Anda di halaman 1dari 26

TRAINING DESIGN (DESAIN PELATIHAN)

Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah


Teknologi Kinerja dan Pengelolaan Diklat
yang Diampu Oleh Prof. Dr. Mustaji, M.Pd

Disusun oleh:
1. NOER FITRIYANTI 21070905003
2. MOH. RIZQI HIDAYAT 21070905006

PROGRAM STUDI S2 TEKNOLOGI PENDIDIKAN


PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
2022
Chapter 5. Training Design

A. Tujuan Pembelajaran
Setelah membaca bab ini, diharapkan Anda mampu:
 Mengidentifikasi tiga masalah yang mungkin dihadapi HRD dalam mendesain
pelatihan dan apa yang harus dilakukan untuk mengatasinya
 Menjelaskan tujuan pembelajaran, kriteria evaluasi, dan manfaat mengembangkan
tujuan
 Menyebutkan alasan mengapa tujuan tersebut menguntungkan peserta pelatihan,
perancang pelatihan, pelatih, dan evaluator pelatihan
 Menggunakan teori harapan (expectancy) untuk menjelaskan bagaimana memotivasi
peserta pelatihan untuk mengikuti pelatihan
 Menjelaskan teori belajar sosial dan bagaimana teori ini mendukung desain pelatihan
 Mengidentifikasi komponen-komponen pelatihan dalam memfasilitasi transfer
pelatihan ke dunia kerja
 Mengidentifikasi umpan balik yang dapat diberikan supervisor, teman sebaya, dan
pelatih dalam membantu menttransfer pelatihan
 Menjelaskan hubungan antara teori desain pembelajaran Gagne-Briggs dan teori
belajar sosial
 Menggunakan teori elaborasi dan teori desain pembelajaran Gagne-Briggs untuk
mendesain sesi pelatihan
 Menjelaskan keuntungan pentingnya perusahaan kecil memfasilitasi pelatihan

Teknologi Kinerja Dan Pengelolaan Diklat | Training Design 1


B. Pengantar Desain Pelatihan
Mendesain pelatihan merupakan sebuah proses identifikasi spesifikasi perangkat
yang dibutuhkan dalam mengembangkan rancangan modul pelatihan. Desain pelatihan
menyusun panduan-panduan yang harus diikuti saat menyusun isi, materi dan kegiatan
pembelajaran dalam pelatihan. Untuk mendesain pelatihan dapat mengikuti pertanyaan-
pertanyaan berikut:
 Mengapa pelatihan dibutuhkan?
 Siapa yang akan dilatih?
 Apa tujuan pelatihan dan metode apa yang akan digunakan?
 Kapan dan dimana plekasanaannya?
 Panduan apa yang akan digunakan untuk memfasilitasi pembelajarannya dan
mantransfernya ke dalam pekerjaan?

Hasil analisis kebutuhan pelatihan (TNA, Training Need Analysis), masalah-masalah


organisasi dan teori belajar merupakan input dalam desain program pelatihan. Masukan-
masukan tersebut digunakan untuk menentukan tujuan pembelajaran – yang merupakan
bagian dari proses. TNA digunakan untuk menentukan faktor yang akan memfasilitasi
pembelajaran dan transfer pelatihan. Teori belajar digunakan untuk mengidentifikasi cara
terbaik memfasilitasi pembelajaran dan transfer.
Kesimpulannya, kebutuhan pelatihan dan pemahaman mengenai masalah-masalah
yang ditempatkan pada proses pelatihan merupakan input pertama dalam fase pertama
desain – yaitu mengembangkan tujuan pembelajaran. Tujuan yang dikembangkan
kemudian digunakan untuk memandu fase-fase berikutnya (pengembangan, implementsi,
dan evaluasi). Kita membuat keputusan tentang fasilitasi pembelajaran terbaik dan
menginegrasikan teori belajar ke dalamnya untuk memenuhi tujuan pelatihan yang
mereka butuhkan. Kemudian, tahap selanjutnya adalah mengembangkan pelatihan yang
tepat dengan mempertimbangkan masalah-masalah organisasional (uang, waktu, fasilitas,
dll). Sebagai contoh, anggaplah bagian HRD telah melengkapi TNA yang
mengidentifikasi kalau supervisor membutuhkan pelatihan keterampilan komunikasi
yang efektif. Tujuan pelatihan dikembangkan berdasarkan KSA (Knowledge, Skill,
Affecteive) yang dibutuhkan dalam mencapai kinerja yang efektif. Tujuan-tujuan ini akan
mengidentifikasi apa yang akan dicapai oleh pelatihan tersebut. Namun, sebelum
mengembangkan tujuan, perlu diperhatikan masalah-masalah organisasi (supaya dapat
mengembangkan tujuan yang realistis). Berikut hal-hal yang perlu diperhatikan:

Teknologi Kinerja Dan Pengelolaan Diklat | Training Design 2


 Alokasi waktu pelatihan
 Jumlah peserta pelatihan
 Jadwal pelatihan – jam kerja atau di luar jam kerja
 Pelatihan sukarela atau pelatihan wajib
 Lokasi pelatihan
 Identifikasi panitia program pelatihan
 Sumber dana yang dibutuhkan

C. Masalah-masalah organisasional (Organizational Constraints)


Idealnya, pelatihan dikembangkan berdasarkan segala kebutuhan yang sudah
teridentifikasi. Supervisor yang menginginkan pelatihan komunikasi efektif, dapat
mengembangkan pelatihan intensif selam 2 minggu dengan metode paling efektif dan
banyak praktik. Namun kenyataannya tidak demikian, masalah-masalah dalam desain
pelatihan perlu dipertimbangkan karena akan mempengaruhi tipe pelatihan yang akan
ditawarkan. Tabel berikut adalah masalah-masalah organisasional dan penanganannya.
Masalah Organisasional Saran Penanganan
Kebutuhan simulasi tingkat tinggi karena:  Perusahaan membutuhkan waktu
 Hukum (latihan menghadapi simulasi yang lebih lama/bermain
kebakaran) peran
 Tugas yang sangat dibutuhkan dalam  Membeli simulator
pekerjaan (latihan menembak bagi
polisi)
 Kesalahan-kesalahan fatal (pilot
pesawat)
Peserta pelatihan yang berbeda-beda: Modularisasi (proses membagi sebuah
 Pengalaman program menjadi modul-modul)
 Tingkat kemampuan Instruksi terprogram – interaksi
 Campuran antara pekerja lama dan pelatih dan peserta
baru Program pelatihan yang berbeda,
karena adanya kemugkinan transfer
negatif bagi pekerja lama
Jeda yang lama antara akhir waktu pelatihan Praktik pada saat jeda untuk
dengan penggunaan keterampilan di memberikan penyegaran.
pekerjaan.
Waktu yang pendek Memanfaatkan konsultan eksternal atau
paket pelatihan
Jenis pelatihan yang bias (misal. Role-play) Menggunakan metode lain
Peserta pelatihan sedikit Pelatiihan berbasis elektronik
Organisasi kecil dengan dana terbatas Menyewa konsultan atau membeli
pelatihan

