Untuk Bab II penelitian kuantitatif, sbb:

A. Deskripsi Teori
B. Hasil Penelitian yang Relevan
C. Kerangka Berpikir
D. Hipotesis Penelitian

Untuk Bab II penelitian kualitatif, sbb:


A. Kajian Teori Fokus Penelitian
B. Kajian Teori Subfokus Penelitian 1
C. Kajian Teori Subfokus Penelitian 2

Selamat mengerjakan semoga sukses


BAB II
TINJAUAN TEORITIS, KERANGKA BERPIKIR, DAN PENGAJUAN HIPOTESIS
A. Deskripsi Teori
1) Model Pembelajaran
a) Pengertian Model Pembelajaran
Model pembelajaran merupakan seluruh rangkaian penyajian materi
ajar yang meliputi segala aspek sebelum, sedang, dan sesudah pembelajaran
dilakukan guru serta segala fasilitas yang terkait yang digunakan secara
langsung atau tidak langsung dalam proses belajar mengajar.
Model mengajar dapat diartikan sebagai suatu rencana atau pola yang
digunakan dalam menyusun kurikulum, mengatur materi peserta didik,
memberikan petunjuk kengajar di kelas dalam setting pengajaran atau setting
lainnya.
b) Fungsi Model Pembelajaran
Fungsi model pembelajaran ialah sebagai pedoman bagi pengajar dan
para guru dalam melaksanakan pembelajaran. Hal ini menunjukan bahwa
setiap model yang akan digunakan dalam pembelajaran menentukan
perangkat yang dipakai dalam pembelajaran tersebut. Selain itu, model
pembelajaran juga berfungsi sebagai pendoman bagi para perancang
pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan dan melaksanakan
aktivitas belajar mengajar sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai.

2) Model Pemberlajaran Somatic-Audiotory-Visualization-Intellectualy (SAVI)


a) Pengertian Model Pembelajaran SAVI
Kegiatan pembelajaran dalam implementasinya mengenal banyak
istilah untuk menggambarkan cara mengajar yang akan dilakukan oleh guru,
saat ini begitu banyak macam model pembelajaran yang bertujuan untuk
meningkatkan kualitas pembelajaran menjadi lebih baik. Model pembelajaran
yang dapat diterapkan salah satunya yakni model pembelajaran Somatic-
Audiotory-Visualization-Intellectualy (SAVI).
Model pembelajaran SAVI menurut Ngalimun (2014: 166) adalah so-
matic yang bermakna gerakan tubuh (hands-on, aktivitas fisik) dimana belajar
dengan mengaalami dan melakukan. Auditory yang bermakna bahwa belajar
haruslah dengan melalui mendengarkan, menyimak, berbicara, presentasi,
argumentasi, mengemukakan pendapat, dan menanggapi. Visualization yang
bermakna bahwa belajar haruslah menggunakan indera mata dan alat peraga.
Intellectualy yang bermakna bahwa belajar haruslah menggunakan
kemampuan berpikir (minds-on) belajar haruslah dengan menggunakan
konsentrasi pikiran dan berlatih dengan cara bernalar, menyelidiki,
mengidentifikasi, menemukan, menciptakan, mengkontruksi, memecahkan
masalah dan menerapkan.
Model pembelajaran SAVI menurut Meier (2002: 91) adalah pembelajaran
yang menggabungkan gerakan fisik dengan aktivitas intelektual dan
penggunaan semua indra. Pendapat tersebut senada dengan pendapat
ngalimun dalam pengertian model pembelajaran SAVI, sehingga dapat
disimpulkan bahwa model pembelajaran SAVI adalah proses pembelajaran
dengan melibatkan indra dan emosi dalam proses belajar sebagai cara be;ajar
alami yang semakin banyak menggunakan alat indra maka semakin baik.
b) Karakteristik Model Pembelajaran Savi
1. Somatic
Belajar somatic menurut Meier (2002 : 92) berarti belajar dengan
indera peraba, kinestis, praktis melibatkan fisik dan menggunakan
serta menggerakan tubuh sewaktu belajar. Siswa dengan cara belajar
somatic jika dibatasi menggunakan tubuh maka sepenuhnya dalam
belajar, maka guru menghalangi fikiran mereka sepenuhnya.
2. Audiotory
Pikiran audiotori lebih kuat daripada yang kita sadari. Telinga terus
menerus menangkan dan menyimpan informasi audiotori, bahkan
tanpa disadari. Audiotory menuurut Ngalimun (2014 : 166) audiotory
bermakna bahwa belajar harus dengan melalui mendengarkan,
menyimak, berbicara, presentasi, argumentasi, mengemukakan
pendapat, dan menanggapi.
3. Visualization
Pembelajaran visual merupakan belajar yang paling baik jika mereka
dapat melihat contoh dari dunia nyata, diagram, peta gagasan, ikon,
gambaran, dan gambaran dari segala macam hal ketika mereka sedang
belajar. (Meier 2002 : 98).
4. Intellectualy
Intellectual adalah bagian diri yang merenung, mencipta, memecahkan
masalah, dan mengandung makna (Meier, 2002 :99). Tindakan
pembelajar yang menggunakan kecerdasan dan pikiran mereka secara
internal untuk merenungkan suatu pengalaman dan menciptakan
hubungan, makna, dan nilai dari pengalaman.
Karakteristik yang sudah dijelaskan diatas dapat disimpulkan
bahwa somatic adalah belajar dengan bergerak dan berbuat. Audiotory
adalah belajar dengan cara mendengarkan. Visualization adalah
belajar dengan cara melihat, mengamati, dan menggambarkan. Dan
yang terakhir, Intellectualy adalah belajar dengan memecahkan
masalah dan merenung.
c) Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran SAVI
Model pembelajaran yang akan dilakukan oleh guru dalam proses
pembelajaran akan menentukan berhasil atau tidaknya pembelajaran yang
berlangsung. Model pembelajaran memliki kelebihan dan kekurangan yang
berbeda-beda, begitu juga dengan model pembelajaran SAVI.
