Anda di halaman 1dari 31

PA LANA: PAKET ALAT SEDERHANA DALAM PENERAPAN

SINKRONISASI ESTRUS DAN INSEMINASI BUATAN DI SENTRA


PETERNAKAN RAKYAT UNTUK PENINGKATAN KERBAU

Lomba Karya Tulis Ilmiah Nasional


PMM AL-HIKMAH
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA

Diusulkan oleh:

Syahrizal Nasution 200110130284


Fazri Shodiq S 200110140198
Annisa Nurahmah 200110140172

UNIVERSITAS PADJADJARAN
SUMEDANG
2016
i
HALAMAN PENGESAHAN
1. Judul Karya Tulis : PA LANA: Paket Alat Sederhana dalam Penerapan
Sinkronisasi Estrus dan Inseminasi Buatan di Sentra
Peternakan Rakyat untuk Peningkatan Populasi Sapi Bali
2. Sub Tema Karya : Teknologi: Inovasi Teknologi Tepat Guna dalam
Mewujudkan Indonesia Emas Tahun
3. Peserta
a. Ketua Kelompok :
Nama : Syahrizal Nasution
NIM : 200110130284
Jurusan : Peternakan
b. Anggota Kelompok 1 :
Nama : Fazri Shodiq S
NIM : 200110140198
Jurusan : Peternakan
a. Anggota Kelompok 2 :
Nama : Annisa Nurahmah
NIM : 200110140172
Jurusan : Peternakan
4. Dosen Pembimbing
Nama : Dr. H. Iman Hernaman, Ir. M.Si
NIP : 19680615 199601 1 001

Sumedang, 28 Oktober 2016


Menyetujui
Dosen Pembimbing Ketua Tim

Dr. H. Iman Hernaman, Ir. M.Si Syahrizal Nasution


NIDN. 001506196805 NIM. 200110130284

Wakil Dekan I
Fakultas Peternakan

Indrawati Yudha Asmara, S.Pt., M.Si., Ph.D.


NIP. 19740302 199803 2 004

ii
DAFTAR ISI

iii
DAFTAR TABEL

iv
DAFTAR GAMBAR

v
PA LANA (PAKET ALAT SEDERHANA) DALAM
PENERAPAN SINKRONISASI ESTRUS DAN INSEMINASI
BUATAN DI SENTRA PETERNAKAN RAKYAT UNTUK
PENINGKATAN POPULASI SAPI BALI

Syahrizal Nasution, Fazri Shodiq S, dan Annisa Nurahmah


Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran
Jl. Raya Bandung-Sumedang Km. 21 Jatinangor
syahrizalnast@gmail.com

ABSTRAK :

Jumlah penduduk Indonesia terus mengalami peningkatan. Peningkatan ini sejalan


dengan meningkatnya kebutuhan daging. Masalah yang ada saat ini, kebutuhan
daging belum terpenuhi karena kurangnya populasi sapi di Indonesia. Padahal
daging menjadi kebutuhan primer dan penting dalam mempersipakan sumber
daya manusia unggul. Sapi bali dapat dimanfaatkan untuk ditingkatkan
populasinya karena memiliki keunggulan disbanding sapi lokal lainnya sebagai
ternak penghasil daging. Perkembangan pengetahuan dapat mengatasi masalah ini
dengan diterapkannya sinkronisasi estrus (SE) dan inseminasi buatan (IB) pada
sapi bali dengan inovasi alat sederhana. SE adalah penyerentakan birahi pada sapi
dengan menggunakan hormon sehingga inseminasi buatan yang diterapkan lebih
efisien dan efektif. Sedangkan IB adalah memasukkan semen ke dalam alat
kelamin sapi betina yang sedang birahi dengan menggunakan alat inseminasi agar
sapi bunting. SE dan IB dilakukan karena waktu birahi sapi yang tidak pasti dan
rendahnya kebuntingan sapi dengan kawin alam di peternakan rakyat. Metode
penulisan yang digunakan yaitu studi pustaka. Tujuan penulisan yaitu mengetahui
prinsip penerapan SE dan IB dalam program sentra peternakan rakyat untuk
peningkatan populasi sapi bali menggunakan paket alat sederhana. Alat sederhana
ini adalah alat yang dibuat dengan bahan yang ada sehingga memudahkan
peternak. Alat sederhana yang dibuat seperti vaginal sponge dari spons, alat
memasukkan vaginal sponge dari palaron, vagina buatan dari ban dalam motor
bekas dan karet putih. Alat ini akan memiliki harga yang lebih murah jika
dibandingkan dengan membeli di tempat umum. Penerapan SE dan IB ini
didukung oleh adanya program sentra peternakan rakyat (SPR). SPR melibatkan
berbagai pihak seperti pemerintah, perguruan tinggi, swasta, dan masyarakat.
Kesimpulannya, penerapan SE dan IB pada sapi bali dapat mendukung program
SPR, membantu menyelesaikan masalah peternak rakyat, serta mempercepat
peningkatan populasi sapi bali sehingga dapat meningkatkan jumlah daging yang
dibutuhkan untuk mepersiapkan sumber daya manusia yang unggul.
Kata Kunci: IB, Sapi Bali, SE, SI LANA, SPR.

vi
I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Daging merupakan salah satu pangan penting untuk memenuhi kebutuhan


protein karena merupakan kebutuhan primer yang harus dipenuhi oleh setiap
manusia. Daging bermanfaat untuk pertumbuhan dan perkembangan manusia
karena selain memiliki kandungan protein, daging memiliki kandungan nutrisi
yang lengkap untuk memenuhi gizi. Kebutuhan daging ini akan terus meningkat
sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk Indonesia.

Daging yang umum dikonsumsi oleh masyarakat Kabupaten Pandeglang


adalah daging unggas dan daging kerbau. Saat ini kebutuhan daging masyarakat
Kabupaten Pandeglang belum terpenuhi. Hal ini mendorong pemerintah untuk
melakukan impor atau memasukkan daging dari negara lain. Namun hal ini
memberikan dampak buruk bagi sebagian masyarakat yang memiliki pekerjaan
sebagi peternak karena belum bisa bersaing dengan daging impor.

Sinkronisasi estrus dan inseminasi buatan merupakan teknologi yang dapat


diterapkan di peternakan rakyat di Indonesia. Sinkronisasi estrus diterapkan agar
kerbau dapat mengalami birahi atau estrus secara bersamaan sedangkan
inseminasi buatan diterapkan agar kerbau dapat bunting secara efektif dan
menghasilkan bakalan yang baik. Sinkronisasi estrus dan inseminasi buatan yang
terintegrasi akan mengefesienkan penerapan yang dilakukan. Sinkronisasi estrus
dan inseminasi buatan diterapkan dengan harapan dapat mempercepat
peningkatakan populasi ternak kerbau di Kabupaten Pandeglang sehingga dapat
memasok kebutuhan daging sebagai kebutuhan primer di Kabupaten Pandeglang.