Teknologi Kinerja Dan Pengelolaan Diklat | Training Design 3


Prioritas Organisasi
Apabila sebuah organisasi tidak memiliki rencana strategis yang jelas, manajer
tertinggi HR dapat menyusun prioritas bersama eksekutif senior untuk menentukan
bagaimana menempatkan sumber daya yang sesuai dengan tujuan perusahaan.
Keuntungan lain dari ini adalah dapat merangsang top manajemen untuk terlibat dalam
merencanakan strategi.
Kemutakhiran teknologi yang dimiliki organisasi juga akan mempengaruhi tipe
pelatihan. Jika misalnya sebuah perusahaan memiliki cabang di banyak lokasi, dan tiap
lokasi memiliki akses jaringan komputer, maka tipe pelatihan yang ditawarkan akan
berbeda dengan perusahaan yang tidak memiliki kemampuan ini.
Memutuskan prioritas pelatihan juga harus mengikuti aturan. Sebagai contoh, sebuah
studi tahun 2010 mencatat 90% organisasi yang disurvei memberikan pelatihan wajib
atau pelengkap. Sekitar 60% dari pelatihan ini diberikan secara daring

Anggaran Pelatihan
Proses penganggaran yang disajikan di sini dari perspektif HRD. Dalam beberapa
kasus HRD diharapkan untuk mememasrkan pelatihan mereka di luar dan di dalam
organisasi. Proses penganggaran kurang lebih sama dengan konsultan di luar yang
mengikuti lelang sebuah projek. Sehingga ketika memberika estimasi, perlu
mempertimbangkan sumber daya dan seakurat mungkin.
Dalam membuat penganggaran sebuah program pelatihan, tidak mudah untuk
menghitung biaya pelatihan secara akurat. Karena estimasi anggaran seringkali dilakukan
sebelum analisis kebutuhan, menyajikan anggaran dalam beberapa skenario sangat
membantu bagi pembuat keputusan. Sebelum TNA dibuat, biaya pelatihan belum bisa
diperkirakan. Kemudian, bagaimana memulainya? Konsultan menawarkan TNA dengan
biaya tertentu, kemudian memberikan penjelasan kepada perusahaan apa saja yang
dibutuhkan untuk sebuah pelatihan. Untuk menghindari isu etika, konsultan memberikan
penawaran pelatihan yang dihasilkan dari TNA. Penawaran ini lebih akurat karena isu-
isu teridentifikasi begitu juga tipe pelatihannya.
Setelah menetapkan tujuan pelatihan, selanjutnya memperkirakan durasi yang
dibutuhkan untuk pelatihan. Semakin akurat memperkirakan waktunya maka semakin
akurat pembiayaannya. Lama program pelatihan seringkali digunakan untuk
memperkirakan berapa waktu persiapannya. Rasio waktu persiapan dengan lama

Teknologi Kinerja Dan Pengelolaan Diklat | Training Design 4


pelatihan berkisar 10:1, jika materi sudah siap, hingga 300:1 jika berbasis komputer,
dimana multimedia sudah siap.
Untuk membuat kalkulasi kasar jumlah waktu yang dibutuhkan untuk
mengembangkan pelatihan, dapat dimulai dengan mengestimasi jumlah hari yang
dibutuhkan pelatihan. Hal ini berdasarkan jumlah materi yang harus terkover. Namun,
kadang kala perusahaan akan membatasi jumlah hari atau jam pelatihan, kemudian
mengalikan 2 untuk perancangan dan pengembangan. Selanjutnya, memfaktorkan
seberapa terampil desainer dan developernya dan kemampuan akan pemahaman
materinya. Lingkari jumlah di kolom kana baris ke 2 dan 3 yang akan menjadi estimasi
terbaik. Kemudian mengalikan angka di baris 1 – 3 untuk mendapatkan perkiranan D/D
dan masukkan angka di baris M. Pada item 4 – 10 tulis angkanya; estimasi terbaik
menurut anda. Lalu, tambahkan angka yang ditulis pada baris 4 – 10, dan letakkan angka
dengan spasi pada (A), jumlah hari tambahan yang dibutuhkan. Tambahkan angka ini
pada angka kalkulasi M. Maka, itulah jumlah perkiraan hari yang dibutuhkan.

Teknologi Kinerja Dan Pengelolaan Diklat | Training Design 5


Kalkulasi sederhana biaya pelatihan dihitung berdasarkan informasi di atas. Jumlah
biaya ditambahkan 10% dari total biaya untuk biaya tak terduga. Biaya juga sudah
termasuk honor pelatih. Berikut perkiraan biaya berdasarkan informasi di atas:

Peserta Pelatihan
Bagaimana jika TNA mengidentifikasi terdapat dua atau lebih subgrup dengan dua
tujuan pelatihan yang sama namun berbeda tingkat pegetahuan, keterampilan dan
sikapnya? Mengembangkan satu program tunggal bukan hal mudah. Kembali pada
contoh supervisor yang membutuhkan pelatihan komunikasi, bagaimana jika TNA
mengindikasikan bahwa setengah dari mereka sebelumnya pernah menerima pelatihan
active listening dan dianggap telah mahir? Maka model pelatihan komunikasi aktif

Teknologi Kinerja Dan Pengelolaan Diklat | Training Design 6


meliputi lima tahap, di mana tahap pertama adalah active listening. Pelatihan dirancang
dalam bentuk modular yang menggunakan modul relevan untuk masing-masing subgrup.

Kadangkala kebutuhan analisis mengidentifikasi KSA sasaran yang luas variasinya.


Dalam kasus seperti ini, desain pelatihan dapat menyediakan pembelajaran individual
(mandiri) melalui pembelajaran berbasis komputer atau video, meskipun untuk
mengembangkannya membutuhkan waktu lama. Alternatif lainnya adalah pembentukan
kelas kecil dengan interaksi tingkat tinggu antara instruktur dengn peserta.