Kusumayuda (2010 : 9) berpendapat mengenai kelebihan model
pembelajaran SAVI yaitu siswa terlihat antusias dalam proses pembelajaran
karena model pembelajaran SAVI berorientasi keterampilan proses. Siswa
mengikuti pembelajaran aktif karena siswa terlibat langsung dalm
pembelajaran sehingga aktif, menarik, menyenangkan.
Model pembelajaran SAVI selain memiliki kelebihan juga memiliki
kekurangan. Redika (2014 : 8) menjelaskan kekurangan model pembelajaran
SAVI ialah masih ada beberapa siswa yang kurang dalam kegiatan somatic (
melakukan gerak pindah tempat saat mengeksploasi media) dan kegiatan
intelektual (memecahkan soal dan bersifat penerapan).
Kelebihan model pembelajaran SAVI menurut Kusumayuda adalah
siswa dapat mengikuti pembelajaran secara aktif, sedangkan kelemahan dari
model pembelajaran SAVI menurut Redika adalah masih terdapat beberapa
siswa yang kurang aktif dalam pembelajaran. Penjelasan dari kelebihan dan
kelemahan model SAVI diatas disimpulkan jika peran serta siswa dalam
pembelajaran dan kelemahannya adalah siswa kurang aktif dalam percobaan.
d) Langkah-langkah Model Pembelajaran SAVI
Langkah-langkah model pembelajaran SAVI memiliki beberapa tahap
model pembelajaran dan tahap penerapan dalam pembelajaran yang nantinya
akan diterapkan dikelas eksperimen. Tahap model pembelajaran SAVI yang
disampaikan oleh Meier (2002: 106-108) , model pembelajaran SAVI
memiliki empat tahap, yaitu tahap persiapan, tahap penyampaian, tahap
pelatihan, dan tahap penampilan hasil. Penjelasan lebih lanjut mengenai tahap
model pembelajaran SAVI sebagai berikut :
1. Tahap model pembelajaran SAVI
a) Persiapan
Tujuan tahap persiapan menurut Rusman (2011: 373-374) adalah
mneimbulkan minat para pembelajar, memberi mereka perasaan
positif mengani pengalaman belajar yang akan datang, dan
menempatkan mereka dalam situasi optimal untuk belajar. Ada
banyak unsur dalam mempersiapkan siswa untuk menerima
pengalaman belajar, Meier (2002: 110) menjelaskan beberapa
unsur yang penting dalam tahapan persiapan seperti :
(1) Sugestu positif
(2) Lingkungan fisik dan positif
(3) Tujuan yang jelas dan bermakna
(4) Manfaat bagi siswa
(5) Sarana persiapan belajar sebelum pembelajaran
(6) Lingkungan sosial yang positif
(7) Keterlibatan penuh siswa
(8) Rangsangan rasa ingin tahu
b) Penyimpanan
Tujuan tahap penyampaian adalah membantu siswa meneukan
materi belajar yang baru dengan cara yang menarik,
menyenangkan, relavan, melibatkan panca indera, dan cocok untuk
semua gaya belajar (Meier 2002: 144) dapat dilakukan dengan
cara:
(1) Uji-coba kolaboratif dan berbagai pengetahuan
(2) Pengamatan terhadap fenomena dunia nyata
(3) Keterlibatan seluruh otak, dan seluruh tubuh
(4) Presentasi interaktif
(5) Grafik dan penunjang presentasi berwarna-warni
(6) Variasi agar cocok dengan semua gara belajar
(7) Proyek pembelajaran berdasarkan kemitraan
(8) Pelatihan menemukan (pribadi, berpasangan, dan tim)
(9) Pengalaman belajar kontekstual dari dunia nyata
(10) Berlatih memecahkan masalah
c) Pelatihan
Meier (2002: 155) menjelaskan tujuan tahap penelitian adalah
membantu pembelajar mengintegritasikan dan menyerap
pengetahuan dan keterampilan baru dengan berbagai cara, seperti:
(1) Aktivitas memproses siswa
(2) Unsaha/Umpan balik secara langsung
(3) Simulasi dunia nyata
(4) Permainan dalam belajar
(5) Latihan belajar lewat praktik
(6) Aktivits pemecahan masalah
(7) Perenungan dan artikulasi individual
(8) Dialog secara berpasangan dan berkelompok
(9) Pengajaran dan tinjauan kolaboratif
(10) Aktivitas pratktik membangun keterampilan
(11) Mengajar kembali
d) Penampilan Hasil
Tujuan tahap penampilan hasil adalah membantu pelajar
menerapkan mengembangkan pemgetahuan serta keterampilan
baru mereka dan mengembangkan pengetahuan serta keterampilan
baru mereka pada pekerjaan sehingga pembelajaran tetap melekat
dan presentasi terus meningkat (Meier, 2002 :171), tahap
penampilan hasil dapat dilaksanakan dengan cara:
(1) Penerapan segera di dunia nyata
(2) Menciptakan dan pelaksanaan rencana aksi
(3) Aktivitas penguatan lanjutan
(4) Materi penguatan pasca sesi
(5) Pengarahan berkelanjutan
(6) Evaluasi presentaso dan umpan balik
(7) Aktivitas dukungan kawan-kawan
(8) Perubahan organisasi dan lingkungan yang mendukung
3) Keterampilan Berbicara
a) Pengertian Keterampilan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga (2011:1180),
keterampilan merupakan kecakapan untuk menyelesaikan tugas; ~ bahasa Ling
merupakan kecakapan seseorang untuk bahasa dalam menulis, membaca,
menyimak, atau berbicara. Keterampilan merupakan kecakapan menyelesaikan
tugas (Sanjaya Yasin, 2012:45). Sedangkan menurut Satria (2008:32),
pengertian keterampilan (skiil) merupakan kegiatan yang memerlukan praktik
atau dapat diartikan sebagai implikasi dari aktivitas.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat ditegaskan bahwa
keterampilan merupakan kecakapan seseorang dalam menyelesaikan suatu
kegiatan atau tugas yang berhubungan dengan aktivitas praktik. Kecakapan
yang dimaksudkan bermacam-macam, sesuai dengan kegiatan atau tugas yang
diberikan.
b) Pengertian Berbicara
Berbicara merupakan salah satu keterampilan dalam berbahasa yang
digunakan sehari-hari. Berbicara dilakukan sebagai alat komunikasi yang lebih
efektif dan memegang peranan penting dalam kehidupan. Definisi dari
berbicara berbeda-beda, diantaranya sebagai berikut.
