Anda di halaman 1dari 188

GERAKAN MILLENARIAN KAIIN BAPA KAYAH:

PROTES SOSIAL PETANI TANGERANG 1924

Tesis

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh


Gelar Magister Humaniora (M.Hum)

Ilyas
NIM: 2112022100006

PROGRAM MAGISTER SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM


FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2016 M/1437 H
ii
iii
ABSTRAKSI

Peristiwa protes sosial petani Tangerang pada tahun 1924, yang


dipimpin oleh seorang Dalang Wayang bernama Kaiin Bapa Kayah, yang
juga pernah mengalami kehidupan sebagai petani miskin – dalam
kacamata kolonial dianggap sebagai letupan-letupan kecil di tingkat lokal
Karesidenan Batavia.
Ki Dalang sebagai sosok utama dari pergerakan tersebut, dalam
perspektif pemerintah kolonial adalah tokoh pemberontak yang
mengganggu stabilitas. Sebaliknya bagi petani Tangerang, Kaiin Bapa
Kayah menjadi tokoh panutan yang dipenuhi karisma yang memberikan
mereka obat penawar kerinduan zaman lampau sebelum tanah-tanah
dikuasai oleh pemerintah Hindia-Belanda dan sekutu Tionghoanya, situasi
yang berubah membuat petani-petani tidak dapat menguasai bahkan
mendapatkan hak mereka sebagai kaum pribumi yang mewarisi sumber
daya alam dari nenek moyangnya.
Para petani dan penduduk pribumi dibebani oleh berbagai macam
pajak dan kewajiban bekerja menurut aturan para pendatang asing yang
mengekspoitasi tanah dan tenaga mereka semata-mata untuk kepentingan
perdagangan yang bahkan mereka tidak dapat menikmati keuntungan atas
transaksi bisnis yang dilakukan oleh tuan tanah mereka.
Kehidupan sehari-hari mereka sudah disibukkan oleh pekerjaan
paksa yang dilakukan atas perintah para tuan tanah maupun pemerintah
kolonial. Sehingga tidak sedikit pun waktu luang mereka bisa digunakan
untuk mencari pekerjaan sampingan dan menjalani kehidupan budayanya.
Situasi ini membuat kaum pribumi terdeprivasi (terampas) hak dan
kewajiban mereka di tanah airnya sendiri. Rasa frustasi dan putus asa
terkumpul dalam diri dan hati mereka tanpa ada ruang gerak untuk
melawan penindasan ini. Dalam keadaan demikian mereka merindukan
seorang tokoh besar yang berani dan menjanjikan perubahan besar dalam
kehidupan, apalagi kepercayaan masyarakat tradisional di pulau Jawa
meyakini ramalan akan kedatangan tokoh Ratu Adil Sang Juru Selamat.
Tradisi tertulis ramalan Jayabaya sangat populer tersiar di tengah-
tengah masyarakat. Keyakinan ini membawa dampak pada kepercayaan
dan ketaatan kaum pribumi kepada tokoh-tokoh yang memiliki sumber
kewahyuan untuk menjemput impian millenarian. Karena itu, tokoh
semacam Kaiin Bapa Kayah turut memakai simbol-simbol millenarianisme
dan mesianisme untuk meyakinkan masyakat petani agar berada di
belakangnya dalam gerakan revolusionernya.

iv
Pergerakan Millenarian Kaiin Bapa Kaya, sebagaimana gerakan
sosial dan gerakan keagamaan lainnya, terjadi dalam ruang dan waktu
yang sangat singkat, setelah sang pemimpin wafat atau dibunuh oleh
penguasa kolonial, praktis tidak berkelanjutan. Peristiwa ini memang kecil,
karena terletak di lokasi yang terbatas, Tangerang. Namun daya kejutnya,
membuat pemerintah kolonial terganggu aktifitasnya dan bahkan cerita
tentang perlawanan petani dan rakyat kecil di Tangerang ini
terpublikasikan melalui jurnal internasional.
Pergerakan ini bila dilihat dari akar masalahnya adalah adanya
kesenjangan kaum pribumi dengan para pendatang asing (terutama
Belanda dan Tionghoa). Sumber-sumber ekonomi dikuasai oleh asing yang
jumlah warganya sedikit dibandingkan penduduk pribumi. Praktek-praktek
hukum yang diterapkan oleh pemerintah kolonial masih mendiskriminasi
kaum pribumi. Kerja paksa juga diterapkan oleh penguasa kolonial. Semua
sebab-sebab ini, bersatu padu dalam rasa ketidakpuasan kaum petani
pribumi yang diwujudkan oleh protes sosial yang dipimpin oleh seorang
Dalang yang dianggap sebagai tokoh yang tercerahkan untuk
merealisasikan rasa keadilan.

v
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah swt,


yang telah memberikan kepada umat manusia berbagai macam nikmat,
sehingga penulis mampu menyelesaikan tesis ini dan selalu tegar selama
menjalani hari-hari di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sholawat
teriring salam semoga tercurahkan ke haribaan junjungan kita Nabi
Muhammad saw, Sang Revolusioner peradaban manusia, dari peradaban
Jahiliyah menuju peradaban yang penuh dengan ilmu pengetahuan.
Dalam penulisan tesis ini banyak hal yang dapat dijadikan pelajaran
bagi penulis. Untuk memahami sesuatu kita tidak bisa serampangan
menilainya, melainkan harus mengetahui seluk-beluk, memperhatikan, dan
menelaah melalui ilmu pengetahuan. Penulis sangat menyadari bahwa
ternyata ilmu yang dikuasai hanyalah setetes bahkan lebih kecil dari itu,
dari luasnya lautan ilmu Allah yang sangat luas, Namun akhirnya dengan
susah payah penulis dapat mengakhiri penulisan tesis ini dengan baik dan
lancar.
Tersusunnya tesis ini adalah karena karunia Tuhan yang tak ternilai
harganya, ditambah dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, karena itu
penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-
tingginya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Sukron Kamil, M.Ag selaku Dekan Fakultas Adab dan
Humaniora.
2. Bapak Dr. Abdullah, M.Ag, selaku Ketua Program Magister dan
Dr. M. Adib Misbachul Islam, M.Hum, sebagai sekretaris Program
Magister Fakultas Adab dan Humaniora.
3. Pimpinan dan seluruh staf Perpustakaan Adab dan Humaniora,
Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah.
4. Bapak Prof. Dr. M. Dien Madjid, MA, Pembimbing Tesis I, yang di
sela-sela kesibukannya beliau bersedia membimbing penulis untuk
menyelesaikan penulisan tesis.
5. Bapak Dr. H Abd. Chair, MA, selaku Pembimbing Tesis II, yang
memberikan masukan kepada penulis untuk menyelesaikan tesis.
6. Segenap Pimpinan dan Staff Perpustakaan Nasional Republik
Indonesia (PNRI), khususnya kepada Peneliti Senior, Drs. H. Sanwani,
yang telah memberikan arahan tentang manuskrip dan khazanah
filologinya.
7. Pimpinan dan staff Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), yang
memberikan petunjuk tentang arsip kolonial tentang Tangerang.

vi
8. Seluruh Pimpinan dan staff Perpustakaan Pusat Dokumentasi dan
Informasi Ilmiah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PDII LIPI)
9. Bapak Ichsan (Alm.) dan Ummi Iyum tersayang yang telah
memberikan motivasi bagi penulis untuk dapat membuktikan bahwa
penulis mampu menjalani hari-hari di kampus, serta dukungan
keduanya baik moril maupun materil sehingga penulis dapat
menyelesaikan studi dengan baik.
10. Isteriku Leli Eryani dan Anak-anakku (Sultana Awliya Yumna dan
Nuri Salsabila), serta Kakak-kakakku Imas dan Iyan, Adik-adikku
Saiful Novi dan Ismawati Fajrin, canda tawa mereka memberikan
hiburan dan ketenangan batin yang tiada tara.
11. Bapak Dr. H. Abdul Wahid Hasyim, MAg selaku Wakil Kordinator
Kopertais Wilayah I DKI Jakarta dan Mantan Dekan Fakultas Adab
dan Humaniora.
12. Bapak Dr. Syahrul A’dam, M.Ag (Mantan Ketua) dan Dr. H.
Kamarusdiana, MH (Ketua), yang banyak menasehati penulis selama
karir penulis di Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Aqidah Al-
Hasyimiyyah Jakarta
13. Seluruh Civitas Akademika Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Aqidah
Al-Hasyimiyyah Jakarta (Bapak. A. Misbakhun Najakhi, Ibu Ummu
Habibah, Bapak A. Syaiful, Arham Saputra, Midih dan kawan-kawan)
14. Keluarga besar Program Studi Pendidikan Agama Islam (PAI) Sekolah
Tinggi Agama Islam Al-Aqidah Al-Hasyimiyyah Jakarta.
15. Teman-teman seperjuang kuliah di Program Magister Fakultas Adab
dan Humaniora (Bambang Permadi, A. Ghazali, Cecep Supriatna,
Wahyu Hidayat, Nova Rizqiawati, Kaslir, Johan Wahyudi, Tendi, Eva,
Teteh Yuyun, Uda Akmal, Ilman, Tatam, Latifah Sun’iyyah, Ani, dkk)

Semoga apa-apa yang telah mereka berikan dapat bermanfaat dan


akhirnya hanya kepada Allah swt penulis kembalikan semuanya, semoga
kita semua dalam Inayah dan hidayah Allah swt. Amin.

Ciledug, 22 April 2016

Ilyas

vii
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL i
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ii
LEMBAR PENGESAHAN iii
ABSTRAKSI iv
KATA PENGANTAR vi
DAFTAR ISI viii
TRANSLITERASI x

BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang Masalah …….....……………………..…… 1
B. Identifikasi Masalah .............................................................. 7
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ……………………... 8
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ………….……………..... 9
E. Kerangka Teori Sejarah Lokal dan Gerakan Sosial .............. 9
F. Tinjauan Penelitian Terdahulu .............................................. 11
G. Metode Penelitian …………….………………………….... 14
H. Sistematika Penulisan …………………………………....... 15
BAB II MILLENARIANISME DALAM SEJARAH INDONESIA 17
A. Kepercayaan terhadap Mesianisme dan Millenarianisme ..... 17
B. Doktrin Mahdisme, Eskatologi Islam, dan Perang Sabil ...... 22
C. Konsep Ratuadilisme dalam Ramalan Jayabaya ................... 25
D. Kandungan Millenarian dalam Hikayat Muhammad 30
Hanafiyah ..........................................................................
E. Kandungan Millenarian dalam Kisah Pewayangan Arjuna .. 38

viii
BAB III SITUASI SOSIAL-POLITIK SEBELUM PERGERAKAN 43
A. Toponimi dan Letak Geografis Tangerang ……….…...…... 43
B. Tangerang sebagai Tanah Partikelir ……………………...... 48
C. Struktur Sosial Masyarakat .............................…………...... 52
D. Keadaan Ekonomi Masyarakat ............................................. 57
E. Kebijakan Pemerintah Kolonial terhadap Masyarakat 61
Tangerang ............................................................................
BAB IV KONSEPSI MILLENARIAN DALAM PERGERAKAN 67
TANGERANG 1924
A. Kaiin Bapa Kayah: Dalang Wayang dan Pergerakan ........... 67
B. Ekspektasi Mesianik dalam Kepercayaan Masyarakat ......... 70
C. Visi Millenarian dalam Pergerakan ...................................... 74
D. Unsur Islam dalam Pergerakan Kaiin Bapa Kayah ............... 80
BAB V PERGERAKAN MILLENARIAN TANGERANG 1924 87
SEBAGAI PROTES SOSIAL
A. Proses-proses Pergerakan ..................................................... 87
B. Faktor Kepemimpinan Kaiin Bapa Kayah ............................. 92
C. Mobilisasi Pergerakan ............................................................ 94
D. Ideologi Pergerakan ............................................................... 98
E. Analisis Pergerakan ............................................................... 102
BAB VI PENUTUP 109
A. Kesimpulan .........………………………………………….. 109
B. Saran ...............…………………………………………….. 111

DAFTAR PUSTAKA 113


LAMPIRAN 121

ix
TRANSLITERASI

Huruf Arab Nama Huruf Huruf Latin

alif a

ba b

ta t

ta marbutah t atau h

tsa ts

jim j

ha h

ca c

kha kh

dal d

dzal dz

ra r

zai z

sin s

syin sy

shad sh

x
dhad dh

tho th

zho zh

‘ain ‘a

ghain gh

‫ڠ‬ nga ng

fa f atau p

pa p

qaf q

kaf k

‫ڬ‬ ga g

lam l

mim m

nun n

wau w, u, dan o

‫ۏ‬ va v

ha bulat h

ya y, i, dan e

‫ڽ‬ nya ny

xi
hamzah -

alif dengan hamzah di atas a, u

alif dengan hamzah di bawah i

ya dengan hamzah di atas -

lam alif La

Catatan:

 Adapun untuk kata sambung yang menggunakan huruf alim dan lam
( ‎ ‎), baik qamariyah maupun syamsiyyah, transliterasinya tidak
dibedakan, serta‎ penulisannya‎ menggunakan‎ tanda‎ strip‎ (-),‎ misalnya:‎
Al-Qur'an.

xii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Pemerintah kolonial Belanda memberlakukan berbagai kebijakan
terkait dengan tanah jajahannya, di antaranya: Sistem Tanam Paksa
(Cultuurstelsel) yang diprakarsai oleh Gubernur Jenderal van den Bosch
(1830-1833) yang berakhir pada tahun 1870, kemudian dilanjutkan dengan
Sistem Liberal dari tahun 1870 sampai 1900, dan terakhir Sistem Etis yang
berlaku dari tahun 1900 sampai tahun 1942.1 Kebijakan pemerintah
kolonial Belanda terhadap kaum tani apa pun nama dan bentuknya, tetap
saja tidak mengangkat harkat dan martabat masyarakat pedesaan yang
sangat bergantung pada aset pertanian mereka, sebaliknya tenaga dan tanah
mereka menjadi ladang subur eksploitasi politik-ekonomi pemerintah dan
kroni-kroninya.
Penguasa VOC (Verenigde Oost-Indische Compagnie atau disebut
Kompeni Belanda)2, pemerintah kolonial Belanda dan Inggris
memberlakukan tanah-tanah di bumi jajahannya sebagai hadiah kepada
orang-orang yang berjasa terhadap kepentingan mereka. Tanah-tanah ini
juga dijual kepada pengusaha dan birokrat kolonial, sehingga mereka
berhak mengelolanya secara utuh. Umumnya orang yang diberi hadiah atau
membeli tanah adalah orang-orang asing, terutama dari etnis Tionghoa.
Para pemilik tanah atau tuan tanah tersebut juga diberi hak keistimewaan
untuk mengelola tanah sekaligus penduduk yang bermukim di wilayah
tersebut, sehingga muncullah istilah „Tanah Partikelir‟.
Para petani yang telah lama bermukim di wilayah tanah partikelir
diperlakukan tidak adil, tenaga dan tanah mereka hanya dimanfaatkan
untuk kepentingan para tuan tanah, karena itu muncul ketidakpuasan
mereka terhadap penindasan ini. Sebelum abad ke-20 perjuangan melawan
penjajah di Indonesia masih dilakukan secara sendiri-sendiri, terutama

1
Suhartono W. Pranoto, Jawa: (Bandit-bandit Pedesaan) Studi Historis
1850-1942, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), Cet. Ke-1, h. 2
2
Penjelasan Peter H. Van Der Brug tentang VOC adalah sebuah perusahaan
dagang Belanda, didirikan untuk melakukan perdagangan di wilayah-wilayah yang
disebut “indie”. Ketika VOC didirikan pada tahun 1602, Staten-General
memberikan kewenangan lebih kepada VOC untuk berperang, berunding,
membangun benteng, menjalankan otoritas sipil, yudisial, dan militer di koloni-
koloni Asia. Lihat Peter H. van der Brug, Batavia yang Tidak Sehat dan
Kemerosotan VOC pada Abad Kedelapan Belas, dalam Kees Grijns dan Peter J.M.
Nas, (Peny.), Jakarta Batavia Esai Sosio-Kultural, (Jakarta: Banana dan KITLV,
2000), h. 47-48

1
2
daerah pedesaan yang didominasi oleh kaum tani. Perlawanan para petani
dilakukan secara radikal3 terhadap pemerintah kolonial dan sekutunya.
Mereka menganggap kedua kelompok inilah yang paling bertanggung
jawab atas perubahan sosial di pedesaan yang semakin menghimpit
kehidupan dan lahan-lahan ekonomi yang mereka miliki sebelumnya,
Kata „perubahan sosial‟ menjadi mantra mujarab dari perlawanan
kaum tani dan kelompok rakyat miskin lainnya untuk mengembalikan
situasi kepada alam kebebasan dan kemandirian bangsa sendiri. Cita-cita
ini diwujudkan dengan mengadakan gerakan sebagai protes sosial dan
diperkuat oleh nilai-nilai keagamaan. Islam menjadi agama mayoritas kaum
tani, mereka memegang erat ajaran dan nilai-nilai keislaman sebagai
pedoman kehidupannya, karena itu sifat agama melekat pada aksi protes
terhadap kebijakan pemerintah „kafir‟ yang berkuasa. Masyarakat pribumi
umumnya marah terhadap perubahan sosial, karena perubahan itu telah
menggeser nilai-nilai agama plus perubahan kehidupan mereka yang
semakin susah. Sehingga gerakan-gerakan keagamaan berjuang dengan
cara revolusioner, karena bertujuan untuk mengadakan perubahan secara
mutlak dan radikal.4
Tanah partikelir Tangerang yang menjadi lokus kajian penelitian
tesis ini, tak luput pula dari pergerakan-pergerakan keagamaan. Ekspresi
kekecewaan kaum tani di Tangerang memicu terjadinya gerakan
perlawanan yang lebih besar pada tahun 1924. Pemantiknya adalah
persoalan kesenjangan penduduk pribumi yang telah lama menetap dan
memiliki tanah dengan kaum pendatang, khususnya etnis Tionghoa5 yang
bekerjasama dengan pemerintah untuk mengeksploitasi bumi mereka yang
sebelumnya berorientasi pada tanaman tradisional (traditional crops)

3
Sartono mengartikan „radikal‟ sebagai gerakan sosial yang menolak secara
menyeluruh tertib sosial yang sedang berlaku dan ditandai oleh kejengkelan moral
yang kuat untuk menentang dan bermusuhan dengan kaum yang mempunyai hak-
hak istimewa dan yang sedang berkuasa. Dapat dimengerti bahwa radikalisme
menjadi suatu bagian dari gerakan Ratu Adil yang bersifat revolusioner.
Sedangkan pengikut dari gerakan-gerakan sosial yang radikal seperti itu terbatas
pada strata sosial rendahan, kaum yang tertindas atau orang-orang yang kurang
mampu. Lihat Sartono Kartodirdjo, Agrarian Radicalism in Java: Its Setting and
Development, dalam Claire Holt (ed), Culture and Politics in Indonesia, (London:
Cornell University Press, 1977), Cet. Ke-2, h. 73-4.
4
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, (ed.), Sejarah
Nasional Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), Jilid IV, Edisi Pemutakhiran,
Cet. Ke-1, h. 426
5
Daerah Tangerang terbagi dalam sejumlah tanah partikelir, 30 persen
dikuasai kongsi Tionghoa, 30 persen dimiliki perorangan dari etnis Tionghoa, dan
40 persen dimiliki kaum pribumi. Lihat Yayasan Untuk Indonesia, Ensiklopedi
Jakarta, (Jakarta: Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Pemerintah Provinsi
Daerah Khusus Ibukota Jakarta, 2005), Buku III, h. 265
3
berubah menjadi tanaman komersial (commercial crops) secara besar-
besaran dan memaksa kaum tani menjadi semacam mesin-mesin penggerak
roda perekonomian kaum penjajah dan kroninya.
Selain faktor kesenjangan kehidupan antara pribumi dan pendatang
asing, pemicu lainnya adalah adanya berbagai macam pajak dan kerja
paksa kepada kaum tani, sebagaimana ditulis dalam buku Sejarah Nasional
IV:
“Agitasi kaum petani yang timbul di tanah partikelir (particuliere
landerijen) sepanjang abad ke-19 dan awal abad ke-20 merupakan suatu
gejala historis dari masyarakat petani pribumi. Pada umumnya hampir
semua perlawanan atau kerusuhan yang terjadi di tanah partikelir
merupakan akibat dari adanya tuntutan pajak dan kerja rodi
(herendiensten) yang tidak adil terhadap kaum petani di daerah itu.”6

Perubahan sosial di pedesaaan turut mengubah tatanan nilai dan


perekonomian para petani. Sehingga mereka membandingkan kehidupan
masa lampau, dengan kehidupan baru mereka yang membuat posisi mereka
kian tersudut dan mengalami deprivasi.7 Untuk kasus yang dialami petani
Tangerang ini, termasuk dalam kategori deprivasi harta benda yang
berjamaah, karena tanah sebagai sumber penghasilan mereka sebelumnya
telah terampas oleh pendatang asing yang bersekutu dengan kaum penjajah
– yang mengeksploitasi bumi, jiwa dan raga kaum tani.
Untuk mengatasi masalah deprivasi yang dialami para petani,
mereka tidak mampu melawan secara fisik, akhirnya mereka hanya
berlindung dalam kepercayaan tradisional. Salah satu sumber pengetahuan
kaum pribumi dalam menghadapi persoalan hidup mereka adalah
kepercayaan akan datang suatu zaman kemakmuran di masa mendatang di
bawah panji sang juru selamat. Faktor deprivasi dan millenarian menurut
Michael Adas, tak akan berwujud pada aksi protes tanpa adanya tokoh
“kenabian” yang mempunyai legitimasi wahyu untuk mempersatukan
impian mereka.8 Senada dengan Adas, Sartono Kartodirdjo juga menyebut:

6
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, (ed.), op.cit, h. 400
7
Deprivasi menurut David F. Aberle dikelompokkan menjadi empat, yaitu:
deprivasi terkait dengan harta benda, status, tingkah laku, dan kelayakan. Selanjutnya
deprivasi tersebut dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yakni: personal (pribadi) dan
kelompok (kesukuan) atau kategori. Lihat Aberle, David, Catatan Mengenai Teori
Deprivasi-Relatif Sehubungan Dengan Gerakan Millenarian dan Gerakan Cult Lainnya,
dalam Sylvia L. Thrupp, (ed), Millenial Dreams in Action: Studies in Revolutionary
Relegions Movements, (New York: Schocken Books, 1970), (terj), Gebrakan Kaum
Mahdi, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1984), h. 354-355
8
Michel Adas, Prophet of Rebellion Millenarian Protest Movements against the
European Colonial Order, (The University of North Carolina Press, 1979), (terj), Ratu
4
“Unsur pokok dari gerakan keagamaan adalah seorang pemimpin
keagamaan yang merupakan seorang prophet, atau guru, atau dukun, atau
tukang sihir atau utusan mesias. Pemimpin-pemimpin ini mengaku
diilhami oleh wahyu.”9 Optimisme masa depan yang dijanjikan pencetus
pergerakan menambah harapan millenarian (millenarian expectation) kaum
tani akan perubahan itu. Di sinilah mitos kedatangan Ratu Adil yang
dinantikan, mereka berharap munculnya tokoh karismatik yang akan
membawa ke zaman sempurna.
Di tanah Jawa dan umumnya hampir di seluruh Nusantara, sangat
populer sekali kepercayaan akan datangnya Ratu Adil (Sang Juru Selamat),
meskipun dengan varian dan nama yang berbeda. Tradisi tentang tokoh
pembebas tersebut muncul dalam sumber-sumber tertulis yang
meramalkan kedatangan juru selamat tersebut. Informasi mesianistik Jawa
terdapat dalam Ramalan Jayabaya, dan sekaligus sebagai sumber referensi
para tokoh pejuang, kaum pergerakan, pemimpin rakyat untuk memompa
semangat juang para pengikutnya demi mencapai harapan yang dicita-
citakan bersama.10
Selain tradisi millenarian, masyarakat petani juga memegang teguh
pada agama yang mereka anut, tak heran gerakan petani Tangerang juga
terkait dengan kepercayaan agama mereka. Gerakan keagamaan menurut
Sartono Kartodirjo, juga dikenal dengan beberapa istilah, yakni: “Gerakan
juru selamat (mesianisme), Ratu Adil (millenarianisme), pribumi
(nativisme), kenabian (prophetisme), penghidupan kembali (revitalisasi),
menghidupkan kembali (revivalisme).”11
Gerakan yang bersifat keagamaan ini banyak dilaporkan oleh para
pejabat kolonial kepada atasannya, karena berangkat dari prasangka
kesukuan dan islamofobia, mereka menggambarkan peristiwa yang
berskala lokal ini sebagai pemberontakan, huru-hara, dan mengganggu
stabilitas keamanan. Karena itu menurut Sartono, penggambaran peristiwa
ini menjadi keliru karena menganggap gerakan keagamaan bersifat politis
dan revolusioner.12
Begitu pula dengan reportase pejabat kolonial tentang gerakan
protes yang dipimpin Kaiin Bapak Kayah, dalam pandangan Kern apa
yang dicatat aparat birokratis pemerintah yang hanya melihat melalui

Adil: Tokoh dan Gerakan Millenarian Menentang Kolonialisme Eropa, (Jakarta:


Rajawali Press, 1988), h. 204
9
Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil, (Jakarta, Sinar Harapan, 1984), cet. Ke-1,
h. 13
10
Andjar Any, Rahasia Ramalan Jayabaya, Ranggawarsita, dan
Sabdopalon, (Semarang: Aneka Ilmu, 1989), h. 1
11
Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil, op.cit, h. 10
12
Ibid
5
kacamata kolonial sebagai pengacau keamanan dan ditambah lagi dengan
embel-embel gerakan Ratu Adil sangatlah tidak adil, di sudut lain
penyebab atau akar masalah dari protes ini, seperti kesenjangan antara
penduduk pribumi dan pendatang, pertentangan kaum tani dengan pemilik
modal, serta adanya pajak dan eksploitasi tenaga dan tanah mereka hanya
dipandang sebelah mata.
Dalam tesis ini, pembahasan diarahkan kepada gerakan agama yang
bersifat millenarian. Millenarianisme atau kadang disebut milenarisme
adalah pandangan oleh kelompok atau gerakan keagamaan, sosial, atau
politik tentang suatu transformasi besar dalam masyarakat dan setelah itu
segala sesuatu akan berubah ke arah yang positif. Sedangkan millenialisme
adalah suatu bentuk millenarianisme spesifik berdasarkan suatu siklus
seribu tahunan, dan ini khususnya sangat penting di lingkungan agama
kristen.13 Sebaliknya dalam pandangan Islam, menurut Marshall G.S
Hodgson, “Berbeda dalam millenialisme Islam, zaman sempurna itu
biasanya tidak dikatakan untuk masa seribu tahun.”14
Gerakan millenarian Kaiin Bapa Kayah, yang juga berprofesi
sebagai Dalang Wayang, mengacu pada sumber-sumber tradisi yang tersiar
di zaman itu. Pengetahuan masyarakat banyak diperoleh dari mulut ke
mulut atau mendengar langsung dari tokoh pengantar shohibul hikayat atau
dalang yang menceritakan tentang pahlawan-pahlawan heroik dalam tradisi
lokal maupun tokoh-tokoh Islam dalam kisah-kisah impor.
Kegiatan mendengarkan cerita atau membaca kisah tertulis adalah
bagian dari hiburan masyarakat ketika itu. Adapun si pembawa kisah turut
juga menyampaikan pesan-pesan khusus di tengah-tengah cerita sebagai
suatu pelajaran bagi para pendengarnya. Karena itu pengajaran moral dan
agama banyak dituturkan melalui kisah dalam bentuk prosa atau puisi-
pantun sebagai salah satu alat untuk menyiarkan pesan tersebut. Khazanah
sastra yang terkait dengan hal ini, masih tersimpan sebagai warisan budaya
leluhur yang tak ternilai.
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia banyak mengoleksi
budaya tertulis manuskrip warisan nenek moyang kita dari seluruh
Nusantara, di antara manuskrip yang berbicara mengenai mesianisme
Islam adalah naskah yang berjudul tentang Hikayat Muhammad
Hanafiyah, dimana isinya mengenai cerita keturunan dan keluarga Nabi
Muhammad. Salah satu keyakinan tentang kedatangan Imam Mahdi di

13
Isd-10-wb-23572-pelatihan-k3.com/id3/indonesia-belajar-
2609/Milenarianisme_1718 56_isd-10-wb-23572-pelatihan-k3.html, diakses pada
tanggal 10 Agustus 2015, Pukul 11: 55 WIB
14
Marshall G.S Hodgson, Sebuah Catatan tentang Millenium dalam Islam,
dalam Sylvia L. Thrupp, op.cit, h. 367
6
penghujung zaman dalam naskah ini dikaitkan dengan tokoh pahlawan
Islam, yang juga masih kerabat Nabi, yaitu Muhammad Hanafiyah. Kisah-
kisah heroiknya menginspirasi para penggerak revolusi untuk
membebaskan kaum pribumi dari ketertindasan dan untuk mewujudkan
zaman yang sempurna.
Ada juga naskah tentang Ramalan Jayabaya, yang menjadi rujukan
tentang kedatangan Ratu Adil, si Juru Selamat yang dijanjikan. Ramalan-
ramalan ini menjadi penyemangat para petani dan kaum papa (miskin)
untuk bergerak melawan keterasingan mereka di tanah airnya sendiri.
Semangat perlawanan itu, semata-mata ingin mengembalikan masa lampau
nan indah, yang telah terenggut oleh para pendatang asing yang menguasai
tanah dan berbuat semena-mena terhadap mereka.
Popularitas Ramalan Jayabaya, nampaknya menjadi perhatian
serius dari pemerintah kolonial, apalagi banyak munculnya aksi-aksi
protes, perlawanan, dan pemberontakan kaum pribumi diilhami dan
termotivasi dari Ramalan yang menjanjikan kedatangan seorang pahlawan
karismatik yang akan membawa mereka kepada zaman adil, makmur dan
sejahtera. Sebagai langkah preventif penguasa Belanda memerintahkan
studi terhadap Ramalan Jayabaya tersebut, seperti Stuart Abraham B.
Cohen,15 yang menulis tentang tokoh Ratu Adil bernama Eroe Tjakra. Dan
Jacob A.B Wiselius,16 dengan judul “Djaja Baja, Zijn Leven en
Profetieen” (Jayabaya, Hayat dan Ramalannya). Namun penelitian yang
dilakukan sarjana Barat tersebut belum menemukan “mustika” yang
terkandung dalam ramalan, karena apa yang mereka kaji masih terbatas
pada apa yang tersurat saja bukan pendalaman kajian yang tersirat, hal ini
menurut Andjar Any, “Background history yang berlainan akan
membuahkan hasil yang berlainan pula”.17
Kisah pewayangan turut juga menginspirasi pergerakan Kaiin Bapa
Kayah di Tangerang, cerita dalam dunia pedalangan khususnya tema para
Pandawa banyak sekali termaktub dalam manuskrip-manuskrip yang
tersimpan di Perpustakaan Nasional. Kisah para Pandawa disadur dari
kebudayaan India yang sudah bercampur dengan tradisi Islam, sehingga
nilai-nilai yang terkandung juga mengalami asimilasi kebudayaan. Hampir
semua dalang pasti mampu membawakan kisah-kisah para Pandawa,
karena itu Kaiin Bapa Kayah yang juga berprofesi sebagai dalang sangat
menguasai dan paham tentang falsafah dari tokoh-tokoh pewayangan ini.

15
Stuart Abraham B. Cohen, “Eroe Tjakra”, Bijdragen tot de Taal-, Land en
Volkenkunde (BKI), No.19, 1872, h. 285-88
16
Jacob A.B Wiselius, “Djaja Baja, Zijn Leven en Profetieen”, Bijdragen
tot de Taal-, Land en Volkenkunde (BKI), No. 19, 1872, h. 172-217
17
Andjar Any, op.cit, h. 1
7
Salah satu kisah pewayangan yang terekam dalam sumber tertulis
adalah karya Muhammad Bakir Syafi‟an bin Usman Fadhli dari
Pecenongan (Jakarta)18, yang berjudul Hikayat Asal Mulanya Wayang
yaitu Turun Temurunnya Pandawa. Dalam kolofon naskah tersebut,
disebutkan kisah tersebut selesai ditulis pada 6 Agustus 1890.19 Adapun
salah satu tokoh utama Pandawa di antaranya adalah Arjuna, dimana tokoh
ini menginspirasi Kaiin Bapa Kayah dalam Protes Sosialnya, bahkan ia
menjuluki dirinya dengan nama “Arjuna” sebagai penguat dari pergerakan
millenariannya.

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka peneliti
mengidentifikasi permasalahannya adalah sebagai berikut:
1. Masyarakat pribumi di Tangerang, secara kuantitas mengungguli
kelompok masyarakat pendatang asing (Tionghoa, Arab, dan Eropa).
Namun faktanya secara kualitas, dalam kehidupan ekonomi dan politik,
mereka tertinggal jauh.
2. Masyarakat pribumi, mayoritas berprofesi sebagai petani penggarap.
Kehadiran mereka di Tangerang mewarisi orang tuanya secara turun
temurun, tetapi tidak dalam hal kepemilikan tanah. Kebijakan
pemerintah dalam status tanah partikelir, mengakibatkan petani pribumi
tidak bisa menjadi tuan di tanahnya sendiri.
3. Kesenjangan ekonomi, status sosial, dan hak politik – mewarnai
kehidupan masyarakat asli Tangerang berhadap-hadapan dengan orang-
orang asing yang merajai dalam segala bidang.
4. Keadaan hidup kaum pribumi yang semakin menghimpit mereka,
mengakibatkan terjadinya frustasi. Cara-cara tradisional, dianggap
sebagai jalan keluar untuk mereka dapat lewati. Kepercayaan
tradisional, meyakini kepada kedatangan sosok pembebas (Ratu Adil
atau sejenisnya), yang menjanjikan kehidupan yang lebih baik di masa
depan.

18
Muhammad Bakir Syafi‟an adalah salah satu tokoh yang berprofesi sebagai
penulis hikayat dan karya-karya prosa lainnya. Naskah-naskah tersebut diperjualbelikan
dan juga disewakan untuk dibaca oleh para penyewa. Beliau berdomisili di Kampung
Langgar Tinggi, Pecenongan.
19
Naskah tersebut tersimpan dalam katalog Perpustakaan Nasional Republik
Indonesia dengan Nomor Panggil ML. 241, terdapat pula informasi dalam katalog tentang
riwayat kisah yang disampaikan oleh seorang dalang dari Kampung Pejagalan kepada
penulis di Pecenongan. Lihat Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Provinsi DKI Jakarta,
Bunga Rampai Sastra Betawi, (Jakarta: Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Provinsi DKI
Jakarta, 2002), h. 13
8
5. Umumnya tokoh gerakan millenarian, berprofesi sebagai agamawan
(kyai, ustadz, atau ahli kebatinan). Dalam peristiwa Tangerang 1924,
yang menjadi lokomotif pergerakan justru berbeda dengan tokoh-tokoh
meanstream dalam gerakan tersebut. Justru pencetus protes sosial di
Tangerang tersebut memiliki latar belakang sebagai Dalang Wayang.

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah


Dalam penelitian ini agar tidak melebar terlalu jauh, maka peneliti
membatasi fokus kajiannya dengan hanya menampilkan tempat peristiwa
berlangsung dan daerah-daerah yang menjadi penyokong utama gerakan
Kaiin Bapa Kayah. Bila ditinjau dari peristiwa ini daerah geografisnya
hanya meliputi daerah Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang, tetapi
secara kebudayaan juga dipengaruhi oleh Melayu-Betawi (Jakarta).
Meskipun dalam pengertian moderen, wilayah Tangerang dan Jakarta
berada pada provinsi yang berbeda.20
Selain pembatasan geografis peristiwa, penulis juga membatasi
permasalahan sekitar pengharapan millenarian (millenarian expectation)
petani Tangerang studi kasus Peristiwa Tangerang yang terjadi pada tahun
1924, yang dipimpin oleh Kaiin Bapa Kayah untuk melakukan protes
sosial terhadap penindasan (zulm) pemerintah kolonial Belanda dan
sekutunya (tuan tanah Tionghoa dan pejabat birokratik pribumi).
Memperhatikan permasalahan yang ada cukup kompleks, maka
dalam melakukan penulisan ini perlu adanya perumusan yang lebih rinci
sehingga pembahasannya lebih terarah. Perumusan yang dimaksud adalah
sebagai berikut:
1. Apa faktor pendorong Kaiin Bapa Kayah untuk melakukan protes
sosial?
2. Apakah konsep millenarian yang digunakan oleh Kaiin Bapa Kayah
untuk melakukan protes sosial?
3. Bagaimana impian millenarian Kaiin Bapa Kayah mempengaruhi
masyarakat petani Tangerang untuk mengikuti pergerakan?

20
Taufik Abdullah menegaskan dalam pembatasan yang bersifat geografis dan
administratif perlu diperhatikan, “Dari sudut geografis maka kita berhadapan dengan soal-
soal ekologis, sedang secara administratif kita akan menghadapi kemungkinan selalu
berubahnya „perbatasan‟ itu sebagai akibat peralihan pertimbangan politik.” Lihat Taufik
Abdullah (ed.), Sejarah Lokal di Indonesia, (Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Press,
1979), h. 321
9
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Penelitian tentang pergerakan millenarian Kaiin Bapa Kayah
sebagai protes sosial kaum tani Tangerang, bertujuan untuk:
1. Mengetahui faktor-faktor apa saja yang mendorong terjadinya protes
sosial petani Tangerang.
2. Memahami konsep millenarian yang digunakan Kaiin Bapa Kayah
untuk melakukan gerakan protes.
3. Mengetahui apakah gerakan Kaiin Bapa Kayah terkait juga dengan
paham ratuadilisme (mesianisme) yang berkembang di Indonesia saat
itu.

Sedangkan kegunaan penelitian tesis ini adalah:


1. Menambah khazanah keilmuan bagi pembaca, teoritisi, mahasiswa dan
tokoh masyarakat, dalam pengembangan studi sejarah khususnya
tentang pergolakan-pergolakan yang diwarnai dengan unsur-unsur
mesianistik dan juga sebagai acuan untuk menghadapi kondisi sosio-
ekonomi dan politik bangsa yang sedang mengalami cobaan (zaman
Kaliyuga dalam istilah mitos ramalan Jayabaya) untuk dapat kita hadapi
dengan usaha-usaha yang lebih rasional dan moderen.
2. Sebagai bahan kajian kepustakaan (library research) dan studi lanjutan
bagi mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta khususnya jurusan
Sejarah dan Kebudayaan Islam.
3. Berguna bagi pemerintah daerah khususnya Kabupaten Tangerang dan
Kota Tangerang untuk mengetahui sejarah lokal dan tokoh
pahlawannya, serta menghargai jasa-jasa mereka.
4. Menjadi landasan pengambilan kebijakan pemerintah khususnya yang
terkait dengan konflik agraria, gerakan millenarian, dan mesianisme.

E. Kerangka Teori Sejarah Lokal dan Gerakan Sosial


Objek kajian penelitian tesis ini adalah Peristiwa Tangerang 1924
yang dipimpin oleh seorang dalang, Kaiin Bapa Kayah, yang merupakan
bagian dari sejarah mikro, dan masuk dalam ranah sejarah lokal, di mana
tercakup di dalamnya kesatuan wilayah berdasarkan unsur geografis atau
etnis-kultural di lokasi peristiwa, melampaui batas wilayah administratif
zaman moderen.
Ruang lingkup sejarah lokal yang kecil yang terjadi di suatu
wilayah desa atau bahkan lebih kecil dari itu, membuat orang
mengkerdilkan peristiwa sejarah dalam tingkat ini. Karena itu, menurut
10
Sartono Kartodirdjo perlulah sejarah lokal diberi pemahaman kepada
khalayak tentang unsur pemaknaannya yang dapat juga berpengaruh secara
lebih luas dalam skala nasional, dengan demikian sejarah lokal yang
bersifat mikro dapat terhubung dengan konteks makro.21
Pengertian Sejarah Lokal menurut Taufik Abdullah bukanlah
sejarah daerah atau regional, karena itu istilah “lokal” dianggap lebih
netral. “Pengertian kata lokal tidak berbelit-belit, hanyalah „tempat, ruang‟.
Jadi „sejarah lokal‟ hanyalah berarti sejarah dari suatu „tempat‟, suatu
„locality‟ yang batasannya ditentukan oleh „perjanjian‟ yang diajukan
penulis sejarah.”22
Pembatasan geografis dalam sejarah lokal bisa suatu tempat tinggal
suku bangsa yang dalam pengertian terkini sudah berbeda daerah
administratifnya atau bahkan menyempit hanya dalam lingkup satu desa
saja. Hal ini diutarakan oleh Taufik Abdullah dengan mengutip pernyataan
H.P.R. Finberg dan V.H.T. Skipp “Sebagai kisah di kelampauan dari
kelompok atau kelompok-kelompok masyarakat yang berada pada „daerah
geografis‟ yang terbatas.”23
Dalam hal tersebut di atas, maka pendekatan linguistik pada
penelitian sejarah untuk mengungkap bahasa dan budaya suku bangsa yang
mendiami suatu geografi tertentu menjadi suatu keharusan. Sebagaimana
dikatakan Kuntowijoyo, “Analisa penggunaan bahasa di lapangan perlu
dirunut penggunaannya secara empiris dalam kajian mengenai sejarah
pemakaian bahasa melalui koran, majalah, penerbitan, bahkan
manuskrip.”24 Karena itu, peneliti juga menggunakan jasa dari
penelitiannya Multamia R.M.T Lauder, tentang Pemetaan dan Distribusi
Bahasa-bahasa di Tangerang,25 untuk menemukan latar budaya dan
pemahaman gerakan millenarian Kaiin Bapa Kayah dalam protes sosialnya
di Tangerang pada tahun 1924.
Pergerakan yang dilakukan oleh Kaiin Bapa Kayah, dalam
beberapa kategori dapat digolongkan sebagai gerakan sosial, meski pun
teori mengenai gerakan sosial baru muncul belakangan. Berikut ini adalah
definisi-defenisi gerakan sosial yang dikutip oleh Ihsan Ali Fauzi:

21
Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah,
(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993), h. 74
22
Taufik Abdullah (ed.), Sejarah Lokal di Indonesia, (Yogyakarta: Universitas
Gadjah Mada Press, 1979), h. 11-12. Lebih lanjut lihat H.P.R. Finberg dan V.H.T. Skipp,
Local History: Objective and Pursuit, (Newtown Abbot: David Charles, 1973), h. 14-15
23
Ibid
24
Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya,
1994), Cet. Ke-1, h. 122
25
Multamia R.M.T. Lauder, Pemetaan dan Distribusi Bahasa-bahasa di
Tangerang, (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1993)
11
pendapat Michael Useem, adalaha “Tindakan kolektif terorganisasi, yang
dimaksudkan untuk mengadakan perubahan sosial.”26

“... John McCarthy dan Mayer Zald melangkah lebih rinci, dengan
mendefinisikan gerakan sosial sebagai “upaya terorganisasi untuk
mengadakan perubahan di dalam distribusi hal-hal apa pun yang bernilai
secara sosial”. Sedangkan Charles Tilly menambahkan corak
perseteruan (contentious) atau perlawanan di dalam interaksi antara
gerakan sosial dan lawan-lawannya...“Soal pendefinisian ini, saya
lebih cenderung mengikuti David Meyer dan Sidney Tarrow,
dalam karya mereka Social Movement Society (1998). Keduanya
memasukkan semua ciri yang sudah disebutkan di atas dan mengajukan
sebuah definisi yang lebih inklusif tentang gerakan sosial, yakni:
“Tantangan-tantangan bersama, yang didasarkan atas tujuan dan
solidaritas bersama, dalaminteraksi yang berkelanjutan dengan
kelompok elite, saingan
atau musuh, dan pemegang otoritas”27

Teori Gerakan Sosial, digunakan dalam analisis aktivisme Islam di


Indonesia dan dunia Islam pada umumnya muncul dari kekhawatiran Barat
terhadap bahaya kebangkitan Islam. Kacamata Orientalis digunakan
sebagai investigasi terhadap tradisi, budaya, dan sifat agama kaum pribumi
– yang mengancam kekuasaan politik dan ekonomi di negara koloninya.28
Peminjaman teori ini, digunakan untuk dapat memahami, aspek di balik
gerakan millenarian yang dilakukan oleh Kaiin Bapa Kayah pada peristiwa
Tangerang 1924.