Seringkali, peserta pelatihan memiliki gaya belajar yang berbeda-beda. Gaya belajar
yang berbeda-beda ini juga perlu dipertimbangkan dalam mendesain pelatihan. Dalam
bebebrapa contoh yang mungkin ditemukan, peserta pelatihan merasa kurang nyaman
dengan teknik pelatihan tertentu. Salah satu cara untuk mengatasi hal ini adalah
menggunakan teknik yang lebih sesuai dengan kebutuhan. Kadang juga ditemukan
banyak manajer tidak menginginkan pelatihan dalam bentuk role-play. Menurut mereka
hal ini seperti melakukan sesuatu yang konyol atau teknik ini tidak akan pernah berhasil.
Satu-satunya cara untuk mengatasi hal ini adalah menggantinya dengan istilah yang
berbeda. Istilah play, bagi beberapa orang, dianggap pembelajaran yang tidak serius.
Padahal dengan teknik ini, peserta dapat melakukan “praktik perilaku. Mengganti istilah
dilakukan agar lebih berterima bagi peserta pelatihan. Intinya di sini adalah, melalui
analisis kebutuhan, akan ditemukan bahwa sebuah teknik tidak disukai karena
pengalaman masa lalu atau dari mulut ke mulut, oleh sebab itu desain pelatihan perlu
mengubah persepsi atau mengubah metode yang sebaiknya digunakan.

Masalah organisasi memberi dampak nyata pada pengembangan tujuan pelatihan.


Seperti disebutkan di awal, akan sangat mengagumkan jika dapat memberikan pelatihan
yang sempurna yang dapat memuaskan kebutuhan pelatihan. Sayangnya, beberapa
masalah perlu dihadapi, oleh sebab itu tujuan pelatihan harus disusun secara realistis
dapat dicapai. Prioritas organisasi, angaran yang tersedia, karakter pekerja yang
membutuhkan pelatihan dll. menjadi batasan bagi apa yang akan dicapai. Sehingga,
apabila cara mengakomodasi masalah organisasi sudah ditemukan dan memahami apa
yang ingin dicapai, maka kita dapat menyusun pernyataan tujuan pelatihan yang jelas dan
menentukan panduan bagaimana mengembangkan program pelatihan

Teknologi Kinerja Dan Pengelolaan Diklat | Training Design 7


D. Mengembangkan Tujuan (Developing Objectives)
Istilah training objectives (tujuan pelatihan) memiliki makna semua tukuan yang
dikembangkan untuk program pelatihan. Pada umumnya ada empat jenis tujuan
pelatihan: reaction (reaksi), learning (belajar), transfer of training (mentransfer
pelatihan), dan organizational outcome (dampak kepada organisasi). Tujuan reaksi
adalah tujuan yang dirancang untuk bagaimana perasaan peserta mengenai pelatihan dan
lingkungan belajar mereka. Tujuan belajar berkaitan dengan KSA yang akan dicapai
serta bagaimana pelaksanaan pembelajaran. Tujuan mentransfer pelatihan menjelaskan
perubahan perilaku yang diharapkan terjadi sebagai hasil dari mentransfer KSA yang
diperoleh dalam pelatihan pada pekerjaan peserta pelatihan. Tujuan Organizational
outcome menjelaskan dampak yang diharapkan oleh organisasi dari perubahan perilaku
kerja trainee sebagai hasil dari belajar. Idealnya program pelatihan akan mengembangkan
empat tujuan tersebut.

Menciptakan tujuan (creating objectives)


TNA adalah bagian penting penentu tujuan pelatihan. Hasil analisis organisasi,
operasional, dan individu digunakan untuk mengidentifikasi kesenjangan kinerja yang
harus diatasi dengan pelatihan serta mengidentifikasi KSA yang menjadi penyebab
kesenjangan tersebut.
Dari informasi ini, kita menetapkan tujuan pembelajaran, transfer tujuan pelatihan,
dan tujuan dampak organisasi. Tujuan reaksi trainee dapat dikaitkan dengan analisis
personal tapi juga menjadi aspek kunci dalam desain dan pengembangan pelatihan seperti
kepuasan akan nilai dan relevansi pelatihan.
Meskipun isi dari setiap tujuan itu berbeda-beda, struktur dan proses pengembangan
pernyataan tujuannya sama. Tujuan yang baik memiliki tiga komponen:
1. Desired outcome: Apa yang diharapkan?
2. Condtions: Syarat yang dipenuhi agar harapan dapat terwujud?
3. Standards: Kriteria yang menandai dampak tersebut?

Menyusun tujuan yang baik tidak mudah. Yang perlu diperhatikan adalah
memastikan tiga komponen tersebut tidak ambigu dan mencakup seluruh harapan.

Teknologi Kinerja Dan Pengelolaan Diklat | Training Design 8


Dampak yang Diharapkan : Perilaku
Perilaku yang diharapkan harus dikatakan dengan jelas dan tidak ambigu. Siapapun
yang membaca tujuan tersebut akan paham apa yang akan diperoleh si pebelajar setelah
mendemostrasikan dan memperoleh KSA. Tujuan pembelajaran seperti, “setelah
menyelesaikan pelatihan ini, trainee memahami bagaimana menyambung kawat listrik”
ambigu. Pernyataan tersebut tidak mampu menspesifikasi perilaku yang harus “dipahami:
trainee. Kalimat tujuan perilaku bukan hanya tentang apa yang dipelajari tapi juga
bagaimana mendemonstrasikannya. Pernyataan tersebut akan lebih jelas bila dinyatakan
dengan “mampu menyambung kawat listrik segala ukuran.” Pernyataan ini
mengindikasikan kemampuan yang harus dicapai trainee pada akhir pelatihan. Contoh
lain: “Trainee mampu membedakan (dengan menyortir ke dalam dua tumpukan) antara
chip komputer yang sesuai dengan spesifikasi dan yang tidak.” Di sini perilakunya jelas,
tetapi bukan tentang bagaimana membedakanchip komputer. Apakah trainee mengetahui
ukuran kawat? Apakah mereka mampu membedakan chip hanya dengan melihat saja?
Dalam pernyataan tersebut tidak disebutkan kondisinya.