Menurut Nuraeni (2002:25) berbicara adalah proses penyampaian
informasi dari pembicara kepada pendengar dengan tujuan terjadi perubahan
pengetahuan, sikap, dan keterampilan pendengar sebagai akibat dari informasi
yang diterimanya. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berbicara adalah
suatu berkata, bercakap, berbahasa atau melahirkan pendapat, dengan berbicara
manusia dapat mengungkapkan ide, gagasan, perasaan kepada orang lain
sehingga dapat melahirkan suatu interaksi.
Berdasarkan beberapa pengertian tentang pengertian berbicara di atas
dapat ditegaskan bahwa berbicara adalah kemampuan seseorang mengucapkan
bunyi-bunyi bahasa dalam proses penyampaian informasi kepada pendengar
untuk mengungkapkan ide, gagasan, maupun pesan sehingga melahirkan suatu
interaksi. Pada proses interaksi berbicara yang baik harus ada tiga komponen
utama, yaitu (1) pembicara, sebagai penyampai pesan ; (2) isi pesan ; dan (3)
pendengar, sebagai penerima pesan
c) Pengertian Keterampilan Berbicara
Keterampilan berbicara merupakan keterampilan yang mekanistik.
Semakin banyak berlatih, semakin dikuasai dan terampil seseorang dalam
berbicara. Tidak ada orang yang langsung terampil berbicara tanpa melalui
proses latihan (Kundharu Saddhono dan Slamet, 2012: 36). Sedangkan menurut
Muammar (2008: 320) keterampilan berbicara didefinisikan sebagai berikut.
“Keterampilan berbicara pada hakikatnya merupakan keterampilan
mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau mengucapkan kata-kata untuk
menceritakan, mengekspresikan, menyatakan, menyampaikan pikiran, gagasan,
dan perasaan kepada oang lain dengan kepercayaan diri untuk berbicara secara
wajar, jujur, benar, dan bertanggung jawab, serta dengan menghilangkan
masalah psikologis seperti rasa malu, rendah diri, ketegangan, berat lidah, dan
lain-lain.”
Menurut Iskandarwassid dan Dadang Sunendar (2011: 241),
keterampilan berbicara merupakan keterampilan mereproduksi arus sstem
bunyi artikulasi untuk menyampaikan kehendak, kebutuhan perasaan, dan
keinginan kepada orang lain.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat ditegaskan bahwa
keterampilan berbicara merupakan keterampilan yang dimiliki seseorang untuk
menyampaikan ide, perasaan, maupun gagasan kepada orang lain secara lisan.
d) Hakikat Berbicara
Berbicara pada hakikatnya merupakan proses komunikasi, karena
terjadi pemindahan pesan dari suatu sumber ke tempat yang lainnya. Saat
berbicara memanfaatkan beberapa faktor seperti yang dungkapkan Zamzani dan
Haryadi (1996 : 54) bahwa berbicara memerlukan faktor fisik, psikologis,
semantik, dan linguistik. Faktor fisik yang dimanfaatkan orang saat berbicara
adalah alat ucap untuk menghasilkan bunyi bahasa. Selain itu fisik lain yang
dimanfaatkan saat berbicara adalah tangan, kepala, dan roman muka. Faktor
psikologis yang dimanfaatkan salah satunya stabilitas emosi yang berpengaruh
pada kualitas suara yang dihasilkan dan juga keruntutan bahan pembicaraan.
Faktor sematik berhubungan dengan makna, sedangkan faktor linguistik
berhubungan dengan struktur bahasa.
Dari penjabaran di atas dapat ditegaskan bahwa berbicara merupakan
kegiatan berkomunikasi secara lisan yang berisi penyampaian pesan dari
sumbernya ke tempat yang lain dengan disertai gerak, mimik, dan ekspresi
sesuai dengan apa yang dibicarakan oleh pembicara. Berbicara dilakukan oleh
manusia sebagai makhluk sosial untuk memberikan informasi, saling bertukar
pengalaman, mengutarakan perasaan, dan mengemukakan suatu ide.
Melakukan berbicara merupakan hal yang mudah jika dilakukan dengan
memperhatikan langkah-langkah berbicara yang baik dan benar. Jika berbicara
dengan baik dan benar maka pesan yang akan disampaikan dan yang diterima
oleh penerima pesan akan sama dan tidak ada kesalahpahaman.
Berbicara erat hubungannya dengan menyimak, karena berbicara dan
menyimak merupakan suatu komunikasi dua arah yang saling melengkapi.
Seperti saat berkomunikasi di kehidupan sehari-hari, dimana saat ada yang
berbicara disitu juga ada yang menyimak atau sebagai pendengar. Hal ini
membuktikan bahwa berbicara dan menyimak sangat erat hubungannya dalam
keterampilan berbahasa. Namun tidak hanya itu, keterampilan berbahasa yang
lain seperti membaca dan menulis juga tidak bisa terpisah satu dengan yang
lain.
Ada beberapa hal yang memperlihatkan hubungan antara berbicara dan
menyimak (HG Tarigan, 2008 : 4-5) adalah sebagai berikut:
1. Ujaran(speech)biasanyadipelajarimelaluimenyimakdanmeniruatau imitasi.
Hal ini membuat contoh atau model yang disimak oleh siswa sangat penting
dalam penguasaan berbicara.
2. Kata-kata yang akan dipakai serta dipelajari oleh siswa biasanya ditentukan
oleh perangsang (stimulus) yang ditemui. Contohnya kehidupan di desa atau
kota dan kata-kata yang banyak memberi bantuan dalam menyampaikan ide
atau gagasan.
3. Ujaran siswa mencerminkan pemakaian bahasa di rumah maupun masyarakat
tempat tinggalnya. Contohnya ucapan, intonasi, kosakata, penggunaan kata
maupun pola dalam kalimatnya.
4. Anak yang lebih muda dapat lebih memahami kalimat-kalimat yang jauh
lebih panjang dan rumit daripada kalimat-kalimat yang diucapkannya.
5. Meningkatkan keterampilan menyimak berarti membantu meningkatkan
kualitas berbicara seseorang.
