Anda di halaman 1dari 147

MOTIVASI DALAM OLAHRAGA

Tugas Mata Kuliah Psikologi Olahraga

Dosen Pengampu:
Dr. Dra. Niken Fatimah Nurhayati, M.Pd.

Oleh:
Kelompok 1
Agusta Dwi Kalvari 15000120140160
Agil Sekar Aryani 15000120130118
Arqi Maulana Caesaputra 15000119130320
Aulia Eryan Saputri 15000120130227
Ester Berniati br Sitepu 15000120120014
Putri Cantika P P 15000120130290

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2022
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas
rahmat dan karunia-Nya kami diberikan kesehatan dan kekuatan sehingga dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Motivasi dalam olahraga” dari mata kuliah
Psikologi Olahraga ini dengan tepat waktu.

Kami juga mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak-pihak yang


terlibat dalam penyusunan makalah ini, yang mencakup dosen pengampu kelas
Psikologi Olahraga Dr. Dra. Niken Fatimah Nurhayati, M.Pd, koordinator mata
kuliah, seluruh anggota kelompok satu, dan banyak lainnya yang belum bisa kami
sebut satu demi satu.

Terlepas dari semua itu, kami tentunya menyadari bahwa makalah ini jauh
dari kata sempurna. Dari kesalahan dan kekeliruan yang ada baik dari segi
penulisan, tata bahasa maupun dalam hal kelengkapan materi, kami harap bukan
menjadi penghalang para pembaca untuk mendapatkan informasi. Maka dari itu,
kami mengharapkan kritik serta saran yang membangun dari pembaca sekalian.

Akhir kata, kami ucapkan terima kasih. Semoga makalah ini dapat
membawa manfaat bagi para pembaca.

Semarang, September 2022


DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR 2

BAB 1 4

PENDAHULUAN 4
Latar Belakang 4
Rumusan Masalah 4
Tujuan Penulisan 5

BAB 2 6

PEMBAHASAN 6
Pengertian Motif dan Motivasi 6
Pendekatan-pendekatan Motivasional 6
Sumber-sumber Motivasi 7
Teknik-teknik Meningkatkan Motivasi 9
Contoh Studi Kasus Motivasi dalam Olahraga 11

BAB 3 13

PENUTUP 13
Kesimpulan 13
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Olahraga merupakan salah satu cara yang digunakan untuk


meningkatkan kualitas manusia yang sehat jasmani dan rohani. Melalui
olahraga, manusia dapat membangun pondasi dalam membentuk kepribadian
individu yang kuat dan jiwa yang sehat, tangguh dan kreatif dalam
menghadapi perubahan dan persaingan yang selalu bergerak maju. Olahraga
memiliki manfaat sebagai sarana mencapai prestasi, mata pencaharian,
kesehatan, media kebudayaan, dan sarana pendidikan (Lauh, 2014 dalam
Jannah & Karina, 2022). Olahraga dalam bentuk permainan biasanya berupa,
perlombaan atau pertandingan yang intensif untuk membina, mendorong
serta mengembangkan potensi seseorang agar mendapat prestasi maksimal.
Dengan banyak manfaat yang dapat diperoleh dari berolahraga,
tentunya terdapat proses yang membutuhkan waktu dan tenaga. Faktanya
banyak orang yang hanya menginginkan manfaat olahraga, namun terlalu
banyak alasan untuk menunda melakukan aktivitas olahraga tersebut. Ada tiga
faktor yang berdampak pada partisipasi olahraga, yaitu faktor individu, faktor
lingkungan, dan faktor sosial budaya. Faktor individu ini meliputi komitmen,
konsistensi, dan motivasi. Tidak sedikit orang yang hanya menentukan agenda
berolahraga, tetapi tidak menerapkannya. Di sisi lain seorang olahragawan pun
dapat mengalami kejenuhan untuk berolahraga karena sudah menjadi rutinitas
kehidupannya.
Langkah awal untuk membangun komitmen dan konsistensi dalam
berolahraga adalah motivasi. Maka dari itu, makalah ini tertarik untuk
membahas lebih dalam tentang motivasi berolahraga serta bagaimana
cara-cara ataupun teknik untuk meningkatkan motivasi untuk berolahraga.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana yang dimaksud dengan motivasi?
2. Apa saja pendekatan-pendekatan motivasional?
3. Apa yang menjadi sumber dari motivasi?
4. Bagaimana teknik untuk meningkatkan motivasi?
C. Tujuan Penulisan
1. Memahami tentang yang dimaksud dengan motivasi
2. Mengetahui pendekatan-pendekatan motivasional
3. Mengetahui sumber dari motivasi
4. Memahami teknik untuk meningkatkan motivasi
BAB 2

PEMBAHASAN

A. Pengertian Motif dan Motivasi

Secara etimologis kata motif berasal dari bahasa Inggris, disebut


sebagai motive yang berasal dari kata motion yang berarti bergerak atau
sesuatu yang bergerak. Jika mengutip pengertian dari beberapa ahli, motif
merupakan perilaku yang didorong oleh kekuatan yang ada didalam dirinya
sendiri, atau dapat diartikan motif adalah sebagai pendorong atau penggerak
dalam diri manusia yang diarahkan pada tujuan tertentu (Komarudin, 2015).
Dapat ditarik kesimpulan bahwa motif mempunyai arti unsur-unsur yang
mendorong manusia bergerak atau berperilaku. Motivasi berasal dari kata
Latin movere yang berarti dorongan atau daya penggerak. Secara umum
motivasi diartikan sebagai keseluruhan proses gerakan termasuk situasi di luar
diri kita yang menyebabkan dorongan dan adanya tujuan perilaku seseorang.
Selain itu, motivasi adalah tenaga atau faktor yang ada pada diri
manusia yang dapat menimbulkan, mengarahkan, dan mengorganisasikan
tingkah laku (Emmatrifena, 2020). Motivasi bisa muncul karena faktor
internal maupun eksternal. didalamnya ada juga hubungan yang erat antara
motif dan motivasi, yaitu motif adalah keinginan untuk mencapai tujuan,
sedangkan motivasi sebagai penunjang atau kekuatan untuk mencapai tujuan.
Maka dari itu McClelland menggunakan istilah motif dan motivasi menjadi
suatu sinonim karena pengertian motivasi sudah mencakup pengertian dari
motif sebagai penggerak tingkah laku.

B. Pendekatan-pendekatan Motivasional
1. Motivasi sebagai sifat yang dimiliki seseorang (trait-centered)
Pendekatan ini menyimpulkan bahwa motivasi itu adalah
fungsi dari karakteristik individu, yaitu minat, kebutuhan, kepribadian,
dan tujuan dari individu yang bersangkutan.
2. Motivasi sebagai bentukan dari lingkungan (situation-centered)
Pendekatan ini menyimpulkan bahwa motivasi itu ditentukan
dari situasi individu tersebut sedang berada.
3. Motivasi sebagai interaksi antara sifat seseorang dan pengaruh
situasi (trait-situation)
Pendekatan ini menyimpulkan bahwa motivasi itu interaksi dari
tiap karakteristik individu dan situasi dimana individu sedang berada.

C. Sumber-sumber Motivasi

Menurut Firdaus (2012), dalam bukunya ia mengemukakan dua sumber


motivasi yang hadir dalam diri seseorang, yakni motivasi intrinsik dan
motivasi ekstrinsik.
1) Motivasi Intrinsik
Motivasi intrinsik merupakan motivasi yang bersumber dari
dalam diri individu. Individu yang memiliki motivasi yang bersumber
dari dirinya sendiri cenderung akan tetap melakukan suatu tindakan
karena ia menikmati hal tersebut walaupun tidak ada dorongan atau
hadiah dari luar dirinya. Individu yang memiliki motivasi intrinsik
biasanya merupakan pribadi yang ulet dalam melaksanakan tugas.
Menurut Fernando (2021), terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi motivasi intrinsik, yaitu:
a. Faktor bakat
Bakat merupakan salah satu kemampuan individu untuk
melakukan sesuatu kegiatan dan sudah ada sejak individu
tersebut ada. Dengan perkataan lain bahwa bakat adalah
kemampuan untuk memahami sesuatu. Kemampuan tersebut
baru akan terealisasi menjadi kecakapan yang nyata sesudah
belajar atau berlatih.
b. Faktor perhatian
Perhatian adalah pemusatan energi psikis yang tertuju pada
suatu objek pelajaran atau dapat dikatakan sebagai banyak
sedikitnya kesadaran yang menyertai aktivitas belajar.
c. Faktor konsentrasi
Konsentrasi adalah pusat seluruh keberadaan di sekitar situasi
pembelajaran. Konsentrasi merupakan kekuatan pertimbangan
dalam situasi pembelajaran.
d. Faktor reaksi
Reaksi adalah kecepatan individu dalam menangkap respons
dari luar dirinya dalam bentuk tindakan.
2) Motivasi Ekstrinsik
Motivasi ekstrinsik adalah motivasi yang bersumber dari luar
diri individu. Sumber yang dimaksud seperti hadiah, piala, uang, atau
penghargaan yang diberikan orang lain kepada dirinya. Oleh karena hal
tersebut, timbul motivasi atau keinginan dalam diri individu untuk
melakukan tugas yang diberikan.
Fernando (2021) juga mengungkapkan beberapa faktor yang
mempengaruhi motivasi ekstrinsik dalam diri seseorang meliputi:
a. Faktor keluarga
Keluarga merupakan lembaga pendidikan pertama bagi seorang
individu khususnya sebagai anak. Keluarga dapat menjadi salah
satu faktor motivasi ekstrinsik pada diri individu yang dapat
mendukung mereka dalam berbagai bentuk baik dukungan
moril dan materiil.
b. Faktor hadiah
Hadiah merupakan suatu hal baik berupa barang maupun
lainnya yang diberikan oleh seseorang.
c. Faktor saingan atau kompetisi
Saingan atau kompetisi dapat digunakan sebagai alat motivasi
untuk mendorong seorang individu belajar. Baik persaingan
individu maupun kelompok dapat mendorong prestasi dalam
belajar.
d. Faktor fasilitas
Fasilitas adalah segala sesuatu yang dibutuhkan dalam proses
belajar seorang individu. Fasilitas tersebut berupa sarana dan
prasarana yang dibutuhkan untuk menunjang kegiatan yang
dilakukan oleh individu tersebut.
Whitehead (dalam Firdaus, 2012) berpendapat bahwa motivasi intrinsik
dan motivasi ekstrinsik bukan merupakan hal yang bertolak belakang. Justru
keduanya merupakan tangga kontinum yang akan terus bergulir dalam diri
individu. Bahkan ia juga menempatkan amotivation (tidak ada motivasi)
sebagai ujung salah satu tangga. Pernyataan tersebut mengungkapkan bahwa
seorang individu yang tidak memiliki motivasi sekalipun dapat dibentuk dan
diarahkan pada motivasi ekstrinsik kemudian bergerak menuju motivasi
intrinsik.

Gambar 1
Amotivation Intrinsik Motivation dalam Sebuah Tangga Kontinum
(Whitehead, 1993)

D. Teknik-teknik Meningkatkan Motivasi

Dalam bukunya, Firdaus (2012) mengungkapkan beberapa teknik


untuk meningkatkan motivasi dalam diri individu. Teknik-teknik tersebut
meliputi:
1) Memahami faktor pribadi seseorang dan situasi yang ada. Dianjurkan
untuk tidak mengambil langkah apapun sebelum memahami hal yang
menyebabkan individu kurang termotivasi, baik faktor diri atau faktor
lingkungan. Jika faktornya berasal dari diri individu, maka perlu
adanya pendekatan pribadi terhadap individu tersebut. Akan tetapi jika
faktor penyebabnya berasal dari lingkungan, maka perlu dilakukan
modifikasi lingkungan yang lebih menarik.
2) Jika individu memiliki lebih dari satu motif maka pahami mengapa
individu tersebut berpartisipasi dalam aktivitas fisik. Motif tersebut
dapat berubah seiring berjalannya waktu.
3) Merekayasa lingkungan dengan berbagai cara, seperti kompetisi atau
rekreasi, memberikan berbagai kesempatan, dan sesuaikan
karakteristik individu dalam kelompok.
4) Memberikan reward yang memadai jika tercapainya suatu prestasi.
5) Pemimpin mempengaruhi motivasi. Pemimpin yang dimaksud dalam
kalimat tersebut seperti pelatih, orang tua, atau pembina yang dapat
mempengaruhi motivasi individu yang dipimpin.
6) Menggunakan modifikasi tingkah laku untuk mengubah motif yang
negatif. Motif negatif tersebut berupa individu melakukan kekerasan
pada saat pertandingan, tidak sportif, dan sering melanggar peraturan.
Dalam kondisi tersebut, perlu adanya modifikasi perilaku terhadap
individu yang bersangkutan.
Selain itu, terdapat beberapa cara lain menurut Handayani (2019) untuk
meningkatkan motivasi individu, yakni:
1) Teknik Verbal
Teknik verbal berarti memberi motivasi pada individu dengan
menggunakan tutur kata sebagai alatnya atau disampaikan secara lisan.
Hal ini dapat dilakukan melalui pembicaraan, diskusi, maupun
pendekatan individual.
2) Tingkah Laku
Teknik tingkah laku merupakan cara untuk memotivasi individu
melalui contoh atau keteladanan dari pemimpin baik itu pelatih
maupun orang tua dalam tingkah laku atau sikap perbuatan agar
dicontoh oleh individu tersebut.
3) Insentif
Teknik insentif yaitu cara memotivasi individu dengan adanya
“iming-iming” berupa uang atau benda lainnya atau dalam bentuk
hadiah.
4) Supertisi
Teknik supertisi adalah kepercayaan akan sesuatu secara logis atau
ilmiah tidak diterima tetapi dianggap membawa keberuntungan dalam
pertandingan.

E. Contoh Studi Kasus Motivasi dalam Olahraga

Motivasi Olahraga dalam Rangka Program Diet Clarissa Putri


Kasus :
Clarissa Putri merupakan seorang selebgram yang memiliki badan obesitas.
Mulai bulan Juni 2021, ia mulai melakukan diet dengan cara mengatur pola
makan dan memperbanyak aktivitas fisik, salah satunya berolahraga. Sebelum
memulai diet sehat, ia sudah beberapa kali melakukan diet, tetapi belum
berhasil karena cara kurang tepat. Setelah melewati sakit parah karena pola
diet yang kurang tepat, ia mulai bersemangat dan mendapatkan motivasi tinggi
untuk memulai proses dietnya yang lebih sehat. Di video Youtube yang
ditampilkan, Clarissa menceritakan bahwa ia mendapatkan support dari
keluarga dan orang-orang terdekatnya, sehingga ia memiliki motivasi untuk
melakukan diet. Selain itu, Clarissa juga merasa bahwa dirinya harus sehat dan
dia memiliki keinginan kuat untuk mengubah tubuhnya. Pola diet yang
dilakukan Clarissa selain mengatur pola makan adalah berolahraga secara
rutin. Clarissa juga mendapat dukungan dan support dari dokter maupun
catering diet selama proses dietnya. Selama proses diet Clarissa juga sering
membagikan kegiatan olahraganya di Instagram dan membuat banyak orang
yang termotivasi untuk berolahraga. Selain itu, ketika orang lain termotivasi
untuk berolahraga, Clarissa semakin bersemangat. Studi kasus ini dapat dilihat
melalui link-link berikut ini :
1. https://www.youtube.com/watch?v=ft3U_PDmXuM
2. https://www.instagram.com/reel/CejFWBVLC3X/?igshid=YmMy
MTA2M2Y=
3. https://www.youtube.com/shorts/EprP5VXHKTw

Pembahasan:
Dalam proses diet Clarissa Putri terdapat beberapa sumber motivasi yang
menjadikan dia menjadi bersemangat untuk berolahraga, yaitu :
1. Motivasi Intrinsik merupakan motivasi yang bersumber dari dalam diri
individu. Dalam kasus Clarissa, ia memiliki motivasi yang tinggi
dalam dirinya untuk hidup sehat, selalu ada untuk keluarganya karena
ia merupakan tulang punggung keluarga setelah ayahnya meninggal
dan tidak ingin membuat keluarganya sedih karena sakit-sakitan,
sehingga ia mulai melakukan olahraga dan menjaga pola makan.
2. Motivasi Ekstrinsik merupakan motivasi yang bersumber dari luar diri
individu. Ada beberapa motivasi ekstrinsik dari cerita Clarissa dalam
proses dietnya. Yang pertama dari orang-orang terdekat, baik keluarga
maupun teman-temannya selalu memberi support pada Clarissa selama
menjalani proses ini. Keluarga dan orang-orang terdekatnya selalu ada
untuknya ketika dia sedang sakit ataupun sedih, jadi Clarissa memiliki
mendapatkan asupan motivasi ekstrinsik dari mereka. Yang kedua
mendapatkan support fasilitas, selain mendapatkan support dari
catering diet, Clarissa juga mendapatkan endorse baju olahraga.
Selain sumber motivasi, dalam kasus Clarissa ia juga mampu meningkatkan
motivasinya dalam berolahraga, yaitu ketika mendapatkan semangat dari
orang-orang terdekat dan followers-nya, misalnya saat ia hanya rebahan saja
tetapi ketika dia melihat orang-orang terdekat atau followers-nya
memberitahukan bahwa mereka menjadi bersemangat berolahraga dan
terinspirasi oleh dia, maka Clarissa mulai bersemangat kembali dan tidak
malas-malasan. Selain itu dalam meningkatkan motivasi dalam berolahraga,
Clarissa juga bercerita bahwa dia senang menghadiahi diri sendiri, misalnya
membeli baju olahraga atau membeli sepatu olahraga baru.
Jadi pada studi kasus ini dapat disimpulkan bahwa setiap orang mampu
memiliki motivasi dalam berolahraga baik yang didapatkan dari dalam diri
maupun dari luar, meningkatkan motivasi dalam olahraga juga dapat
dilakukan dengan mudah akan tetapi semua itu kembali lagi pada individu itu
sendiri, ia mau bergerak dan mengubah diri ke arah yang lebih sehat atau
tidak.
BAB 3
PENUTUP

Kesimpulan

Pada makalah ini, kelompok kami membahas mengenai 5 bahasan, antara lain
pengertian motif dan motivasi, pendekatan-pendekatan motivasional, sumber-sumber
motivasi, teknik-teknik meningkatkan motivasi dan contoh studi kasus motivasi dalam
Olahraga. Motivasi merupakan keseluruhan proses gerakan termasuk situasi di luar diri kita
yang menyebabkan dorongan dan adanya tujuan perilaku seseorang. Sumber-sumber
motivasi berasal dari 2 jenis, yakni motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Motivasi
intrinsik dan motivasi ekstrinsik bukan merupakan hal yang bertolak belakang. Justru
keduanya merupakan tangga kontinum yang akan terus bergulir dalam diri individu. Motivasi
juga membutuhkan teknik, hal ini dibutuhkan agar seseorang dapat memahami faktor pribadi
dirinya dan situasi yang ada.
DAFTAR PUSTAKA

Emmatrifena, K. (2020). MOTIF TOKOH UTAMA DALAM DONGENG DAS MӒDCHEN


OHNE HӒNDE KARYA BRÜDER GRIMM. IDENTITAET, 9(1).

Fernando, J. (2021). Survey Motivasi Atlet Futsal SMKN 2 Bandar Lampung dimasa
Pandemi COVID-19 (Doctoral dissertation, Universitas Teknokrat Indonesia).

Firdaus, K. (2012). Psikologi olahraga teori dan aplikasi. The British Journal of Psychiatry,
111.

Handayani, S. G. (2019). Peranan psikologi olahraga dalam pencapaian prestasi atlet senam
artistik kabupaten sijunjung. Gelanggang Olahraga: Jurnal Pendidikan Jasmani Dan
Olahraga, 2(2), 1-12.
Komarudin. 2015. Psikologi Olahraga .Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Jannah, M., Permadani, F. D., & Karina, T. A. (2022). Motivasi Berprestasi Siswa Sekolah
Menengah Olahraga pada saat Pandemi Covid-19. Journal on Teacher Education, 3(2),
262-269.
Wafiiroh, A. N., Purnamasari, A. D., & Lestari, D. W. D. (2022). Literatur Review:
Hubungan Emosi dan Motivasi Terhadap Prestasi Olahraga Beladiri. Physical Activity
Journal (PAJU), 3(2), 169-180.
MAKALAH
MOTIVASI DALAM OLAHRAGA
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Peminatan Psikologi Olahraga
Kelas 1
Dosen pengampu: Dr. Dra. Niken Fatimah Nurhayati M.Pd.

Disusun oleh :

Kelompok 2

Disusun oleh:
Kelompok 2

Dwi Endah Widyani 15000120120050


Hanifah Nida Sari 15000120120027
Raras Kusuma Sari 15000120120012
Salma Fauziah Azzahro 15000120120023
Shinta Permatasari 15000120120021

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS DIPONEGORO

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa yang telah
memberikan berkat serta rahmat kepada kami untuk dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul “Motivasi dalam Olahraga” ini dengan baik dan tepat pada waktunya,
serta telah diberikan pengetahuan dan pemahaman yang lebih mendalam tentang
materi ini.
Kami mengucapkan terima kasih kepada dosen pengampu Mata Kuliah
Peminatan Psikologi Olahraga Kelas 1 yaitu Ibu Dr. Dra. Niken Fatimah Nurhayati
M.Pd. yang telah memberikan bimbingan serta ilmunya kepada kami yang sangat
membantu dalam proses pembuatan makalah ini. Kami juga mengucapkan terima
kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini.
Dalam pembuatan makalah ini, kami sebagai penulis menyadari bahwa
makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran dan kritik yang
membangun bagi penyempurnaan makalah ini dapat disampaikan kepada penulis.