Ternak kerbau berperan penting dalam pembangunan peternakan yang


mampu memberikan peningkatan pendapatan peternak rakyat yang relatif lebih
tinggi dan menciptakan daya saing global produk peternakan. Kerbau seperti
halnya ternak sapi mempunyai fungsi serupa yaitu sebagai penghasil daging,
ternak kerja, tabungan, penghasil susu, sarana ritual maupun status sosial
masyarakat. Sebagian besar ternak kerbau diusahakan oleh peternak rakyat
dengan manajemen pemeliharaan tradisional dan kualitas genetik masih rendah.
Berbagai masalah sering timbul pada peternakan tersebut, salah satunya
kemampuan produksi kerbau yang lambat dan reproduksi yang buruk. Hal
tersebut biasanya terjadi karena peternak memiliki pengetahuan yang terbatas
sehingga biasanya peternak belum dapat mengetahui siklus reproduksi akibatnya
ternak terkadang dikawinkan terlambat dan jarak beranak yang cukup lama.

Uraian diatas mendorong penulis untuk membuat karya tulis yang berjudul
“Pa LANA: Paket Alat Sederhana dalam Penerapan Sinkronisasi Estrus dan
Inseminasi Buatan di Sentra Peternakan Rakyat Untuk Peningkatan Populasi
Kerbau di Kabupaten Pandeglang”. Penerapan ini diharapkan memberikan
dampak positif untuk peternakan di Kabupaten Pandeglang. Penerapan
sinkronisasi estrus dan inseminasi buatan ini dikoordinasikan didalam program
sentra peternakan rakyat yang digulirkan pemerintah saat ini yang didalamnya
melibatkan berbagai pihak. Sehingga dengan diterapkannya teknologi sinkronisasi
estrus dan inseminasi buatan dapat mempercepat peningkatan populasi kerbau.
Selain itu, penggunaan alat yang sederhana dalam sinkronisasi estrus dan
inseminasi buatan diharapkan dapat memudahkan peternak dalam melakukan
kegiatan ini. Akhirnya dapat berguna untuk penyedian kebutuhan daging di
Kabupaten Pandeglang.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan solusi yang ditawarkan diatas dapat


dirumuskan masalah yaitu bagaimana paket alat sederhana dalam penerapan
sinkronisasi estrus dan inseminasi buatan di sentra peternakan rakyat dapat
meningkatkan populasi ternak kerbau.

1.3 Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah diatas dapat diketahui tujuan penulisan ini


yaitu mengetahui paket alat sederhana dalam penerapan sinkronisasi estrus dan
inseminasi buatan di sentra peternakan rakyat dapat meningkatkan populasi ternak
kerbau.
1.4 Manfaat Penulisan

Adapun manfaat penulisan ini yaitu penerapan sinkronisasi estrus dan


inseminasi buatan akan mempercepat peningkatan populasi sapi bali untuk
memenuhi kebutuhan daging. Selain itu, mendukung program SPR pemerintah,
membantu menyelesaikan masalah peternak rakyat, serta mempercepat
peningkatan populasi sapi bali sehingga dapat meningkatkan jumlah daging yang
dibutuhkan untuk mepersiapkan sumber daya manusia yang unggul.
II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sinkronisasi Estrus (Birahi)

Sinkronisasi berahi adalah suatu pengendalian berahi yang dilakukan pada


sekelompok ternak betina sehat dengan memanipulasi mekanisme hormonal,
sehingga keserentakan berahi dan ovulasi dapat terjadi pada hari yang sama
sehingga inseminasi buatan dapat dilakukan serentak (Toelihere, 2002).
Sinkronisasi ini mengarah pada hambatan ovulasi dan penundaan aktivitas regresi
korpus luteum (CL). Tujuan dalam melakukan penyerentakan berahi yaitu untuk
mendapatkan seluruh ternak yang diberikan perlakuan mencapai berahi dalam
waktu yang diketahui dengan pasti sehingga masing-masing ternak tersebut dapat
di inseminasi buatan dalam waktu bersamaan dan untuk menghasilkan angka
kebuntingan yang sebanding atau lebih baik dibanding dengan kelompok yang
tidak mendapat perlakuan yang dikawinkan dengan inseminasi buatan atau oleh
pejantan (Hafez, 1993).

Keuntungan penyerentakan berahi menurut Sonjaya (2006) pada ternak


yaitu memudahkan dan efisiensi terjadinya berahi, memudahkan dalam
pelaksanaan kawin buatan khususnya inseminasi buatan, mensinkronkan waktu
kawin yang berdampak waktu ovulasi dan waktu melahirkan induk bersamaan,
menyamakan kondisi fisiologis ternak donor dan ternak resipien sehingga dapat
mendapatkan waktu yang tepat untuk inseminasi akan menurunkan biaya yang
dikeluarkan.

2.1.1 Estrus (Birahi)

Berahi yaitu suatu periode fisiologis pada hewan betina yang bersedia
menerima pejantan untuk kopulasi. Siklus berahi dibagi menjadi dua fase yang
dapat dibedakan dengan jelas yaitu fase folikular dan fase luteal (Sonjaya, 2006).
Fase folikuler ditandai dengan pertumbuhan dan perkembangan folikel yang
berlangsung selama 3-4 hari (Gordon, 1996). Sebanyak satu atau dua folikel besar
menghasilkan estrogen yang dapat menekan pertumbuhan folikel kecil lainya
(Jainudeen dan Hafez, 1993). Fase luteal ditandai dengan pematangan korpus
luteum (CL) yang menghasilkan progesteron dengan konsentrasi yang mencapai
puncak pada hari ke 6 setelah ovulasi. Estrogen yang telah mencapai kadar
maksimal maka akan menyebabkan umpan balik positif terhadap hipotalamus dan
hipofisa sehingga sekresi LH mencapai kadar yang maksimal (Maidaswar, 2007).

Fase luteal adalah fase yang menunjukan waktu ketika ovarium


beraktivitas membentuk korpus luteum dari folikel preovulasi yang sudah
mengeluarkan ovumnya pada saat terjadinya ovulasi. Pada fase ini korpus luteum
akan mengeluarkan hormon progesteron yang akan mengatur/menetapkan siklus
dan tidak siklus pada suatu ternak. Pengaruh aktivitas hormon progesteron selama
fase luteal adalah dapat meningkatkan konsentrasi getah servix uteri menjadi lebih
kental dan membentuk jala-jala tebal di uterus sehingga akan menghambat
masuknya sel sperma ke uterus (Maidaswar, 2007).

