Anda di halaman 1dari 3

Nama : Siti Ericha Dwi Kurnia

NIM : 121911433053

Mata Kuliah : Sejarah Seni Pertunjukan

Dosen Pengampu : Dr. Samidi S.S., M.A.

Penyebab Seni Pertunjukan Rakyat pada Akhir Abad ke-20 Mengalami Kemunduran

Kesenian merupakan salah satu sistem kebudayaan yang universal di setiap masyarakat
berbagai daerah. Salah satu kesenian yang berperan besar masyarakat adalah kesenian
tradisional, seni tradisi terletak pada apresiasi masyarakat terhadap sisi historis atau dasar
filosofinya yang melekat kuat dan beberapa diantaranya mengandung sisi kesakralan tersendiri.
Secara kultural, kesenian tradisional biasanya menjadi pewarisan dari generasi ke generasi dan
terus diberdayakan. Seni pertunjukan merupakan teater tradisi yang kelahirannya dipengaruhi
faktor eksternal yakni sosial, ekonomi, dan politik. untuk itu, pengaruhnya pun dari faktor yang
bersifat nonkesenian, fungsi dari seni pertunjukan pula tidak sebatas hanya sebagai hiburan
melainkan berperan sebagai media komunikasi, merefleksikan modernisasi, dan representasi
sosial. Meskipun begitu, sejalan dengan semakin majunya suatu masyarakat, semakin besar pula
pengaruh dari luar yang diterima oleh masyarakat terutama pengaruh dari pesatnya ekonomi dan
teknologi informasi dan komunikasi. Dari beberapa sumber yang telah dikumpulkan dan
diverifikasi, faktor yang mempengaruhi kemunduran seni pertunjukan diantaranya: 1) Teknologi,
2) Ekonomi, 3) Kebijakan Pemerintah, 4) Perilaku masyarakat.

Datangnya perubahan sosial akibat dari proses industrialisasi dan sistem ekonomi pasar,
serta teknologi informasi. Akibat dari perubahan tersebut kesenian menjadi kesenian yang
komersial, didukung dengan pesatnya teknologi informasi dan komunikasi, telah menjadi sarana
difusi budaya yang ampuh sekaligus menjadi beragam hiburan yang alternatif bagi masyarakat
luas. Begitu pula dalam pengembangan seni budaya oleh pemerintah yang menekankan sikap
industri dan ekonomi kreatif. Instruksi Presiden RI nomor 16 tahun 2005 tentang Kebijakan
Pembangunan Kebudayaan dan Pariwisata menegaskan agar pemerintah daerah mengambil
langkah nyata dalam upaya tidak hanya melestarikan tetapi juga menyejahterakan masyarakat.
Namun, konsep kekinian yang mana pola pikir dari perubahan masyarakat menjadikan seni
pertunjukan menjadi terpinggirkan bahkan berbenturan dengan pemahaman perubahan
masyarakat. Untuk itu, berbagai bentuk seni pertunjukan tradisional dikemas menjadi seni
pariwisata, pun dengan seni yang menggunakan ritual-ritual kurang mendapatkan perhatian. Hal
tersebut dikarenakan dalam ranah industri ekonomi kreatif seni pertunjukan dengan kemasan
seni pariwisata menjadi perwujudan dari hasil dari perkembangan zaman. Dapat dikatakan
bahwa seiring berkembangnya zaman, proses seni pertunjukan dituntut menjadi pelestarian seni
budaya yang inovatif dan kreatif. Seperti yang diketahui, revolusi industri membangun segala
pengemasan baik dari sisi ekonomi, sosial, budaya, khususnya teknologi informasi dan
komunikasi agar memberi kenikmatan yang lebih fleksibel dan realistis.