Semarang, Agustus 2022

Kelompok 2

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 2
BAB II LANDASAN TEORI 3
A. Pengertian Motif dan Motivasi 3
B. Pendekatan-Pendekatan Motivasional 4
C. Sumber-Sumber Motivasi 10
D. Teknik-Teknik Meningkatkan Motivasi 14
BAB III STUDI KASUS 16
A. Kasus I: Laura Aurelia Dinda 16
B. Kasus II: Bethany Hamilton 17
C. Kasus III: Lalu Muhammad Zohri 19
BAB IV PENUTUP 21
A. Simpulan 21
B. Saran 21
DAFTAR PUSTAKA 22
LEMBAR KONTRIBUSI 24

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Setiap tahunnya, kegiatan di bidang olahraga perlu dikembangkan
dan ditingkatkan agar tercipta atlet yang unggul dan berprestasi. Atlet yang
unggul dan berprestasi ini tentu saja perlu mempersiapkan diri dengan
berbagai macam latihan fisik dan persiapan mental yang cukup. Hal ini
didukung dengan pernyataan dari Harsono (dalam Masrun, 2016) yang
mengatakan bahwa ada empat aspek yang perlu diperhatikan dalam
pembinaan olahraga, yakni aspek fisik, teknik, fisik dan mental. Salah satu
aspek yang disebutkan oleh tokoh tersebut yaitu perlu adanya pembinaan
pada kondisi mental. Marsun (2016) menjelaskan bahwa aspek mental
merupakan faktor internal dari seorang atlet yang dapat memengaruhi
kinerjanya. Aspek mental ini sebenarnya memiliki berbagai macam, namun
salah satu aspek mental yang cukup berpengaruh atas performa atlet untuk
berprestasi itu adalah motivasi. penelitian yang dilakukan oleh Azhimi,
Sulastri, dan Hudri (2021) kepada atlet Taekwondo di Kabupaten Ogan
yang menyatakan bahwa motivasi memiliki pengaruh signifikan terhadap
prestasi atlet.
Uno (2017) mendefinisikan motivasi sebagai dorongan internal dan
eksternal dalam diri seseorang yang disebabkan adanya minat dan
keinginan, dorongan, kebutuhan, harapan, cita-cita, dan tujuan. Kemudian
Chan & Aziz (dalam Wati & Jannah, 2021) juga mengartikan motivasi
sebagai kondisi yang dapat memberi dorongan pada seseorang untuk
melakukan suatu kegiatan yang ingin dicapainya. Sehingga, dapat
disimpulkan bahwa motivasi merupakan dorongan dalam diri maupun luar
atlet yang disebabkan karena adanya keinginan serta harapan yang ingin
dipenuhi. Atlet yang memiliki motivasi yang cukup baik tentunya akan
memengaruhi prestasinya. Hal ini didukung dengan penelitian yang
dilakukan oleh Azhimi, Sulastri, dan Hudri (2021) kepada atlet Taekwondo

1
di Kabupaten Ogan yang menyatakan bahwa motivasi memiliki pengaruh
signifikan terhadap prestasi atlet. Oleh karena pentingnya motivasi dalam
diri atlet tersebut, maka penulis membuat makalah ini dengan tujuan agar
dapat memahami serta mengenal lebih mendalam mengenai motivasi
terutama dalam kegiatan olahraga.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari motif dan motivasi?
2. Apa saja pendekatan-pendekatan motivasional?
3. Darimana saja motivasi itu bersumber?
4. Bagaimana teknik untuk meningkatkan motivasi?
5. Apa saja contoh kasus mengenai motivasi?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui dan memahami apa itu motif dan motivasi.
2. Untuk mengetahui apa saja pendekatan motivasional.
3. Untuk mengetahui darimana saja sumber motivasi.
4. Untuk mengetahui bagaimana cara dan teknik yang dapat dilakukan
untuk meningkatkan motivasi
5. Untuk mengetahui dan mendapat gambaran lebih jelas terkait motivasi

2
BAB II
LANDASAN TEORI

A. Pengertian Motif dan Motivasi


1. Motif
Kata motif atau “motive” dalam bahasa Inggris ini berasal dari
bahasa latin movere atau motion, yang berarti gerakan atau sesuatu yang
bergerak. Sedangkan dalam pandangan psikologis, istilah motif erat
kaitannya dengan “gerak”, yaitu gerakan yang dilakukan oleh manusia
atau disebut juga perbuatan atau perilaku (Sarlito, 2009). Kemudian
menurut R. S. Woodworth (dalam Sobur, 2003) mengartikan motif sebagai
suatu hal yang dapat atau mudah menyebabkan individu untuk melakukan
kegiatan-kegiatan tertentu (berbuat sesuatu) dan untuk mencapai tujuan-
tujuan tertentu.
2. Motivasi
Motif dan motivasi merupakan dua hal yang memiliki keterkaitan
satu sama lain dan sulit untuk dipisahkan. Karena motivasi bisa juga
dikatakan sebagai pembangkit motif, yaitu membangkitkan daya gerak,
atau menggerakkan seseorang atau diri sendiri untuk berbuat sesuatu
dalam rangka mencapai suatu kepuasan atau tujuan.
Menurut Sardiman (dalam Ravsanjani, 2021), motivasi adalah
sesuatu yang mendorong seseorang dalam perbuatan atau melakukan
tingkah laku. Sedangkan motivasi menurut Purwanto (dalam Ravsanjani,
2021) adalah dorongan suatu usaha yang didasari untuk mempengaruhi
tingkah laku seseorang agar ia tergerak untuk bertindak melakukan
sesuatu sehingga mencapai hasil atau tujuan tertentu. Satiadarma (dalam
Fernando, 2021) juga menjelaskan bahwa motivasi merupakan
kecenderungan untuk melaksanakan secara khusus dengan cara tertentu,
dan perbuatan itu akan berlanjut sampai tingkah laku yang objektif dapat
dicapai.

3
B. Pendekatan-Pendekatan Motivasional
1. Teori Prestasi
Individu yang bugar dan sehat memiliki ciri salah satunya yaitu
memiliki kebutuhan berprestasi. Teori ini fokusnya yaitu individu akan
memperoleh kepuasan yang luar biasa saat berhasil mencapai suatu
keberhasilan dan hal tersebut akan meningkatkan kebugaran mereka.
Dalam pencapaian prestasi kita mengenal apa yang disebut sebagai
kesuksesan dan setiap orang mendefinisikan kesuksesannya secara
berbeda. Namun sebagian besar apabila kita berusaha secara optimal
nantinya akan mencapai keberhasilan. Duda dan Hall (2001) menyatakan
bahwa kepuasan yang luar biasa dapat dialami apabila individu berusaha
keras mengatasi tantangan yang sulit dan kemudian menghasilkan
kesuksesan.

2. Teori Tujuan Pencapaian


Teori ini berpendapat bahwa keinginan untuk mencapai suatu hasil
merupakan dasar untuk terlibat dalam sebuah perilaku yang disebut
sebagai perilaku berprestasi. Perilaku berprestasi ini tergantung pada
bagaimana individu memaknai keberhasilan dan kegagalan yang
dirasakan. Jadi misalnya seseorang berolahraga untuk mencapai suatu
tujuan (menurunkan berat badan, mengurangi stres, dan lain-lain), saat dia
berhasil mencapai tujuan tersebut dia akan menganggap perilaku
olahraganya sebagai sebuah kesuksesan dan ia akan merasakan sebuah
perasaan pribadi terkait pencapaian itu. Rasa pencapaian tersebut
kemudian dapat meningkatkan rasa kompetensi dan kepuasan kemudian
hasilnya akan muncul motivasi intrinsik. Pencapaian tujuan merupakan
faktor penting untuk mempertahankan perilaku salah satunya yaitu
olahraga. Contoh dari hal ini adalah misalnya ketika seseorang mengalami
cedera dalam olahraga, biasa orang tersebut akan mudah berhenti
berolahraga bahkan ada yang berhenti secara permanen. Oleh karena itu,
untuk menghindari hal tersebut seseorang harus dapat mempertahankan
pencapain tujuannya yaitu pemulihan penuh dan berharap dapat kembali
berlatih sebagai hasil dari pencapaian tujuannya.

4
3. Teori Orientasi Tujuan
Orientasi tujuan dalam konteks latihan menggambarkan dua proses
pemikiran yaitu tujuan pencapaian dan persepsi kemampuan individu
untuk mencapai tujuan tersebut. Orientasi tujuan dapat terlihat dalam
beberapa situasi, dapat dipelajari, dan dapat juga dipengaruhi oleh
pengalaman keberhasilan masa lalu. Selain itu, orientasi tujuan ini dapat
menguat dan melemah dalam periode waktu tertentu, tujuan tertentu, atau
konteks tertentu (misalnya latihan, akademik, pekerjaan, dan lain-lain).
Ada 2 orientasi tujuan yaitu:
● Orientasi ego: Ketika seseorang dalam berolahraga berorientasi pada
ego, ia akan membandingkan kebugaran, kekuatan, fisik, dan lain-lain
dengan orang lain dan menunjukkan keunggulan yang dimilikinya.
Olahragawan yang terlibat dengan ego menganggap hasil latihan lebih
penting daripada aktivitas latihannya.
● Orientasi penguasaan: terdiri dari motivasi yang didasarkan pada
usaha, peningkatan, dan kinerja yang terbaik. Motivasi intrinsik lebih
mungkin terjadi pada individu yang terlibat dalam tugas atau
penguasaan daripada ego. Hal ini dikarenakan olahragawan yang
terlibat dalam tugas lebih berfokus pada kepentingannya sendiri yaitu
untuk kesenangan atau kepuasan.

4. Teori Motivasi Kompetensi


Teori motivasi kompetensi yang dikemukakan oleh White tahun
1959 menyatakan bahwa perilaku dipilih, diarahkan, dan dipertahankan
karena kebutuhan intrinsik untuk berurusan dengan lingkungan.
Kebutuhan akan kompetensi merupakan bagian yang melekat dari
kehidupan individu sejak masa kanak-kanak. Ketika anak-anak kita
dimotivasi oleh penguasaan, rasa ingin tahu, tantangan, dan bermain untuk
memuaskan dorongan terhadap kompetensi. Kemudian Harter (1981)
menyatakan bahwa orang yang menganggap dirinya sangat kompeten dan
mengendalikan lingkungan (olahraga) akan mengerahkan lebih banyak
usaha untuk bertahan lebih lama pada suatu tugas dan mengalami lebih

5
banyak perasaan positif daripada orang yang memiliki kompetensi dan
kepercayaan diri rendah.

5. Teori Evaluasi Kognitif Deci


Kebanyakan orang yang melakukan olahraga secara teratur, yang
pada umumnya termotivasi untuk berpartisipasi dalam aktivitas fisik
karena hal itu memuaskan dan menyenangkan. Dalam melakukan kegiatan
olahraga dirasa memiliki kenikmatan yang melekat yang mencerminkan
motivasi intrinsik orang tersebut. Motivasi intrinsik amat penting untuk
mempromosikan partisipasi latihan dan membentuk dasar untuk memulai
dan mempertahankan partisipasi latihan (Kimiecik, 2002). Hal tersebut
merupakan dasar teori evaluasi kognitif Deci (1975).
Motivasi ekstrinsik adalah penggunaan insentif yang dipaksakan dari
luar guna mengubah pikiran, emosi, atau tindakan seseorang (Deci, 1975).
Sementara kebanyakan orang yang berolahraga secara teratur
melakukannya untuk alasan eksternal, seperti penurunan berat badan,
penampilan yang lebih baik, atau bersosialisasi dengan orang lain (Anshel,
2006), melakukan aktivitas fisik untuk alasan intrinsik lebih disukai untuk
membangun dan mempertahankan kebiasaan sehat jangka panjang. Teori
evaluasi kognitif Deci mengusulkan dua proses dimana penghargaan
ekstrinsik dapat mempengaruhi motivasi intrinsik:
a. Fungsi Kontrol
Fungsi ini berlaku ketika motivasi yang dilibatkan dalam suatu
aktivitas bergeser dari alasan internal ke eksternal, motivasi ekstrinsik
dapat mengesampingkan motivasi intrinsik yaitu pelaku terlibat dalam
suatu aktivitas karena alasan eksternal seperti tujuan kegiatannya
untuk mendapatkan persetujuan, pengakuan, uang, atau sumber lain
yang berasal dari luar daripada untuk kesenangan yang melekat pada
kegiatan tersebut. Kebanyakan olahragawan dewasa membutuhkan
alasan untuk berolahraga, seperti mengurangi berat badan,
memperbaiki penampilan fisik, dan mengurangi stres, di antara alasan
eksternal lainnya.

6
Penghargaan dan sumber motivasi ekstrinsik lainnya dapat
digunakan secara konstruktif untuk menyampaikan informasi tentang
kompetensi atau pencapaian seseorang. Misalnya, orang yang
berolahraga dapat diberi penghargaan atas usaha mereka, kehadiran di
kelas kebugaran, peningkatan kebugaran, peningkatan kinerja
olahraga, dan sebagainya.
b. Fungsi Informasi
Komponen kedua dari fungsi informasi disebut sebagai
penentuan nasib sendiri, yang merupakan persepsi individu bahwa dia
secara sukarela memutuskan untuk terlibat dalam aktivitas tersebut.

Teori evaluasi kognitif Deci mendefinisikan motivasi intrinsik


sebagai melakukan suatu aktivitas untuk kepentingannya sendiri, untuk
kepuasan yang melekat dalam aktivitas (Ryan dan Deci, 2007, hal. 2).
Ryan dan Deci berpendapat bahwa motivasi intrinsik memiliki arti ganda
bahwa di satu sisi, motivasi intrinsik menyangkut kecenderungan bawaan
seseorang untuk bertindak daripada diprakarsai dan diarahkan secara
eksternal. Sedangkan di sisi lain, motivasi intrinsik mengacu pada fakta
bahwa imbalan yang diperoleh dari suatu aktivitas melekat pada aktivitas
daripada menjadi penting untuk mengurangi dorongan biologis (misalnya:
tidur, makan, dan minum). Deci mengklaim bahwa dua komponen dapat
mempengaruhi motivasi intrinsik (aspek pengendalian dan aspek
informasi). Aspek pengendalian lebih terlihat, seperti ketika tingkat
motivasi seseorang dikendalikan oleh lokasi penghargaan, atau lokus
(internal atau eksternal). Dalam menerima penghargaan eksternal, seperti
menyenangkan orang lain atau menghindari ejekan tentang penampilan
fisik, aspek pengendalian ini bersifat eksternal. Namun, aspek
pengendalian menjadi bersifat internal jika orang tersebut memutuskan
untuk mendaftar keanggotaan klub kebugaran atas kemauannya sendiri
untuk menerima pelatihan pribadi, menggunakan peralatan berkualitas,
dan meningkatkan energi dan kesehatan umum. Sumber motivasi intrinsik
kedua terjadi ketika aspek informasi lebih jelas daripada aspek
pengendalian dalam menanggapi perasaan kompetensi (misalnya: saya

7
mampu memenuhi tujuan latihan) dan penentuan nasib sendiri (misalnya:
saya telah memutuskan untuk latihan guna meningkatkan kesehatan saya).

6. Teori Penentuan Nasib Sendiri


Teori Penentuan Nasib Sendiri ini membahas mengenai sejauh mana
perilaku otonom, atau ditentukan sendiri (Ryan dan Deci, 2000, 2007).
Premis Teori Penentuan Nasib adalah orang yang memiliki kebutuhan
psikologis mendasar untuk otonomi (rasa kemandirian dan membuat
keputusan yang mementingkan diri sendiri), kompetensi (memenuhi
standar yang ditetapkan sendiri dan hasil kinerja yang diinginkan), dan
keterkaitan (lingkungan di mana mereka merasakan rasa keterhubungan
dan memiliki), dan mereka secara aktif mengejar kebutuhan ini. Dengan
demikian, kompetensi dan otonomi merupakan kondisi yang diperlukan
untuk meningkatkan rasa kepuasan dan kesenangan dari latihan, yang
mengarah pada motivasi intrinsik. Peningkatan keterlibatan latihan
dikaitkan dengan tingkat yang lebih besar dari motivasi yang ditentukan
sendiri.

7. Teori Atribusi
Teori atribusi menyediakan kerangka kerja yang menggambarkan
cara seseorang menjelaskan (menilai) penyebab hasil kinerja dalam
pengaturan pencapaian. Hal ini penting karena orang membuat atribusi
kausal yang akurat dan karena penjelasan tertentu memiliki nilai motivasi
yang kuat sedangkan penjelasan yang salah dapat menyebabkan
berkurangnya motivasi dan bahkan berhenti dari aktivitas. Sangat penting
ketika orang yang berolahraga mengaitkan manfaat dari kebiasaan
berolahraga dengan upaya mereka dan kemampuan yang mereka rasakan
untuk berolahraga dengan benar dan efektif. Setelah beberapa hari atau
minggu berolahraga, atau bahkan setelah satu kali latihan, seseorang yang
berolahraga harus mengaitkan hasil positif dengan upaya yang diperlukan
untuk mencapai hasil ini, seperti lebih banyak energi, konsentrasi yang
lebih baik, atau penampilan yang lebih baik.

8
8. Model Atribusi Weiner
Beberapa dimensi model Weiner memiliki implikasi jangka panjang
lebih dari yang lain. Hal ini seperti pada olahragawan yang dapat
mengaitkan kesuksesan (misalnya, memenuhi tujuan atau harapan
tertentu), dengan upaya tinggi (misalnya, "Saya bekerja keras untuk
menurunkan berat badan ini"), atau keberuntungan (misalnya, "Saya
memiliki gen yang tepat"), tetapi atribut kemampuan tinggi atau
menganggap tugas itu sulit setelah mencapai kesuksesan yang bersifat
jangka panjang dan kurang dapat diubah. Oleh karena itu, sangatlah
penting untuk membuat atribusi kausal yang tepat karena efeknya yang
relatif tahan lama terhadap motivasi.
Konsep bias atribusi, juga disebut bias atribusi yang melayani diri
sendiri atau bias hedonistik, mencerminkan kecenderungan orang yang
sangat cocok atau terampil untuk mencerminkan pengendalian internal
setelah hasil yang sukses dan pengendalian eksternal yang gagal. Bias
dalam konsep ini adalah hasil yang dijelaskan sesuai dengan kepentingan
yang paling memotivasi. Kegagalan yang dirasakan dalam pengaturan
pencapaian, seperti olahraga atau latihan, dijelaskan oleh kesulitan tugas
(misalnya, seberapa baik kinerja lawan daripada seberapa buruk kinerja
atlet). Namun, kemenangan biasanya dikaitkan dengan upaya dan
kemampuan, bakat, atau keterampilan yang tinggi. Dengan demikian, bias
atribusi mengacu pada membuat atribusi internal mengikuti keberhasilan
yang dirasakan dan atribusi eksternal setelah kegagalan yang dirasakan.
Weiner (1985) menambahkan dua dimensi lain pada model yang
dirumuskan ulang (peran emosi dan harapan) yang terjadi antara waktu
pengakuan kausal seseorang dan perilaku masa depannya. Hal tersebut
dapat dimisalkan ketika setelah menyelesaikan latihan, orang tersebut akan
memiliki reaksi emosional yang Weiner sebut sebagai bergantung pada
hasil. Jika kinerjanya berhasil atau memenuhi harapan orang tersebut, dia
akan memiliki emosi yang relatif positif, sedangkan emosi negatif akan
mengikuti persepsi kinerja yang tidak berhasil. Setelah titik ini, orang
tersebut mencari alasan yang membantu menjelaskan hasilnya.

9
C. Sumber-Sumber Motivasi
Motivasi didasarkan pada kombinasi faktor pribadi dan situasional
yang menciptakan rasa arah, energi, dorongan, dan insentif untuk memenuhi
tujuan tertentu yang diinginkan. Ada beberapa sumber motivasi, yaitu motivasi
yang berpusat pada orang, berpusat pada situasi, dan interaktif.

1) Motivasi yang Berpusat pada Orang


Salah satu pendekatan untuk memahami sumber motivasi dalam aktivitas
fisik adalah dengan memeriksa disposisi pribadi dari para olahragawan.
Sumber dan intensitas motivasi mencerminkan ciri-ciri kepribadian,
orientasi, dan kebutuhan individu. Sifat adalah aspek kepribadian yang
stabil, konsisten di seluruh situasi, dan sering ditentukan secara genetik.
Orientasi dan gaya dipelajari, dipengaruhi oleh pengalaman, dan situasi
tertentu. Dan kebutuhan tertentu adalah normal dan dimiliki oleh
kebanyakan orang.