Kondisi
Untuk menjelaskan tujuan diperlukan kondisi bagaimana perilaku itu akan dicapai.
Dalam contoh sebelumnya, tidak jelas, alat bantu apa yang disediakan untuk menentukan
chip komputer yang mana yang sesuai dengan spesifikasi. Dengan memberikan kondisi,
tujuan menjadi lebih jelas: “dengan menggunakan ohmmeter dan tabel, trainee mampu
membedakan (dengan menyortir menjadi dua tumpukan) antar chip komputer yang sesuai
spesifikasi dan yang tidak.”
Saat merumuskan tujuan perlu diberikan deskripsi kondisi (dengan atau tanpa
bantuan). Sebagai contoh, pernayataan “dengn menggunakan ohmmeter” yang
menunjukkan adanya bantuan kondisi. Jika tujuan diawali dengan frase “tanpa
penggunaan bahan,”, jelas trainee tidak disediakan bantuan.
Merumuskan kondisi dibutuhkan untuk beberapa kasus, tetapi kadang tidak. Dalam
contoh berikut, penting untuk mengetahui bahwa diagram lingkaran dikembangkan
dengan menggunakan software tertentu: “disajikan hasil masalah penghitungan dalam
diagram lingkaran, dengan menggunakan software Harvard Graphics.” Tujuan seringkali
dimulai dengan frase, “setelah menyelesaikan pelatihan, trainee dapat ….” Ini merupakan
kondisi, sebagaimana dikemukakan sebelumnya. Namun demikian, untuk tujuan transfer
pelatihan dan organisasi, poin tujuan yang ingin dicapai dan diukur biasanya tidak terjadi

Teknologi Kinerja Dan Pengelolaan Diklat | Training Design 9


sampai pelatihan selesai, sehingga dapat disimpulkan dalam tujuan ini. Sebagai contoh,
tujuan transfer dapat dirumuskan sebagai berikut: “Enam minggu setelah menyelesaikan
pelatihan, tingkat kesalahan menyortir chip komputer berkurang dari 3 % menjadi kurang
dari 0.01 persen.” Kondisi bisa dimasukkan hanya jika membantu mengklarifikasi apa
yang dibutuhkan.

Standar
Standar adalah kriteria keberhasilan. Tiga potensi standar adalah akurasi, kualitas,
dan kecepatan. Sebagai contoh, tujuan pembelajaran mendefinisikan akurasi dengan
“mampu membaca altimeter dengan tingkat kesalahan tidak lebih dari 3 meter.” Standar
kualitas diindikasikan dengan pernyataan, “dengan spesifikasi mesin 99.9 persen.” Atau
jika terkait dengn kecepatan, “diselesaikan dalam waktu kurang dari 15 menit.”
Berikut beberapa contoh tujuan pembelajaran untuk teknisi telpon. Perilaku yang
diharapkan adalah yang ditebalkan, kondisi dicetak miring, dan standard digaris bawahi.
Dengan menggunakan drop wire, bushing, dan connector, tapi tanpa manual. trainee
dapat menyambungkan kawat sesuai dengan standar dalam manual
Dengan menggunakan harness dan spike standar, trainee mampu mendaki tiang
telpon dalam waktu 15 menit, mengikuti seluruh prosedur keamanan
Trainee mampu menyambung, sesuai dengan kode, enam set kawat dalam waktu 10
menit saat berada di puncak tiang teleon dengan menggunakan alat keamanan standard

Formula Merumuskan Tujuan


Tujuan adalah menentukan jenis perilaku, kondisi di mana, kapan, dan alat apa yang
akan digunakan; standar mendeskripsikan kriteria penentu kecukupan perilaku. Ingatlah
bahwa tujuan pembelajaran harus menyatakan dengan jelas hasil dari pelatihan. Berikut
adalah langkah-langkah merumuskan tujuan:
 Tulis “perilaku yang diinginkan.” Gunakan kata kerja. Jangan menggunakan kata
memahami. Pastikan kata kerja yang digunakan adalah kata kerja aksi. Contoh kata
kerja aksi pada tabel 5-6

Teknologi Kinerja Dan Pengelolaan Diklat | Training Design 10


 Kemudian tambahkan kondisi perilaku akan ditampilkan. Dapat menggunakan
dengan atau tanpa bantuan. Seperti, “dengan menggunakan omhmeer,” “dengan
menggunakan referensi material yang ada,” “dengan menggunakan harness dan
spike,” “berada di puncak tiang telepon,” “tanpa menggunakan manual,”
 Terakhir, tambahkan standar/kriteria keberhasilan yang jelas. Bagaimana trainee
mengetahui bahwa ia telah berhasil menyelesaikan pelatihan? Tingkat akurasi?
Kualitas atau kecepatannya?. Sebagai contoh: “Sesuai dengan kode,” “mengikuti
semua prosedur,” “dalam waktu 15 menit,” “sesuai dengan manual,” “tidak lebih dari
3 kesalahan,” dan “mendapat skore 80 persen”

Untuk menguji apakah tujuan pembelajaran tersebut efektif, minta seseorang


membacanya dan menjelaskan secara tepat apa yang perlu dilakukan trainee, apa
kondisinya, dan bagaimana ia tahu kalau ia telah berhasil. Jika ia dapat mengartikulasikan
faktor-faktor ini, maka tujuan pembelajaran sudah tepat. Tabel 5-7 adalah contoh
rumusan tujuan pembelajaran yang kurang tepat.

Teknologi Kinerja Dan Pengelolaan Diklat | Training Design 11


E. Why Use Training Objectives?
Mengembangkan tujuan pembelajaran yang baik memutuhkan waktu, usaha, dan
pemikiran yang hati-hati. Mengapa tidak menggunakan waktu tersebut untuk
mengembangkan pelatihan yang sesungguhnya? Pada kenyataannya, HRD
mempertanayakan pentingya tujuan pelatihan yang spesifik, diantaranya adalah:
 Membuang waktu
 Terhambatnya felksibilitas
 Fokus dari bidang lain
 Tidak realistis untuk pelatihan manajemen dan area pelatihan yang lain
 Tidak praktis di tempat kerja