F. Tinjauan Penelitian Terdahulu


Penelitian tentang Perlawanan Petani Tangerang yang dipimpin oleh
Kaiin Bapa Kayah, pernah menjadi pembahasan skripsi yang ditulis

26
Ihsan Ali Fauzi, Sintesis Saling Menguntungkan: Hilangnya “Orang Luar” dan
“Orang Dalam”, dalam Quintan Wiktorowicz, (ed.), Aktivisme Islam: Pendekatan Teori
Gerakan Sosial, (Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Departemen Agama
Republik Indonesia, 2007), h. 2
27
Quintan Wiktorowicz, (ed.), Aktivisme Islam: Pendekatan Teori Gerakan Sosial,
(Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Departemen Agama Republik
Indonesia, 2007), h. 4
28
Charles Kurzman, Teori Gerakan Sosial dan Studi-studi Islam, dalam Quintan
Wiktorowicz, (ed.), Aktivisme Islam: Pendekatan Teori Gerakan Sosial, (Jakarta: Balai
Penelitian dan Pengembangan Agama Departemen Agama Republik Indonesia, 2007), h.
363-374
12
oleh Mukhlishah, mahasiswi jurusan Sejarah dan Peradaban Islam
(angkatan tahun 2000), UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang ditulis pada
tahun 2005. Adapun judul tulisannya adalah “Peranan Kaiin Bapak Kayah
dalam Gerakan Sosial Petani Tangerang terhadap Dominasi Cina Tahun
1924”.29 Skripsi tersebut menggambarkan latar belakang Kaiin Bapak
Kayah untuk melakukan perlawanan terhadap dominasi etnis Tionghoa,
yang terangkum dalam bab III.30 Kemudian pada bab IV digambarkan
peristiwa meletusnya pemberontakan yang dilakukan oleh Kaiin Bapa
Kayah di wilayah Tangerang pada tahun 1924.31 Apa yang diteliti oleh
Mukhlishah, hanya fokus pada peristiwa perlawanan petani Tangerang
terhadap dominasi etnis Tionghoa, tidak menyentuh aspek millenarian dari
pergerakan ini. Namun begitu, peneliti banyak mendapatkan informasi
yang dibutuhkan untuk ditelusuri lebih lanjut, khususnya tentang peristiwa
Tangerang 1924 yang dipimpin oleh Kaiin Bapa Kayah.
Penelitian kedua, terkait tentang gerakan sosial Kaiin Bapa Kayah
di tanah Partikelir Tangerang, pernah termuat dalam sub-bab IV buku
“Sejarah Kabupaten Tengerang”, yang ditulis oleh M. Dien Majid, Nana
Suryana, dan Darmiati.32 Di dalam buku ini terungkap motif-motif para
penggerak perlawanan petani Tangerang, adalah karena kecemburuan
sosial kaum pribumi dengan para pendatang asing (khususnya etnis
Tionghoa), tuan tanah, pegawai pemerintah kolonial, dan pemerintah
kolonial Belanda – yang telah membatasi ruang gerak kaum pribumi dalam
pemanfaatan sumber-sumber ekonomi di tanah airnya sendiri. Selain faktor
tersebut, dua hal lain yang menyebabkan perlawanan ini mendapat tempat
di kalangan petani adalah karena tersiarnya kepercayaan tentang Ratu Adil
yang akan menyelamatkan umat manusia dari keterpurukan dan
kesengsaraan. Kemudian faktor munculnya gerakan moderen, yang
ditandai dengan dibukanya organisasi Sarekat Islam di Tengerang yang
memberikan pengaruh pada tingkat akar rumput, karena kesamaan
perjuangan dengan kehidupan aktual para petani dan kaum pribumi.
Tulisan ketiga muncul lebih dahulu dari pada penelitian di atas,
yakni apa yang pernah diangkat oleh Didi Suryadi dalam Seminar Nasional
Sejarah ke-3 tahun 1981. Didi menulis tema perlawanan Petani pimpinan
Kaiin Bapa Kayah dengan judul “Pemberontakan Petani di Tangerang,
1924”. Semua hasil penelitian dalam Seminar tersebut sudah dikumpulkan

29
Mukhlishah, Peranan Kaiin Bapak Kayah dalam Gerakan Sosial Petani
Tangerang terhadap Dominasi Cina tahun 1924, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2005)
30
Ibid, h. 40-66
31
Ibid, h. 67-97
32
M. Dien Majid, et.al., Sejarah Kabupaten Tangerang, (Tangerang: Pemerintah
Kabupaten Daerah Tingkat II Tangerang bekerjasama dengan Lembaga Penelitian
Pengabdian Masyarakat (LPPM) Universitas Syaikh Yusuf, 1992), h. 79-91
13
oleh Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan menjadi sebuah buku yang diterbitkan pada tahun 1982. Hasil
penelitian Didi Suryadi, mengungkap sisi lain keterkaitan pergerakan
dengan latar belakang sosial ekonomi dan pengaruh organisasi Sarekat
Islam.33 Selain itu dibahas pula profil tokoh utama dan para pengikut
pergerakan, serta rencana aksi protes34 yang dideskripsikan tanpa
menampilkan secara gamblang unsur millenarian dalam gerakan pimpinan
Bapak Dalang Kaiin, bahkan dalam kesimpulan tulisannya, Suryadi
mengutip pernyataan R.A Kern, bahwa pemberontakan ini bermotif
ekonomi dan politik sebagai faktor yang dominan untuk menggerakan para
Petani, yang tidak menjadi tuan di tanahnya sendiri, untuk melakukan aksi
protes. Didi Suryadi juga memberi benang merah bahwa pemberontakan
petani Tangerang, mendapat pengaruh juga dari organisasi Sarekat Islam
yang telah membuka perwakilannya di Afdeling Tangerang pada tahun
1915, sehingga organisasi ini menanamkan benih-benih nativisme.35
Tulisan Didi ini turut mengilhami penelitian lebih lanjut tentang konsepsi
millenarian dan mesianisme yang berkembang saat itu, yang juga
menginspirasi gerakan Kaiin Bapa Kayah.
Adapun penelitan keempat, yang terkait dengan gerakan
millenarianisme, peneliti mendapatkan informasi dari Sartono Kartodirjo
dalam bukunya yang berjudul Ratu Adil.36 Di sini, Sartono
mengelompokkan pemberontakan Petani Tangerang yang dikomandoi
Kaiin Bapa Kayah sebagai gerakan keagamaan yang bersifat mesianistis.
Namun, sayangnya apa yang ditulis oleh Guru Besar Sejarah Universitas
Gadjah Mada tersebut, tidak banyak mendeskripsikan secara utuh peristiwa
Tangerang 1924, hanya sekelumit informasi dari beberapa kisah yang
digambarkan, dan kasus yang ditampilkan tidak spesifik merujuk kepada
peristiwa Tangerang saja,37 di dalam buku tersebut Kartodirjo juga
memberikan uraian global tentang tiga contoh lain, sejarah perlawanan
kaum pribumi yang memakai simbol Ratu Adil sebagai tokoh mesianistis
untuk melakukan pergerakan.38

33
Didi Suryadi, Pemberontakan Petani di Tangerang, 1924, dalam kumpulan artikel
Seminar Sejarah Nasional III, Seksi Sejarah Perlawanan terhadap Belanda 2, (Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek
Inventarisasi dan Dokumen Sejarah Nasional, 1982), h. 58-60
34
Didi Suryadi, Ibid, h. 60-66
35
Didi Suryadi, Ibid, h. 66-67
36
Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil, op.cit
37
Ibid, h. 25-27
38
Peristiwa pertama tentang Gerakan Nyi Aciah (1870-1871) di Sumedang
(Priangan) seorang yang diyakini dapat menyembuhkan bermacam penyakit dan
memberikan harapan millenarian akan datangnya Kerajaan Sunda. Kedua, Gerakan Kobra
(Jumadilkubra) yang terjadi di daerah Pekalongan dan Banyumas pada tahun 1871,
14
Berdasarkan tinjauan penelitian di atas, maka peneliti ingin mengisi
kekosongan dari para peneliti sebelumnya tentang Gerakan Kaiin Bapa
Kayah dalam Peristiwa yang terjadi pada tahun 1924. Aspek
millenarianisme dari gerakan Kaiin Bapa Kayah, belum secara fokus
dibahas para peneliti tersebut. Selain faktor ekonomi, politik, dan sosial –
mitos Ratu Adil inilah menjadi faktor dari beberapa penyebab bersatunya
masyarakat untuk melawan atas ketidakadilan dan kelaliman tuan tanah
dan penguasa kolonial.

G. Metode Penelitian
Dalam pelaksanaan penelitian perlu ditentukan objek penelitiannya,
adapun objek kajian tesis ini adalah Gerakan Millenarian Kaiin Bapa
Kayah yang membangkitkan protes sosial Petani Tangerang pada tahun
1924. Dan metode penelitian yang dipergunakan dalam penulisan tesis ini
adalah metode penelitian sejarah39 dengan pendekatan multidimensional40.
Adapun langkah-langkah penelitian sejarah yang dilakukan adalah
sebagai berikut: pertama, heuristik (bahasa Yunani, heuristiken), yaitu
menemukan atau mengumpulkan sumber.41 Sumber penulisan tesis ini
diperoleh dari arsip kolonial Belanda abad ke-19 dan awal abad ke-20 yang
tersimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) dan manuskrip
koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) yang terkait
dengan millenarianisme atau mahdisme sebagai sumber primer. Sedangkan
data sekunder diperoleh dari buku terbitan, majalah, surat kabar yang
terdapat pada perpustakaan umum maupun pribadi, serta sumber internet
yang relevan.
Kedua, Kritik Sumber, semua data yang terkumpul sebagai sumber
penelitian tersebut selanjutnya dikritik baik dari sudut pandang interen
maupun eksteren. Kritik interen dilakukan agar sumber yang didapatkan

dengan tokoh utama yang bernama Achmad Ngisa yang pengikutnya juga dari pelbagai
lapisan penduduk, termasuk para pegawai negeri dan para bangsawan. Ketiga, peristiwa
yang dipimpin oleh Jasmani di Kediri, seorang lulusan pesantren yang pernah bermukim di
rumah seorang guru keramat yang bernama Amat Mukiar yang mengaku bakal menjadi
Panembahan (Bupati) dan anak didiknya menjadi Ratu Adil Igama di sebuah kerajaan Sultan
Adil yang akan berdiri pada akhir tahun Jawa, di Birowo, Kewedanan Lodoyo. Lihat
Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil, Ibid, h. 19-27
39
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Bentang, 1995), h. 89-122
40
Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, (Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama, 1993)
41
M. Dien Madjid dan Johan Wahyudhi, Ilmu Sejarah Sebuah Pengantar, (Jakarta:
Prenada Media Grup, 2014), Cet. Ke-1, h. 219
15
memenuhi kelayakan dan kredibel. Sumber dianggap mampu
mengungkapkan kebenaran suatu peristiwa, apabila memenuhi
kemampuan meliputi kompetensi, kedekatan, atau kehadiran sumber dalam
peristiwa sejarah.42 Sedangkan kritik eksteren adalah tahapan dimana
sumber diuji keabsahan dan autentifitasnya. Kritik terhadap keaslian atau
salinan sumber yang diketemukan menjadi sebuah keharusan dalam
penelitian sejarah, karena dengan langkah ini setidaknya peneliti dipandu
untuk berhati-hati terhadap orisinalitas sumber sejarah.
Langkah penelitian setelah kritik, yaitu Interpretasi, dimana
kegiatan ini dilakukan setelah fakta-fakta disusun. Menurut M. Dien
Madjid dan Johan Wahyudhi, “fakta-fakta sejarah yang berhasil
dikumpulkan belum banyak bercerita. Fakta-fakta tersebut harus disusun
dan digabungkan satu sama lain sehingga membentuk cerita peristiwa
sejarah”.
Selanjutnya yang keempat, yaitu Historiografi (penulisan sejarah).
Dalam metode penelitian sejarah, historiografi adalah langkah terakhir
dalam penelitian sejarah. Dudung Abdurrahman yang dikutip oleh M. Dien
Madjid dan Johan Wahyudhi, “Penulisan sejarah (historiografi) merupakan
cara penulisan, pemaparan, atau pelaporan hasil penelitian sejarah yang
telah dilakukan.”43

H. Sistematika Penulisan
Dalam pembahasan tentang pergerakan millenarianisme Kaiin
Bapa Kayah, penulis membagi tiga faktor tersampaikannya ide-ide revolusi
Kaiin Bapa Kayah kepada para pengikutnya untuk melakukan perlawanan
terhadap kolonialisme bangsa penjajah. Pertama, faktor ideologi yang
mempengaruhi aksi perlawanan ini, melalui doktrin keagamaan
(mahdisme) dan tradisi lokal (ramalan Jayabaya) yang menjanjikan
kedatangan kemajuan (kertayuga) setelah melewati beberapa krisis
(kaliyuga) ditandai dengan kedatangan sang pembebas Ratu Adil dan juga
referensi lokal (hikayat Muhammad Hanafiyah dan Hikayat Arjuna dalam
kisah pewayangan) yang menginspirasi pergerakan. Pembahasan ini
penulis tuangkan dalam bab II. Kedua, faktor keadaan ekonomi, sosial, dan
politik, yang secara khusus dibahas dalam bab III. Ketiga, faktor internal,
yakni faktor yang mempengaruhi perlawanan masyarakat terhadap
kolonialisme bangsa penjajah, melalui dalam diri atau pribadi sang tokoh
pembebas (Kaiin Bapa Kayah) yang mengasosiasikan dirinya dengan

42
M. Dien Madjid dan Johan Wahyudhi, Ibid, h. 223-224
43
M. Dien Madjid dan Johan Wahyudhi, Ibid, h. 230-231
16
tokoh mesianistis dan turun wahyu kepadanya untuk melakukan aksi
perlawanan, proses pergerakan, mobilisasi, dan praktik ideologi
pergerakan. Pembahasan lebih lanjut penulis tuangkan ke dalam bab IV
dan bab V.
Untuk memudahkan penulisan tesis ini, maka penulis membagi atas
lima bab dengan sistematika sebagai berikut:
BAB I : Bab ini adalah Pendahuluan terdiri dari; Latar Belakang
Masalah, Identifikasi Masalah, Pembatasan dan Perumusan
Masalah, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Kerangka Teori
Sejarah Lokal dan Gerakan Sosial, Tinjauan Penelitian
Terdahulu, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
BAB III : Bab ini membahas tentang Millenarianisme dalam Sejarah
Indonesia meliputi; pertama Kepercayaan terhadap
Mesianisme dan Millenarianisme. Kedua, Doktrin Mahdisme,
Eskatologi Islam, dan Perang Sabil. Ketiga, Konsep
Ratuadilisme dalam Ramalan Jayabaya. Keempat, Kandungan
Millenarian dalam Hikayat Muhammad Hanafiyah. Kelima,
Kandungan Millenarian dalam Kisah Pewayangan Arjuna.
BAB III : Bab ini membahas Situasi Sosial Politik Sebelum Pergerakan
yang mencakup di dalamnya; Toponimi dan Letak Geografis
Tangerang, Tangerang sebagai Tanah Partikelir, Struktur
Sosial Masyarakat, Keadaan Ekonomi Masyarakat dan
Kebijakan Pemerintah Kolonial terhadap Masyarakat
Tangerang.
BAB IV : Bab ini membahas Konsepsi Millenarian dalam Pergerakan
Tangerang 1924, yang meliputi pembahasan; Kaiin Bapa
Kayah: Dalang Wayang dan Pergerakan, Ekspektasi Mesianik
dalam Kepercayaan Masyarakat, Visi Millenarian dalam
Pergerakan, Unsur Islam dalam Pergerakan Kaiin Bapa Kayah.
BAB V : Bab ini membahas Pergerakan Millenarian Tangerang 1924
sebagai Protes Sosial, dengan pokok pembahasan; Proses-
proses Pergerakan, Faktor Kepemimpinan Kaiin Bapa Kayah,
Mobilisasi Pergerakan, Ideologi Pergerakan, dan Analisis
Pergerakan.
BAB VI : Bab ini adalah penutup yang berisi kesimpulan dan saran.

Penulis mencantumkan daftar pustaka dan lampiran-lampiran sebagai


bahan pendukung penulisan tesis berdasarkan data dan fakta yang akurat.
BAB II
MILLENARIANISME DALAM SEJARAH INDONESIA

Bila kita mendalami sejarah lokal di suatu daerah, tentunya


mendalami kehidupan budaya dan pengetahuan mereka yang menjadi jiwa
zaman pada waktu itu perlu dipahami. Tangerang adalah suatu daerah
otonom di era moderen, tapi berbeda di zaman lampau, bila merujuk kepada
alam geografisnya, maka diketahuilah sebelum berdiri menjadi daerah
kabupaten dan kota, Tangerang berada dalam pengaruh beberapa kerajaan
dan suku bangsa.
Keberadaan pengaruh budaya dan kepercayaan luar, terutama Betawi,
Jawa dan Sunda mendominasi alam kehidupan masyarakat Tangerang.
Dalam hal ini penulis ingin menarik garis kepercayaan masyarakat lokal
kepada sebuah mitos millenarian, dimana referensi kebudayaannya
bersumber dari keyakinan pada Ramalan Jayabaya, seorang Raja Jawa yang
mempunyai keahlian melihat masa depan dengan perwujudan kehadiran
seorang tokoh pembebas Ratu Adil sebagai penantian akan terlepasnya
kesulitan dan kesangsaraan rakyat Jawa.
Sedangkan bila dilihat jumlah penganut Islam di wilayah Tangerang,
merupakan yang terbesar dan menjadi mayoritas agama yang dianut oleh
penduduk asli maupun pendatang. Maka referensi atas kepercayaan tokoh
millenarian dalam Islam bersumber kepada kepercayaan Mahdisme, dimana
tokoh Imam Mahdi menjadi sentrum atas simbol pembebasan dari
keterenggutan masyarakat, kehinaan duniawi yang menyengsarakan mereka.
Atas dasar inilah, maka di bawah ini penulis perlu menjelaskan
referensi lokal dan agama Islam yang memengaruhi keyakinan tradisional
masyarakat Tangerang dan mampu menggerakkan perlawanan.

A. Kepercayaan terhadap Mesianisme dan Millenarianisme


Kepercayaan tentang kedatangan Mesiah (juru selamat), muncul
sebelum periode kedatangan agama Nasrani yang dibawa oleh Nabi Isa AS,
artinya mesianisme sebagai keyakinan sudah dianut oleh kaum Yahudi, hal
ini berdasarkan pada sebuah ajaran dalam kitab Perjanjian Lama yang
meramalkan kedatangan juru selamat untuk mengembalikan situasi mapan
sebagaimana pernah dilakukan oleh Nabi Daud AS saat memimpin
kerajaannya, adapun tokoh yang dinantikan itu muncul dari garis keturunan
Nabi Daud. Dalam suatu redaksi Perjanjian Lama yang berbeda, diyakini
pula Mesiah lahir ke dunia ini melalui keajaiban seorang perempuan suci
yang tak bersuami, bernama Maryam. Anak yang dilahirkan Maryam

17
18
tersebut, diberi nama Isa. Banyak orang yang menaruh harapan kepada Isa,
ketika diangkat menjadi nabi dalam usia 30 tahun, untuk menjadi penyelamat
kaum mereka.1
Menurut HM Rasyidi (Mantan Menteri Agama) dalam Majalah
Prisma, keyakinan tentang Al-Masih (dalam bahasa Arab), Mesiah (bahasa
Ibrani) yang berasal dari kata “Mashiah”, sama artinya dengan “Christos”
(dalam istilah Latin) – yakni bermakna orang yang diusapi dengan minyak
kasturi. Artinya manusia pilihan yang dimuliakan atau juru selamat.2
Senada dengan itu, buku berjudul The Messianic Legacy, juga
memberikan garis lurus tentang pengertian Mesias:3

“...‟Mesias‟ kurang lebih berarti „yang diurapi‟ (sic: diurapi dengan


minyak, sebagai manusia pilihan). Dengan kata lain, ia mengacu pada raja
yang sudah sewajarnya dikuduskan dan raja kudus yang mendapatkan
dukungan. Setiap Raja Israel dipandang sebagai Mesias. Istilah itu sudah
biasa diterapkan pada Daud dan pengganti Daud, mulai dari Raja Salomo
dan seterusnya. „Setiap Raja Yahudi dari Keluarga Raja Daud dikenal
sebagai Mesias, atau Kristus, dan cara yang biasa untuk memaksudkannya
sebagai Imam Kepala adalah „Mesias Imam‟...”

Namun demikian, terdapat perbedaan pemahaman di antara


cendikiawan Kristen sendiri. Awalnya kebanyakan memahami status Mesias,
sebagai tokoh nonpolitik (bukan pemimpin kerajaan), pribadi yang menjadi
panutan dalam dunia spiritual Kristen, sebaliknya lebih jauh dari itu, yakni
memandang otoritas duniawi hanya bersifat sementara, kerajaan yang bukan
dunia merupakan tujuan akhirnya.4
Klaim tersebut dipatahkan oleh pendapat lain, sebagaimana dikutip
dari Michael Baigent dan kawan-kawan:5

“... Dewasa ini hanya segelintir sejarawan bidang itu akan


memperdebatkan bahwa Mesias yang dinantikan dalam era Yesus adalah
sepenuhnya tokoh politik, yang berniat melepaskan orang Israel dari
Belenggu penjajahan Roma. Yudaisme pada saat itu tidak mengakui
perbedaan antara agama dan politik. Sampai pada tahap bahwa raja yang
benar itu diberikan mandat sekaligus dikukuhkan oleh Allah, maka aktivitas
politiknya terselubung dalam lingkaran cahayanya yang religius...”

1
Rasyidi, “Imam Mahdi dan Harapan akan Keadilan”, Prisma, Januari 1977, No. I.
Tahun VI, h. 45
2
Rasyidi, Ibid, h. 45
3
Michael Baigent et.al., (Terj.), The Messianic Legacy: Warisan Abadi Seorang
Mesias, (Jakarta: Ramala Books, 20017), Cet. Ke-1, h. 49
4
Ibid, h. 51
5
Ibid, h. 52
19
Kedatangan Nabi Isa AS di hari akhir untuk menaklukkan Dajjal
dalam mahdisme6 dan eskatologi Islam, juga dikenal sebagai pengetahuan
tersendiri. Tetapi itu bukan doktrin utama, eskatologi Islam lebih
memandangnya sebagai keyakinan akan adanya hari kiamat, sesuai dengan
rukun Iman dalam ideologi Islam.
Gerakan mesianisme di Jawa, umumnya juga bersifat millenarian.
Tokoh juru selamat (mesiah) dalam hal ini juga dikaitkan dengan unsur
millenarian (millenium) atau abad keemasan. Untuk mewujudkan harapan
millenarian, maka kemunculan Sang Juru Selamat, yang akan menjadi
penguasa adil, pembawa perdamaian dan kemakmuran sandang dan pangan
menjadi prasyarat kemajuan zaman yang dinantikan tersebut. Salah satu
kepercayaan mesianisme Jawa adalah merujuk kepada datangnya Ratu Adil,
Raja Kebenaran yang akan membebaskan orang dari penyakit, kelaparan, dan
setiap kejahatan. Kedatangannya akan didahului oleh bencana-bencana alam,
penurunan martabat, kemelaratan dan penderitaan.7
Konsep Millenarianisme dikonstruksi dari kepercayaan kaum Nasrani,
yang meyakini adanya tokoh pembaharu dalam siklus seribu tahunan8 –
dalam hal ini Isa dianggap representasi Al-Masih atau Juru Selamat yang
dijanjikan dalam Perjanjian Lama. Sedangkan dalam pandangan Islam,
sebagaimana dikatakan Marshall G.S Hodgson, “Berbeda dalam
millenialisme Islam, zaman sempurna itu biasanya tidak dikatakan untuk
masa seribu tahun.”9 Sehingga pemahaman tentang siklus tahun tertentu akan
muncul tokoh pembebas atau pembaharu dalam Islam tidak begitu populer,
karena dalam Islam menurut Azyumardi Azra lebih menampilkan upaya
melahirkan pembaharuan dalam masyarakat melalui usaha umatnya sendiri,
bukan dengan jalan pasif sambil menunggu campur tangan eskatologis.10
Tokoh Islam yang memainkan peranan pembaharu dengan
pendekatan millenarianisme yang diistilahkan Mujaddid Alfi Tsani atau

6
Menurut Ibnu al-Qayyim al-Jauzi sebagaimana dikutip oleh Muhammad Isa
Dawud: “Isa adalah al-Mahdi paling agung (yang turun ke dunia) antara masa hidup
Rasulullah saw dan Hari Kiamat.” Lihat Muhammad Isa Dawud, Al-Mahdi al-Muntazhar ‘ala
al-Abwab: Qahir al-Masih al-Dajjal (terj), Menyongsong Imam Mahdi Sang Penakluk
Dajjal, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002), cet. Ke-3, h. 29
7
Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil, (Jakarta: Sinar Harapan, 1984), cet. Ke-1, h. 57
8
Millenarianisme yang dimaksud dikaitkan dengan makna Millenium, yang
definisinya menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah “Masa atau jangka waktu seribu
tahun”. Lihat Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus
Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), Cet.
Ke-1, Edisi Ke-4, h. 914
9
Marshall G.S Hodgson, Sebuah Catatan tentang Millenium dalam Islam, dalam
Sylvia L. Thrupp, op.cit, h. 367
10
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Timur
Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, (Jakarta: Prenada Media
Grup, 2013), h. 149
20
Millenium Kedua, adalah seorang ulama India, bernama Ahmad al-Sirhindi
(971-1034 H/1564-1624 M). Sebagaimana dikutip dari Azyumardi Azra:

“Al-Sirhindi menyatakan, zamannya dipenuhi kegelapan, Seribu tahun


setelah kematian Nabi Muhammad, Islam mengalami kemunduran; pada saat
yang sama, kekafiran dan bid’ah menguasai kaum Muslim. Dia percaya
bahwa dirinya adalah ulama yang memiliki pengetahuan sempurna, yang
mampu menjalankan fungsi laksana Nabi yang gigih memperbarui dan
membangkitkan kembali Islam. Friedmann menunjukkan bahwa spekulasi-
spekulasi eskatologis menjadi latar belakang dari pandangan Sirhindi di
zamannya. Namun eskstologinya tidak mengantisipasi waktu akhir dunia ini,
melainkan justru mencegah proses kemunduran yang berada pada titik nadir
dengan sarana tajdid (pembaruan). Dengan mengaitkan pentingnya tajdid
dengan masa seribu tahun, dia akhirnya mengikuti konsep milenarianisme” 11

Karena dianggap meresahkan pemahaman umat Islam pada kurun


abad 16-17, beberapa ulama par excellent membuat fatwa sekaligus
menentang konsep millenarian Al-Sirhindi tersebut. Sebagaimana
dikemukakan Azra dalam Jaringan Ulama:12
1. Muhammad bin „Abd al-Rasul al-Barzanji, yang memberikan penjelasan
paham Al-Sirhindi yang bersifat millenarian, karyanya yang pertama
diberi judul Qadh al-Zand wa Qadh fii Radd Jahaalaat Ahl al-Sirhindi,
selesai pada 15 Rajab 1093 H/20 Juli 1682 M. Dan buku keduanya ditulis
setelah dua tahun dari karyanya yang pertama, yakni pada 7 Muharram
1095 H/26 Desember 1683 M, tulisannya diberi judul al-Naasyiraat al-
Naajirah li al-Firqaat al-Faajirat.
2. Hasan al-„Ajami, yang menerangkan gagasannya dalam sebuah kitab
berjudul al-‘Ashhaab al-Hind li ‘Istishaal Kufriyaat Ahmad al-Sirhindi.
3. Diriwayatkan Ibrahim Al-Kurani juga turut meramaikan pergulatan
intelektual terkait masalah pemikiran Ahmad al-Sirhindi setelah berdiskusi
panjang dengan salah seorang pengikut Sirhindi, „Adam Baanuri (w. 1053
H/1643 M). Sayangnya tidak ada informasi yang ditampilkan oleh Azra,
apa judul tulisan tersebut.

Dalam tradisi lokal, beberapa ramalan tentang millenarianisme


menunjukkan suatu Abad Keemasan yang mengatakan bahwa semua
ketidakadilan akan diakhiri dan keharmonisan akan dipulihkan. Gerakan
yang bersifat Millenarian meyakini bahwa pergolakan sebagai bentuk upaya
balas dendam dan mengubah peranan-peranan di masa status quo,

11
Ibid, h. 150
12
Ibid h. 149-150
21
mengggeser kelompok yang berkuasa (dari Belanda) kepada negara dan
masyarakat tradisional yang akan kembali berjaya.13
Dunia yang diidamkan itu, sebagaimana dikatakan oleh Sartono
digambarkan sebagai berikut: “Jika zamannya nanti, tak akan ada lagi
pertentangan, ketidakadilan, dan penderitaan; rakyat akan bebas dari
pembayaran pajak yang memberatkan, dari wajib menjalankan kerja bakti.
Tak akan ada penyakit dan pencuri; sandang pangan akan melimpah; setiap
orang memiliki rumah, orang akan hidup tentram dan damai.”14
Harapan millenarian dalam kebudayaan Jawa, diwujudkan oleh tokoh-
tokoh pemuka masyarakat seperti guru ilmu, kiai, atau orang suci yang pada
umumnya memiliki karismatika (tokoh prophetic). Mereka inilah yang
mewujudkan agenda dan keinginan rakyat kecil, karena tokoh profetik
merupakan penerus dari tradisi millenarian yang kepercayaannya sudah
tertanam di masa lampau. Tokoh millenarian, menarik ideologi agama dalam
pergerakannya melalui ritual selamatan, upacara-upacara agama-mistik
lainnya, membagi-bagikan jimat, melakukan puasa, dan lain sebagainya –
untuk mempercepat terjadinya millenium yang dijanjikan tersebut.15 Para
pengikut memiliki hubungan guru-murid, semakin mempererat pergerakan
millenarian ini, menurut Aswab Mahasin dan Daniel Dhakidae, “Gerakan
kebatinan yang semula bersifat melunak, berubah menjadi gerakan mesianis
yang tak sabar menunggu perubahan datang dengan sendirinya.”16
Kepercayaan millenium sudah berurat berakar, bahkan sebelum kaum
pribumi terdampak oleh penjajahan dan eksploitasi kaum pendatang asing.
Sebagaimana ditulis oleh Cohen Stuart bahwa di masa lampau, ada seorang
tokoh millenarian yang bernama Erucakra.17 Selanjutnya nama Erucakra
dikultuskan menjadi penegas bagi tokoh-tokoh pejuang untuk menggaransi
gerakan-gerakan perlawanan mereka untuk mewujudkan millenium yang
diharapkan. Sehingga para pejabat kolonial selalu berhati-hati untuk
mengawasi tokoh-tokoh yang menggunakan nama julukan Erucakra,
sekaligus menutup ruang gerak mereka agar tidak menyulut rakyat
kebanyakan.18
Perlawanan-perlawanan yang bersifat millenarian memiliki potensi
kecenderungan pada gerakan radikal, karena misinya adalah melakukan
restorasi terhadap status quo secara total dan menyeluruh. Hal ini

13
Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil, op.cit, h. 55
14
Ibid, h. 14-15
15
Ibid, h. 14
16
Aswab Mahasin dan Daniel Dhakidae, “Gerakan Messianis dan Aspirasi Petani:
Sebuah Pengantar”, Prisma, edisi 1 Januari 1977, Tahun VI, h. 7
17
Stuart Abraham B. Cohen, “Eroe Tjakra”, Bijdragen tot de Taal-, Land en
Volkenkunde (BKI), No.19, 1872, h. 285-88
18
Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil, op.cit, h. 15
22
menunjukkan bahwa penggunaan ide-ide millenaristis itulah yang
memberikan alat kepada rakyat untuk menyatakan perlawanannya.19
Keyakinan millenium terkandung di dalamnya unsur-unsur
keakhiratan (eskatologis) yang merupakan faktor yang mempercepat gerakan
millenarian. Menurut Begawan Sejarah, Sartono Kartodirdjo: “Peralihan dari
situasi yang ada ke millenium dibayangkan berlangsung secara radikal dan
revolusioner. Orang-orang yang percaya dan mengharapkan dapat selamat
dari bencana alam dianjurkan supaya mematuhi petunjuk-petunjuk pemimpin
dalam melakukan kegiatan pemberontakan. Di sini kita berjumpa dengan
unsur pokok dalam gerakan millenarian, yaitu munculnya mesias atau
utusannya.”20

B. Doktrin Mahdisme, Eskatologi Islam, dan Perang Sabil


Kepercayaan terhadap Mahdisme mencuat sejak masa Rasulullah saw,
hal ini dibuktikan dengan adanya hadits yang membicarakan tentang
kedatangan tokoh Imam Mahdi, sebagaimana percakapan beberapa tokoh:
Emami, Fahimi, dan Hosyyar yang dikutip oleh Ibrahim Amini. Hosyyar
mengungkapkan adanya hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas‟ud:
“ Dunia tidak akan berakhir sampai seorang lelaki dari keluargaku (ahl al-
bayt), yang disebut al-Mahdi, bangkit untuk mengurus umatku.”21
Pendapat yang hampir senada dikemukakan oleh Emami,
menurutnya doktrin Mahdisme ada sebagian yang menyebut populer pada
paruh kedua abad pertama Hijriyah atau abad ketujuh Masehi, di pihak lain
mengatakan Mahdisme mencuat di masa Nabi. Bahkan sekolompok lain
menegaskan secara terang-terangan bahwa Muhammad Ali Al-Hanafiyyah
adalah Al-Mahdi yang dinantikan, mereka juga percaya ibn Hanafiyyah
belum wafat, masih hidup di Gunung Radhwah dan suatu saat akan muncul
kembali untuk menumpas angkara murka.22
Dalam eskatologi Islam, dipercayai akan datangnya kiamat, yakni
masa penghancuran besar alam jagat raya ini, sebelum terjadinya masa
pengakhiran tersebut, muncullah tokoh Imam Mahdi menjadi penyelamat
umat manusia dan kehadirannya sangat dinantikan untuk menaklukkan
Dajjal.

19
Ibid, h. 29
20
Ibid, h. 15-16
21
Ibrahim Amini, Al-Imam al-Mahdi: The Just Leader of Humanity, (terj) Imam
Mahdi Penerus Kepemimpinan Ilahi Studi Komprehensif dari Jalur Sunnah dan Syi’ah
tentang Eksistensi Imam Mahdi, (Jakarta: Islamic Center Jakarta, 2002) cet. Ke-1, h. 3
22
Ibid, h. 3
23
Program universal al-Mahdi sebagai reformer sedunia–meminjam
istilah Saleh Asyabibi Nahdi,23 bertujuan agar manusia, yang terikat pada
materialisme yang ekstrem dan mengabaikan perintah-perintah samawi,
kembali mentaati perintah Ilahi yang bersandar pada tujuan-tujuan moral dan
spritual. Program ini dimaksudkan untuk memecahkan kebuntuan yang
menghadang manusia dengan mengeratkan ikatan-ikatan yang terputus untuk
menghilangkan berbagai akar konflik di masyarakat, dan dapat
mempersatukan manusia di bawah panji tauhid (keesaan Tuhan), ketundukan
universal, serta penghambaan hanya kepada-Nya. Program seperti itu, jika
diterapkan akan mengakhiri tirani dan kelaliman serta menebarkan benih-
benih perdamaian melalui keadilan ke seluruh dunia.24
Menurut nubuwah (ramalan) Nabi Muhammad saw, Imam Mahdi akan
muncul nanti untuk tampil memimpin dunia. Beliau akan memenuhi bumi ini
dengan kebenaran dan keadilan sebagaimana bumi ini telah diliputi
sebelumnya oleh kezaliman dan kesesatan.
Mahdisme dalam pengertian historisnya, selalu hanya dianggap
sebagai protes politik, sebenarnya gerakan ini merupakan protes sosial juga,
walaupun biasanya memiliki kaitan pada pendasaran atas claim politik.25
Wacana Mahdisme sering dimanfaatkan orang yang ingin mencari
keuntungan politik, mereka menghasut rakyat untuk melakukan
pemberontakan di bawah pimpinan Mahdi palsu. Seperti klaim Mukhtar
terhadap Muhammad Ali Al-Hanafiyyah, yang diakuinya sebagai Mahdi
yang dinantikan, ia sendiri mengaku dipercaya oleh Sang Mahdi sebagai
wazir dan wakilnya. Dalam skenario itu Mukhtar, mengatakan bahwa
Muhammad Ali Al-Hanafiyyah dikirim oleh Tuhan untuk menuntut balas
atas kematian keturunan Ali bin Abi Thalib dan melancarkan suatu

23
Saleh A Nahdi, Imam Mahdi atau Ratu Adil, (Jakarta: PT. Arista Brahmatyasa,
1992), h. 1-20
24
Abu Na‟im meriwayatkan hadis yang dikutip oleh Muhammad Isa Dawud,
diriwayatkan dari Hudzaifah r.a bahwa Rasulullah saw bersabda, “Sekiranya usia dunia
tinggal sehari, maka Allah akan mengutus seorang laki-laki yang namanya sama dengan
namaku dan akhlaknya sama dengan akhlakku. Ia bergelar Abu „Abdillah, yang dibai‟at oleh
manusia, baik dari kalangan atas maupun bawah, dengannya Allah menghendaki kejayaan
agama (-Nya), dan melakukan berbagai pembebasan ke berbagai penjuru dunia, sehingga
tidak ada lagi penduduk bumi yang tidak mengatakan Laa Ilaaha Illa Allah” (H.R. Abu
Na‟im). Lihat Muhammad Isa Dawud, Al-Mahdi al-Muntazhar ‘ala al-Abwab: Qahir al-
Masih al-Dajjal (terj), Menyongsong Imam Mahdi Sang Penakluk Dajjal, (Bandung: Pustaka
Hidayah, 2002), cet. Ke-3, h. 77, Baca juga Ibrahim Amini, Op.cit, h. 19.
25
Misalnya Mahdisme yang digagas Ibn Tumart (wafat 1130 M) pendiri imperium
Muwahhidun (Almohads) yang menguasai hampir seluruh Afrika Utara dan Spanyol Selatan
dari tahun 1130-1269, dimulai dari sebab sosial yang antara lain berupa mengendurnya
penguasaan hukum agama (syari’at) dalam kehidupan di masa akhir pemerintahan dinasti
Murabitun (Almoravids) di kawasan tersebut. baca Abdurrahman Wahid, “Mahdiisme dan
Protes Sosial”, Prisma, edisi 1 Januari 1977, Tahun VI, h. 66
24
pemberontakan terbuka terhadap penguasa tiran Bani Umayyah yang telah
mengakibatkan terjadinya krisis.26
Tradisi Mahdisme yang sudah berkembang sejak berabad-abad yang
lalu, juga masuk ke dalam mesianisme Jawa, hal itu terlihat dengan jelas
dalam beberapa aliran gerakan agama di Jawa. Mesianisme Islam yang
masuk ke dalam mesianisme Jawa itu umumnya tercermin dalam bentuk
eskatologinya. Tradisi Mahdisme menyebutkan akan terjadinya hari akhir
(kiamat) yang didahului dengan kehancuran alam semesta. Penderitaan dan
penindasan akan diakhiri oleh kedatangan Imam Mahdi sebagai juru selamat,
pembawa ketentraman dan raja dari kerajaan yang terakhir. Kerajaan itu
akan dihancurkan oleh Dajjal, syaitan yang kemudian akan dikalahkan oleh Nabi
Isa. Dengan demikian keadilan akan dibangun kembali.27 Pengharapan
datangnya juru selamat itu dalam versi Jawanya disebut Ratu Adil.
Kepercayaan mesianistis Islam ini bercampur dengan mesianisme Jawa, yang
sebagian besar terdapat dalam tradisi tertulis ramalan jayabaya.28
Doktrin Mahdisme dan Eskatologi Islam di atas tidaklah lengkap bila
belum ada perintah perang. Ide tentang perang suci digelorakan kepada
rakyat untuk mendorong perlawanan kepada penguasa kafir yang telah
merusak tatanan agama yang mereka anut. Gagasan perang sabil
mengundang militansi para penganut Islam agar terpanggil bergerak demi
tercapainya keadaan agama sebagaimana ada sebelum kelompok kafir
menguasai bumi pertiwi yang telah merusak keadaan sosial menjadi buruk.29
Dalam doktrin Islam, seorang yang meninggal dalam peperangan sabilullah,
maka dianggap mati syahid, dan ruhnya akan disucikan di alam kubur nanti.
Hal ini pula yang melecut semangat juang para petani dan rakyat untuk
melawan kesewenangan penguasa asing dan sekutunya.
Konsepsi Perang Sabil masuk pula dalam gerakan-gerakan Ratu Adil,
meskipun konsepnya datang dari referensi yang berbeda, tetapi istilah-istilah
Islam yang menyerap tersebut berhasil menggerakkan para penganut Islam
baik yang taat maupun abangan bersatu padu melawan penindasan. Tokoh
pemersatu perlawanan adalah pemimpin-pemimpin keagamaan yang
berkontribusi besar kepada perkembangan keyakinan perang sabil. Hal ini

26
Ibrahim Amini, op.cit, h. 150-151
27
Sartono Kartodirdjo, “Tjatatan tentang Segi-segi Messianistis dalam Sedjarah
Indonesia” dalam Lembaran Sedjarah, (Seksi Penelitian Djurusan Sedjarah Fakultas Sastra
dan Kebudajaan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta), Edisi Juni, No. 7, Tahun 1971.
Lihat juga Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (ed), Sejarah Nasional
Indonesia IV, (Jakarta: Balai Pustaka, 1977), h. 312
28
Lihat Soesilo, Sekilas tentang Ajaran Kejawen sebagai Pedoman Hidup, (Surabaya:
CV Medayu Agung, 2000), cet. Ke-1, h. 214
29
Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil, op.cit, cet. Ke-1, h. 17
25
diamini oleh Sartono Kartodirdjo dalam penelitiannya, yang menyebut
bahwa:

“... Di tangan mereka gagasan perang sabil menjadi sepucuk senjata


ampuh di dalam menentang Belanda, karena gagasan itu merupakan suatu
himbauan kuat kepada semua kaum muslimin bersatu di dalam
mempertahankan agama mereka. Bahkan secara relatif keterikatan kaum
abangan kepada Islam telah cukup, jika diberi pengenal permusuhan Jawa-
Belanda dengan antagonisme antara muslim dan kafir melalui gagasan
Perang Suci, untuk membuat banyak dari mereka berada di belakang kiai.
Sesuai dengan itu, kegairahan keagamaan bagi jihad tidak terpisahkan dari
kebencian yang penuh kekerasan terhadap penguasa-penguasa asing dan
terhadap priayi-priayi pegawai negeri, yang dikatakan telah mencemarkan
kehormatan agama mereka dengan jalan bekerja sama dengan kaum
kafir.”30

Akhirnya dapatlah diambil kesimpulan, dalam gerakan sosial


keagamaan sikap antagonisme kaum pribumi terhadap orang-orang asing
yang merusak tatanan agama dan kehidupan sosial mereka diwarnai oleh
pola-pola gerakan yang membawa misi suci keislaman, yaitu Perang Suci
demi menjaga marwah agama Islam dari penistaan oleh pemeluk-pemeluk
agama lainnya. Doktrin Perang Sabil meningkatkan sentimen rakyat terhadap
penguasa kafir, sekaligus menebar benih-benih gerakan-gerakan keagamaan
menjadi radikal dan revolusioner.31

C. Konsep Ratuadilisme dalam Ramalan Jayabaya


Terdapat beberapa versi tentang ramalan Ratu Adil, konsep
mesianisme Jawa ini, tersimpan dalam sumber lisan maupun tulisan seperti:
Pralambang Jayabaya, Jangka Jayabaya, Serat Jayabaya, Jangka Jayabaya
Catursabda, dan lain sebagainya. Dari semua variasi tulisan tersebut, terdapat
kesamaan dalam tema, yang membahas ramalan akan datangnya Sang Juru
Selamat, Ratu Adil.32 Ramalan ini bersumber dari Raja Jayabaya, seorang
yang pernah berkuasa di Kerajaan Kediri kurun waktu tahun 1135-1157 M.33
Raja Jayabaya adalah seorang pemimpin yang memiliki visi pada
penguatan sektor perdagangan sebagai fundamental perekonomian negara,

30
Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil, Ibid, h. 62-63
31
Ibid, h. 17
32
Sartono Kartodirdjo, “Tjatatan tentang Segi-segi Messianistis dalam Sedjarah
Indonesia” dalam Lembaran Sedjarah, (Seksi Penelitian Djurusan Sedjarah Fakultas Sastra
dan Kebudajaan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta), Edisi Juni, No. 7, Tahun 1971, h.
8. Dan lihat pula Sartono Kartodirdjo, Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia
Suatu Alternatif, (Jakarta: PT Gramedia, 1982), h. 175
33
Bernard H.M Vlekke, Nusantara: Sejarah Indonesia, (Jakarta: Kepustakaan
Populer Gramedia, 2010), Cet. Ke-5, h. 55
26
para saudagar asing dari berbagai negara turut bertransaksi di pusat-pusat
perdagangan, mereka membawa maupun membeli barang dagangan.34
Kondisi ini memperlihatkan stabilitas keamanan dan kesejahteraan
bagi rakyat Kediri, karena itu Sang Raja mampu meluangkan waktu untuk
memperhatikan kebudayaan lokal yang menjadi identitas suatu negara. Di
masanya banyak cendikiawan yang diberikan kebebasan berekspresi, bahkan
kegiatan penggubahan dan penerjemahan karya-karya asing sangat
diperhatikan oleh negara. Di antara pakar yang terkenal adalah Empu Sedah
dan Empu Panuluh.35 Kedua tokoh ini diperintahkan langsung oleh Jayabaya
untuk menyalin dan menyadur kitab Baratayuda dengan pendekatan budaya
dan bahasa sehari-hari, kitab ini sendiri bersumber dari buku Mahabarata
yang versi aslinya berbahasa India.36
Karya kedua Empu tersebut terbilang hebat, Mahabarata versi Jawa
itu, dibuatnya seakan-akan terjadi di tanah Jawa. Di dalamnya terlukis
peristiwa-peristiwa penting dengan disesuaikan keadaan yang terjadi di
sekelilingnya, serta dalam suasana adat dan alam pikiran Jawa pada masa itu.
Karya itu diberi surya sengkala (tahun) “Sanga Kuda Sudda Candrama”
(tahun 1079 Saka atau tahun 1157 Masehi). Karya lain yang dihasilkan
Jayabaya adalah serat Arjuna Wiwaha dan Serat Sutasoma.37
Kitab Kakawin Baratayuda menurut Negara Kertagama sebagaimana
dikutip oleh Andjar Any: “Adalah memang suatu ungkapan sejarah yang
menceriterakan perang antara Kediri dengan Jenggala. Bahkan merupakan
apologie atau pembelaan Jayabaya terhadap perbuatannya yang telah
membunuh Prabu HEMABUPATI (sic) yang masih terhitung saudara
tuanya.”38
Berikut ini adalah tafsiran kisah Baratayuda yang dikutip dari buku
yang berjudul Rahasia Ramalan Jayabaya, Ranggawarsita dan Sabdo
Palon:
“... Sang Prabu Jayabaya mengidentikan dirinya dengan Sang Arjuna
(yang dalam pedalangan dianggap juga sebagai titisan Wisnu yang terbelah
jadi dua. Belahan yang lain pada Sri Kresna). Sang Arjuna (Jayabaya)
waktu akan menghancurkan musuh juga ragu-ragu. Sebenarnya tidak
sampai hati. Hanya setelah diBENARkan (sic) oleh Kresna bahwa
perbuatannya tersebut untuk menumpas keangkaramurkaan maka barulah
Arjuna (Jayabaya) bertindak.

34
Mengenai sentra perdagangan dan komoditas yang diperjualbelikan lihat Andjar
Any, Rahasia Ramalan Jayabaya, Ranggawarsita dan Sabdo Palon, (Semarang: Penerbit
Aneka Ilmu, 1989), h. 40-1
35
Ibid, h. 38-39
36
Bernard H.M Vlekke, op.cit, h. 55
37
Makna lain dari “Sanga Kuda Sudda Candrama” adalah “Beliau (Prabu Jayabaya)
yang berkuda putih mempunyai hati yang bersih seperti bulan”. Andjar Any,
op.cit, h. 38-40
38
Ibid, h. 39
27
Bahkan Sang Prabu Jayabaya inipun juga mengidentikkan dirinya
dengan titisan Wisnu ke 10 (sic) yaitu sebagai Kalkiwathara yang
digambarkan sebagai seorang Satriya yang mengendarai kuda putih dengan
pedang menyala di tangannya guna mengadili orang jahat”39

Pada masa Mataram Surakarta kitab Baratayuda, disalin ke dalam


bahasa Jawa berbentuk tembang oleh pujangga keraton Surakarta Ki
Yosodipuro I (kakek Raden Ngabehi Ronggowarsito, seorang pujangga
Keraton yang juga memiliki kemampuan melihat masa depan).40 Dalam kitab
ini ramalan-ramalan kedatangan Ratu Adil dihubungkan dengan Sang Prabu
Jayabaya. Kepercayaan-kepercayaan akan ramalan itu disebabkan prestasi-
prestasi besar yang pernah dilakukan Jayabaya, kesaktian, dan kelihaiannya
menerawang kejadian yang akan datang.
Kesaktian raja Jayabaya diabadikan pada Ramalan Jayabaya Musarar
sebagaimana dikutip dari Andjar Any: 41
2. Milane sinungan sakti,
Bathara Wisnu punika,
Anatis ana ing kene,
Ing Sang Prabu Jayabaya,
Nalikane mangkana,
Pan jumeneng Ratu Agung,
Abala para Narendra,

Artinya: Beliau sakti sebab titisan Batara Wisnu. Waktu itu Sang Prabu
menjadi raja agung, pasukannya adalah para raja-raja.