Sifat-sifat
● Butuh pencapaian ● Sifat kecemasan
● Harga diri ● Ambang atau toleransi nyeri
● Stimulus atau pencarian ● Neurotisisme versus stabilitas
sensasi

Orientasi dan Gaya


● Orientasi tujuan atau ● Takut akan sukses atau gagal
kemenangan ● Ketangguhan mental
● Daya Saing ● Kecerdasan yang dipelajari
● Gaya koping ● Ketidakberdayaan yang
● Gaya perhatian dipelajari
● Kecemasan sosial fisik

Kebutuhan
● Pengakuan ● Perbandingan sosial
● Persetujuan ● Kontrol diri
● Kompetensi

10
Secara keseluruhan, karakteristik psikologis tersebut
memotivasi orang tersebut untuk bertindak dengan cara yang dapat
diprediksi. Jadi, pandangan yang berpusat pada orang adalah bahwa
jika orang tidak memiliki dorongan batin, atau insentif, untuk
mencapai tujuan, mencapai tingkat tinggi, dan melakukan yang
terbaik, orang lain memiliki kemampuan terbatas untuk
mempengaruhi perubahan perilaku di dalamnya. Keinginan individu
merupakan karakteristik pertama dan utama dari motivasi dan hal itu
berarti motivasi bukanlah hal yang dapat dipaksakan.

2) Motivasi Berpusat pada Situasi


Motivasi yang berpusat pada situasi berpendapat bahwa
lingkungan yang mendukung meningkatkan perasaan motivasi untuk
melakukan tugas tertentu atau untuk memenuhi tujuan. Misalnya,
orang yang berolahraga lebih mungkin untuk mengerahkan upaya
optimal jika lingkungan latihan menginduksi gairah yang tinggi.
Kelas latihan dan pemimpinnya dapat memberikan insentif verbal
untuk memberikan 100%. Berolahraga dalam privasi rumah
seseorang dan di klub kebugaran keduanya memiliki imbalannya
sendiri dan lebih disukai oleh beberapa orang daripada yang lain.
Dalam contoh lain, beberapa orang lebih termotivasi untuk
berolahraga di cuaca yang lebih hangat daripada di musim dingin.
Dengan demikian, lokasi latihan, jenis latihan, dan lingkungan latihan
semuanya mempengaruhi motivasi latihan.
Motivasi yang berpusat pada situasi ini memiliki keterbatasan,
yaitu situasi tidak selalu mempengaruhi motivasi, dan faktor-faktor
pribadi (misalnya, kepribadian atau kebutuhan pribadi yang
berolahraga) mungkin lebih berpengaruh daripada faktor-faktor
situasional dalam mendorong motivasi latihan. Sebagai contoh,
beberapa situasi sangat tidak menyenangkan dan menurunkan
motivasi, namun orang yang berolahraga mungkin tetap termotivasi
meskipun mengalami pengalaman negatif ini. Hasil sebuah

11
penelitian, misalnya, (Martin Ginis, Burke, dan Gauvin, 2007),
menunjukkan bahwa olahragawan pemula kehilangan motivasi ketika
diharuskan berolahraga di depan cermin. Cermin dapat
mengintimidasi dan mengalihkan perhatian seorang pemula yang
sedang berolahraga, sedangkan orang yang berolahraga lebih bugar
akan menemukan refleksi dari cermin yang lebih memotivasi.

3) Motivasi Pribadi dan Situasional Interaktif


Model interaksi, atau, kombinasi dari sumber motivasi pribadi
dan situasional, membentuk penjelasan ketiga untuk motivasi (Endler
dan Hunt, 1966). Dengan kata lain, kombinasi karakteristik pribadi
dan faktor situasional yang mempengaruhi perasaan dan tindakan
motivasional. Misalnya, faktor motivasi yang mempengaruhi
keputusan seseorang untuk berolahraga menggabungkan faktor
pribadi, seperti tingkat harga diri yang tinggi, kepercayaan diri, dan
orientasi tujuan, dan faktor situasional, seperti dukungan sosial (yaitu,
berolahraga di perusahaan orang lain atau didorong), dekat dengan
fasilitas olahraga ke tempat kerja atau rumah, dan fasilitas dan
peralatan olahraga yang diinginkan. Menentukan sumber motivasi
untuk berolahraga adalah penting dalam menjadikan olahraga sebagai
kebiasaan gaya hidup. Dukungan untuk sumber yang berpusat pada
orang, juga disebut teori sifat kepribadian (Allport, 1937), dapat
berarti bahwa orang yang berolahraga dimotivasi oleh pikiran, emosi,
prediksi tentang hasil, dan bahkan keterbatasan mereka sendiri.
Dukungan untuk sumber motivasi situasional dapat berarti bahwa
orang terdorong untuk berolahraga berdasarkan pesan yang mereka
terima dari orang lain (misalnya, "Teknik latihan Anda terlihat jauh
lebih baik"); lokasi, daya tarik, dan kualitas fasilitas dan peralatan; dan
kehadiran seorang pelatih kebugaran Jadi, motivasi lebih mungkin
terjadi jika pelaku olahraga memiliki karakteristik tertentu yang
menggerakkan mereka untuk mencapai tujuan mereka jika mereka
didukung oleh kondisi yang tepat.

12
Berolahraga cenderung meningkatkan insentif mereka untuk
memulai dan mempertahankan program latihan dan umumnya
meningkatkan tingkat aktivitas fisik jika seorang dokter menyatakan
keprihatinan tentang kesehatan mereka, mereka ingin menurunkan
berat badan untuk meningkatkan penampilan fisik, atau mereka ingin
menghindari konsekuensi tidak menyenangkan lainnya, seperti sosial
penolakan atau peningkatan stres. Ancaman jangka pendek terhadap
status kesehatan memiliki efek motivasi. Juga benar bahwa kadang-
kadang jenis perawatan dari figur otoritas (misalnya, dokter, pelatih
pribadi) diinginkan untuk meningkatkan insentif olahragawan untuk
berubah dari tidak aktif menjadi gaya hidup yang lebih aktif. Namun,
teknik motivasi negatif, memiliki dua kekurangan. Pertama, teknik-
teknik ini biasanya hanya memiliki efek jangka pendek karena
perilaku berolahraga hanya berubah sampai sumber ancaman
dihilangkan (misalnya, Menurunkan berat badan, bersaing dalam
olahraga). Seperti ditunjukkan sebelumnya, setelah ancaman
dihilangkan, insentif untuk bertahan dalam kegiatan ini minimal. Ini
adalah salah satu alasan mengapa banyak atlet cenderung menghindari
berolahraga setelah hari-hari mereka sebagai pesaing olahraga telah
berakhir. Kedua, seperti yang ditunjukkan sebelumnya, adalah bahwa
mengancam orang lain menciptakan ekstrinsik, bukan intrinsik,
insentif untuk mengubah perilaku. Beberapa nilai intrinsik akan
diturunkan jika orang tersebut melihat olahraga dan kebugaran
sebagai bermanfaat bagi kesehatan dan kualitas hidupnya dan jika
pengalaman latihan menyenangkan dan menegaskan kembali rasa
kompetensinya. Olahraga bisa menjadi motivator ekstrinsik, namun,
jika satu-satunya tujuannya adalah untuk meningkatkan kebugaran
atau penampilan fisik atau jika seorang atlet adalah pelatihan untuk
persaingan atau untuk mencapai hasil lain. Singkatnya, motivasi
seseorang untuk mengubah perilaku kesehatan, terutama
meningkatkan aktivitas fisik, tergantung pada memenuhi kebutuhan
dan tujuan pribadi. Pada saat yang sama, individu itu ingin mengejar

13
tindakan tertentu yang telah ditentukan dan memiliki perasaan dan
sikap yang diperlukan yang terkait dengan keberhasilan kinerja. Salah
satu tujuan penting dalam kebugaran pembinaan adalah untuk
memberikan semua klien rasa dan tujuan sehingga mereka melihat
alasan untuk memberikan upaya 100% dalam upaya untuk mencapai
tujuan pribadi dan mencapai kesuksesan.

D. Teknik-Teknik Meningkatkan Motivasi


Terdapat beberapa teknik yang dapat dilakukan untuk meningkatkan
motivasi atlet (Effendi, 2016):
1. Teknik Verbal
Pemberian motivasi melalui perkataan atau tutur kata, contoh: pujian.
2. Teknik Tingkah Laku
Pemberian motivasi melalui pemberian contoh atau menjadikan
pelatih sebagai teladan bagi atlet.
3. Teknik Insentif
Pemberian motivasi melalui janji hadiah baik dalam bentuk uang atau
benda lainnya.
4. Teknik Supertisi
Pemberian motivasi melalui meningkatkan adanya kepercayaan
terhadap suatu hal yang tidak logis, namun dianggap dapat membawa
keberuntungan dalam pertandingan.
5. Citra Mental
Pemberian motivasi melalui imajinasi, atlet dilatih melakukan
gerakan secara tepat dalam imajinasi lalu setelah itu gerakan
dilakukan secara nyata.

Selain teknik umum diatas, terdapat tiga teknik terapi yang dapat
digunakan untuk meningkatkan motivasi pada atlet (Stefanek & Peters,
2011):
1. Goal Setting
Motivasi Atlet dapat meningkat dengan menentukan capaian yang
tepat, apabila tidak tepat maka bukan meningkatkan motivasi

14
melainkan dapat menurunkan performansi atlet dalam pertandingan.
Performansi atlet dapat meningkat apabila tujuan yang ditentukan
a. Spesifik dan terukur
b. Realistis (Meskipun sulit)
c. Dibedakan antara tujuan jangka panjang dan pendek
d. Terbuka akan perubahan, dsb.

2. Cognitive Restructuring
Teknik ini merupakan intervensi yang didasari dari teori cognitive-
behavioral. Restrukturisasi kognitif dilakukan dengan mengganti
berbagai pola pikir irasional dengan pikiran yang lebih adaptif.
Pikiran yang adaptif dapat mengarahkan intensitas usaha yang
dikeluarkan oleh Atlet dalam pertandingan. Selain itu, restrukturisasi
kognitif dapat dilakukan dengan meningkatkan self-efikasi dalam
diri atlet, yaitu dengan cara meyakini dalam diri bahwa mereka bisa
melakukannya maka dapat meningkatkan kemampuan mereka
dalam menyelesaikan tugas dan dapat meningkatkan motivasi.

3. Imagery (Pencitraan)
Penggunaan teknik ini melibatkan berbagai indera mulai dari
penglihatan sampai dengan kinestetik. Teknik ini dilakukan dengan
menciptakan berbagai pengalaman dalam pikiran. Selama
menggunakan teknik ini atlet dapat melihat diri mereka dalam dua
perspektif yaitu internal atau eksternal. Pencitraan internal
menunjukkan perspektif atlet berada dalam tubuh mereka dan
melihat diri mereka menggunakan kacamata mereka sendiri,
sedangkan pencitraan eksternal menunjukkan perspektif stlet
memandang dirinya menggunakan perspektif di luar tubuh mereka.
Teknik ini dapat meningkatkan motivasi atlet dengan mengalami
kesuksesan dalam pencitraan yang dilakukan mereka. Dengan
pencitraan akan kesuksesan ini dapat meningkatkan kepercayaan diri
atlet yang nantinya meningkatkan motivasi mereka dalam
bertanding.

15
BAB III
STUDI KASUS

A. Kasus I: Laura Aurelia Dinda


Laura Aurelia Dinda merupakan atlet difabel yang menggeluti bidang
olahraga renang. Pada awalnya ia mendalami renang hanya sebagai terapi asma
saat berusia 7 tahun. Namun akhirnya karena berhasil jatuh cinta dengan renang
ia pun mulai berlatih setiap hari dan orang tuanya mendukung hal tersebut.
Dahulu Laura pernah mengalami patah di tulang belakang akibat jatuh di kamar
mandi. Nah, beberapa saat kemudian Laura kembali mengalami kecelakaan.
Jadi saat itu dia tengah membungkuk mengambil ponsel yang jatuh di lantai,
namun ternyata hal ini membuat tulang belakangnya kembali terpisah. Karena
kecelakaan tersebut Laura akhirnya dibawa ke dokter syaraf namun ternyata
sudah tidak tertolong lagi. Akibatnya dia mengalami kelumpuhan permanen
dan harus duduk di kursi roda.
Pada awalnya Laura merasa putus asa dan depresi. Namun karena
dukungan orang sekitar dan keteguhan dalam dirinya, ia pun menerima
kenyataan tersebut dan kembali bangkit dari keterpurukan. Ia kembali memulai
dari nol dan belajar dengan gigih hingga akhirnya berhasil olimpiade
paralympic nasional XV 2016 sebagai atlet paralympic. Bahkan dia juga
berhasil memenangkan ASEAN PARAGAMES 2017.

Analisis:
Dari kasus yang terjadi pada Laura diatas dapat dianalisis salah satunya
dari segi sumber motivasi. Ada beberapa sumber dari motivasi yaitu motivasi
yang berpusat pada orang, berpusat pada situasi, serta motivasi pribadi dan
situasional interaktif. Pada kasus ini sumber motivasi Laura dapat digolongkan
pada motivasi pribadi dan situasional. Hal ini dikarenakan dalam kasusnya
dapat dilihat bahwa selain keteguhan hati Laura terdapat dorongan eksternal
dari keluarganya untuk bangkit. Menurut motivasi pada orang (pribadi) dapat
dipengaruhi oleh 3 komponen yaitu sifat, orientasi dan gaya, serta kebutuhan.
Di kasus ini motivasi yang dimiliki Laura bersumber dari komponen orientasi
dan gaya dimana ia memiliki ketangguhan mental. Meskipun pada awalnya

16
merasa sedih dan putus asa saat didiagnosis lumpuh pada akhirnya Laura
mampu bangkit kembali dan memulai semuanya dari nol hingga berhasil
meraih kejuaraan. Bukan perkara mudah bagi atlet yang mengalami cedera
bahkan hingga menjadi difabel untuk kembali bangkit, disinilah kita dapat
melihat bahwa Laura memiliki ketangguhan mental yang baik. Menurut
sumber yang berorientasi pada orang ini keinginan individu merupakan
karakteristik pertama dan utama dari motivasi dan hal itu berarti motivasi
bukanlah hal yang dapat dipaksakan. Motivasi situasional disini sangat
tergambarkan dari bagaimana dukungan yang diberikan oleh keluarga Laura
membuatnya bisa teguh kembali dan bangkit dari stres dan depresinya.
Lalu apabila dikaji menggunakan teori tujuan pencapaian, kasus laura
ini sejalan dengan teori yang mana didalamnya membicarakan bahwa dasar
dari individu berperilaku adalah keinginannya untuk mencapai tujuannya, hal
ini akan membawa pada perilaku berprestasi. Setelah mengalami kelumpuhan
dan harus duduk di kursi roda laura merasa stres dan depresi namun setelah itu
dia berusaha bangkit, bagaimana laura bangkit ia lakukan dengan pertama
menentukan tujuan untuk bisa pulih dan kembali di bidang olahraga, karena
keinginannya untuk mencapai hal tersebut maka laura bekerja keras untuk
sembuh dan akhirnya ia bisa mengikuti kembali pertandingan meskipun harus
dimulai dari awal dan berada di bidang berbeda yaitu ASEAN Para Games.
Meskipun begitu Laura sudah senang karena pada dasarnya tujuan didepan
matanya adalah sembuh dan kembali sehingga meskipun harus memulai
segalanya dari nol apa yang sudah dia lalui ini tetap dinamakan keberhasilan.
Dari pernyataan tersebut dapat kita simpulkan bahwasanya Laura
memiliki keinginan sendiri dalam dirinya untuk bangkit tanpa adanya paksaan
karena ia akhirnya mampu menerima kenyataan yang ada. Selain munculnya
motivasi internal, bangkutnya laura juga muncul dari motivasi eksternalnya.

B. Kasus II: Bethany Hamilton


Bethany Hamilton dibesarkan di Hawaii sehingga tidak mengherankan
mengetahui bahwa pada usia 7 tahun, dia sudah bisa berselancar di ombak.
Pada tahun 2003, sebuah tragedi mengerikan terjadi ketika seekor hiu

17
menggigit lengan kirinya. Saat dia pulih, dia membuat dua janji untuk dirinya
sendiri. Yang pertama adalah dia tidak akan mengeluh tentang kemalangannya
yang mengerikan dan yang kedua adalah dia akan kembali ke papan selancar.
Tidak seperti kebanyakan orang lain yang akan menyerah pada kegagalan,
Bethany Hamilton justru terus berusaha. Setelah 26 hari, dia kembali
berselancar lagi. Bahkan dia sekarang berada di peringkat 50 besar peselancar
wanita di dunia. Dia juga memenangkan hadiah pertama di kategori Wanita di
NSSA National Championships.
Bethany telah mengatasi banyak rintangan sebelum akhirnya sukses
sebagai seorang peselancar bersenjata. Dia mengalami saat-saat frustasi ketika
harus menyesuaikan diri dengan kecacatannya. Kecelakaan itu berperan
penting dalam membantunya mengatasi saat-saat sulit, dan semua itu
mengajarinya cara mengalahkan rasa takutnya di saat-saat yang menakutkan.
Dia telah mendedikasikan sebagian besar hidupnya untuk menjadi panutan bagi
anak muda yang diamputasi. Dia telah menjadi inspirasi bagi banyak gadis
yang menjalani amputasi dan remaja melalui penggalangan amal Friends of
Bethany-nya. Kisah Bethany juga diabadikan dalam film yang berjudul Soul
Surfer (2011) yang terinspirasi dari perjalanan hidupnya yang menakjubkan.

Analisis:
Berdasarkan kasus yang dialami oleh Bethany di atas, menunjukan
adanya teori prestasi dalam motivasi. Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya
usaha yang dilakukan Bethany untuk kembali berselancar alih-alih menyerah
setelah tragedi yang menimpanya. Teori pencapaian dalam motivasi juga
terlihat pada Bethany, yaitu adanya keinginan individu guna mencapai suatu
hasil merupakan dasar untuk mewujudkan suatu perilaku yang disebut sebagai
perilaku berprestasi. Perilaku berprestasi ini tergantung pada bagaimana
individu memaknai keberhasilan dan kegagalan yang dirasakan. Seperti
Bethany yang tidak pernah menyerah dan memaknai kegagalannya sebagai
individu yang tidak takut akan tantangan. Berkat penerimaannya terhadap diri
sendiri mengenai kecacatannya itu juga membuat ia terus konsisten berselancar
hingga akhirnya mampu menorehkan prestasi yang luar biasa.

18
Kemudian menurut sumber motivasinya, Bethany masuk ke dalam
sumber motivasi pribadi dan situasional interaktif. Hal tersebut dapat dilihat
ketika Bethany membuat dua janji atas dirinya sendiri, yaitu bahwa setelah
pulih, dia tidak akan mengeluh dan akan kembali bermain papan selancar.
Bahkan Bethany tetap berusaha semaksimal mungkin di saat dia harus
menjalani masa-masa frustasi karena kehilangan lengan kirinya. Selain itu,
sejak kecil Bethany memang dilahirkan di Hawaii yang merupakan tempat
strategis untuk melakukan kegiatan berselancar, sehingga hal tersebut
memudahkan Bethany untuk dapat tetap terus berlatih dan mengembangkan
potensinya.

C. Kasus III: Lalu Muhammad Zohri


Lalu Muhammad Zohri adalah atlet lari yang meraih medali emas pada
kejuaraan lari 100 meter IAAF World U20 Championships 2018 di Tampere,
Finlandia. Zohri berhasil mencatatkan waktu tercepat selama 10.18 detik, lebih
cepat daripada pesaingnya dari negara Amerika, Anthony Schwartz dan Eric
Harrison dengan catatan waktu 10.22 detik. Melalui pencapaiannya itu, Zohri
otomatis dinobatkan sebagai juara dunia sprinter 100 meter.
Dibalik prestasi memukau yang diukirnya, Zohri ternyata menyimpan
cerita hidup yang penuh perjuangan. Perjuangan hidup yang berat bagi anak
seusianya yang juga merupakan yatim piatu dapat terlihat dari kondisi rumah
yang terbilang amat sederhana. Dindingnya terbuat dari papan kayu diselingi
anyaman bambu serta lantai yang masih berupa tanah. Bahkan untuk membeli
sepatu olahraga pun ia kesusahan dan meminta kakaknya untuk
membelikannya dengan harga sepatu Rp400.000. Meskipun demikian, orang-
orang disekelilingnya selalu mendukung terutama guru olahraga Zohri ketika
duduk di bangku SMP, yang selalu berusaha untuk memotivasi Zohri agar rajin
berlatih lari. Orang-orang juga menganggap Zohri sebagai individu yang ulet
dan tekun. Ketekunan Zohri tersebut berawal dari keinginannya untuk
mendapatkan hidup yang lebih baik mengingat dalam kesehariannya, Zohri
hidup dengan sangat sederhana.