Kami tidak sepaham dengan keraguan pertama para ahli HRD; alasannya karena
sumber daya itu langka dan waktu untuk mengembangkan tujuan merupakan upaya yang
lebih penting. Sepintas, generalisasi tersebut mungkin benar, namun tujuan akan
memandu pengembangan pelatihan. Dengan adanya pedoman maka mengembangkan
pelatihan menjadi lebih singkat.
Tujuan dianggap menghambat fleksibilitas dalam menanggapi kebutuhan trainee.
TNA yang komprehensive dirancang untuk menentukan kebutuhan trainee dan tujuan
pelatihan fokus pada kebuutuhan-kebutuhan tersebut. Tujuan mungkin saj menghambat
felksibilitas trainer untuk keluar dari garis singgung yang mungkin mereka kejar, namun
tetap fokus pada arah adalah hal positif. Pindah fokus dari satu bidang ke bidang tetap
bisa dilakukan namun tetap fokus pada tujuan.
Beberapa berpendapat bahwa dalam pelatihan manajemen atau bidang-bidang seperti
manajemen waktu atau keterampilan interpersonal tidak dapat menerapkan tujuan yang
konkret. Menurut kami, apapun pelatihannya, tujuannya adalah untuk mencapai outcome
tertentu, dan hasil tersebut perlu diterjemahkan ke dalam tujuan. Sebagai contoh, dalam
manajemen waktu, Anda ingin trainee memeperoleh pengetahuan kognitif tentang
strategi manajemen waktu. Tujuannya adalam mengembangkan keterampilan tersebut
untuk diterapkan di tempat kerja. Dengan demikian, tujuan pelatihan dinyatakan dengan,
“pada akhir pelatihan, trainee dapat mendemonstrasikan keterampilan manajemen waktu
dengan menyelesaikan latihan dalam waktu 45 menit dan memberikan rasional yang
tepat dalam mengambil keputusan.”
Terakhir, ada yang berpendapat bahwa tujuan hidup lebih lama dari kegunaannya
dan terlalu spesifik untuk pekerjaan-pekerjaan sekarang yang kompleks. Menurut merek

Teknologi Kinerja Dan Pengelolaan Diklat | Training Design 12


kami perlu mencari metode yang lebih baik dalam menentukan apa yang dibutuhkan agar
kinerja lebih baik. Meskipun alasan ini benar pada level makro, maksud dari tujuan
sebagai pedoman dalam mengembangkan pelatihan masih valid. Kompleksitas pekerjaan
akan muncul selama TNA, namun pada pekerjaan apapun, kompetensi pada KSA
tertentu akan membuat kinerja lebih efektif.
Para ahli HRD sepaham bahwa tujuan pelatihan sangat penting dari perspektif
stakeholder berikut:
 Trainee
 Perancang pelatihan
 Trainer
 Evaluator pelatihan

Trainee
Tujuan pelatihan bermanfaat bagi trainee karena tujuan pelatihan
 Mengurangi kecemasan
 Fokus pada perhatian (atensi)
 Meningkatkan kemungkinan trainee berhasil dalam pelatihan

Tingkat kecemaan yang tinggi akan mempengaruhi pelatihan. Tidak mengetahui apa
yang diharapkan dalam sebuah situasi menciptakan kecemasan. Tujuan pelatihan
memberikan pemahamn yang jelas tentang apa yang akan terjadi selama periode
pelatihan. Hal ini akan mengurangi kecemasan dari tidak mengetahui apa yang
diharapkan. Tujuan juga fokus pada topik yang akan dilatihkan. Sebagaimana ditinjau
dari perspektif teori belajar sosial bahwa tahap pertama dalam pembelajaran adalah
atensi (perhatian). Sehingga, dari perspektif teori belajar, membiarkan trainee
mengetahui kinerja yang akan dicapai merupakan hal penting. Informasi tentang tujuan
ini juga akan membantu pebelajar fokus pada atensi dan mengorganisasi informasi baru
secara kognitif. Kuncinya di sini adalah memastikan bahwa tujuan mudah dipahami.
Pertimbangkan formula dalam merumuskan tujuan yang baik: pastikan tujuan jealas dan
mudah dipahami. Terakhir, tujuan pembelajaran meningkatkan pembelajaran yang
relevan dan kemungkinan keberhasilan trainee dalam pelatihan. Menurut penelitian-
penelitian tentang penetapan tujuan hal ini masuk akal, ketika tujuan yang spesifik dan
menantang ditetapkan, kemungkinan akan dicapai menjadi lebih tinggi daripada tidak

Teknologi Kinerja Dan Pengelolaan Diklat | Training Design 13


ada tujuan atau pembelajaran hanya berdasarkan “yang terbaik yang bisa dilakukan.”
Tujuan adalah tujuan pembelajaran itu sendiri.

Perancang Pembelajaran
Tujuan pembelajaran memandu perancang pelatihan atau pengguna paket pelatihan.
Tujuan secara langsung menerjemahkan kebutuhan pelatihan menjadi hasil pelatihan.
Dengan tujuan yang jelas, metode dan isi pelatihan dapat dilihat dari tujuan pelatihan
untuk memastikan konsistensi. Selain itu, bukti menunjukkan bahwa tujuan
pembelajaran akan berfungsi dalam mengembangkan rencana pembelajaran yang lebih
baik.
Sebagai contoh, perancang pelatihan diminta untuk “mendesain pelatihan untuk
tenaga penjual tentang keterampilan pelayanan pelanggan.” Apakah perancang
mendesain kursus keterampilan interpersonal supaya tenaga penjual belajar bagaimana
bersikap ramah dan ceria? Apakah perancang mendesain kursus pengetahuan produk
supaya tenaga penjual dapat memberikan informasi tentang berbagai produk dan fitur-
fiturnya kepada pelanggan? Apakah perancang mendesai kursus keahlian teknis
sehingga tenaga penjual dapat membantu pelanggan dalam menggunakan produk dan
berfungsi dengan efektif? Perhatikan tujuan berikut ini,” setelah menyelesaikan
pelatihan, peserta dapat, menggunakan parafrase atau dekode dan umpan balik (hasil
yang diharapkan), merespon pelanggan yang marah (kondisi), dengan menyarankan dua
alternative perbaikan yang dikeluhkan pelanggan untuk memecahkan masalah secara
tepat (standard).” Tujuan pembelajaran ini jelas dan tidak ambigu bagi perancang.
Perancang pelatihan kemudian dapat mendesain kursus dalam bentuk active listening
(parafrase, dekode, dan umpan balik), dengan fokus menangani pelanggan yang marah.
Tanpa pedoman tersebut, pelatihan tidak dapat dirancang dengan tepat.

Trainer
Dengan tujuan pembelajaran yang jelas, trainer dapat memfasilitasi proses
pembelajaran lebih efektif. Tujuan yang jelas dan spesifik memungkinkan trainer
melakukan persiapan dalam menentukan bagaimana kemajuan trainee sehingga
memudahkan penyesuaian yang tepat. Selain itu, trainer dapat menyoroti hubungan
segmen pelatihan tertentu dengan tujuan. Beberapa trainer memandang tujuan
menghambat kebebsan mereka dalam melatih apa yang meeka mau. Bagi mereka
mungkin tujuan melakukan yang terbaik, menjaga agar trainer berada di jalurnya.