Siklus berahi pada setiap hewan berbeda antara satu sama lain tergantung
dari bangsa, umur, dan spesies. Terdapat sedikit perbedaan antara sapi dara
dengan sapi yang telah beranak. Sapi dara menjadi berahi sekali dalam 20 hari,
dengan variasi 18-22 hari. Sapi yang telah beranak rata-rata menjadi berahi sekali
dalam 21-22 hari, dengan variasi 18-24 hari (Gomes,1978). Performans
reproduktivitas yang tinggi pada sapi ditandai dengan aktivitas ovarium dan
perkawinan kembali kurang dari 2 bulan sesudah melahirkan (Talib dkk, 2002).
Aktivitas ovarium pada sapi betina biasanya muncul beberapa minggu setelah
melahirkan, tergantung oleh kondisi tubuh induk selama menyusui (laktasi).
Siklus berahi pada sapi berkisar antara 18-22 hari (Partodiharjo, 1992). Interval
antara timbulnya satu periode berahi ke permulaan periode berikutnya disebut
sebagai suatu siklus berahi. Siklus berahi pada dasarnya dibagi menjadi 4 fase
atau periode yaitu proestrus, estrus, meteestrus, dan diestrus (Hafez, 2000;
Marawali, dkk., 2001; Sonjaya, 2006).

Pada sapi yang tidak bunting, satu siklus berahi yang normal terjadi setiap
18-24 hari. Peternakan dengan deteksi yang sempurna (excellent), rata-rata
panjang siklus akan kurang dari 25 hari, jika bertambah diatas 30 hari, perlu
perhatian mengenai deteksi berahi yang jelas, nutrisi rendah, dan penyakit. Sapi
betina yang melebihi panjang siklus biasanya betina yang telah beranak atau
adanya gangguan pada sistem reproduksinya (Toelihere, 2002).

2.1.2 Hormon yang Berperan dalam Sinkronisasi Estrus (Berahi)

Beberapa hormon yang berperan dalam sinkronisasi berahi yaitu hormon


prostaglandin (PGF2α), hormon progesteron, hormon GnRH, hormon FSH, LH
dan hormon estrogen. Hormon prostaglandin (PGF2α) diproduksi di uterus dan
bersifat luteolitik sehingga mampu menginduksi terjadinya regresi korpus luteum
yang mengakibatkan berahi. Hormon progesteron merupakan hormon yang
diproduksi dan dilepaskan ke dalam darah oleh korpus luteum pada ovarium.
Hormon progesteron dalam penyerentakan berahi berada dalam bentuk CIDR
yang disisipkan pada vagina. Alat ini dimasukkan dan didiamkan dalam vagina
selama beberapa hari, selanjutnya progesteron yang terdapat di dalam alat ini akan
diserap oleh vagina dan segera disekresikan ke dalam aliran darah yang akan
menghambat pelepasan FSH dan LH dari adenohipofisis melalui mekanisme
umpan balik negatif. Kadar progesteron dalam darah akan meningkat pada saat
alat disisipkan dalam vagina dan tetap stabil dipertahankan selama periode
penyisipan alat ini. Setelah alat ini dicabut terjadi penurunan progesteron secara
mendadak dan mencapai level basal sehingga terjadi feedback positif pada
hipotalamus untuk melepaskan GnRH yang akhirnya terjadi pelepasan hormon
FSH dan LH dari adenohipofisis dan akan terjadi pematangan folikel, berahi dan
ovulasi (Tambing dkk., 2000). Kedua hormon ini bertanggungjawab dalam proses
folikulogenesis dan ovulasi, sehingga terjadi pertumbuhan dan pematangan
folikel. Folikel-folikel tersebut akhirnya menghasilkan hormon estrogen yang
akan memberikan gejala berahi (Hafez dan Hafez, 2000).

2.2 Inseminasi Buatan


Pengertian Inseminasi Buatan (IB) adalah memasukkan mani/semen ke
dalam alat kelamin hewan betina sehat dengan menggunakan alat inseminasi agar
hewan tersebut menjadi bunting. Adapun yang dimaksud semen adalah mani yang
berasal dari pejantan unggul, digunakan untuk inseminasi buatan. Pelaksanaan
kegiatan Inseminasi Buatan (IB) merupakan salah satu upaya penerapan teknologi
tepat guna yang merupakan pilihan utama untuk peningkatan mutu genetik ternak.
Melalui kegiatan IB, penyebaran bibit unggul ternak sapi dapat dilakukan dengan
murah, mudah dan cepat, serta diharapkan dapat meningkatkan pendapatan para
peternak (Hartati, 2010).

Menurut Hastuti (2008) periode kebuntingan sapi berkisar 280 sampai


dengan 285 hari. Setelah kelahirkan disebut masa kosong sampai sapi yang
bersangkutan bunting pada periode berikutnya. Program IB untuk meningkatkan
mutu genetik ternak yaitu meningkatnya kelahiran ternak unggul yang
mempunyai mutu genetik tinggi, meningkatkan produktivitas ternak yang ditandai
dengan meningkatnya rata-rata pertambahan bobot badan harian, meningkatnya
harga jual pedet dan meningkatnya bobot badan akhir setelah dewasa serta
meningkatkan pendapatan peternak dari hasil penjualan ternak sapi hasil IB.

Tingkat keberhasilan IB sangat dipengaruhi oleh empat faktor yang saling


berhubungan dan tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya yaitu pemilihan sapi
akseptor, pengujian kualitas semen, akurasi deteksi birahi oleh para peternak dan
ketrampilan inseminator. Dalam hal ini inseminator dan peternak merupakan
ujung tombak pelaksanaan IB sekaligus sebagai pihak yang bertanggung jawab
terhadap berhasil atau tidaknya program IB di lapangan (Hastuti, 2008).

Waktu terbaik untuk melakukan inseminasi pada sapi menurut


Partodiharjo (1992) yaitu pada enam jam kedua sejak hewan menunjukkan gejala
berahi akan menghasilkan angka konsepsi tertinggi berkisar antara 72%
dibandingkan dengan bila dilakukan pada enam jam yang pertama sejak
timbulnya gejala berahi. Inseminasi yang dilakukan pada enam jam pertama dan
enam jam terakhir akan menghasilkan angka konsepsi yang lebih rendah daripada
yang enam jam kedua. Enam jam sebelum estrus berakhir menunjukkan angka
rata-rata lebih baik. Dari pada angka konsepsi pada enam jam sejak estrus
dimulai. Angka konsepsi setelah terjadiya ovulasi, yaitu pada fase luteum, adalah
angka konsepsi yang paling buruk (Toelihere, 2005).

2.3 Sapi Bali

Sapi Bali (Bos Sondaicus) adalah sapi asli Indonesia hasil penjinakan
(domestikasi) banteng liar. Para ahli meyakini bahwa penjinakan tersebut telah
dilakukan sejak akhir abad ke 19 di Bali sehingga sapi jenis ini dinamakan sapi
Bali. Bangsa sapi Bali memiliki klasifikasi taksonomi menurut (Williamson dan
Payne, 1993) sebagai berikut; Phylum: Chordata, Sub-phylum: Vertebrata, Class:
Mamalia, Ordo: Artiodactyla, Sub-ordo: Ruminantia, Family: Bovidae, Genus:
Bos, Species: Bos sondaicus.
Ciri-ciri fisik Sapi Bali antara lain berukuran sedang, berdada dalam, serta
berbulu pendek, halus dan licin. Warna bulu merah bata dan coklat tua dimana
pada waktu lahir, baik jantan maupun betina berwarna merah bata dengan bagian
warna terang yang khas pada bagian belakang kaki. Warna bulu menjadi coklat
tua sampai hitam pada saat mencapai dewasa dimana warna pada jantan lebih
gelap daripada betina. Warna hitam menghilang dan warna bulu merah bata
kembali lagi jika sapi jantan dikebiri. Bibir, kaki dan ekor berwarna hitam dan
kaki putih dari lutut ke bawah, dan ditemukan warna putih di bawah paha dan
bagian oval putih yang amat jelas pada bagian pantat. Pada punggung ditemukan
garis hitam di sepanjang garis punggung (garis belut). Kepala lebar dan pendek
dengan puncak kepala yang datar, telinga berukuran sedang dan berdiri. Tanduk
jantan besar, tumbuh ke samping dan kemudian ke atas dan runcing (Wiliamson
and Payne, 1993).