19
Analisis:
Dalam kasus Zohri ini, menunjukkan bahwa terdapat teori penentuan
nasib sendiri yang mencakup kebutuhan otonomi dan kompetensi. Dalam hal
otonomi, dilihat dari segi kehidupan Zohri yang merupakan anak yatim piatu
dengan kondisi rumah yang dirasa kurang memadai, dari hal itu Zohri berjuang,
dituntut mandiri, dan bertekad serta tekun untuk meraih menang agar bisa
menggapai keinginannya, yaitu mendapatkan kehidupan yang lebih baik.
Kemudian pada kompetensi, Zohri menunjukkan bahwa dia sosok yang rajin
dan tekun berlatih serta merupakan individu yang ulet, dengan kegigihannya
itu ia jelas memiliki standar yang tinggi sehingga mampu untuk mengikuti dan
memenangkan kompetisi tingkat dunia. Adanya kebutuhan otonomi dan
kompetensi ini membuat kepuasan dan kesenangan yang dirasakan Zohri
meningkat, yang mana hal tersebut mengarah pada motivasi intrinsik.
Selain itu, terdapat adanya sumber motivasi yang dimunculkan dalam
diri Zohri. Dari beberapa sumber motivasi yang ada, pada kasus Zohri ini,
sumber motivasi yang nampak padanya adalah motivasi pribadi dan situasional
interaktif. Terlihat pada diri Zohri bahwa dia merupakan sosok yang memiliki
daya juang yang tinggi, ulet, dan tekun dalam mengikuti kompetisi ini. Hal
tersebut menunjukkan bahwa motivasi dari dalam dirinya telah muncul.
Sedangkan dari motivasi situasional interaksi terlihat dengan adanya dukungan
dari orang-orang di sekelilingnya pun yang menjadi penambah semangat Zohri
yang juga menjadi motivasi dirinya, seperti dari saudaranya yang memberikan
dukungan dengan membelikan sepatunya dan guru olahraganya saat SMP yang
selalu memotivasi untuk rajin berlatih serta adanya keinginan dalam dirinya
untuk mendapatkan hidup yang lebih baik, yang mana dalam hal ini Zohri
menginginkan tempat tinggal yang lebih baik dari saat itu.

20
BAB IV
PENUTUP

A. Simpulan
Seperti yang diungkapkan Purwanto (dalam Ravsanjani, 2021)
mengenai motivasi sebagai dorongan suatu usaha yang didasari untuk
mempengaruhi tingkah laku seseorang agar ia tergerak untuk bertindak
melakukan sesuatu sehingga mencapai hasil atau tujuan tertentu. Dan
motivasi itu dapat dipengaruhi oleh banyak hal seperti adanya kebutuhan
pencapaian, pengakuan, kontrol diri, bahkan perbandingan sosial. Motivasi-
motivasi yang ada dalam diri manusia juga berasal dari berbagai sumber,
seperti sumber pada manusia lainnya, situasi, dan interaktif. Motivasi juga
dapat ditingkatkan melalui beberapa cara, seperti melalui teknik verbal, tingkah
laku, Insentif, supertisi, citra mental dan bahkan melalui terapi. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa perilaku individu terjadi ketika ia
mendapatkan dorongan dari motivasi untuk mencapai hal yang diinginkannya.

B. Saran
Berdasarkan materi yang telah kami susun, penulis berharap hadirnya
makalah ini dapat membantu pada pembaca untuk lebih memahami bahwa
meskipun dorongan dari luar diri mempengaruhi diri sendiri, kunci utama
dalam perubahan dan munculnya perilaku serta tindakan seseorang ada dalam
diri sendiri. Penulis menyadari akan keterbatasan sumber yang kami dapatkan,
maka dari itu penulis juga menyarankan untuk adanya penggalian lebih dalam
terkait materi. Penulis juga terbuka jika terdapat kritik dan saran membangun
dari pembaca sehingga bisa kami kembangkan untuk penyusunan makalah
selanjutnya.

21
DAFTAR PUSTAKA

Anshel, M.H. (2006). Applied exercise psychology: A practitioner’s guide to client


health and fitness. New York: Springer.
Azhimi, Sulastri, Hudri. (2021). Pengaruh Motivasi dan Disiplin Terhadap Prestasi
Atlet Taekwondo di Kabupaten Ogan Ilir. Jurnal Ilmu Keolahragaan, 20(1),
13 –20.
Deci, E.L. (1975). Intrinsic motivation. New York: Plenum Press.
Effendi, H. (2016). Peranan psikologi olahraga dalam meningkatkan prestasi atlet.
Nusantara (Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial), 1, 27.
Fernando, J. (2021). Survey Motivasi Atlet Futsal SMKN 2 Bandar Lampung di
Masa Pandemi Covid-19. Strata 1 thesis, Universitas Teknokrat Indonesia.
Kimiecik, J. (2002). The intrinsic exerciser: Discovering the joy of exercise.
Boston: Houghton Mifflin.
Manggono, T. (2018, Agustus 1). Kisah Memilukan dari Muhammad Zohri, Pelari
Juara Dunia. Kompasiana.
https://www.kompasiana.com/amp/tirtomanggono/5b61721f677ffb2dcf77e8
02/kisah-memilukan-dari-muhammad-zohri-pelari-juara-dunia
Masrun. (2016). Pengaruh Mental Toughness dan Motivasi Berprestasi Terhadap
Prestasi Olahraga Atlet PPLP Sumbar. Jurnal Performa Olahraga, 01(01), 1-
11. https://doi.org/10.24036/jpo72019
Portal Indonesia. (2018, Juli 13). Tinggal di Rumah Sederhana, Inilah Sosok Lalu
Muhammad Zohri Dimata Keluarga. Buletin iNews Pagi.
https://www.youtube.com/watch?v=sB2MYUfjDsM
Ravsamjani, F. (2021). Pengaruh Kepercayaan Diri Terhadap Motif Berprestasi
Pada Atlet Sumatera Utara di PON XIX Jawa Barat Tahun 2016. Indonesian
Journal of Sport Science and Coaching, 3(1), 1-10.
https://doi.org/10.22437/ijssc.v3i1.12656
Ryan, R.M., and Deci, E.L. (2000). Self-determination theory and the facilitation
of intrinsic motivation, social development, and well-being. American
Psychologist, 55, 68-78.
Ryan, R.M., and Deci, E.L. (2007). Active human nature: Self-determination theory
and the promotion and maintenance of sport, exercise, and health. In M.S.

22
Hagger and N.L.D. Chatzisarantis (Eds.), Intrinsic motivation and self-
determination in exercise and sport (pp. 1-20). Champaign, IL: Human
Kinetics.
Revitasari, F. (2019).Kisah Laura Aurelia: dari atlet renang reguler jadi atlet
difabel.https://www.idntimes.com/life/women/vita/kisah-laura-aurelia-dari-
atlet-renang-reguler-jadi-atlet-difabel
Sarlito, W. S. (2009). Pengantar Psikologi Umum. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Sobur, A. (2003). Psikologi Umum. Bandung: CV Pustaka Setia.
Stefanek, K. A., & Peters, H. J. (2011). Motivation in Sport: Theory and
Application. Handbook of Motivational Counseling: Goal-Based Approaches
to Assessment and Intervention with Addiction and Other Problems,
December, 413–435. https://doi.org/10.1002/9780470979952.ch17
Uno, H.B. 2017. Teori Motivasi Dan Pengukurannya. Edisi ke-1. Bumi Aksara.
Weiner, B. (1985). An attributional theory of achievement motivation and emotion.
Psychological Review, 92, 548-573.

23
LEMBAR KONTRIBUSI

Nama (NIM) Rincian Kontribusi Presentase (%)

Dwi Endah Widiyani ● Menyusun materi sumber 20%


motivasi
(15000120120050)
● Mencari kasus
● Menyusun simpulan
● Menyusun PPT

Hanifah Nida Sari ● Menyusun materi pendekatan 20%


motivasi
(15000120120027)
● Melakukan analisis kasus
● Melakukan finishing makalah
● Menyusun PPT

Raras Kusuma Sari ● Menyusun materi pendekatan 20%


motivasi
(15000120120001)
● Mencari dan menganalisis
kasus
● Menyusun rumusan masalah
dan tujuan
● Menyusun PPT

Salma Fauziah Azzahro ● Menyusun materi pengertian 20%


(15000120120023) ● Melakukan analisis kasus
● Menyusun latar belakang
● Menyusun PPT

Shinta Permatasari ● Menyusun materi teknik 20%


(15000120120021) motivasi
● Mencari dan analisis kasus
● Menyusun saran
● Menyusun PPT

24
Disusun untuk memenuhi tugas kelompok
Mata Kuliah Psikologi Olahraga
Kepribadian Atlet

Dosen Pengampu :
Dr. Niken Fatimah N, M.Pd

Disusun Oleh :

Alrian Hendra Saputra 15000120140071


Irsyad Robby Adawy 15000120130188
Jason Adam Halim
Muhammad Hanif 15000120140135
Ridhwan Abdurrahman 15000120140108

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS DIPONEGORO

2022
Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan
rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang kami buat
dengan judul “Kepribadian Atlet” dengan baik. Adapun tujuan dari adanya makalah ini,
adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Psikopatologi, dan kami berharap makalah
ini dapat bermanfaat serta menambah wawasan bagi para pembaca.

Kami selaku penyusun makalah ini mengucapkan banyak terima kasih kepada
Dr. Niken Fatimah N, M.Pd. selaku dosen pengampu mata kuliah Psikopatologi. Kami
juga mengucapkan banyak terima kasih kepada seluruh pihak yang telah berkontribusi
dalam proses penyusunan makalah ini.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu, kami mengharapkan segala bentuk kritik maupun saran yang membangun dari
berbagai pihak.

Semarang, 7 September 2022

Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar belakang
Dengan mengumpulkan ulasan tentang topik yang dipelajari dalam Psikologi
Olahraga kita dapat melihat bahwa penelitian tentang kepribadian telah menjadi topik di
seluruh bidang khususnya bidang olahraga (Vealey, 1989), (Courneya, Friedenreich,
Sela, Quinney, & Rhodes, 2002). Weinberg dan Gould (2010) menunjukkan bahwa
hingga tahun 1992 lebih dari 1.000 publikasi yang berkaitan dengan pekerjaan dan
kepribadian olahraga telah dilakukan, ini membuktikan pentingnya topik kepribadian
terutama atlet saat bertanding merupakan salah satu dari topik yang paling banyak
diteliti dalam Psikologi Olahraga. Namun, penulis yang berbeda menunjukkan bahwa
studi tentang kepribadian di bidang olahraga telah melewati waktu yang berbeda
sepanjang sejarah di mana fokus perhatian telah difokuskan pada variabel analisis yang
berbeda (fitur, nilai, motivasi, emosi, dll.) (García, 1997), (Roberto Ruiz Barquin,
2008). Aspek- aspek ini telah berkontribusi untuk menciptakan kebingungan,
kekecewaan atau penolakan tertentu di antara beberapa peneliti di lapangan, sementara
yang lain terus masuk ke dalam subjek yang membela kepentingan dan kegunaannya
(Yeung & Hemsley, 1997). Dalam hal ini, studi tentang kepribadian dalam olahraga
telah berkembang selama beberapa tahun terakhir dengan cara mempertimbangkan fitur
sebagai unit analisis, yang telah memungkinkan untuk membedakan atlet dengan pola
perilaku stabil. Titik awal adalah untuk mengidentifikasi fitur dari para atlet serta gelar
mereka, dan untuk memahami, menjelaskan dan memprediksi perilaku olahraga
(García-Naveira & Ruiz-Barquín, 2016), (Rhodes & Smith, 2006).

2. Perumusan Masalah
Dari latar belakang masalah diatas maka dapat dirumuskan masalah :
a. Apakah kepribadian itu?
b. Bagaimana teori atau paradigma kepribadian?
c. Apakah ada perbedaan atlet dan non atlet?
BAB II

LANDASAN TEORI

1. Pengertian kepribadian
Kepribadian menurut Allport (Barrick & Ryan, 2003) “The dynamic
organization within the individual that determines her or his unique adjustments
to her or his environment”. Allport mendefinisikan bahwa kepribadian adalah
suatu organisasi psikodinamik yang unik dalam proses penyesuaian diri individu
dengan lingkungan. Definisi ini lebih menekankan atribut eksternal seperti peran
individu dalam lingkungan sosial, penampilan individu, dan reaksi individu
terhadap orang lain. Pendapat Allport sejalan dengan definisi kepribadian
menurut Hollander (1971) : “ The sum total of an an individual‟s characteristic
which make him unique”. Hollander (1971) menganggap bahwa kepribadian
adalah semua karakter yang melekat pada suatu individu yang unik. Feist (1998)
mendefinisikan kepribadian sebagai suatu pola yang relatif menetap, trait,
disposisi atau karakteristik di dalam individu yang memberikan beberapa ukuran
yang konsisten tentang perilaku.
Menurut Larsen & Buss (2002) kepribadian merupakan sekumpulan ciri
bawaan psikologis dan mekanisme di dalam individu yang diorganisasikan,
relatif bertahan yang mempengaruhi interaksi dan adaptasi di dalam lingkungan.
Kepribadian menurut Eysenck (1960) adalah susunan karakter seseorang yang
kurang lebih stabil dan bertahan dan berhubungan dengan temperamen,
intelektual dan fisik yang menuntut penyesuaian yang unik terhadap lingkungan.
Menurut Adolf Heuken S.J (1989) kepribadian adalah pola menyeluruh semua
kemampuan perbuatan serta kebiasaan seseorang, baik jasmani, mental, rohani,
emosional maupun sosial yang membentuk pola akibat dari tingkah laku dan
usaha menjadi manusia sebagaimana yang dikehendaki.
2. Cara mengukur kepribadian dalam olahraga
Atlet pasti memiliki beragam kepribadian tiap individunya. Kepribadian
pastinya akan berdampak pada prestasi atlet. Kepribadian yang baik akan
mendorong atlet untuk berprestasi, demikian sebaliknya kepribadian yang
kurang baik akan berdampak pada performa atlet. Kepribadian dibagi menjadi
tiga tingkatan akan tetapi tingkatan ini masih merupakan satu kesatuan yang
utuh. Tingkatan tersebut yaitu:
a. Psychological Core.
Tingkatan pertama disebut psychological core, tahap ini adalah tahapan yang
paling mendasar pada suatu individu yang melekat erat dan pada umumnya
bersifat konstan. Tahap ini berisi tentang nilai-nilai tentang diri suatu individu
yang sangat mempengaruhi sikap dan perilaku individu.
b. Typical Responses.
Tahap ini merupakan tahap dimana suatu individu berusaha memberikan respons
terhadap apa yang ada disekitarnya.
c. Role-related Behavior.
Merupakan tahapan yang dapat mengubah kepribadian suatu individu, dimana
keadaan sosial menuntut adanya penyesuaian diri suatu individu dengan
lingkungan sekitarnya.
Dari ketiga tingkatan kepribadian diatas kita bisa mengetahui bagaimana
sikap yang dimiliki atlet, bagaimana respon seorang atlet terhadap suatu hal, dan
bagaimana cara atlet menyesuaikan diri. Tidak bisa dipungkiri bahwa
kepribadian adalah ciri khas setiap manusia, kita tidak bisa secara instan
mengubah kepribadian seseorang. Perlu proses dan penyesuaian yang
membutuhkan waktu tidak sedikit. Untuk mengukur kepribadian seseorang juga
tidak lah mudah. Adapun cara mengukur kepribadian dengan BIG FIVE.
Beberapa alat ukur juga telah dimodifikasi untuk mengakses Big Five (Widiger
dan Trull, 1997). Berikut ini akan dijelaskan berbagai alat ukur tersebut sebagai
berikut:
a. Goldberg Big Five Markers
Goldberg menunjukkan ada lima faktor kepribadian, yaitu surgency,
agreeableness, conscientiousness.s, emotional stability, dan inteflect [Actor,
2C04). Goldberg mengembangkan seri checklist kata sifat untuk mengukur
FFM. Checklist kata sifat ini terdiri dari dua format, yaitu unipolar [satu kutub)
dan bipolar dua kutub). Goldberg membuat alat ukur itu berdasar pada hal-hal
yang dapat dilihat atau bersifat fenotip bukan pada sikap mental (Actor, 2004).
Unipolar terdiri dari 100 kata sifat, dan bipolar terdiri dari 50 kata sifat yang
saling berlawanan, dengan menggunakan skala 1 - 9. Dengan skor 1 sangat
akurat dengan sifat sebelah kiri, skor 9 berarti sangat akurat dengan sifat di
sebelah kanan.
b. The NEO-PI-R
NEO-PI-R (Revised Neuroticism Extraversion Openness to
Experience-Personality Inventory) adalah kuesioner yang dibuat oleh McCrae
dan Costa. Terdiri dari 240 pernyataan dengan skala lima pilihan jawaban
[Widiger dan Trull, 1997) dari dari paling rendah atau paling tidak akurat sampai
paling tinggi atau sangat akurat. Model pengukuran seperti ini disebut hierarki.
Tipe aitem yang digunakan berupa kalimat pernyataan. Adapun nama-nama
faktornya adalah extraversion, agreeableness, conscientiousness, neurofism, dan
openness to experience (Actor, 200 4).

3. Perbandingan kepribadian atlet dan non atlet


Faktor pembentuk kepribadian adalah gen, lingkungan, dan interaksi
individu dengan lingkungan. Salah satu sarana pembentuk kepribadian individu
adalah olahraga. Setiap cabang olahraga memiliki karakteristiknya
masing-masing, sama dengan tipe kepribadian manusia. Setiap individu
memiliki perbedaan karakteristik pada cabang olahraga, hal ini dapat dilihat dari
pilihan cabang olahraga individu yang dianggap cocok dengan kepribadian
individu tersebut.
Kajian tentang kepribadian atlet dan non atlet telah dilakukan oleh
beberapa peneliti. Pengukuran yang disebut Profile of Mood States (POMS)
digunakan untuk meneliti perbedaan kepribadian antara atlet dan non atlet.
Dalam penelitian ini, Morgan menemukan bahwa atlet lebih tahan pada
tingkatan stress, depresi, kelelahan, dan lebih kuat dalam kehidupan sosialnya.
Schurr, Asley, & Joy menemukan bahwa atlet lebih mandiri, lebih obyektif dalam
memandang sesuatu dan lebih tahan terhadap kecemasan. Cooper juga
menemukan bahwa atlet lebih percaya diri, mau bekerja keras, dominan,
mempunyai tujuan yang jelas, dan mudah bersosialisasi dengan lingkungan.
Kemudian, penelitian Mauricio Gattas (2005) menemukan bahwa atlet lebih
agresif, lebih bisa mengontrol emosi, lebih terbuka, lebih menghargai diri sendiri
dan mau bekerja keras.
Ward (2005) melakukan penelitian mengenai perbedaan dalam
kepribadian antara atlet dan non atlet, dan juga perbedaan kepribadian antara
atlet dari olahraga yang berbeda. Penelitian tersebut menemukan bahwa dalam
rata-rata atlet mendapatkan skor 9.25% lebih tinggi daripada non atlet dalam tes
kepribadian secara keseluruhan. Berdasarkan data penelitian tersebut, ambisi
atlet memiliki skor 6% lebih tinggi daripada non atlet. Skor ketekunan atlet 7%
lebih tinggi daripada non atlet. Atlet juga memiliki harga diri yang sehat 17%
lebih besar daripada non atlet. Terakhir, atlet juga memiliki kebutuhan akan
kekuasaan (need for power) yang 7% lebih tinggi daripada non atlet.
Selanjutnya, dari kedelapan olahraga yang telah dipilih sebagai bahan
penelitian, didapati bahwa pemandu sorak memiliki tingkat ambisi tertinggi,
27% peserta pemandu sorak sangatlah ambisius. Sepak bola memiliki tingkat
ketekunan tertinggi dengan 20% pesertanya sangat gigih dan bekerja keras
dalam mengejar tujuan mereka. 87% dari peserta sepak bola juga memiliki harga
diri yang sehat. Bisbol memiliki motif kekuasaan tertinggi dengan 29%
pesertanya termotivasi untuk dorongan kompulsif akan kekuasaan.