Teknologi Kinerja Dan Pengelolaan Diklat | Training Design 14


Evaluator
Mengevaluasi pelatihan jauh lebih mudah jika pelatihan memiliki tujuan, karena tujuan
mendefinisikan perilaku di akhir pelatihan. Jika tidak ada indikasi apa yang diharapkan
dari sebuah pelatihan, evaluator tidak tahu bagaimana menilai apakah pelatihan itu
efektif. Hal ini analog dengan seorang sersan yang berkata pada prajuritnya, “Gali lubang
di sini.” Prajurit mulai menggali dan sersan itu pergi. Setelah menggali beberapa menit,
prajurit mulai khawatir karena ia tahu sedang berada dalam masalah. Ia tidak tahu
seberapa dalam lubangnya, berapa panjang, lebar dan lainnya. Saat prajurit melihat
pemimpin pleton datang, dia bertanya padanya,”Bagaimana lubang hasil kerja saya,
Pak?” Tentu saja pemimpin pleton akan berkata, “Bagaimana sya tahu?” Jika tujuan
dikembangkan, evaluator akan dengan mudah menilai apakah hasilnya sudah memenuhi
standard atau tidak.

F. Memfasilitasi Pembelajaran : Fokus Pada Trainee


1. Sensing Vs Intuitive Learner
 Sensing learner cenderung suka belajar fakta, tidak suka pelatihan yang tidak ada
hubungan langsung dengan aplikasi praktis, dan lebih suka menyelsaikan masalah
dengan metode yang sudah tersusun dengan baik. Mereka tidak suka kerumitan dan
kejutan, sangat baik dalam menghafal dan sabar dengan hal-hal detil. Untuk
membantu pebelajar tipe ini, trainer dapat memberikan contoh-contoh konsep dan
prosedur yang spesifik dan bagaimana menerapkannya dalam praktik
 Intuitive learner lebih suka menemukan kemungkinan-kemugkinan dan
hubungan, suka akan inovasi dan membenci repetisi. Mereka lebih suka memahami
konsep baru dan lebih nyaman dengan hal abstrak dan formulasi matematis
daripada indera. Intuitor tidak suka kursus “plug and chug” yang menghasruskan
menghafal dan menghitung rutin. Trainer dapat memberikan interpretasi atau teori
yang berhubungan dengan fakta, atau meminta trainee menemukan hubungannya.
Kompetisi baik antar kelompok atau individu juga bisa diterapkan dalam pelatihan.

2. Visual Vs Verbal Learner


Pebelajar visual mengigat dengan baik apa yang mereka lihat – gambar, diagram,
flowchart, time line, film, dan demonstrasi. Pebelajar verbal lebih mengingat kata-
kata – penjelasan tertulis maupun lisan. Setiap orang akan belajar lebih baik ketika
informasi disajikan secara visual dan verbal.

Teknologi Kinerja Dan Pengelolaan Diklat | Training Design 15


3. Sequential Vs Global Learner
 Sequential learner cenderung mendapatkan pemahaman dalam langkah-langkah
linear, dimana setiap langkah mengikuti dengan logis dari langkah berikutnya.
Mereka mampu menyerap dan menggunakan materi meskipun mereka tidak
memahami gambaran besarnya asalkan materi disajikan dengan susunan yang logis.
Teknik yang bisa digunakan untuk tipe pebelajar ini adalah memberikan salinan
materi dengan ruang kosong kata kunci dan definisi. Trainee diminta untuk mengisi
titik-titik sebagai progres. Penguatan dapat diberikan dengan meminta mereka
menghubungkan topik baru dengan sesuatu yang mereka ketahui.
 Global learner tidak mampu menyerap detil sampai mereka memahami gambaran
besarnya. Mereka cenderung belajar dengan lompatan-lompatan besar, menyerap
materi secara acak tanpa melihat hubungannya. Mereka cenderung mampu
menyelesaikan masalah kompleks dengan cepat atau menempatkannya secara
bersama-sama dengan cara baru setelah mereka memahami gambaran besarnya,
namun mereka kesulitan untuk menjelaskan bagaimana mereka melakukannya.
Salah satu cara mengatasi pebelajar tipe ini adalah meminta mereka mencari
hubungan antara topik baru dengan sesuatu yang mereka ketahui. Hal ini akan
membantu mereka menempatkan topik baru pada konteks yang lebih familiar dan
melihat hubungannya.

4. Active Vs Reflective Learner


 Active learner cenderung untuk menyimpan dan memahami informasi dengan
melakukannya secara aktif – berdiskusi atau menerapkan atau menjelaskannya pada
orang lain. Trainee tipe ini ingin mencoba dan melihat bagaimana sesuatu itu
bekerja. Karena begitulah cara mereka memahami informasi. Mereka suka bekerja
secara berkolompok. Trainer dapat membuat kelompok diskusi atau aktivitas
memecahkan masalah, jika perlu bekerja kelompok di luar kelas.
 Reflective learner lebih suka memikirkan informasi sebelum menerapkannya.
Mereka lebih nyaman dengan memroses informasi secara internal. Trainee tipe ini
lebih suka bekerja sendiri sampai pemrosesan informasi tersebut selesai. Sebelum
beralih ke aktivitas kelompok, trainer dapat meminta trainee tipe ini untuk berpikir
secara individu, minta mereka bertanya tentang isi modul, dan juga kemungkinan
penerapannya. Minta mereka untuk membuat kesimpulan materi dengan kata-kata
mereka sendiri.
Teknologi Kinerja Dan Pengelolaan Diklat | Training Design 16
APA YANG HARUS DILAKUKAN TRAINER? Sebuah kelas pelatihan akan selalu
berisi trainee dengan gaya belajar yang berbeda-beda. Tidak akan menimbulkan masalah
jika pelatihannya singkat. Karena pada dasarnya setiap orang memiliki kemampuan untuk
belajar dengan gaya belajar yang bukan gayanya. Namun, jika durasi pelatihan lama, hal
ini akan menjadi masalah. Pebelajar bisa saja menolak atau bahkan berhenti karena
muatan kognitif yang terlalu berlebihan. Cara paling efektif adalah mendesain pelatihan
yang mencakup semua gaya belajar. Yaitu desain yang komponen-komponennya di sebar
dengan berbagai gaya belajar. Sebagai contoh, modul kuliah yang dilengkapi dengan
banyak diagram, grafik, bagan, dan semacamnya. Mengorganisasikan materi tersebut
diawali dengan gambaran besar kemudian menjelaskan detilnya dengan cara berurutan.
Menyusun latihan yang meminta trainee menggunakan fakta-fakta dan detil yang
diingatnya serta menyusun latihan yang meminta mereka untuk mengidentifikasi
hubungan dan kemugkinan. Latihan-latihan ini sebenarnya menuntun trainee
menggunakan materi, dan latihan lainnya menuntun mereka untuk berpikir dan
melakukan refleksi tentang materi tersebut.