6. Bunyi atau suara merupakan faktor penting dalam meningkatkan cara
pemakaian kata-kata siswa. Oleh karena itu, siswa akan tertolong jika
menyimak ujaran-ujaran yang baik dari guru, rekaman-rekaman yang bermutu,
dan cerita yang bernilai tinggi.
7. Berbicara dengan bantuan alat peraga (visual aids) akan menghasilkan
penangkapan informasi yang lebih baik pada pihak penyimak. Umumnya, siswa
akan meniru bahasa yang didengarnya.
Berdasarkan pernyataan HG Tarigan (2008: 4-5) yang memperlihatkan
hubungan antara berbicara dan menyimak sesuai dengan penggunaan teknik
cerita berantai yang akan digunakan peneliti. Pada teknik cerita berantai
diperlukan keterampilan menyimak dan berbicara. Menyimak dilakukan pada
saat siswa menerima informasi dari siswa lain yang kemudian akan
disampaikan lagi kepada siswa selanjutnya melalui berbicara.
Kata-kata atau ujaran yang diterima pada saat menyimak mempengaruhi
berbicaranya. Apabila pada saat menyimak, siswa dapat menangkap isi pesan
tersebut dengan baik maka saat berbicara juga sesuai dengan isi pesan yang
diterimanya. Hal ini menunjukkan jika keterampilan menyimak baik, maka
akan membantu meningkatkan kualitas berbicara siswa.
e) Tujuan Berbicara
Berbicara memiliki tujuan, tujuan yang utama dalam berbicara adalah
untuk berkomunikasi. Dalam berkomunikasi agar efektif, pembicara haruslah
memahami makna dari segala sesuatu yang akan dikomunikasikannya.
Sehingga komunikasi terjalin baik, tanpa ada salah paham antara pembicara dan
pendengar.
Menurut Och dan Winker (dalam Tarigan, 2008 : 16) pada dasarnya
berbicara memiliki tiga tujuan umum, yaitu sebagai berikut.
1. Memberitahukan, melaporkan (to inform)
2. Menjamu, menghibur (to entertain)
3. Membujuk, mengajak, mendesak, meyakinkan (to persuade)
Berdasarkan pernyataan di atas menurut Och dan Winker (dalam
Tarigan, 2008 : 16) berbicara mempunyai maksud untuk menginformasikan
sesuatu hal kepada orang lain. Selain itu, berbicara juga dapat memiliki maksud
untuk menghibur dan mengajak lawan bicaranya untuk melakukan sesuatu.
Sejalan dengan pendapat di atas, Djago Tarigan (1990:6) dalam
Kundharu Saddhono & Slamet (2012: 37), menyatakan bahwa tujuan berbicara
meliputi : (1) menghibur, (2) menginformasikan, (3) menstimulasi, (4)
meyakinkan, (5) menggerahkan. Sedangkan menurut Mudini Salamat Purba
(2009: 4-5), secara umum tujuan pembicaraan adalah: (1) mendorong atau
menstimulasi, (2) meyakinkan, (3) menggerakkan, (4) menginformasikan, dan
(5) menghibur.
Jadi, tujuan berbicara dikatakan mendorong atau menstimulasi apabila
pembicara berusaha memberi semangat dan gairah hidup kepada pendengar.
Reaksi yang diharapkan adalah menimbulkan inspirasi atau membangkitkan
emosi para pendengar. Tujuan berbicara dikatakan meyakinkan apabila
pembicara berusaha mempengaruhi keyakinan, pendapat, atau sikap para
pendengar.
Tujuan berbicara dapat dikatakan menggerakkan apabila pembicara
menghendaki adanya tindakan atau perbuatan dari para pendengar. Misalnya,
berupa seruan persetujuan atau ketidaksetujuan, engumpulan dana,
penandatanganan suatu resolusi, atau mengadakan aksi sosial. Tujuan berbicara
dikatakan menginformasi apabila pembicara ingin memberi informasi tentang
sesuatau agar para pendengar dapat mengerti dan memahaminya. Misalnya
seorang guru yang menyampaikan pelajaran di kelas, seorang dokter yang
menyampaikan masalah kesehatan, dan sebagainya. Tujuan berbicara dikatakan
menghibur apabila pembicara bermaksud untuk menggembirakan atau
menyenangkan para pendengarnya.pembicaraan seperti ini biasanya dilakukan
dalam acara pesta, ulang tahun, atau pertemuan gembira yang lainnya. Reaksi
yang diharapkan dari berbicara adalah timbulnya rasa gembira, senang, dan
bahagia pada hati pendengarnya.
Berdasarkan tujuan berbicara yang dipaparkan di atas, maka dapat
ditegaskan tujuan berbicara adalah untuk menginformasikan, menghibur,
meyakinkan, dan menginformasikan orang lain dalam rangka berkomunikasi
untuk menambah wawasan dan pengetahuan.
f) Manfaat Berbicara
Sudah dijelaskan bahwa berbicara merupakan keterampilan atau
kemampuan yang perlu dilatih. Bila keterampilan berbicara sering dilatih
sedemikian rupa akan menghasilkan kemampuan yang luar biasa, tidak akan
menjadi mustahil bahwa kemampuan menulis tersebut dapat membantu dalam
banyak hal, salah satunya bisa dijadikan sebuah profesi yang menguntungkan
dan bermanfaat.
Berkenaan dengan manfaat, berbicara memiliki manfaat-manfaat yang
beragam, salah satunya memperlancar komunikasi antar sesama, meningkatkan
kepercayaan diri, mempermudah penyampaian informasi, memudahkan untuk
bersosialisasi dilingkungan masyarakat, serta dapat mengemukakan dan
mengekspresikan pendapat/pikiran disekolah.
4) Teks Drama
a) Pengertian Teks Drama
Drama adalah salah satu genre sastra yang berupa dialog-dialog dan
memungkinkan untuk dipertunjukan sebagai tontonan. Menurut istilah drama
berasal dari kata Yunani, draomai yang berarti berbuat, bertindak, bereaksi, dan
sebagainya. Jadi, kata drama dapat diartikan sebagai perbuatan atau tindakan.