2.4 Sentra Peternakan Rakyat


Sentra Peternakan Rakyat (SPR) adalah pusat pertumbuhan komoditas
peternakan dalam suatu kawasan peternakan sebagai media pembangunan
peternakan dan kesehatan hewan yang di dalamnya terdapat populasi ternak
tertentu yang dimiliki oleh sebagian besar peternak yang bermukim di satu desa
atau lebih, dan sumber daya alam untuk kebutuhan hidup ternak (air dan bahan
pakan). (Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2015).

SPR mengoptimalkan pemanfaatan sumber dana dan sumber daya menuju


bisnis kolektif dari semua pihak, yaitu fasilitas dari: 1) Direktorat Jenderal
Peternakan dan Kesehatan Hewan berupa sarana dan pelayanan teknis; 2)
Pemerintah Daerah berupa sarana dan pelayanan pemasaran; 3) Akademisi, Badan
Penelitian dan Pengembangan, Badan Pengembangan SDM berupa pengawalan
dan pendampingan SDM; 4) Kementerian/Lembaga Terkait berupa layanan
ekonomi; dan 5) Swasta berupa asuransi, kemitraan dan investasi. (Direktorat
Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2015).

II

METODE PENULISAN
3.1 Metode Studi Literatur

Metode penulisan yang digunakan dalam karya tulis ini adalah studi pustaka
atau studi literatur. Studi pustaka dilakukan untuk memperoleh sumber literatur,
informasi, dan data. Studi pustaka diperoleh dari sumber data sekunder yaitu
jurnal dan buku. Studi pustaka dilakukan selama penulisan karya tulis ini dan
dilakukan oleh setiap anggota. Analisis yang dilakukan dengan menjawab
masalah yang ada dengan sumber literatur untuk memberikan manfaat sehingga
tujuan penulisan dapat tercapai. Langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut:

Menetapkan Mengumpulkan Mengolah Menganalisis Memberikan


Masalah Pustaka Pustaka Pustaka Kesimpulan

Gambar 1. Alur Metode Penulisan

1. Menetapkan Masalah
Menetapkan masalah yaitu: 1) Masalah rendahnya populasi sapi penghasil
daging untuk pemenuhan kebutuhan manusia. Masalah ini diselesaikan dengan
peningkatan populasi sapi bali. Peningkatan ini dilakukan dengan penerapan
sinkronisasi estrus dan inseminasi buatan dengan paket alat yang sederhana. Sapi
bali dipilih karena memiliki keunggulan dibandingkan sapi lainnya. Penerapan ini
didukung oleh program pemerintah yaitu Sentra Peternakan Rakyat. Tujuanya
memenuhi kebutuhan daging untuk mempersiapkan sumber daya manusia unggul
sehingga bonus demografi yang terjadi dapat dimanfaatkan secara optimum.
2. Mengumpulkan Data
Melakukan pencarian sumber literatur, informasi, dan data mengenai kajian
yang sudah diteliti atau ditulis oleh penulis lain yang berhubungan dengan
gagasan karya tulis ilmiah ini.
3. Mengolah Data
Data yang diperoleh diolah untuk ditulis pada bagian tinjauan pustaka dan
pendukung dalam pemabahasan dalam karya tulis ilmiah ini.
4. Menganalisis Data
Data yang sudah diperolah dan diolah ditulis dalam karya tulis ilmiah ini
sehingga dapat menginterpretasikan gagasan.
5. Memberikan Kesimpulan
Setelah menyelesaikan pembahasan, melakukan penarikan kesimpulan
untuk menjawab masalah pada karya tulis ilmiah ini. Akhirnya diberikan saran
dan rekomendasi untuk langkah penerapan gagasan.

3.2 Metode Pembuatan Prototype

Mendata Kebutuhan
Menyiapkan alat dan bahan Membuat prototype
Prototype

Gambar 2. Alur Metode Pembuatan Prototype

Metode dalam pembuatan prototype dari karya tulis ini meliputi lngkah-
langkah sebagai berikut:

1. Mendata alat dan bahan yang dibutuhkan untuk pembuatan prototype.

2. Menyiapkan alat dan bahan yang dibutuhkan untuk pembuatan prototype.

3. Membuat prototype alat yang sederhana dan bahan yang digunakan dalam
sinkronisasi dan inseminasi buatan dan miniatur lainnya.
IV

HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1 Kondisi Kekinian
4.1.1 Kondisi Sapi Bali di Indonesia Saat ini

Indonesia adalah salah satu negara dengan jumlah penduduk yang terus
meningkat sehingga membutuhkan ketersediaan pangan yang memiliki gizi baik
yang berasal dari hewani ataupun nabati, salah satunya adalah daging. Daging
yang banyak dikonsumsi masyarakat umumnya berasal dari ternak unggas (ayam)
dan ternak ruminansia misalnya sapi potong. Kebutuhan daging nasional
khususnya sapi potong dipenuhi dari dua sumber yaitu produksi dalam negeri dan
luar negeri (impor). Konsumsi daging sapi untuk tahun 2016 mencapai 2,85 kg
pertahun perkapita penduduk, mengalami kenaikan 10% dari tahun sebelumnya.
Berati diperlukan ketersediaan daging 738,025 ton atau setara dengan 4.341.323
ekor sapi hidup. Sapi lokal hanya mampu memasok sebanyak 469.235 ton daging
atau setara dengan 2,760.000 ekor sapi (62%). Berarti memerlukan pasokan dari
impor sebanyak 268,790 ton atau setara dengan 1.581.117 ekor sapi (38%).
Apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya maka devisit daging mengalami
kenaikan sebesar 12%. Dari jumlah pasokan impor tersebut bisa dibagi dua, yaitu
impor sapi bakalan sebanyak 800.000 ekor dan dalam bentuk daging beku, setara
dengan 781.117 ekor sapi (ASOHI, 2016).