4. Pengaruh olahraga terhadap kepribadian


Fatameh Jaili (2011) dalam Jurnal Annals of Biological Research
menemukan bahwa atlet perempuan pada kategori olahraga individu lebih tinggi
dalam komitmen, bangga terhadap suatu pencapaian, lebih mempunyai rasa
control terhadap diri sendiri, memiliki empati, jiwa petualang, dan memiliki
dominasi yang kuat terhadap lingkungan sekitar daripada non atlet. Fatemeh
Jaili (2011) juga membandingkan atlet putri dalam olahraga individual dan
olahraga tim, hasil yang diperoleh menunjukan bahwa atlet individu lebih
bangga atas pencapaiannya, lebih agresif, dan mempunyai ketegaran mental
yang tinggi daripada atlet dikategori tim.
Katjna T (2004) dalam Journal of Kinesiology menemukan bahwa atlet pada
jenis olahraga yang mempunyai resiko tinggi (downhill, motorcross, sky
jumpers) memiliki tingkat emosi yang lebih stabil, lebih berhati-hati akan apa
yang akan dilakukan, lebih bertanggungjawab, dan lebih mempunyai aspek
openness
5. Contoh kasus kepribadian pada atlet

Judul Artikel Sport Hypnosis : Ego State dalam Mereduksi Anxiety


Atlet Tae Kwon Do (Studi Kasus pada Atlet PPOPD Tae
Kwon Do Kota Salatiga)

Penulis Guntur Ratih Prestifa Herdinata. Monoa Saparwari, Noer


Indah Aprianti

Tahun Publikasi, 2022, Volume 2, Nomor 12, 3995-4004


Volume, Nomor
dan Halaman

DOI/ISSN ISSN 2722-9475 (Cetak)


ISSN 2722-9467 (Online)

Nama Jurnal Jurnal Inovasi Penelitian

Pendahuluan
Tae Kwon Do Salatiga melakukan pembenahan dalam meningkatkan prestasi
atletnya yang mengalami kendala dalam prestasi. Alasan yang dominan
muncul dari masalah tersebut adalah pada psikologi atlet khususnya
kecemasan/anxiety.Salah satu cara untuk meningkatkan kinerja atlet adalah
dengan menggunakan Sport Hypnosis. Hipnosis olahraga dimaksudkan untuk
meningkatkan kinerja olahraga dan atlet dapat tampil lebih baik jika mampu
untuk rileks secara mental dan fokus pada tugas yang sedang dikerjakan.
Selain itu Hipnosis olahraga dapat menghilangkan respon fobia, panik/cemas,
dan ketakutan akan cedera lebih lanjut pada atlet setelah cedera. Oleh karena
itu hipnosis diperlukan untuk membantu atlet dalam meningkatkan
prestasinya. Pada penelitian ini digunakan terapi pada Ego State yang dimiliki
oleh setiap orang khususnya atlet. Ego state adalah kumpulan kelompok yang
mempunyai keadaan atau kondisi emosi yang setara dan dibedakan
berdasarkan tugas khusus, perasaan (mood), dan fungsi mental, dimana
kesadaran diasumsikan sebagai identitas diri orang tersebut. Kumpulan dari
Ego State membentuk kepribadian utuh seseorang dan jumlahnya tidak dapat
dihitung. Ego State Therapy adalah sebuah terapi yang menggunakan
pendekatan individu keluarga, dan terapi kelompok dalam mengakses dan
berhubungan dengan Ego State yang bertujuan untuk melepaskan dan
mengatasi konflik Ego State yang terjadi (J.G Watkins & H.H Watkins 2018).
Konflik Ego State membuat seseorang mengalami kecemasan dan depresi

Metode
Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif studi kasus dengan
pendekatan deskriptif. Penelitian ini hanya menggambarkan apa adanya
tentang analisis ego state dalam mereduksi kecemasan pada atlet PPOPD Tae
Kwon Do Salatiga terhadap prestasi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
membantu PPOPD Tae Kwon Do Salatiga yang membutuhkan penelitian
secara mendalam, intensif, dan menyeluruh. Subjek dalam penelitian ini
adalah atlet PPOPD Tae Kwon Do Kota Salatiga. Sampel diambil secara acak
sebanyak 15 atlet.

Hasil Penelitian & Pembahasan


Atlet yang mendapatkan terapi ego state merasa terbantu dalam penyembuhan
masalah trauma. Dengan teratasinya trauma maka gejala-gejala trauma seperti
kecemasan dan takut berlebihan mulai menghilang karena tidak lagi dalam
kendali ego state negatif (barabasz et all, 2011). Melalui kondisi hipnosis,
terapis dapat secara cepat menemukan akar masalah dan ego state yang
terluka serta melakukan proses ekspresi dan pelepasan emosi. Terdapat 5
tahapan sport hipnosis dan ego state therapy dalam mereduksi anxiety atlet
taekwondo PPOPD Kota Salatiga; Tahapan pertama dilakukan oleh terapis
dengan mengakses ego state (Accessing Ego State) atlet untuk
membayangkan situasi yang membuatnya trauma dan menanyakan perasaan
yang muncul ketika berada dalam situasi tersebut. Tahap kedua melakukan
regresi dengan menggunakan teknik Resistance Bridging. Pada tahap ini, atlet
dibawa ke dalam memori peristiwa pertama kali munculnya ego state yang
terluka. Tahap ketiga adalah melakukan proses ekspresi terhadap ego state
yang negatif. Dalam tahapan ini, atlet harus mengekspresikan dan
mengungkapkan permasalahan yang terpendam. Tahap keempat adalah
tahapan removal atau pelepasan rasa kesal, dengan atlet diminta untuk
meluapkan rasa kesal yang ada di dalam dirinya. Tahap terakhir adalah proses
relief/penanganan, atlet diminta untuk memunculkan pikiran positif.

Kesimpulan
Sport Hypnosis dengan mengakses Ego State dapat mengurangi tingkat
kecemasan pada atlet Tae Kwon Do PPOPD Kota Salatiga. Dengan melakukan
akses pada ego state atlet didorong untuk menemukan sumber masalah dari
trauma yang menyebabkan kecemasannya tersebut.. Individu yang sudah
mengakses ego statenya lalu akan mengeluarkan pikiran, perasaan dan
pengalaman yang negatif yang lama telah dipendam. Lalu setelah itu mereka
akan merasa lebih baik karena perasaan negatif sudah tersalurkan. Setelah itu
maka individu dapat memunculkan dan mengembangakn pemikiran positif.
Dari sekam tersebutlah maka atlet akan terbebas dari rasa trauma dan dapat
fokus pada apa yang dikerjakannya sebagai atlet, dengan begitu prestasinya
oun juga akan mengikuti

BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan
Kepribadian merupakan suatu karakter yang melekat pada individu dan
bersifat unik pada masing-masing individu. Kepribadian ini juga merupakan
pola yang relatif menetap, trait, dan karakteristik di dalam individu yang
memberikan beberapa ukuran yang konsisten tentang perilaku. Atlet pasti
memiliki beragam kepribadian tiap individunya. Kepribadian tersebut dibagi
menjadi tiga tingkatan, yaitu Psychological Core, Typical Responses, dan
Role-related Behavior. Setiap cabang olahraga memiliki karakteristiknya
masing-masing, sama dengan tipe kepribadian manusia. Setiap individu
memiliki perbedaan karakteristik pada cabang olahraga, hal ini dapat dilihat dari
pilihan cabang olahraga individu yang dianggap cocok dengan kepribadian
individu tersebut. Penelitian juga telah menunjukan bahwa atlet memiliki
rata-rata skor kepribadian yang lebih tinggi daripada non-atlet.

2. Saran
Kami para penulis tidak luput dari kesalahan dalam menyusun makalah
ini. Sebagai tambahan bagi para pembaca, kami menyarankan agar tidak hanya
berpaku pada makalah ini saja namun disarankan untuk mencari referensi
tambahan materi gangguan zat dan adiksi, serta adiksi non kimia.

DAFTAR PUSTAKA

Saparwari, Monoa., Aprianti, Noer Indah. (2022). Sport hypnosis : Ego state dalam
mereduksi anxiety atlet tae kwon do (Studi kasus pada atlet PPOPD tae kwon do
kota salatiga). Jurnal Inovasi Penelitian, 2(12), 3995-4004. ISSN 2722-9475
Setiyawan, S. (2017). Kepribadian atlet dan non atlet. Jendela Olahraga, 2(1), 110-119.
Supriyanto, A. (2015). Psikologi olahraga. Universitas Negeri Yogyakarta Press.
Ward, M. T. (2005). Differences in personality between non-athletes and athletes and
between athletes participating in selected sports. California State Science Fair.
MAKALAH PSIKOLOGI OLAHRAGA
KEPRIBADIAN DALAM OLAHRAGA

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Psikologi Olahraga

Dosen Pengampu: Dr. Dra. Niken Fatimah Nurhayati, M.Pd.

Disusun oleh:
Kelompok 4
Fahila Dini Eka Nurrubianti 15000120120065
Alexandra Felicita Saraswati 15000120130281
Aurelia Nisha Pramesti 15000120140145
Khairunnisa Nabila Hidayat 15000120140205
Devira Riza Mutiarani 15000120140333

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan karunia-Nya
yang telah memberikan kesempatan, kemudahan dan kelancaran bagi kami, sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah Psikologi Olahraga dengan judul “Kepribadian dalam
Olahraga” tepat pada waktunya.
Besar harapan kami makalah ini dapat memberi manfaat dan menambah wawasan
bagi kita semua yang membacanya, terutama tentang topik yang dibahas oleh penulis. Kami
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat mendukung dari pembaca demi perbaikan
menuju arah yang lebih baik.

Semarang, 18 September 2022

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR 1
DAFTAR ISI 2
BAB I 3
PENDAHULUAN 3
1.1 Latar Belakang 3
1.2 Rumusan Masalah 3
1.3 Tujuan Penulisan 3
BAB II 5
ISI 5
2.1 Pengertian Kepribadian 5
2.2 Cara Mengukur Kepribadian dalam Olahraga 6
2.3 Perbandingan Kepribadian Atlet dan Non-Atlet 9
2.4 Pengaruh Olahraga terhadap Kepribadian 10
2.5 Contoh Studi Kasus Kepribadian pada Atlet 12
BAB III 17
PENUTUP 17
3.1 Kesimpulan 17
3.2 Saran 17
DAFTAR PUSTAKA 18
LEMBAR KONTRIBUSI 19

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Setiap kemenangan seorang atlet pastinya diikuti dengan usaha yang keras. Usaha
yang keras itu tercipta dari adanya kepribadian yang baik. Olahraga sebagai sarana
pembentuk kepribadian yang juga sebagai sarana untuk mengetahui karakteristik
kepribadian. Salah satu pembentuk kepribadian adalah faktor lingkungan dan interaksi
individu dengan lingkungan. Atlet merupakan sebagai salah satu pelaku olahraga yang
tentu memiliki kepribadian berbeda dengan individu yang kurang berkecimpung dalam
lingkungan olahraga (non atlet). Kemudian perbedaan ini tentu menjadi menarik ketika
olahraga yang dianggap sebagai salah satu cara untuk meningkatkan kualitas manusia
yang justri akhir - akhir ini dipertanyakan mengenai manfaatnya dari segi psikologis.
Hollander menganggap bahwa kepribadian adalah semua karakter yang melekat
pada suatu individu yang unik. Feist mendefinisikan kepribadian sebagai suatu pola yang
relatif menetap, trait, disposisi atau karakteristik di dalam individu yang memberikan
beberapa ukuran yang konsisten tentang perilaku (Feist, 1998). Dalam beberapa kejadian
pasti masih mengingatkan kita akan pahitnya kerusuhan yang terjadi antara pemain
dalam satu pertandingan ataupun pemain dengan penonton. Yang dimana itu
memperlihatkan betapa terlihatnya kepribadian seseorang ketika beberapa suasana
terjadi. Pencapai prestasi yang maksimal seorang atlet membutuhkan beberapa kesiapan
yaitu fisik, teknik, dan taktik, selain itu diperlukan kesiapan mental untuk dapat
mencapai kemampuan permainan terbaik karena faktor mental sendiri salah satunya
meliputi kecemasan, yang mana faktor ini dapat memicu psikologi atlet.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa itu kepribadian?
2. Bagaimana cara mengukur kepribadian atlet dalam olahraga?
3. Bagaimana perbandingan kepribadian antara atlet dan non atlet?
4. Apakah terdapat pengaruh olahraga terhadap kepribadian?
5. Adakah contoh kasus mengenai kepribadian atlet?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui dan memahami apa itu kepribadian.

3
2. Untuk mengetahui cara mengukur kepribadian atlet dalam olahraga.
3. Untuk mengetahui perbandingan kepribadian atlet dan non atlet.
4. Untuk mengetahui pengaruh olahraga terhadap kepribadian.
5. Untuk mendapatkan gambaran kepribadian atlet dengan jelas.

4
BAB II
ISI

2.1 Pengertian Kepribadian


Kepribadian menurut Allport (Barrick & Ryan, 2003) “The dynamic organization
within the individual that determines her or his unique adjustments to her or his
environment”. Allport mendefinisikan bahwa kepribadian adalah suatu organisasi
psikodinamik yang unik dalam proses penyesuaian diri individu dengan lingkungan.
Menurut Larsen & Buss (2002) kepribadian merupakan sekumpulan ciri bawaan
psikologis dan mekanisme di dalam individu yang diorganisasikan, relatif bertahan yang
mempengaruhi interaksi dan adaptasi di dalam lingkungan. Kepribadian menurut
Eysenck (1960) adalah susunan karakter seseorang yang kurang lebih stabil dan bertahan
dan berhubungan dengan temperamen, intelektual dan fisik yang menuntut penyesuaian
yang unik terhadap lingkungan. Kepribadian adalah gabungan dari karakter-karakter
yang membuat seseorang menjadi unik. Cara terbaik untuk mengartikan kepribadian
adalah dengan melihat tiga level yang terpisah namun saling berkaitan yaitu: pusat
psikologis, ciri khas tanggapan, dan perilaku berdasarkan peran. Penerapan psikologi ke
dalam bidang olahraga ini adalah untuk membantu agar bakat olahraga yang ada dalam
diri seseorang dapat dikembangkan sebaik-baiknya tanpa adanya hambatan dan
faktor-faktor yang ada dalam kepribadiannya. Dengan kata lain, tujuan umum dari
psikologi olahraga adalah untuk membantu seseorang agar dapat menampilkan prestasi
optimal, yang lebih baik dari sebelumnya. Pusat atau inti psikologis merupakan bagian
paling dasar dari kepribadian yang meliputi perilaku-prilaku dan nilai-nilai, kepentingan
dan alasan-alasan, serta keyakinan terhadap diri sendiri dan harga diri. Pada intinya,
pusat psikologis inilah yang nantinya membentuk seseorang yang sesungguhnya, bukan
pencitraan diri yang diinginkan dari orang lain.
Secara khusus faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya kepribadian ada
dua yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan (Pervin & John, 2001). Faktor genetik
mempunyai peranan penting di dalam menentukan pribadi khususnya yang terkait dengan
aspek yang unik dari individu (Caspi, 2000; Rowe, 1999, dalam Pervin & John, 2001).
Faktor lingkungan mempunyai pengaruh yang membuat seseorang sama dengan orang
lain karena berbagai pengalaman yang dialaminya. Faktor lingkungan terdiri dari faktor
budaya, kelas sosial, keluarga, teman sebaya, situasi. Diantara faktor lingkungan yang

5
mempunyai pengaruh signifikan terhadap kepribadian adalah pengalaman individu
sebagai hasil dari budaya tertentu.

2.2 Cara Mengukur Kepribadian dalam Olahraga


Olahraga merupakan salah satu sarana pembentuk kepribadian. Kepribadian ini
merupakan suatu organisasi psikodinamik yang unik dalam proses penyesuaian diri
individu dengan lingkungan. Kepribadian dibagi menjadi tiga tingkatan yang masih
dalam satu kesatuan yang utuh, yaitu:
a. Physiological Core
Merupakan tingkatan paling mendasar pada seorang individu yang berisi nilai-nilai
berkaitan dengan diri individu yang akan sangat mempengaruhi sikap serta
perilakunya. Tingkatan ini melekat erat dan pada umumnya bersifat konstan.
b. Typical Responses
Tingkatan ini merupakan tingkatan di mana suatu individu berusaha memberikan
respon terhadap apa yang ada di sekitarnya.
c. Role-related Behavior
Merupakan tingkatan yang dapat mengubah kepribadian suatu individu, yang di
mana keadaan sosial menuntut adanya penyesuaian diri individu terhadap
lingkungan di sekitarnya.

Gambar 1. Skema Struktur Kepribadian


(Weinberg & Gould, 2007)

Sifat kepribadian biasa diukur melalui angka rata-rata laporan dari (self-report)
kuesioner kepribadian atau penelusuran kepribadian seutuhnya (personality inventory,

6
serangkaian instrumen yang mengungkap sejumlah sifat). Ada beberapa macam cara
untuk mengukur atau menyelidiki kepribadian, diantaranya yaitu:
a. Direct Observation
Direct observation, atau yang dapat pula disebut sebagai observasi langsung,
mempunyai sasaran yang khusus dan memilih situasi tertentu, yaitu saat dapat
diperkirakan munculnya indikator dari ciri-ciri yang akan diteliti. Observasi
langsung diadakan pada situasi yang terkontrol dan dapat diulang atau dibuat
replikasinya. Ada dua tipe metode dalam observasi langsung, yaitu:
● Time Sampling Method
Pada metode ini, setiap subjek diselidiki pada periode waktu tertentu. Hal
yang diobservasi sekedar muncul tidaknya respons, atau aspek tertentu.
● Incident Sampling Method
Dalam metode ini, sampling dipilih dari berbagai tingkah laku dalam berbagai
situasi. Laporan observasinya mungkin berupa catatan-catatan dari Ibu tentang
anaknya, khusus pada waktu menangis, pada waktu mogok makan, dan
sebagainya. Dalam pencatatan tersebut, hal-hal yang menjadi perhatian adalah
intensitasnya, durasinya, serta efek-efek yang muncul setelah adanya respons.
b. Metode Buku Harian Terkontrol
Metode ini dilakukan dengan cara mencatat dalam buku harian berkaitan dengan
tingkah laku khusus yang hendak diselidiki. Misalnya, mengadakan observasi pada
diri sendiri ketika sedang marah. Salah satu syarat dari penggunaan metode ini
yaitu peneliti yang bersangkutan haruslah seorang dewasa yang cukup intelligent
dan benar-benar memiliki pengabdian pada perkembangan ilmu pengetahuan.
c. Tes Proyektif
Pada tes proyektif, orang yang dinilai akan memprediksikan dirinya melalui
gambar atau hal lain yang akan dilakukannya. Tes proyektif pada dasarnya
memberi peluang pada orang yang dites untuk memberikan makna atas hal yang
disajikan. Pada tes ini, tidak ada pemaknaan yang dianggap benar maupun salah.
Bila pada subjek diberikan tugas yang menuntut penggunaan imajinasi, kita dapat
menganalisis hasil fantasinya untuk mengukur cara dia merasa dan berpikir. Jika
melakukan kegiatan yang bebas, orang cenderung menunjukkan dirinya, dan
memproyeksikan kepribadiannya untuk melakukan tugas yang kreatif. Berikut
yang termasuk ke dalam jenis tes proyektif:

7
● Test Rorschach
Merupakan tes yang dikembangkan oleh Hermann Rorschach, seorang dokter
psikiatri asal Swiss. Tes ini terdiri dari sepuluh kartu yang masing-masing
menampilkan bercak tinta yang agak kompleks. Sebagai bercak tintanya
berwarna dan sebagian lagi hitam putih. Kartu-kartu tersebut diperlihatkan
kepada individu yang mengalami percobaan dalam urutan yang sama. Mereka
ditugaskan untuk menceritakan hal yang dilihat dalam noda-noda tinta
tersebut. Meskipun bercak tintanya secara objektif sama bagi semua peserta,
jawaban yang mereka berikan dapat berbeda satu sama lain. Hal ini
menunjukkan bahwa mereka yang menjadi peserta percobaan itu
memproyeksikan sesuatu dalam bercak tinta tersebut. Analisis dari sifat
jawaban yang diberikan peserta akan memberikan petunjuk mengenai susunan
kepribadiannya.
● Thematic Apperception Test (TAT)
Tes Apersepsi Tematik (TAT) mempergunakan suatu seri gambar-gambar yang
di mana sebagian adalah reproduksi lukisan-lukisan dan sebagian lagi terlihat
sebagai ilustrasi buku atau majalah. Peserta diminta untuk mengarang sebuah
cerita mengenai latar belakang dari kejadian yang menghasilkan adegan pada
setiap gambar, mengenai pikiran dan perasaan yang dialami oleh orang di
dalam gambar tersebut, dan bagaimana episode tersebut akan berakhir. Dalam
menganalisis respon terhadap kartu TAT, ahli psikologi melihat tema yang
berulang yang dapat mengungkapkan kebutuhan, motif, ataupun karakteristik
cara seseorang melakukan hubungan antar pribadinya.
● Inventori Kepribadian
Merupakan kuesioner yang mendorong individu untuk melaporkan reaksinya
pada situasi tertentu. Kuesioner ini mirip wawancara terstruktur dan
menanyakan pertanyaan yang sama untuk setiap orang. Jawaban biasanya
diberikan dalam bentuk yang mudah dinilai dan seringkali dengan bantuan
komputer. Menurut Atkinson, inventori kepribadian mungkin dirancang untuk
menilai dimensi tunggal kepribadian atau beberapa sifat kepribadian secara
keseluruhan. Beberapa inventori kepribadian yang cukup terkenal dan banyak
digunakan adalah Minnesota Multiphasic Personality Inventory (MMPI),
Rorced-Choice Inventories, dan Humm-Wadsworth Temperament Scale (H-W
Temperament Scale)

8
2.3 Perbandingan Kepribadian Atlet dan Non-Atlet
Faktor pembentuk kepribadian adalah gen, lingkungan, dan interaksi individu
dengan lingkungan. Olahraga sebagai salah satu sarana untuk membentuk kepribadian
suatu individu mempunyai peranan untuk membantu kepribadian yang sesuai dengan
karakteristik olahraga tertentu. Setiap cabang olahraga tentu mempunyai karakteristik
yang berbeda, demikian pula tipe kepribadian manusia. Setiap individu pasti memiliki
perbedaan karakteristik pada cabang olahraga, hal ini ditunjukan oleh pemilihan cabang
olahraga yang dianggap cocok dengan kepribadian individu tersebut.
Kajian tentang kepribadian atlet dan non atlet telah dilakukan oleh beberapa
peneliti. Pengukuran yang disebut Profile of Mood States (POMS) digunakan untuk
meneliti perbedaan kepribadian antara atlet dan non atlet. Dalam perbandingan ini
Morgan menemukan perbedaan kepribadian antara atlet dan non atlet. Penelitian Morgan
mengemukakan bahwa atlet lebih tahan terhadap tingkat stress, depresi, kelelahan, dan
lebih kuat dalam kehidupan sosialnya.