Secara umum pengertian drama adalah karya sastra yang ditulis dalam bentuk
dialog dengan maksud dipertunjukan oleh aktor.
Hasanuddin (1996, hlm. 4) mengemukakan bahwa drama adalah karya
sastra yang memiliki dua dimensi karakteristik yaitu dimensi sastra dan dimensi
seni pertunjukan. Drama modern dihadapkan pada cerita yang ditulis dan
menjadi milik kreativitas individu. Unsur drama yang dihasilkan dari rekaan
imajinatif pengarang inilah yang mencerminkan sebagai genre sastra. Dalam hal
ini, drama yang akan dianalisis pun berupa naskah drama, bukan drama dalam
seni pertunjukan.
Kosasih (2012, hlm. 132) mengemukakan bahwa drama adalah bentuk
karya sastra yang bertujuan menggambarkan kehidupan dengan menyampaikan
pertikaian dan emosi melalui lakuan dan dialog. Lakuan dan dialog dalam
drama tidak jauh berbda dengan kehidupan sehari-hari. Jadi, drama adalah
rekaan dalam bentuk adegan yang mencertikan kehidupan sehari-hari.
Pada umumnya drama memiliki dua arti, yaitu drama dalam arti luas dan
drama dalam arti sempit. Dalam arti luas, pengertian drama adalah semua
bentuk tontonan yang mengandung cerita yang dipertunjukan di depan orang
banyak. Sedangkan dalam arti sempit, pengertian drama adalah kisah hidup
manusia dalam masyarakat yang di proyeksikan ke atas panggung atau
dipentaskan. Drama merupakan karya sastra yang fleksibel, dan memiliki
keunikan tersendiri.
Drama naskah disebut juga sebagai sastra lakon. Sebagai salah satu
genre sastra, drama naskah dibangun oleh struktur fisik (kebahasaan) dan
struktur batin (semantik, makna). Wujud fisik sebuah naskah drama adalah
dialog atau ragam tutur. Ragam tutur itu adalah ragam sastra . Waluyo (2002,
hlm 2) juga mengemukakan bahwa naskah drama adalah salah satu karya sastra
yang sejajar dengan prosa dan puisi namun bentuknya berbeda dengan prosa
maupun puisi. Naskah drama memiliki bentuk sendiri yaitu ditulis dalam bentuk
dialog yang didasarkan atas konflik batin dan mempunyai kemungkinan
dipentaskan. Drama adalah suatu ciri cerita yang dipentaskan diatas panggung
(disebut teater) dan atau tidak dipentaskan di atas panggung (drama radio,
televisi, atau film).
Sebagai karya sastra, drama memiliki keunikan tersendiri. Teks drama
diciptakan tidak untuk dibaca saja, namun juga harus memiliki kemungkinan
untuk dipentaskan. Karya drama sebagai karya sastra dapat berupa rekaman dari
perja- lanan hidup pengarang yang menciptakannya. Pengarang dapat diilhami
pengarang lain, disamping masyarakat, lingkungan, dan alam sekitar.
Drama secara luas dapat diartikan sebagai salah satu bentuk sastra yang
isinya tentang hidup dan kehidupan yang disajikan atau dipertunjukkan dalam
bentuk gerak. Drama merupakan tiruan kehidupan manusia yang dipentaskan.
Unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik dalam drama adalah unsur pembangun
drama. Setiap karya sastra dengan bentuk penyajian apapun pasti memiliki
unsur yang membangun di dalamnya.
b) Struktur Drama
Drama memiliki struktur yang dapat membangun lakon menjadi semakin
menarik. Sebagaimana karya prosa fiksi memiliki struktur lainnya, penulis akan
mengemukakan beberapa struktur drama menurut para ahli:
Endraswara (2011, hlm. 21) mengatakan, “Drama memiliki beberapa struk- tur
baku”, di antaranya:
1) Babak
Babak ialah bagian dari naskah drama itu yang merangkum semua peristiwa
yang terjadi disatu tempat pada urutan waktu tertentu.
2) Adegan
Adegan ialah bagian dari babak yang batasnya ditentukan oleh perubahan
peristiwa berhubungan dengan datangnya atau perginya seorang atau lebih
tokoh cerita ke atas pentas.
3) Dialog
Dialog ialah bagian dari naskah drama yang berupa percakapan antara satu
tokoh dengan yang lain.
4) Prolog
Prolog ialah bagian naskah yang ditulis pengarang pada bagian awal dan
pengantar naskah yang dapat berisi satu atau beberapa keterangan atau
pendapat pengarang tentang cerita yang akan disajikan.
5) Epilog
Epilog ialah penutup drama, biasanya diisi oleh pembawa acara.
Berdasarkan uraian tersebut, struktur drama merupakan susunan yang terdiri
atas unsur-unsur yang berhubungan satu sama lain dalam satu kesatuan.
Struktur tersebut harus terdapat dalam suatu drama agar menjadi sebuah
drama yang utuh.
c) Unsur-unsur Drama
Drama adalah bentuk karya sastra yang tersusun dari unsur intrinsik dan
ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur yang membangun sebuah drama dan
berada di dalam drama itu sendiri, seperti plot, tokoh, dialog, latar dan
sebagainya. Berikut unsur-unsur drama menurut beberapa ahli.
1) Plot
Plot atau alur adalah rangkaian peristiwa dan konflik yang dijalin
dengan seksama dan menggerakan jalannya cerita. Hasanuddin (1996, hlm.
90) mengemukakan bahwa plot/alur merupakan merupakan hubungan
antara satu peristiwa atau kejadian atau kelompok peristiwa dengan
peristiwa lainnya.
Kosasih (2012, hlm. 135) mengemukakan bahwa sebuah cerita drama
pun harus bergerak dari suatu permulaan, melalui bagian tengah, menuju
suatu akhir. Dalam drama bagian ini dikenal sebagai eksposisi, komplikasi,
dan resolusi. Eksposisi suatu cerita menentukan aksi dalam waktu dan
tempat, memperkenalkan para tokoh, menyatakan situasi sesuatu cerita,
mengajukan konflik yang akan dikembangkan dalam bagian utama cerita
tersebut, dan adakalanya membayangkan resolusi yang akan dibuat dalam
cerita itu. Komplikasi atau bagian tengah mengembangkan konflik.