1. Self-Efficacy
Self-efficacy (keyakinan akan kemampuan diri) sangat berpengaruh dalam
memotivasi seseorang untuk belajar. Mereka yang memiliki self efficacy tinggi tak hanya
lebih mampu memotivasi dirinya untuk belajar tetapi juga mentransfer pembelajaran ke
dalam pekerjaannya. Terdapat beberapa faktor yang mempengerahi self efficacy, yaitu
pengalaman seseorang sebelumnya, umpan balik dari orang lain, model perilaku, dan
(emotional arousal). Tiga faktor pertama dapat dipengaruhi sebelum pelatihan,
sedangkan faktor ke empat dipengaruhi selama pelatiihan.

2. Teori Harapan (Expectancy Theory)


Menurut Teori Harapan, seseorang termotivasi untuk melakukan kegiatan tertentu
karena ingin mencapai tujuan tertentu yang diharapkan. Teori harapan menurut Vroom
memiliki tiga komponen, yaitu harapan (expectancy), instrumentality, dan valency.
 Ekspektansi adalah keyakinan bahwa usaha (effort) akan menghasilkan kinerja
(performance) yang lebih baik. Harapan ini bergantung pada keterampilan, sumber
daya, dan dukungan
 Instrumentalitas adalah keyakinan bahwa kinerja yang baik akan membuahkan hasil
yang lebih baik juga (performance menghasilkan outcomes). Yang dimaksud hasil
dalam hal ini adalah misalnya, gaji, bonus, insentif, promosi dll.
Teknologi Kinerja Dan Pengelolaan Diklat | Training Design 17
 Valensi adalah signifikansi yang dikaitkan oleh individu tentang hasil yang
diharapkan.

3. Implikasi Lingkungan (Pengkondisian Dan Penguatan)


Lingkungan dan penguatan juga akan berpengaruh terhadap keberhasilan pelatihan.
Beberapa hal penting yang perlu dipertimbangkan dalam mendesain pelatihan yang
efektif adalah sebagai berikut:
 Mengetahui bentuk penghargaan dan punishment yang akan diterima oleh trainee
 Menghargai bentuk usaha sekecil mungkin
 Memberikan penghargaan baik itu berwujud nyata maupun tidak (intangible)
 Memberikan umpan balik sebagai penguatan untuk menunjukkan apa yang sudah
dicapai dan apa yang perlu ditingkatkan.

4. Penetapan Tujuan
Beberapa kondisi terkait penetapan tujuan mempengaruhi kinerja:
 Individu yang diberi tujuan spesifik, sulit, atau menantang berkinerja lebih baik dari
mereka yang hanya diberi tujuan yang mudah, tujuan “do the best you can”, atau
tidak ada tujuan
 Tujuan akan memberikan efek yang dapat diprediksi jika disampaikan dengan
istilah yang spesifik dari pada samar
 Tujuan harus sesuai dengan kemampuan individu sehingga ia akan senang hati
untuk mencapainya. Kemampuan untuk mencapai tujuan sangat penting bagi self
efficacy, karena akan berpengaruh terhadap bagaimana ia melaksanakan tugasnya.
 Feedback terkait tingkat pencapaian sangat penting dalam memberikan pengaruh
 Agar penetapan tujuan ini efektif, maka individu perlu menerima tujuan tersebut.

5. Orientasi Tujuan
Dalam sebuah organisasi terdapat dua orientasi yang mungkin dimiliki oleh
individu. Learning goal orientation dan performance goal orientation. Individu yang
memiliki learning goal orientation akan fokus pada proses belajar. Mereka akan
mencari tugas yang menantang untuk meningkatkan kompetensi, memandang feedback
negatif sebagai informasi penting untuk menguasai tugas mereka, dan menganggap
kegagalan sebagai pengalaman belajar.

Teknologi Kinerja Dan Pengelolaan Diklat | Training Design 18


Sedangkan individu dengan orientasi tujuan performance fokus pada hasil akhir.
Mereka ingin dianggap kompeten dan oleh karenanya mengharap feedback yang baik.
Lebih suka tugas yang mudah, ketimbang belajar hal baru.

G. Memfasilitati Pembelajaran : Fokus Pada Desain Pelatihan


Mengembangkan program pelatihan yang efektif membutuhkan pemahaman
bagaimana individu belajar. Belajar adalah jantung dari sebuah pelatihan. Untuk
memfasilitasi belajar, kita harus memastikan desain pelatihan kita mengakomodasi proses
belajar trainee. Pertama kita melihat bagaimana praktik pelatihan yang efektif dari sudut
teori belajar sosial (SLT). Kemudian melihat teori desain pembelajaran dan bagaimana
konsep SLT dimasukkan ke dalam desain pelatihan yang efektif.

Tabel di atas menunjukkan bagimana proses pembelajaran dan kegiatan dalam


pelatihan. Lingkungan belajar yang nyaman sangat penting bagi proses pembelajaran
sehingga trainee juga merasa nyaman dalam mengikuti pelatihan.
Ruangan diatur sedemikian rupa, suhu ruangan, warna dinding netral, bebas dari
objek yang mengganggu (poster, pengumumuan atau gambar yang tidak ada
hubungannya dengan pelatihan), tidak bising, tidak memiliki akses langsung ke
pemandangan di luar ruangan. Tempat duduk yang digunakan selama pelatihan juga perlu
mempertimbangkan kenyamanan, pilih kursi dengan sandaran dan tumpuan lengan,
berlapis kain.
Jadwal pelatihan mengikuti aturan “The brain can absorb only as much as the seat
can endure.” Jadwal diatur memiliki waktu istirahat, makan siang. Menu disarankan tidak
terlalu banyak karbohidrat, yang membuat orang mengantuk.