Hampir tiap orang Jawa tahu dan percaya pada „ramalan Jayabaya‟,
yang diceritakan secara turun-temurun ketika Belanda masih berkuasa. Raja
Jayabaya berkuasa pada tahun 800 di daerah Daha dan Kediri. Pengetahuan
astrologinya, didapatkan setelah ia berguru dengan Pandita Maulana Ali
Samsyudin, sehingga ia sanggup berkomunikasi secara vertikal dengan para
dewa, karena kemampuannya itu, ia menyampaikan kepada penduduk Jawa
mengenai peristiwa-peristiwa penting yang akan terjadi di masa depan. 42

39
Ibid, h. 39
40
Andjar Any, Ibid, h. 39 dan Soesilo, op.cit, h. 133
41
Andjar Any, op.cit, h. 53 dan h. 65
42
Sartono Kartodirdjo, “Tjatatan tentang Segi-segi Messianistis dalam Sedjarah
Indonesia” dalam Lembaran Sedjarah, op.cit, h. 9
28
Ramalan ini lama kelamaan menjadi sistem kepercayaan masyarakat Jawa
tradisional.
Kepercayaan masyarakat Indonesia pada sosok pembebas Ratu Adil,
sudah menyejarah seiring dengan adanya umat manusia ratusan tahun yang
lampau, dan muncul hampir di seluruh wilayah Nusantara. Hanya saja
ekspresinya mengalami keragaman bentuk, menurut Mohammad Iskandar
(Sejarawan Universitas Indonesia) yang dikutip oleh Muhammad Subarkah:

“Di setiap wilayah (terutama di Jawa Raya–Red) hampir semua


punya sosok Ratu Adil meski berbeda-beda ekspresinya. Di Jawa Tengah
dan Jawa Timur selalu yang menjadi aktor itu adalah sosok yang berasal
dari kalangan priayi atau bangsawan. Tapi kalau wilayah Jawa Barat,
terutama wilayah Priangan, Banten, dan Bogor, dari kalangan petani
sendiri. Perbedaan ini terjadi karena struktur masyarakatnya memang
berbeda.”43

Konsep ratuadilisme sering diterapkan dalam pergerakan sosial


untuk bangkit melawan ketertindasan masyarakat, terutama kaum pribumi
yang menghadapi eksploitasi kaum penjajah dan kroninya.44 Namun terdapat
pula bukti yang meyakinkan, pemerintah kolonial juga memakai stigma Ratu
Adil bagi kalangan pemberontak dan kaum-kaum yang berserikat, berkumpul
atau sekedar meluapkan ekspresi ibadahnya di keramaian – dianggap sebagai
pembangkang dan musuh pemerintah kolonial.

Lebih lanjut, Iskandar menyatakan:

“Ini tampak jelas bila melihat kemunculan sosok Ratu Adil yang
begitu marak pada abad ke-19. Saat itu, suasana „Islamofobia‟ sudah
muncul secara kuat. Setiap ada orang yang berkumpul di masjid langsung
dituduh akan berontak. Setiap kali muncul pemimpin Islam yang
karismatik, maka dengan gampang dia disebut Ratu Adil. Ini terlihat jelas
bila mengacu pemberitaan di koran, birokrasi, bahkan ruang parlemen di
Belanda yang saat itu ada...”45

Gerakan perlawanan yang kerap muncul pada abad ke-19 atau tahun
1800an, hampir diwarnai oleh corak Ratu Adil. Hal ini sebagai konsekuensi
perubahan sosial yang berlaku, dimana investasi asing yang dimotori oleh
Kongsi Dagang Belanda (VOC) di masa sebelumnya maupun pemerintah
kolonial Belanda telah merusak tatanan masyarakat. Himpitan ekonomi yang

43
Muhammad Subarkah, “Di Bawah Bayang Ratu Adil”, Republika, Senin 2 Juni
2014, h. 27
44
Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil, op.cit, h. 39
45
Muhammad Subarkah, op.cit, h. 27
29
dialami masyarakat lokal menjadi bom waktu yang meledak di saat ada
tokoh pemberani yang mampu menjanjikan kebebasan mereka.
Sartono Kartodirdjo menyebut, kepercayaan kaum tani terhadap
Ratu Adil sudah berlangsung lama sekaligus memiliki potensi perlawanan
terhadap budaya tradisional mereka, berikut kutipan dari Sartono:

“Kepercayaan-kepercayaan Ratu Adil yang telah berakar sejak lama


telah dimanfaatkan para pemegang kekuasaan yang mapan, khususnya
pada tingkat setempat. Karena identitas budaya kaum tani terikat secara
tak terpisahkan dengan agama mereka, maka mereka akan cenderung
mempertahankan rasa identitas tersebut dalam hal-hal keagamaan apabila
diancam oleh nilai-nilai, gagasan-gagasan dan praktek-praktek asing. Para
pemimpin agama tradisional , mengendalikan lambang-lambang identitas
dan harapan, jadi secara khusus ditempatkan dengan baik, bukan hanya
untuk mempertahankan kesetiaan para pengikut mereka yang terdiri dari
kalangan kaum tani, melainkan juga untuk menggerakkan mereka ke dalam
perlawanan aktif dan bahkan untuk mengilhami pemberontakan
bersenjata...”46

Ekspresi Ratu Adil dalam perlawanan masyarakat terhadap


kesewenangan kaum pendatang asing yang dipelopori oleh Belanda menurut
Mohammad Iskandar diakibatkan oleh penyakit sosial yang muncul,
berdampak pada situasi keresahan dimana-mana. Perubahan yang terjadi
menggeser budaya lama masyarakat, dan kehidupan mereka menjadi miskin.
Kaum tani sebagai kelompok yang terdampak dari perubahan ini, merindukan
akan masa lampau yang harmonis, apalagi diletupkan oleh suatu keyakinan
bahwa kesulitan ini akan kembali berubah dengan kehadiran tokoh yang adil
dan membawa mereka kepada kebaikan hidup. Dan kepercayaan Ratu Adil
adalah pilihan ekspresi perlawanan mereka kaum tani untuk mewujudkan
datangnya sosok imajiner mengenai sebuah keadaan yang sejahtera.47
Pada mulanya, Ratu Adil adalah hanya “ide” – angan-angan, cita-
cita akan masa depan yang lebih baik – tata tentrem kerta raharja dalam
pandangan Jawanya, bukan sebuah “aksi”. Namun dalam perkembangan
sejarah selanjutnya Ratu Adil sebagai “ide” atau “cita-cita” tersebut menjadi
sebuah “gerakan aksi”, karena bersentuhan dengan sesuatu yang menyejarah.
Ada dua faktor, yang menyebabkan Ratu Adil sebagai “ide” atau “cita-cita”
tersebut, menjadi suatu “aksi” atau “gerakan”. Pertama, adanya pemimpin
suci atau kenabian (prophet), pemimpin inilah yang kemudian merumuskan
“ideologi” gerakan millenial atau cita-cita hidup masa depan sebagai “faktor

46
Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil, op.cit, h. 40
47
Muhammad Subarkah, op.cit, h. 28
30
kunci”. Kedua, kepercayaan pada magico-mysticism, persambungan dengan
nenek moyang, roh-roh leluhur, atau keadiluhungan masa lalunya.48
Ramalan Jayabaya dalam berbagai versinya, terkandung di dalamnya
unsur campuran kebudayaan, ciri keislaman yang menonjol dalam ramalan
ini adalah kemiripannya dengan eskatologi Islam, bahwa dunia ini akan
berakhir (kiamat). Sartono Kartodirdjo menegaskan misalnya dalam isi
ramalan Serat Jayabaya:

“... Bahwa pada tahun 2100 akan terjadi kiamat kubra (kiamat besar)
yang ditandai oleh suatu peperangan besar yang dimulai oleh serangan
Jamajuja (Ya’juj-Ma’juj) terhadap Arab. Imam Mahdi kemudian akan
bangkit dan dibantu Umarmaya dan Muhammad Hanafiyyah untuk
mengalahkan para penyerobot besar. Menurut versi lain yang sama dengan
ramalan-ramalan Jayabaya, Achiring Djaman, adalah Dabatul Arli yang
akhirnya akan menundukkan Jamajuja.”49

D. Kandungan Millenarian dalam Hikayat Muhammad Ali Al-


Hanafiyyah
Menurut Liaw Yock Fang, sastra Islam yang berkembang di
Nusantara terbagai ke dalam lima bagian, yaitu: cerita Al-Quran, cerita Nabi
Muhammad, cerita sahabat Nabi Muhammad, cerita pahlawan Islam, dan
sastra kitab.50 Riwayat tentang kepahlawanan Islam yang sangat populer di
Nusantara, di antaranya adalah hikayat berjudul Muhammad Ali Al-
Hanafiyyah, seorang anak Sayyidina Ali bin Abi Thalib dengan putri
Hanafiyyah, yang digadang-gadang sebagai juru selamat Islam atau yang
dikenal dengan istilah Imam Mahdi.
Muhammad Ali Al-Hanafiyyah, atau dikenal dengan nama
Muhammad Hanafiyyah selalu dikaitkan dengan tokoh Imam Mahdi yang
dinantikan setelah masa kegaiban, terminologi mahdi berasal dari sebuah
hadits Nabi dalam kitab Bihar al-Anwar, jilid ke-51, sebagaimana dikutip
oleh Ibrahim Amini:
“Al-Qaim berasal dari keturunanku. Namanya sama dengan namaku,
julukannya sama dengan julukanku. Ciri-cirinya sama dengan ciri-ciriku. Dia
akan mengajak manusia kepada sunahku dan Kitab Allah. Barang siapa
menaatinya berarti menaatiku, dan sebaliknya, mereka yang berpaling
darinya berarti berpaling dariku. Barang siapa menolak keberadaannya

48
Soesilo, op.cit, h. 214-5
49
Sartono Kartodirdjo, Agrarian Radicalism in Java: Its Setting and Development
dalam Claire, Holt (ed), Culture & politics in Indonesia, (New York: Ithaca, 1972), h. 96-7.
Lebih lanjut baca Ramalan Jayabaya Musarar dalam lampiran.
50
Liaw Yock Fang, Sejarah Kesusastraan Melayu, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2011), Edisi I, h. 238
31
selama kegaibannya berarti mendustai Aku. Barang siapa yang
membenarkan eksistensinya berarti membenarkan keberadaanku. Kalau
mereka diminta untuk memalsukan apa-apa yang telah kukatakan tentang al-
Mahdi dan dengan demikian menyesatkan umatku, aku akan mengadukan
mereka kepada Allah.”51

Popularitas Hikayat Muhammad Hanafiyyah di Nusantara dengan


berbagai versi membawa pengaruh kepada kepercayaan mesianisme
(mahdisme) itu sendiri. Begitu pula warna kepercayaan millenarian Kaiin
Bapa Kayah, bukanlah suatu kebetulan belaka. Sebelum berprofesi sebagai
Dalang, Kaiin pernah bekerja dan menetap di daerah Batavia (Jakarta
sekarang), sekaligus pencarian dan pendalaman ilmu pengetahuan agama.
Bila merujuk pada katalogus Perpustakaan Nasional Republik
Indonesia, maka akan ditemukan sembilan versi Hikayat Muhammad
Hanafiyyah, sebagaimana pernah diteliti oleh Kinanti Putri Utami,52 berikut
ini adalah deskripsi singkat dan nomor panggil naskah tersebut:
1. BR 211; Halaman satu dan dua kondisinya rusak, dan sedikit yang terbaca,
terdapat informasi waktu dan tempat penyelesaian naskah dalam kolofon,
yakni di Krukut pada tahun 1243 H, ada tulisan pensil di sebelahnya yang
menyebutkan angka tahun masehinya “1827”, kemungkinan tulisan ini
dilakukan oleh peneliti (hal ini tampak dari kejelasan warna pensil yang
mencolok). Ukuran naskah tersebut adalah 30 x 18 cm, sedangkan ukuran
kertasnya sendiri 29 x 17,8 dengan pias kanan 2,5 cm, pias kiri 1,7 cm,
pias atas 2,5 cm, dan pias bawah 2,9 cm. Kemudian naskah ini berjumlah
337 halaman dan setiap halaman mempunyai 21 baris. Isi naskah berkisar
tentang riwayat kehidupan cucu Nabi Hasan, Husan, dan Muhammad Ali
Al-Hanafiyyah (anak dari Ali bin Abi Thalib dengan istri selain Fathimah
binti Muhammad).53
2. CS 157; merujuk informasi dalam data katalog Perpustakaan Nasional
terdiri atas: 286 halaman; ukuran kertas berteks 19 x 31 cm; ukuran
sampul 20 x 31,5 cm; ukuran blok teks 17,5 X 21,5 cm; terdapat 25 baris
untuk setiap halamannya. Naskah kurang baik, sebagaian kertas sudah
rusak sehingga tulisannya tidak dapat dibaca. Menggunakan tinta coklat
tua dan untuk kata-kata tertentu menggunakan tinta hitam. Penjilidan
masih baik, dan dijilid dengan karton berlapis sampul coklat. Naskah
berbentuk Prosa. Kertas impor tipis dengan cap Singa dalam lingkaran:

51
Ibrahim Amini, op.cit, h. 5-6
52
Kinanti Putri Utami, Perbandingan Naskah-naskah Hikayat Muhammad
Hanafiyyah, Makalah Mata Kuliah Kritik Teks, (Depok: Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Indonesia, 2008)
53
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Hikayat Muhammad Ali Hanafiyyah,
Nomor Panggil: BR 211
32
Concordia. Awal teks berbunyi: “Alamat ini surat yang empunya hikayat
Enci' topo yang duduk di dalam daerah Kampung Majru Gogo Johor akan
adanya. Syahdan maka adalah dikasi beritahu kepada baba-baba atawa
tuan-tuan sekalian yang suka membaca ini Hikayat Muhammad
Hanafiyyah jangan bikin kotor dan lagi saya minta 1 malam 15 sen karena
saya turunkan saya suruh jikalau suda kelar dari saya pun wang sewa bole
baca saja saya kasi akan adanya dan jikalau hilang dia punya harga
seringgit tiada bole kurang lagi akan adanya.”. Akhir teksnya: “Tamat
kalam kepada 15 hari bulan Rowah kepada hari Isnaini jam pukul 5 sore
dan seba lagi kepada baba-baba dan tuan-tuan sekalian yang suka baca ini
Hikayat Muhammad Ali Hanafiyyah barangkali ada yang labi atawa ada
yang kurang ma'lum la saja sebab hamba baru belajar menulis dan seba
lagi hamba hendak kasi beritahu siapa-siapa yang suka hendak baca saya
minta sewa 1 malam sepuluh sen karena dia punya mustur hamba sewa
jikalau suda abis dari hamba punya ongkos bole hamba kasi peri dewa saja
demikian adanya citranya tahun 1865.” Diawali dengan kisah Fatimah dari
Syiria, yang datang ke Mekah untuk mencari calon suami yang memiliki
cahaya pada kepalanya. Tetapi ia tidak dapat menemukan pria tersebut.
Selanjutnya diceritakan tentang kehidupan Nabi Muhammad bersama para
pengikutnya. Disebutkan pula tentang kelahiran Hasan-Husen, dan
Muhammad Hanafiyyah, yaitu putra Ali dengan istri lain. Dalam
peperangan melawan raja Janid; Muhammad Hanafiyyah melarikan diri ke
dalam gua, karena dikepung oleh tentara Janid.54
3. ML 184; naskah ini memiliki ukuran 25 x 20 cm, setiap lembar
halamannya terdiri dari 15 baris tulisan, semua halaman berjumlah 85.
Pada naskah tersebut tidak diketahui nama penyalin atau pemilik
naskahnya. Terdapat informasi diselesaikan penulisannya pada tahun 1191
H, pada sisinya terdapat tulisan pensil 1777, mungkin maksudnya tahun
hijriyah setara dengan tahun masehi tersebut, kemungkinan coretan pensil
ini, buah tangan dari seorang peneliti di era kontemporer ini, hal ini
terlihat jelas corak pensilnya cukup jelas. Kalimat pada bagian akhir dari
halaman (84-85), menyiratkan tentang waktu penyelesaian tulisan, “Sehari
bulan Rajab kepada malam Senin dan kepada jam pukul empat ketika
baram.” Selain waktu, ada juga informasi tentang tempat atau lokasi
ditulisnya naskah dalam kolofon yang memiliki bingkai dengan iluminasi
sederhana, “Dalam bidara dusun kampung Martadah.”.55 Dalam detail
katalog Perpustakaan Nasional disebutkan juga deskripsi fisiknya

54

http://opac.pnri.go.id/DetaliListOpac.aspx?pDataItem=CS+157&pType=CallNumber&
pLembarkerja=12, diakses pada 31 Desember 2015 Pukul 15: 15 WIB
55
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Hikayat Muhammad Ali Hanafiyah,
Nomor Panggil: ML 184, h. 84-85
33
berjumlah 165 halaman (beda dengan wujud aslinya berjumlah 85
halaman) dan tersedia pula dokumen digital yang bisa diakses secara
online.
4. ML 359; Dalam sampul depan wadah tempat naskah, terdapat tulisan
“Naskah Rusak”, petugas perpustakaan nasional juga mengingatkan
kepada penulis, agar berhati-hati terhadap naskah, beruntung saya
diperkenankan melihat kondisinya secara langsung, karena tidak
sembarang orang diizinkan melihat atau bahkan menyentuhnya. Kondisi
fisik naskah memang memprihatinkan, tinta tulisannya sudah banyak yang
pudar, kertas banyak yang sudah robek termakan usia, hanya sebagian
kecil saja teks yang bisa terbaca. Ukuran naskah 30,3 x 20 cm, untuk
setiap halamannya terdiri dari 17 baris tulisan, cover depannya sudah
terlepas dari jilidan.56 Pada detail katalognya disebutkan deskripsi fisiknya
lebih tebal dari naskah pertama di atas, yakni berjumlah 369 halaman dan
terdapat keterangan naskahnya berbahasa Melayu dengan aksara Arab
dan Jawa.
5. ML 446; Dalam detail katalog Perpustakaan Nasional terdapat keterangan
tentang deskripsi fisiknya yang berjumlah 348 halaman; besar ukuran
manuskrip 17 x 28 cm, ukuran blok teks 13,5 x 20 cm; setiap halamannya
terdapat 17 baris kalimat. Judul terdapat di dalam teks pada halaman 346,
“Hikayat Muhammad Ali Hanafiyyah”. Isi naskah berbentuk prosa, ditulis
di atas kertas Eropa dengan cap kertas PRO PATRIA EIUSQUE
LIBERTATE. Naskah masih dalam keadaan baik, kertasnya pada halaman
pertama dan terakhir sudah kotor, serta bewarna coklat, tulisan jelas
terbaca, ditulis dengan tinta hitam dan merah, jilidnya sudah kendor, dan
tersedia dokumen digital yang dapat diakses secara online. Pada bagian
awal teks berbunyi: “Bismillahi al-rahmani al-rahiim wa bihi nasta‟in
billahi „ala, ini hikayat ceritera Rasulullah Shallallahu „Alaihi wa Sallam
jadi diperanakan bundanya Aminah dan peri mengatakan tatkala
Muhammad itu mengambil upahan”. Di bagian akhir bertuliskan
“Demikian lagi sahaya berpesan pada segala enci-enci dan tuan-tuan yang
sudi membaca hikayat ini jangan apalah kiranya tengah membaca makan
sirih dan mengudut rokok karena yang empunya surat ini terlalu apik
cirinya. Demikianlah tamatlah hikayat Muhammad Ali Hanafiyyah kepada
malam khamis kepada bulan Jumadil akhir.” Naskah ini menceritakan
tentang gugurnya Hasan Husen dan hilangnya Muhammad Ali Hanafiyyah
di dalam sebuah gua. Muhammad Ali Hanafiyyah adalah putra Ali dengan
istri lainnya. Kisah dimulai dengan diadakannya musyawarah oleh
Muawiyah dengan para menteri di Madinah, untuk menikahkan putranya,

56
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Hikayat Muhammad Ali Hanafiah,
Nomor Panggil: ML 359
34
Yazid dengan putri Jafar yang bernama Zainab. Tetapi Zainab lebih
mencintai Husen dan menolak lamaran Yazid. Hal ini mengakibatkan
Yazid menaruh dendam kepada Husen.57
6. W 69; pada data katalog Perpustakaan Nasional terdapat beberapa
informasi tentang manuskrip ini. Halaman berjumlah 376; ukuran kertas
dalam teksnya 30,5 x 19,5 cm; ukuran sampul 31,5 x 20 cm; ukuran blok
teks 21 x 11,5 cm; tulisannya rata-rata 19 baris kalimat dalam setiap
halamannya. Tulisan bisa terbaca walaupun ada kertasnya yang sudah
lapuk, ditulis dalam tinta bewarna hitam dan merah. Naskahnya berbentuk
prosa ditulis di atas kertas impor dengan cap Singa dalam lingkaran;
CONCORDIA. Tersedia pula dokumen digital yang dapat diakses secara
online. Awal teks berbunyi: “Bismillahi al-rahmani al-rahiim
alhamdulillahi rabbil „alamin wa al-„aqaibatu lil muttaqiin wa al-shalatu
wa al-salaamu „ala Rasuulillahi Shallallahu „alaihi wa Sallam wa ba‟du
kemudian daripada itu terlalu amat persis gilang gemilang cemerlang
rupanya tersuluh seperti manikam di dalam kandil ma‟lup ketergantung
pada kolam”. Akhir teksnya: “Dan sebab itulah menjadi berhimpunlah
segala pilu dan rawan itu setelah sudah maka segala saudaranya Baginda
Muhammad Hanafiyyah pun masing-masing kembalilah ke tempatnya.
Telah keesokan harinya itu maka segala saudaranya pun pergilah
sembahyang ke dalam masjid kepada hari jum‟at. Jatta maka segala orang
yang di dalam benua Madinah pun berhimpunlah sembahyang ke dalam
masjid Baginda Rasulullah ...”. Naskah ini menceritakan tentang
Muhammad Hanafiyyah, putra Baginda Ali dengan wanita lain. Diawali
dengan kisah Fatimah dari Syiria. Ia pergi ke Makkah untuk mencari calon
suami yang mempunyai cahaya pada dahinya, namun tidak dapat
menemukannya. Selanjutnya dikisahkan tentang masa muda Nabi
Muhammad, perkawinannya, sampai kepada kisah Baginda Ali. Dari
perkawinannya dengan wanita lain, Ali mempunyai seorang putra
bernama Muhammad Hanafiyyah. Akhirnya dalam peperangan melawan
Yazid, Muhammad Hanafiyyah terkurung di dalam sebuah gua.58
7. W 70; bentuk lengkap dalam detail katalog Perpustakaan Nasional
memuat informasi manuskrip. Banyak halaman berjumlah 368; ukuran
kertas dalam teksnya 21,5 x 15,5 cm; ukuran sampul 22,5 x 16,5 cm;
ukuran blok teks 15 x 10 cm; tiap halaman tulisannya rata-rata berjumlah
19 baris kalimat. Naskah dalam kondisi kurang baik, kertas bewarna

57

http://opac.pnri.go.id/DetaliListOpac.aspx?pDataItem=ML+446&pType=CallNumber
&pLembarkerja=12, Diakses pada tangal 31 Desember 2015, Pukul 15: 10 WIB
58

http://opac.pnri.go.id/DetaliListOpac.aspx?pDataItem=W+69&pType=CallNumber&p
Lembarkerja=12, diakses pada 31 Desember 2015 Pukul 15: 11 WIB
35
coklat dan lapuk akibat keasaman, serta berlubang-lubang akibat ngengat.
Teks ditulis dalam tinta bewarna hitam yang sudah pudar kecoklatan dan
merah. Sampul berbahan kertas marmer coklat dijilid dengan karton.
Naskahnya berbentuk prosa ditulis di atas kertas folio. Awal teks
berbunyi: “Alhamdulillahi rabbil „alamin wa al-„aqaibatu lil muttaqiin wa
al-shalatu wa al-salaamu „ala Rasuulillahi Shallallahu „alaihi wa Sallam.”
Akhir teksnya: “Berhimpunlah sembahyang ke dalam masjid Baginda
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa Sallam dan demikianlah adanya Wallahu
A‟lamu bi Al-Shawab”. Ceritanya sangat berbelit-belit. Demikian pula
bahasanya, tidak jelas perbedaan pemakaian; dari untuk daripada dan
bemula untuk sebermula. Diceritakan tentang persahabatan M. Hanafiyyah
dengan beberapa orang. Ia mendapat luka dalam peperangan, tetapi
dengan keajaiban lukanya sembuh.59
8. W 71; informasi yang terdapat dalam katalog Perpustakaan Nasional
yaitu: deskripsi fisik berjumlah 670 halaman; ukuran kertas dalam teksnya
32,5 x 20 cm; ukuran sampul 33 x 20,5 cm; ukuran blok teks 22,5 x 13
cm; tiap halaman terdapat 16 baris kalimat. Naskah berbentuk prosa di
atas kertas impor tebal dengan cap Singa dalam lingkaran, PROPARTRIA
EENDRAGT MAAKT. Keadaan naskah kurang baik, kertas agak lapuk
pada halaman dua sudah tidak terbaca, penjilidan sudah lepas. Awal teks
berbunyi: “Bismillahi al-rahmani al-rahiim wa bihi nasta‟in billahi, ini
suatu cetra orang empunya cetra ini demikian bunyinya. Ada seorang-
orang perempuan di benua Syam itu namanya. Adapun akan Fatimah
Syam itu terlalu rupawan di dalam negeri Syam seorang pun tiada
samanya.” Akhir teksnya: “Maka sebaqba itulah jadi berhimpunlah segala
pilu rawan itu, setelah sudah maka Baginda Muhammad Hanafiyyah pun
masing-masing kembali ke tempatnya. Telah keesokan harinya maka
saudara Amirul Mu‟minin Muhammad Hanafiyyah dan segala laskarnya
pun pergilah sembahyang ke masjid Baginda Rasulullah Shallallahu
„Alaihi wa Sallam pada hari itu hari jum‟at. Maka segala orang benua
Madinah pun berhimpunlah pergi sembahyang ke masjid Baginda
Rasulullah Shallallahu „Alaihi wa Sallam”. Pada awalnya naskah ini
menceritakan tentang Fatimah dari Syiria ia pergi ke Makkah untuk
mencari calon suaminya yang memiliki cahaya di dahinya, namun tidak
dapat menemukannya. Kemudian diceritakan masa muda nabi
Muhammad, perkawinannya, hingga peperangan Lahad, dan masa
pemerintahan baginda Ali. Akhirnya kisah tentang putra Ali dengan

59

http://opac.pnri.go.id/DetaliListOpac.aspx?pDataItem=W+70&pType=CallNumber&p
Lembarkerja=12, diakses pada 31 Desember 2015 Pukul 15: 12 WIB
36
wanita lain bernama Muhammad Hanafiyyah, yang lari ke dalam gua
karena dikepung oleh tentara Yazid.60
9. W 72; bila melihat pada data katalog Perpustakaan Nasional terdapat
beberapa informasi tentang manuskrip ini, yaitu: jumlah halaman 266;
ukuran kertas dalam teksnya 20,5 x 32 cm; ukuran sampul 20,5 x 33 cm;
ukuran blok teks 14 x 26,5 cm; tulisannya terdiri dari 21 baris dalam
setiap halamannya. Tulisan bisa terbaca, kertasnya agak kotor dan
kecoklatan. Naskahnya berbentuk prosa ditulis di atas kertas dengan cap
Singa dalam lingkaran; CONCORDIA. Tersedia pula dokumen digital
yang dapat diakses secara online. Awal teks berbunyi: “Rasuulillahi
Shallallahu „alaihi wa Sallam tatkala jadi diperanakkan bundanya Aminah.
Dan peri mengatakan tatkala Muhammad jadi upahan segala peristiwa.
Ada seorang perempuan di benua Syam namanya Fatimah Syam”. Akhir
teksnya: “Maka Muhammad Hanafiyyah pun terkejutlah lalu rebah tiada
sadarkan dirinya. Maka pintu kota itu pun tertutuplah datang sekarang ini.
Tamat Hikayat Muhammad Ali Hanafiyyah dan akhir Hasan dan Husen
tersalin pada 6 hari bulan Sya‟ban Al-Karam pada hari arba‟a pukul
dualapan sanah 1281 di dalam rabu adanya. Kisah diawali dengan cerita
Fatimah dari Syria, yang pergi ke Makkah untuk mencari calon suami
yang mempunyai cahaya pada dahinya. Namun ia tidak menemukannya.
Kemudian menceritakan tentang masa muda Nabi Muhammad,
perkawinannya, peperangannya yang dilakukannya, dan lain-lain.
Disebutkan pula tentang kematian Yazid yang terbunuh dalam peperangan
melawan Muhammad Hanafiyyah. Namun tidak diceritakan kemenangan
Muhammad Hanafiyyah dalam peperangan tersebut. Terdapat
penenggalan, Riau 6 Sya‟ban 1281 H.61

Dari kesembilan manuskrip yang dikoleksi Perpustakaan Nasional


Republik Indonesia tersebut, terdapat dua naskah yang memiliki sisi
kesamaan isi cerita, yaitu naskah yang memiliki kode katalog ML 446 dan
ML 673 (W 69), keduanya secara fisik memiliki kondisi yang lebih baik
dibandingkan dengan yang lainnya, sehingga memudahkan dalam
pengkajiannya.62
Diceritakan dalam naskah manuskrip dengan nomor panggil W 69,
berjudul Hikayat Muhammad Hanafiyyah, bahwa Muhammad Hanafiyyah

60

http://opac.pnri.go.id/DetaliListOpac.aspx?pDataItem=W+71&pType=CallNumber&p
Lembarkerja=12, diakses pada 31 Desember 2015 Pukul 15: 13 WIB
61

http://opac.pnri.go.id/DetaliListOpac.aspx?pDataItem=W+72&pType=CallNumber&p
Lembarkerja=12, diakses pada 31 Desember 2015 Pukul 15: 14 WIB
62
Kinanti Putri Utami, Ibid, h. 48
37
turut berperang beserta dengan saudara-saudara dan ayahnya melawan
pasukan Mu‟awiyah yang telah menzhalimi keluarganya:
“... Maka Baginda Ali pun keluarlah ia ke Padang dengan anaknya tiga
orang juga Amir Hasan dan Amir Husain dan Muhammad Hanafiyyah
setelah itu maka Baginda Ali pun datang membawa suatu Thaabal (?) di atas
kudanya maka Sabda Baginda Ali “Hai anakku yang tiga orang engkau
seorang suatu penjuru dari pada pihak Maghrib maka kita berdiri mengucap
shalawat akan Baginda Rasulullah maka Thaabal (?) itu kita masing-masing
memukul dan palu karna lasykar jin dan peri sa‟uh (?) aku berjanji dengan
dia bahwasannya ia datang kepada kita maka keempatnya anak beranak itu
berdirilah kepada empat penjuru lasykar Mu‟awiyah dan gendang perang
Thaabal (?) itupun dipukulnya serta mengucap shalawat dan saat juga maka
tentara jin turuqlah (?) berpasu-pasukan seraya bertampak dengan bareng
suaranya itu maka segala lasykar Mu‟awiyah pun terkejutlah lalu cerai berai
tiyada berketahuan kesana kemari setelah siyang hari maka Mu‟awiyah pun
melihat segala lasykar itu masing-masing bergulipan terhantar di bumi
semuwanya mati maka Mu‟awiyah pun terkejut lalu ia lari kembali ke
negerinya...”63

Eksistensi Muhammad Hanafiyyah memang sudah diramalkan oleh


Rasulullah, kehadirannya adalah wujud dari perlawanan kepada kaum-kaum
yang munafik dan merendahkan keturunan Nabi Muhammad saw:
“... Pada suwatu hari adalah aku sanak dari pada baginda Rasulullah Shallalahu
„Alaihi wa Sallam bersabda kepada aku mengatakan peri kematian Hasan dan Husain
bahwasannya adalah akan datang menuntut darah kematian Hasan dan Husain dan
adalah (?) harimu Rasulullah kepada masa itu Amir Hasan dan Amir Husain lagi kecil
maka baginda Rasulullah pergilah ke rumah baginda Ali maka ujar Rasulullah kepada
Puteri Hanafiyyah (sic: istri Ali selain Fatimah binti Muhammad) Hai Puteri
Hanafiyyah apabila engkau dapat anak laki-laki maka engkau namakan Muhammad
Hanafiyyah setelah itu maka dapatlah anak laki-laki maka dinamainya itu Muhammad
Hanafiyyah Arkiin (sic: masuk pembahasan baru) maka adalah kepada suwatu hari
baginda Ali pun membawa anaknya kepada baginda Rusulullah Shallalahu „Alaihi wa
Sallam Ya Ali bahwa anakmu namakan Muhammad Hanafiyyah maka baginda
pun mencium mukanya setelah didengar oleh Siti Fathimah maka sembahnya Ya
Junjunganku mengapakah anak Puteri Hanafiyyah itu maka dinamakan oleh
Junjunganku Muhammad Hanafiyyah maka sabda baginda Rasulullah Hai anakku
adapun sebab aku namai kan dia Muhammad Hanafiyyah itu adalah kepada zaman
masanya itu aku tiyada dan engkau pun tiyada dan Abu Bakar pun tiyada dan Umar pun
tiyada dan Utsman pun tiyada dan Ali pun tiyada lagi pada masa itulah sahabatku yang
bernama Khawarij itulah melakukan kehendaknya atas cucuku ini maka Amir Hasan ini
dibunuhnya dengan racun dan dan Amir Husain itu dibunuhnya pada tanah padang
Karbala itu maka pada masa itulah Muhammad Hanafiyyah akan menuntut peri
kematian cucuku keduanya itu.”64

63
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Hikayat Muhammad Hanafiyyah,
Nomor Panggil: W 69, h. 91
64
Ibid, h. 124-125
38
Sedangkan dalam versi L.F Brakel, Hikayat Muhammad Hanafiyyah
di bagi menjadi dua bagian: bagian pertama berkisah tentang riwayat Nabi
Muhammad saw beserta para sahabatnya, bagian kedua pembahasannya
fokus kepada kisah perlawanan Muhammad Hanafiyyah terhadap Yazid bin
Muawiyyah, penguasa yang telah meracuni Amir Hasan dan membunuh
Amir Husain di Padang Karbala, hingga diceritakan ihwal kegaibannya yang
tidak diketahui lagi.65
Kisah heroik Muhammad Hanafiyyah, yang dikaitkan dengan warna
kepercaan mahdisme, nampaknya berbekas dan menginspirasi kaum pribumi
di Nusantara untuk melakukan perlawanan terhadap penindasan dan
kekuasaan orang asing yang telah merenggut tradisi lokal mereka.

E. Kandungan Millenarian dalam Kisah Pewayangan Arjuna


Arjuna adalah sosok penting dalam Pandawa Lima, rupanya yang
menarik bagi kaum Hawa menjadi magnet tersendiri – ia juga dianggap
sebagai orang yang sakti mandraguna, tiada bandingannya. Karena itu, Kaiin
Bapak Kayah yang juga seorang Dalang, menjadikan kisah-kisah wayang
Arjuna sebagai tokoh yang inspiratif, bahkan Ki Dalang juga memberi gelar
dirinya dengan sebutan Arjuna. Legitimasi ini menjadi sebuah kekuatan
dalam pergerakan Kaiin untuk merangkul Kaum Tani dan kelompok miskin
lainnya. Maka tak heran bila Kaiin mengindentifikasikan dirinya dengan
sosok fenomenal di dunia pewayangan, Sang Arjuna.
Seorang Dalang Wayang, pasti menguasai dan hafal terhadap kisah-
kisah Arjuna ini. Bapak Dalang Kaiin hidup di akhir abad ke-19 (1880-an)
dan awal abad ke-20 (w. 1924), pada masa itu di tanah Betawi (Jakarta dan
Tangerang) banyak tersebar cerita pewayangan Arjuna, hal ini berkat usaha
para dalang yang melakukan pementasan (penyampaian secara lisan) dan
juga melalui sumber tertulis, untuk yang belakangan ini banyak ditulis oleh
Muhammad Bakir Syafi‟an bin Al-Fadhli yang berasal dari Kampung
Langgar Tinggi, Pecenongan, Jakarta.
Dalam penelitian tesis ini, peneliti juga memanfaatkan karya
Muhammad Bakir, terutama manuskrip-manuskrip yang tersimpan di
Perpustakaan Nasional. Dalam hal ini ada tiga judul, yaitu: (1). Hikayat
Maharaja Garabak Jagat, dengan Nomor Panggil: ML 251. (2). Wayang
Arjuna, Nomor Panggil: ML 244. Dan (3). Wayang Pandu, Nomor Panggil:
ML 241.
Asal-usul keluarga Arjuna secara lengkap diceritakan oleh
Muhammad Bakir dalam karyanya yang berjudul Hikayat Asal Mulanya

65
L.F. Brakel, The Story of Muhammad Hanafiyyah a Medieval Muslim Romance,
(The Hague: Martinus Nijhoff, 1977)
39
Wayang yaitu Turun Temurunnya Pandawa66 atau dalam katalogus
manuskrip Perpustakaan Nasional Republik Indonesia dengan versi judul
yang berbeda, yakni Wayang Pandu.67
Arjuna adalah tokoh legendaris dalam cerita-cerita pewayangan,
parasnya yang menawan membuat para wanita tergila-gila padanya.
Ketampanan wajah Arjuna meskipun sudah meninggal karena dipenggal
kepalanya tetap saja dipuja-puji para wanita, hal ini sebagaimana diceritakan
dalam kisah Wayang Arjuna berikut ini:
“... Maka kata Tuan Puteri pada raja bahwa beta haraplah dengan
sebetul-betulnya raja punya dermakan kepalanya Rajuna ini biarlah ditaru
dibawa kaki tempat tidurnya supaya dibuat perhiasan karena kepalanya
seperti laku orang hidup jikalau tiada bole sama-sama biarlah dua tiga hari
pun sekalipun semalaman tuan puteri harap biarlah ditinggal di situ, maka
sebab raja amat cinta kasih sayang dengan istrinya karena dipikir supaya
putus harapnya jangan lagi-lagi disebut-sebut namanya, maka lalu
disurunya tinggalkan semalaman, maka tatkala suda jau malam sekaliannya
kembali pada tempat dan pada istananya masing-masing tetapi Sang Prabu
Jenggala minta besok pagi-pagi mesti ditanam kepala itu dalam jumbeleng
orang hukuman tetapi permintaan itu belon bole raja bilang ia atau tiada
melainkan lagi ditimbang dan dipikir dahulu karena hari itu suda malam
melainkan putusannya besok pagi, maka sekaliannya pulang pada istananya
demikianlah adanya”68

Kesaktian Arjuna tiada bandingannya, diceritakan dalam Wayang


Arjuna, tercatat beberapa kali kepalanya dipenggal, namun selalu dapat
menyatu kembali dengan tubuhnya yang terpisah, bahkan ia bisa
menggandakan wujudnya menjadi empat raga (Sukma Rupa, Sukma Jenis,
Sukma Macam, dan Sukma Warna).
“... Sekalian widadarin menjadi bingung seperti orang pingsan
lakunya karena dilihat barang yang terpegang jadi terlepas dan yang
tergenggam menjadi hilang karena heran sekonyong-konyong jari dan
lengan tumit dan kaki melesat sana kemari maka seketika hilang tiada
berketahuan maka sehilangnya anggota bangkai itu, maka datanglah akan
empat orang laki-laki amat bagus rupanya dan sigap pakaiannya dan manis
macamnya dan elok parasnya tiada bosan dipandang mata dan lemah
lembut suaranya seperti segara madu jikalau mengeluarkan suara,
jangankan perempuan tiada gila mabuk birahi, maka laki-laki keempat itu
bersamakan rupanya tiada dibedahi sedikit jua pun dan pakaiannya sama

66
Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Provinsi DKI Jakarta, Bunga Rampai Sastra
Betawi, (Jakarta: Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Provinsi DKI Jakarta, 2002), h. 13
67
Muhammad Bakir bin Syafi‟an bin Utsman bin Fadhli, Wayang Pandu, (Jakarta:
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, 2014), Nomor Panggil: ML 241
68
Muhammad Bakir bin Syafi‟an bin Utsman bin Fadhli, Wayang Arjuna, (Jakarta:
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, 2014), Nomor Panggil: ML 244, h. 43
40
dan tahi lalatnya sama dan hidung, mata, alis, kuping, suara dan kelakuan
tiada dibedahnya seperti orang melihat bayang-bayang pada keempat kaca,
bagus sama bagusnya dan manis sama manisnya sikap sama sikapnya maka
seluru alam tiada berbanding lagi pada keempat laki-laki itu maka seorang
namanya itu disebutnya Sukma Rupa, Sukma Jenis, Sukma Macam, Sukma
Warna. Maka setelah keempat puluh widadarin memandang rupa laki-laki
itu maka terlalu amat suka cita hatinya karena tiada bosan dipandang, maka
sekalian widadarin menjadi mabok birahi tiada bertahan lagi hatinya serasa
hendak menggigit bibirnya, sayang di tenga jalan belum sampai ruma,
maka pada masa itu lalu diajaknyalah ole segala widadarin itu pulang ke
dalam Suralaya...”69

Selain tampan dan sakti, Arjuna juga memiliki senjata pamungkas


berupa Panah yang diberi nama Pasopati dan Keris yang bernama Pancaroba.
Panah Pasopati adalah senjata nenek moyangnya, yang diwariskannya secara
turun temurun, sebagaimana diceritakan dalam Wayang Pandu berikut ini:
“... Setelah suda antara berapa hari selangnya maka kata Lurah Semar Ya
Tuanku manakah anak pana itu baiklah Tuanku simpankannya karena anak
pana itu bukan barang-barang kelak menjadi turun temurun menjadi seperti
suatu pusaka buat anak cucu Tuanku sendiri seperti suatu azimat.”70
Arjuna mendapatkan senjata keris itu buah dari ganjaran Batara
Narada, karena ia telah menyempurnakan tapanya yang lama di sebuah
puncak gunung sebelum ia menghadapi perang Barata Yuda:
“Alkisah pada zaman dahulu di jagat pewayangan tersebutlah Sang
Arjuna tengah bertapa di puncak sebuah gunung ia bertapa memohon agar
Dewata menambah kesaktiannya untuk menghadapi perang Barata Yuda
sebuah perang besar untuk merebut kembali hak Pandawa atas Singgasana
Astina ...
Sang Arjuna jatuh tunggang langgang segera ia melompat bangun
perlahan ia menghunus keris yang baru didapatnya cahaya kemilau
terpencar dari pamor keris itu.
Bagai kilat Arjuna kembali menerjang Satria itu menyambar-nyambar
bagai elang saat kedua raksasa itu menyambar secara serentak
melentinglah tubuh Arjuna ke belakang keris di tanganya menebas.
Raungan dahsyat terdengar kedua raksasa itu membelalak tangan
keduanya putus darah dari luka mereka mengucur bagai air terjun lalu
lenyaplah raksasa kembar itu.
Sang Arjuna berdiri termangu-mangu keris di tangannya masih
berlumur darah para Punakawan berlari mendapatinya Semar amat cemas
dengan keadaan Tuannya terdengarlah satu suara tanpa wujud.

69
Muhammad Bakir bin Syafi‟an bin Utsman bin Fadhli, Wayang Arjuna, Ibid, h. 88
70
Muhammad Bakir bin Syafi‟an bin Utsman bin Fadhli, Wayang Pandu, op.cit, h.
198
41
Cucuku sudah kau buktikan keampuhan keris itu ujar suara itu
itulah keris Si Pancaroba ganjaran tapamu.
Siapakah wahai engkau suara tanpa wujud tanya Arjuna.
Akulah Patih Narada sahut suara itu kedua raksasa itu adalah
jelmaanku sendiri.”71

Keris Pancaroba digunakan pula oleh Arjuna untuk melawan para


Batara di negeri Suralaya yang menyembunyikan musuhnya, Prabu
Jenggala, berikut kutipan ceritanya: 72

“Hatta tersebutlah Sang Rajuna itu mengikuti larinya Ki Jenggala itu


barang di mana larinya dan perginya disusulnya maka pada tatkala Sang
Prabu naik di Suralaya maka Sang Rajuna pun menyusul dari belakang
setelah sampai di pintu Suralaya maka lalu ditahan dengan barisan batara-
batara itu serta tiada diberinya masuk maka kata Sang Rajuna Hai Batara
Indra maka mengapakah aku tiada diberi masuk karena aku lagi sedang
mengusir perburuanku karena aku lihat larinya Prabu Jenggala kemari ia
masuk maka aku hendak mengusir padanya maka mengapakah kamu
melarangkan.
Maka sahut Batara Indra Hai Rajuna suda aku dapat komisi tiada
bole Rajuna masuk.
Maka sahut Rajuna apakah sebabnya dan apakah salahnya bukankah
aku hamba juga seperti kamu jikalau musim pepes barang kali aku
membawa binatang patut juga kamu larangkan dan sekarang aku hendak
masuk juga perkaranya dibelakang kali.
Setelah Batara Indra menengar maka terlalu amat marahnya katanya
hai Rajuna jangan kamu bantahan dan jangan kamu kepala besar dan kamu
dihamba di alam Marcapada73 dan aku ada bilangan batara dan kamu ini
bukan punya bilangan masuk di negeri ini dan aku ada lain dan kamu ada
lain daripada aku dan janganlah kamu bantahan kelak aku bunu.
Maka sahut Rajuna hai Batara coba-coba jikalau suda patah hujung
kerisku Si Pancaroba dan jikalau suda patah bahu kanan kulawan kiriku
baharulah aku menyerahkan diri.”