Pengarang dapat menggunakan teknik flash back atau sorot balik untuk
memperkenalkan penonton dengan masa lalu, menjelaskan suatu situasi,
atau untuk memberikan motivasi bagi aksi-aksinya. Resolusi hendaknya
muncul secara logis dari apa yang telah mendahuluinya di dalam
komplikasi. Titik batas komplikasi dan resolusi disebut klimaks, pada
klimaks itulah terjadi perubahan penting mengenai nasib sang tokoh.
Freytag dalam Waluyo (2002, hlm 8) menjelaskan bahwa plot dalam
drama meliputi hal-hal berikut: 1) eksposisi atau pelukisan awal cerita, yaitu
perkenalan dengan tokoh-tokoh drama dengan watak masing-masing.
Pembaca mulai mendapat gambaran tentang takon yang dibaca. 2)
komplikasi atau pertikaian awal, yaitu pengenalan terhadap para pelaku
sudah menjurus pada pertikaian. Konflik mulai menanjak. 3) klimaks atau
titik puncak cerita, konflik yang meningkat itu akan meningkat terus sampai
mencapai klimaks atau titik puncak cerita. 4) resolusi atau penyelesaian,
dalam taham ini konflik mereda atau menurun. Tokoh-tokoh yang
memanaskan situasi atau meruncingkan konflik telah mati atau menemukan
pemecahan.
Senada dengan pendapat di atas, Tarigan (2011, hlm. 90) berpendapat
bahwa plot dalam drama dikenal sebagai eksposisi, komplikasi, dan
resolusi. Eksposisi suatu lakon menentukan aksi dalam waktu dan tempat;
memperkenalkan para tokoh; menyatakan situasi suatu lakon, mengajukan
konflik yang akan dikembangkan dalam bagian utama lakon tersebut, dan
sesekali membayangkan resolusi yang akan dibuat lakon itu. Komplikasi
atau bagian tengah lakon, mengembangkan konflik. Tokoh utama menemui
aneka rintangan dan masalah. Resolusi merupakan bagian penemuan titik
penyelesaian masalah, ada titik batas yang memisahkan komplikasi dan
resolusi yaitu klimaks. Terjadi perubahan nasib tokoh.
Endraswara (2011, hlm. 24) mengatakan, “Plot adalah alur atau jalan
cerita”. Alur ini yang akan mengantarkan lakon menjadi lebih menarik.
Dalam pe- ngemasan alur yang baik oleh pengarang, akan membuat cerita
semakin menarik, dan berkualitas, karena penggabaran jalan cerita yang
memunculkan kejutan. Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa plot secaraumum yaitu eksposisi atau pengenalan para
tokoh dan situasi para lakon, komplikasi atau pemunculan masalah dan
rintangan, dan resolusi atau penyelesaian masalah. Plot juga sebagai
rangkaian peristiwa-peristiwa atau yang saling berhubu- ngan dan
menunjukan kaitan sebab-akibat. Plot yang baik adalah plot yang memiliki
kausalitas sesama peristiwa yang ada di dalam sebuah teks drama.
2) Karakteristik dan Penokohan
Tokoh adalah orang-orang yang berperan dalam suatu drama. Dalam
sebuah drama tokoh merupakan unsur terpenting dalam menghidupkan
jalannya cerita. Tarigan (2011, hlm. 92) mengemukakan beberapa tokoh
berserta fungsinya dalam suatu lakon adalah sebagai berikut: 1) tokoh gagal,
tokoh yang memiliki pendirian yang bertentangan dengan tokoh lain; tokoh
ini bertindak menegaskan tokoh lain. 2) tokoh idaman, tokoh ini membuat
tokoh individual yang sebenarnya semakin lebih hebat dan semakin luar
biasa. 3) tokoh statis, tokoh ini tidak pernah berubah, dari awal hingga akhir
tetap sama. 4) tokoh yang berkembang, tokoh ini mengalamai
perkembangan selama lakon.
Waluyo (2002, hlm. 14) mengemukakan bahwa penokohan erat
hubungannya dengan perwatakan. Tokoh-tokoh dalam drama dapat
diklasifikasikan sebagai berikut: 1) tokoh antagonis adalah tokoh penentang
arus cerita. 2) tokoh protagonis adalah tokoh yang mendukung cerita. 3)
tokoh tritagonis yaitu tokoh pembantu. Penokohan tersebut diklasifikasi
berdasarkan peranannya terhadap jalan cerita. Sedangkan berdasarkan
peranan dalam lakon serta fungsinya, maka terdapat tokoh-tokoh sebagai
berikut: 1) tokoh sentral, tokoh yang paling menentukan gerak lakon. 2)
tokoh utama, yaitu tokoh pendukung atau penentang tokoh sentral. 3) tokoh
pembantu, yaitu tokoh-tokoh yang memegang peran pelengkap atau
tambahan.
Senada dengan itu, Jauhari (2013, hlm. 52) mengemukakan bahwa
tokoh dan penokohan adalah dua kata yang berbeda maknanya tetapi tidak
bisa terlepas satu sama lain. Tokoh adalah orang yang memerankan cerita
sedangkan penokohan adalah menentukan tokoh dalam suatu cerita sesuai
dengan perannya. Tokoh pada umumnya dapat dibedakan menjadi tiga,
yakni: 1) tokoh protagonis, yaitu tokoh yang mendukung cerita. 2) tokoh
antagonis, yaitu tokoh penentang cerita atau juga yang menampilkan watak
yang bertentangan dengan nilai kebaikan. 3) tokoh tritagonis, yaitu tokoh
pembantu, baik untuk tokoh protagonis maupun untuk tokoh antagonis.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tokoh merupakan
suatu bentuk penggambaran yang memiliki penamaan, keadaan fisik,
keadaan sosial, dan karakter manusia. Tokoh pada drama terdiri dari tokoh
utama dan tokoh tambahan (tokoh pembantu). Tokoh utama terdiri dari
tokoh protagonis, tokoh antagonis dan tokoh tritagonis.
3) Dialog
Ciri khas sebuah drama adalah naskah dalam bentuk dialog atau
percakapan. Di dalam sebuah drama, dialog merupakan situasi bahasa
utama. Dialog merupakan unsur terpenting dalam drama.