Sapi Bali (Bos sondaicus) adalah sapi asli Indonesia hasil penjinakan
(domestikasi) banteng liar. Para ahli meyakini bahwa penjinakan tersebut telah
dilakukan sejak akhir abad ke-19 di Bali sehingga sapi jenis ini dinamakan Sapi
Bali. Penamaan Sapi Bali oleh masyarakat luas diduga berkembang seiring
dengan kemajuan budidaya sapi tersebut di pulau Bali. Pendapat tersebut
dikemukakan oleh Pane (1991) bahwa banteng liar awalnya hanya dijinakkan di
Jawa dan Bali, namun dalam perkembangannya ternyata sapi hasil penjinakan
banteng tersebut hanya berkembang baik di pulau Bali dan tidak banyak
dikembangkan di pulau Jawa. Sapi Bali (Bos sondaicus) sebagai plasma nutfah
ternak potong Indonesia merupakan jenis sapi yang paling populer dipelihara oleh
kalangan peternak, khususnya di provinsi Sulawesi Selatan. Lokasi penyebaran
sapi Bali saat ini telah meluas hampir ke seluruh wilayah Indonesia. Jumlah sapi
Bali terbesar adalah Sulawesi, NTB dan NTT (Guntoro, 2002).

Sapi bali memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan sapi lainnya


antara lain mempunyai angka pertumbuhan yang cepat, adaptasi dengan
lingkungan yang baik, dan penampilan reproduksi yang baik, mempunyai daya
cerna yang baik terhadap pakan dan persentase karkas yang tinggi. Sapi Bali
merupakan sapi yang paling banyak dipelihara pada peternakan kecil karena
fertilitasnya baik dan angka kematian yang rendah (Purwantara et al., 2012).
Selain itu, kemampuan beradaptasi dengan baik pada lingkungan ekstrim, wilayah
tropis, serta jarak melahirkan yang relatif pendek dimana periode kelahiran terjadi
sepanjang tahun (Murtidjo, 1990; Talib, 2002). Penampilan produktivitas dan
reproduktivitas sapi Bali sangat tinggi. Talib et al. (2002) melaporkan bahwa rata-
rata berat hidup sapi Bali saat lahir, sapih, tahunan dan dewasa berturtut-turut
16,8; 82,9; 127,5; dan 303 kg. Sapi Bali dilaporkan sebagai sapi yang paling
superior dalam hal fertilitas dan angka konsepsi (Toelihere, 2002). Darmajda
(1980) melaporkan bahwa angka fertilitas sapi Bali berkisar antara 83-86 %. Di
Sulawesi Selatan, angka fertilitas sapi Bali adalah 82% (Wardoyo, 1950).

Sapi Bali biasanya dipelihara secara individual dengan cara-cara


tradisional sehingga menyebabkan perkembangannya agak lambat dan cenderung
stagnan, namun disisi lain teknologi pakan untuk ternak (sapi) telah tersedia dan
perlu diterapkan oleh peternak secara kontinyu sehingga ternak yang dihasilkan
oleh peternak meningkat kualitas dan produktivitasnya. Kualitas produksi daging
sapi Bali tergantung pada pertumbuhannya karena produksi yang tinggi dapat
dicapai dengan pertumbuhan yang cepat. Dimana, pertumbuhan merupakan suatu
proses yang terjadi pada setiap mahluk hidup dengan pertambahan berat organ
atau jaringan tubuh seperti otot, tulang dan lemak, urutan pertumbuhan jaringan
tubuh dimulai dari jaringan saraf, kemudian tulang, otot dan terakhir lemak
(Laurence, 1980 dalam Sampurna dkk, 2013). Tillman (1986) menyatakan bahwa
pertumbuhan mempunyai tahap cepat dan tahap lambat. Tahap cepat terjadi
sebelum dewasa kelamin dan tahap lambat terjadi pada fase awal dan saat dewasa
tubuh telah tercapai. Selain itu, faktor genetik dan lingkungan juga sangat
berperan dalam menyediakan kondisi yang optimal bagi pertumbuhan seekor
ternak. Oleh karena itu, dalam upaya memperoleh produksi sapi Bali yang baik,
usaha yang dilakukan harus dimulai sedini mungkin. Sehingga kecepatan
pertumbuhan merupakan kunci sukses pada peternakan yang bertujuan
memproduksi daging (Cole, 1966).

Selain itu, kendala yang ada adalah kemampuan masyarakat dalam


mendeteksi terjadinya birahi pada sapi yang masih kurang sehingga tingkat
keberhasilan kebuntingan yang terjadi masih kurang. Hal tersebut biasanya terjadi
karena peternak memiliki pengetahuan yang terbatas sehingga biasanya peternak
belum dapat mengetahui siklus reproduksi akibatnya ternak terkadang dikawinkan
terlambat dan jarak beranak yang cukup lama.

4.2 Solusi yang pernah dan sedang ditawarkan


Sapi Bali Indonesia dikategorikan sebagai sapi dwiguna, yaitu tipe
campuran pedaging dan tipe kerja. Diantara bangsa-bangsa sapi di Indonesia, sapi
Bali, sapi Madura dan sapi Sumba Ongol yang lebih mendekati tipe pedaging.
Dewasa ini telah banyak pencampuran antara sapi lokal dan sapi import yang
diarahkan pertambahan berat menjadi tipe pedaging ini dengan program
inseminasi buatan keseluruhan pelosok tanah air. Hal ini dilakukan untuk
mempertahankan keaslian sapi-sapi lokal agar tetap eksis sepanjang zaman
(Sugeng, 2008).

Penyebab menurunnya populasi sapi bali dan keunggulan yang dimiliki


diantaranya yaitu seleksi negatif akibat pengiriman ternak potong keluar Bali dan
pemotongan betina produktif di rumah potong di seluruh kabupaten di Bali telah
menyebabkan terjadinya penurunan performans sapi Bali. Samariyanto (2004)
menyatakan bahwa belum sempurnanya sistem peremajaan bibit yang diikuti
dengan pemilihan dan pemotongan sapi yang berkualitas baik dapat menyebabkan
penurunan performans sapi Bali. Akhir-akhir ini sifat keunggulan ini mulai
menurun mengingat pertumbuhan yang relatif lambat, ukuran bobot badan sapi
semakin kecil, bobot lahirnya rendah dengan mortilitas yang cukup tinggi (Putra,
1999).

Langkah yang dapat dilakukan untuk meminimalisir memurunnya


populasi sapi bali adalah dengan melakukan pengawasan terhadap pemotongan
sapi betina produktif. Selain itu, perlu dilakukannya koordinasi dengan program
sentra peternakan rakyat yang saat ini sedang dilaksanakan oleh pemerintah.
Sehingga program dan penerapan IPTEK kepada masyarakat dapat saling
bersinergi. Akhirnya diperoleh hasil yang lebih optimal untuk meningkatkan
populasi sapi bali.