Di dalam Hikayat Maharaja Garabak Jagat, Keris Pancaroba


pernah mengalami ketidakampuhan, sehingga Arjuna kabur menghilangkan
wujudnya karena tersudut oleh musuhnya:

71
Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Provinsi DKI Jakarta, op.cit, h. 175-178.
Muhammad Bakir bin Syafi‟an bin Utsman bin Fadhli, Hikayat Maharaja Garabak Jagat,
(Jakarta: Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, 2014), Nomor Panggil: ML 251
72
Muhammad Bakir bin Syafi‟an bin Utsman bin Fadhli, Wayang Arjuna, op.cit, h.
66-68.
73
Marcapada berarti; Alam Sekarang ini, alam dunia lihat Nur-Karim, et.al,
Kumpulan Cerita Wayang Versi Pecenongan: Suntingan Teks, (Jakarta: Perpustakaan
Nasional, 2012), h. 352
42
“Maka bertarunglah Gerebeg Jagat dan Arjuna begitu sengit dan
dahsyatnya petarungan hingga hutan dan kebun-kebun hancur terlanggar
oleh mereka tampak Maharaja Gerebeg Jagat mulai terdesak.
Maka Nala Guriang Nala dan Nala Anggalaya pun menerjanglah
dikeroyok tiga orang Arjuna mulai keawalahan apalagi Nala Anggalaya
berkelahi dengan sangat curangnya ia menggigit bahkan mencakar maka
Sang Arjuna pun menghunus keris Si Pancaroba.
Cantrik Marga Semirang melihat itu ia tahu tak ada yang mampu
bertahan dari keris Si Pancaroba maka Ki Cantrik pun mengucapkan
mantranya hilanglah kesaktian Si Pancaroba.
Ha...ha...ha... apa yang kau lakukan gelak Gerebeg Jagat saat ia
ditikam Arjuna ayo tikamlah sesukamu tak ada rasanya h a...ha...ha...
He...he...he... aku juga mau Kang aku mau ditikam pisau dapur itu
ujar Nala Anggalaya.
Hi...hi...hi... aku mau pinjam pisau itu untuk memotong kuku Nala
Guriang Nala menimpali.
Murkalah Arjuna Nala Guriang Nala ditendangnya namun ia
merunduk lalu menggigit jari kaki Arjuna saat itu Ki Cantrik mengucap
mantranya sakit luar biasa dirasakan Arjuna saat Nala Guriang Nala
melepas gigitannya kaki Arjuna sebagian menjadi batu.
Terperanjat Arjuna melihat kakinya Gerebeg Jagat dan kedua
adiknya tertawa terkikik-kikik saat Arjuna mencoba bergerak kaki batunya
terasa amat berat maka menghilanglah Sang Arjuna.”74

Sekelumit cerita Arjuna di atas, berdasarkan pada naskah yang ditulis


oleh Muhammad Bakir Syafi‟an pada tahun 1890-an, yang diadopsi dari cerita-
cerita pewayangan yang disampaikan para Dalang di Batavia. Di saat yang
bersamaan Kaiin muda juga hidup sezaman dengan beredarnya tulisan
tersebut. Fakta beredarnya tulisan dan referensi cerita pewayangan dari para
dalang, membuka kemungkinan inspirasi pergerakan Kaiin, merujuk kepada
sumber cerita Arjuna yang sedang populer di tanah Betawi kala itu – di mana
sosok Arjuna yang gagah berani, membela kaum tertindas, dan selalu
memenangi peperangan, menjadi tokoh protagonis yang sangat dikagumi
oleh masyarakat kebanyakan.

74
Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Provinsi DKI Jakarta, op.cit, h. 192. Lihat
juga Muhammad Bakir bin Syafi‟an bin Utsman bin Fadhli, Hikayat Maharaja Garabak
Jagat, op.cit
BAB III
SITUASI SOSIAL-POLITIK SEBELUM PERGERAKAN

A. Toponimi dan Letak Geografis Tangerang


Seperti yang telah dijelaskan pada bab satu dalam pembatasan
masalah, bahwa lokasi penelitian ini berada di daerah Tangerang yang masuk
dalam wilayah Keresidenan Batavia yang didirikan oleh J.P. Coen pada tahun
1619. Secara administratif, Karesidenan Batavia meliputi daerah: Batavia-
Kota (pusat pemerintahan), Meester Cornelis (sekarang Jatinegara),
Tangerang, Karawang, dan Buitenzorg (Bogor).
Tangerang adalah daerah yang sangat strategis di wilayah barat
Karesidenan Batavia, karena secara geografis menjadi daerah tapal batas
yang menghubungkan dengan wilayah kesultanan Banten. Sebelum dikuasai
VOC, Tangerang adalah daerah yang paling ujung timur dari Kesultanan
Banten, setelah pengaruh Kesultanan dikurangi oleh Daendels, Tangerang
tetap menjadi bagian terpenting dari Batavia, karena posisinya diapit oleh
sungai Cisadane yang menjadi pusat ekonomi dan politik.
Ada dua pendapat tentang muasal nama Tangerang, pendapat pertama
mengacu pada bangunan benteng yang berada di tepi sungai Cisadane. Yang
kedua berpendapat berasal dari sebuah tugu peringatan yang dibangun juga di
dekat sungai Cisadane.
Alasan pendapat pertama, yakni nama Tangerang diambil dari bahasa
Sunda “Tengger” dan “Perang”. Tengger bermakna Tugu atau tempat
peringatan sesuatu yang terbuat dari bambu, batu, atau bisa berbentuk
benteng. Karena itu, Tangerang dahulu dikenal juga dengan nama Benteng,
merujuk kepada bangunan benteng yang terbentang di sepanjang sungai
Cisadane. Sedangkan kata Perang, berarti kejadian besar yang
menghadapkan dua atau lebih kelompok yang saling bertikai untuk
penyelesaian sengketa mereka dengan jalan pertempuran atau perang. Dua
kata tersebut di atas, selanjutnya digabungkan menjadi satu dengan
menghilangkan sebagian hurufnya dan mengganti huruf di lain pihak,
sehingga menjadi Tanggerang atau dengan satu huruf „g‟ (Tangerang).1
Penamaan Tangerang yang dikaitkan dengan bangunan benteng yang
berfungsi sebagai pertahanan dari musuh-musuh, nampaknya bukan terjadi
saat jatuhnya Banten kepada penguasa VOC (Verenigde Oost-Indische
Compagnie) di Batavia yang membelah Tangerang menjadi dua, di sebelah

1
Edi S. Ekadjati, et.al, Sejarah Kabupaten Tangerang, (Tangerang: Pemerintah
Kabupaten Tangerang, 2004), h. 39

43
44
barat sungai Cisadane masuk ke dalam wilayah Kesultanan Banten dan
bagian yang kedua di sebelah timur sungai menjadi milik Kompeni Belanda.
Ada dua argumentasi yang dapat dikemukakan; pertama, sungai
Cisadane nampaknya menjadi batas wilayah yang memudahkan pembelahan
wilayah ini menjadi dua, apalagi sungai ini besar dan dapat dilalui perahu-
perahu yang membawa kebutuhan logistik dari dan ke wilayah hulu
pedalaman. Lebarnya rata-rata 100 meter, kedalamannya mencapai 12,5
meter dan arusnya yang besar, mengakibatkan orang yang ingin menyebrang
tidak bisa berenang apalagi tanpa ada alat bantu penyeberangan. Sehingga
dimungkinkan pembuatan benteng pertahanan sebagai langkah preventif bagi
penyusup-penyusup yang akan mengganggu stabilitas di kawasan Kesultanan
Banten.
Argumentasi kedua yang dapat mematahkan teori toponimi
Tangerang dengan merujuk kepada peristiwa sengketa antara Kesultanan
Banten dan Penguasa Kompeni Belanda, adalah pernyataan Tome Pires di
dalam Suma Oriental, yang melakukan muhibah ke Nusantara kurun waktu
1500-an telah menyebutkan daerah-daerah yang pernah disinggahinya. Di
antara kota pelabuhan yang disebutkannya adalah “Tamgara”, yang secara
bunyi pelafalannya mirip dengan kata “Tangerang”. Adapun kalimat yang
menyatakan demikian adalah sebagai berikut: “The fourth port is that of
Tamgara. It is a port like the above. It has a goodly town and trade. It has a
captain. It is a trading place like all the above mentioned. It has the things the
other have”2
Pada buku Claude Guillot juga disebut sumber-sumber yang
menyebut “Tangerang”, yaitu:

“... dalam buku Pires menyebut secara berurutan dari barat ke timur:
Bantam, Pontang, Chegujde, Tamgara (Tangerang) dan Calapa; dan dalam
buku Barros yang menyebut dari timur ke Barat: Xacatra por outre nome
Caravam (Jakarta yang juga bernama Krawang), Tamgaram (Tangerang),
Cheguide, Pondang (Pontang), dan Bintam (Banten). Serta dalam peta yang
disisipkan oleh Lavanha dalam buku Barros (Decadas IV) dari barat ke
timur: Bintam, Pondang, Cheguide, Tangaram dan Zenopate – pada kedua
tepian sebuah sungai – Xacatra dan Caravam – pada kedua sisi satu sungai
yang lain.”3

2
Armando Cortesao (ed.), The Suma Oriental of Tome Pires and The Book of
Francisco Rodrigues, (Liechtenstein: Kraus Reprint Limited, 1967), Vol. I, h. 171
3
Claude Guillot, Banten Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII, (Jakarta: Kepustakaan
Populer Gramedia, 2011), Cet. Ke-2, h. 43-44
45
Penjelasan Claude Guillot lebih lanjut tentang dua sungai yang
dimaksud yakni: “... Tangerang dan „Zenopate‟. Nama tempat yang terakhir
ini tidak lain adalah „Senopati‟, dan ini berarti bahwa pemimpin tentara
Banten sering menetap di sungai Cisadane untuk menjaga perbatasan di
sebelah timur. Hal ini dibenarkan oleh berbagai sumber sampai jatuhnya
Banten di tangan Belanda tahun 1682.”4
Sedangkan pendapat kedua tentang penamaan Tangerang dengan
merujuk kepada sebuah tugu adalah penelitian M. Dien Majid dan kawan-
kawan, melalui sumber manuskrip5 yang dikutipnya, menyebutkan asal kata
nama Tangerang diambil dari bahasa Sunda, „Tangeran' yang bermakna
„tanda‟. Hal ini merujuk kepada sebuah tugu yang menjadi penanda batas
daerah Kesultanan Banten dengan VOC. Kemudian kata „Tangeran' menjadi
„Tangerang', karena mendapat pengaruh dari bahasa Makassar, yang tidak
mengenal huruf mati dalam akhir kata.6
Tugu penanda ini dibangun oleh Pangeran Soegri, salah satu putera
Sultan Ageng Tirtayasa (Penguasa Kesultanan Banten), terletak di Kampung
Grendeng (jalan Otto Iskandardinata), bagian Barat Sungai Cisadane. Pada
tugu tersebut terdapat prasasti tertulis berbahasa Jawa Kuno, aksen Banten,
dengan aksara Arab.7
Adapun bunyi prasasti dalam tugu tersebut, sebagaimana dikutip dari
buku Sejarah Kabupaten Tangerang, adalah sebagai berikut:

4
Claude Guillot, Ibid, h. 46
5
Manuskrip milik Subahat Suradinata, diambil dari catatan Parimbon Ke-Aria-an
Tengeran, ditulis oleh Penghulu Landraad Haji Abdullah.
6
M. Dien Majid, et.al., Sejarah Kabupaten Tangerang, (Tangerang: Pemerintah
Kabupaten Daerah Tingkat II Tangerang Bekerjasama dengan Lembaga Penelitian Pengabdian
Masyarakat Universitas Syaikh Yusuf Tangerang, 1992) h. 36-37
7
Ibid
46
Transliterasinya:
Bismillah peget Ingkang Gusti
Diningsun juput parenah kala saftu
Ping katanggal safar taun wawu
Rengsena perang neteg Nangeran
Bungas wetan cipamugas kulon Cidurian
Sakabeh Angraksa Sitingsun Parahyang-Titi/XXX

Artinya:
Dengan nama Allah tetap yang Maha Kuasa
Dari kami mengambil kesempatan pada hari sabtu
Tanggal 5 Sapar tahun wawu
Sesudah perang kita memencangkan tugu
Untuk mempertahankan batas Timur Cipamugas (Cisadane) dan Barat yaitu
Cidurian
Semua menjaga tanah kaum Parahyang8

Adapun penduduk di wilayah Tangerang dan Jakarta menurut


Thohirudin dalam Edi. S. Ekadjati, lebih populer menyebutnya dengan
sebutan Benteng, hal ini merujuk pada benteng yang dibangun di sekitar
sungai Cisadane, sedangkan nama Tangerang sendiri baru dikenal pada tahun
1712.9
Di era moderen ini, Tangerang terbagi dalam tiga wilayah
administratif, yakni: Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, dan Kota
Tangerang Selatan. Kesemua wilayah tersebut luasnya mencapai 128.223
Hektare.10 Wilayah Tangerang berbatasan langsung di sebelah timurnya
dengan daerah Batavia (Jakarta bagian barat), di sebelah barat dengan
Serang, selatan dengan Buitenzorg (Bogor), dan di utara bagian dari wilayah
Tanjung Kait dan Untung Jawa (sungai Cisadane) yang bermuara ke Laut
Jawa.11
Terdapat pula sungai-sungai penting yang berperan besar menjadi
jalur distribusi dan lalu lintas di masa lampau dari hulu menuju hilir dan
sebaliknya. “Kali” begitu orang Tangerang menyebutnya, menjadi pusat
peradaban kota Tangerang. Di antara kali tersebut ialah: Cisadane, Cidurian,
Cimanceuri, Pesanggrahan, dan Angke. Kali Cisadane menjadi yang terbesar

8
Ibid, h. 36-37
9
Edi S. Ekadjati, op.cit, h. 40
10
Multamia R.M.T. Lauder, Pemetaan dan Distribusi Bahasa-bahasa di
Tangerang, (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1993), h. 10
11
D.G. Stibbe, Encyclopedie van Nederlandsch-West Indie, (1921), Jilid IV, h. 266
47
dan menjadi ikon dari Tangerang, kedudukan sungai ini menjadi amat
penting karena menjadi batas wilayah yang membelah Kesultanan Banten
dengan daerah kekuasaan Kompeni Belanda (VOC).
Karena peran strategis sungai Cisadane sebagai perbatasan negara, di
masa Sultan Ageng Tirtayasa memerintah Kesultanan Banten – pernah
membuat proyek besar di bidang pertanian sekaligus membuat kebijakan
“transmigrasi” ke tapal batas tersebut. Sebagaimana termuat dalam Dagh-
Register dan Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie yang dikutip oleh
Guillot, pada bulan September 1659, Kyai Arya Mangunjaya (pejabat
menteri Kesultanan Banten) menginstruksikan kepada bawahannya untuk
menanam seratus batang pohon kelapa muda di setiap daerah yang
dipimpinnya, dekat sungai Ontong Jawa (Untung Jawa atau sungai
Cisadane). Sultan juga membuat kebijakan mengisi daerah tersebut dengan
sejumlah lima ribu orang laki-laki dan keluarganya untuk merawat
perkebunan baru tersebut.12
Di masa Hindia Belanda, karena permintaan domestik dan dunia
sangat meningkat, pemerintah juga membuat kebijakan penanaman kelapa
yang dijadikan kopra. Konsentrasi perkebunan kelapa terpusat di daerah-
daerah pesisir pantai, khususnya Tangerang bagian utara yang sangat cocok
dengan jenis buah-buahan ini. Sebagaimana tercatat dalam Changing of
Economy in Indonesia Jilid I, tahun 1975, yang berjudul “Indonesia‟s Export
Crops 1816-1949”, yang dikutip oleh J.O „Malley, pada tahun 1920 di pulau
Jawa hampir 10 ribu hektare tanah perkebunan ditanami pohon kelapa – yang
terpusat di daerah Batavia, Semarang, dan Kediri.13 Selain kelapa, daerah
utara Batavia juga merupakan tanah subur yang sangat cocok untuk
persawahan. Berbeda dengan daerah selatan Batavia, yang dijadikan sentra
perkebunan kopi, cokelat, kacang, buah-buahan, kayu dan lain-lain.14
Secara umum wilayah Tangerang beriklim panas dengan keadaan
suhu rata-rata berkisar antara 27 hingga 30 derajat celcius.15 Khusus wilayah
utara keadaan suhu panas dipengaruhi oleh Laut Jawa, sedangkan di selatan
bisa mengalami cuaca yang relatif sejuk karena berbatasan dengan daerah
Bogor yang masih memiliki hutan kota dan pepohonan yang rimbun.

12
Claude Guillot, op.cit, h. 156
13
J.O „Malley, “Perkebunan 1830-1940: Ikhtisar”, h. 197-235, dalam Anne Both,
et.al, Sejarah Ekonomi Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1988), h. 222-223
14
D.G. Stibbe, op.cit, h. 354-359. Dan lihat Suhartono W. Pranoto, Jawa: (Bandit-
bandit Pedesaan) Studi Historis 1850-1942, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), Cet. Ke-1, h.
31
15
Multamia R.M.T. Lauder, op.cit, h. 10
48

B. Tangerang sebagai Tanah Partikelir


Status tanah di Tangerang pada masa Kesultanan Banten, mengikuti
pola yang diatur oleh Sultan, seperti Tanah Negara, yaitu tanah milik Sultan
yang diberikan kepada petani dengan kewajiban membayar pajak dan tenaga
kerja. Tanah Negara tersebut terbagi lagi dalam beberapa jenis, yaitu tanah
yang diberikan Sultan kepada keluarga raja dan birokrat, yang disebut tanah
ganjaran, pusaka laden, atau pecaton. Pemberian tanah khusus kepada famili
raja disebut kewargaan atau kanayakan. Sedangkan untuk birokrat kerajaan
disebut tanah pangawulaan. Pemberian tanah oleh sultan merupakan
kewenangan yang melekat kepada penguasa secara turun temurun, yang
diberikan sebagai hadiah bagi orang-orang yang berjasa menurut Sultan.16
Pemegang tanah yang dijadikan sawah selanjutnya membuka sawah-
sawah baru di tanah-tanah kosong di wilayah kesultanan, yang kemudian
disebut Tanah Yasa. Semua tanah-tanah tersebut terdapat sumber penghasilan
berupa pajak, sehingga semakin banyak lahan baru, maka banyaklah
pendapatan yang diraih kesultanan.17
Status tanah setelah pudarnya kekuasaan Kesultanan Banten di
Tangerang, sedikit mengalami perubahan. Bila di masa kesultanan tanah
diberikan kepada keluarga Sultan dan Birokrat (kelompok kelas atas
pribumi), maka di masa kekuasan VOC tanah diberikan atau dijual kepada
kebanyakan orang asing (terutama orang Tionghoa). Status kepemilikan
tanah di dua masa ini, tetap tidak berimbas kepada masyarakat rendahan
seperti petani penggarap, mereka hanya menjadi objek eksploitasi para
pemilik tanah saja.
Di masa Kompeni Belanda (VOC, tahun 1602-1799), Tangerang
menjadi Tanah Partikelir (particuliere landerijen). Status Tanah Partikelir
muncul seiring dengan kebijakan memperjualbelikan tanah kepada pihak
swasta, yang kemudian kebijakannya dilanjutkan pada masa kolonialisme
Belanda melalui perwakilannya, Gubernur Jenderal Herman Willem
Daendels (1808-1811). Dan diteruskan pada masa peralihan Kerajaan Inggris
yang diwakili oleh Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles (1811-1816)
serta berkelanjutan hingga akhir masa penjajahan.18
Selain karena penjualan, tanah partikelir juga dimaksudkan sebagai
hadiah bagi para pahlawan perang yang berjasa membantu kompeni dalam
penaklukan Jayakarta dan mempertahankan dari invasi Banten, serta
peperangan yang melibatkan pemerintah kolonial. Hal ini berlaku pula pada
daerah-daerah di sekitar Batavia. Kebijakan ini diambil sebagai langkah

16
Suhartono W. Pranoto, op.cit, h. 37
17
Suhartono W. Pranoto, Ibid, h. 37
18
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (ed.), Sejarah
Nasional Indonesia IV, (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), Edisi Pemutakhiran, h. 400
49
strategi politik untuk meramaikan kembali kota Batavia yang banyak
ditinggalkan penghuninya pasca perang. Pemberlakuan ini dilakukan setelah
satu tahun Kompeni Belanda berhasil menduduki Jayakarta (1620/1621) dari
Pangeran Wijayakrama, yang sebelumnya juga menjadi penguasa vasal dari
Kesultanan Banten.19 Sedangkan orang yang mendapatkan hadiah tanah
karena melekat jabatannya di posisi-posisi pemerintahan, maka yang
demikian tanahnya disebut sebagai tanah bengkok.20
Status tanah partikelir yang diperjualkan oleh VOC maupun
pemerintah kolonial kepada perorangan atau swasta berbeda dengan tanah
biasa seperti saat ini. Pihak yang membeli tanah partikelir tidak hanya
mendapatkan sebidang tanah, tapi sekaligus mendapatkan hak-hak untuk
membentuk polisi sebagai pengamanan daerah, dan juga berhak untuk
menarik pajak dari petani. Dalam hal ini pemilik tanah yang kemudian
menjadi tuan tanah (landheer) memiliki Hak Keistimewaan (Hak Pertuanan)
atas tanah yang dimilikinya. Sehingga rakyat yang menggarap dan tinggal di
wilayah tersebut tunduk kepada penguasa tanah partikelir.21
Penjualan tanah berlaku bagi orang asing khususnya Arab, Belanda,
dan terutama Tionghoa, karena semakin luasnya kepemilikan tanah mereka,
maka mereka menjadi tuan-tuan tanah yang menguasai tanah sekaligus
manusia yang menghuninya.
Menurut data Koloniaal Verslag tahun 1892, yang dikutip oleh
Ekadjati, luas tanah sawah dan tegalan pada tahun 1891 di wilayah Afdeling
Tangerang mencapai 118.736 bau atau setara 103.268 hektare (1 bau = 0,8
hektare) dengan rincian per distriknya adalah sebagai berikut:22
1. Distrik Tangerang luasnya mencapai 42.553 bau atau setara dengan
34.042, 4 hektare dengan rincian: sawah 26.878 bau (21.502, 4 hektare)
dan tegalan 15.675 bau (12.540 hektare).
2. Distrik Balaraja luas seluruhnya 53.030 bau dan jika dikonversikan ke
satuan hektare menjadi 42.424 hektare, terdiri dari sawah berjumlah
23.212 bau (18.569, 6 hektare) dan tegalan 29.818 bau (23.854, 4
hektare).

19
Edi S. Ekadjati, op.cit, h. 96-97. Lihat juga M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia
Modern 1200-2004, (Jakarta: Serambi, 2008), cet. Ke-2, h. 77-78
20
R.E. Elson, “Kemiskinan dan Kemakmuran Kaum Petani pada Masa Sistem
Tanam Paksa di Pulau Jawa, dalam Anne Both, et.al, Sejarah Ekonomi Indonesia, (Jakarta:
LP3ES, 1988), h. 39
21
Y. Wartaya Winangun, SJ., Tanah Sumber Nilai Hidup, (Yogyakarta: Kanisius,
2004), h. 28. Lihat juga Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (ed.),
op.cit, h. 400-401
22
Edi S. Ekadjati, op.cit, h. 117-118
50
3. Distrik Mauk sawah 23.153 bau (18.522, 4 hektare) dan tegalan 10.349
bau (8.279, 2 hektare) total jumlah seluruhnya 26.801, 6 hektare.

Luas tanah partikelir di pulau Jawa terus berkembang, sebagaimana


tercatat dalam buku Sejarah Nasional Indonesia, “Pada tahun 1915 di Jawa
terdapat 582 tanah partikelir, yang meliputi luas tanah sekitar 1,3 juta bau
(1.040.000 hektare) dan dengan penduduk sebanyak kurang lebih 1,8 (sich:
juta) jiwa. Beberapa di antaranya ada yang merupakan daerah yang luas
dengan penduduk 75.000 jiwa (bahkan ada yang meliputi 175.000 jiwa).”23
Alih-alih memerintah penduduk pribumi untuk mengisi kembali
Jayakarta, sebenarnya Kompeni Belanda mempunyai niat lain yang
terselubung. Kepentingannya yang kedua, yaitu jasa keamanan gratis karena
para pemilik tanah berkewajiban menjaga keamanan wilayahnya dengan
mempekerjakan para pendekar silat untuk menjadi centeng (semacam satpam
di zaman sekarang). Sedangkan maksud yang ketiga adalah untuk menambah
perbendaharaan kas kompeni dari hasil penyewaan tanah-tanah partikelir
tersebut, di luar usaha perdagangan dan perkebunan yang dikelola
Kompeni.24 Selanjutnya di masa Daendels dan Raffles, dibuat kebijakan
penjualan tanah-tanah partikelir oleh pemerintah kolonial dengan maksud
untuk mengisi kas negara yang tengah mengalami kebangkrutan.25
Ada dua macam nomenklatur tanah di Tangerang saat itu, yakni:
tanah yang dimanfaatkan sebagai tempat usaha yang dinamai erfacht, dan
tanah yang disebut landsdomein atau tanah negara. Peraturan soal tanah ini
dibentuk untuk mengatur kepemilikan tanah perseorangan. Adapun tanah
usaha (erfacht) di daerah Tangerang terdapat di Distrik Tangerang dan
Distrik Mauk.26
Selanjutnya tanah di wilayah Tangerang dibagi menjadi beberapa
persil (bidang atau bagian tanah), dimana setiap persilnya Kompeni jual
kepada orang-orang kaya di Batavia yang berasal dari bangsa Eropa dan
terutama bangsa Tionghoa, dengan demikian mereka menjadi tuan tanah di
tanah partikelir Tangerang tersebut, yang memiliki wewenang untuk
mengatur penanaman pada kebun-kebun, mengangkat para petani, menarik
berbagai macam pajak dan menjaga keamanan setempat.27

23
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (ed.), op.cit, h. 402
24
Edi S. Ekadjati, op.cit, h. 96-97
25
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (ed.), op.cit, h. 401
26
Edi S. Ekadjati, op.cit, h. 97
27
Edi S. Ekadjati, Ibid, h. 97
51
Dalam Regeering Almanak van Nederlandsch Indie, 1900-1931, yang
dikutip pada buku Sejarah Kabupaten Tengerang, keadaan tanah partikelir di
Tangerang antara tahun 1900-1901 sebagaimana tabel berikut:28

No Nama Persil Pemilik Luas Penduduk


(bau)
1. Benteng Makasar Gouv. V. Ned. Indie 202 1.325
2. Pasar Tangerang dan Syarifa Mariam dan Abdul 422 1.296
Tangerang Barat Azis Effendi dkk
3. Babakan Utara PT Salim Balocel 120 120
4. Tangerang Timur A. Abdul Azis Effendi dkk 563 1.546
5. Cikokol M. van Delden 625 1.612
6. Panunggangan Louw Sek Hie 308 322
7. Priang Oey Hoey Tjay 1.735 2.735
8. Pakulonan Perkeb. Sch. Bergzicht 704 849
9. Pondok Jagung Ong Jum San 723 1.446
10. Lengkong Timur Lim Eng Gie dkk 687 1.171
11. Babakan Selatan Lim Eng Gie dkk 7 75
12. Lengkong Timur Ong Kim Tjong ? ?
13. Lengkong Barat The Tjoen Sik 2.266,25 4.073
14. Klapadua Tan Hok Kien 24 28
15. Cihuni Perkebunan Cihuni 2.818 4.035
16. Parungkuda Souw Siouw Kong dkk 1.479 3.808
Louw Soey 343 4.424
17. Kedaung Timur Maskapai Pertanian 1.678 ?
Slapanjang Timur 259 3.711
18. Tanah Koja Perkebunan Batuceper ? 4.737
Sumber: Edi S. Ekadjati, et.al., Sejarah kabupaten Tangerang, (Tangerang:
Pemerintah Kabupaten Tangerang, 2004)

Di masa kekuasaan Kerajaan Inggris (1811-1816), Raffles yang


bertindak sebagai Gubernur Jenderal, dalam hal ini mewakili pemerintah
kolonial, pada tahun 1811 sempat membuat pembaharuan pengaturan
terhadap tanah. Raffles berpendapat bahwa tanah yang dikuasai oleh pemilik
perorangan beserta kewajiban pajaknya dapat menguntungkan
perbendaharaan negara. Karena itu diperlukan kepastian hukum terhadap
pemilik perorangan. Langkah-langkah yang dilakukan oleh Gubernur

28
Edi S. Ekadjati, Ibid, h. 128
52
Jenderal Inggris tersebut sebagaimana mengutip Y. Wartaya Winangun,29
adalah sebagai berikut:
1. Menghapuskan segala penyerahan paksa hasil-hasil bumi dengan harga
yang tidak pantas dan menghilangkan semua kerja rodi, dengan
memberikan kebebasan penuh dalam penanaman dan perdagangan.
2. Pengawasan tertinggi dan langsung dilakukan pemerintah atas tanah-tanah
dengan menarik pendapatan dan sewaan tanpa perantara bupati-bupati.
3. Menyewakan tanah-tanah yang diawasi pemerintah secara langsung
berdasarkan kontrak-kontrak untuk waktu terbatas.
Setelah berakhirnya penguasaan Inggris atas Indonesia, pemerintahan
kolonial kembali direbut oleh Kerajaan Belanda. Sehingga otomatis
kebijakan soal agraria mengalami perubahan kembali. Pada masa
kepemimpinan Gubernur Jenderal van den Bosch (1830-1833),
diberlakukanlah Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel) dari tahun 1830 yang
berakhir pada tahun 1870.
Kebijakan ini berimbas terhadap kewajiban kepada tanaman
komersial (commercial crops) yang laku di pasaran wajib ditanam oleh para
petani penggarap di tanah partikelir. Sedangkan hasil dari perkebunan itu
dibeli oleh pemerintah kolonial dengan harga yang sangat murah, sedangkan
dalam pelaksanaan administrasinya pemerintah menggunakan tangan-tangan
pribumi, dengan memanfaatkan sistem feodal yang masih berpengaruh untuk
berjalannya misi Cultuurstelsel.30

C. Struktur Sosial Masyarakat


Struktur sosial masyarakat Tangerang sebagaimana lapisan strata pada
penduduk di daerah koloni yang lain. Bangsa asing menempati posisi teratas
dalam derajat kasta, sedangkan kaum pribumi berada pada titik terendah
dalam struktur tersebut. Sebagaimana disampaikan oleh Maman S. Mahayana
dalam Seminar Nasional yang diadakan oleh Program Studi Pasca Sarjana
Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, “Strata
tertinggi dalam struktur sosial di tanah jajahan adalah bangsa Asing Eropa,
selanjutnya berurutan, Asia Timur (Tiongkok), Asia Barat (Arab), Asia
Selatan (India), kaum Ningrat Pribumi, pegawai pemerintah, dan terendah
masyarakat pribumi.”31

29
Y. Wartaya Winangun, SJ., op.cit, h. 30
30
Y. Wartaya Winangun, SJ., Ibid, h. 30
31
Maman S. Mahayana, “Membangun Paradigma Integratif dan Kontekstual dalam
Studi Keilmuan Humaniora di Program Pasca Sarjana” Seminar Nasional yang
diselenggarakan oleh Program Studi Pasca Sarjana Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta pada tanggal 12 September 2015.
53
Dalam Encyclopaedi van het Nederlandsch-Indie, data sensus
penduduk di tahun 1905 yang dikutip oleh Edi. S. Ekadjati,32 seluruh
penduduk Tangerang berjumlah 120.840 jiwa, dengan rincian sebagai
berikut:

NO Suku Bangsa Jumlah Jiwa


1. Pribumi 107.900
2. Tionghoa 12.800
3. Eropa 120
4. Arab 20
Sumber: Edi S. Ekadjati, et.al., Sejarah kabupaten Tangerang, (Tangerang:
Pemerintah Kabupaten Tangerang, 2004)

Dan mengalami peningkatan pada tahun 1917, berjumlah 414.500


jiwa, dengan rincian sebagai berikut: 33

NO Suku Bangsa Jumlah Jiwa


1. Pribumi 379.380
2. Tionghoa 35.000
3. Eropa 120
4. Arab 20
Sumber: Edi S. Ekadjati, et.al., Sejarah kabupaten Tangerang, (Tangerang:
Pemerintah Kabupaten Tangerang, 2004)

Pendatang Tionghoa menempati posisi kedua dalam jumlah


penduduk, bahkan sebagian di antara mereka berperan penting menjadi
kelompok koloborator yang berfungsi sebagai perantara dalam sistem politik
dan ekonomi pemerintah kolonial. Di sisi lain, pemimpin feodal pribumi, ada
juga yang menjadi kelompok koloborator – tetapi perannya masih kalah bila
dibandingkan kelompok opurtunis dari etnis Tionghoa. Kehadiran sebagian
kelompok Tionghoa yang menjadi sekutu dari pemerintah kolonial, dianggap
sebagai balasan atas perlindungan aset bisnis mereka.34 Sikap oportunis ini,
hanya dilakukan oleh oknum-oknum Tionghoa yang pragmatis, gambaran
utuh watak tentang orang-orang Tionghoa pernah tercatat dalam laporan-
laporan dan dokumen-dokumen, sebagaimana dikutip oleh Leonard Blusse:

32
Edi S. Ekadjati, op.cit, h. 113. Lihat juga D.G. Stibbe, op.cit, h. 265
33
Edi S. Ekadjati, op.cit, h. 113. Lihat juga D.G. Stibbe, op.cit, h. 265-266
34
Leonard Blusse, Persekutuan Aneh, Pemukim Cina, Wanita Peranakan, dan
Belanda di Batavia VOC, (Yogyakarta: LkiS, 2004), Cet. Ke-1, h. 136-137
54
“Berbagai macam jenis informasi dari saksi-saksi semasa (sich: itu)
sampai ke tangan kita melalui dokumen-dokumen tercetak dan surat-surat
yang ditulis oleh pegawai Kompeni atau pimpinan gereja, dan laporan
perjalanan oleh para pelaut dan penjelajah Eropa. Dalam semua catatan-
catatan ini orang Cina Batavia pada dasarnya dilukiskan sebagai orang yang
rata-rata rajin, tidak suka keributan dan kadang-kadang licik, dan orang-
orang yang serba bisa (die overal een hand in hebben), sekaligus juga
berwatak pemalu (Vreesachtig van aard) ...”35

Pendatang Asia lainnya yang bermukim di Tangerang adalah orang-


orang Arab. Mereka menempati posisi keempat setelah penduduk dari Eropa
yang berada pada urutan ketiga. Status agama Islam yang dianut oleh orang-
orang Arab, memudahkan mereka beradaptasi dengan penduduk lokal.
Namun keberadaan etnis Arab dalam sejarah, sering mengalami kerancuan –
karena kelompok-kelompok pendatang yang beragama Islam dari Bengali
dan lainnya juga disebut orang Arab. Keberadaan orang Arab di Nusantara
sudah ada sejak sebelum agama Islam lahir, tetapi koloni Arab mulai tercatat
resmi data statistiknya pada abad ke-19. Dan terus mengalami pertumbuhan
jumlah penduduknya seiring dengan ditemukan mesin uap pada tahun 1870-
an yang teknologinya dipakai kapal laut untuk berlayar dari Timur Jauh dan
Arab ke Nusantara.36
Van den Berg pernah memuat hasil sensus tentang koloni-koloni Arab
yang dilakukan pada tahun 1885 di Jawa dan Madura, dalam hal ini kami
kutipkan sensus jumlah penduduk Arab di Karesidenan Batavia, yaitu:37
Kota Arab Lahir di Arab Arab Lahir di Nusantara Jumlah
Pria Anak Pria Wanita Anak
Batavia 457 19 189 224 550 1448
Mr. Cornelis 19 - 14 5 48 86
(Jatinegara)
Buitenzorg 31 - 12 15 39 97
(Bogor)
Tangerang 1 - 4 5 21 31
Sumber: L.W.C van den Berg, Orang Arab di Nusantara, (Depok:
Komunitas Bambu, 2010)

Berbeda dengan hitungan statistik yang dilakukan oleh Inggris,


sebagaimana dilakukan Belanda di atas. Dalam versi Inggris jumlah
penduduk Arab seluruhnya disatukan, tidak dibedakan antara yang lahir di

35
Leonard Blusse, Ibid, h. 138
36
L.W.C van den Berg, Orang Arab di Nusantara, (Depok: Komunitas Bambu, 2010),
h. 95-96
37
L.W.C van den Berg, Ibid, h. 96
55

Arab atau Nusantara. Van den Berg memberikan penjelasan mengenai angka-
angka dalam tabel di atas, menjadi tiga uraian:38
1. Bahwa populasi Arab di kota-kota yang disebutkan mencakup juga orang
Arab yang tinggal di daerah sekitarnya.
2. Bahwa perempuan pribumi yang kawin dengan orang Arab tidak termasuk
di dalamnya.
3. Bahwa campuran Arab yang masuk hitungan hanya yang belum
kehilangan kewarganegaraan.

Klasifikasi masyarakat desa di daerah Tangerang, berpedoman pada


luasnya kepemilikan tanah. Orang yang paling banyak memiliki tanah, dialah
yang tertinggi status sosialnya, sedangkan orang yang sedikit memiliki tanah
dan tidak mempunyai tanah, prestise sosialnya lebih rendah. Sebagai
konskuensinya, status ini juga melekat beberapa hak dan kewajibannya
masing-masing, kelas sosial yang terendah dipenuhi target-target produksi
pertanian, pajak dan kewajiban taat kepada pemilik status sosial yang
tertinggi, selanjutnya para pemilik atau disebut tuan-tuan tanah juga
berkewajiban terhadap pemenuhan-pemenuhan yang disepakati oleh
pemerintah kolonial tertinggi.39
Stratifikasi masyarakat Tangerang setelah kelompok asing adalah
kaum pribumi. Ada tiga suku bangsa yang mendiami daerah Tangerang,
yakni: Pertama, Suku Sunda yang terbanyak jumlahnya hampir separuh
wilayah Tangerang, mereka biasanya berdiam di wilayah Tiga Raksa,
Balaraja, Cikupa, Curug, Legok, Pasar Kemis dan sebagian di daerah
Serpong, Tangerang, Batu Ceper, Teluk Naga, Mauk, dan Rajeg.40 Menurut
penelitian yang dilakukan oleh Nana Suryana dan kawan-kawan, orang-orang
Sunda datang ke Tangerang sekitar tahun 1630-an, setelah pengepungan kota
Batavia oleh pasukan Kesultanan Mataram.41 Sebagian besar orang Sunda
tersebut datang dari daerah Sumedang, dan juga sebagian lagi berasal dari
wilayah Jasinga dan Lebak, ketiga wilayah ini di masa Kesultanan Banten
berikutnya menjadi daerah otonom yang dinamakan dalam struktur
pemerintahannya Kemaulanaan yang beribukota di Pasanggrahan.42

38
L.W.C van den Berg, Ibid, h. 99
39
Suhartono W. Pranoto, op.cit, h. 36
40
Multamia R.M.T. Lauder, op.cit, h. 15
41
Nana Suryana, et.al., Sejarah Kabupaten Tangerang, (Tangerang: Pemda Tk. II
Tangerang dan LPPM Universitas Syaikh Yusuf Tangerang, 1992), h. 22
42
Kemaulanaan ini dipimpin oleh Trio Tumenggeng yang berasal dari Sumedang,
yaitu: Tumenggung Aria Yudanegara, Tumenggung Aria Wangsakara, dan Tumenggung
Aria Santika. Ketiga tokoh pemimpin tersebut dikenal dengan sebutan Tiga Raksa, yang
artinya tiga orang pemimpin. Untuk mengamankan wilayah Banten dari invasi Kompeni,
56

Kedua, Suku Melayu (berikutnya disebut Betawi) yang mencapai


sepertiga daerah Tangerang, orang Melayu-Betawi banyak bermukim di
daerah Ciputat, Ciledug, Batu Ceper, Tangerang, Teluk Naga, serta sebagian
wilayah Serpong, Sepatan, dan Mauk.43 Orang Melayu yang mendiami
Tangerang disebut juga dengan suku “Betawi Ora”, mereka datang ke
Tangerang untuk berhijrah dari Batavia, karena terdesak oleh dominasi orang
asing, bahkan sampai-sampai mereka meninggalkan harta bendanya yang
terampas oleh pendatang asing di Batavia.44 Orang Betawi masuk ke
Tangerang diperkirakan terjadi pada tahun 1659 sejak dikuasainya Tangerang
oleh VOC dan masuk ke wilayah Batavia. Ditambah lagi terjadinya banjir
yang terus melanda daerah Batavia pada tahun 1680,45 semakin banyak
penduduk pribumi Batavia bermigrasi ke daerah Tangerang yang secara
geografis berada dekat dengan pusat kota Batavia di sebelah barat dan
selatan.
Yang ketiga, Suku Jawa, yang berjumlah hanya seperenam dari daerah
Tangerang, mereka rata-rata mendiami wilayah Kronjo, Kresek, serta
sebagian kecil di Balaraja, Rajeg, dan Mauk.46 Orang Jawa ini adalah para
pengikut Fatahillah dari Kesultanan Demak yang pernah menguasai Banten
pada tahun 1526 dan sisa-sisa pasukan Kesultanan Mataram yang gagal
merebut Batavia dari tangan VOC pada tahun 1628 dan 1629,47 sehingga
prajurit Mataram yang berasal dari etnis Jawa dan Sunda kemudian menetap
selamanya di daerah Tangerang.
Selain ketiga suku besar di atas, terdapat juga suku lain, seperti Bugis,
Aceh, Minang, Batak, Bali, dan Maluku yang jumlah penduduknya kecil dan
rata-rata mereka hidup menyebar tidak di satu lokasi. Pada era kolonialisme,
di Tangerang juga terdapat pemukim-pemukim dari bangsa asing Eropa
maupun Tionghoa, meskipun jumlah mereka tidak sebesar suku-suku
pribumi, tetapi eksistensi mereka dalam perekonomian dan politik sangat
mendominasi.
Setiap suku bangsa yang mendiami daerah Tangerang, turut serta pula
kebudayaan dan kesenian masing-masing. Sebagaimana dicatat dalam

Tumenggung Aria Yudanegara membuat benteng pertahanan di tepi sungai Cisadane sebelah
utara Cikokol dan Kedaung Barat. Sedangkan Tumenggung Aria Wangsakara turut
membangun benteng di daerah Lengkong (sekarang disebut Lengkong Sumedang) yang
berada di tepi suangai Cisadane sebelah barat sampai ke bendungan Sangego. Lihat Edi S.
Ekadjati, op.cit, h. 86-87
43
Multamia R.M.T. Lauder, op.cit, h. 15
44
Budiman, Folklore Betawi, (Jakarta: Dinas Pendidikan & Kebudayaan Provinsi DKI
Jakarta, 1979, h. 17
45
Edi S. Ekadjati, op.cit, h. 108-109
46
Multamia R.M.T. Lauder, op.cit, h. 15
47
Edi S. Ekadjati, op.cit, h. 108
57
penelitian Multamia R.M.T. Lauder: “Masyarakat Sunda pada umumnya
menggemari wayang golek, reog, calung, goong rancag, degung, dan
kliningan. Masyarakat Jawa secara umum masih mennggemari wayang kulit,
klenengan, dan orkes keroncong. Masyarakat Melayu lebih menggemari
tanjidor, jipeng, topeng, dan ketimpring.”48
Secara budaya masyarakat Tangerang terpengaruh oleh budaya
Melayu-Betawi. Sebagaimana contoh yang diungkap oleh Budiman:
“Kesenian rakyat Tangerang keseniannya sama dengan kesenian rakyat
Betawi, seperti kesenian lenong, gambang kromong, tari cokek dan
sebagainya.49 Di samping itu suku Melayu di Tangerang juga mengenal
Wayang Betawi, hal ini berdasarkan dari keahlian Ki Dalang Kaiin Bapa
Kayah yang berasal dari suku Melayu Kampung Pangkalan, Teluk Naga.