Waluyo (2002, hlm. 20) mengemukakan bahwa dalam menyusun dialog
harus memperhatikan pembicaraan tokoh-tokoh dalam kehidupan sehari
hari, memperhatikan diksi dan rima, juga harus bersifat estetis, artinya
memiliki keindahan bahasa. Dalam menyusun sebuah dialog hal-hal
tersebut merupakan faktor agar sebuah drama percakapan dapat dipahami
oleh pembaca atau penonton.
Kosasih (2012, hlm. 136) mengemukakan bahwa dalam drama dialog
harus turut menunjang gerak laku tokohnya. Dialog yang diucapkan di atas
pentas lebih tajam dan tertib daripada ujaran sehari-hari. Hal terserbut harus
dilakukan agar dalam sebuah pementasan peran tokoh lebih menghayati
perannya.
Berdasarkan pendapat di atas, dialog merupakan unsur terpenting dalam
sebuah drama. Dialog yang memperhatikan diksi dan iraha serta keestetisan
akan menunjang sebuah cerita didalamnya.
4) Latar
Latar adalah keterangan mengenai tempat, ruang, dan waktu di dalam
naskah drama. Latar merupakan identitas permasalahan drama sebagai
karya fiksionalitas yang secara samar diperlihatkan melalui penokohan dan
alur.
Kosasih (2012, hlm. 136) mengemukakan bahwa latar terbagi menjadi
tiga bagian. Latar tempat, yaitu penggambaran tempat kejadian di dalam
naskah drama. Latar waktu, latar waktu yaitu penggambaran waktu kejadian
di dalam naskah drama. Latar suasana/budaya, yaitu penggambaran suasana
ataupun budaya yang melatarbelakangi terjadinya adegan atau peristiwa
dalam drama. Latar merupakan unsur yang membangun permasalahan
drama dan menciptakan konflik.
Sejalan dengan pendapat di atas, Waluyo (2002, hlm. 23) juga
mengemukakan bahwa latar terdiri dari setting atau tempat kejadian cerita
dan setting waktu yaitu kapan terjadinya peristiwa dalam lakon tersebut.
Dengan dijelaskannya latar dalam sebuah naskah drama, dapat membuat
imajinasi dan pemahaman pembaca dalam menghayati isi dari sebuah
drama.
Senada dengan itu, Fatmawati dalam Waluyo (2010, hlm. 12)
mengemukakan bahwa latar atau setting mengandung pengertian tempat,
hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa. Tanpa
adanya latar, sebuah cerita tidak akan terasa realistis.
Dapat disimpulkan, bahwa latar atau setting mengandung pengertian
tempat, hubungan waktu dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa.
Latar memberikan pijakan cerita dan kesan realistis kepada pembaca untuk
menciptakan suasana tertentu, yang seolah-olah sungguh ada dan terjadi.
5) Tema
Tema adalah ide dasar atau pijakan pokok penggambaran cerita. Tema
merupakan struktur dalam dari sebuah karya satra. Tema dapat dirumuskan
dari berbagai peristiwa, penokohan, dan latar.
Hasanuddin (1996, hlm. 103) mengemukakan bahwa tema adalah inti
permasalahan yang hendak dikemukakan oleh pengarang dalam karyanya.
Oleh sebab itu, tema merupakan hasil konklusi dari berbagai peristiwa yang
terkait dengan penokohan dan latar.
Waluyo (2002, hlm 24) mengemukakan bahwa tema merupakan
gagasan pokok yang terkandung dalam. Tema berhubungan dengan premis
dari drama tersebut yang berhubungan pula dengan nada dasar dari sebuah
drama dan sudut pandangan yang dikemukakan oleh pengarangnya.
Sejalan dengan pendapat di atas, Kosasih (2012, hlm. 136)
mengemukakan bahwa tema adalah gagasan yang menjalin isi struktur
drama. Tema dalam drama menyangkut segala persoalan, baik itu berupa
masalah kemanusiaan, kekuasaan, kasih sayang, kecemburuan, dan
sebagainya.
Senada dengan itu, Fatmawati dalam Waluyo (2010, hlm. 12)
mengemukakan bahwa tema pada drama terdapat dalam keseluruhan teks.
Tema menjadi dasar pengembangan seluruh cerita drama, jadi penentuan
tema suatu drama dilakukan berdasarkan keseluruhan teks yang
bersangkutan tidak hanya berdasarkan pada bagian tertentu.
Bedasarkan uraian di atas, untuk mengetahui tema drama, kita perlu
meng- apresiasi secara meyeluruh terhadap berbagai unsur pembangun
drama. Untuk dapat merumuskan tema, kita harus memahami drama itu
secara keseluruhan.
d) Unsur Ekstrinsik Drama
Struktur dasar drama ada tiga macam yaitu prolog (adegan pembukaan),
dialog (percakapan) dan epilog (adegan akhir atau penutup). Unsur-unsur
intrinsik dalam teks drama yaitu alur yang dirangkai berdasarkan urutan
peristiwa, amanat, tokoh pelaku yang diperankan atau gambaran watak setiap
tokoh, latar, dialog, gaya bahasa dan latar.
Unsur ekstrinsik menurut Rosdiana (2007, hlm. 8) sebagai berikut:
1. Biografi Pengarang
Seorang pengarang karya sastra, harus dapat menjiwai isi karangan yang dibuat.
2. Psikologi
Psikologi adalah ilmu yang mempelajari perilaku manusia dan binatang.
Psikologi juga dikatakan ilmu berkaitan dengan proses-proses mental yang
normal maupun yang tidak normal dan pengaruhnya pada perilaku atau ilmu
pengetahuan tentang gejala dan berbagai kegiatan jiwa. Jadi seorang pengarang
harus mampu menguasai psikologi karangan sastra yang dibuatnya.
3. Sosiologi
Sosiologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari berbagai struktur sosial
dan proses-proses sosial. Pengarang menulis drama juga dipengaharui oleh
status lapisan masyarakat tempat asalnya, kondisi ekonomi, dan realitas sosial.