4.3 Gagasan yang diajukan


4.3.1 Konsep Gagasan yang diberikan
Suatu cara untuk mengatasi sulitnya mendeteksi berahi yaitu dengan cara
penerapan teknis sinkronisasi berahi. Prinsip dasar dari sinkronisasi berahi adalah
memanipulasi dari fenomena siklus berahi, baik dengan cara menghambat sekresi
LH ataupun memperpendek masa hidup dari corpus luteum yang berujung pada
berahi dan ovulasi. Keuntungan dari sinkronisasi berahi adalah ketepatan waktu
ovulasi sehingga mengurangi waktu yang diperlukan untuk mendeteksi berahi
sehingga tingkat keberhasilan dari inseminasi buatan dapat ditingkatkan.
Sinkronisasi berahi pada ternak dimaksudkan agar ternak-ternak betina serentak
berahinya dalam waktu yang sama. Selanjutnya ternak-ternak tersebut dapat
diinseminasi secara bersama-sama sehingga dapat diprediksi waktu kelahiran
yang bersamaan. Sistem ini dapat dipakai dalam perencanaan kelahiran anak dan
pemasaran ternak di masa depan.

Metode sinkronisasi berahi dapat dilakukan dengan menggunakan preparat


hormon seperti prostaglandin dan progesteron. Prostaglandin F2α (PGF-2α)
bersifat luteolitik yang berperan untuk meregresikan corpus luteum (CL),
mengakibatkan penghambatan yang dilakukan hormon progesteron yang
dihasilkan oleh CL terhadap gonadotropin menjadi hilang. Akibat yang
ditimbulkannya adalah terjadi pertumbuhan dan pematangan folikel dalam
ovarium. Toelihere (2002) menyatakan bahwa efek pemberian PGF-2α akan
menurunkan level progesteron dan akan memberikan rebound effect terhadap
pelepasan hormon gonadotropin (FSH = follicle stimulating hormone dan LH =
luteinizing hormone, Dengan teknik ini permasalahan deteksi berahi dapat
dieliminir, sehingga pelaksanaan inseminasi buatan dapat dioptimalisasi.
Usaha ini bertujuan untuk mensinkronkan kondisi reproduksi ternak sapi
donor dan resipien sehingga mampu meningkatkan efisiensi produksi dan
reproduksi kelompok ternak, serta mengoptimalisasi pelaksanaan inseminasi
buatan, mengurangi waktu dan memudahkan observasi deteksi berahi, dapat
menentukan jadwal kelahiran yang diharapkan, menurunkan usia pubertas pada
sapi dara, penghematan dan efisiensi tenaga kerja inseminator karena dapat
mengawinkan ternak pada suatu daerah pada saat yang bersamaan.

Berahi bertepatan dengan perkembangan maksimum folikel-folikel


ovarium. Manifestasi psikologis berahi ditimbulkan oleh hormon seks betina,
yaitu estrogen yang dihasilkan oleh folikel-folikel ovarium. Pada sapi betina
seringkali terjadi berahi tenang semua fenomena histologis dan fisiologis yang
normal dapat teramati, termasuk ovulasi tetapi respon untuk perkawinan tidak
tampak, untuk beberapa individu, kebutuhan estrogen mungkin lebih besar
dibanding yang lainnya dan berahi tenang mungkin disebabkan oleh kegagalan
dalam mensekresi estrogen dalam jumlah yang cukup besar untuk menimbulkan
respon perkawinan. Tanda-tanda sapi berahi antara lain vulva nampak lebih merah
dari biasanya, bibir vulva nampak agak bengkak dan hangat, sapi nampak gelisah,
ekornya seringkali diangkat bila sapi ada dipadang rumput sapi yang sedang
berahi tidak suka merumput, kunci untuk menentukan yang mana diantara sapi-
sapi yang saling menaiki tersebut berahi adalah sapi betina yang tetap tinggal
diam saja apabila dinaiki dan apabila didalam kandang nafsu makannya jelas
berkurang, pada sapi dewasa laktasi tidak jarang produksi susunya turun.

Manfaat dari tindakan sinkronisasi berahi pada sapi antara lain: 1.


Optimalisasi dan efisiensi pelaksanaan IB. Dengan teknik ini dimungkinkan
pelaksanaan IB secara massal pada suatu waktu tertentu 2. Mengatasi masalah
kesulitan pengenalan berahi. Subestrus atau berahi tenang yang umum terjadi pada
potong di Indonesia dapat diatasi dengan teknik sinkronisasi berahi. 3. Mengatasi
masalah reproduksi tertentu, misalnya anestrus post partum (anestrus pasca
beranak). 4. Fasilitasi program perkawinan dini pasca beranak (early post partum
breeding) pada sapi potong dan perah. Teknik ini dapat digunakan untuk
mempercepat berahi kembali pasca beranak, pemendekkan days open (hari-hari
kosong) dan pemendekkan jarak beranak.
Pelaksanaan sikronisasi estrus pada sapi membutuhkan persyaratan
tertentu untuk mendapatkan hasil yang optimum. Persyaratan tersebut antara lain:
1. Sapi dalam keadaan tidak bunting. Hal ini sangat penting, karena kalau sampai
sapi bunting diberi perlakuan sinkronisasi estrus, akan berakibat keluron atau
abortus. Pemeriksaan kebuntingan dan alat reproduksi sebelum perlakuan harus
dilakukan secara cermat untuk memastikan bahwa hewan tidak dalam keadaan
bunting. 2. Hewan harus mempunyai kesehatan alat reproduksi yang baik. Adanya
peradangan alat reproduksi, endometritis, metritis, vaginitis, akan sangat
berpengaruh pada hasil konsepsinya. Pemeriksaan klinis alat reproduksi perlu
dilakukan sebelum dilakukan perlakuan sinkronisasi estrus. 3. Body condition
score (BCS) hewan optimum, antara 3,0 – 3,5. Sinkronisasi estrus pada sapi
dengan BCS < 3, begitu pula sapi dengan BCS terlalu tinggi > 4 juga berresiko
rendahnya angka konsepsi. 4. Khusus untuk sinkronisasi estrus menggunakan
PGF2, hewan harus mempunyai korpus luteum pada salah satu ovariumnya.
Pemeriksaan adanya korpus luteum sangat diperlukan, mengingat PGF2
mempunyai target organ korpus luteum. Sapi yang bersiklus estrus namun belum
mempunyai korpus luteum maka perlakuannya ditunda sampai terbentuk korpus
luteum yang berukuran cukup besar.

Toelihere (2002) menyatakan sebelum melaksanakan IB, terlebih dahulu


dilakukan pemeriksaan mengenai kesehatan ternak secara umum dan kondisi alat
kelamin betina. Harus diyakinkan bahwa sapi yang akan diinseminasi tidak dalam
keadaan bunting. Karena sapi bunting juga sering menunjukan gejala-gejala
berahi (meskipun palsu). Sapi yang menderita gejala nymphomania (memberi
tanda-tanda mau kawin terus-menerus) juga harus menjadi perhatian. Pemeriksaan
juga dilakukan secara umum saja, yaitu dengan melihat (inspeksi) dan menyentuh
(palpasi). Inseminasi buatan sapi umumnya menggunakan teknik rektovaginal
dimana semen didepositkan di dua bagian yaitu uterus dan servik. Teknik ini
menggunakan inseminasi gun yang dimasukkan kedalam alat reproduksi betina
Inseminasi buatan adalah proses memasukan sperma ke dalam saluran reproduksi
betina dengan tujuan untuk membuat betina jadi bunting tanpa perlu perkawinan
alami. Potensi yang dimiliki seekor pejantan sebagai sumber informasi genetik,
serta menurunkan atau menghilangkan biaya investasi pengadaan dan
pemeliharaan ternak pejantan. Apalagi yang unggul dapat dimanfaatkan secara
efisien untuk membuahi banyak betina (Hafez, 1993).