Grafik 1. Iceberg Profile


(Weinberg & Gould, 2019)

Penelitian lain juga dilakukan beberapa peneliti untuk mengetahui efek dan
perbedaan olahraga pada atlet dan non atlet. Beberapa peneliti menggunakan variasi dan
variabel yang berbeda pada setiap penelitian yang dilakukan. Schurr, Asley, & Joy
menemukan bahwa atlet lebih mandiri, lebih obyektif dalam memandang sesuatu dan
lebih tahan terhadap kecemasan. Cooper “Athletes more self-confident, competitive,
dominant, goal oriented, and social outgoing”. Dalam hal ini Cooper menemukan bahwa
atlet lebih percaya diri, mau bekerja keras, dominan, mempunyai tujuan yang jelas, dan
mudah bersosialisasi dengan lingkungan. Hal ini didukung oleh penelitian yang
dilakukan Mauricio Gattas (2005) dalam Journal Rev Bras Esporte yang menemukan

9
atlet lebih agresif, lebih bisa mengontrol emosi, lebih terbuka, lebih menghargai diri
sendiri dan mau bekerja keras.

2.4 Pengaruh Olahraga terhadap Kepribadian


Beberapa penelitian telah dilakukan mengenai pengaruh olahraga terhadap
kepribadian. Morgan, 1980 (dalam Darisman, 2021) melakukan studi mengenai
kepribadian atlet dengan menggunakan pendekatan iceberg profile. Dari studinya
tersebut, Morgan menemukan bahwa atlet yang berhasil (sukses) menunjukkan kondisi
mental (tension, depression, anger, fatigue, confusion) yang lebih sehat dibanding atlet
yang kurang berhasil. Selanjutnya Gould et al., 2002 (dalam Darisman 2021)
mengungkap ciri kepribadian atlet Amerika (di antaranya perenang, hockey, atletik) yang
telah berhasil menjadi juara Olimpiade. Dari studi tersebut ditemukan bahwa para atlet
yang berhasil umumnya memiliki ciri antara lain percaya diri, optimistik, prestasi,
memiliki stabilitas emosi, dan cerdas.
Maksum, 2005 (dalam Darisman, 2021) melakukan penelitian terhadap 10 atlet
Indonesia yang telah memiliki prestasi internasional seperti Rudy Hartono, Icuk
Sugiarto, Susy Susanti dan Taufik Hidayat. Dari mereka ditemukan 7 sifat yang dominan
pada mereka, yaitu:
a. Ambisi Prestatif
Ciri kepribadian ini merujuk pada adanya keinginan yang kuat untuk
meraih keberhasilan. Atlet yang memiliki ambisi prestatif tidak cepat puas terhadap
penampilan yang dilakukan. la selalu menginginkan perbaikan, optimis terhadap
apa yang dilakukan, selalu ingin bersaing, dominan, dan target oriented.
b. Kerja Keras
Ciri kepribadian ini merujuk pada adanya kesungguhan atas usaha yang
dilakukan untuk mewujudkan ambisi prestatifnya. atlet yang memiliki ciri
kepribadian ini tidak hanya sekadar menjalankan program pelatih atau
menghabiskan waktu latihan, tetapi ia selalu berusaha melakukan program tersebut
dengan penuh kesungguhan dan intensitas yang tinggi. Ia juga pro aktif, agresif dan
menyukai tantangan.
c. Gigih
Ciri kepribadian ini merujuk pada adanya kesanggupan untuk melakukan
usaha secara konsisten dan terus menerus. Atlet dengan ciri kepribadian ini tidak
cepat putus asa dalam melakukan usaha dan memiliki daya tahan atas

10
ketidaknyamanan. Kegigihan nampak dari frekuensi usaha dan lamanya waktu
yang dicurahkan untuk melakukan aktivitas.
d. Komitmen
Ciri kepribadian ini merujuk pada adanya kesediaan atlet untuk mengikuti dan
memegang teguh ketentuan-ketentuan, baik yang datang dari dalam diri atlet
sendiri maupun yang datang dari luar. Atlet yang memiliki komitmen adalah atlet
yang mencintai profesinya, fokus terhadap tugas, disiplin dan tanggung jawab
terhadap tugas, serta rela mengorbankan kepentingan lain demi profesi yang telah
dipilihnya.
e. Mandiri
Ciri kepribadian ini merujuk pada adanya kesediaan atlet untuk melakukan
sesuatu secara sendiri dan bertanggung jawab. Atlet yang mandiri adalah atlet yang
tidak hanya berlatih ketika ada program dari pelatih, tetapi juga secara autodidak
melakukan latihan sendiri. Pribadi mandiri adalah pribadi yang independen dan
menyukai tanggung jawab pribadi. Ia seringkali juga mengambil inisiatif dan
mampu mengelola dirinya sendiri secara bertanggung jawab.
f. Cerdas
Ciri kepribadian ini merujuk pada adanya kesanggupan untuk berpikir secara
rasional, bertindak secara terarah, dan efektif menghadapi lingkungan. Atlet yang
cerdas adalah atlet yang mampu mengambil keputusan di saat sulit, misalnya
merubah taktik dan strategi bermain secara cepat dan efektif. la juga sebagai
pembelajar yang tanggap, mampu menganalisis dan bertindak cermat, serta kreatif
memunculkan ide-ide atau teknik-teknik yang unik dalam bermain.
g. Swakendali
Ciri kepribadian ini merujuk pada adanya kesanggupan untuk mengendalikan
perasaan, pikiran dan tingkah laku secara efektif. Atlet yang memiliki swakendali
adalah atlet yang mampu mengendalikan keinginan-keinginan yang destruktif
terhadap prestasi. Ia juga memiliki stabilitas emosi, yakni mampu mengendalikan
perasaan cemas, marah, dan keinginan mengakhiri pertandingan dengan cepat.
Selain itu, ia juga sportif terhadap apa yang telah diusahakan dan dihasilkan.
Olahraga mengajarkan pada seseorang akan kedisiplinan, jiwa sportivitas, tidak
mudah menyerah, mempunyai jiwa kompetitif yang tinggi, semangat bekerja sama,
mengerti akan adanya aturan, dan berani mengambil keputusan. Pendek kata, olahraga
akan membentuk manusia dengan kepribadian yang sehat. Ini relevan dengan pemikiran

11
Baron Piere de Coubertin, penggagas olimpiade modern bahwa tujuan olahraga terletak
pada fungsinya "as the unique school of moral perfection, and as the means for the
acquisition and formation of strong personality, good character and noble sentiments;
only men with these moral virtues can be useful mem of society".
Olahraga juga membina manusia menuju kesempurnaan seperti tercermin dalam
motto. Citius, Altius, Fortius, telah diakui dunia sebagai Gerakan Olimpiade (Olympic
Movement). Citius, sesungguhnya tidak hanya diartikan sebagai lebih cepat atau tercepat,
seperti terekam pada prestasi seorang atlet dalam berlari. Namun makna sesungguhnya
menunjukkan kualitas mental seseorang yang mampu mengambil keputusan lebih cepat
dan lebih cerdas. Makna Altius, bukan dalam pengertian lebih tinggi atau tertinggi
mencapai prestasi, misalnya lompat tinggi atau lompat galah dalam atletik, namun
merujuk pada moral yang lebih luhur atau mulia. Demikian pula fortius bukan dalam
pengertian lebih kuat atau terkuat dalam prestasi olahraga angkat berat misalnya, tetapi
menunjukkan kualitas pribadi yang lebih ulet dan tangguh.

2.5 Contoh Studi Kasus Kepribadian pada Atlet


A. Kasus I : Derek Redmond
Derek Redmond, atlet asal Inggris Raya, berusia 26 tahun ketika ikut turun di
nomor lari 400 meter pada Olimpiade 1992 di Barcelona. Olimpiade ini bisa jadi
merupakan kesempatan terakhir bagi Redmond untuk berjaya setelah empat tahun
sebelumnya. ia absen lantaran empat tahun sebelumnya ia mengalami cedera tendon
achilles. Redmond adalah sosok yang akrab dengan cedera. Untuk bisa tampil di
Olimpiade 1992, Redmond sudah menjalani delapan kali operasi. Saat Olimpiade
1992 ini berlangsung, sekitar 150 meter perlombaan, Redmond menyadari ada yang
tak beres dengan tubuhnya. Hamstring kanannya bermasalah dan laju larinya pun
terhenti. Para pelari lainnya pun dengan cepat meninggalkan Redmond dan
menyentuh garis finis. Perlombaan semifinal 400 meter telah usai dan pemenangnya
sudah diketahui. Steve Lewis, Roberto Hernandez, Ibrahim Ismail, dan Susumu
Takano sukses memastikan tiket semifinal.
Namun bagi Redmond, lomba belum selesai. Setelah beberapa saat duduk
berlutut, Redmond bangkit dan kembali berlari. Sejumlah petugas memintanya untuk
menyingkir namun hal itu tak dipedulikan Redmond. Redmond terus berlari menuju
garis finis. Perjuangan bukan hanya milik Redmond, melainkan juga milik sang ayah,
Jim. Jim langsung turun ke arena untuk membujuk Redmond. Sejumlah petugas

12
sempat menghalangi Jim namun akhirnya ia mampu menggapai Redmond. Jim
meminta Redmond untuk berhenti agar cederanya tak berpengaruh pada performanya
di nomor estafet. Namun kemudian hal itu ditolak oleh Redmond. Gemuruh tepuk
tangan pun mulai memadati stadion atletik. Mereka terkesima dan larut dalam haru
pada semangat yang ditunjukkan oleh Redmond dan sang ayah. Momen itu pun jadi
salah satu momen yang paling dikenang dan jadi contoh pas tentang semangat
kompetisi serta semangat Olimpiade.
Analisis Kasus:
Dari kasus yang dialami oleh Derek Redmond, dapat dianalisis salah satunya dari
segi kepribadian. Ada 7 sifat dominan pada kepribadian atlet pada atlet yang berhasil
yaitu Ambisi Prestatif, Kerja Keras, Gigih, Komitmen, Mandiri, Cerdas, dan
Swakendali. Yang dimana pada kasus ini, sikap yang diambil Redmond menunjukkan
sifat Gigih dan memiliki Komitmen. Dapat dilihat bahwa kegigihan Derek Redmond
mencapai garis finis membuat haru penonton pertandingan. Walaupun dalam kondisi
yang tiba–tiba memburuk, tidak membuat iya terhenti. Sifat kepribadian itu bisa hadir
juga karena ada contoh kepribadian yang patut ditiru, yaitu ayahnya, Jim Redmond.
Saat melihat anaknya masih berlari, ia langsung mengejar anaknya dan melarangnya
untuk melanjutkan hingga finish. Namun jawaban Derek Redmond membuat sang
ayah tertegun dan merasa kagum akan kegigihan sang anak. Yang pada akhirnya sang
ayah pun ikut membantu sang anak menyelesaikan berlari hingga garis finish.
Kemudian untuk sifat memiliki Komitmen sendiri ditunjukkan Derek Redmond pada
saat waktu cedera itu terjadi. Dimana yang awalnya bertekad untuk menang namun
digagalkan oleh kenyataan, membuat dia segera berkomitmen diri untuk mampu
menyelesaikan hingga akhir. Walaupun bisa dilihat betapa tidak mudah
perjuangannya, dengan tertatih ia berusaha mewujudkan komitmen diri yang telah ia
buat.

B. Kasus II : Nanda Mei Sholihah


Nanda Mei Sholihah, yang akrab disapa Nanda, terlahir tanpa setengah lengan
kanan. Akan tetapi, kekurangannya tersebut tidak menjadi sebuah halangan besar. Ia
tetap bisa melakukan segala aktivitas, meski hanya satu tangan yang berfungsi
normal. Buktinya, kini ia bisa menjadi atlet paralimpik cabang atletik nomor 100
meter, 200 meter, dan 400 meter dengan segudang prestasi. Ia pernah menyabet
medali perak di lari 100 meter dan 200 meter serta perunggu di lari 400 meter pada

13
ajang ASEAN Para Games 2014 di Myanmar. Lalu, 3 medali emas di ajang ASEAN
Para Games 2015 cabang atletik nomor 100 meter, 200 meter, dan 400 meter. Terbaru,
ia berhasil meraih 3 medali emas di ASEAN Para Games tahun 2017 di Malaysia.
Semenjak kecil, orangtua Nanda memang selalu memperlakukan gadis jelita kelahiran
17 Mei 1999 ini laiknya tak memiliki keterbatasan fisik, termasuk soal pemilihan
sekolah. Karenanya, mereka pun memutuskan untuk menyekolahkan sang anak di
sekolah umum. Akan tetapi, keinginan tersebut sempat mengalami rintangan. Kala itu,
sang kepala sekolah justru menyarankan orangtua Nanda untuk mendaftarkan sang
anak ke Sekolah Luar Biasa (SLB).
Nah, titik balik seorang Nanda hingga akhirnya menjadi salah satu atlet difabel
andalan Tanah Air ini terjadi pada saat ia berada di bangku kelas 5 SD. Adalah
Karmani, Ketua NPC Kediri kala itu yang menawarinya untuk menjadi atlet.
Awalnya, Nanda memang sempat ragu. Tak sedikit pula orang yang meragukan
kemampuannya. Tetapi, dorongan kuat dari sang ibu membuatnya yakin untuk
mengambil kesempatan tersebut. Setelah terjun ke dunia olahraga disabilitas, Nanda
pun tampil debut di Surabaya Walikota Cup dan sukses memborong tiga medali emas.
Titik inilah yang menjadi pelecutnya untuk terus menggeluti olahraga para atletik.
Pencapaian itu membuat dirinya sangat bangga dan semakin ingin membuktikan kalau
orang yang memiliki kondisi fisik tidak sempurna, bukan berarti tak bisa
mengharumkan nama bangsa. Sosok Nanda bisa dibilang mampu mematahkan
paradigma yang berada di masyarakat karena seringkali memandang orang disabilitas
sebelah mata.
Analisis Kasus:
Dalam kasus ini bisa dilihat Nanda Mei Sholihah yang dapat dianalisis dari segi
kepribadian. Dari 7 sifat dominan kepribadian yang ada menurut Maksum dan
Darisman, sosok nanda telah menunjukkan semua aspek sifat dominan. Yang dimana
dari mulai adanya ambisi prestatif untuk menjadi sang juara dengan keterbatasan yang
ada tidaklah mudah. Omongan dan tatapan sebelah mata orang – orang bisa saja
menghentikan langkahnya. Namun dengan kegigihan dan komitmen yang kuat, ia pun
bisa menjuarai berbagai kompetisi yang ada. Sifat – sifat itu hadir pastinya tak lepas
dari didikan orang tuanya yang sangat baik. Dengan adanya didikan yang baik itu juga
dapat menghasilkan sifat kepribadian yang dominan dimiliki para atlet berprestasi.
Walaupun awalnya sempat ragu, hal itu tidak membuat ia mundur. Dengan perlahan
mulai percaya pada kegigihan dan komitmen yang telah ada dalam dirinya. Komitmen

14
bahwa “walaupun aku disabilitas, tapi aku mampu untuk beraktivitas dan menjadi
yang terbaik”.

C. Kasus III : Nurul Akmal


Nurul Akmal, salah satu atlet angkat besi perwakilan dari Indonesia ini berhasil
mendapatkan peringkat ke-5 dari seluruh negara dalam Olimpiade Tokyo 2020. Saat
itu, Nurul berhasil memperoleh catatan di posisi kelima pada grup A, dengan hasil
snatch 115 dan clean and jerk 256. Meskipun tak berhasil mendapatkan medali, Nurul
mampu mengalahkan sekian ratus negara, dan berhasil menduduki posisi ke-5 dalam
cabor angkat besi kelas +87 kg. Pencapaian Nurul Akmal dalam ajang Olimpiade
Tokyo merupakan salah satu prestasi dari sekian banyak prestasi yang telah ia peroleh
sepanjang karirnya menjadi seorang atlet angkat besi. Banyak perjuangan yang telah
ia lakukan demi menembus final pada perhelatan Olimpiade Tokyo kemarin mulai
dari awal karier hingga Nurul bisa menjadi seperti sekarang. Nurul memulai kariernya
menjadi atlet pada umur 16 tahun. Saat itu, dirinya masih duduk di bangku SMA kelas
1, tepatnya pada tahun 2010. saat itu ada perwakilan dari Dispora Aceh yang mencari
anak-anak yang memang berpotensi untuk menjadi atlet angkat besi dari daerah
pelosok. Nurul akhirnya pertama kali dikenalkan pada olahraga ini karena seorang
pelatih angkat besi Aceh, yakni Effendi Aria melihat Nurul sebagai anak yang
berpotensi untuk menjadi atlet angkat besi. Waktu itu, Nurul tak langsung berlatih
mengangkat besi. Dirinya dilatih dulu untuk mengangkat beban dengan paralon dan
gagang sapu yang diberi beban berkilo-kilo beratnya. Namun karena ketekunannya,
akhirnya ia memantapkan dirinya untuk serius menjalani rutinitas dan profesi sebagai
atlet. Awalnya ia bercita-cita untuk menjadi polisi. Dirinya juga menjelaskan bahwa
awalnya kedua orangtuanya tak merestuinya untuk menjadi atlet. Namun, seiring
berjalannya waktu, akhirnya Nurul menjelaskan secara perlahan bahwa dirinya ingin
bersungguh-sungguh dalam menjadi atlet.
Selama dirinya menjadi atlet, Nurul pernah merasakan keraguan. Terutama ketika
dirinya bimbang antara memilih pendidikan atau memilih karirnya sebagai seorang
atlet. Saat kuliah, Nurul mengambil jurusan Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan
Kesehatan (Penjasorkes) dan menjalani kehidupannya sebagai mahasiswa biasa
sekaligus menjadi seorang atlet yang tak pernah absen dalam melakukan latihan setiap
harinya. Saat itu pelatihnya mengatakan bahwa Nurul harus memilih salah satu karena
jika dijalankan keduanya Nurul akan menjadi tidak fokus, dan malah berisiko gagal

15
menjalankan keduanya. Dan akhirnya pun dia cuti dalam perkuliahan. Selama dirinya
menjadi atlet, atlet angkat besi satu ini menjadikan keluarganya menjadi motivasi
utamanya. Terutama ayah dan ibunya yang senantiasa selalu mendukung Nurul
apapun keadaannya. Walaupun sempat tidak yakin akan dirinya sendiri dan ingin
mundur dari profesi yang dijalani, ia selalu termotivasi dan memikirkan kembali
tujuan awalnya dalam menjadi atlet. Nurul mengatakan bahwa dirinya selalu ingin
membahagiakan orangtuanya dan menyekolahkan adik-adiknya. Hal itulah yang
selalu ia ingat setiap kali dirinya patah semangat dan merasa ingin mundur dari
seluruh perjalanan dan perjuangan saat menjadi atlet. Belum lagi, baru-baru ini Nurul
sempat mengalami body shaming setelah pulang dari ajang Olimpiade Tokyo 2020
yang lalu. Dalam Instagram Live ini, Nurul juga menceritakan perjuangannya hingga
akhirnya bisa mengikuti Olimpiade Tokyo 2020. Dirinya menjelaskan bahwa selama 3
tahun ke belakang, dirinya sudah banyak mengikuti pertandingan-pertandingan untuk
mengumpulkan poin agar bisa ikut ke ajang Olimpiade Tokyo 2020. Dirinya mengaku
bahwa perjuangannya untuk mengikuti olimpiade ini sangat berat karena harus
melawan dua hal, yakni melawan lawannya, sekaligus melawan corona.
Analisis Kasus:
Dalam kasus ini, kita dapat mengambil analisis dari segi kepribadiannya. Yang
dimana bisa dilihat bahwa sosok nurul memiliki 7 sifat kepribadian yang dominan
dimiliki. Dari mulai sifat ambisi prestatif hingga swakendali, membuat ia terlihat
sebagai sosok panutan. Ambisi prestatifnya ia yang mulai tekun berlatih walau dengan
raket dan botol, tak membuat ia berhenti berambisi. Kegigihannya menjadi atlet
wanita dalam cabang angkat beban membuat dia mengukir sejarah baru untuk kota
kelahirannya tercinta. Juga komitmen pada dirinya sendiri untuk terus maju dan
membanggakan kedua orangtuanya, membuat ia semakin bertekad untuk semakin
baik lagi. Ia pun juga memiliki kestabilan emosi yang baik. Karena pada waktu itu ia
sempat mendapat body shaming dari sekitarnya, akan tetapi ia menghiraukannya dan
terus berusaha memberikan yang terbaik untuk dirinya dan sekitarnya.