D. Keadaan Ekonomi Masyarakat


Penduduk Tangerang terdiri dari golongan pribumi dan Timur Asing
(terutama etnis Tionghoa) sebagian besar mengandalkan sawah dan kebun
sebagai penghasilan sehari-hari mereka.50 Kondisi alam yang subur di
wilayah-wilayah Karesidenan Banten dan Batavia ini menjadi keuntungan
sendiri, terutama stok berasnya bisa menjadi bahan tukar terhadap dagangan
lainnya. Terdapat beberapa jenis sawah di area ini, yakni ada yang masuk
kategori sawah subur, sawah tadah hujan, sawah rawa, dan tegalan. Bagi
daerah yang sedikit sumber airnya ternyata juga sangat subur dan dapat
ditanami jenis tanaman kopi, lada, kanil, indigo, dan kelapa.51
Semua hasil pertanian ini, diperdagangkan melalui jalur sungai sebagai
urat nadi lalu lintas dari pedalaman yang bermuara ke Laut Jawa, dan hal ini
telah dilakukan bahkan jauh sebelum masa VOC berkuasa. Bagi
daerah-daerah yang tidak bisa memungkinkan distribusi logistik melalui
sungai, maka ditempuh melalui transportasi darat dengan menggunakan
gerobak yang ditarik oleh kerbau (karena binatang ini sangat tahan terhadap
kondisi alam tropis) maupun dengan tenaga manusia.52
Sedangkan distribusi barang di masa pemerintahan Belanda, lebih
mudah dilakukan, karena dapat ditempuh melalui beberapa jalur, terutama
setelah Gubernur Herman Willem Daendels membuat proyek besar jalan pos

48
Multamia R.M.T. Lauder, op.cit, h. 17
49
Budiman, op.cit, h. 18
50
Edi S. Ekadjati, op.cit, h. 116
51
Suhartono W. Pranoto, op.cit, h. 55-56
52
Suhartono W. Pranoto, Ibid, h. 57
58
dari Anyer (Banten) sampai Panarukan (Jawa Timur) tahun 1808,53 dan juga
pembangunan transportasi kereta api oleh penerus Gubernur Jenderal
tersebut, dari Anyer ke Batavia pada tahun 1896, Anyer menuju
Rangkasbitung di tahun 1900,54 serta Batavia juga terhubung dengan Cirebon
pada tahun 1906.55
Selain bidang pertanian ada juga yang bekerja di sektor perdagangan
dan industri kerajinan. Industri kerajinan yang dimiliki para penduduk
Tangerang umumnya bergerak dalam sektor home industry (industri
rumahan), yang membuat topi anyaman berbahan dasar bambu dan pandan.
Kualitas topi anyaman dari Tangerang sangat baik, bahkan diekspor ke
mancanegara. Ekspor topi anyaman dilakukan oleh para pedagang Tionghoa,
terutama ke Eropa dan Amerika. Grafik penjualan topi anyaman Tangerang
tercatat dalam Arsip Nasional yang dikutip dalam buku Sejarah Kabupaten
Tangerang,56 sebagai berikut:

Tahun Jumlah Nilai Total Nilai Tiap Topi


1913 5.495.394 f 1.328.820 26 Sen
1917 2.573.033 f 668.983 26 Sen
1922 2.826.058 f 847.817 30 Sen
1928 4.947.104 f 2.044.889 41 Sen
1929 4.436.568 f 1.009.878 23 Sen
1930 2.935.745 f 445.165 16 Sen
1931 1.163.307 f 147.529 13 Sen
Sumber: Edi S. Ekadjati, et.al., Sejarah kabupaten Tangerang, (Tangerang:
Pemerintah Kabupaten Tangerang, 2004)

53
Pada saat proyek pembangunan jalan raya Anyer-Panarukan, Kesultanan Banten
mengalami kemunduran. Menurut Abdurrahman Wahid, ada dua faktor yang menyebabkan
runtuhnya visi internasionalisasi Banten sebagai negara maritim yang kuat. Yang pertama
faktor eksternal, yaitu adanya blokade laut yang dilakukan pihak Belanda dan Mataram yang
menjadi sekutu Banten di bawah pimpinan Sultan Agung lebih beorientasi agraris daripada
laut. Kedua karena faktor internal perseteruan antar kalangan elit kerajaan. Kedua faktor ini
yang memudahkan tembusnya prajurit Belanda dari Batavia menusuk ke jantung kesultanan
Banten, sehingga memudahkan realisasi proyek transportasi dan komunikasi yang
menguntungkan bagi pihak Belanda. Lihat Abdurrahman Wahid, Membaca Sejarah
Nusantara, (Yogyakarta: LkiS, 2010), cet. Ke-1, h. 36-37
54
Suhartono W. Pranoto, op.cit, h. 30
55
Ibid, h. 32
56
Edi S. Ekadjati, op.cit, h. 120
59

Topi anyaman khas dari Tangerang inilah, yang digunakan para petani
untuk melakukan perlawanan terhadap tuan tanah dan penguasa kolonial.57
Simbol topi ini juga menjadi identitas kelompok pribumi yang bermaksud
mengembalikan norma-norma tradisional yang telah berubah setelah
kedatangan orang-orang asing.58 Mimpi-mimpi para petani digerakan setelah
kemunculan tokoh karismatik, seorang petani yang juga berprofesi sebagai
dalang yang bernama Kaiin Bapa Kayah.
Selain menjadi identitas bagi perlawanan petani Tangerang, topi
anyaman juga menjadi ikon dalam logo Kabupaten Tengerang yang
melambangkan hasil kerajinan dan industri. Gambar topi anyaman juga
berpadu dengan Benteng dan Sungai Cisadane pada simbol daerah yang
berdiri sejak tanggal 27 Desember 1943.
Karena status Tangerang menjadi daerah partikelir, maka orang-orang
pribumi hanya menjadi petani penggarap sawah maupun ladang milik para
tuan tanah. Selain bekerja sebagai penggarap, para petani juga dibebani
membayar cuke (pajak) seperlima dari hasil panen, ditambah dengan sewa
tanah tempat mereka bermukim, pekarangan, dan tegalan, serta kerja wajib
(kompenian) untuk memilihara fasilitas umum. Jika para petani
mengindahkan kompenian tersebut, bisa diganti dengan membayar denda
dengan jumlah uang yang ditentukan, bila tidak membayar uang dan mangkir
dari pekerjaan wajib tersebut, maka mereka terkena sanksi pidana oleh
pengadilan.59
Para tuan tanah, kebanyakan berasal dari etnis Tionghoa, mereka dapat
mewariskan tanah partikelir secara turun temurun, pemilik tanah biasanya
disebut teko sedangkan tanahnya disebut “tanah teko”. Mereka
memanfaatkan tenaga kaum pribumi sebagai buruh di sawah dan perkebunan
miliknya, dahulu para petani penggarap itu disebut “bujang sawah”.60
Selain berprofesi sebagai tuan tanah, orang-orang Tionghoa ada juga
yang bekerja pada sektor yang lebih rendah, mereka ini umumnya berasal
dari kelompok Tionghoa golongan bawah. Mata pencaharian mereka yang
berasal dari strata rendahan tersebut, di antaranya sebagai pedagang dengan

57
Ilyas, “Trend Topi Boni dalam Sejarah Perlawanan Petani Tangerang”, Tangsel Pos,
Rabu, 10 Februari 2016.
58
Topi anyaman juga menjadi trend di masyarakat Tangerang kurun abad 18 dan 19.
Hal ini juga digambarkan dalam cerita-cerita tertulis pada zaman itu. Misalnya cerita yang
dikarang oleh H. Kommer tentang Tuan Tanah Perempuan Tionghoa, disebutkan Njonja Kong
Hong Nio ketika sedang mengawasi perkebunannya memakai tudung (topi) bambu lengkap
dengan atribut pistol dan senjata golok di pinggangnya. Lihat H. Kommer, Tjerita Njonja
Kong Hong Nio: Satoe Toean Tanah di Babakan Afdeeling Tangerang, Betawi, (Batavia:
1900), h. 6
59
Edi S. Ekadjati, Ibid, h. 116
60
Edi S. Ekadjati, Ibid, h. 116-117
60
membuka warung kecil, peternak babi, tukang reparasi perahu, dan petani
ladang yang menanam kacang-kacangan skala kecil.61 Leonard Blusse
menyebutkan pula tentang kemampuan orang-orang Tionghoa berdasarkan
pada dokumentasi sumber sejarah, “Dalam semua sumber bahan ini
disebutkan, bahwa orang Cina menguasai bidang-bidang penting kegiatan
ekonomi kota seperti perikanan, pengusahaan kayu, pekerjaan bangunan,
pertanian, perkebunan, pemasaran, kerajinan, dan perdagangan dalam negeri
(Sich: Nusantara) dan Cina.”62

Perekonomian Indonesia di zaman kolonial Belanda menurut


Furnivall sebagaimana dikutip oleh Thee Kian-Wie, terbagi dalam lima masa,
yakni:63
1. Zaman kekacauan dan ketidakmenentuan dari tahun 1800 sampai 1830.
2. Pemberlakuan Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel) yang diperkenalkan
oleh Gubernur Jenderal van den Bosch dari tahun 1830 hingga 1870.
3. Sistem Liberal yang diberlakukan untuk menggantikan Sistem Tanam
Paksa dari tahun 1870 sampai 1900.
4. Politik Etis sebagai pembaharuan dari kebijakan Liberal yang berlaku
1900-1930.
5. Zaman Malaise (kemunduran ekonomi di Eropa yang berpengaruh
terhadap kondisi Hindia-Belanda), di masa akhir dari penjajahan Belanda
yang terjadi dari tahun 1930 sampai 1940.

Dari lima masa tersebut, kebijakan ekonomi pemerintah kolonial tidak


berpihak kepada masyarakat pribumi yang kebanyakan berprofesi sebagai
petani. Kaum petani hanya dijadikan sapi perahan bagi kaum kapital
pemerintah kolonial beserta kroni-kroninya, yang hanya mementingkan
korporasinya. Petani yang notabene adalah penduduk pribumi tidak berdaya
di tanah airnya sendiri.
Regulasi untuk melindungi rakyat petani dari eksploitasi dan
kecurangan para tuan tanah, sebenarnya sudah dilakukan pada masa Daendels
dan Raffles. Kebijakan tentang larangan kepada tuan tanah untuk menerima
sepersepuluh dari hasil tanah dan memberikan pekerjaan yang memberatkan
petani sudah diberlakukan pemerintah kolonial, namun kebijakan ini hanya
angin yang berlalu. Hukum berlaku hanya sebatas kertas, karena lemahnya

61
Ibid, h. 117
62
Leonard Blusse, op.cit, h. 138
63
Thee Kian-Wie, “Perekonomian Indonesia di Zaman Kolonial”, dalam Anne Both,
et.al, Sejarah Ekonomi Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1988), h. 11
61
kontrol pemerintah, akhirnya banyak tuan tanah yang mencederai peraturan-
peraturan tersebut.64
Pelanggaran yang dilakukan tuan tanah, terkadang menjadi kerikil-
kerikil yang mengganggu hubungan dengan para petani. Rasa frustasi dan
kegelisahan membuat kerikil tersebut bisa membesar menjadi letupan-letupan
protes dan perlawanan petani terhadap eksploitasi dan kezhaliman yang
dilakukan para tuan tanah.
Protes kaum tani diluapkan dalam berbagai macam ekspresi yang bisa
dikategorikan dalam istilah oposisi, sebagaimana pendapat David Crumney
yang dikutip oleh Suhartono, protes kaum tani dilakukan dalam bentuk
tindakan kejahatan, perbanditan dan pemberontakan. Tindakan kejahatan
adalah bentuk protes primitif yang bersifat kriminal, kategori kedua adalah
protes dalam ekspresi perbanditan yang terbagi dalam dua jenis, yaitu:
perbanditan yang murni kriminal dan perbanditan sosial sebagaimana
dilakukan oleh tokoh legendaris Robin Hood. Selanjutnya protes dalam
bentuk pemberontakan, dimana rakyat petani diorgansir oleh tokoh
karismatik yang menyadarkan tentang hak-hak mereka yang sudah diganggu
oleh kaum kapital.65

E. Kebijakan Pemerintah Kolonial Belanda terhadap Masyarakat


Tangerang

Ketika kekuasan kompeni (VOC) mengalami kebangkrutan di


penghujung abad ke-18 (31 Desember 1799), maka tampuk pemerintahan
kolonial dialihtugaskan kepada Kerajaan Belanda, dengan memberikan
kekuasaannya kepada perwakilannya yang dipimpin oleh seorang Gubernur
Jenderal untuk menjalankan pemerintahan di Hindia Belanda. Adapun
Gubernur Jenderal pertama yang diutus oleh Kerajaan Belanda adalah H.W.
Daendels (1808-1811), yang berkedudukan di ibukota Hindia Belanda
(Batavia).66
Dalam pelaksanaan pemerintahannya di pulau Jawa, Daendels
membagi tiga wilayah administratif yang disebut prefecture (keresidenan),
yang masing-masing dikepalai oleh seorang prefect (pejabat residen), adapun
pembagian wilayah tersebut adalah:67
1. De stad Batavia, de Ommelanden en Jacatrasche Preanger-
Regentschappen, (yang berarti Kota Batavia, sekitarnya dan wilayah

64
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (ed.), op.cit, h. 401-402
65
Suhartono W. Pranoto, op.cit, h. 6-7
66
Edi S. Ekadjati, op.cit, h. 98
67
Edi S. Ekadjati, Ibid, h. 98-99
62
Jakarta-Priangan). Meliputi daerah; Tangerang, Karawang, Buitenzorg
(nama Bogor di masa kolonial), Cianjur, Bandung, Sumedang, Parakan-
Muncang, dengan jumlah penduduk 200 ribu orang.
2. Het Rijk van Chirebon en Cheribonsche Preanger-Regent-schappen,
(Kesultanan Cirebon dan daerah Cirebon-Priangan), wilayah meliputi:
Cirebon, Limbangan, Sukapura, dan Galuh, kesemua daerah ini memiliki
penduduk berjumlah 350 ribu orang.
3. De Noord-Oostkust en den Oosthoek (Pesisir Utara Pulau Jawa bagian
timur dan wilayah ujung Jawa Timur), yang memiliki penduduk lebih
banyak sejumlah 1,6 juta.

Pembagian wilayah administratif tersebut, tampaknya tidak berimbas


bagi wilayah Tangerang, karena hanya pucuk pimpinannya saja yang
mengalami restrukturisasi, kekhasan Tangerang yang termasuk dalam
Prefecture Batavia, adalah tidak adanya pejabat pribumi atau asing yang
ditunjuk oleh pemerintah kolonial menjadi perwakilannya di daerah,
sebaliknya justru yang menguasai dan memerintah di Tangerang adalah para
tuan tanah. Hal ini karena dampak dari penjualan dan penyewaan tanah yang
dilakukan Daendels kepada pihak swasta.68
Di masa pemerintahan Inggris terjadi perubahan nomenklatur
pemerintahan administratif, semula pemerintah Hindia-Belanda menyebut
perwakilannya di daerah dengan nama Prefecture, diubah oleh Raffles
menjadi Recidency (keresidenan) dan penyebutan pejabatnya secara otomatis
mengalami pergeseran dari Prefect ke istilah baru Resident (residen). Dan
menambahkan jabatan baru, untuk membantu tugas-tugas residen dibentuklah
asisten residen.69 Sampai pertengahan abad ke-19, struktur pemerintahan
bentukan Inggris di pulau Jawa masih dipertahankan oleh pemerintah
kolonial Belanda – dimana susunan Residensi Batavia terdiri atas empat
kwartieren, sebagai berikut:70
1. Noorder-kwartier, wilayah kota yang disebut Stad en Voorsteden terdiri
atas empat distrik.
2. Oost Kwartier kwartier, atau jatinegara yang meliputi 30 tanah partikelir
besar dan kecil.
3. Wester Kwartiern, atau Tangerang yang di dalamnya wilayahnya
terdapat 57 tanah partikelir.

68
Ibid, h. 99
69
Edi S. Ekadjati, Ibid, h. 99
70
Mona Lohanda, Sejarah Pembesar mengatur Batavia, (Jakarta: Masup Jakarta,
20017), Cet. Ke-1, h. 174
63
4. Zuider-Kwartier, atau Meester Cornelis yang memiliki 100 tanah
partikeler, terbagi atas tanah milik Eropa, Cina, sedangkan tanah yang
tidak begitu luas kebanyakan adalah milik warga pribumi.

Jabatan-jabatan tertinggi semuanya dipegang oleh orang asing


terutama bangsa Eropa dan Tionghoa, hal ini secara politis menandakan
bahwa pemerintah kolonial ingin mempertahankan status quo terhadap
penduduk pribumi. Sedangkan bangsa pribumi hanya didudukkan sebagai
pejabat kelas rendah, terutama yang berkaitan dengan hukum umum dan
agama. Posisi jabatan yang dipegang pribumi, yaitu: Jaksa Kepala
(Hoofddjaksa) dan wakilnya (Adjunct Hoofddjaksa), sedangkan dalam posisi
keagamaan ada jabatan sebagai Penghulu Besar (Hoofdpanghoeloe) dan
wakilnya (Adjunct Hoofdpanghoeloe). Di distrik Tangerang sebagai kepala
keamanan diangkatlah seorang kepala polisi (Hoofdschout) yang turut
mengawasi daerah sebelah barat daya Batavia (het wester-kwartier), yang
dijabat oleh J.F. Meijer. Semua jabatan ini diberlakukan pada tahun 1850.71
Bangsa asing yang memiliki penduduk yang terbesar seperti Arab dan
Tionghoa, oleh pemerintah kolonial dibuatkan jabatan khusus dalam
pengelolaan administrasi kependudukannya pada tahun 1850. Untuk
masyarakat Tionghoa di wilayah Batavia dan sekitarnya dipimpin oleh
seorang Tionghoa dengan jabatan yang disebut Mayor (Tan En Goan) yang
juga mempunyai anak buah 3 orang yang berpangkat kapten (Kon Cun Kiat,
Tan Kam Long, dan Lie Tiang Ko) dan 15 orang yang memiliki pangkat
Letnan. Sedangkan pengaturan penduduk bagi kelompok Arab dipimpin oleh
seorang Syaikh (seperti Said bin Salim Naum), serta bagi pendatang Bengali,
dan orang Islam lainnya ditunjuk sebagai kepala, berpangkat Kapiten
(misalnya Kapiten Bapa Saf).72
Pusat perwakilan pemerintah kolonial di Tangerang yang yang
berkedudukan sekaligus sebagai pemerintahan Jakarta Barat yang
membawahi kepala-kepala tiap distriknya yang dikenal dengan sebutan
Demang, sedangkan di kota atau stad en Voorsteden mereka disebut
komandan distrik (inlandsche kommandant), jabatan komandan yang
dikaitkan dengan kelompok etnis ini dihapus pada tahun 1829.73 Untuk
penanganan kasus hukum di wilayah, dibentuklah lembaga pengadilan yang
disebut Landraad.74
Sedangkan tata kelola pemerintahan di Karesidenan Batavia secara
administratif dibagi dalam tiga bagian, di antaranya sebagai berikut: Batavia

71
Edi S. Ekadjati, op.cit, h. 100-101
72
Ibid, h. 101
73
Mona Lohanda, op.cit, h. 177
74
Edi S. Ekadjati, op.cit, h. 101
64
Batavia Utara, Batavia Tenggara, dan Batavia Barat. Daerah yang meliputi di
tiga wilayah tersebut adalah: 75
1. Batavia Utara, yang meliputi daerah pusata kota Batavia (Betawi).
2. Batavia Tenggara, menguasai daerah Meester Cornelis (sebutan bagi kota
Jatinegara.
3. Batavia Barat, yang berpusat di Kota Tangerang.

Pusat kota Tangerang yang terletak di Batavia Barat, menegaskan


sekali lagi sebagai unsur perwakilan dari pemerintah pusat dan diberi jabatan
sebagai asisten residen. Tahun 1860-an nomenklatur afdeling, diperkenalkan
oleh pemerintah Hinda Belanda, sebagai satuan jabatan di bawah residen.
Dengan demikian Tangerang rangkap kedudukannya, sebagai ibukota distrik
dan ibukota afdeling. Susunan afdeling di Keresedinan Batavia, secara
lengkapnya sebagaimana di bawah ini:76
1. Afdeling Kota dan Sekitarnya, yang terdiri dari tujuh distrik dan 131 desa.
2. Afdeling Meester Cornelis (Jatinegera) yang memiliki empat distrik dan
693 desa.
3. Afdeling Tangerang, meliputi tiga distrik dan 540 desa.
4. Afdeling Buitenzorg (Bogor) yang terbagi dalam enam distrik dan 1.867
desa.

Secara lebih rincinya Afdeling Tangerang, ketiga distrik adalah


sebagai berikut; distrik Tangerang Timur memiliki 208 desa, distrik
Tangerang Selatan mempunyai 199 desa, dan distrik Tangerang Utara terdiri
atas 133 desa. Keseluruhan Afdeling Tangerang luasnya sebesar 23.510
geografi mil persegi atau setara dengan seperlima dari luas wilayah
karesidenan Batavia yang mencapai 117.900 geografi mil persegi.77
Dalam perkembangan berikutnya istilah arah mata angin yang
disematkan kepada daerah distrik dirubah sesuai dengan nama kampungnya,
yakni; Distrik Mauk yang semula Tangerang Utara dan Distrik Balaraja
untuk menggantikan Tangerang Barat. Di tahun 1878 ada penambahan
Distrik Curug, meskipun hanya berumur tiga tahun berjalan, karena di tahun
1881 Distrik Curug dilebur bergabung dengan Distrik Tangerang. Di akhir
tahun 1880-an pimpinan distrik yang jabatannya disebut Demang diubah oleh
pemerintah Hindia-Belanda menjadi Wedana. Tetapi daerah kekuasan
Wedana, penduduk lebih mengenalnya dengan istilah distrik tinimbang

75
Ibid, h. 103
76
Ibid, h. 102
77
Edi S. Ekadjati, Ibid, h. 102
65
Kewedanan.78 Distrik di Tangerang disebutkan dalam Encyclopedie van
Nederlandsch-West Indie berjumlah 365 desa atau kampung79
Perkembangan masih berlanjut, tahun 1880-an dan 1890-an terjadi perubahan
kembali. Semula Afdeling Tangerang membawahi tiga distrik (Tangerang,
Curug, dan Mauk), kemudian menjadi empat distrik (Tangerang, Balaraja,
Curug, dan Mauk). Pada tahun 1903, sistem administrasi terjadi pergeseran
arah, dari sentralisasi ke desentralisasi. Dan di tahun 1922, terjadi otonomi
daerah.

78
Ibid, h. 103-104
79
D.G. Stibbe, op.cit, h. 266
66
BAB IV
KONSEPSI MILLENARIAN DALAM PERGERAKAN
TANGERANG 1924

A. Kaiin Bapa Kayah: Dalang Wayang dan Pergerakan


Pemimpin pergerakan petani Tangerang tahun 1924, dalam catatan
dan laporan pemerintah kolonial, bernama Kaiin Bapa Kayah, nama
belakangnya mengacu pada nama orang tuanya Kayah, sedangkan kata Bapa
di tengahnya sama dengan istilah bin dalam budaya Arab yang artinya anak
dari, sehingga ketiga kata tersebut disatukan menjadi identitas namanya
yang khas.
Menurut Alwi Shahab, Kaiin diperkirakan lahir pada tahun 1884 di
Kampung Pangkalan, Teluknaga, Tangerang. Di masa kecilnya, Kaiin seperti
kebanyakan anak sebayanya, bersikap pendiam dan taat kepada kedua orang
tuanya, dan hal inilah yang menguatkan karakternya di kemudian hari.
Pertumbuhan di masa kanak-kanak diisi dengan belajar mengaji kepada guru
di kampungnya, dan di sela-sela itu Kaiin juga belajar main pukulan (silat).1
Dua keahlian dasar Kaiin kecil (mengaji dan main pukulan), sesuai
dengan prinsip-prinsip dari suku Betawi. Sebagaimana dikatakan oleh Edy
Sukardi di sebuah program acara Bens Radio yang dikutip oleh Abdul Chaer,
orang Betawi memiliki tiga prinsip dalam hidupnya, yaitu: bisa mengaji Al-
Qur‟an, bisa main pukulan atau beladiri, dan melaksanakan ibadah haji.2
Sebagaimana orang Islam kebanyakan, mengaji Al-Qur‟an sedari kecil sudah
diajarkan ditambah juga dengan pengenalan aqidah dan materi-materi agama
tingkat dasar, sedangkan prinsip beladiri digunakan hanya untuk keperluan
pertahanan diri dari serangan orang lain, dengan perkataan lain silat
digunakan untuk mempertahankan diri bukan menyerang atau menyakiti
orang lain.
Ketika Kaiin beranjak dewasa, ia mengalami kehidupan mandiri,
bertempat tinggal di sebuah rumah yang didirikan di atas tanah pekarangan
sewaan dari kakak kandungnya yang bernama Maiah. Secara reguler, saudara
perempuannya itu membayar sewa tanah kongsi kepada penguasa tanah.
Sedangkan Kaiin sendiri tidak pernah membayar uang kompenian secara
teratur, meskipun demikian, Kaiin beruntung tidak sampai diusir oleh tuan
tanahnya. Lie Kim Liong (penguasa tanah Maiah) dikenal sangat baik di

1
Alwi Shahab, “Pemberontakan Tangerang 1924”, Republika, Ahad 20 April
2008, h. A 11
2
Abdul Chaer, Folklor Betawi: Kebudayaan dan Kehiudpan Orang Betawi,
(Jakarta: Masup Jakarta, 2012), Cet. Ke-1, h. 6

67
68
Kampung Pangkalan, ia mendapatkan tanah berasal dari warisan ayahnya,
Tuan Lie memang bersikap “masa bodoh” terhadap uang sewaan dari Maiah
dan adiknya tersebut.3
Untuk mencukupi kehidupannya, Kaiin bekerja menjadi petani,
menggarap sawah milik tuan tanah. Sebagai penyawah atau bujang sawah, ia
mendapatkan upah harian, namun penghasilannya tersebut tidak dapat
memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya. Sebagai bujang sawah, ia juga
dibebani oleh kewajiban-kewajiban kepada tuan tanah untuk membagi hasil
pertanian, membayar pajak, dan kerja-kerja di luar profesi utamanya.
Keahlian Kaiin muda dalam main pukulan dan pribadinya yang alim,
membuat ia mudah mendapatkan pekerjaan selain menjadi petani, ia ditunjuk
oleh tuan tanah, pemilik perkebunan di Kampung Pangkalan, menjadi
Mandor Pengawas Perkebunan. Tetapi pekerjaan tersebut, membuat ia
gelisah dan tidak tenang, karena bertolak belakang dengan prinsip hidupnya
yang telah ia pelajari dalam pengajian dan keahlian beladirinya. Profesi
sebagai Mandor Pengawas Perkebunan, merupakan perpanjangan tangan para
Tuan Tanah, karena itu ia melihat dan mengalami langsung perlakuan
semena-mena dan pemerasan para tuan tanah terhadap kaum pribumi yang
menjadi petani penggarap maupun orang-orang yang tinggal di tanah
partikelir yang dikuasai oleh Penguasa Tanah asing tersebut.4
Selama tiga tahun Kaiin menjadi Mandor Pengawas Perkebunan, lama
kelamaan timbul rasa ibanya terhadap orang-orang yang tertindas para tuan
tanah, akhirnya ia mengundurkan diri dari pekerjaannya tersebut (terjadi di
saat pertengahan tahun 1912). Pada awal tahun 1913, ia beralih profesi
menjadi seorang opas (semacam polisi daerah) di kantor Asisten Wedana
Teluknaga, tetapi itu pun tidak berlangsung lama sekitar tiga sampai empat
bulan saja.5
Setelah itu, ia merantau ke berbagai daerah di wilayah timur dan
selatan dari kampungnya (provinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat saat ini),
sebagaimana dikatakan oleh Alwi Shahab, “Dia mengembara ke berbagai
tempat, seperti Batavia, Bekasi, Bogor, dan Karawang.”6

3
Didi Suryadi, Pemberontakan Petani di Tangerang, 1924, dalam kumpulan
artikel Seminar Sejarah Nasional III, Seksi Sejarah Perlawanan terhadap Belanda 2,
(Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai
Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumen Sejarah Nasional, 1982), h. 60
4
Alwi Shahab, loc.cit
5
Didi Suryadi, op.cit, h. 60. Bandingkan dengan Edi S. Ekadjati, et.al.,
Sejarah Kabupaten Tangerang, (Tangerang: Pemerintah Kabupaten Tangerang,
2004), h. 133
6
Alwi Shahab, Loc.cit
69
Di Batavia, ia sempat menjadi opas pada kantor komisaris polisi,
namun lagi-lagi hanya bertahan beberapa bulan saja.7 Profesinya ini kembali
membuatnya tergugah atas ketidakadilan yang dilakukan pemerintah kolonial
kepada para hamba wet (hamba hukum) dalam setiap penanganan kasus-
kasus yang terjadi selalu bersikap diskriminatif terhadap kaum pribumi.8
Setelah beberapa tahun berkelana ke berbagai daerah, akhirnya Kaiin
memutuskan pulang ke kampung halamannya di Pangkalan, Teluknaga.
Banyak ilmu dan informasi yang ia dapatkan selama perantauannya. Di saat
ia mengalami rasa penat, pada suatu malam, ia mencari hiburan dengan
mendatangi pertunjukan Wayang Kulit Betawi yang sedang mentas di
kampungnya. Sang Dalang yang membawakan lakon wayang tersebut sangat
menghayati dan penonton pun dibawanya larut ke dalam suasana yang ia
ceritakan. Keahlian Dalang dalam pementasan tersebut, menarik perhatian
Kaiin, seketika itu di dalam hatinya ia bertekad untuk menjadi seorang
Dalang Wayang Betawi.9
Hari-hari selanjutnya ia sibuk mencari dalang yang mau
mengajarinya, pada suatu hari ia menemukan guru mendalang yang ia
dambakan, ia belajar sambil menjadi asisten dalang kepada seorang Dalang
Wayang yang berbangsa Tionghoa, asal daerah Mauk. Setelah lama ia
menjadi asisten dalang, maka sang mentor menyatakan Kaiin lulus, dan
berhak menunjukkan penampilannya secara mandiri ketika bertepatan ia
sudah berusia setengah baya,10 Kaiin akhirnya dipercaya membawakan
lakonnya sendiri. Bahkan kemampuannya melebihi sang mentor, ia menjadi
dalang yang amat terkenal terutama di distrik Kebayoran (sekarang termasuk
ke dalam wilayah Ciledug, Pondok Aren, Karang Tengah, dan Cipondoh)
sebagai Dalang yang dikagumi banyak orang.11
Terdapat perbedaan pendapat tentang jenis wayang yang digeluti
Kaiin Bapa Kayah, B. Dahm dan Alwi Shahab berpendapat, bahwa wayang
kulitlah yang mengangkat Kaiin menjadi seorang Dalang profesional.12
Berbeda dengan keduanya, Didi Suryadi meyakini, bahwa dunia yang
digeluti oleh Kaiin adalah Dalang Wayang Golek.13 Dalam hal ini, penulis
mengambil jalan tengah, dengan menyepakati profesi Kaiin sebagai Dalang
Wayang, tanpa memperdebatkan media wayangnya.

7
Didi Suryadi, op.cit, h. 60
8
Alwi Shahab, loc.cit
9
Ibid
10
Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil, (Jakarta, Sinar Harapan, 1984) cet. Ke-1,
h.25
11
Didi Suryadi, op.cit, h. 61
12
Lihat B. Dahm, Sukarno and The Struggle for Indonesian Independence,
(Ithaca and London: Cornel University Press, 1969), h. 1-20 dan Alwi Shahab,
loc.cit
13
Didi Suryadi, op.cit, h. 61
70
Di tengah karirnya sebagai Dalang yang sedang menanjak, Kaiin
akhirnya melepaskan masa lajang pada tahun 1922, ia menikahi seorang
janda kaya nan cantik, peranakan Tionghoa, yang kemudian memeluk agama
Islam. Wanita beruntung yang diperistri Kaiin tersebut bernama Tan Ceng
Nio (Tan Tjeng Nio) atau dikenal juga dengan sebutan Nyonya Banten.14
Nyonya Tan tidaklah salah memilih suami, selain dikenal sebagai
Dalang, Kaiin juga dikenal sebagai seorang jagoan ahli beladiri, sehingga
kehadiran sang suami barunya tersebut dapat melindungi diri dan harta benda
yang dimilikinya. Sebaliknya kehidupan ekonomi dari bapak Dalang menjadi
stabil dan mapan, rumah serta perlengkapan wayang juga dibelikan oleh sang
istri,15 keadaan ini tidak lantas menyurutkan sifat aktivismenya untuk
membela kaum yang tertindas di bumi pertiwi.16
Kira-kira empat bulan hingga lima bulan dari pernikahan Kaiin Bapa
Kayah dengan Tan Ceng Nio, Ki Dalang mulai kelihatan berubah sikapnya,
menjadi hemat dalam berbicara dari sebelumnya; ia lebih menyibukkan
dirinya dengan kegiatan latihan wayang di rumahnya, tidak hanya itu, aksi
panggungnya juga dibatasi, pada tahun 1923, tercatat bapak Dalang hanya
melakukan tiga kali pementasan saja.17 Perubahan sikap ini menandai awal
perkembangan pemikirannya tentang suatu misi revolusi yang akan
digagasnya kemudian.

B. Ekspektasi Mesianik dalam Kepercayaan Masyarakat


Dalam kepercayaan masyarakat di pulau Jawa dikenal tradisi
pengharapan terhadap tokoh pembebas, mesiah, yang dikenal dengan nama
Ratu Adil. Sumber tertulis yang menyatakan peran revolusioner tokoh impian
ini, berasal dari Ramalan Jayabaya18, sebuah karya sastra yang muncul di
abad ke-12 dan berkembang luas secara lisan bahkan hingga saat ini.
Ramalan Jayabaya di Indonesia terutama di Jawa menjadi kebudayaan
yang sangat populer sejak sebelum zaman penjajahan Belanda. Kepercayaan

14
Edi S. Ekadjati, et.al., Sejarah Kabupaten Tangerang, (Tangerang: Pemerintah
Kabupaten Tangerang, 2004), h. 133
15
Didi Suryadi, op.cit, h. 61
16
Alwi Shahab, loc.cit
17
Didi Suryadi, op.cit, h. 61
18
Jayabaya derivasi dari dua kata, Jaya (Joyo) berarti menang dan Baya (Bojo atau
Hubojo) yang artinya janji, maksudnya adalah kemenangan yang dijanjikan. Ada juga yang
menafsirkan kata Bojo dengan bahaya, sehingga arti dari Jayabaya adalah dapat mengatasi
bahaya. lihat kata pengatar buku Tjantrik Mataram, Ichtiarkanlah Terlaksananya Peranan
Ramalan Djojobojo dalam Revolusi Kita, (Bandung: Masa Baru, 1948), cet. ke-3. Kota
Kediri mangabadikan Kata “Djojo Ing Bojo” yang merujuk pada kata di atas menjadi
semboyan daerahnya.
71
mesianik ini mencapai puncaknya, tatkala pemerintah kolonial mulai represif
terhadap masyarakat pribumi. Karena penindasan yang dilakukan penjajah
tersebut membuahkan kesengsaraan yang mengakibatkan mereka (orang
tertindas ini) mencari pelarian pada pengharapan datangnya juru selamat
(Ratu Adil).
Dalam tradisi Ramalan Jayabaya dijanjikan kedatangan seorang Ratu
Adil yang akan membebaskan rakyat Indonesia dari segala penindasan dan
kesengsaraan. Itulah sebabnya ramalan tersebut sangat populer, menjadi
perbincangan rakyat dari mulut ke mulut, kaum pergerakan, pemimpin
rakyat, senantiasa menggunakan ramalan Jayabaya untuk mendorong
semangat dan membangkitkan kepercayaan serta harapan.19
Konsep mesianisme Jawa dalam Ramalan Jayabaya merupakan
konsep campuran yang berasal dari tradisi lokal, Doktrin Islam (Mahdisme),
dan kebudayaan dalam kepercayaan Hindu-Budha.20 Konsep mesianisme
Islam yang ada di Nusantara berasal dari doktrin mahdisme. Adapun unsur
mahdisme tersebut berkembang melalui tulisan-tulisan atau hikayat-hikayat
berkisah tentang pahlawan Islam, yang juga masih kerabat dari Nabi
Muhammad, yaitu Muhammad Ali Hanafiyyah, seorang anak laki-laki
Sahabat Ali bin Abi Thalib melalui istri yang lain dari bani Hanafiyyah.
Hikayat Muhammad Ali Hanafiyyah ini, berkembang luas di
masyarakat secara lisan, karena tidak semua orang mengenal huruf, kisah ini
dibacakan oleh seorang pendongeng, penutur atau tokoh-tokoh yang
mengerti, layaknya seorang dalang yang menyampaikan cerita melalui media
wayang, bedanya penutur hikayat ini tidak menggunakan media dalam
mengantarkan ceritanya.

19
Bung Karno seringkali mensitir ramalan jayabaya pada setiap pidatonya yang
dibanjiri oleh jutaan rakyat, bahwa ramalan Jayabaya akan terwujud bila kita bertindak. Dari
podium dengan suaranya yang lantang Bung Karno mejelaskan bahwa yang dimaksud
dengan kedatangan Ratu Adil Herucokro bukanlah dalam bentuk fisik Ratu Adil melainkan
hanya kiasan belaka. Akan datang masanya pemerintahan yang adil, yang jauh dari
penindasan, penderitaan, kesengsaraan, tidak lain dan tidak bukan nanti kalau Indonesia ini
sudah merdeka lanjut Bung Karno. Dengan kemerdekaan itu bangsa Indonesia yang terjajah,
tertindas, terhina ini akan menjadi mulia dan menjadi tuan di negerinya sendiri. Mengenai
ramalan Jayabaya yang menjadi kekuatan agitasi kaum pergerakan lihat Tjantrik Mataram,
Ibid. Baca juga Andjar Any, Rahasia Ramalan Jayabaya, Ranggawarsita, dan Sabdapalon,
(Semarang: Penerbit Aneka Ilmu, 1989), h. 1-3. Paparan yang lebih lengkap tentang ramalan
Jayabaya lihat Jacob A.B Wiselius, “Djaja Baja, Zijn Leven en Profetieen”, Bijdragen tot de
Taal-, Land en Volkenkunde (BKI), No. 19, 1872, h. 172-217; Stuart Abraham B Cohen,
“Eroe Tjakra”, Bijdragen tot de Taal-, Land en Volkenkunde (BKI), No.19, 1872, h. 285-88.
20
Sartono Kartodirdjo, “Tjatatan tentang Segi-segi Messianistis dalam Sedjarah
Indonesia” dalam Lembaran Sedjarah, (Seksi Penelitian Djurusan Sedjarah Fakultas Sastra
dan Kebudajaan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta), Edisi Juni, No. 7, Tahun 1971, h. 6
72
Kisah heroisme Muhammad Ali Hanafiyyah yang berperang melawan
penguasa Yazid bin Muawiyyah, diabadikan dalam manuskrip-manuskrip
yang tersimpan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, yang masih
dapat dibaca hingga saat ini. Karya sastra ini, turut mempengaruhi pola
pemikiran masyarakat Indonesia kala itu yang mayoritas beragama Islam,
yang juga mengalami perlakuan yang tidak manusiawi dari pemerintah
kolonial dan sekutunya.
Pengaruh doktrin mahdisme, terutama datang dari aliran Syiah, dan
sedikit samar dalam tradisi Sunni. Meskipun mayoritas Islam yang
berkembang di Nusantara beraliran Sunni, tetapi warna kepercayaan tentang
Imam Mahdi Sang Juru Selamat, dapat tergambarkan dalam tradisi tulisan
tentang Hikayat Muhammad Ali Hanafiyyah dimana Sang Tokoh Utama,
Muhammad Ali Hanafiyyah, dianggap sebagai Mahdi yang berjuang untuk
menegakkan kehormatan keluarga Rasulullah dan melawan penindasan
penguasa yang lalim.
Sultan Aceh menyemangati pasukannya untuk bertempur melawan
Portugis yang telah menginvasi Malaka. Sebelum berangkat ke medan laga,
Sultan memerintahkan pembacaan Hikayat ini, guna melecut semangat juang
di jalan Allah. Selain melalui tradisi pembacaan dalam menghadapi
peperangan, cerita tentang Mahdi yang juga masih kerabat Nabi ini, juga
disampaikan sebagai sarana hiburan bagi masyarakat Melayu Nusantara kala
itu, sehingga keyakinan mahdisme ini terpatri dalam hati sanubari
masyarakat, yang juga sambil berharap kedatangannya untuk membebaskan
dari perilaku kolonial yang mengabaikan prinsip-prinsip keislaman.
Persebaran doktrin mahdisme juga sampai ke bumi Batavia,
setidaknya dari sembilan koleksi Hikayat Muhammad Ali Hanafiyyah yang
tersimpan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, ada satu yang
disalin di daerah Krukut pada tahun 1243 H atau diperkirakan pada tahun
1822 M. Informasi tentang ketokohan Muhammad Ali Hanafiyyah yang
dianggap sebagai figur Imam Mahdi yang dijanjikan datang untuk melawan
angkara murka, menambah semangat juang masyarakat pribumi. Mereka
meyakini figur-figur pilihan akan terlahir untuk memimpin pergerakan.
Kaiin Bapa Kayah, seorang dalang yang juga menguasai hikayat atau
cerita perjuangan dan dongeng tentunya memakai pengetahuan dasar
pergerakan melalui sumber-sumber tulisan dan lisan tersebut. Dalam satu
kesempatan, pengikut Ki Dalang juga meyakini bahwa tokoh panutannya itu
adalah Mahdi yang dijanjikan dalam tradisi Islam, dan juga Ratu Adil
menurut sumber lokal. Kesimpulan pengikutnya ini diambil dari tanda-tanda
yang melekat dari pribadi Sang Pemimpin, sehingga mereka menilai sudah
saatnya revolusi dilakukan di bawah komando calon Raja yang akan memberi
harapan hidup di masa depan yang lebih baik.
73

Kepercayaan-kepercayaan terhadap kedatangan juru selamat (Imam


Mahdi atau Ratu Adil) sudah berakar sejak lama, mitos ini dimanfaatkan
oleh tokoh-tokoh yang berseberangan dengan penguasa (oposan) untuk
melakukan agitasi, propaganda dan pemberontakan menentang segala
kemapanan, khususnya pada tingkat lokal.
Selain kepercayaan mesianik, identitas budaya kaum tani juga melekat
dengan agama, mereka cenderung akan mempertahankan rasa identitas
tersebut dalam hal-hal keagamaan apabila mengancam nilai-nilai, gagasan-
gagasan dan praktek-praktek yang mereka lakukan. Para pemimpin
karismatik keagamaan mengendalikan dengan baik simbol-simbol, lambang-
lambang, identitas dan harapan, untuk mempertahankan kesetiaan para
pengikutnya sekaligus juga menggerakkan mereka ke dalam perlawanan
untuk melakukan protes terhadap penguasa penindas dan lalim, bahkan
gerakan-gerakan mesianistik yang bersifat agama ini cenderung bersifat
radikal21, serta bertujuan untuk mengadakan perubahan secara mutlak dan
revolusioner.
Sifat agama dari gerakan-gerakan protes ratuadilisme ini dihasilkan
oleh kenyataan bahwa masyarakat tradisional bereaksi terhadap perubahan
sosial melalui jalan keagamaan, semata-mata karena perubahan itu
berdampak buruk bagi identitas kehidupan mereka. Akibatnya Gerakan
mesianistis selalu menunjukkan penolakan secara mutlak terhadap tata
masyarakat yang telah ada, terutama sekali menolak secara mutlak orang-
orang Eropa yang telah menguasai tanah airnya. Dalam hal ini, wibawa
tradisional (karismatik) para pemimpin keagamaan sering merupakan suatu
ancaman terpendam terhadap elite birokratik yang berkuasa.22
Cap tradisional yang diberikan dalam kewibawaan ini, karena
Pertama, daya tahan hubungan kewibawaan tradisional lebih dihitung dalam
dasa warsa ketimbang tahunan. Kedua, menyiratkan bahwa kepemimpinan

21
Sartono mengartikan „radikal‟ sebagai gerakan sosial yang menolak secara
menyeluruh tertib sosial yang sedang berlaku dan ditandai oleh kejengkelan moral yang kuat
untuk menentang dan bermusuhan dengan kaum yang mempunyai hak-hak istimewa dan yang
sedang berkuasa. Dapat dimengerti bahwa radiakalisme menjadi suatu bagian dari gerakan
Ratu Adil yang bersifat revolusioner. Sedangkan pengikut dari gerakan-gerakan sosial yang
radikal seperti itu terbatas pada strata sosial rendahan, kaum yang tertindas atau orang-orang
yang kurang mampu. Lihat Sartono Kartodirdjo, Agrarian Radicalism in Java: Its Setting and
Development,dalam Claire, Holt (ed), Culture & politics in Indonesia, (New
York: Ithaca, 1972), h. 73-4
22
Ibid, Lihat Sartono Kartodirdjo, Sartono Kartodirdjo, Agrarian Radicalism in Java:
Its Setting and Development,dalam Claire, Holt (ed), Culture & politics in Indonesia,
(New York: Ithaca, 1972), h. 307
74
agaknya lebih berpindah ke bahu mereka yang memiliki martabat warisan
(inherited status) ketimbang martabat hasil pencapaian (achieved status).23

C. Visi Millenarian dalam Pergerakan Kaiin Bapa Kayah


Visi millenarian seorang tokoh penggerak, messiah, atau kenabian
adalah menjanjikan keselamatan bagi para pengikutnya, yang diutarakan
melalui impian masa depan yang lebih sempurna, dipenuhi oleh keadilan,
kesejahteraan dan kecukupan sandang dan pangan. Cita-cita ini menjadi alat
propaganda yang meyakinkan masyarakat tradisional untuk mewujudkan
impian bersama melalui aksi tindakan protes dan perlawanan kepada
penguasa kolonial dan sekutu-sekutunya.
Millenarianisme atau kepercayaan akan kedatangan millenium dalam
kebudayaan Jawa umumnya dapat mendorong kemunculan tokoh-tokoh
“messiah”, sehingga kepercayaan itu merupakan wujud dari mesianisme.24
Figur messiah biasanya muncul dari dalam diri seorang kyai, ustadz, guru
ilmu kanuragan, dukun atau orang suci yang memiliki pesona karisma. Para
elite keagamaan ini dapat mengutarakan keinginan millenial mereka kepada
pengikut-pengikutnya, apalagi kalau mereka itu merupakan pewaris dari
tradisi-tradisi lisan atau tertulis (millenarian).25
Ideologi millenium terkandung unsur-unsur keakhiratan, yang
merupakan faktor pendorong gerakan millenarian. Peralihan dari situasi
sebelumnya ke millenium, dibayangkan secara radikal dan revolusioner.
Orang-orang yang percaya dan mengharapkan dapat keselamatan, dianjurkan

23
Karl. D. Jackson, Kewibawaan Tradisional, Islam dan Pemberontakan Studi
Kasus Darul Islam Jawa Barat, Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, Cet I, 1990, h. 203
24
Sartono Kartodirdjo, “Messianisme dan Futurisme”, Op.cit, h. 40. Lihat juga
Sartono Kartodirdjo, Tjatatan tentang Segi-segi Messianistis dalam Sedjarah Indonesia
dalam Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia Suatu Alternatif, (Jakarta: PT
Gramedia, 1982), h. 220-1
25
Gerakan mesianisme yang dilakukan para elite keagamaan ini, menurut Sartono
Kartodirdjo bisa juga disebut sebagai gerakan keagamaan. Di mana Unsur pokok dari
gerakan keagamaan itu, pertama adanya elite keagamaan yang merupakan seorang prophet,
guru, dukun, tukang sihir, atau utusan Mesias. Pemimpin-pemimpin ini mengaku diilhami
oleh wahyu. Kedua penolakannya terhadap situasi yang ada dan harapan akan datangnya
millenium. Disamping hidupnya nilai-nilai tradisional, millenium biasanya mengidamkan
suatu masyarakat yang ideal dan meromantiskan zaman yang akan datang sebagai zaman
keemasan. Lihat Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil, Op.cit, h. 11
75
untuk mematuhi petunjuk-petunjuk atau petuah-petuah dari pemimpin
revolusi untuk melakukan pergerakan.26
Dalam banyak hal, tokoh-tokoh kenabian (mesianik) menjadi begitu
penting untuk memimpin perlawanan kultural terhadap penguasa penindas,
karena para pemimpin tersebut adalah pusat protes dimana misi fundamental
nabi-revolusioner adalah untuk menghancurkan komunitas para penindas
(Qura Zalima), ketidakadilan, ketidaksetaraan dan tirani penguasa. Adapun
denifisi Nabi yang dimaksud di sini menurut Michael Adas adalah:

“... Seorang yang percaya dan mampu meyakinkan orang lain bahwa ia
mempunyai kontak khusus dengan kekuatan supernatural melalui mimpi-
mimpi, ramalan dan wahyu-wahyu khusus. Para pengikut nabi itu
diyakinkan bahwa ia memiliki kekuatan yang melebihi manusia biasa, yang
sering ditunjukkan dalam kemampuan meramal atau menyembuhkan.” 27

Teori wahyu dan revolusinya Ziaul Haque, menegaskan peryataan di


atas, bahwa sebelum ide-ide millenarian ini disampaikan dan dibentuk
menjadi ideologi yang mampu menggerakan suatu gerakan, terlebih dahulu
pemimpin pergerakan mendapatkan wahyu untuk melakukan aksinya,
sehingga mereka akan mendapatkan legitimasi yang kuat.28
Adapun menurut doktrin agama, rasion d’etre (alasan atau justifikasi
atas adanya) wahyu dan misi revolusioner bertujuan; pertama untuk
menyatakan kebenaran, kedua untuk berperang melawan kepalsuan (batil)
dan penindasan (zulm) dan ketiga untuk membangun komunitas yang
humanis, egaliter, kebaikan, dan keadilan.29
Pada gerakan Kaiin Bapak Kayah, sang pemimpin mempertebal
keyakinan para pengikutnya dengan legitimasi silsilah keturunan dari Prabu
Siliwangi, Sang Legenda Raja dari tanah Pasundan dan juga sebagai utusan
Nabi untuk membangkitkan kejayaan kerajaan nenek moyangnya. Ernst
Zboray dalam tulisannya berjudul Kaiin Bapa Kaiah Would be Sultan, pernah
mengungkapkan proklamasi tokoh pergerakan tersebut sebagaimana disebut
di bawah ini:

“A native of unusual height, armed with a keen-edged native sword,


presented himself and made a confused speech, in which he declared he
was a direct descendant of King Prahu Seli Wanai (sic: Prabu Siliwangi),
and a messenger of the Prophet, ordered by Heaven to found a new

26
Ibid, h. 16
27
Michael Adas, Prophet of Rebellion Millenarian Protest Movements against the
European Colonial Order, The University of North Carolina Press, 1979, (terj), Ratu Adil :
Tokoh dan Gerakan Millenarian Menentang Kolonialisme Eropa, (Jakarta: Rajawali Press,
1988), h. xvi
28
Ziaul Haque, Wahyu dan Revolusi (terj), Yogyakarta, LKiS, 2000, h. 9-32
29
Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil, Op.cit, h. 33
76
kingdom. He intended to set up his capital at Bege Gedeh, near Buitenzorg
where the spirits of his fathers lived. He intended to set up He proposed to
march thither with his followers in order to found. His Kingdom under their
guardianship” .
30

Artinya: Seorang Pribumi yang memiliki tinggi tubuh di atas rata-rata,


mempersenjatai diri dengan sebilah golok, yang berkata meragukan saat dia
menyatakan diri sebagai keturunan langsung dari Prabu Siliwangi, seorang
Utusan Nabi dari Surga untuk menemukan Kerajaan baru. Dia berhasrat
mengawali hidup di Bege Gedeh (?), dekat Buitenzorg (Bogor) tempat
dimana ayahnya hidup. Dia terus merapatkan barisan dengan pengikutnya
untuk menemukan sebuah kerajaan di bawah kekuasaannya.