Keuntungan dari inseminasi buatan mempertinggi kegunaan


pejantanpejantan unggul, daya guna seekor pejantan yang secara genetik unggul
dapat dimamfaatkan semaksimal mungkin, penggunaan IB sangat menghemat
biaya disamping dapat menghindari bahaya dan menghemat tenaga pemeliharaan
pejantan yang belum tentu merupakan pejantan terbaik untuk diternakkan,
penularan penyakit dapat dicegah melalui Inseminasi Buatan.

4.3.2 Alat sederhana yang digunakan

PA LANA (paket alat sederhana) yang ditawarkan meliputi:

1. Vaginal spongial

Gambar 1. Vaginal spongial sederhana

Vaginal sponge ini dibuat dengan cara mencetaknya menggunakan besi


yang berbentuk tabung. Besi tersebut ditancap dan ditekan kearah spons sehingga
menjadi vaginal spongial sederhana yang dapat digunakan. Vaginal sponge ini
berfungsi untuk menyimpan hormon atau menyerap hormon untuk disimpan
kedalam saluran reproduksi sapi betina. Vaginal spongial diikat dengan sutal tali
putih agar memudahkan pengeluarannya setelah birahi muncul.

2. Vagina Buatan

Gambar 2. Vagina Buatan Sederhana

Vagina buatan dibuat dengan menggunakan ban dalam motor bekas.


Bagian dalamnya dilapisi dengan karet putih agar menyerupai bagian saluran
reproduksi sapi betina. Vagina buatan ini berfungsi untuk menampung semen dari
sapi pejantan saat sehingga semen dapat disimpan untuk kebutuhan nantinya.
Bagian dalam vagina buatan ini diberikan air hangat agar memiliki suhu yang
mirip dengan saluran reproduksi betina saat sedang penampungan semen sapi
pejantan.

3. Alat pemasuk vagina spongial

Gambar 3. Alat Pemasuk Sederhana

Alat pemasuk ini dibuat dari palaron yang dibentuk untuk memudahkan
memasukkan vaginal spongial kedalam saluran reproduksi sapi betina. Alat
pemasuk ini dilengkapi dengan batang pendorong yang memudahkan proses
pemsukan vaginal spongial.

3. Lembar pencatatan sederhana

Lembar pencatatan ini memuat bahasa-bahasa yang mudah dimengerti


oleh peternak meliputi waktu birahi, waktu IB, waktu SE, waktu bunting, dan
waktu lahir serta identitas sapi. Catatan ini penting untuk mendukung manajemen
perkawinan yang baik.

4.2 Strategi untuk Mengimplementasikan Gagasan

1. Melakukan koordinasi dengan Sentra Peternakan Rakyat (SPR)

Penerapan sinkronisasi estrus dan inseminasi buatan ini dikoordinasikan


dengan SPR. Tujuannya program-program yang diberikan kepada peternak rakyat
dapat saling bersinergi dengan program-program lainnya seperti program
pemberian pakan. Selain itu koordinasi perlu dilakukan kepada BPTP (Balai
Pengkaji Teknologi Pertanian) dan BIB (Balai Inseminasi Buatan).
2. Melakukan sosialisasi kepada pihak-pihak berkepentingan.

Penerapan dengan menggunakan alat tambahan paket alat sederhana


disampaikan kepada pihak-pihak terkait sehingga dapat dilakukan transfer ilmu
untuk pembuatannya.

3. Melakukan pelatihan teknis.

Pelatihan teknis kepada peternak rakyat dilakukan meliputi penampungan


semen, pengolahan semen, sinkronisasi estrus, dan inseminasi buatan.

4. Melakukan evaluasi dan monitoring.

Monitoring dilakukan sehingga dapat dilakukan evaluasi untuk perbaikan


penerapan sinkronisasi estrus dan inseminasi buatan berikutnya.
V

PENUTUP
5.1 Kesimpulan

Sinkronisasi estrus dan inseminasi buatan dapat diterapkan pada sapi bali di
Indonesia. Sinkronisasi estrus akan menghasilkan birahi pada sapi bali secara
serentak. Sehingga dapat dilakukan inseminasi buatan secara bersamaan.
Penerapan ini dilakukan dengan melibatkan berbagai pihak didalam program
sentra peternakan rakyat. Keterlibatan berbagai pihak diharapkan dapat
meningkatkan keberhasilan penerapan sinkronisasi estrus dan inseminasi buatan.

Penerapan ini dilakukan dengan tujuan mempercepat peningkatan populasi


sapi bali dengan keunggulan yang dimilikinya sehingga dapat memenuhi
kebutuhan daging yang semakin meningkat. Peningkatan sapi bali dapat
meminimalisasi dilakukannya impor sapi atau daging. Penerapan ini diharapkan
dapat memenuhi kebutuhan masyarakat guna mempersiapkan sumber daya yang
unggul. Selain itu penerapan ini akan memberikan manfaat kepada peternak
rakyat.

5.2 Rekomendasi

Penerapan sinkronisasi estrus dan inseminasi buatan dapat diterapkan dengan


keseriusan dari berbagai pihak. Program Sentra Peternakan Rakyat dapat
dijadikan media dalam meningkatkan keberhasilan penerapan ini karena
melibatkan pemerintah, perguruan tinggi, swasta, serta masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA

Cole, H. H., 1966. Introduction to Livestock Production. 2 nd ed. W. H. Freeman


and Company, San Francisco.
Darmadja SGND. 1980. Setengah Abad Peternakan Sapi Tradisional dalam
Ekosistem Pertanian di Bali.(Desertasi). Bandung : Program Pascasarjana.
Universitas Pajajaran.
Gordon, I. H. 1996. Controlled Reproduction in Cattle and Buffaloes. CAB
International.
HAFEZ E.S.E. 1993. Reproduction In Farm Animals. Lea and Febiger.
Philadelphia 1993.
Hafez ESE. 2000. Reproduction in Farm Animals 6th Ed Lippincott Williams and
Wilkins.
Hastuti, D. 2008. Tingkat keberhasilan inseminasi buatan sapi potong ditinjau
dari angka konsepsi dan service per conception. Jurnal Fakultas Pertanian
Universitas Wahid Hasyim. Mediagro vol.4. No.1. Semarang.
Hartati, S. 2010. Pedoman Pelaksanaan Inseminasi Buatan Pada Ternak Sapi.
Direktorat Jenderal Peternakan, Kementerian Pertanian, Jakarta.
Jainudeen Mr, and Hafez Ese. 1993. Cattle and buffalo. in: Hafez ESE, editor.
Reproduction in farm animals. 6th ed., Philadelphia: Lea and Febiger;
1993. p. 315 – 29.
Murtidjo. 1990. Beternak Sapi Potong. Kanisius, Yogyakarta.
Nandang Sunandar dan Yayan Rismayanti. Sinkronisasi Estrus Tingkatkan
Peluang Kelahiran secara Serentak pada Sapi Potong. Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian Jawa Barat. Edisi 19-25 September 2012 No.3474.
Pane, I. 1991. Produktivitas dan greeding sapi Bali. Pros. Seminar Nasional Sapi
Bali, 2 – 3 September 1991. Fakultas Peternakan Universitas Hasanudin,
Ujung Pandang.
Payne, W.J .A. and D.H .L. Rollinson, 1973. Bali Cattle. World Anim. Rev. 7: 13-
21.
Partodihardjo, S. 1992. Ilmu Reproduksi Hewan. PT. Mutiara. Surnber Widya:
Jakarta.
Purwantara B, Noor RR, Andersson G, and Rodriguez-Martinez H. 2012. Banteng
and Bali Cattle in Indonesia: Status and Forecasts. Reprod Dom Anim 47
(Suppl. 1), 2–6 Peningkatan Mutu Perguruan Tinggi Universitas
Hasanuddin. Makassar.
Talib, C. 2002. Sapi Bali di daerah sumber bibit dan peluang pengembangannya.
Jurnal Wartazoa Vol. 12 No. 3.
Samariyanto. 2004. Alternatif Kebijakan Perbibitan Sapi Potong dalam Era
Otonomi Daerah . Lokakarya Sapi Potong. http://Gooogle/Puslibangnak.
Bogor 2006.
Sampurna, IP. 2013. Pola Pertumbuhan dan Kedekatan Hubungan Dimensi Tubuh
Sapi Bali. Disertasi Program Pascasarjana, Program Studi Ilmu
Peternakan,Universitas Udayana, Denpasar, 2013.
Sugeng. Y,B. 2008. Edisi Revisi Sapi Potong, Pemeliharaan, Perbaikan
Produksi, Proyek Bisnis, Analisis Penggemukan. Penebar Swadaya.
Jakarta
Sonjaya, H.E., Bustam, M. Jufri, A.L. Toleng dan Sudirman. 2006. Survei ternak
sapi Bali di daerah pedesaan Propinsi Sulawesi Selatan. Proyek
Tillman, A.D., H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo, S. Prawirokusumo, S.
Lebdosoekotjo., 1986. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
Toelihere, M.R. 2005. Inseminasi Buatan pada Ternak. Penerbit Angkasa.
Bandung.
Wardoyo M. 1950. Peternakan Sapi di Sulawesi Selatan (Cattle farming in South
Sulawesi). Hemera Zoa 56, 116–118.
Williamson G dan Payne WJA. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis.
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Ketua
Nama : Syahrizal Nasution
Tempat, Tangal Lahir : Medan, 10 Januari 1995
Semester :7
Email : syahrizalnast@gmail.com
Pemakalah Seminar Ilmiah
Nama Pertemuan Waktu dan
No. Judul Artikel Ilmiah
Ilmiah/Seminar Tempat
1 AAAP 17th Animal Glove Detector Capacitance 22 agustus 2016,
Science Congress Based-Tiren Cichken as Meat Fukuoka, Jepang
Safety Solution in Indonesia

Penghargaan dalam 10 tahun Terakhir


Institusi Pemberi
No. Jenis Penghargaan Tahun
Penghargaan
Lolos PKM-K 2015 (Program
1 Kreativitas Mahasiswa Dikti 2015
Kewirausahaan)
Lolos PKM-M 2015 (Program
2 Dikti 2015
Kreativitas Mahasiswa-Pengabdian)
3 Juara Cerpen Ramadahan 1436 H Dkm An-Nahl 2015
Liaison Official Pekan Ilmiah
4 Nasional 2015 di Kendari, Sulawesi Universitas Padjadjaran 2015
Tenggara
Juara LCC Agriculture Fair (se- Fakultas Pertanian
5 2015
Agrokompleks) Universitas Padjadjaran
Juara Tulisan Menyambut Tahun FKDF Universitas
6 2015
Baru Islam 1436 H, Padjadjaran
Penerima Hibah Unggulan Program
Fakultas Peternakan
7 Studi 2015 bidang Kewirausahaan 2015
Universitas Padjadjaran
(Kedai Salwa)
Lolos PKM-KC 2016 (Program
8 Ristek Dikti 2016
Kreativitas Mahasiswa-Karsa Cipta)
Lolos PKM-P 2016 (Program
9 Ristek Dikti 2016
Kreativitas Mahasiswa-Penelitian)
10 Juara 3 Mahasiswa Berprestasi Fakultas Peternakan 2016
Fakultas Peternakan Universitas Universitas Padjadjaran
Padjadjaran
11 Juara 1 LKTI NASIONAL PHINISI Fakultas Peternakan 2016
UNHAS Universitas Hasanuddin
12 Partisipan PIS (Pimnas Investment DIKTI 2016
Summit) tingkat Nasional di IPB.
13 Lolos Paper di The 9th Conference Indonesian Students 2016
of Indonesian Students Association in South
Association in South Korea Korea
(CISAK)”

Anggota 1
Nama : Fazri Shodiq S
Tempat, Tangal Lahir :
Semester :5
No. Tel/Hp :

Anggota 2
Nama : Annisa Nurahmah
Tempat, Tangal Lahir :
Semester :
No. Tel/Hp :
SURAT PERNYATAAN PESERTA

Yang bertanda tangan dibawah ini;

Nama : Syahrizal Nasution


Alamat : Cianjur
Nama : Fazri Shodiq S
Alamat : Cirebon
Nama : Annisa Nurahmah
Alamat : Bandung
Dengan ini menyatakan bahwa karya tulis dengan judul, “PA LANA: Paket Alat
Sederhana dalam Penerapan Sinkronisasi Estrus dan Inseminasi Buatan di Sentra
Peternakan Rakyat untuk Peningkatan Populasi Sapi Bali” adalah benar-benar asli
merupakan hasil karya tulis kami (bukan jiplakan) dan karya tulis tersebut belum
pernah dan tidak sedang diikutsertakan dalam dalam lomba lain dan/atau
dipublikasikan, kecuali dalam LKTIN PMM AL_HIKMAH 2016 yang
diselenggarakan oleh PENGAJIAN MAHASISWA MUSLIM (PMM AL-
HIKMAH) UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA. Apabila di kemudian
hari terbukti sebaliknya, maka kami bersedia mendapat sanksi dan didiskualifikasi
dari kompetisi tersebut. Demikian pernyataan ini dibuat dalam keadaan sadar dan
tanpa ada unsur paksaan dari pihak manapun.

Sumedang, 28 Oktober 2016

Yang membuat pernyataan


Ketua Kelompok Anggota Kelompok 2 Anggota Kelompok 1

Syahrizal Nasution Annisa Nurahmah


Fazri Shodiq S
NIM. 200110130284 200110140172
200110140198

Anda mungkin juga menyukai