16
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Olahraga sebagai salah satu sarana pembentuk kepribadian suatu individu
memiliki peranan untuk membantu kepribadian yang sesuai dengan karakteristik
olahraga tertentu. Kepribadian sendiri didefinisikan sebagai gabungan dari
karakter-karakter yang membuat seseorang menjadi unik. Secara khusus, faktor yang
mempengaruhi terbentuknya kepribadian terdapat dua macam yaitu faktor genetik dan
faktor lingkungan. Untuk mengukur atau menyelidiki kepribadian individu terdapat tiga
macam cara antara lain observasi direct, metode buku harian terkontrol, dan tes
proyektif. Setiap cabang olahraga tentu memiliki perbedaan karakteristik pada cabang
olahraga, hal ini dibuktikan dengan pemilihan cabang olahraga yang dipilih oleh
kepribadian individu tersebut.
Beberapa penelitian yang telah dilakukan mengenai pengaruh olahraga terhadap
kepribadian menunjukkan bahwa atlet yang berhasil, menunjukkan kondisi mental yang
lebih sehat dibanding atlet yang kurang berhasil. Kemudian, penelitian terhadap 10 atlet
Indonesia ditemukan 7 sifat yang dominan pada mereka antara lain ambisi prestatif, kerja
keras, gigih, komitmen, mandiri, cerdas, dan swakendali. Hal ini sesuai dengan 3 contoh
kasus kepribadian pada atlet yang kami ambil. Atlet tersebut adalah Derek Redmond,
Nanda Mei Sholihah, dan Nurul Akmal yang mana mereka bertiga sama-sama memiliki
7 sifat tersebut.

3.2 Saran
Dengan adanya makalah ini, diharapkan dapat bermanfaat dan menambah wawasan
pembaca mengenai pengaruh olahraga terhadap kepribadian. Penulis menyadari betul
bahwasanya masih terdapat berbagai kesalahan dan kekurangan dalam penyusunan
makalah ini. Oleh sebab itu, pembaca diharapkan dapat membaca literatur lain untuk
menambah materi yang kami sampaikan agar informasi yang didapatkan dapat lebih
lengkap.

17
DAFTAR PUSTAKA

Darisman, E. K., Prasetiyo, R., & Bayu, W. I. (2021). Belajar Psikologi Olahraga Sebuah
Teori dan Aplikasi dalam Olahraga. Jakad Media Publishing.
Hadjarati, H. (2018). Hartono Hadjarati: Identifikasi Teknik Dasar Beladiri Langga Gorontalo
Untuk Membangun Jati Diri Daerah (Studi Kasus Di Provinsi Gorontalo).
PROSIDING, 10(2908).
Rachmansyah, Andika. 2022. Kisah Nanda Mei Sholihah, Atlet Difabel Cantik yang Tak
Sengaja Terjun ke Para Atletik.
https://www.sportstars.id/read/kisah-nanda-mei-sholihah-atlet-difabel-cantik-yang-tak
-sengaja-terjun-ke-para-atletik-1YYA89?page=3. 16:15.
Setiyawan. (2017). Kepribadian Atlet dan Non Atlet. Jendela Olahraga, 2(1), 110-119.
https://doi.org/10.26877/jo.v2i1.1289
Tegar, Putra P. 2016. Derek Redmond yang Dikenang Bukan Karena Medali Emas.
https://www.cnnindonesia.com/olahraga/20160801191254-178-148491/derek-redmon
d-yang-dikenang-bukan-karena-medali-emas. 17:50.
Weinberg, R. S. & Gould. D.G. (2019). Foundation of Sport and Exercise Psychology.
Human Kinetics.

18
LEMBAR KONTRIBUSI

NAMA NIM KONTRIBUSI

Fahila Dini Eka 15000120120065 ● Menyusun materi: Perbandingan


Nurrubianti Kepribadian Atlet dan Non Atlet
● Menyusun Power Point

Alexandra Felicita 15000120130281 ● Menyusun materi: Cara Mengukur


Saraswati Kepribadian dalam Olahraga
● Menyusun Power Point

Aurelia Nisha 15000120140145 ● Menyusun materi: Pengaruh Olahraga


Pramesti terhadap Kepribadian
● Finishing makalah

Khairunnisa Nabila 15000120140205 ● Menyusun Bab I


Hidayat ● Menyusun Contoh Studi Kasus dan
Analisis Kasus

Devira Riza 15000120140333 ● Menyusun materi: Definisi


Mutiarani Kepribadian
● Menyusun Bab III

19
AGRESIVITAS DAN ASERTIVITAS DALAM OLAHRAGA
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Psikologi Olahraga

Dosen Pengampu:
Dr. Dra. Niken Fatimah Nurhayati, M.Pd.

Disusun Oleh:
Kelompok 5

Nabila Inas Tiani 15000120140214


James Ramoti 15000120140112
Bagas Siwoyo Wikandono 15000120140215
Wan Aisyah Salsabilla 15000120140252
Faisal Angger Abimanyu 15000120130283

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan karunia-Nya yang
telah memberikan kesempatan, kemudahan dan kelancaran bagi kami untuk menyelesaikan
makalah Psikologi Olahraga yang berjudul “Agresivitas dan Asertivitas dalam Olahraga”
Terima kasih kami ucapkan kepada dosen pengampu kami di mata kuliah ini, Ibu Dr. Dra.
Niken Fatimah Nurhayati, M.Pd. atas bimbingan dan arahannya dalam penulisan makalah ini, juga
kepada rekan-rekan sekelompok atas bantuan dan kerjasamanya sehingga makalah ini dapat
diselesaikan dengan baik.
Besar harapan kami makalah ini dapat memberi manfaat dan menambah wawasan bagi kita
semua yang membacanya, terutama tentang topik yang dibahas penulis. Kami menyadari bahwa
makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran
yang bersifat mendukung dari pembaca demi perbaikan menuju arah yang lebih baik.

Semarang, 23 September 2022

Kelompok 5
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR 2
DAFTAR ISI 3

BAB I 4
PENDAHULUAN 4
Latar Belakang 4
Rumusan Masalah 5
BAB II 6
PEMBAHASAN 6
Pengertian Agresivitas dan Asertivitas 6
Agresivitas dan Asertivitas dalam Olahraga 7
Macam Agresivitas dan Aspek Asertivitas 8
Faktor-Faktor Agresi dalam Olahraga 9
Strategi Pengendalian Perilaku Agresi Yang Menyimpang 10
Studi Kasus 11
BAB III 13
Kesimpulan 13

Saran 13
DAFTAR PUSTAKA 14
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Agresivitas merupakan salah satu bentuk perilaku yang dimiliki oleh setiap orang.
Agresi merupakan tingkah laku yang diarahkan yang memiliki tujuan untuk menyakiti
makhluk hidup lain yang ingin menghindari perlakuan semacam itu. Agresi sendiri
merupakan implikasi dari tindakan individu dengan emosi yang tidak terkontrol. Adapun
agresi dapat berupa verbal maupun non verbal dan dapat terjadi akibat rangsangan
internal maupun eksternal. Agresi merupakan salah satu bentuk dari emosi negatif,
dimana ketika individu tersebut tidak mampu mengontrol emosinya maka yang
terjadi adalah emosi negatif berupa perilaku agresi (Rinanda & Haryanta, 2019).
Dalam sudut pandang lain, agresivitas juga bisa disebut dengan giat atau keuletan
adalah suatu tindakan yang dilakukan atas motif dan motivasi yang tinggi dalam diri
seseorang atau atlet. Keuletan yang dimiliki oleh seseorang sangat tinggi pengaruhnya
terhadap pencapaian prestasi. Karena keuletan seseorang atau atlet mempunyai
keinginan yang tinggi untuk melakukan suatu tugas atau latihan yang berat untuk mencapai
suatu tujuan (Handayani, 2019).
Menanggapi sikap agresi yang memiliki kecenderungan kepada perilaku negatif,
bentuk perlawanan yang tepat tanpa harus merugikan diri sendiri maupun orang lain adalah
perilaku asertif. Asertivitas menjadi salah satu poin penting yang perlu diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari. Dalam konteks olahraga, asertivitas merupakan cara seseorang
mengontrol emosinya dengan cara konfrontasi kepada orang lain tentang apa yang dirinya
butuhkan dengan baik dan kepala dingin. Asertivitas sangat penting diterapkan oleh
individu, terutama para atlet, karena dengan begitu atlet dapat memenuhi hak-haknya
sebagai individu. Namun, individu perlu belajar bagaimana cara mendefinisikan posisi
mereka dan membela diri terhadap mereka yang dapat mengendalikan mereka (Andiri &
Solihin, 2019).
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan agresivitas dan asertivitas?
2. Bagaimana agresivitas dan asertivitas dalam olahraga?
3. Apa saja macam dari agresivitas dan aspek-aspek asertivitas?
4. Apa saja yang menjadi faktor agresi dalam olahraga?
5. Bagaimana strategi pengendalian perilaku agresi yang menyimpang?
BAB II
ISI DAN PEMBAHASAN

A. Pengertian Agresivitas dan Asertivitas


Kita kerap kali menjumpai agresivitas di dalam dunia olahraga, seperti adanya kerusuhan
dalam pertandingan, biasanya yang paling sering terjadi adalah kerusuhan dalam pertandingan
sepakbola. Kerusuhan ini dapat terjadi mulai dari pemain dengan pemain, pemain dengan wasit,
pemain dengan supporter, hingga supporter dengan supporter. Menurut Barlett, Gratton, & Rolf
(2010: 38) “aggression has been defined as behavior with the goal of harming or injuring another
individual” yang memiliki arti, agresi didefinisikan sebagai perilaku dengan tujuan murigkan atau
melukai orang lain. Sedangkan menurut Gill, Williams, & Reifsteck (2017: 225) agresi ini
umumnya diartikan sebagai perilaku yang cenderung merugikan orang lain yang tidak ingin
dilukai. Agresi adalah perilaku. Ini bukan sikap, emosi, atau motif. Agresi itu disengaja, bukan
tidak disengaja. Tujuannya adalah untuk menyakiti orang lain yang ingin menghindari bahaya.
Berdasarkan dua pendapat tersebut dapat ditarik suatu inti kesimpulan bahwa agresivitas adalah
suatu tindakan yang diarahkan menuju tujuan merugikan atau melukai orang lain baik secara fisik
atau psikis dalam pertandingan.
Sedangkan, dalam konteks positifnya terdapat asertif. Menurut Albert dan Emmos
memberikan pengertian bahwa perilaku yang asertif mempromosikan kesetaraan dalam hubungan
manusia, yang memungkinkan kita untuk bertindak menurut kepentingan kita sendiri, untuk
membela diri sendiri tanpa kecemasan yang tidak semestinya, untuk mengekspresikan perasaan
dengan jujur dan nyaman, untuk menerapkan hak-hak pribadi kita tanpa menyangka hak-hak orang
lain (Albert & Emmos, 2002). Selanjutnya, penjelasan lain dikemukakan oleh Surya yakni,
perilaku asertif digunakan untuk mengkomunikasikan sesuatu pada suasana saling percaya dan
untuk mengungkapkan pendapat diri sendiri serta menyelesaikan masalah interpersonal tanpa
merusak hubungan dengan orang lain, dengan perilaku asertif pula, seseorang akan mampu
mengakui hak asasi orang lain dan mampu bersikap secara tepat tanpa mengurangi hak asasi
sendiri (Surya, 2003). Berdasarkan beberapa penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa perilaku
asertif adalah perilaku dimana individu mampu mengekspresikan pikiran, perasaan dan keinginan
secara tepat, jujur, terbuka, bertanggung jawab, langsung mengarah ke tujuan, penuh percaya diri
dan teguh pada pendiriannya tanpa adanya perasaan cemas terhadap orang lain, tanpa
mengesampingkan dan menyakiti orang lain serta tidak melanggar hak-hak orang lain.

B. Agresivitas dan Asertivitas dalam Olahraga


Dalam dunia olahraga, agresi bukan suatu hal yang asing lagi didengar. Perilaku agresif
sering ditunjukkan oleh para pemain olahraga dan bahkan juga pendukung, terutama bila dalam
permainan olahraga terkait pihaknya yang mengalami kekalahan. Agresi dimaksudkan sebagai
perilaku negatif yang merujuk pada kekerasan fisik dan ataupun verbal yang dapat merugikan
orang lain. Terdapat 2 (dua) bentuk tindakan agresi, yakni:
1. Agresi Fisik
Meliputi tingkah laku yang berhubungan dengan kontak fisik, seperti memukul,
menampar, menarik baju, berkelahi, dan sebagainya. Dalam olahraga, agresi yang
dikontrol dengan baik dapat membantu beberapa macam olahraga, seperti sepak
bola, basket, dan sebagainya. Biasanya agresi didasarkan oleh beberapa hal, yakni
iri/cemburu, dendam, kesal, dan fanatisme (Santoso & Winarto, dalam Darisman,
Prasetyo, & Bayu, 2021).
2. Agresi Verbal
Merupakan bentuk kekerasan yang diungkapkan menggunakan kata-kata, seperti
menghina, mencaci, berkata kotor, mengancam dengan kata-kata kasar, dan
sebagainya.
Agresi dalam lingkup olahraga menjadi hal yang sangat dihindari untuk terjadi karena
memiliki dampak yang negatif bagi pemain yang melakukan dan sekitarnya. Seringkali pelatih
dari atlet/olahragawan menunjukkan perilaku agresi secara fisik maupun verbal kepada para
pemainnya dengan dalih untuk melatih fisik dan mental daripada pemainnya. Maka dari itu,
penting sekali bagi individu mengambil suatu sikap untuk menentang sikap agresi yang
ditunjukkan orang lain. Salah satu bentuk sikap yang dapat diterapkan saat muncul indikasi
agresivitas adalah asertivitas.
Asertivitas dalam olahraga dijelaskan oleh Jane (2014) dalam Jurnal yang berjudul The
Role of Perceived Behaviours as Predictor of Assertiveness Levels in Individual Sport Athletes
(dalam Enggaliandhini & Muis, 2016) bahwa tingkat asertivitas seorang atlet dapat dilihat dari
bagaimana atlet tersebut latihan dan menerima instruksi, berperilaku demokratis, mendapatkan
dukungan sosial, dan mendapatkan feedback yang positif. Asertivitas yang tinggi bisa didapatkan
oleh atlet dari kebiasan yang diterapkan, terutama saat bagaimana mereka dapat menerima hasil
pertandingan dan cara mereka bermain dengan sportif (Enggaliandhini & Muis, 2016).

C. Macam-Macam Agresivitas dan Aspek-Aspek Asertivitas


Macam-macam Agresivitas
a. Hostile aggression
Hostile aggression adalah tindakan agresif yang disertai permusuhan dan dilakukan dengan
perasaan marah dan bermaksud melukai/mencederai dan menyakiti orang lain atau lawan
bertanding, contoh fisik pemain sepakbola yang men-tackle lawannya dengan sengaja,
contoh psikis pemain mengucapkan kalimat/kata kotor kepada lawannya. Meskipun banyak
atlet dan pelatih masih percaya bahwa agresi di lapangan mengarah pada kinerja yang lebih
baik, penelitian tidak mendukung kepercayaan ini. Sebab,hostile aggression dapat
menciptakan kemarahan dan arousal yang mengganggu perhatian dan performa/penampilan.

b. Instrumental aggression
Instrumental aggression adalah perilaku agresif yang dijadikan sebagai alat untuk
memenangkan pertandingan tanpa bermaksud melukai orang lain atau teman bertanding dan
tidak melanggar peraturan pertandingan yang bertujuan untuk memperoleh kemenangan,
uang, dan prestise. Contoh fisiknya pemain bola basket yang melakukan pivot dan sikunya
mengenai lawan yang mencoba merebut bola, contoh psikisnya mengganggu pemain yang
melakukan free throw dengan kalimat “no point.”

Kebanyakan agresivitas dalam olahraga adalah instrumental aggression, berikut


contoh lainnya:(1) Pada olahraga gulat, meremas bagian tulang rusuk lawan untuk
menciptakan ketidaknyamanan dan menjatuhkannya, dan (2) seorang pelatih basket yang
memanggil atau meminta time out ketika pemain lawan pada daerah yang menguntungkan,
hal ini dilakukan sebagai upaya yang menyebabkan ketidaknyamanan psikologis
(kecemasan tim yang tinggi) dan kinerja yang buruk. Intinya, perbedaan antara hostile
aggression dan instrumental aggression adalah terletak pada peraturan. Hostile aggression
merupakan tindakan menyakiti lawan secara fisik atau psikis yang melanggar peraturan,
sedangkan instrumental aggression menyakiti lawan secara fisik dan psikis tetapi masih
dalam batas-batas kewajaran dan tidak melanggar baik peraturan permainan maupun
pertandingan (Kurniawan, dkk. 2021).

Aspek Asertivitas

Menurut Steven dan Howard (1995) menyebutkan aspek aspek perilaku asertif meliputi
tiga komponen yaitu:
1. Kemampuan mengungkapkan perasaan misalnya (menerima dan mengungkapkan
perasaan marah, hangat, seksual).
2. Kemampuan mengungkapkan keyakinan dan pemikiran secara terbuka (mampu
menyuarakan pendapat, menyatakan ketidaksetujuan dan bersikap tegas, meskipun
secara emosional suht melakukan ini, bahkan sekalipun kita mungkin harus
mengorbankan sesuatu).
3. Kemampuan untuk mempertahankan hak-hak pribadi (tidak membiarkan orang lain
mengganggu dan memanfaatkan kita)
Selain itu Arianti (dalam Renni, 2016) menyebutkan aspek-aspek perilaku asertif sebagai
berikut:
a. Tentang perasaan yang dikemukakan secara spontan, langsung, terbuka dan jujur.
b. Mengutarakan keinginan dan gagasan dengan spontan, langsung, terbuka dan
jujur.
c. Penuh percaya diri, mampu berkata tidak untuk menolak seseorang yang tidak
dikehendaki tanpa perasaan cemas, gugup ataupun tegang terhadap individu lain.
d. Dapat menerima diri sendiri (self acceptance) dan dapat diterima individu lain serta
tanpa merugikan diri sendiri maupun individu lain.

D. Faktor-faktor Agresi dalam Olahraga


Berdasarkan teori-teori agresivitas, berikut merupakan faktor-faktor yang menyebabkan
agresi, di antaranya:
1. Teori Naluri (Instict Theory)
Menurut Freud (dalam Kurniawan dkk, 2021), tindakan agresif merupakan sebuah dorongan
yang dibawa sejak lahir. Tindakan agresif dipandang sebagai dorongan naluri alamiah
manusia. Berdasarkan pendapat tersebut, tindakan agresif tidak dapat dihindari namun dapat
dikendalikan, yaitu dengan disalurkan melalui olahraga dan olahraga merupakan media
pembebasan dorongan agresif. Hal ini disebut dengan pembebasan katarsis (cathartic
discharge).
2. Teori Agresi Frustasi (Frustation Agression Theory)
Teori ini mengemukakan bahwa tindakan agresif disebabkan frustasi dan sebaliknya dimana
tindakan agresif merupakan konsekuensi tindak lanjut dari frustasi (Kurniawan dkk, 2021).
3. Teori Belajar Sosial
Pada teori belajar sosial tindakan agresif adalah respon atau perilaku yang dapat dipelajari
(eksternal). Oleh sebab itu tindakan agresif akan mendorong tindakan-tindakan agresif
lainnya.
4. Teori Revisi Agresi Frustasi
Teori ini menggabungkan elemen-elemen dari kedua teori di atas, yaitu teori agresi frustasi
dan teori belajar sosial. Frustrasi tidak selalu menyebabkan agresi yang dapat meningkatkan
gairah dan kemarahan. Namun, meningkatkan gairah dan kemarahan dalam agresi hanya
terjadi dalam situasi tertentu. Jika sinyal isyarat belajar sosial menyatakan bahwa agresi
tidak pantas, maka tidak akan terjadi tindakan agresif (Kurniawan dkk, 2021).

E. Strategi Pengendalian Perilaku Agresi Yang Menyimpang


Upaya-upaya untuk mengendalikan agresivitas antara lain: (a) teknik time out, (b) memberikan
pemahaman dan contoh perilaku non agresif sebagai metode konstruktif untuk memecahkan
masalah, (c) menciptakan atau mendesain lingkungan belajar/latihan yang kondusif, dan (d)
memberikan latihan empati. Selain itu, terdapat juga upaya untuk mengendalikan tindakan
kekerasan/agresivitas yang menyimpang antara lain:

1. Olahragawan-olahragawan muda harus diberi pengetahuan tentang contoh tingkah laku


non agresif, penguasaan diri, dan penampilan yang benar.
2. Olahragawan yang terlibat tindakan agresif harus dihukum, harus disadarkan bahwa
tindakan agresif dengan melukai lawan adalah tindakan yang tidak benar.
3. Pelatih yang memberi kemungkinan para olahragawan terlibat agresif dengan kekerasan
harus diteliti dan harus dihentikan dari tugasnya sebagai pelatih.
4. Pengaruh dari luar yang memungkinkan terjadinya tindakan agresif dengan kekerasan di
lapangan pertandingan harus dihindarkan.
5. Para pelatih dan wasit didorong atau dianjurkan untuk menghadiri lokakarya-lokakarya
yang membahas tindakan agresif dan kekerasan.
6. Disamping hukuman terhadap tindakan agresif dengan kekerasan olahragawan harus
didorong secara positif meningkatkan kemampuan bertindak tenang menghadapi situasi-
situasi emosional.
7. Penguasaan emosi menghadapi tindakan agresif dengan kekerasan harus dilatih secara
praktis antara lain melalui latihan mental.