Unsur ekstrinsik merupakan unsur pembangun dalam teks drama yang
mampu mengembangkan interpretasi pembaca atau penonton berdasarkan
imajinasi atau daya hayal yang dimilikinya.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa teks drama
adalah salah satu genre karya sastra yang berisi tentang hidup dan kehidupan.
Unsur pembangun dalam teks drama yaitu unsur intrinsik seperti tema, alur,
latar, tokoh dan penokohan, serta amanat dalam teks drama. Unsur ekstrinsik
dalam teks drama yaitu biografi pengarang, psikologi pengarang, dan sosiologi
pengarang (dilihat dari nilai moral, nilai budaya, dan nilai sosial).
e) Gaya Bahasa
Pembicaraan tentang gaya bahasa menyangkut kemahiran pengarang
mempergunakan bahasa sebagai medium drama. Penggunaan bahasa tulis
dengan segala kelebihan dan kekurangannya harus dimanfaatkan sebaik-
baiknya oleh pengarang.
Hasanuddin (1996, hlm. 100) mengemukakan bahwa gaya bahasa
cenderung dikelompokan menjadi empat jenis, yaitu penegasan, pertentangan,
perbandingan, dan sindirian. Masing-masing jenis itu dapat pula diperinci lebih
lanjut, misalnya metafora, personifikasi, asosiasi, paralel, dan lain-lain untuk
jenis gaya bahasa sindiran; pleonasme, repetisi, klimaks, retoris, dan lain-lain
untuk jenis gaya bahasa penegasan, dan paradoks, antitesis dan lain-lain untuk
gaya bahasa pertentangan.
Penggunaan gaya bahasa ini akan membantu pembaca mengidentifikasi
perwatakan tokoh. Tokoh yang menggunakan gaya bahasa penegasan dalam
ucapan- ucapannya tentu akan berbeda letaknya dengan tokoh yang
menggunakan gaya bahasa sindiran ataupun pertentangan dan perbandingan.
Tarigan (2009, hlm. 14-15) mengemukakan tentang gaya bahasa sebagai
berikut: Gaya bahasa adalam bahasa indah yang digunakan untuk meningkatkan
efek dengan jalan memeprkenalkan serta membandingkan suatu benda atau hal
tertentu dengan benda atau gal lain yang lebih umum. Ragam gaya bahasa
tersebut diantaranya sebagai berikut:
1. Gaya Bahasa Perbandingan
a. Metafora adalah suatu gaya bahasa seringkali juga menambahkan kekuatan
pada suatu kalimat. Metafora misalnya, dapat menolong seorang pembicara atau
penulis melukiskan suatu gambaran yang jelas melalui kompirasi atau kontras.
Selain itu metafora adalah sejenis gaya bahasa perbandingan yang paling
singkat, padat, tersusun rapi.
b. Personifikasi ialah jenis majas yang melekatkan sifat-sifat insani kepada
benda yang tidak bernyawa dan ide yang abstrak.
2. Gaya Bahasa Pertentangan
a. Hiperbola adalah sejenis gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang
berlebih-lebihan jumlahnya, ukurannya atau sifatnya dengan maksud memberi
penekanan pada suatu pernyataan atau situasi untuk memperhebat,
meningkatkan kesan dan pengaruhnya.
b. Litotes adalah majas yang di dalam pengungkapannya menyatakan sesuatu
yang positif dengan bentuk yang negatif atau bentuk yang bertentangan. Litotes
kebalikan dari hiperbola, adalah sejenis gaya bahasa yang mengandung
pernyataan yang dikurangi dari kenyataan yang sebenarnya , misalnya untuk
merendahkan diri.
3. Gaya Bahasa Pertautan
a. Metonimia adalah majas yang memakai nama ciri atau nama hal yang
ditautkan dengan nama orang, barang, atau hal, sebagai penggantinya.
b. Pararelisme adalah gaya bahasa yang berusaha mencapai kesejajaran dalam
pemakaian kata-kata yang menduduki fungsi yang sama dalam bentuk
gramataikal yang sama. Gaya bahasa ini lahir dari struktur kalimat yang
berimbang.
4. Gaya Bahasa Perulangan
a. Anafora adalah gaya bahasa repitisi yang berupa perulangan kata pertama
pada setiap baris atau setiap kalimat.
b. Epistrofa adalah semacam gaya bahasa repetisi yang berupa perulangan kata
pada akhir baris atau kalimat berurutan.
Uraian di atas merupakan beberapa gaya bahasa yang akan dianalisis dalam
pembelajaran menganalisis isi dan kebahasaan teks drama di kelas XI.
Diharapkan gaya bahasa tersebut mudah dipahami dan dijadikan bahan untuk
menganalisis teks drama.

B. Kerangka Berfikir
Untuk meningkatkan keterampilan berbicara pada teks drama dengan
menggunakan model pembelajaran somatic-audiotory-visualization-intellectualy
(SAVI). Teks drama merupakan suatu teks cerita yang dipentaskan diatas panggung
atau biasa disebut teater ataupun tidak dipentaskan diatas panggung seperti drama,
radio, televisi, dan film.
Guru menerapkan model SAVI di dalam kelas sebagai acuan untuk
meningkatkan ketrampilan berbicara teks drama pada siswa. Teks drama dapat
mengasah siswa dalam meningkatkan kemampuan berbicara, karena di dalam teks
drama terdapat dialog-dialog yang akan dibicarakan oleh siswa.
Model Somatic – Audiotory – Visualization - Intelectually (SAVI) merupakan
model yang menggunakan seluruh alat indra di dalam pembelajaran. Penulis
menggunakan model SAVI untuk meningkatkan kemampuan berbicara teks drama
siswa dalam melakukan dialog-dialog yang ada di dalam teks drama tersebut.
Diharapkan para siswa setelah diberikan pembelajaran melalui model SAVI mampu
meningkatkan kemampuan dalam berbicara teks drama.

C. Pengajuan Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1) Penggunaan model SAVI mampu meningkatkan kemampuan berbicara teks
drama pada siswa smp kelas VIII di Bogor.
2) Siswa mengalami kendala pada saat menggunakan model pembelajaran
SAVI dalam meningkatkan kemampuan keterampilan berbicara teks drama
pada siswa kelas VIII SMP di Bogor.

Anda mungkin juga menyukai