Sartono Kartodirjo menegaskan kembali pernyataan Kaiin dalam


sebuah aksi pentasnya pada sebuah walimah pernikahan keluarga Marin di
Parung Kored (sekarang masuk wilayah Kecamatan Karang Tengah, Kota
Tangerang), ia menampilkan lakon tokoh keturunan Prabu Siliwangi,
bernama Panggiring Sari dan Suklawijaya. Di tengah-tengah pertunjukkan,
Kaiin merasa tidak enak badan dan menjelaskan kepada para penonton bahwa
kisah Suklawijaya adalah perjalanan hidup dirinya yang nyata, sekaligus
memberitahukan kepada khalayak, ia sebenarnya adalah anak dari Prabu
Siliwangi dan akan dinobatkan menggantikan ayahnya menjadi raja dengan
gelar “Ratu Rabbul ‟Aalamiin” dan “Sang Hyang Tunggal”. Kaiin
menandaskan pula bahwa ia telah mendapatkan wahyu setelah melakukan
pengasingan diri selama tujuh belas tahun untuk mendirikan kerajaan dan
mengajak kepada para hadirin dalam pertunjukan wayangnya untuk bersama-
sama mengikuti pawai kemenangan menuju Gunung Salak, Bogor.31
Pernyataan Kaiin tersebut, diperlukan untuk mengkonstruksi dirinya
sebagai tokoh yang memiliki wibawa dalam struktur sosial masyarakat
tradisional. Wibawa yang bersifat tradisional inilah yang mengakibatkan
ketundukan petani dan rakyat pada umumnya untuk mentaati perintah
kawulanya, kepemimpinan model ini juga bersifat keagamaan, sehingga
pemimpin tradisional dikenal pula sebagai tokoh panutan agama. Tokoh
kewibawaan tradisional tak perlu mengancam, menawarkan imbalan benda
atau yang bersifat lambang. Sekali kewibawaan tradisional ada, satu-satunya

30
Ernst Zboray, “Kaiin Bapa Kaiah Would be Sultan” dalam Majalah The Living Age,
(Boston, USA, Saturday, 17 Mei 1924), h. 953
31
Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil, op.cit, h. 25. Bandingkan dengan Marwati Djoened
Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (ed.), Sejarah Nasional Indonesia IV, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2008), Edisi Pemutakhiran, h. 420-421
77

reaksi para klien terhadap perintah tokoh yang memiliki kewibawaan ini
adalah mengabulkannya.32
Visi millenarian dari tokoh dan pengikut pergerakan adalah sarana
pemersatu mereka untuk mewujudkan cita-cita bersama dengan jalan
melakukan perlawanan yang juga dikuatkan melalui sarana dan pemikiran
yang berkembang kala itu. Saluran pergerakan dengan jalan tradisionalistik,
dalam sudut pandang penjajah dilihatnya sebagai perbuatan melawan hukum,
kriminal, perbanditan, pemberontakan, sedangkan tokoh-tokoh pergerakan
dianggapnya sebagai figur yang memelihara sikap-sikap irrasional, dukun,
penyembuh penyakit, yang diliputi oleh dunia takhayul. Prasangka buruk
pemerintah kolonial terhadap pergerakan dan tokohnya ini sangat menghina
dan mendeskreditkan kaum pribumi yang memiliki sudut pandang keilmuan
yang berbeda.33 Dalam perspektif yang lain, ketika masa penjajahan usai,
justru tokoh-tokoh pergerakan yang melawan penjajah kolonial adalah
pahlawan bagi bangsa ini.
Tokoh-tokoh pergerakan memiliki visi millenarian yang memiliki
daya tarik dan penguat kepemimpinannya, mereka menerima misi dan pesan
dari agen-agen supernatural. Kaiin Bapa Kayah menjelang proklamasinya,
selalu berziarah ke makam-makam keramat dan berguru kepada tokoh-tokoh
spiritual, hingga pada akhirnya ia mendapatkan wahyunya untuk memulai
revolusi dari petunjuk-petunjuk yang ia dapatkan. Legitimasi wahyu ini,
seakan menjadi penegas bagi para pengikut pergerakan terhadap
kepemimpinan Kaiin, sebagai orang suci yang menjadi mediator petunjuk
cahaya ketuhanan yang memerintahkan berjihad melawan kebatilan.
Selain wahyu sebagai visi millenial, Ki Dalang Kaiin, juga
meyakinkan kepada loyalisnya bakal terjadi zaman baru, seluruh tanah-tanah
kembali kepada kaum pribumi, orang-orang asing akan diusir karena sudah
melampaui batas kontrak, pajak dan kerja-kerja paksa akan dihilangkan.
Keyakinan atau ramalan-ramalan ini adalah upaya Kaiin sebagai alat
pengungkapan kebencian terhadap penguasa kolonial dan para tuan tanah
beserta kroni-kroninya yang telah menyingkirkan kehidupan tradisional
mereka.
Wahyu dan ramalan di atas, semakin diperkuat dengan visi millenial
berikutnya, yakni legitimasi bahwa seorang Kaiin Bapa Kayah adalah

32
Kewibawaan tradisional menurut defenisi Karl. D. Jackson adalah penggunaan
kekuasaan personalitas yang dihimpun melalui peranan masa lampau dan masa kini dari yang
mempengaruhi sebagai penyedia, pelindung, pendidik, sumber nilai-nilai dan status
unggul dari mereka yang punya hubungan ketergantungan yang mapan dengannya. Lihat
Karl. D. Jackson, Kewibawaan Tradisional, Islam dan Pemberontakan Studi Kasus Darul
Islam Jawa Barat, Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, Cet I, 1990, h. 201
33
Michael Adas, op.cit, h. xxv
78
keturunan raja, dan bakal menjadi penguasa menggantikan nenek
moyangnya. Penobatan dirinya sebagai Sultan (raja) dengan sederet gelarnya,
seperti: “Ratu Rabbul ‟Aalamiin”, dan “Sang Hyang Tunggal”, menegaskan
bahwa ia bukanlah orang sembarangan, tetapi orang suci yang dipercaya
Tuhan sebagai wakilnya di dunia ini. Pernyataan ini sesuai dengan pendapat
Michael Adas berikut ini:

“Sultan atau Sunan dianggap sebagai penghubung tunggal antara


manusia dan alam, dan sebagai suatu yang sangat penting dalam memelihara
keharmonisan antara alam surga dan alam teresterial. Ia bertanggung jawab
atas kesuburan kerajaannya, kemakmuran rakyatnya, dan keteraturan serta
34
ketenteraman yang sangat dinilai tinggi oleh orang Jawa.

Di bawah kepemimpinan Kaiin Bapa Kayah, protes sosial yang


dilakukannya dianggap sebagai perang sabil (misi suci), yang ingin
membangun kembali pemerintahan yang diperkuat oleh nilai-nilai keislaman.
Hal ini bukan tanpa alasan, kehadiran pemerintah kolonial yang disokong
oleh birokrat dan sekutunya, telah melululantahkan nilai-nilai keberagamaan
mereka. Perang suci ini, bukan hanya untuk melindungi agama Islam itu
sendiri, melainkan juga menjaga kelestarian nilai-nilai keislaman yang telah
melekat dalam budaya masyarakat Tangerang.
Setiap tokoh millenarian (mesianik), memiliki peran dalam dunia
nonfisik, pembimbing spiritual, dan terkadang penyembuh segala penyakit.
Reputasi ini dipercaya oleh pengikutnya sebagai kekuatan yang melekat
pada figur pemimpin yang akan membebaskan mereka dari krisis identitas,
kebudayaan, dan kehidupan. Keahlian ini pula, yang membuat Kaiin Bapa
Kayah diliputi oleh dunia magis-religius, terutama ketika sebelum memulai
pergerakan, ia memerintahkan pengikutnya menyimpan uang koin di dalam
wadah bekas memandikan wayang dengan air suci yang sudah dibacakan
zikir-zikir dan dicampur dengan bunga-bunga – setelah diinapkan selama
waktu tertentu, koin tersebut diambil kembali untuk dijadikan jimat-jimat
sebagai perisai diri dalam aksi pergerakan.
Visi millenial yang khas dari Kaiin Bapa Kayah adalah identifikasi
dirinya dengan tokoh pewayangan, “Prabu Arjuna”. Profesinya sebagai
seorang dalang, sangat akrab sekali dengan cerita-cerita pewayangan,
terutama peperangan yang dilakukan oleh Pandawa Lima, yang
menginspirasi dirinya untuk melakukan perlawanan terhadap penguasa lalim
dan antek-anteknya.

34
Michael Adas, op.cit, h. 95
79
Tokoh Pandawa adalah anak-anak Pandu Dewanata, dari istrinya
Kunti Nilabrata yang melahirkan; Yudisthira, Bima (Sena), dan Arjuna. Dan
dari istri yang lain (Madri), mendapatkan si kembar Nakula dan Sadewa, 35
karena itu pula dalam cerita pewayangan yang ditulis oleh Muhammad Bakir
bin Syafi‟an bin Utsman bin Fadhli36 pada tahun 1890, Madri diberi nama
Dewi Gandawati.37 Kelima kakak-beradik ini merupakan tokoh protagonis,
yang berperang melawan keluarga Kurawa, yaitu putera Dretarastra, saudara
dari Pandu (ayah Pandawa Lima).
Di antara anak-anak Pandu tersebut, Arjuna dikenal sebagai ahli
strategi peperangan, dan ini dibuktikan dengan kemenangan melawan
Kurawa di Kurukshetra. Keunggulan perang ini tidaklah mengherankan,
karena Arjuna merupakan titisan dari Dewa Indra, Sang Dewa perang. Nama
Arjuna sendiri berarti yang bersinar, yang bercahaya, selain gagah perkasa,
ia juga dianugerahi dengan perawakan yang tampan. Karena itu, Ki Dalang
Kaiin Bapa Kayah memproklamirkan dirinya sebagai Prabu Arjuna yang
akan memimpin kerajaan baru dan mengalahkan pemerintah kolonial dan
sekutunya di Tangerang.
Perjuangan masyarakat petani Tangerang untuk mengakhiri
kesewenangan Tuan Tanah yang disokong oleh pemerintah kolonial, meletup
menjadi keberanian yang sungguh-sungguh demi masa depan yang cerah,
mendapatkan bentuk aksinya ketika muncul tokoh mesianik di bawah panji-
panji millenial Sang Pelopor, Kaiin Bapa Kayah, seorang Petani, Dalang, dan
Pemimpin Suci yang telah mendapatkan wahyu untuk mengembalikan
keadaan semula – semua tanah milik nenek moyang, kepemilikan Tuan
Tanah hanyalah bersifat sementara, karena itu seorang pribumi berhak

35
https://id.wikipedia.org/wiki/Pandawa, diakses pada 11 Desember 2015, pukul
10:27 wib
36
Muhammad Bakir dikenal sebagai Sastrawan dari Betawi, bersama pamannya,
Sapirin alias Guru Cit serta saudaranya Ahmad Insab, Ahmad Mujarrab, dan Ahmad
Beramka adalah keluarga Fadhli yang memiliki taman bacaan dan juga berprofesi sebagai
penulis dan penyewa buku, hal ini tergambar dalam setiap karangannya yang selalu
mengingatkan uang sewa kepada pembaca. Muhammad Bakir aktif menyalin dan mengarang
sejak tahun 1884 sampai tahun 1906. Ini artinya hidup sezaman dengan Kaiin Bapa Kayah,
meski yang terakhir lahir lebih belakangan. Lihat Nur-Karim, et.al, Kumpulan Cerita Wayang
Versi Pecenongan: Suntingan Teks, (Jakarta: Perpustakaan Nasional, 2012), h. 7
37
Pada cerita Wayang Pandu, dikisahkan Raja Gandaradesa bertekuklutut kepada
Pandu dan Abiyasa (ayahnya), seluruh rombongan diperkenankan memasuki istana dan
diberi penghormatan untuk duduk di singgasana. Sebelum penyerahan diri tersebut,
Gandaradesa membuat perjanjian untuk menyerahkan anak perempuannya, Puteri Gandawati
untuk diperisteri oleh Pandu. Mendengar penyerahandiri Raja Gandaradesa, Arasoma pun
akhirnya menghaturkan sujud sembah kepada Pandu, seraya mempersembahkan saudara
perempuannya, Dewi Rukmani untuk dinikahi oleh Pandu Dewanata. Lihat Muhammad
Bakir bin Syafi‟an bin Utsman bin Fadhli, Wayang Pandu, (Jakarta: Perpustakaan Nasional
Republik Indonesia, 2014), Nomor Panggil: ML 241, h. 278-279
80
menuntut pengembalian tanah tersebut. Semua visi millenial yang tersebut di
atas, diramu oleh Sang Pemimpin perlawanan, guna meyakinkan para pihak
untuk berada di barisan revolusinya.
Keenam visi millenial yang tersebut di atas; wahyu, ramalan,
legitimasi kepemimpinan, perang sabil, kekuatan magis sang pemimpin, dan
identifikasi tokoh pewayangan Arjuna – memberikan keyakinan dan harapan
kepada masyarakat Tangerang yang terdeprivasi (terampas) peran, ekonomi,
dan kehidupan sosial mereka, dimana upaya-upaya perbaikan lainnya
kelihatan sudah tertutup, sebagai referensi kebangkitan kembali untuk
merebut semua warisan nenek moyang yang telah dikuasai oleh para
penguasa asing tersebut.

D. Unsur Islam dalam Pergerakan Kaiin Bapa Kayah


Islam adalah agama mayoritas yang dianut oleh masyarakat
Tangerang, sejarah panjang masuknya Islam dimulai ketika para pendatang,
terutama dari Timur Tengah menjalin kontak dengan bumi Nusantara. Ketika
Tangerang masuk ke dalam wilayah Kesultanan Banten, maka kebijakan
politiknya makin mempertebal keyakinan orang-orang Tangerang tentang
keislaman dan memperbanyak penganutnya. Kebijakan transmigrasi oleh
kesultanan ke wilayah Tangerang, memunculkan ribuan orang yang menetap
dan akhirnya mengelola perkebunan – dengan sendirinya menambah
banyaknya penganut Islam di pedalaman Tangerang.
Pengaruh ajaran Islam dalam kepercayaan masyarakat, semakin
menguatkan tradisi dan budaya hingga melekat dalam kehidupan mereka.
Hal ini pula yang menjadi pendekatan Kaiin Bapa Kayah untuk melakukan
pergerakan melawan penindasan dan ketidakadilan yang dilakukan para tuan
tanah dan pemerintah kolonial Belanda terhadap kehidupan alami masyarakat
Tangerang, yang sudah tergoyahkan dan tercemari oleh budaya asing.
Di bawah pimpinan Kaiin Bapa Kayah, yang profesi terakhirnya
adalah sebagai seorang Dalang Wayang, pergerakan Tangerang 1924 ini juga
sangat lekat dengan unsur keislaman. Di bawah ini akan dijabarkan beberapa
pengaruh keislaman dan analisis singkat dalam pergerakannya.

1. Perihal penobatan gelar Ratu Rabbul ‘Aalamiin; memiliki makna


filosofis sebagai perwakilan dari Tuhan di jagat semesta yang menjadi
penguasa, pendidik, dan pemelihara. Kata Rabbul ‘Aalamiin, merujuk
kepada Al-Qur‟an
81
a. Surat Al-Fatihah ayat 2;

 
 
     
  
 
 
 
  
Artinya: “Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.”
b. Surat Al-An‟am ayat 45;

 
      
  
 
 
       
 
 
 
          
    
 
 
Artinya: “Maka orang-orang yang zalim itu dimusnahkan sampai ke akar-akarnya.
segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.”

c. Surat Al-Shaaffaat ayat 182;

 
 
     
  
 
 
    
Artinya: “Dan segala puji bagi Allah Tuhan seru sekalian alam.”
d. Surat Ghaafir atau Al-Mu‟min ayat 65;

           

 
 
     
  
 
 
   
Artinya: “Dialah yang hidup kekal, tiada Tuhan (yang berhak disembah)
melainkan Dia; Maka sembahlah dia dengan memurnikan ibadat
kepada-Nya. segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.”

Menurut M. Quraish Shihab kata Rabb, satu akar kata dari


Tarbiyah, muncul pula istilah Rubuubiyah (kepemilikan atau
pemeliharaan), tercakup di dalamnya pemberian rezeki, pengampunan
dan kasih sayang; juga amarah, ancaman, siksaan dan sebagainya. Kata
‘Aalamiin adalah bentuk jamak dari ‘Aalam yang berarti ilmu atau
tanda, bermakna menjadi sarana atau alat untuk mengetahui wujud sang
Pencipta, dari kata ini berkembang menjadi alam raya atau segala
sesuatu selain Allah. Sedangkan menurut ahli tafsir kata ini berarti
kumpulan sejenis makhluk Allah yang hidup, baik hidup sempurna
maupun terbatas. Ada alam malaikat, manusia, binatang, tumbuh-
82
tumbuhan.38 Hal ini mempertegas, bahwa Kaiin Bapa Kayah adalah
pemimpin atau khalifah Allah yang menguasai semua alam, lahir dan
batin.
2. Konsep eskatologis atau masa pengakhiran dunia; dalam rukun iman,
yang merupakan doktrin utama ajaran Islam, seorang muslim wajib
mempercayai akan terjadi masa pengakhiran (kiamat). Dalam agitasinya,
Kaiin Bapa kayah, selalu mengajak kepada masyarakat untuk bergabung
menjadi pengikut pergerakan, karena masa pengakhiran zaman akan
segera terjadi, apabila masyarakat ingin mencari keselamatan, dianjurkan
untuk bertaubat dan mengikuti ritual-ritual yang dipimpin oleh Ki
Dalang.
Doktrin mahdisme yang berkembang di Nusantara, khususnya di
kota Batavia, tersiar kabar akan kedatangan tokoh penyelamat, bernama
Imam Mahdi sebelum terjadinya kiamat dunia. Imam Mahdi bertugas
menyelamatkan umat Islam dari kezhaliman dan kerusakan duniawi
untuk mempersiapkan diri menghadapi masa depan yang lebih
sempurna dan terlebih lagi penyelamatan manusia ketika masa
penghacuran dunia (kiamat) tiba.
Doktrin mahdisme digunakan sebagai alat propaganda tokoh-tokoh
pergerakan, terutama unsur eskatologisnya, yakni suatu masa yang akan
datang, dimana semua makhluk Allah di dunia ini akan dibinasakan.
Karena itu, bagi umat Islam yang ingin diselamatkan dan mencapai
kedamaian di masa pelepasan ruhnya dari alam dunia ini, maka
diwajibkan untuk mengikuti ritual-ritual khusus yang dilakukan oleh
pemimpin-pemimpin pilihan yang akan membimbing mereka dari
kesulitan ini.
Propaganda ini pula yang dilakukan oleh Kaiin Bapa Kayah, guna
mempengaruhi masyarakat petani, agar bergabung bersama dirinya untuk
melawan para tuan tanah dan pemerintah kolonial, terutama juga dalam
rangka persiapan menghadapi masa akhir zaman yang akan
melululantahkan segenap alam raya ini.
3. Memanjatkan doa kepada Sang Khaliq; berdoa sesungguhnya adalah
anjuran Allah kepada umat Islam, agar dalam kehidupan dipenuhi
keberkahan dan selalu berada dalam pertolongan-Nya. Adapun kata doa,
berasal dari kata ista’aana, yang artinya memohon pertolongan Allah.
Hal ini sesuai dengan perintah Allah dalam ayat berikut ini:

38
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an,
(Jakarta: Lentera Hati, 2009), cet. Ke-2, Volume I, h. 36-39
83

 
  
     
 
     
              
       
  
Artinya: “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. dan sesungguhnya yang
demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu'. (Q.S.
Al-Baqarah: 45)

Selain kata ista’aana, ada juga makna lainnya, yang diambil dari
kata istighatsah.

  
      
 
    
 
  
 
  
   
 
   
    
   

   


Artinya: “(Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu
diperkenankan-Nya bagimu: "Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala
bantuan kepada kamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut".
(Q.S. Al-Anfaal: 9)

     


      

  
  
  
  
   
    
  
    
  
 
      
  
  

        


Artinya: “Dan orang yang Berkata kepada dua orang ibu bapaknya: "Cis bagi kamu
keduanya, apakah kamu keduanya memperingatkan kepadaku bahwa Aku
akan dibangkitkan, padahal sungguh Telah berlalu beberapa umat
sebelumku? lalu kedua ibu bapaknya itu memohon pertolongan kepada Allah
seraya mengatakan: "Celaka kamu, berimanlah! Sesungguhnya janji Allah
adalah benar". lalu dia berkata: "Ini tidak lain hanyalah dongengan orang-
orang dahulu belaka". (Q.S. Al-Ahqaaf: 17)

Kata doa dari semua ayat di atas, adalah bukti janji Tuhan kepada
makhluknya agar senantiasa melindungi umat-Nya, sepanjang ia
meminta pertolongan kepada Allah. Hal ini tergambarkan dalam firman
Allah dalam Surat Al-Anfaal ayat 9 di atas, Mengutip M. Quraish
Shihab, sebab diturunkan ayat tersebut mengacu kepada peristiwa Perang
Badr:
84
“Imam Muslim meriwayatkan melalui sahabat Nabi saw., Umar
Ibnu al-Khaththab ra, bahwa pada hari Perang Badr, Rasul saw, melihat
kepada kaum musyrikin yang berjumlah seribu orang sambil melihat
sahabat-sahabat beliau – pasukan Islam – yang hanya sekitar tiga ratus dan
belasan orang. Maka, Nabi saw, menghadap ke Kiblat sambil mengangkat
kedua tangan beliau dan berdoa: „Ya Allah, penuhilah apa yang Engkau
janjikan padaku, penuhilah apa yang Engkau janjikan padaku, Ya Allah,
jika Engkau membinasakan kelompok umat Islam ini, Engkau tidak
disembah lagi di bumi,‟ beliau berdoa sambil mengulurkan tangannya
sehingga serbannya terjatuh dari bahunya. Abu Bakar ra, mendatangi
beliau dan mengambil serban tersebut kemudian meletakkan di bahu beliau
lalu berdiri di hadapannya dan berkata: „Cukuplah permohonanmu kepada
Tuhanmu karena sesungguhnya Dia akan memenuhi janji-Nya untukmu.‟
Maka, turunlah ayat ingatlah ketika kamu bermohon dan seterusnya dan
Allah pun mendukungnya dengan para malaikat.”
39

Kekuatan doa ini pula yang digunakan oleh Kaiin Bapa Kayah
untuk melakukan pergerakan, sebelum mencetuskan aksinya, Kaiin
memerintahkan pengikutnya untuk melakukan ritual doa di rumahnya,
agar pergerakan yang dilakukan mendapat pertolongan dan berkah Allah
swt.
4. Tabaruk dengan berziarah kubur kepada para pendahulu; sebagaimana
diketahui, sebelum mencetuskan aksi menuntut keadilan para tuan tanah
dan aparat kolonial, sang pemimpin pergerakan, Kaiin Bapa Kayah
selalu berziarah (mengunjungi) makam-makam keramat. Makam yang
sering diziarahi, yakni: makam Pangerang Blongsong dan Nyi Mas
Kuning di Mangga Dua (Batavia), serta makam Raden Bagong di Parung
Kored, Karang Tengah (Kota Tangerang).
Ketiga makam ini dianggap memiliki karomah (kemuliaan), karena
sebagai orang yang di masa hidupnya berjasa bagi masyarakat dan
terkenal memiliki ilmu hikmah (kebijaksanaan) dan kedigdayaan.
Meskipun ketiga tokoh ini sudah lebih dahulu meninggal, namun
karomahnya masih dirasakan oleh Kaiin dan pengikutnya, karena itu
mengunjungi makamnya, berdoa kepada Allah dengan berwasilah
kepada para pendahulu tersebut, dan meminta keberkahan kepada Allah
melalui perantaraan orang alim yang sudah meninggal – adalah
perbuatan baik menurut Kaiin untuk meminta restu dan memperkuat
pergerakannya.
Perbuatan meminta keberkahan kepada Allah melalui perantaraan
orang shalih yang telah meninggal di makamnya, menurut pendapat

39
M. Quraish Shihab, Ibid, Volume IV, h. 474-475
85
Syekh Muhammad Hisyam Kabbani, dengan mengutip pernyataan putra
Imam Ahmad bin Hanbal (Abdullah) sebagai berikut:
“... Ia bertanya kepada ayahnya tentang orang yang menyentuh dan
mencium mimbar Nabi saw, atau makam beliau untuk mencari keberkahan.
Imam Ahmad menjawab, „Tak ada yang salah mengenai hal itu.‟ Abdullah
juga bertanya kepada Imam Ahmad tentang orang yang menyentuh dan
mencium mimbar Nabi saw, untuk mendapatkan keberkahan, dan yang
berbuat serupa terhadap makam Nabi saw., atau sesuatu yang seperti itu,
dengan niat untuk mendekatkan diri kepada Allah. Imam Ahmad
menjawab, „Tak ada yang salah mengenai hal itu.‟”
40

Disebutkan pula oleh Syekh Kabbani, bahwa dahulu di masa


pemerintahan Umar bin Khaththab, pernah terjadi kemarau yang
berakibat kekeringan dimana-mana. Kemudian dalam suatu riwayat,
Bilal ibn Al-Harits, mendatangi makam Rasulullah saw, seraya
mengatakan, “Ya Rasulullah, mohonkanlah hujan kepada Allah demi
umatmu.” Dalam riwayat lain, puteri beliau, Siti Aisyah pernah
memerintahkan kepada seseorang, agar membuka atap makam Nabi
Muhammad, ketika terjadi musim kering, maka hujan pun turun
membasahi bumi.41
5. Menggunakan pakaian putih-putih dalam aksi pergerakan pada tanggal
10 Februari 1924; penggunaan simbol warna putih bermakna kesucian
atau bersih, sehingga Kaiin Bapa Kayah meyakini bahwa pergerakannya
ini dalam rangka menjaga kesucian ajaran Islam dan mendapat
keberkahan Allah.
Penggunaan pakaian putih ini, sesuai dengan sabda Nabi
Muhammad saw dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah
dalam Sunan Ibnu Majah, Kitab 32 tentang Al-Libas (pakaian) pada Bab Al-
Bayadh min Al-Tsiyaab (Pakaian Putih), pada Hadits Nomor 3566:42

40
Syekh Muhammad Hisyam Kabbani, Syafaat, Tawasul, dan Tabaruk, (Jakarta:
Serambi, 2007), Cet. Ke-1, h. 163
41
Ibid
42
Al-Hafizh Abu Abdullah Muhammad Ibnu Yazid Al-Qazuraini, (peny.), Sunan
Ibnu Majah, (Kairo: Darul Hadits, 1998), cet. Ke-1, h. 261
86
Artinya: “Telah diceritakan kepada Kami dari Muhammad bin Al-Shabbah,
memberitakan kepada kami dari „Abdullah bin Rajaa Al-Makki, dari Ibnu
Khutsaim, dari Sa‟id bin Khubair, dari Ibnu „Abbas berkata: Rasulullah saw
bersabda: “Sebaik-baiknya pakaian kamu sekalian adalah pakaian putih,
Maka pakailah pakaian putih, dan kafankalah mayat-mayat di antara kamu
sekalian dengan pakaian putih.” (H.R: Ibnu Majah)

Dan Hadits nomor 3567:43

Artinya: “Telah diceritakan kepada Kami dari „Ali bin Muhammad diceritakan
kepada kami dari Waki„, dari Sufyan, dari Habib bin Abi Tsabit, dari
Maimun bin Abi Syabiib, dari Samurah bin Jundab berkata: Rasulullah saw
bersabda: “Pakailah pakaian putih, karena sesungguhnya pakaian putih itu
lebih suci dan lebih baik.” (H.R: Ibnu Majah)

Mengutip penjelasan „Abdul Baaqii dalam Sunan Ibnu Majah, Perkataan


Khairu Tsiyaabakum al-Bayaadhu (Sebaik-baiknya pakaian kamu sekalian
adalah pakaian putih), dikarenakan warna putih itu lebih jelas atau tampak
apabila ada kotoran dari pada warna lainnya, sehingga memudahkan untuk
membersihkannya, hal ini kemudian diperjelas pada hadits nomor 3567
melalui kalimat Innahaa Athyabu wa Athharu (karena sesungguhnya pakaian
putih itu lebih suci dan lebih baik).44

43
Ibid
44
Al-Hafizh Abu Abdullah Muhammad Ibnu Yazid Al-Qazuraini, (peny.), Ibid
BAB V
PERGERAKAN MILLENARIAN TANGERANG 1924
SEBAGAI PROTES SOSIAL

A. Proses-proses Pergerakan
Proses perubahan dari kehidupan yang menyengsarakan, krisis moral
dan keadaan politik yang tak berkeadilan menuju masa depan yang
menjanjikan keadilan, tata masyarakat yang menjunjung tinggi
keberagamaan, dan kehidupan ekonomi yang lebih mudah menjadi sebuah
impian millenial bagi masyarakat dan petani Tangerang, sehingga mereka
berani memutuskan melakukan pergerakan melawan para tuan tanah yang
menjadi kelompok koloborator bagi pemerintah kolonial Belanda.
Pada prinsipnya gerakan pemberontakan terjadi, karena adanya rasa
ketidakpuasan rakyat terhadap tirani pengusa, yang telah menindas, memeras,
dan berlaku semena-mena terhadap rakyat. Kebijakan penguasa dinilai hanya
berpihak kepada golongan tertentu, sehingga supremasi civil dan hukum tidak
bisa ditegakkan di negara yang dipimpin oleh penguasa seperti ini. Karena
itu, banyak para pemimpin pemberontakan bermunculan dengan suatu misi
suci untuk mengembalikan keadaan yang sudah tak terkendali ini, kepada
keadaan harmonis yang pernah terjadi sebelumnya, sehingga terciptalah suatu
zaman yang sempurna. Gerakan millenial Kaiin Bapa Kayah adalah salah
satu dari perwujudan cita-cita menuju zaman sempurna. Sebelum tercetusnya
aksi millenial ini, tentu ada api yang menyulutnya, berbagai sebab
terakumulasikan menjadi sebuah perasaan untuk bangkit melawan penguasa
tiran yang telah merusak keharmonisan.
Para petani di tanah partikelir Tangerang – sama halnya dengan para
petani di tanah partikelir lain – makin lama makin merasakan dan menyadari,
bahwa mereka ditindas dan diperas oleh para tuan tanah asing (khususnya
yang berasal dari Tiongkok). Cuke atau pajak dan berbagai kerja wajib sangat
memberatkan para petani. Di antara kerja wajib tersebut adalah
heerendiensten, yaitu kerja wajib kepada tuan tanah; kerigan (desadiensten)
berupa perbaikan jalan, jembatan, pematang, dan lain-lain; dan gugur
gunung, yaitu perbaikan infrastruktur desa yang rusak.1
Penindasan dan pemerasan tuan tanah kepada para petani penggarap
tanah yang umumnya adalah kaum pribumi, diperkuat oleh keberadaan dan
peran jawara. Jawara-jawara itu sengaja dipelihara oleh para tuan tanah.

1
Edi S. Ekadjati, et.al., Sejarah kabupaten Tangerang, (Tangerang: Pemerintah
Kabupaten Tangerang, 2004), h. 129

87
88

Fungsi mereka menjaga dan melindungi tanah partikelir beserta tuan tanah
sebagai pemiliknya. Dalam menjalankan tugasnya, mereka sering bersikap
dan bertindak menekan dan menakut-nakuti petani penggarapnya agar
mematuhi dan melaksanakan kewajiban-kewajibannya serta tidak melakukan
sesuatu yang bisa mengganggu keamanan, merusak tanah, mengancam hidup
tuan tanah beserta keluarganya, dan mangkir atas kewajiban-kewajiban
mereka. Tak segan jawara itu menindak petani penggarap dengan cara
kekerasan fisik dan menyita harta benda yang dimilikinya.2
Oleh karena itu kondisi ekonomi dan kehidupan para petani jauh tidak
seimbang dengan orang-orang Tionghoa. Para tuan tanah Tionghoa makin
kaya, karena mereka terus menambah kepemilikan tanah partikelir.
Sebaliknya, para petani hidup dalam suasana kekurangan. Kondisi itu
terutama terjadi di kampung Pangkalan. Di daerah itu 60 persen luas tanah
dikuasai oleh orang-orang Tionghoa, padahal mereka adalah penduduk
minoritas. Mereka memiliki hak lebih banyak dari petani, sehingga
kekuasaan mereka pun sangat besar.3
Pemicu lain dari protes sosial dan perlawanan adalah karena adanya
pengaruh dari organisasi pergerakan nasional, Sarekat Islam, yang telah
menancapkan ideologinya di Afdeling Tangerang Tangerang pada tahun
1913. Rasa kebangsaan dan kesadaran politik masyarakat Tangerang mulai
terbangkitkan. Letupan pertama muncul tatkala terjadi pertikaian kaum
pribumi kampung Tegalkunir dengan sekelompok Tionghoa Kebonwaru,
yang diakibatkan oleh sengketa pribadi seseorang yang barasal dari anggota
keluarga Gudel (penduduk asli) dengan Lim Utan (Lim Oetan/seorang
pendatang dari Tiongkok). Kerusuhan rasial tersebut menyebabkan terjadinya
disharmoni yang berkepanjangan di tanah partikelir Tangerang.4
Sebelum pergerakan, Kaiin Bapa Kayah sempat lama memikirkan
tentang tanah-tanah di Tangerang, yang dikuasai oleh para tuan tanah asing,
hingga pada suatu ketika, ia mendapatkan wahyu yang menyatakan bahwa
tanah-tanah tersebut sudah berjalan dua puluh lima tahun masa kontraknya.
Karena itu, menurut perintah mimpinya Bapa Dalang, kaum pribumi berhak
mengusir para tuan tanah dari tanah pertanian dan perkebunan untuk

2
Ibid, h. 129-130
3
Hasil penyelidikan sebab-sebab dari peristiwa Tangerang pada tanggal 10 Februari
1924, dari Penasehat Urusan Bumiputra (R.A. Kern), 30 September 1924 dalam Arsip
Nasional Republik Indonesia, Laporan-laporan tentang Gerakan Protes di Jawa pada Abad
XX, Penerbitan Sumber-sumber Sejarah, (Jakarta: ANRI, 1981), h. 79 dan lihat pula
Suhartono W. Pranoto, Jawa: Bandit-bandit Pedesaan-Studi Historis 1850-1942,
(Yogyakarta: Aditya, 1995), h. 139. Dalam Edi S. Ekadjati, et.al., op.cit, h. 130-131
4
Edi S. Ekadjati, et.al., op.cit, h. 132
89
dikembalikan kepada penduduk asli. Di tanah ini pula, Kaiin Bapa Kayah
akan dinobatkan sebagai raja dengan nama Prabu Arjuna.5
Proses pergerakan dipersiapkan dengan matang dan penentuan
waktunya berdasarkan wahyu Sang Pemimpin. Ketika sudah ada perintah
wahyu tersebut, kaum tani Tangerang bergeraka melawan pemerintah
kolonial, para tuan tanah dan sekutu pribuminya terjadi pada hari Minggu
tanggal 10 Februari 1924. Secara matang tanggal tersebut dipilih,
berdasarkan masukan dari gurunya, Sairin, yang juga bertepatan dengan
tanggal 4 bulan Rajab dalam kalendar Hijriyah.6 Dan dalam kenyataannya,
tanggal tersebut sesuai dengan arsip berita acara Assisten Wedana Teluknaga.

“Hamba Raden Toewoeh, Asisstent-Wedana Teloeknaga, menerangkan


dengan sebenarnja, pada ini harie Minggoe ddo. 10 Februari 1924 kira djam
½ 8 pagi, hamba trima telefoon dari Kongsi tanah Pangkalan, menerangkan
jang di Kongsi tanah Pangkalan soedah kedatengan beberapa orang maoe
7
mengamoek, ...”

Gerakan perlawanan ini bertujuan untuk membebaskan penduduk dari


tuan tanah-tuan tanah Tionghoa, yang akan diusir kembali ke negerinya. Oleh
karena itu dapat dikatakan unsur utama gerakan ini adalah unsur nativistik,
yang berusaha mengembalikan kepada sumber daya dan tatanan asli lokal.8
Unsur ini kemudian bercampur dengan visi millenarian yang juga melekat
kepada kepercayaan tokoh pembebas (messiah atau Ratu Adil dalam
keyakinan lokal).
Pergerakan yang dipimpin oleh Sang Pembebas, Kaiin Bapa Kayah
dimulai dari Kampung Pangkalan untuk menemui pemilik toko seorang
Tionghoa, bernama Thio A. Pang alias Atang, dan menanyakan kepadanya
tentang kontrak asing yang sudah habis. Kemudian perjalanan selanjutnya,
mendatangi penguasa negeri, dan para Tuan Tanah, mereka semua juga
diminta untuk segera meninggalkan tanah Pangkalan.9 Kejadian ini membuat

5
Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil, (Jakarta: Sinar Harapan, 1984), cet. Ke-1, h. 25
6
Ibid. Lihat juga Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (ed.),
Sejarah Nasional Indonesia IV, (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), Edisi Pemutakhiran, h. 421
7
Berita acara dibuat oleh Asisten Wedana Teluknaga (R. Toewoeh) mengenai
peristiwa Tangerang ttg. 10 Februari 1924, dalam Arsip Nasional Republik Indonesia,
Laporan-laporan tentang Gerakan Protes di Jawa pada Abad XX, Penerbitan Sumber-sumber
Sejarah, (Jakarta: ANRI, 1981), h. 75
8
Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil, op.cit, h. 17-18
9
Didi Suryadi, Pemberontakan Petani di Tangerang, 1924, dalam kumpulan artikel
Seminar Sejarah Nasional III, Seksi Sejarah Perlawanan terhadap Belanda 2, (Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek
Inventarisasi dan Dokumen Sejarah Nasional, 1982), h. 57
90
gaduh para pihak yang menjadi musuh Kaiin dan kawan-kawan, suasananya
pun mencekam sebagaimana digambarkan oleh Assisten Wedana Teluknaga,
Raden Toewoeh:

“.. hamba trima telefoon dari Kongsi tanah Pangkalan, menerangkan


jang di Kongsi tanah Pangkalan soedah kedatengan beberapa orang maoe
mengamoek, itoe waktoe djuga hamba oendjoe bertaoe dengan telefoon
moehoen pertoeloengan pada Kandjeng Controleur Tangerang dan Toean
Hoofdpolitie Opziener Tangerang serta Toean Wedana Mauk. ”
10

Untuk mengatasi luapan emosi rombongan Kaiin tersebut, terpaksa


Assisten Wedana melakukan muslihat, ia memperlambat gerakan mereka
dengan menyuruhnya duduk di dalam pendopo sambil menikmati teh,11
rokok dan suguhan lainnya sambil bercakap-cakap tentang maksud dan
tujuan pergerakan mereka. Di sisi lain siasat itu dilakukan sambil menunggu
bala bantuan tiba, setelah sebelumnya sudah mengubungi Controleur
Tangerang, Hoofdpolitie Opziener Tangerang, dan Wedana Mauk melalui
jaringan telepon.
Dengan kemajuan teknologi,12 pemerintah kolonial memanfaatkan
telepon untuk berkomunikasi dan berkordinasi dengan bawahan-bawahan
mereka sampai di tingkat rendah. Hal ini, tidak diantisipasi oleh Kaiin dan
pengikut-pengikutnya, kalau saja jalur komunikasi pejabat Asisten Wedana,
Controleur Tangerang, Hoofdpolitie Opziener Tangerang, dan Wedana Mauk
– diputus oleh kelompok pergerakan Bapa Dalang, maka mereka akan
kesulitan, bahkan tidak dapat meminta bantuan pengiriman pasukan.

“... oleh karena datengnja itoe orang2 pada hamba kasar dan maoe
nganiaja pada hamba, serta hamba tida ada kekoeatan melawan, laloe hamba
tjari akal soepaja djadi keselametan, lantas hamba bilang “tida maoe bela
pada kafir” laloe itoe Kaiin ba Kaiah seboet pada hamba “Ama” (orang
toewa) dan saja kasih taoe lagi djika maoe ngakoe orang toewa, soepaja
doedoek doeloe dan djika ada oeroesan apa2 nanti sadja oeores serta hamba
bri roepa2 nasehat soepaja djadi sabarnja, sembari orang-orang itoe hamba
kasih sigaret dan itoe Kaiin ba Kaiah bersama temen2nja toeroet pada hamba
poenja nasehat, serta masing2 hamba soeroeh doedoek di emper kantoran

10
Berita Acara Asisten Wedana Teluknaga (R. Toewoeh), dalam Arsip Nasional
Republik Indonesia, op.cit, h. 75
11
Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil, op.cit, h. 27
12
Michael Adas mengatakan perkembangan ini terutama dihasilkan dari kemajuan
dalam persenjataan, organisasi, komunikasi, logistik dan obat-obatan, yang berhubungan
dengan proses industrialiasasi di Eropa sendiri. Lihat Michael Adas, Prophet of Rebellion
Millenarian Protest Movements against the European Colonial Order, The University of
North Carolina Press, 1979, (terj), Ratu Adil: Tokoh dan Gerakan Millenarian Menentang
Kolonialisme Eropa, (Jakarta: Rajawali Press, 1988), h. 306
91
dan Kaiin ba Kaiah hamba kasih doedoek di korsi dalem pendopo ka
Asistenan, laloe Kaiin ba Kaiah kata pada hamba maoe pergi troes ke
Betawi, maoe bikin habis kota Betawi, oleh karena hamba kwatir bikin
roesoeh di dalam kampoeng-kempoeng, dan lagi hamba toenggoe pada
dawoehnja Kandjeng Kontroleur Tangerang dan Padoeka Toean Wedana
Mauk serta laen2 politie, lantas hamba tahan dengan dioge2 (wennen) jang
tiada antara lama Kandjeng Kontroleur Tangerang dan Padoeka Toean
Wedana Mauk rawoeh, maka Kaiin ba Kaiah diperiksa mengakoe nama
Bagenda Ali serta kepengen diakoe dan maoe tjari orang2 toewa Noerdjaja
dan soedah 3 hari blon makan nasi, serta mengakoe tida senang ati pada
Toean Tanah karena Toean Tanah soedah djalan 2-3 tahoen soedah ambil
padi tjoeke lima 3 iket.”
13

Tepat pukul sebelas, pejabat Assistent Resident Batavia datang


bersama pasukannya ke pendopo Assisten Wedana. Sebagaimana dikatakan
oleh R. Toewoeh: “Maka kira pukul 11 dateng Kandjeng Toean Assistent-
Resident Betawi bersama Marchoussee ...” Jam setengah tiga pejabat
Controleur dan Komandan Detasemen Polisi Mauk dan beberapa polisi
setempat datang ke Teluknaga. Mereka semua berdiskusi panjang tentang
niatan pergerakan Bapa Dalang dan pengikutnya tersebut, dan akhirnya Kaiin
Bapa Kayah bersama pengikutnya diperkenankan menuju Batavia tetapi
dengan syarat perjalanan mereka dikawal aparat polisi kolonial.14 Walaupun
dalam suasan pengawalan itu, pasukan Ki Dalang masih diperkenankan
memegang senjatanya masing-masing.15
Siasat licik dilakukan aparat kolonial di tengah perjalanan, tepatnya
di daerah Tanah Tinggi (Persimpangan jalan antara dekat pusat pemerintahan
Kota Tangerang sekarang menuju jalan Daan Mogot arah Kalideres), Kaiin
Bapa Kayah dijatuhkan oleh oleh seorang aparat kepolisian. Para
pengikutnya yang melihat kejadian ini, sontak melawan para polisi tersebut,
apalagi mereka merasa pemimpinnya telah dilecehkan oleh aparat kolonial.
Terjadilah kontak fisik di antara mereka, sehingga rombongan Ki Dalang
yang tidak bisa menandingi kekuatan amunisi aparat pun lumpuh, tercatat 19
orang meninggal di tempat kejadian perkara, dan 23 orang mengalami luka-
luka, yang masih hidup akhirnya ditahan, karena dianggap sebagai perusuh
dan pemberontak.16
Menurut Thahiruddin yang dikutip oleh Edi S. Ekadjati dan kawan-
kawan, Kaiin Bapa Kayah dalam kontak fisik tersebut bukan termasuk yang
ditahan, tetapi gugur di Tanah Tinggi, dan dimakamkan di taman pemakaman

13
Berita Acara Asisten Wedana Teluknaga (R. Toewoeh), op.cit, h. 75-76
14
Didi Suryadi, op.cit, h. 57
15
Berita Acara Asisten Wedana Teluknaga (R. Toewoeh), op.cit, h. 76
16
Didi Suryadi, op.cit, h. 57
92
yang terletak di Kampung Encle, Kelurahan Sukasari, Kecamatan Tangerang,
Kota Tangerang.17

B. Faktor Kepemimpinan Kaiin Bapa Kayah


Masyarakat pribumi seutuhnya menyadari bahwa kemampuan
logistik perang mereka masih belum dapat menandingi kekuatan amunisi
pemerintah kolonial yang didukung oleh teknologi canggih dan termodern
kala itu. Tetapi mereka meyakini semua kekuatan asing dapat terkalahkan,
terlebih lagi masyarakat lokal yang lekat dengan kepercayaan magis religius,
mempunyai keyakinan pada sosok suci yang diliputi oleh kewahyuan untuk
membawa mereka kepada zaman baru yang menjanjikan. Dalam hal ini,
tampilnya tokoh petani Pangkalan bernama Kaiin Bapa Kayah,
membangkitkan motivasi dan mempercayainya sebagai pemimpin gerakan,
bukan hanya karena pengalamannya sebagai petani, tetapi juga karena
pengalaman dan pengetahuannya di luar profesi petani, yang menjangkaui
tradisi pemikiran masyarakat lokal.18
Pemikirannya tentang penguasaan tuan tanah pada tanah-tanah di
kampungnya, adalah sebuah bentuk ide penyadaran bahwa tanah Pangkalan
tidak seharusnya dimiliki oleh orang asing, sebagai warisan leluhur, tanah itu
harusnya bermanfaat buat kaum pribumi. Pada kenyataannya, Kaiin melihat
kaum pribumi lebih miskin dibandingkan para penyerobot asing tersebut.
Dalam intuisinya, Ki Dalang berpikir perlu melakukan tindakan pengusiran
kepada tuan tanah Tionghoa yang telah bertindak semena-mena terhadap
petani pribumi.19
Pemikiran Kaiin tersebut, diwujudkan dalam aksi millenialnya
menentang penguasaan tanah oleh pihak-pihak asing. Meskipun cita-citanya
tidak terwujud dalam waktu yang dekat, tetapi tindakan Kaiin merupakan
sikap dari seorang pahlawan yang membela kaum tertindas, yang mengajak
kepada semua elemen masyarakat untuk melawan semua penindasan dan
merefleksikan kemandirian di atas kaki sendiri.
Dengan mengangkat isu revolusi menuju suatu zaman sempurna,
kepemimpinan Kaiin Bapa Kayah mendapat dukungan dari berbagai
kalangan, yang merasa kehidupannya telah terganggu oleh represifitas
penguasa kolonial dan sekutunya. Mereka menilai kehadiran penguasa asing
dan sekutunya hanyalah membebani dan menyengsarakan rakyat kecil
ditambah dengan gaya hidup mereka yang tidak lagi mengindahkan moralitas
agama dan adat-istiadat yang mengakibatkan semakin terpuruknya negeri ini.