Era globalisasi yang terjadi pada pertengahan abad ke-20 telah mengintervensi segala
aspek kehidupan masyarakat. Di satu sisi memudahkan gerak manusia melangsungkan
kehidupannya, di lain sisi berdampak pada kemunduran bagi beberapa unsur kebudayaan. Arus
globalisasi mengakibatkan terjadinya perubahan sosial dimana individu-individu melakukan
penyesuaian perilaku dan tindakan berdasarkan globalisasi tersebut. Pada konteks seni menurut
Soedarsono, muncul bentuk baru dan fungsi baru akibat kebutuhan dan kreativitas manusia. Dari
sini, maka seni pertujukan berkiblat ke arah money value, kemudian berlanjut menuju
sekulerisasi dan imitasi yang berlebihan. Variasi seni pertunjukan akan menyesuaikan selera
pasar mengakibatkan kekalahan dari nilai dan tupoksi seni tradisional itu sendiri.

Manusia yang lahir pada paruh awal abad ke-20 masih dapat diajak berdialog masalah
seni-seni yang berada di lingkungannya, termasuk seni budaya dalam jenis seni pertunjukan
secara intens dan konseptual. Namun, lain hal dengan generasi yang lahir pada paruh akhir abad
ke-20, cukup sulit bagi mereka timbul keinginan membahas tentang seni pertunjukan apalagi
jenis seni yang dibumbui kesan kuno atau mistis. Bahkan para pelaku dan penggarap seni budaya
tidak sanggup berbicara seninya secara konseptual, sebab telah terjadi yang namanya
keterbalikan arah dalam pandangan strata antara dunia kreatif yang lain dengan dunia hiburan
seni pertunjukan. Di sisi lain, pada saat ini tidak sedikit masyarakat etnis yang kurang
menghargai keseniannya sendiri, pun para generasi muda hampir sebagian besar enggan
mempelajari apalagi memahami bahkan merasa malu. Hal ini terjadi karena kurangnya upaya
kemampuan bangsa dalam pembinaan, pelestarian, dan pengelolaan seni budaya, padahal
hambatan tersebut merupakan tanggung jawab pemerintah daerah. Kualitas pengelolaan dan
pelestarian yang rendah juga bukan hanya karena kapasitas fisikal namun juga kurangnya
pemahaman, apresiasi, kesadaran, dan komitmen pemerintah terhadap nilai-nilai seni budaya.
Terlebih lagi, aparat pemerintah cenderung menjadikan para seniman dipandang sebagai objek
pembangunan yang diminta menyesuaikan diri dengan tujuan simbol pembangunan. Hal tersebut
sangat berpengaruh pada rasa dan karsa dari kesenian itu sendiri. Didukung oleh nilai seni yang
mendalam bukan saja dijadikan sebagai model dalam pembangunan. Dengan demikian, seni
pertunjukan semakin lama tidak dapat memiliki ruang yang cukup dan memadai sebagai tempat
perkembangannya.
Bahan Bacaan

Kurniawan, Irfan. "KONTRADIKSI KEBIJAKAN INDUSTRI DAN USAHA PELESTARIAN


KESENIAN TRADISI." JURNAL SENI DESAIN DAN BUDAYA, 2016: 7-11.

Liramedia.co.id. "Kemunduran Seni Pertunjukan di Surabaya." 10 02, 2017: 1.

M. Mukhsin Jamil, Khoirul Anwar, Khoirul Anwar, dan Abdul Kholiq. "FAKTOR-FAKTOR
YANG MEMPENGARUHI LUNTURNYA KESENIAN TRADISIONAL
SEMARANG." Riptek, 2011: 41-51.

Rini, Yuli Sectio. "DAMPAK TEKNOLOGI INFORMASI DALAM SENI PERTUNJUKAN


TRADISI DI YOGYAKARTA." FBS, 2007: 1.

Samidi. "identitas Budaya Masyarakat Kota: Teater Tradisi di Kota Surabaya pada Awal Abad
XX." Indonesia Historical Studies, 2019: 2-3.

Anda mungkin juga menyukai