Teknologi Kinerja Dan Pengelolaan Diklat | Training Design 19


Menarik Perhatian. Komunikasi pada awal pelatihan sangat penting dalam menarik
perhatian trainee. Langkah pertama yang bisa dilakukan adalah menyampaikan
bagaimana mereka berpartisipasi dalam pelatihan, sifat pelatihan, dan juga benefitnya
bagi pekerjaan. Kemudian, perlu disampaikan tujuan pembelajaran dan mereviewnya
selama pembelajaran. Terakhir, minta trainee menjelaskan bagaimana menyelesikan
pelatihan agar dapat memecahkan masalah terkait pekerjaan. Hal ini dilakukan bukan
hanya untuk menarik perhatian tetapi juga membangun komitmen yang akan
memfasilitasi transfer KSA baru saat kembali ke pekerjaan.

Proses Mengingat (Retention). Individu akan mengealami empat tahap dalam


mengingat: (1) Aktivasi memori, (2) Pengkodean simbol, (3) Mengorganisasi kognisi, (4)
Mengulang (melatih) dan memperbaiki.

Teori Desain. Ada beberapa teori terkait mendesain pelatihan yang efektif. Ada yang
hanya fokus pada pembelajaran kognitif, ada juga yang hanya fokus pada perubahan
sikap. Teori desain mencakup bagaimana mendesain pelatihan yang efektif terutama pada
teknik apa digunakan pada situasi apa.

Teori Elaborasi. Teori elaborasi adalah teori makro desain yang didasarkan pada
alternative sequencing (berurutan). Pendekatan ini lebih bermakna dan memotivasi
pebelajar, karena sejak awal mereka melihat dan praktik menyelesaikan tugas. Terdapat
dua strategi sequencing, yaitu topical dan spiral. Pada topical sequencing individu harus
menyelasikan pembelajaran pada satu topik tertentu sebelum ke tugas selanjutnya.
Sedangkan spiral sequencing individu harus mempelajari dasar pada tugas pertama,
kemudian tugas kedua, dan seterusnya, setelah memahami seluruh tugas, pebelajar pindah
ke tingkat dua dari tugas pertama.

Teknologi Kinerja Dan Pengelolaan Diklat | Training Design 20


Di atas adalah tabel perbedaan topical dan spiral sequencing.
Dalam teori elaborasi juga terdapat metode SCM (Simplifying Conditions Method) oleh
Charles Reigeluth. SCM didasrkan pada epitomizing dan elaborating. Epitomizing adalah
proses mengidentifikasi versi paling sederhana sebuah tugas tertentu. Elaborating adalah
proses mengidentifikasi versi yang lebih kompleks.

Model Social Learning Theory (SLT) dan Gagne-Briggs. Model ini memperkenalkan
9 tahap pembelajaran yang sangat erat kaitannya dengan teori belajar sosial. Berikut
hubungan antara 9 tahap pembelajaran SLT dengan Gagne-Briggs:

Teknologi Kinerja Dan Pengelolaan Diklat | Training Design 21


Teknologi Kinerja Dan Pengelolaan Diklat | Training Design 22
H. Memfasilitasi Transfer : Fokus Pada Pelatihan
Mentransfer pelatihan adalah sebarapa banyak hal yang telah dipelajari pada saat
pelatihan diterapkan pada pekerjaan. Pelatihan dapat menghasilkan outcome transfer
berikut ini:
 Positive transfer: tingkat kinerja pekerjaan tinggi
 Zero transfer: tidak ada perubahan kinerja
 Negative transfer: tingkat kinerja pekerjaan rendah

Menurut penelitian terdapat tiga faktor yang mempengaruhi transfer pelatihan, yaitu
kondisi praktik, unsur identik, dan keberagaman stimulus. Selain itu feedback, strategi
retensi, dan penetapan tujuan juga dapat mempengaruhi transfer pelatihan ke dalam
pekerjaan.

Kondisi Praktik. Kesempatan trainee untuk praktik dapat dirancang dengan beberapa
cara yaitu:
 Massed vs spaced practice. Praktik terus menerus tanpa jeda, atau dengan jeda.
Yang mana yang lebih efektif? Penelitian menunjukkan bahwa praktik dengan jeda
akan diingat lebih lama namun membutuhkan waktu yang lebih lama dan pada
umumnya perusahaan menolak.
 Whole vs part learning. Pembelajaran menyeluruh atau parsial bergantung pada
apakah tugas (pekejaan) itu dapat dibagi menjadi beberapa bagian atau tidak.
Menurut james Naylor meskipun tugas dapat dipisah-pisah, namun lebih baik
menggunakan metode holistik jika:
 Tingkat intelegensi trainee tinggi
 Materi pelatihan merupakan tugas penting dalam organisasi namun kompliksitas
rendah
 Praktik lebih baik dijeda daripada diteruskan.

Memaksimalkan kesamaan (unsur-unsur identik). Unsur sebuah desain pelatihan


semakin mirip dengan tempat kerja, maka transfer semakin mudah dilakukan. Untuk
meningkatkan kesamaan beberapa hal yang perlu dirancang dalam pelatihan adalah
situasi yang beragam, menggunakan prinsip yang umum. Beberapa pertimbangan yang
lain dalam memfasilitasi transfer adalah (1) memberikan feedback, (2)
mengkombinasikan relapse prevention dan penetapan tujuan.

Teknologi Kinerja Dan Pengelolaan Diklat | Training Design 23


I. Memfasilitasi Transfer : Fokus Pada Intervensi Organisasi
Untuk memfasilitasi transfer pelatihan pada pekerjaan dibutuhkan intervensi
organisasi. Beberapa intervensi organisasi adalah dukungan dari supervisor atau atasan,
dari rekan kerja, pendampingan dari pelatih, sistem reward, serta iklim dan budaya kerja.
J. Outcomes of Design
Pada awal bab telah disebutkan bahwa untuk mengembangkan program pelatihan
yang efektif perlu memahami berbagai faktor dalam memfasilitasi belajar dan transfer.
Selain itu, dua output dalam tahap desain pelatihan adalah mengembangkan metode
evaluasi dan mengidentifikasi alternatif metode pembelajaran. Diskusi tentang evaluasi
akan dibahas lebih alnjut pada bab 9.

Teknologi Kinerja Dan Pengelolaan Diklat | Training Design 24


DAFTAR PUSTAKA

Blanchard, dan James W. Thacker. 2013. EFFECTIVE TRAINING: SYSTEMS,


STRATEGIES, AND PRACTICES. New York.

Teknologi Kinerja Dan Pengelolaan Diklat | Training Design 25

Anda mungkin juga menyukai