17
Edi S. Ekadjati, et.al., op.cit, h. 137
18
Edi S. Ekadjati, et.al., op.cit, h. 133
19
Edi S. Ekadjati, et.al., Ibid, h. 133
93
Mereka bersama-sama berjuang untuk sebuah kemerdekaan sebagai bangsa
yang berdaulat tanpa tekanan dari pihak asing, sehingga hak dan kewajiban
sebagai kaum pribumi untuk menegakkan moralitas dan membangun
negaranya dapat terpenuhi.
Kepemimpinan Ki Dalang dibuktikan dengan menyuarakan suara hati
rakyat petani pribumi, kepada perwakilan pejabat berwenang, R. Toewoeh,
selaku Asisten Wedana Teluknaga – sekaligus menjelaskan misi revolusinya,
namun sebelumnya ia terlebih dahulu menemui Tuan Tanah Kampung
Melayu, Him Po Lim dengan disertai oleh para pengikutnya. Sebagai juru
bicara, Kaiin menegaskan kepada Him Po Lim, bahwa para Tuan Tanah
sudah cukup kekuasaan, karena telah selesai masa kontraknya selama 25
tahun. Selanjutnya, Sang Pemimpin Pergerakan merobek buku catatan pajak
yang ada di meja juru tulis kantor Kongsi Tanah Kampung Melayu.

“... Sepoelangnja hamba dari Kongsi Pangkalan dapet taoe dari kwasa
Tanah Kampoeng Melajoe nama Him Po Lim jang se-blonnja itoe Kaiin ba
Kaiah datang di ka Assistenan lebih doeloe soedah dateng di Kongsi
Kampoeng Melajoe dengan Kaiin ba Kaiah kata pada kwasa tanah “soedah
tjoekoep 25 taoen maoe doedoek disini,” lantas Kaiin ba Kaiah ambil boekoe
cope tjatatan committeerd jang ada di atas medja kantoran djoeroetoelis
kongsi troes itoe boekoe di robek2 sedatengnja hamba di roemah ka
Assistenan, trima dari hamba poenja djoeroetoelis 1 toembak poenja orang2
itoe jang ketinggalan tida dibawa, lantas hamba beslag boeat boekti”
20

Kejadian ini segera dilaporkan oleh Tjoetak Politie tanah Pangkalan,


Mas Moehamad Moeso, ia menghadap kepada Assisten Wedana Teluknaga
dan menceritakan kronologi peristiwa serangan sekelompok orang yang
dipimpin oleh Kaiin Bapa Kayah terhadap dirinya dan tukang timbang di
Kongsi Pangkalan, yang bernama Sahir. Dalam serangan itu Sahir terluka
akibat sayatan senjata tajam, ketika ia sedang berkuda menuju Kongsi
Bodjongrenged, di tengah perjalanan dicegat oleh rombongan tersebut.

“Maka tida antara lama dateng Tjoetak Politie tanah Pangkalan nama
Mas Moehamad Moeso, kasih taoe jang betoel di Kongsi Pangkalan soedah
kedatengan beberapa orang dengan bersendjata tadjem, jaitoe jang djadi
kepalanja orang nama Kaiin ba Kaiah, tinggal di kampoeng Pangkalan
tanjakan Patiah tanah Pangkalan, tapi Patiah tiada ada sebab lari dan Tjoetak
Politie menerangkan poela jang ia soedah diboeroe oleh itoe orang-orang
maoe dibatjok, serta tukang timbang pada Kongsi Pangkalan nama Sahir
koetika naik koeda maoe pergi ke Kongsi Bodjongrenged soedah dibatjokin
oleh itoe orang-orang hingga mendapat beberapa loeka pajah.”
21

20
Berita Acara Asisten Wedana Teluknaga (R. Toewoeh), op.cit, h. 76
21
Ibid, h. 75
94
Raden Toewoeh bergegas mengecek laporan tersebut, dan melihat
langsung kondisi Sahir yang sedang ditangani lukanya oleh dokter.
Kemudian ia mencoba mencari barang bukti penganiayaan terhadap Sahir, di
rumahnya Kaiin Bapa Kayah, namun tidak menemukan sesuatu yang
mencurigakan.

“Sesoedahnja lantas hamba pergi ke Pangkalan periksa orang nama


Sahir jang telah dibatjok oleh Kaiin ba Kaiah dan kedapet betoel Sahir
soedah mendapat beberapa loeka di badannja serta itoe Sahir lagi di verband
oleh Toean Dokter Tangerang lantas hamba pergi commissie di roemahnja
Kaiin ba Kaiah tapi tida dapet barang jang djadi boekti dalam ini
”22
perkara...

Keyakinan para petani dan masyarakat Tangerang kepada


kepemimpinan Kaiin Bapa Kayah merupakan faktor dasar penyebab
terjadinya konflik antara orang pribumi dan Tionghoa di tanah partikelir.
Apabila dikaji secara seksama, konflik yang kemudian mencapai puncaknya
berupa pemberontakan petani terhadap tuan tanah, terjadi akibat beberapa
faktor lain yang melingkupi kehidupan masyarakat yang telah mengalami
deprivasi, yaitu:
Pertama, pejabat pribumi yang seharusnya menjadi pangayom dan
pelindung petani (rakyat), justru cenderung berperan sebagai pelindung dan
pembela tuan tanah. Hal itu berarti para petani kehilangan saluran untuk
menyampaikan aspirasi atau pengaduan nasib mereka.23
Kedua, kewajiban-kewajiban para petani terhadap tuan tanah dan
besarnya kekuasaan tuan tanah, mengakibatkan pola kehidupan petani yang
mengandung nilai-nilai tradisional masyarakat pribumi, seperti tradisi
gotong-royong, tepa selira, dan lain-lain, menjadi luntur, bahkan hampir
punah. Waktu dan tenaga para petani lebih banyak dikonsentrasikan untuk
bekerja di tanah partikelir. Oleh karena itu, mereka tidak lagi dapat
melakukan kegiatan sosial, sehingga mereka mengalami krisis identitas.24

C. Mobilisasi Pergerakan
Karisma pemimpin pergerakan, kesaktian, dan visi millenariannya,
meyakinkan untuk mendapatkan pendukung – peranan tokoh kenabian,
seperti Kaiin Bapa Kayah memudahkan pula dalam mobilisasi kaum tani dan

22
Ibid, h. 76
23
Edi S. Ekadjati, op.cit, h. 131
24
Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil, op.cit, h. 140. Dan Edi S. Ekadjati, et.al., op.cit, h.
131
95
masyarakat pribumi untuk berada di barisan perjuangan untuk menggapai
cita-cita bersama, berdiri di atas kaki sendiri tanpa campur tangan orang-
orang asing yang hanya mementingkan diri dan korporasinya.
Sebagai seorang dalang, Kaiin Bapa Kayah, sangat mudah untuk
mempengaruhi masyarakat, di Distrik Kebayoran, Bapa Dalang sering tampil
membawakan lakon wayangnya, dan di tempat ini pula banyak loyalis
pengikut pergerakan yang setia kepada kepemimpinannya.
Dalam laporan R.A Kern, seorang Penasehat Urusan Bumi Putera
(Pemerintah Hindia Belanda), menyebutkan setidaknya ada lima kelompok
utama yang menjadi pengikut setia pergerakan di Tangerang pada tahun1924,
berikut ini adalah grup pengikutnya:25

a. Grup Keluarga Kaiin, terdiri atas;


1) Kaiin Bapa Kajah.
2) Nyonya Banten, istri Kaiin.
3) Baba Entong, anak tiri Kaiin.
b. Grup Merin, di antaranya;
1) Merin.
2) Rentjin, istri Merin.
3) Misad, anak Merin.
4) Miden, anak Merin.
5) Tongtjin,
6) Karim,
7) Ada,
8) Nawi, anaknya Ada
c. Grup Siban, yaitu;
1) Siban Bapa Sambut
2) Minan Midi,
3) Saroen,
4) Midin bapa Mini,
5) Samin,
6) Sanan,
7) Kidin,
8) Madjoen,
d. Grup Gemengde, ialah;
1) Kinoeng alias Ridjan.
2) Saen.
3) Sioen bapa Mindji.
4) Boei,

25
Hasil penyelidikan Penasehat Urusan Bumiputra (R.A. Kern), dalam Arsip
Nasional Republik Indonesia, op.cit, h. 89-90. Bandingkan dengan Edi S. Ekadjati, et.al.,
op.cit, h. 135
96
5) Enang.
6) Kasep.
e. Grup Hadji Rioen, mereka adalah;
1) Hadji Rioen.
2) Mirin.
3) Adim.
4) Lioeng.
5) Koentan.
6) Meran.
7) Hadji Koen Adjari, anak Hadji Rioen.
8) Kliling.
9) Pidang.
10) Bodo.
11) Saijan.
12) Radi bapa Ramah

Dari kesemua tokoh pergerakan yang disebut di atas, terdapat tujuh


figur penting dalam pergerakan millenarian tersebut, mereka semua memiliki
latar belakang yang berbeda, di antaranya adalah sebagai berikut:
a) Berprofesi sebagai Dalang Wayang; yaitu Kaiin Bapa Kayah, yang
menjadi tokoh utama pergerakan.
b) Tokoh Agama; Hadji Rioen (guru ngaji dan tarekat sekaligus pedagang)
dari daerah Kalideres.
c) Panglima Perang; Merin, anak Ki Reog (guru kebatinan Kaiin) dan juga
cucu Raden Bagong (makamnya sering dikunjungi Kaiin di Kampung
Parung Kored)
d) Sebagai Patih; Enang, seorang petani asal Karang Tengah, yang juga
menjadi guru kebatinan.
e) Siban Bapa Sambut dari Pondok Aren, seorang Petani sukses dan
makmur.
f) Marin atau Mirin yang berasal dari Kampung Melayu, juga seorang
petani. 26
g) Ibu Minah atau Minan dari Kampung Kelor, ia pula yang mengenalkan
Kaiin kepada guru-guru kebatinan dan tempat-tempat ziarah.27

Mobilisasi semua unsur pengikut pergerakan selalu dikuatkan melalui


konsolidasi internal. Para pengikut pergerakan sering mengadakan pertemuan
di rumah Kaiin Bapa Kayah, guna melakukan ritual kebatinan dan

26
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (ed.), op.cit, h. 420
27
Tambahan dikutip dari Edi S. Ekadjati, et.al., op.cit, h. 134
97
mendengar wejangan dari tuan rumah dan guru-guru yang lain. Suatu hari,
Kaiin memberikan petuah di hadapan para pengikutnya dan menjelaskan
bahwa wahyu telah sampai dalam dirinya, ia ditunjuk menjadi tokoh pilihan
Tuhan yang keramat (orang suci) agar memimpin pergerakan dan ia juga
telah dianugerahi gelar Sayidina Ali, Mirah Delima, dan Malaikat Maut.
Bapa Dalang juga meramalkan tentang suatu masa yang dipenuhi kegelapan
di muka bumi ini, karena itu ia menganjurkan kepada pengikut setianya agar
berdiam diri di rumah ketika suatu saat terjadi ramalannya ini.28
Konsolidasi terakhir sebelum pergerakan terjadi, tepatnya di hari
jum‟at (hari ini dianggap sebagai keramat dan dijuluki sebagai “Tuan
daripada Hari-hari”), tanggal 8 Februari, sebanyak 40 orang pengikut Kaiin
berkumpul di Kampung Pangkalan (rumah pemimpinnya), seperti biasa
untuk mengadakan ritual kebatinan dan sekaligus kordinasi pergerakan.
Jama‟ah pengajian malam jum‟at itu di rumah Kaiin Bapa Kayah,
diwajibkan membawa uang satu gulden dan tujuh sen. Uang itu kemudian
diletakkan pada sebuah wadah yang sudah berisi air suci dan terdapat bunga-
bunga, yang ditaruh di depan Bapak Dalang yang sedang memimpin ritual.
Air yang berbunga tersebut juga digunakan untuk membasuh wayang Sena
(Bima), Arjuna, dan Semar – ketiganya adalah tokoh wayang keramat dalam
pandangan Ki Dalang. Satu hari setelahnya, sabtu, uang-uang tujuh sen yang
diletakkan di dalam air suci tersebut, telah mendapatkan pemberkatan dan
selanjutnya dikembalikan kepada para pengikutnya untuk dijadikan jimat.29
Doktrin keagamaan (ritual kebatinan) yang dipakai oleh Kaiin,
menandaskan bahwa ia juga termasuk dalam pemuka agama meskipun
sehari-hari berprofesi sebagai dalang. Menurut Sartono, Ikatan-ikatan petani
dengan para pemimpin keagamaan informal mempunyai kedalaman sosial
yang sangat nyata, hubungan-hubungan erat yang dipelihara para pemimpin
karismatik ini memberikan kemampuan mereka untuk memobilisasi para
petani sebagai klien mereka untuk berorientasi ke desa dalam suatu corak
kegiatan politik yang bersifat supradesa. Di dalam kebanyakan gerakan
sosial, para petani aktif pada suatu pergolakan berskala kecil dan hanya
terbatas pada wilayah mereka sendiri. Tetapi dalam beberapa hal, loyalitas
yang lebih luas sangat dimungkinkan, terutama dalam hal inspirasi
keagamaan, kelompok kaum tani setempat dapat diintegrasikan ke dalam
gerakan politik yang berskala besar.30

28
Ibid, h. 27
29
Didi Suryadi, op.cit, h. 57
30
Sartono Kartodirdjo, Sartono Kartodirdjo, Agrarian Radicalism in Java: Its Setting
and Development,dalam Claire, Holt (ed), Culture & politics in Indonesia, (New York: Ithaca,
1972), h. 86-7
98

Kemampuan Kaiin Bapa Kayah dalam memobilisasi pengikut


pergerakan, terakhir dilakukan dalam rencana aksinya, bersama
rombongannya berjumlah + 34 orang lelaki dan 4 orang perempuan datang ke
kantor Assisten Wedana Teluknaga, untuk menyampaikan aspirasi dan
menjalankan misi suci untuk mengembalikan tanah-tanah kepada kaum
pribumi. Mereka semua menggunakan seragam pakaian putih-putih (simbol
gerakan bermakna kesucian) dengan memakai topi anyaman bambu khas
Tangerang (simbol lokalitas budaya dan masyarakat pribumi) dan sebagian
menggunakan ikat kepala putih (simbol perlawanan suci).

D. Ideologi Pergerakan
Pemberontakan kenabian, perlawanan messiah, dan protes sosial
pemimpin pergerakan selalu didahului oleh penyampaian visi millenial,
tentang harapan idealistik, janji masa depan, dan tatanan yang berkeadilan.
Kesemua visi ini termanifestasikan melalui ideologi pergerakan millenarian.
Seorang pemimpin tradisional dianggap sebagai penjelmaan atau
perwakilan Tuhan di muka bumi ini, mereka menerima wangsit atau wahyu
memulai pergerakan, melawan penguasa, birokrat kolonial, dan kroni-
kroninya untuk membebaskan para petani dan kaum pribumi yang tertindas.
Pembangunan ideologi dan pengembangannya, bagi seorang Kaiin
Bapa Kayah mutlak diperlukan, agar pergerakannya mendapat sambutan luas
dari masyarakat pribumi. Dalam suasana kebatinan yang menggelisahkan,
Kaiin mulai meragukan tindak tanduknya sebagai seorang dalang yang hanya
pandai menceritakan kisah-kisah fiksinya. Ia mulai merenungkan bagaimana
caranya, agar dapat membantu masyarakat yang tertindas, bangkit dan dapat
menikmati hidupnya dalam suasana damai dan serba dicukupkan kondisi
ekonominya.
Kegalauannya dalam pikiran, menyita keseharian dirinya, sehingga ia
membatasi penampakannya sebagai seorang dalang, hal ini merubah
sikapnya menjadi lebih pendiam. Di balik sifat berubahnya, Kaiin
memikirkan sesuatu yang membayanginya setiap hari. Dalam lamunan itu, ia
berpikir tentang tanah-tanah di Kampung Pangkalan, yang telah dikuasai oleh
orang-orang asing.
Dalam sebuah pertemuan dengan para simpatisan pergerakannya,
tepatnya terjadi di akhir bulan Desember pada tahun 1923, ia
mengungkapkan perihal petunjuk (wahyu) dalam mimpinya, yang memberi
99
isyarat bahwa tanah-tanah di Tangerang adalah milik nenek moyangnya,
Pangeran Mayor Blongsong dan Ibu Mas Kuning.31
Didi Suryadi menerjemahkan pernyataan Kaiin yang dikutip dari R.A
Kern, yang terus menjadi renungan dalam alam pikirannya:

“Mengapa Cina (sic: Tionghoa) di sini menjadi kaya mempunyai


sawah dan kebun? Kami yang keturunan dari nenek moyang tidak memiliki
tanah, kami tetap miskin. Semua tanah adalah milik tuan tanah. Seorang
yang ingin memiliki sebidang sawah atau kebun harus menyerahkan
hasilnya kepada tuan tanah. Keadaan ini tidak dapat dibiarkan terus
berlangsung. Suatu saat harus lenyap dan orang Cina (sic: Tionghoa) harus
lenyap. Negeri ini adalah negeri kami dan harus kembali kepada kami;
„Dari asal pulang ke asal‟. Kalimat yang terakhir ini sering dipikirkannya.
Kami harus menuntut hak kami. Waktunya untuk itu akan datang. Kami
akan mencari keadilan Tuan Tanah dan Tuan Besar di Bogor juga harus
tahu bahwa kami „minta mulangkan hak kami kembali‟. Kami tidak akan
mendapatkan hak kami dari Tuan Besar, kami harus menyampaikannya
kepada Raja Belanda. Kami akan meminta petunjuk jalan buat
berhubungan dengan Raja Belanda. Kami akan menyatakan bahwa kami
punya tanah telah dirampas”
32

Perenungannya tentang tanah-tanah yang telah dikuasai para tuan tanah


asing tersebut, semakin mewujudkan ideologi millenariannya dan
memantapkan jargon “Dari Asal Pulang ke Asal”, tetapi keyakinan millenial
ini masih belum dapat menggerakkan aksinya, sehingga ia masih
membutuhkan unsur-unsur lain melalui referensi alam kebudayaan
tradisional.
Berdasarkan pengalaman Kaiin ketika bekerja sebagai aparatur
pemerintah kolonial, ia berpendapat bahwa untuk mengusir orang Tionghoa
(yang telah merusak tantanan kehidupan lokal) harus meminta bantuan
pejabat tinggi pemerintah, yaitu gubernur jenderal bahkan raja Belanda.
Skenario kedua setelah itu, apabila para pemangku kepentingan tidak
bersedia menerima aspirasinya, maka penduduk pribumi harus mengusir
orang-orang Tionghoa secara paksa. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka
ideologi millenarian yang digunakan pemimpin pergerakan perlu diimbangi
dengan penguasaan ilmu kekebalan.33
Sejak tahun 1922, Kaiin Bapa Kayah yang tengah menanjak karirnya
di dunia pewayangan, banyak melakukan ziarah-ziarah ke makam keramat,
seperti makam Pangeran Blongsong dan Ibu Mas Kuning yang terletak di
Mangga Dua, Batavia. Di saat kunjungannya ke daerah Mangga

31
Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil, op.cit, h. 25
32
Didi Suryadi, op.cit, h. 61
33
Edi S. Ekadjati, et.al., op.cit, h. 134
100
Dua tersebut, ia bertemu dengan tokoh ilmu kawedukan dan ilmu kaslametan
(ajaran tentang kesaktian atau kekebalan), yang bernama Sairin alias
Tjongkok dari daerah Cawang, yang juga pernah membantu pergerakan
Entong Gendut di Mesteer Cornelis (Jatinegara), ia juga bertemu dengan
Hadji Rioen, seorang guru tarekat (tokoh spiritual). Dari pertemuan dan
diskusi dengan kedua guru tersebut, maka Kaiin tertarik dengan keahlian
tokoh tersebut dan bermaksud untuk belajar kepada mereka untuk
mendapatkan ilmu kedigdayaan (kesaktian).34
Tempat ziarah kedua yang sering dikunjungi Kaiin adalah makam
Raden Bagong, di kampung Parung Kored, Pondok Bahar (Kecamatan
Karang Tengah, Kota Tangerang). Tujuan berziarahnya adalah untuk
meminta doa restu kepada orang-orang suci yang telah wafat maupun yang
masih hidup agar ia berhasil menjalankan misi pembangkitan kerajaan
Pasundan dan mengembalikan tanah-tanah kepada para petani pribumi.35
Selain berziarah di Parung Kored, ia juga sambil berguru kepada Ki
Reog, juru kunci makam sekaligus anak dari Raden Bagong. Di tempat ini
pula, bapak Dalang juga sering melakukan diskusi dan saling bertukar
informasi dengan Marin, cucu dari Raden Bagong tersebut.
Guru spiritual lain dari Bapa Dalang adalah Kyai Muhammad Santri,
yang berasal dari Giri Jaya di kaki Gunung Salak, Bogor. Kyai Santri adalah
tokoh karismatik, yang menjadi sumber kekayaan ruhani umat dan
banyak dimintai doanya oleh masyarakat dalam urusan duniawi dan akhirat.36
Setelah Kaiin berhasil menguasai ilmu kekebalan, ia merubah nama
dan penampilan dirinya. Namanya ditambah dengan gelar “Mas” dan
menolak disebut “Raden” sebagaimana trah darah biru lainnya. Ki Dalang
kemudian selalu mengenakan pakaian “kebesaran”, serban dan kain sarung
(sebagaimana dikenakan oleh tokoh keagamaan). Semua itu dimaksudkan
untuk menguatkan wibawa dan menambah pengaruhnya di kalangan
penduduk pribumi.37
Sepekan menjelang peristiwa, persiapan terus dilakukan Sang
Penggerak, Kaiin Bapa Kayah secara intensif. Ia melakukan penguatan-
penguatan spiritualitas, dengan melakukan kegiatan ziarah ke makam-makam
keramat, dan berkunjung ke tempat pengasingannya di Giri Jaya, Gunung
Salak, serta membagikan bermacam-macam jimat kepada para pengikutnya.38

34
Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil, op.cit, h. 25. Lihat juga Marwati Djoened
Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (ed.), op.cit, h. 420
35
Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil, op.cit, h. 25
36
Ibid
37
Didi Suryadi, op.cit, h. 62. Bandingkan dengan Edi S. Ekadjati, et.al., op.cit, h.
134. Ekadjati menyebutnya pakaian jawara bukan seperti yang dipaparkan oleh Didi Suryadi.
38
Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil, op.cit, h. 25-26
101
Perbuatan pemimpin pergerakan tersebut, pada era moderen dianggap
sebagai perilaku takhayul, namun demikian bagi masyarakat tradisional
kegiatan ini bagian dari tradisi yang diwariskan, sebagaimana dikatakan oleh
Anwarudin Harapan (Mantan Dosen Fakultas Adab dan Humaniora), “Dan
tiap bentuk ketakhayulan itu tidak timbul secara tiba-tiba melainkan tumbuh
dari pengalaman, penghayatan serta pengamatan warga masyarakat sampai
turun-temurun. Dan lahirnya unsur takhayul itu diungkapkan dengan cara
khas menurut lingkungannya, baik dalam bentuk ungkapan lisan maupun
dengan perbuatan yang lama-kelamaan menjadi tradisi masyarakat.”39
Selain ideologi tersebut di atas, Kaiin Bapa Kayah juga memakai
doktrin-doktrin agama dalam pergerakannya. Dalam pernyataannya kepada
pejabat kolonial ia memberitahukan bahwa niat kedatangan dengan
pengikutnya adalah untuk sabilullah melawan kaum kafir, mencari keadilan,
sekaligus menegaskan dirinya bukanlah seperti Bapak Dalang yang dulu,
melainkan seorang raja yang bergelar “Prabu Rabul „Alamin”. Hal ini juga
terangkum dalam Berita Acara yang dibuat oleh Raden Toewoeh:

“Waktoe hamba lagi ada di pendopo ka Assistenan jaitoe lagi trima


rapportnja itoe Tjoetak Politie Pangkalan sekoetika itoe dateng di roemah ka
Assistenan + 34 orang lelaki dan 4 orang perempoean berpakaian badjoe
poetih tjelana poetih pake topi bamboe (boni) dengan bersendjata golok
telendjang dan toembak kampak serta sebagian dari itoe orang-orang
kepalanja ada jang diiket pake selempa poetih, di antara itoe orang-orang
tjoema hamba kenal pada Kaiin ba Kaiah dalang wayang koelit tinggal di
kampoeng Pangkalan, serta mereka itoe samperin pada hamba troes hamba
deketin sesampenja di samping pendapa ka Assistenan sebelah lor, lantes
hamba di lingkoeng oleh itoe orang-orang terseboet dengan golok2nja
masing2 soedah di amangken pada hamba poenja badan, serta itoe Kaiin ba
Kaiah (jang djadi kepala dari itoe orang2) kata pada hamba, bahwa ia
mengakoe bernama Praboe Raboel Alamin, dan tanja lagi pada hamba “apa
maoe bela pada orang2 kafir atawa tida. Sebab saja maoe sabilloelah serta
maoe tjari keadilan dan maoe tjari bapa Noerdjaja dan boejoet Ireng...”
40

Keberanian bapak Dalang Kaiin melawan pemerintah kolonial dan


anteknya para tuan tanah, menurut Raden Toewoeh adalah karena
dipengaruhi oleh doktrin sabilullah, bukan karena sakit hati akibat diambil
cuke tanahnya – sebagaimana diketahui Kaiin tidak memiliki tanah, ia hanya
menumpang di tanah sewaan kakaknya Maiah dan hidup di rumah istrinya
yang kaya. Pengikut pergerakan pun hampir semua bukan berasal dari
Kampung Pangkalan, melainkan dari daerah lain, jadi secara tidak langsung

39
Anwarudin Harapan, Sejarah, Sastra, dan Budaya Betawi, (Depok: Asosiasi
Pelatih Pengembangan Masyarakat, 2006), h. 73
40
Berita acara dibuat oleh Asisten Wedana Teluknaga (R. Toewoeh), op.cit, h. 75-76
102
pergerakan ini tidak mewakili sikap para petani di Pangkalan. Hal ini ditulis
dalam berita acara yang dibuat oleh Assisten Wedana Teluknaga, yakni:

“Maka hamba poenja pendapetan bahwa peroendjoekannja Kaiin ba


Kaiah sakit ati pada Toean Tanah Pangkalan lantaran diambil tjoeke lima 3
itoe tida bisa djadi, sebab ia tida mempunjai sawah, melainkan
penghidoepannja ngadalang wajang sadja, sedeng itoe orang2 jang ngikoet
pada Kaiin ba Kaiah boekan pendoedoek kampoeng Pangkala tapi dari laen2
tempat, djadi pendapetan hamba itoe Kaiin ba Kaiah ada kepertjajaan pada
elmoe kesabilan, maka seblonnja kedjadian ini perkara, hamba tida dapet
taoe dan rapport dari Tjoetak Politie dan Mandor Politie Pangkalan.”
41

Antusiasme keagamaan ini disalurkan oleh Bapa Dalang (yang


menganggap dirinya sebagai pemimpin agama) ke dalam aksi politik
perlawanan dengan menggunakan doktrin perang sabil (suci), yang
menjanjikan penyelamatan dan mati terhormat sebagai martir (syahid) bila
gugur dalam pertempuran melawan kaum kafir. 42
Ide-ide yang dikeluarkan tokoh-tokoh keagamaan karismatik (seperti
seruan perang sabil) pada masyarakat Indonesia umumnya dianggap keramat,
wahyu atau sakti. Pembawaan ini membuat orang-orang yang dikaruniai
dengan wibawa (karisma) itu diliputi oleh alam kesucian (sacre). Kekuatan
karisma dan wibawa yang mereka miliki itu bersifat revolusioner, sehingga
menjadi ancaman serius, bagi pemerintah kolonial, para birokrat, dan
kelompok status-quo, karena ada kecenderungan gerakan-gerakan
keagamaan ini digunakan untuk melakukan oposisi-politik.43

E. Analisis Pergerakan
Apa yang dilakukan oleh Kaiin Bapa Kayah dan pengikutnya ini,
bukanlah pemberontakan serius yang dihadapi oleh pemerintah kolonial.
Keikutsertaan orang-orang yang merasa tidak puas terhadap kebijakan dan
perlakuan semena-mena aparat kolonial dan sekutunya – bergabung kepada
pergerakan Kaiin Bapa Kayah (pemimpin millenarian) untuk mencari
keselamatan dan kematangan hidup di masa depan, semuanya ini berangkat

41
Ibid, h. 76
42
Para pemimpin Islam, apakah haji atau kyai, biasanya telah menikmati prestise
sosial yang tinggi di kalangan penduduk desa. Sebaliknya orang-orang kulit putih dan kaum
priyai selalu dicap sebagai kafir, penuh dosa serta patut mengundang kemuakan pada umat.
Lihat Sartono Kartodirdjo, Agrarian Radicalism in Java: Its Setting and Development,Ibid, h.
88-90
43
Kartodirdjo, Sartono, Ratu Adil, op.cit, h. 33
103
dari niat untuk melawan ketidakadilan dan penindasan tersebut. Karena
motivasi pergerakan yang begitu kuat, mereka tidak peduli dengan resiko
sekecil apa pun, bahkan sampai mengorbankan darah dan nyawa mereka.
Sayangnya, Semangat ini tidak diimbangi oleh perangkat komunikasi dan
amunisi pertempuran yang dimiliki oleh pemerintah kolonial Belanda dan
sekutunya, sehingga perlawanan ini hanya berumur singkat.44
Sebagaimana dikatakan oleh Michael Adas, “... Skala dan lamanya
suatu gerakan sangat tergantung pada interaksi antara kemampuan para
pemimpin pemberontak mengorganisasi dan mengarahkan pendukung
mereka dengan keefektifan para kolonialis Eropa dalam menggunakan alat-
alat penindasannya.”45
Kelompok pergerakan petani Tangerang di bawah komando seorang
dalang karismatik, bernama Kaiin Bapa Kayah, bukanlah pemberontakan
yang membahayakan pemerintah, mereka hanya melakukan protes sosial
(demonstrasi) untuk melindungi diri sebagai kaum pribumi yang telah
tergeser hak-hak hidupnya oleh orang-orang asing, tetapi perlakuan aparat
kolonial dan sekutunya sangat berlebihan terhadap kelompok ini. Tampaknya
pemerintah kolonial mengalami trauma dengan bibit-bibit pergerakan, yang
sewaktu-waktu dapat membesar dan meluas seperti pernah terjadi dalam
pergerakan Diponegoro, yang banyak menghabiskan tenaga dan biaya yang
cukup besar. Sehingga kebijakan politik bumi hangus dilakukan untuk
menindak dan mematikan benih-benih pemberontakan sedari awal, agar tak
meluas dan membahayakan kepentingan kolonial di tanah-tanah partikelir
yang telah menghasilkan pemasukan kas dari sektor pertanian dan
perkebunan.
Kebijakan penumpasan terhadap benih oposisi terhadap pemerintah
kolonial Belanda, semata-mata dilakukan sebagai efek jera kepada orang-
orang yang tidak sepaham dalam rangka pembungkaman suara terhadap
kaum pribumi. Meskipun pergerakan Kaiin Bapa Kayah ini bersifat lokal dan
terbatas pada wilayah tertentu di Tangerang, tetapi penjajah Belanda bersama
sekutu tuan tanah, menganggap letupan-letupan ini sebagai potensi
pengganggu kepentingan mereka.

44
Michael Adas, Prophet of Rebellion Millenarian Protest Movements against the
European Colonial Order, The University of North Carolina Press, 1979, (terj), Ratu Adil:
Tokoh dan Gerakan Millenarian Menentang Kolonialisme Eropa, (Jakarta: Rajawali Press,
1988), h. 295
45
Michael Adas, Prophet of Rebellion Millenarian Protest Movements against the
European Colonial Order, The University of North Carolina Press, 1979, (terj), Ratu Adil:
Tokoh dan Gerakan Millenarian Menentang Kolonialisme Eropa, (Jakarta: Rajawali Press,
1988), h. 296
104
Persiapan yang dilakukan para pengikut pergerakan bersama dengan
pemimpinnya, tidak dilakukan dengan terorganisir dan profesional. Mereka
hanya mempercayai kekuatan tradisional dan kepercayaannya kepada
kekuatan magis, dari semua pengikut pergerakan, mereka juga tidak
mempunyai pengalaman dan bekal pengetahuan perang yang memadai,
meskipun sang pemimpin pergerakan pernah menjadi aparat kepolisian
pemerintah kolonial.
Merin adalah seorang Panglima Perang Pergerakan Kaiin Bapa Kayah,
anak Ki Reog (guru kebatinan Kaiin), sekaligus cucu Raden Bagong
(makamnya sering dikunjungi Kaiin di Kampung Parung Kored) – dianggap
sebagai tokoh yang sakti dalam ilmu-ilmu kebatinan, tetapi ia tidak
mempunyai pengalaman di medan pertempuran, apalagi menguasai strategi
perang seperti Sentot Ali Basya, komandan perang Jawa, yang dipimpin oleh
Pangeran Diponegoro.
Michael Adas memuji kepiawaian Sentot dalam menerapkan taktik
kick and run (serang-lari), sebagai salah satu strategi perang yang
dihadapinya untuk menghadapi tentara Belanda yang gencar menyerang para
pejuang dengan didukung oleh amunisi yang lebih canggih dan logistik yang
tak terbatas.

“... Strategi serang-lari yang menghancurkan merupakan ciri komandan


Diponegoro yang lebih kompeten, khususnya Sentot yang sangat muda dan
pasukannya. Kemenangan demi kemenangan yang diperoleh melalui taktik
ini sering mengagumkan, dan secara berulang-ulang mereka menghidupkan
kembali semangat pemberontakan dalam tahap-tahap selanjutnya jika
perlawanan melemah, yang mengikuti keberhasilan Belanda dalam perang
konvensional.”
46

Seandainya Kaiin menguasai teknik peperangan, ia tidak akan berani


melawan di tempat terbuka, sebagaimana pangeran Diponegoro yang
memimpin Perang Jawa hingga lima tahun. Diponegoro juga menggunakan
strategi perang gerilya, dan menghindari bentrokan terbuka di daerah
pemukiman atau perkotaan. Taktik perang gerilya menurut Adas, memang
belum dapat mengantarkan para pemberontak pribumi kepada puncak
kekuasaan yang hakiki. Strategi gerilya hanyalah salah satu aspek
keberhasilan dari sebuah bentuk perlawanan. Kemenangan yang didapatkan
para pemberontak, itu karena keberhasilannya dalam mengembangkan

46
Michael Adas, Prophet of Rebellion Millenarian Protest Movements against the
European Colonial Order, The University of North Carolina Press, 1979, (terj), Ratu Adil:
Tokoh dan Gerakan Millenarian Menentang Kolonialisme Eropa, (Jakarta: Rajawali Press,
1988), h. 301
105
kekuatan militer setara dengan penjajah dan pengorganisasiannya secara
moderen.47
Penggunaan seragam atau pakaian putih-putih dan topi anyaman
bambu, secara tidak langsung memudahkan identifikasi pada kaum
pergerakan, hal ini semakin memuluskan langkah tentara Belanda yang
mengawal perjalanan mereka dari Kampung Pangkalan yang berniat menuju
pusat kota Batavia. Baru sekitar 15 kilometer perjalanan, di daerah Tanah
Tinggi (sekarang dekat kantor pemerintahan (Kota Tangerang)48, sekelompok
pergerakan yang bermaksud menyampaikan aspirasi mereka kepada
penguasa Belanda di Batavia – sudah dihentikan langkahnya, dengan
persenjataan yang tidak sebanding, akhirnya mereka dapat dilumpuhkan,
sang pemimpin pergerakan gugur di lokasi bentrokan, sedangkan pengikut
pergerakan yang masih hidup dipenjarakan.
Penggunaan seragam ini, menjadi sebuah kesalahan langkah apabila
menerapkan strategi gerilya. Dengan demikian, pengikut pergerakan tidak
dapat membaur dengan masyarakat lainnya ketika dalam suasana terjepit.
Masih menurut Michael Adas, selain keberhasilan menerapkan strategi
peperangan, pasukan Diponegoro juga sulit diidentifikasi, karena mereka
tidak memakai seragam khusus, sehingga pasukan Belanda tidak bisa
mendeteksi keberadaan para pejuang sejak dini. Ketika tentara kolonial
berupaya meredam kekuatan pasukan pemberontak di suatu pedesaan,
pejuang pribumi lantas menyebar, beraktifitas selayaknya masyarakat biasa,
tetapi bila balatentara penjajah berlalu, mereka kembali berkumpul dengan
membawa senjata masing-masing.49
Gerakan protes sosial petani Tangerang yang dipimpin oleh Kaiin
Bapa Kayah, memang berumur sangat singkat dan berakhir seketika itu
dalam bentrokan fisik pada 10 Februari 1924, tetapi pengaruhnya dapat
mewarnai perjuangan masyarakat pribumi setelahnya. Gerakan revolusi,

47
Michael Adas, Prophet of Rebellion Millenarian Protest Movements against the
European Colonial Order, The University of North Carolina Press, 1979, (terj), Ratu Adil:
Tokoh dan Gerakan Millenarian Menentang Kolonialisme Eropa, (Jakarta: Rajawali Press,
1988), h. 303
48
Dari rute perjalanan kelompok pergerakan Kaiin Bapa Kayah, dari Kampung
Pangkalan di Teluknaga (sekarang wilayah Kabupaten Tangerang) melalui daerah Tanah
Tinggi (Kota Tangerang), nampaknya mereka berupaya menggunakan kereta api untuk
menuju pusat kota Batavia. Hal ini tampak jelas bila kita datang ke daerah Tanah Tinggi, di
sana terdapat jalur kereta api yang sudah ada sejak 1896 yang menghubungkan Anyer dan
pusat kota Batavia. Dan sangat mungkin pula mereka berjalan kaki menuju kota Batavia
yang masih berjarak + 22 kilometer dari Tanah Tinggi.
49
Michael Adas, Prophet of Rebellion Millenarian Protest Movements against the
European Colonial Order, The University of North Carolina Press, 1979, (terj), Ratu Adil:
Tokoh dan Gerakan Millenarian Menentang Kolonialisme Eropa, (Jakarta: Rajawali Press,
1988), h. 301
106
perlawanan kaum pribumi atau apa pun namanya yang terjadi di Tangerang,
setelah peristiwa Tanah Tinggi, maka pergerakan lebih terorganisir, pola
organisasi moderen juga sudah diterapkan, jejaring para pejuang sudah mulai
luas dan bahkan berafiliasi dengan gerakan nasional yang semakin menjamur.
Sebagaimana diketahui Sarekat Islam telah membuka cabangnya di
Afdeling Tangerang Tangerang pada tahun 1913 oleh Raden Gunawan,
pimpinan SI Batavia yang berkunjung ke wilayah Tangerang. SI mulai
menampakkan taringnya pada tahun 1920-an. Penjalaran ideologi Sarekat
Islam ke tengah-tengah masyarakat Tangerang semakin massif, tatkala para
kyai pesantren mulai bergabung di organisasi ini, tokoh yang paling populer
adalah Kyai Haji Achmad Chairun yang pernah mengenyam pendidikan di
pesantrennya Kyai Asnawi di Caringin, Banten. Kyai Chairun pernah
melakukan perjalanan haji ke Haramayn sambil menuntut ilmu di sana, dan
berguru kepada Kyai Tanahera, seorang tokoh Tarekat Hadiriyah, yang
berasal dari Kampung Pasilihan (Balaraja, Tangerang).50
Selain Sarekat Islam, organisasi pergerakan nasional yang sudah hadir
di Tangerang adalah Indische Social Democratische Veereniging (ISDV)
yang diperkenalkan secara luas oleh Raden Hasan Djajadiningrat (tokoh
ningrat dari Kesultanan Banten). Partai Komunis Indonesia (PKI), yang
bermetamorfosa dari Sarekat Islam (merah) juga sudah menancapkan
pengaruhnya di Tangerang, bahkan ketika terjadi Pemberontakan PKI di
Banten pada 12 November hingga 5 Desember 1926, di Tangerang turut pula
terjadi pada tanggal 12 November 1926. Pemberontakan PKI di Tangerang
dipimpin oleh Muhammad Ali di daerah Cadas (Sepatan), yang juga menjadi
basis massa Sarekat Islam, tercatat pula pengikut pergerakan ini berjumlah
500 orang (lebih banyak dari pada pengikut Kaiin Bapa Kayah, yang hanya
berjumlah 40 orang). Ketika terjadi peristiwa tersebut, pemerintah kolonial
hingga tanggal 24 November 1926, telah menangkap masyarakat di sekitar
Sepatan sejumlah 344 orang.51
Perjuangan-perjuangan rakyat Tangerang pada kurun awal pergerakan
nasional dilakukan secara sporadis dan tidak memiliki keahlian militer, baru
pada masa Penjajahan Jepang, pelatihan militer mulai dilakukan di
Tangerang. Pada bulan Januari 1943 didirikan pusat latihan para militer, yang
menggembleng para pemuda Indonesia, pusat pelatihan ini dinamakan
Tangerang Seinendojo. Pada generasi pertama Tangerang Seinendojo, telah

50
M. Dien Majid, et.al., Sejarah Kabupaten Tangerang, (Tangerang: Pemerintah
Kabupaten Daerah Tingkat II Tangerang Bekerjasama dengan Lembaga Penelitian Pengabdian
Masyarakat Universitas Syaikh Yusuf Tangerang, 1992) h. 91
51
M. Dien Majid, et.al., Sejarah Kabupaten Tangerang, (Tangerang: Pemerintah
Kabupaten Daerah Tingkat II Tangerang Bekerjasama dengan Lembaga Penelitian Pengabdian
Masyarakat Universitas Syaikh Yusuf Tangerang, 1992) h. 92
107
lulus tokoh-tokoh ternama di kemudian hari sebagai tokoh pahlawan
Indonesia, seperti: Zulkifli Lubis, Kemal Idris, Daan Mogot, Yono Suwoyo,
dan Supriyadi (yang dikenal sebagai perwira PETA). Pada generasi kedua
juga muncul tokoh nasional A. Kosasih (pernah menjabat Gubernur
Lemhanas) dan Umar Wira Hadikusumah (pernah menjadi Wakil Presiden
RI), mereka semua mendapatkan pendidikan militer di Tangerang
Seinendojo.52
Hal berbeda jikalau kita melihat pergerakan Kaiin Bapa Kayah di
tahun sebelumnya, mereka tidak dibekali oleh perbekalan logistik militer
yang memadai, senjata yang mereka bawa dalam pergerakan tersebut hanya
perlengkapan bela diri secara tradisional yang hanya mampu digunakan saat
para pejuang menghadapi musuh secara berhadap-hadapan. Senjata yang
mereka bawa seperti: tombak, golok, keris, dan koin sebagai jimat tidak
mampu menghadapi pistol dan senjata laras panjang yang dibawa oleh
Tentara Belanda. Selain itu, pengikut Kaiin juga tidak dibekali oleh
pengetahuan militer yang memadai, mereka hanya dilatih secara spiritual
dengan melakukan ritual doa khusus, tidak dengan strategi peperangan ala
militer.
Dari kedua hal di atas, yakni: pengetahuan militer dan logistik perang,
memang tidak dilakukan oleh pergerakan petani pimpinan Kaiin Bapa Kayah.
Dari sini nampak jelas, bahwa sang pemimpin pergerakan tidak bermaksud
mengadakan pemberontakan bersenjata, mereka hanya ingin menyampaikan
aspirasinya kepada pemerintah pusat kolonial di Batavia dan Buitenzorg, dan
sekaligus menuntut keadilan atas hak milik tanah kaum pribumi di tanah
partikelir Tangerang. Adapun senjata tradisional yang mereka bawa, hanya
dipersiapkan sebagai pertahanan diri dari gangguan aparat kolonial yang
menghambat perjuangan mereka. Sayangnya, pemerintah kolonial tidak
mengindahkan tujuan dari pergerakan Kaiin ini, hingga terjadilah peristiwa
nahas yang merenggut para pejuang Tangerang.

52
M. Dien Majid, et.al., Sejarah Kabupaten Tangerang, (Tangerang: Pemerintah
Kabupaten Daerah Tingkat II Tangerang Bekerjasama dengan Lembaga Penelitian Pengabdian
Masyarakat Universitas Syaikh Yusuf Tangerang, 1992) h. 106
108
BAB VI
PENUTUP

A. Kesimpulan

Pada bab penutup ini, penulis memberikan catatan-catatan tentang


pengharapan masyarakat terhadap juru selamat (ekspektasi mesianik) dan
juga gerakan-gerakan millenarian yang saling terkait satu dengan yang
lainnya. Keadaan, kondisi, dan jiwa zaman dimana Kaiin Bapa Kayah masih
hidup, masih diwarnai oleh kepercayaan tradisional dan mengakarnya tradisi
ramalan Jayabaya mengenai kedatangan Ratu Adil yang akan membebaskan
mereka dari penindasan, kezaliman, dan represifitas rezim yang berkuasa,
serta terwujudnya impian masa depan yang sempurna – dimana tanah-tanah
warisan nenek moyang akan kembali dimiliki para petani pribumi serta
dihapuskan pajak dan kerja-kerja yang memberatkan mereka. Adapun
kesimpulan yang dapat diambil dari Gerakan Millenarian Kaiin Bapak
Kayah di Tangerang pada tahun 1924 adalah sebagai berikut:

1. Terdapat beberapa faktor pendorong terjadinya protes sosial petani yang


dipimpin oleh Kaiin Bapa Kayah di Tangerang pada tahun 1924;
a. Protes para petani dan rakyat Tangerang sesungguhnya bersumber
pada permasalahan distribusi ekonomi dan politik yang tidak
seimbang. Di satu sisi ada kelompok yang mengalami kesulitan hidup
(kebanyakan kaum pribumi), di lain pihak kebetulan saja orang-orang
yang memiliki kuasa ekonomi di Tangerang adalah para Tuan Tanah
yang mayoritas berbangsa Tionghoa. Hal ini menepis anggapan
bahwa gerakan Kaiin Bapa Kayah dan para pengikutnya sebagai
konflik yang berbau Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA).
b. Dari Peristiwa Tangerang 1924 ini, dapat dianalisa pula terdapat
faktor deprivasi. Menurut teori Deprivasi-Relatif, munculnya
perlawanan para petani dan masyarakat pribumi karena terdapat
kelompok-kelompok masyarakat yang terdeprivasi baik karena
agama, tradisi, harta benda, dan status, mereka bersatu-padu melawan
segala bentuk penindasan yang dilakukan para penguasa tiran kala itu,
hal ini menurut David Aberle, diakibatkan karena ketidaksesuaian
negatif antara harapan yang wajar dengan kenyataannya, sehingga
terjadinya perampasan (deprivasi) atas hak-hak kaum pribumi.
2. Dari uraian pada bab-bab terdahulu, dapatlah terlihat konsep Millenarian
Kaiin Bapa Kayah merujuk kepada sumber lokal maupun referensi impor;

109
110
a. Sumber lokal, yakni kepercayaan kaum pribumi terhadap budaya dan
tradisi yang diwariskan secara turun temurun.
1) Para petani Tangerang dan pengikut pergerakan Kaiin Bapa
Kayah, mereka hidup di alam tradisional, karena itu mereka
sangat memegang adat dan sifat tradisionalistisnya, standar
normatif kehidupan di masa itu adalah norma-norma adat dan
tradisionalitas. Sehingga perubahan yang terjadi dan sistem
moderen yang dibawa oleh orang asing akan mengancam nilai-
nilai tradisional mereka. Kepercayaan kepada ramalan Jayabaya
dan pengharapan millenarian Ratu Adil merupakan bagian dari
nilai-nilai tradisionalitas. Kehadiran Ratu Adil sangat diharapkan
untuk mempertahankan status-quo (kemapanan tradisi).
2) Ide ratuadilisme (mesianisme lokal) yang merujuk kepada tradisi
lisan dan tulisan dari tokoh legendaris Jawa, raja Jayabaya, dalam
perjalanan sejarah Indonesia menjadi perekat yang sangat efektif
untuk mempersatukan kaum pribumi, khususnya kaum petani
bergerak melawan ketidakadilan, penindasan, dan ekspolitasi
yang dilakukan orang asing, pemerintah kolonial, dan sekutu
pribuminya, yang telah melecehkan dan merusak nilai-nilai
tradisional mereka.

b. Referensi impor, adalah kepercayaan kaum pribumi yang diadopsi


dari kontak budaya dan keyakinan pendatang asing (terutama dari
agama Islam, Hindu, dan Budha).
1) Kepercayaan Mahdisme (Imam Mahdi) dalam sumber asing
terutama aliran syiah dan sedikit tersamar dalam tradisi sunni.
Konsep mahdisme dalam Islam memperkuat tradisi ramalan
lokal. Konsep ini meyakini kedatangan tokoh penyelamat
sebelum terjadinya masa penghancuran zaman, hal ini mirip
tradisi “Ratu Adil” yang akan menghalau Belanda dan
menghapuskan penderitaan rakyat pribumi. Dari konsep
mahdisme, terlihat sekali pengaruh eskatologi dalam kepercayaan
Islam tentang masa penghancuran duniawi diadopsi oleh Kaiin
Bapa Kayah guna meyakini para pengikutnya agar berada dalam
barisan perjuangannya.
2) Selain itu dalam sumber Islam, Kaiin Bapa Kayah menegaskan
kepada pengikutnya bahwa protes melawan kezhaliman para tuan
tanah Tionghoa, pemerintah Belanda, dan kroninya merupakan
jihad dan kematiannya dianggap sebagai martir (Syahid).
3) Pergerakan Kaiin Bapa Kayah dalam sejumlah arsip laporan
pemerintah kolonial dan juga para pengamat dianggap sebagai
111
gerakan mesianistis. Hal ini sebagaimana disinggung oleh R.
Toewoeh, Assisten Wedana Teluknaga dalam Berita Acara yang
dibuatnya sebagai laporan kepada pemerintah kolonial dan
Sartono Kartodirdjo dalam bukunya berjudul Ratu Adil. Kedua
pernyataan tersebut mengindikasikan bahwa pemakaian gelar
seperti “Prabu Rabbul „Aalamiin”, “Sang Hyang Tunggal”,
“Sayyidina Ali”, dan “Arjuna” adalah istilah-istilah dalam agama
Islam dan Hindu-Budha, mengandung pengertian sebagai tokoh
mesianik, sakral (suci), dekat dengan Sang Pecipta dan sosok
karismatik yang memiliki ilmu lahiriyyah dan batiniyyah. Kaiin
Bapa Kayah sebagai pemimpin pergerakan memakai legitimasi
ini dari sumber-sumber keagamaan berharap kepada para petani
dan masyarakat pribumi yang lekat dengan keyakinan agamanya
agar mengikuti pergerakan mulia ini.
4) Sosok Arjuna yang diimpor dari kitab Mahabarata (kepercayaan
India), mendapat tempat pula di dalam Perjuangan Kaiin, yang
juga seorang Dalang, dimana profesi ini menjadikannya kagum
kepada tokoh pewayangan yang satu ini, sehingga turut
menginspirasi dirinya untuk melakukan perlawanan terhadap
penindasan dan kesewenangan yang dilakukan para tuan tanah
dan aparat kolonial.
3. Impian millenarian Kaiin Bapa Kayah mempengaruhi petani di
Tangerang untuk mengikuti gerakan perubahan;
a. Pendekatan yang dilakukan oleh Kaiin Bapa Kayah bersifat
tradisional. Dimana semua elemen masyarakat merasa berkewajiban
menjaga tradisi dan agama yang mereka anut. Sehingga gerakan Kaiin
untuk melawan perubahan yang terjadi dan menjanjikan zaman
sempurna yang akan mengangkat harkat dan martabat semua
penduduk dengan tatanan yang lebih adil kepada semua – mendapat
tempat di hati masyarakat.
b. Sokongan dari para pemuka agama, guru kebatinan, saudagar dan lain
sebagainya. Menandakan bahwa pergerakan ini bukan semata-mata
perlawanan kaum petani saja, tetapi juga keinginan kaum pribumi
untuk bersatu padu mencapai zaman baru yang dicita-citakan. Hal ini
melegitimasi pergerakan millenarian Kaiin Bapa Kayah, sehingga
kelompok-kelompok yang terdeprivasi menyatu dalam visi
millenarian dari pergerakan tersebut.

B. Saran
Setelah melakukan penelitian ini, maka kami anggap perlu
memberikan catatan sebagai saran kepada para pihak agar meneruskan
112
temuan-temuan dalam penelitian ini menjadi sebuah tindakan nyata dalam
penentuan-penentuan kebijakan. Adapun masukan yang kami berikan
sebagai saran adalah sebagai berikut:
1. Kepada pihak Fakultas Adab dan Humaniora, khususnya Program Studi
Sejarah Kebudayaan Islam baik di tingkat S1 maupun S2; agar
mendukung penelitian sejarah dan memfasilitasi mahasiswa dalam
melakukan studinya. Lebih kongkretnya, sesuai dengan visinya yang
ingin mengedepankan kajian Islam Nusantara, maka sudah selayaknya
kajian-kajian filologis, terutama lektur klasik Melayu untuk dikaji lebih
lanjut, hal ini dilakukan sebagai penegas atau ciri khas dari kajian sejarah
dengan institusi lainnya.
2. Kepada pemerintah daerah Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, dan
Kota Tangerang Selatan; tokoh Kaiin Bapa Kayah adalah sosok
pahlawan lokal yang layak diberi penghargaan, karena berkat
perjuangannya nama Tangerang dahulu dikenal di dunia internasional.
Karena itu, pemerintah daerah wajib menghargai jasa dan kontribusinya
yang sudah jelas, misalnya nama Kaiin Bapa Kayah dijadikan nama jalan
raya sebagaimana Tokoh Pahlawan lokal Kota Depok, Margonda.
3. Dalam menghadapi konflik agraria, pemerintah wajib mencarikan solusi
alternatif yang jitu, sebelum merebak dan menjalar kepada persoalan
SARA. Karena hal itu perlu dilihat secara matang sebab-sebab
permasalahan bukan mengkaitkan dengan suku atau etnis tertentu.

Kemudian saran bagi peneliti lain, agar melanjutkan kajian pergerakan


sosial-keagamaan melalui pendekatan multidimensional. Karena jika seorang
memakai satu pendekatan, niscaya ada satu jarak yang terpisah dalam
pengambilan kesimpulan.
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik (ed.), Sejarah Lokal di Indonesia, (Yogyakarta:


Universitas Gadjah Mada Press, 1996), Cet. Ke-4
Aberle, David, Catatan Mengenai Teori Deprivasi-Relatif Sehubungan
Dengan Gerakan Millenarian dan Gerakan Cult Lainnya, dalam
Sylvia L. Thrupp, (ed), Millenial Dreams in Action: Studies in
Revolutionary Relegions Movements, Schocken Books, New York,
1970, (terj), Gebrakan Kaum Mahdi, (Bandung: Penerbit Pustaka,
1984), h. 352-362
Adas, Michael, Prophet of Rebellion Millenarian Protest Movements against
the European Colonial Order, The University of North Carolina
Press, 1979, (terj), Ratu Adil : Tokoh dan Gerakan Millenarian
Menentang Kolonialisme Eropa, (Jakarta: Rajawali Press, 1988)
Amini, Ibrahim, Al-Imam al-Mahdi: The Just Leader of Humanity, (terj)
Imam Mahdi Penerus Kepemimpinan Ilahi Studi Komprehensif dari
Jalur Sunnah dan Syi’ah tentang Eksistensi Imam Mahdi, (Jakarta:
Islamic Center Jakarta, 2002) cet. Ke-1
Any, Andjar, Rahasia Ramalan Jayabaya Ranggawarsita dan Sabdo Palon,
(Semarang: Penerbit Aneka Ilmu, 1989)
Arsip Nasional Republik Indonesia, Laporan-laporan tentang Gerakan
Protes di Jawa pada Abad XX, Penerbitan Sumber-sumber Sejarah,
(Jakarta: ANRI, 1981)
Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara
Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII,
(Jakarta: Prenada Media Grup, 2013)
Al-Qazuraini, Al-Hafizh Abu Abdullah Muhammad Ibnu Yazid, (peny.),
Sunan Ibnu Majah, (Kairo: Darul Hadits, 1998), cet. Ke-1
Baigent, Michael, et.al., (Terj.), The Messianic Legacy: Warisan Abadi
Seorang Mesias, (Jakarta: Ramala Books, 20017), Cet. Ke-1
Berg, L.W.C van den, Orang Arab di Nusantara, (Depok: Komunitas
Bambu, 2010)
Blusse, Leonard, Persekutuan Aneh, Pemukim Cina, Wanita Peranakan, dan
Belanda di Batavia VOC, (Yogyakarta: LkiS, 2004), Cet. Ke-1
Both, Anne, et.al, Sejarah Ekonomi Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1988)
Brakel, L.F., The Story of Muhammad Hanafiyyah a Medieval Muslim
Romance, (The Hague: Martinus Nijhoff, 1977)

113
114

Brug, Peter H. van der, Batavia yang Tidak Sehat dan Kemerosotan VOC
pada Abad Kedelapan Belas, dalam Kees Grijns dan Peter J.M. Nas,
(Peny.), Jakarta Batavia Esai Sosio-Kultural, (Jakarta: Banana dan
KITLV, 2000)
Budiman, Folklore Betawi, (Jakarta: Dinas Pendidikan & Kebudayaan
Provinsi DKI Jakarta, 1979
Chaer, Abdul, Folklor Betawi: Kebudayaan dan Kehiudpan Orang Betawi,
(Jakarta: Masup Jakarta, 2012), Cet. Ke-1
Cortesao, Armando, (ed.), The Suma Oriental of Tome Pires and The Book
of Francisco Rodrigues, (Liechtenstein: Kraus Reprint Limited, 1967),
Vol. I
Dawud, Muhammad Isa, Al-Mahdi al-Muntazhar ‘ala al-Abwab: Qahir al-
Masih al-Dajjal (terj), Menyongsong Imam Mahdi Sang Penakluk
Dajjal, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002) cet. Ke-3
Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Provinsi DKI Jakarta, Bunga Rampai
Sastra Betawi, (Jakarta: Dinas Kebudayaan dan Permuseuman
Provinsi DKI Jakarta, 2002)
Ekadjati, Edi S. et.al., Sejarah kabupaten Tangerang, (Tangerang:
Pemerintah Kabupaten Tangerang, 2004)
Fang, Liaw Yock, Sejarah Kesusastraan Melayu, (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2011), Edisi I
Grijns, Kees, dan Peter J.M. Nas, (Peny.), Jakarta Batavia Esai Sosio-
Kultural, (Jakarta: Banana dan KITLV, 2000)
Guillot, Claude, Banten Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII, (Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia, 2011), Cet. Ke-2
Harapan, Anwarudin, Sejarah, Sastra, dan Budaya Betawi, (Depok: Asosiasi
Pelatih Pengembangan Masyarakat, 2006)
Hodgson, Marshall G.S., Sebuah Catatan tentang Millenium dalam Islam,
dalam Sylvia L. Thrupp, (ed), Millenial Dreams in Action: Studies in
Revolutionary Relegions Movements, (New York: Schocken Books,
1970), (terj), Gebrakan Kaum Mahdi, (Bandung: Penerbit Pustaka,
1984)
Holt, Claire (ed), Culture & Politics in Indonesia, (New York: Ithaca, 1972)
Jackson, Karl. D, Kewibawaan Tradisional, Islam dan Pemberontakan Studi
Kasus Darul Islam Jawa Barat, (Jakarta: Pustaka Utama
Grafiti,1990), Cet ke-1
115

Kartodirdjo, Sartono, Agrarian Radicalism in Java: Its Setting and


Development, dalam Claire, Holt (ed), Culture & politics in Indonesia,
(New York: Ithaca, 1972)
__________________, Pemikiran dan Perkembangan Historiografi
Indonesia Suatu Alternatif, (Jakarta: PT Gramedia, 1982)
__________________, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah,
(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993)
__________________, Ratu Adil, (Jakarta: Sinar Harapan, 1984), cet. Ke-1
Kommer, H., Tjerita Njonja Kong Hong Nio: Satoe Toean Tanah di
Babakan Afdeeling Tangerang, Betawi, (Batavia: 1900)
Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya,
1994), Cet. Ke-1
__________, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Bentang, 1995)
Lauder, Multamia R.M.T., Pemetaan dan Distribusi Bahasa-bahasa di
Tangerang, (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa,
1993)
Lohanda, Mona, Sejarah Pembesar mengatur Batavia, (Jakarta: Masup
Jakarta, 20017), Cet. Ke-1
Madjid, M. Dien dan Johan Wahyudhi, Ilmu Sejarah Sebuah Pengantar,
(Jakarta: Prenada Media Grup, 2014), Cet. Ke-1
Majid, M. Dien, et.al., Sejarah Kabupaten Tangerang, (Tangerang:
Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Tangerang Bekerjasama
dengan Lembaga Penelitian Pengabdian Masyarakat Universitas
Syaikh Yusuf Tangerang, 1992)
Malley, J.O., “Perkebunan 1830-1940: Ikhtisar”, h. 197-235, dalam Anne
Both, et.al, Sejarah Ekonomi Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1988)
Mataram, Tjantrik, Ichtiarkanlah terlaksananya Peranan Ramalan
Djojobojo dalam Revolusi Kita, (Bandung: Masa Baru, 1948), cet. ke-
3
Mukhlishah, Peranan Kaiin Bapak Kayah dalam Gerakan Sosial Petani
Tangerang terhadap Dominasi Cina Tahun 1924, (Jakarta: Skripsi
UIN Syarif Hidayatullah, 2005)
Nahdi, Saleh A, Imam Mahdi atau Ratu Adil, (Jakarta: PT. Arista
Brahmatyasa, 1992)
Nur-Karim, et.al, Kumpulan Cerita Wayang Versi Pecenongan: Suntingan
Teks, (Jakarta: Perpustakaan Nasional, 2012)
Pranoto, Suhartono W., Jawa: (Bandit-bandit Pedesaan) Studi Historis
1850-1942, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), Cet. Ke-1
116

Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto (ed.), Sejarah


Nasional Indonesia IV, (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), Edisi
Pemutakhiran
Ricklefs, M.C., Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, (Jakarta: Serambi,
2008), cet. Ke-2
Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-
Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2009), cet. Ke-2
Soesilo, Sekilas tentang Ajaran Kejawen sebagai Pedoman Hidup,
(Surabaya: CV Medayu Agung, 2000), cet. Ke-1
Suryadi, Didi, Pemberontakan Petani di Tangerang, 1924, dalam kumpulan
artikel Seminar Sejarah Nasional III, Seksi Sejarah Perlawanan
terhadap Belanda 2, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek
Inventarisasi dan Dokumen Sejarah Nasional, 1982)
Suryana, Nana, et.al., Sejarah Kabupaten Tangerang, (Tangerang: Pemda
Tk. II Tangerang dan LPPM Universitas Syaikh Yusuf Tangerang,
1992)
Thrupp, Sylvia L. (ed), Millenial Dreams in Action: Studies in Revolutionary
Relegions Movements, (New York: Schocken Books, 1970), (terj),
Gebrakan Kaum Mahdi, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1984)
Vlekke, Bernard H.M, Nusantara: Sejarah Indonesia, (Jakarta: Kepustakaan
Populer Gramedia, 2010), Cet. Ke-5
Wahid, Abdurrahman, Membaca Sejarah Nusantara, (Yogyakarta: LkiS,
2010), cet. Ke-1
Wiktorowicz, Quintan., (ed.), Aktivisme Islam: Pendekatan Teori Gerakan
Sosial, (Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama
Departemen Agama Republik Indonesia, 2007)
Winangun, Y. Wartaya, Tanah Sumber Nilai Hidup, (Yogyakarta: Kanisius,
2004)

Manuskrip dan Arsip


Muhammad Bakir bin Syafi’an bin Fadhli, Hikayat Maharaja Garabak
Jagat, (Jakarta: Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, 2014),
Nomor Panggil: ML 251
___________________________________, Wayang Arjuna, (Jakarta:
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, 2014), Nomor Panggil:
ML 244
117

___________________________________, Wayang Pandu, (Jakarta:


Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, 2014), Nomor Panggil:
ML 241
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Hikayat Muhammad Ali
Hanafiyyah, Nomor Panggil: BR 211
___________________________________, Hikayat Muhammad Ali
Hanafiyyah, Nomor Panggil: ML 184
___________________________________, Hikayat Muhammad Ali
Hanafiyyah, Nomor Panggil: ML 359
___________________________________, Hikayat Muhammad Ali
Hanafiyyah, Nomor Panggil: ML 446
___________________________________, Hikayat Muhammad
Hanafiyyah, Nomor Panggil: W 69
___________________________________, Syair Cerita Wayang, Nomor
Panggil: ML 248
Berita acara dibuat oleh Asisten Wedana Teluknaga (R. Toewoeh) mengenai
peristiwa Tangerang ttg. 10 Februari 1924, dalam Arsip Nasional
Republik Indonesia, Laporan-laporan tentang Gerakan Protes di
Jawa pada Abad XX, Penerbitan Sumber-sumber Sejarah, (Jakarta:
ANRI, 1981)
Hasil penyelidikan sebab-sebab dari peristiwa Tangerang pada tanggal 10
Februari 1924, dari Penasehat Urusan Bumiputra (R.A. Kern), 30
September 1924 dalam Arsip Nasional Republik Indonesia, Laporan-
laporan tentang Gerakan Protes di Jawa pada Abad XX, Penerbitan
Sumber-sumber Sejarah, (Jakarta: ANRI, 1981)

Ensiklopedi, Majalah, Surat Kabar dan Makalah


Cohen, Stuart Abraham B., “Eroe Tjakra”, Bijdragen tot de Taal-, Land en
Volkenkunde (BKI), No.19, 1872, h. 285-88
Ilyas, “Trend Topi Boni dalam Sejarah Perlawanan Petani Tangerang”,
Tangsel Pos, Rabu, 10 Februari 2016
Kartodirdjo, Sartono, Messianisme dan Futurisme, dalam majalah Prisma,
No.1, Januari 1984, tahun XIII
_________________, “Tjatatan tentang Segi-segi Messianistis dalam
Sedjarah Indonesia” dalam Lembaran Sedjarah, (Seksi Penelitian
Djurusan Sedjarah Fakultas Sastra dan Kebudajaan, Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta), Edisi Juni, No. 7, Tahun 1971
118

Mahasin, Aswab dan Daniel Dhakidae, “Gerakan Messianis dan Aspirasi


Petani: Sebuah Pengantar”, Prisma, edisi 1 Januari 1977, Tahun VI, h.
3-9
Rasyidi, “Imam Mahdi dan Harapan akan Keadilan”, Prisma, edisi 1 Januari
1977, Tahun VI, h. 45-7
Ricklefs, Merle Calvin dalam Agus Hidayat dan Syaiful Amin, “Menyibak
Rahasia Mantra”, Tempo, edisi 22-28 September 2003, h. 72-3
Shahab, Alwi, “Pemberontakan Tangerang 1924”, Republika, Ahad 20 April
2008, h. A 11
Subarkah, Muhammad, “Di Bawah Bayang Ratu Adil”, Republika, Senin 2
Juni 2014, h. 27
_________________, “Mitos Pemicu Gerakan Sosial”, Republika, Senin 2
Juni 2014, h. 28
Stibbe, D.G., Encyclopedie van Nederlandsch-West Indie, (1921), Jilid IV
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional,
Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2008), Cet. Ke-1, Edisi Ke-4
Utami, Kinanti Putri, Perbandingan Naskah-naskah Hikayat Muhammad
Hanafiyah, Makalah Mata Kuliah Kritik Teks, (Depok: Fakultas Ilmu
Budaya Universitas Indonesia, 2008)
Wahid, Abdurrahman, “Mahdiisme dan Protes Sosial”, Prisma, edisi 1
Januari 1977, Tahun VI, h. 63-70
Wiselius, Jacob A.B, “Djaja Baja, Zijn Leven en Profetieen”, Bijdragen tot
de Taal-, Land en Volkenkunde (BKI), No. 19, 1872, h. 172-217
Yayasan Untuk Indonesia, Ensiklopedi Jakarta, (Jakarta: Dinas Kebudayaan
dan Permuseuman Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota
Jakarta, 2005), Buku III

Sumber Gambar
Ilustrasi Gambar oleh Riki Nurcholis
Koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Pembuat Topi-topi
Pandan "Panama" (biasa disebut topi pandan), sumber foto: Dutch
East Indies, 1931, Nomor Panggil: ALBUM 60A - 901.9
Koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Pembuat topi-topi
panama di Tangerang dekat Jakarta, sumber foto: Dutch East
Indies, 1932, Nomor Panggil: ALBUM 60A - 903.10
119

Sumber Internet
http://nu.or.id
http://pelatihan-k3.com
http://pnri.go.id
http://wikipedia.co.id
120
Lampiran I

RAMALAN JAYABAYA MUSARAR1

ASMARANDANA
1. Kitab Musarar inganggit,
Duk Sang Prabu Joyoboyo,
Ing Kediri kedhatone,
Rartu agagah prakosa,
Tan ana kang malanga,
Parang muka samya teluk,
Pan sami ajrih sedaya,
2. Milane sinungan sakti,
Bathara Wisnu punika,
Anitis ana ing kene,
Ing Sang Prabu Jayabaya,
Nalikane mangkana,
Pan jumeneng Ratu Agung,
Abala para Narendra,
3. Wusnya mangkana winarni,
Lami-lami apeputra,
Jalu apekik putrane,
Apanta sampun diwasa,
Ingadekaken raja,
Pagedongan tanahipun,
Langkung arja kang nagara,
4. Maksihe bapa anenggih,
Langkung suka ingkang rama,
Sang Prabu Jayabayane,
Duk samana cinarita,
Pan arsa katamiyan,

1
Dikutip dari Any, Andjar, Rahasia Ramalan Jayabaya Ranggawarsita dan
Sabdo Palon, (Semarang: Penerbit Aneka Ilmu, 1989), h. 53-65

121
122

Raja Pandita saking Rum,


Nama Sultan Maolana,
5. Ngali Samsujen kang nami,
Sapraptane sinambrama,
Kalawan pangabektine,
Kalangkung sinuba suba,
Rehning tamiyan raja,
Lan seje jinis puniku,
Wenang lamun ngurmatana.
6. Wus lenggah atata sami,
Nuli wau agandika,
Jeng Sultan Ngali Samsujen,
“ Heh Sang Prabu Jayabaya,
Tatkalane ta iya,
Apitutur ing sireku,
Kandhane Kitab Musarar.
7. Prakara tingkahe nenggih,
Kari ping telu lan para,
Nuli cupet keprabone,
Dene ta nuli sinelan,
Liyane teka para,”
Sang Prabu lajeng andeku,
Wus wikan titah Bathara.
8. Lajeng angguru sayekti,
Sang-a Prabu Jayabaya,
Mring Sang raja panditane,
Rasane Kitab Musarar,
Wus tunumplak sadaya,
Lan enget wewangenipun,
Yen kantun nitis ping tiga.
9. Benjing pinernahken nenggih,
Sang-a Prabu Jayabaya,
Aneng sajroning tekene,
123

Ing guru Sang-a Pandita,


Tinilar aneng Kakbah,
Imam Supingi kang nggadhuh,
Kinarya nginggahken kutbah.
10. Ecis wesi Udharati,
Ing tembe ana molana,
Pan cucu Rasul jatine,
Alunga mring Tanah Jawa,
Nggawa ecis punika,
Kinarya dhuwung puniku,
Dadi pundhen bekel Jawa.
11. Raja Pandita apamit,
Musna saking palenggahan,
Tan antara ing lamine,
Pan wus jangkep ing sewulan,
Kondure Sang Pandita,
Kocapa wau Sang Prabu,
Animbali ingkang putra.
12. Tan adangu nulya prapti,
Apan ta lajeng binekta,
Mring kang rama ing lampahe,
Minggah dhateng ardi padhang,
Kang putra lan keng rama,
Sakpraptanira ing gunung,
Minggah samdyaning arga.
13. Wonten ta ajar satunggil,
Anama Ajar Subrata,
Pan arsa methuk lampahe,
Mring Sang Prabu Jayabaya,
Ratu kang namur lampah,
Tur titis Bathara Wisnu,
Njalma Prabu Jayabaya.
14. Dadya Sang Jayabaya ji,
124

Waspada reh samar-samar,


Kinawruhan sadurunge,
Lakune jagad karana,
Tindake raja-raja,
Saturute laku putus,
Kalawan gaib sasmita.
15. Yen Islama kadi nabi,
Ri Sang aji Jayabaya,
Cangkrameng ardi wus suwe,
Apanggih lawan ki Ajar,
Ajar ing gunung padhang,
Awindon tapane guntur,
Dadi barang kang cinipta.
16. Gupuh methuk ngacarani,
Wus tata dennya alenggah,
Ajar angundang endhange,
Siji nyunggi kang rampadan,
Isine warna-warna,
Sapta warna kang sesuguh,
Kawolu lawan ni endang.
17. Juwadah kehe satakir,
Lan bawang putih satalam,
Kembang melathi saconthong,
Kalawan getih sapitrah,
Lawan kunir sarimpang,
Lawan kajar sawit iku,
Kang saconthong kembang mojar.
18. Kawolu endang sawiji,
Ki Ajar pan atur sembah,
“Punika sugataningong,
Katura dhateng paduka,”
Sang Prabu Jayabaya,
Awas denira andulu,
125

Sedhet anarik curiga.


19. Ginoco ki Ajar mati,
Endhange tinuweg pejah,
Dhuwung sinarungken age,
Cantrike sami lumajar,
Ajrih dateng sang nata,
Sang Rajaputra gegetun,
Mulat solahe kang rama.
20. Arsa matur putra ajrih,
Lajeng kondur sekaliyan,
Sapraptanira kedhaton,
Pinarak lan ingkang putra,
Sumiwi munggweng ngarsa,
Angandika Sang-a Prabu,
Jayabaya mring kang putra.
21. “Heh putraningsun ta kaki,
Sira wruh solahing Ajar,
Iya kang mati dening ngong,
Adosa mring guruningwang,
Jeng Sultan Maolana,
Ngali Samsujen ta iku,
Duk maksih sami nom-noman.
126

SINOM
1. Pan iku uwis winejang,
Mring guru Pandita Ngali,
Rasane kitab Musarar,
Iya padha lawan mami,
Nangging anggelak janji,
Cupet lelakoning ratu,
Iya ing tanah Jawa,
Ingsung pan wus den wangeni,
Kari loro kaping telune ta ingwang.
2. Yen wis anitis ping tiga,
Nuli ana jaman maning,
Liyane panggaweningwang,
Apan uwus den wangeni,
Mring pandita ing nguni,
Tan kena gingsir ing besuk,
Apan talinambangan,
Dene Maolana Ngali,
Jaman catur semune segara asat.
3. Mapan iku ing Jenggala,
Lawan iya ing Kediri,
Ing Singasari Ngurawan,
Patang ratu iku maksih,
Bubuhan ingsun kaki,
Mapan ta durung kaliru,
Negarane raharja,
Rahayu kang bumi-bumi,
Pan wus wenang anggempur kang dora cara.
4. Ing nalika satus warsa,
Rusake negara kaki,
Kang ratu patang negara,
Nuli salin alam malih,
127

Ingsun nora nduweni,


Nora kena milu-milu,
Pan ingsun wus pinisah,
Lan sedulur bapa kaki,
Wus ginaib prenahe panggonan ingwang.
5. Ana sajroning kekarah,
Ing tekene guru mami,
Kang nama raja Pandita,
Sultan Maolana Ngali,
Samsujen iku kaki,
Kawruhana ta ing mbesuk,
Saturun turunira,
Nuli ana jaman maning,
Anderpati arane Kalawisesa.
6. Apan sira linambangan,
Sumilir kang naga kentir,
Semune liman pepeka,
Pejajaran kang negari,
Ilang tingkahing becik,
Nagara kramane suwung,
Miwah Yudanegara,
Nora ana anglabeti,
Tanpa adil satus taun nuli sirna.
7. Awit perang padha kadang,
Dene pametune bumi,
Wong cilik pajeke emas,
Sawab ingsun den suguhi,
Marang si Ajar dhingin,
Kunir sarimpang ta ingsun,
Nuli asalin jaman,
Majapahit kang nagari,
Iya iku Sang-a Prabu Brawijaya.
8. Jejuluke Sri Narendra,
128

Peparab Sang Rajapati,


Dewanata alam ira,
Ingaranan Anderpati,
Samana apan nenggih,
Lamine sedasa windu,
Pametuning nagara,
Wedala arupa picis,
Sawab ingsung den sguhi mring si Ajar.
9. Juwadah satakir iya,
Sima galak semu nenggih,
Curiga kethul kang lambang,
Sirna salin jaman maning,
Tanah Gelagahwangi,
Pan ing Demak kithanipun,
Kono ana agama,
Tetep ingkang amurwani,
Ajejuluk Diyanti Kalangwisaya.
10. Swidak gangsal taun sirna,
Pan jumeneng Ratu Adil,
Para wali lan pandhita,
Sadaya pan samya asih,
Pametune wong cilik,
Ingkang katur marang Ratu,
Rupa picis lan uwang,
Sawab ingsun den suguhi,
Kembang mlathi mring ki Ajar gunung padang.
11. Kaselak kampuhe bedhah,
Kekesahan durung kongsi,
Iku lambange dyan sirna,
Nuli ana jaman maning,
Kalajangga kang nami,
Tanah Pajang kuthanipun,
Kukume telad Demak,
129

Tan tumurun marang siwi,


Tigangdasa enem taun nuli sirna.
12. Semune lambang Cangkrama,
Putung ingkang watang nenggih,
Wong ndesa pajege sandhang,
Picis ingsun den suguhi,
Iya kajar sauwit,
Marang si Ajar karuhun,
Nuli asalin jaman,
Ing Mataram kang nagari,
Kalasakti Prabu Anyakrakusumo.
13. Kinalulutan ing bala,
Kuwat prang ratune sugih,
Keringan ing nungsa Jawa,
Tur iku dadi gegenti,
Ajar lan para wali,
Ngulama lan para nujum,
Miwah para pandhita,
Kagelung dadi sawiji,
Ratu dibya ambeg adil paramarta.
14. Sudibya apari krama,
Alus sabaranging budi,
Wong ciliki wadela reyal,
Sawab ingsun den suguhi,
Arupa bawang putih,
Mring ki Ajar iku mau,
Jejuluke negara,
Ratune ingkang miwiti,
Sarukalpa semune lintang sinipat.
15. Nuli kembang sempol tanpa,
Modin sreban lambang nenggih,
Panjenengan kapit papat,
Ratune ingkang mekasi,
130

Apan dipun lambangi,


Kalpa sru kanaka putung,
Satus taun pan sirna,
Wit mungsuh sekuthu sami,
Nuli ana nakoda dhateng merdagang.
16. Iya aneng tanah Jawa,
Angempek tanah sethithik,
Lawas-lawas tumut aprang,
Unggul sasolehe nenggih,
Kedhep neng tanah Jawi,
Wus ngalih jamanireku,
Maksih turun Mataram,
Jejuluke kang negari,
Nyakrawati kedhatone tanah Pajang.
17. Ratu abala bacingah,
Keringan ing nuswa Jawi,
Kang miwiti dadi raja,
Jejuluke Layon Keli,
Semu satriya brangti,
Iya nuli salin ratu,
Jejuluke sang nata,
Semune kenya musoni,
Nora lawas nuli salin panjenengan.
18. Dene jejuluke nata;
Lung gadung rara nglingkasi,
Nuli salin gajah meta,
Semune tengu lelaki,
Sewidak warsa nuli,
Ana dhawuhing bebendu,
Kelem negaranira,
Kuwur tataning negari,
Duk semana pametune wong ing ndesa.
19. Dhuwit anggris lawan uwang,
131

Sawab ingsun den suguhi,


Rupa getih mung sapitrah,
Nuli retu kang nagari,
Ilang barkating bumi,
Tatane Parentah rusuh,
Wong cilik kesrakatan,
Tumpa-tumpa kang bilahi,
Wus pinesthi nagri tan kena tinambak.
20. Bojode ingkang negara,
Narendra pisah lan abdi,
Prabupati sowang-sowang,
Samana ngalih nagari,
Jaman kutila genti,
Kara murka ratunipun,
Semana linambangan,
Dene Maolana Ngali,
Panji loro semune Pajang Mataram.
21. Nakoda melu wasesa,
Kaduk bandha sugih wani,
Sarjana sirep sadaya,
Wong cilik kawelas asih,
Mah omah bosah-basih,
Katarajang marga agung,
Panji loro dyan sirna,
Nuli Rara ngangsu sami,
Randha loro nututi pijer tetukar.
22. Tan kober paes sarira,
Sinjang kemben tan tinolih,
Lajengipun sinung lambang,
Dene Maolana Ngali,
Samsujen Sang-a Yogi,
Tekane Sang Kala Bendu
Ing Semarang Tembayat,
132

Poma den samya ngawruhi,


Sasmitane lambang kang kocap punika.
23. Dene pajege wong ndesa,
Akeh warninira sami,
Lawan pajeg mundak-mundak,
Yen panen datan maregi,
Wuwuh suda ing bumi,
Wong dursila saya ndarung,
Akeh dadi durjana,
Wong gedhe atine jail,
Mundhak tahun mundhak bilaining praja.
24. Kukum lan yuda nagara,
Pan nora na kang nglabeti,
Salin-salin kang parentah,
Aretu patraping adil,
Kang bener-bener kontit,
Kang bandhol-bandhol pan tulus,
Kang lurus-lurus rampas,
Setan mindha wahyu sami,
Akeh lali mring Gusti miwah wong tuwa.
25. Ilang kawiranganingdyah,
Sawab ingsun den suguhi,
Mring ki Ajar Gunung Padang,
Arupa endang sawiji,
Samana den etangi,
Jaman sewu pitung atus,
Pitung puluh pan iya,
Wiwit prang tan na ngaberi,
Nuli ana lamate negara rengka.
26. Akeh ingkang gara-gara,
Udan salah mangsa prapti,
Akeh lindhu lan grahana,
Dalajate salin-salin,
133

Pepati tanpa aji,


Anutug ing jaman sewu,
Wolong atus ta iya,
Tanah Jawa pothar-pathir,
Ratu Kara Murka Kuthila pan sirna.
27. Dene busuk nuli ana,
Tekane kang Tunjung Putih,
Semune pudhak kasungsang,
Bumi Mekah dennya lair,
Iku kang angratoni,
Jagad kabeh ingkang mengku,
Juluk Ratu Amisan,
Sirep musibating bumi,
Wong nakoda milu manjing ing samuwan,
28. Prabu tusing waliyulah,
Kadhatone pan kekalih,
Ing Mekah ingkang satunggal,
Tanah Jawi kang sawiji,
Prenahe iku kaki,
Perak lan gunung Perahu,
Sakulone tempuran,
Balane samya jrih asih,
Iya iku ratu rinenggeng sajagad.
29. Kono ana pangapura,
Ajeg kukum lawan adil,
Wong cilik pajege dinar,
Sawab ingsun den suguhi,
Iya kembang saruni,
Mring ki Ajar iku mau,
Ing nalika semana,
Mulya jenenging narpati,
Tur abagus eseme lir madu puspa.
134

DANDANGGULA
1. Langkung arja jamane narpati,
Nora nana pan ingkang nanggulang,
Wong desa iku wadale,
Kang duwe pajeg sewu,
Pan sinuda dening Narpati,
Mung metu satus dinar,
Mangkana winuwus,
Jamanira pan pinetang,
Apan sewu wolungatus anenggih,
Ratune nuli sirna.
2. Ilang tekan kandhatone sami,
Nuli rusak iya nungsa Jawa,
Nora karuwan tatane,
Pra nayaka sadarum,
Miwah manca negara sami,
Pada sowang-sowangan,
Mangkana winuwus,
Mangkana Allahu Tangala,
Anjenengken Sang Ratu Asmarakingkin,
Bagus maksih taruna,
3. Iku mulih jenenge Narpati,
Wadya punggawa sujud sadaya,
Tur padha rena prentahe,
Kadhatone winuwus,
Ing Kediri ingkang satunggil,
Kang siji tanah Ngarab,
Karta jamanipun,
Duk semana pan pinetang,
Apan sewu lwih sangang atus anenggih,
Negaranira rengka.
4. Wus ndilalah kersaning Hyang Widhi,
Ratu Peranggi anulya prapta,
135

Wadya tambuh wilangane,


Prawirane kalangkung,
Para ratu kalah ngajurit,
Tan ana kang nanggulang,
Tanah Jawa gempur,
Wus jumeneng tanah Jawa,
Ratu Prenggi ber budi kras anglangkungi,
Tetep neng tanah Jawa.
5. Enengena Sang Nateng Parenggi,
Prabu ing Rum ingkang ginupita,
Lagya siniwi wadyane,
Kya patih munggweng ngayun,
Angandika Sri Narapati,
“Heh patih ingsun myarsa,
Tanah Jawa iku,
Ing mangke ratune sirna,
Iya perang klawan Ratu Parenggi,
Tan ana kang nanggulang.
6. Iku patih mengkata tumuli,
Anggawaa ta sabalanira,
Poma tundungen den age,
Yen nora lunga iku,
Nora ingsun lilani mulih”,
Ki Patih sigra budal,
Saha balanipun,
Ya ta prapta Tanah Jawa,
Raja Prenggi tinundhung dening ki patih,
Sirna sabalanira.
7. Nuli rena manahe wong cilik,
Nora ana kang budi sangsaya,
Sarwa murah tetukone,
Tulus ingkang tinandur,
Jamanira den jujuluki,
136

Gandrung-gandrung neng marga,


Andulu wong gelung,
Kekendon lukar kawratan,
Keris parung dolen tukokena nuli,
Campur bawur mring pasar.
8. Sampun tutug kalih ewu warsi,
Sunya ngegana tanpa tumingal,
Ya meh tekan dalajate,
Yen kiamat puniku,
Ja majuja tabatulihi,
Anuli larang udan,
Angin topan rawuh,
Tumangkeb sabumi alam,
Saking kidul wetan ingkang andatengi,
Ambedol ponang arga.
137

Lampiran II

HIKAYAT MUHAMMAD ALI AL-HANAFIYYAH1

Nomor Panggil: W 69, h. 90

Nomor Panggil: W 69, h. 91

1
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Hikayat Muhammad Ali
Hanafiyyah, Nomor Panggil: W 69
138

Nomor Panggil: W 69, h. 122

Nomor Panggil: W 69, h. 123


139

Nomor Panggil: W 69, h. 124

Nomor Panggil: W 69, h. 125


140
141

Lampiran III

WAYANG ARJUNA1

Nomor Panggil: ML 244, h. 42-43

Nomor Panggil: ML 244, h. 66-67

1
Muhammad Bakir bin Syafi’an bin Fadhli, Wayang Arjuna, (Jakarta:
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, 2014), Nomor Panggil: ML 244
142

Nomor Panggil: ML 244, h. 68-69

Nomor Panggil: ML 244, h. 80-81


143

Nomor Panggil: ML 244, h. 84-85

Nomor Panggil: ML 244, h. 88-89


144
145

Lampiran IV

WAYANG PANDU1

Nomor Panggil: ML 241, h. 194-195

Nomor Panggil: ML 241, h. 196-197

1
Muhammad Bakir bin Syafi’an bin Fadhli, Wayang Pandu, (Jakarta:
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, 2014), Nomor Panggil: ML 241
146

Nomor Panggil: ML 241, h. 198-199


147

Lampiran V

Berita Acara Asisten Wedana Teluknaga (R. Toewoeh)1

1
Berita acara dibuat oleh Asisten Wedana Teluknaga (R. Toewoeh) mengenai
peristiwa Tangerang ttg. 10 Februari 1924, dalam Arsip Nasional Republik Indonesia,
Laporan-laporan tentang Gerakan Protes di Jawa pada Abad XX, Penerbitan Sumber-sumber
Sejarah, (Jakarta: ANRI, 1981), h. 75-77
148
149
150

Lampiran VI

Hasil Penyelidikan Penasehat Urusan Bumiputra (R.A. Kern)1

1
Hasil penyelidikan sebab-sebab dari peristiwa Tangerang pada tanggal 10
Februari 1924, dari Penasehat Urusan Bumiputra (R.A. Kern), 30 September 1924 dalam
Arsip Nasional Republik Indonesia, Laporan-laporan tentang Gerakan Protes di Jawa pada
Abad XX, Penerbitan Sumber-sumber Sejarah, (Jakarta: ANRI, 1981), h. 75-77
151
152
153
154
155
156
157
158
159
160
161
162
163
164
165
166
167
168

Lampiran VII

Foto Para Pekerja Pembuat Topi Anyaman Bambu di


Tangerang (Sumber Foto: Majalah Dutch East Indies
1931 Repro Perpustakaan Nasional Republik
Indonesia)

Foto Pembuat Topi Anyaman Bambu di Tangerang


(Sumber Foto: Majalah Dutch East Indies 1932 Repro
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia)
169

Lampiran VIII

Foto Makam Raden Bagong, di Kampung Parung Kored, Pondok


Bahar, Karang Tengah, Kota Tangerang (Dokumen Pribadi)
170

Lampiran IX
171

Lampiran X
172
173

Lampiran XI

Lokasi Peristiwa Tanah Tinggi 10 Februari 1924

Jalan Utama Tanah Tinggi, sekarang Jalan Jenderal Sudirman,


tampak komplek Pemerintahan Kota Tangerang

Jalan Utama Tanah Tinggi, bagian atas dari arah Batu Ceper
(Prapatan Jembatan Tanah Tinggi) menuju Prapatan Komplek
Pemerintahan Kota Tangerang
174

Lampiran XII

Lokasi Peristiwa Tanah Tinggi 10 Februari 1924

Jalan Utama Tanah Tinggi, Pasar Induk Beras dekat Komplek


Pemerintahan Kota Tangerang

Jalan Utama Tanah Tinggi, Pasar Induk Sayur-Mayur


berseberangan dengan Pasar Induk Beras
175

Lampiran XIII

Lokasi Peristiwa Tanah Tinggi 10 Februari 1924

Jalan Utama Tanah Tinggi, jalan sebelah kiri menuju Pasar


Tanah Tinggi dan Stasiun Kereta Tanah Tinggi. Sebelah kanan
menuju Prapatan Komplek Pemerintahan Kota Tangerang
176

Lampiran XIV

Lokasi Peristiwa Tanah Tinggi 10 Februari 1924

Kereta dari arah barat (Anyer) menuju timur (Stasiun Tanah Tinggi)

Kereta dari arah timur (Stasiun Tanah Tinggi) menuju barat (Anyer)

Anda mungkin juga menyukai