Jika dikaitkan dengan perilaku asertif, maka pengendalian sikap agresi yang menyimpang
dapat juga dilakukan. Stresterhim dan Boer dalam pengertian perilaku asertif mengatakan bahwa
orang yang memiliki tingkah laku atau perilaku asertif orang yang berpendapat dari orientasi dari
dalam, memiliki kepercayan diri yang baik, dapat mengungkapkan pendapat dan ekspresi yang
sebenarnya tanpa rasa takut dan berkomunikasi dengan orang lain secara lancar.. Dalam hal ini
dapat diambil kesimpulan bahwa jika seorang atlet memiliki perilaku asertif dalam dirinya, maka
sikap agresi yang menyimpang tidak akan dilakukan oleh seorang atlet yang memiliki perilaku
asertif dalam dirinya tersebut. Karena jika seorang atlet tersebut memiliki perilaku yang asertif
makan cenderung atlet tersebut akan percaya diri dalam melakukan apa yang dia lakukan tanpa
mengganggu atau melanggar hak atlet lainnya. Atau dalam kata lain seorang atlet yang asertif akan
dapat mengemukakan perasaanya dengan tetap memperhatikan perasaan atlet lain, hal ini tentu
saja dapat mencegah terjadinya perilaku agresi antara kedua belah pihak.

F. Studi Kasus

Deskripsi Kasus
Kasus pelemparan batu pada kereta api yang ditumpangi para supporter PERSEBAYA atau
yang kita kenal dengan “BONEK” yang merupakan singkatan bondo nekat atau yang dalam bahasa
Indonesia berarti modal nekat sudah menjadi hal yang lumrah bagi kita. Bukan hanya sekedar itu,
berita kerusuhan atau tawuran antar supporter sepak bola yang terjadi setelah pertandingan usai
manakala tim kesayangannya kalah sudah menjadi hal yang biasa. Hal-hal ini mencerminkan
buruknya kepribadian yang dimiliki para supporter tersebut. atau mungkin sikap agresifitas yang
mereka tunjukkan yang sudah menunjukkan aksi destruktif hanya karena ikut-ikutan atau sudah
menjadi tradisi dikalangan supporter. Citra negatif yang sudah tersemat didada para supporter
BONEK merupakan akumulasi dari tindakan-tindakan mereka yang ditunjukkan dalam
menyemangati tim kesayangan mereka. Tindakan-tindakan tidak terpuji seperti menjarah makanan
yang ada di stasiun ketika kereta yang mereka tumpangi berhenti, pengerusakan fasilitas stadion
ketika mereka tawuran, dll mungkin sudah menjadi hal yang biasa bagi mereka. Hal ini lah yang
menjadi sebuah ancaman bagi masyarakat apabila mereka, melakukan pertandingan tandang ke
stadion lawan. Sehingga masyarakat sudah memproteksi diri dari hal-hal yang mungkin akan
terjadi, atau malah menyerang BONEK terlebih dahulu.

Sumber : https://www.kompasiana.com/sevenspace/5500cc238133110717fa7e76/aresivitas-
manusia-dalam-olahraga

Pembahasan
Dalam kasus ini terdapat contoh suporter tim sepakbola Indonesia yang menunjukkan sikap
agresivitas yang negatif atau menyimpang. Dalam kasus ini disebutkan bahwa oknum yang
bernama “BONEK”, melakukan hal destruktif seperti pengerusakan fasilitas stadion, menjarah
makanan di kereta, tawuran, dan melempari batu pada kereta api suporter lawan. Hal ini
merupakan contoh kasus dimana agresivitas penyimpang yang dapat menyebabkan sebuah
kerusuhan atau kericuhan. Agresi yang dilakukan oleh suporter “BONEK” ini termasuk dalam
bentuk dari agresi fisik, yaitu agresi yang berkaitan dengan tingkah laku fisik, dalam kasus ini
tindakan fisik yang dilakukan adalah melempari batu, merusak fasilitas stadiun, dan tawuran antar
suporter. Sementara itu agresi yang dilakukan oleh suporter di atas juga termasuk dalam hostile
aggression, yang dimana pengertiannya adalah tindakan agresif yang disertai permusuhan dan
dilakukan dengan perasaan marah dan bermaksud melukai/mencederai dan menyakiti orang lain
atau lawan bertanding. Dalam kasus ini konteksnya adalah suporter “BONEK” ini ingin melukai
atau mencederai suporter lawan dikarenakan dendam atau rasa ketidaksukaan terhadap suporter
dari tim lawan yang mereka anggap sebagai musuh mereka. Oleh karena sikap agresi yang
dilakukan oleh suporter ini, sikap asertif harus dimiliki oleh tiap - tiap suporter ini. Karena dengan
bersikap asertif, suporter dapat menyampaikan pendapatnya dengan baik tanpa menyinggung atau
melanggar hak dari suporter lawan dalam menyampaikan pendapat mereka.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Agresivitas dalam olahraga merupakan hal yang di satu sisi baik tetapi jika disalahgunakan
akan menjadi hal yang buruk bagi atlet dan sportivitas dari pertandingan olahraga tersebut.
Agresivitas yang dilakukan dengan baik dapat dimanfaatkan untuk menjadi strategi dalam
membuat lawan tidak nyaman dari sisi psikologis maupun sisi fisik, tentunya agresivitas
yang dimaksut baik disini adalah agresivitas yang masih terbilang wajar dan diperbolehkan
dalam peraturan dari masing - masing olahraga tersebut. Tetapi agresivitas juga dapat
menyebabkan kejadian - kejadian buruk antar atlet bahkan juga antar supporter dari sebuah
pertandingan olahraga yang sedang berlangsung. Agresivitas yang ditunjukkan tidak
dengan sebagaimana mestinya atau dalam kata lain tidak diperbolehkan di dalam aturan
sebuah olahraga akan mengakibatkan ricuh dan kerusuhan baik dari sisi atlet maupun sisi
supporter. Sementara itu sikap asertif dalam olahraga juga dibutuhkan dari para atlet,
pelatih, maupun suporter. Karena jika dalam sebuah pertandingan olahraga yang dimana
semua pihak yang terkait memiliki sifat atau perilaku asertif, maka pertandingan tersebut
akan terhindar dari segala bentuk kericuhan maupun kerusuhan. Tetapi yang perlu
diperhatikan dari perilaku asertifitas dalam olahraga adalah bagaimana cara
menyampaikan pendapat yang menurut kita benar agar tidak menyinggung lawan atau
suporter lawan. Karena dalam perilaku asertif juga kita dapat mengemukakan hak - hak
yang kita miliki tanpa mengganggu atau melanggar hak - hak orang lain.

B. Saran
Kami menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari kata sempurna
dan masih banyak kekurangan. Kami berharap dengan ada nya makalah ini dapat dipahami
oleh para pembaca dan dapat memberikan wawasan baru bagi para pembaca. Kritik dan
saran yang membangun sangat kami harapkan untuk penyempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA

Andiri, L., & Solihin, A. O. (2019). Assertive Training dalam Pendidikan Jasmani. aksararaga,
1(1), 1-7.

Darisman, E. K., Prasetiyo, R., & Bayu, W. I. (2021). Belajar Psikologi Olahraga Sebuah Teori
dan Aplikasi dalam Olahraga. Jakad Media Publishing.

Enggaliandhini, T., & Tamsil Muis, M. P. (2016). PERBEDAAN TINGKAT ASERTIF


MAHASISWI FAKULTAS ILMU OLAHRAGA DAN FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
ANGKATAN 2016 TERKAIT IPK.

Handayani, S. G. (2019). Peranan psikologi olahraga dalam pencapaian prestasi atlet senam artistik
kabupaten sijunjung. Gelanggang Olahraga: Jurnal Pendidikan Jasmani Dan Olahraga, 2(2), 1-
12.

Rinanda, F. Z., & Haryanta, H. (2019). Hubungan antara kecerdasan emosi dengan agresivitas
pada atlet futsal. Gadjah Mada Journal of Psychology (GamaJoP), 3(1), 37-44.

Kurniawan, Ari Wibowo., dkk. (2021). Psikologi olahraga. Akademia Pustaka.

Permana, D. & Praetyo, A. F. (2021). PSIKOLOGI OLAHRAGA Pengembangan Diri dan


Prestasi. Penerbit Adab.
AGRESIVITAS DAN ASERTIVITAS DALAM OLAHRAGA
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Psikologi Olahraga

Dosen Pengampu:
Dr. Dra. Niken Fatimah Nurhayati, M.Pd.

Disusun oleh :
Kelompok 6

Afinery Gifta Annisafa 15000120130262


Diandra Mardiana Syabila 15000120140289
Fitri Ramadhina 15000120130177
Tia Syifa Ademira 15000120140337
Zefanya Kaseger 15000120130268

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena tanpa berkat dan izin-
Nya, tim penulis tidak akan bisa mengerjakan makalah ini dengan sebaik-baiknya. Dengan restu-
Nya lah tim penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Agresivitas dan Asertivitas
dalam Olahraga” dengan tepat waktu.
Terima kasih kami ucapkan kepada dosen pengampu mata kuliah Psikologi Olahraga, Ibu
Dr. Dra. Niken Fatimah Nurhayati, M.Pd. yang sudah memberikan bimbingan serta referensi
dalam proses penyelesaian makalah ini. Tim penulis juga mengucapkan terima kasih kepada rekan-
rekan mahasiswa yang telah memberikan bantuan, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Dalam proses pembuatan makalah ini, tim penulis tidak pernah luput dari kesalahan dan
kekurangan. Oleh karena itu tim penulis memohon maaf apabila dalam penyampaian dan penulisan
makalah ini masih terdapat banyak kekurangan. Tim penulis juga sangat terbuka dalam menerima
kritik dan saran dari para pembaca untuk memperbaiki makalah ini.

Semarang, 23 September 2022

Kelompok 6

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................... ii
DAFTAR ISI................................................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................................. 1
A. Latar Belakang .................................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................................................... 1
C. Tujuan ................................................................................................................................. 2
D. Manfaat ............................................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................................... 3
A. Pengertian Agresivitas dan Asertivitas ............................................................................... 3
B. Agresivitas dan Asertivitas dalam Olahraga ....................................................................... 4
C. Faktor-Faktor Penyebab Agresi dalam Olahraga ................................................................ 8
D. Strategi Pengendalian Perilaku Agresi yang Menyimpang ................................................. 9
E. Contoh Studi Kasus Agresivitas dan Asertivitas pada Atlet ............................................. 10
BAB III PENUTUP ..................................................................................................................... 15
A. Kesimpulan ....................................................................................................................... 15
B. Saran .................................................................................................................................. 16
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................. 17
LAMPIRAN................................................................................................................................. 19

iii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam KBBI V, olahraga adalah aktivitas individu atau tim yang melibatkan
keterampilan dan fisik untuk menyehatkan tubuh atau hiburan. Olahraga terdiri dari
beberapa cabang, yaitu cabang atletik seperti tolak peluru dan lompat jauh, olahraga bola
besar seperti bola voli, basket, dan sepak bola, kemudian olahraga bola kecil seperti tenis
meja, kasti, dan banyak lagi. Setiap individu memiliki ketertarikan yang berbeda terhadap
cabang-cabang olahraga. Bagi kalangan anak-anak biasanya menyukai olahraga yang
ringan seperti badminton, lompat jauh, atau lari jarak pendek. Kalangan remaja menyukai
olahraga yang sedikit berat dan menantang seperti bola basket, sepak bola, angkat besi,
taekwondo, dan lain-lain. Kemudian pada kalangan orang tua atau lansia, mereka
menyukai olahraga yang tidak berat seperti senam kebugaran, joging, tenis meja, dan
sebagainya.
Dunia olahraga tidak terlepas dari sikap agresivitas dan asertivitas, baik dalam
sebuah pertandingan maupun bukan pertandingan. Kita sering menjumpai perilaku
agresivitas pada suporter sepak bola Indonesia. Biasanya suporter yang mendukung tim
yang kalah akan merasa tidak terima dengan kekalahan timnya dan akan menyerang atau
melukai supporter tim yang menang. Hal ini dapat menyebabkan kericuhan dan memakan
korban. Tidak hanya supporter, para pemain juga memiliki sikap agresivitas. Pada
pertandingan sepak bola, terkadang kita melihat salah satu pemain mendapatkan kartu
merah karena telah bertindak kasar atau melukai pemain lawannya. Jika sikap agresif ini
tidak diimbangi dengan sikap asertif, maka pertandingan akan semakin ricuh, bahkan dapat
memakan korban. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dijelaskan lebih lanjut
mengenai agresivitas dan asertivitas dalam olahraga.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan beberapa rumusan masalah
sebagai berikut:
1. Apa pengertian agresivitas dan asertivitas?

1
2. Bagaimana agresivitas dan asertivitas dalam olahraga?
3. Apa saja faktor-faktor penyebab agresi dalam olahraga?
4. Bagaimana strategi pengendalian perilaku agresi yang menyimpang?
5. Seperti apa contoh studi kasus agresivitas dan asertivitas pada atlet?

C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan, dapat diketahui tujuan dari
makalah ini adalah sebagai berikut,
1. Mengetahui pengertian agresivitas dan asertivitas.
2. Mengetahui bagaimana agresivitas dan asertivitas dalam olahraga.
3. Mengetahui faktor-faktor penyebab agresi dalam olahraga.
4. Mengetahui bagaimana strategi pengendalian perilaku agresi yang menyimpang.
5. Mengetahui seperti apa contoh studi kasus agresivitas dan asertivitas pada atlet.

D. Manfaat
Adapun manfaat dari penyusunan makalah ini yaitu sebagai berikut,
1. Sebagai referensi dan sumber teoritis untuk bidang psikologi olahraga, khususnya
teori- teori menyangkut agresivitas dan asertivitas dalam olahraga.
2. Sebagai sumber mengenai contoh kasus yang berkaitan dengan agresivitas dan
asertivitas pada atlet.

2
BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Agresivitas dan Asertivitas
Dalam dunia olahraga terdapat sikap agresivitas baik pada pemain, pelatih, maupun
penonton. Menurut Barlett, Gratton, dan Rolf (dalam Kurniawan dkk, 2021) agresi
merupakan perilaku yang bertujuan untuk merugikan atau melukai orang lain. Kemudian
menurut Santoso dan Winarto (dalam Kurniawan dkk, 2021) agresivitas adalah perilaku
fisik atau verbal yang berniat untuk melukai objek yang menjadi sasaran agresi. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa agresivitas adalah suatu bentuk perilaku yang membawa resiko
terhadap orang lain baik bersifat fisik maupun psikis. Misalnya adalah suporter sepakbola
pada suatu klub sepakbola. Dengan hadirnya kelompok suporter dalam pertandingan
sepakbola akan menambah tekanan dalam pertandingan tersebut, bahkan dapat memicu
suasana yang lebih panas. Jika suasana panas terbentuk maka dapat meningkatkan perilaku
agresif pada penonton dan pada diri atlet. Secara positif, sifat agresi dalam diri atlet sangat
dibutuhkan. Jika atlet memiliki tingkat agresivitas yang rendah, maka dapat menyebabkan
atlet tersebut menjadi tidak bersemangat dalam bertanding dan tidak memiliki daya juang.
Akan tetapi jika perilaku agresif tersebut menciptakan rasa frustasi, maka dapat
memunculkan hal kurang baik seperti menyerang lawan, menyakiti lawan, atau bahkan
melakukan tindak kecurangan. Rasa agresif pada kelompok suporter jika tidak terkendali
juga dapat menimbulkan hal yang tidak baik seperti bentrokan antar suporter dan membuat
kericuhan.
Selain agresivitas, terdapat juga sikap asertivitas. Menurut Fensterheim dan Bear
(dalam Putra, 2018), asertivitas merupakan aktivitas atau perilaku seseorang
mengemukakan pendapat atau gagasan dengan ekspresi yang sebenarnya tanpa rasa takut
serta dapat berkomunikasi dengan orang lain secara lancar. Kemudian menurut Rimm dan
Maters (dalam Putra, 2018) asertivitas merupakan perilaku dalam hubungan interpersonal
yang bersifat jujur serta mengekspresikan pikiran dan perasaan secara langsung dengan
tetap memperhitungkan kondisi sosial yang ada. Perilaku asertivitas dapat membuat
individu menjadi tegas, jujur dan terbuka, kritis, spontan dan nyaman, tetapi tetap mampu
menghormati orang lain. Sehingga dapat disimpulkan bahwa asertivitas adalah adalah
kemampuan seseorang untuk mengkomunikasikan apa yang diinginkan, dirasakan, dan

3
dipikirkan kepada orang lain secara jelas, jujur, dan tidak ambigu dengan tetap menghargai
hak-hak orang lain. Hamzah B. Uno (dalam Putra, 2018) mengemukakan tiga aspek
asertivitas, antara lain,
1. Mampu mengungkapkan perasaan. Seperti menerima dan mengungkapkan perasaan
marah, bahagia, dan sedih.
2. Mampu mengungkapkan keyakinan dan pemikiran secara terbuka. Seperti
menyuarakan pendapat, menyatakan ketidaksetujuan dan bersikap tegas.
3. Mampu mempertahankan hak-hak pribadi, yaitu tidak membiarkan orang lain
mengganggu dan memanfaatkan kita.

B. Agresivitas dan Asertivitas dalam Olahraga


1. Agresivitas dalam Olahraga
Pada konteks olahraga perilaku agresif atau agresivitas merupakan istilah
yang sudah tidak asing lagi didengar. Agresivitas ini perlu diketahui agar perilaku
olahragawan atau orang yang melakukan olahraga tidak terarah kepada perlakuan
merugikan seperti menyakiti atau mencederai orang lain. Menurut Permana &
Praetyo (2021), agresi dapat bermotivasi pada gangguan atau bermotivasi pada
semangat. Perilaku agresi yang bermotivasi gangguan biasanya dilakukan sebagai
reaksi terhadap rangsangan yang merugikan. Sedangkan perilaku agresif yang
bermotivasi semangat merupakan perilaku yang dilakukan untuk mencapai tujuan
tertentu sebagai kepentingan utama, dan terjadinya cedera selama proses tersebut
bukanlah hal yang disengaja.
Tindakan agresi ini dapat dibagi menjadi dua bentuk, yaitu agresi secara
fisik dan verbal. Pertama agresi fisik, meliputi tingkah laku seperti memukul orang
lain, menarik baju orang lain dengan kasar, meninju, menyikut, melempar benda ke
arah orang lain, berkelahi, dan lain sebagainya. Bila sifat dan sikap agresif tersebut
tidak dapat dikendalikan, maka akan muncul banyak tindakan berbahaya yang
dapat melukai orang lain, melanggar aturan, dan melanggar nilai sportivitas.
Biasanya agresi dapat muncul disebabkan oleh amarah, rasa benci, perasaan iri atau
cemburu, dendam, dan fanatisme. Kedua adalah agresi secara verbal yang meliputi
tingkah laku seperti mengejek atau menghina orang lain, mengeluarkan kata-kata

4
kasar atau kotor, bertengkar secara verbal, mengancam dengan kata-kata yang tidak
baik, memanggil dengan nada kasar, dan tindakan-tindakan agresi lain yang bersifat
verbal (Darisman, dkk, 2021).
a. Macam-macam Agresi dalam Konteks Olahraga
1) Hostile Aggression
Perilaku agresi disini memiliki tujuan untuk menyakiti dan
mencederai orang lain. Seperti menendang kaki lawan secara disengaja
dalam pertandingan sepak bola atau mengucapkan makian kepada
pemain lain. Hostile aggression menghasilkan kemarahan dan arousal
yang dapat mengganggu perhatian dan performa olahragawan (Gill,
Williams, & Reifsteck, 2017).
2) Instrumental Aggression
Perilaku agresi ini bertujuan untuk merugikan orang lain tetapi
tujuan yang paling utamanya tetaplah prestasi dan hasil yang
menguntungkan bagi atlet, pemain, atau keseluruhan tim. Agresi ini
tidak terkait dengan emosi marah, namun merupakan agresi instrument
yang memiliki motif tertentu. Contohnya seperti suporter yang
mengejek atau mengancam pemain lawan, dengan tujuan agar lawan
bermain secara buruk dalam pertandingan. Instrumental aggression
dapat menyakiti orang lain, namun masih pada batas kewajaran yang
tidak melanggar peraturan permainan ataupun pertandingan.
b. Teori Agresivitas
1) Teori Naluri (Instinct Theory)
Teori yang berdasar pada pandangan Sigmund Freud dimana agresi
merupakan dorongan yang dibawa sejak lahir seperti dorongan seksual
dan rasa lapar. Menurut teori ini, agresif merupakan tindakan yang tidak
dapat dihindari, namun dorongannya dapat dikendalikan. Menurut
Mareoen (dalam Permana & Prasetyo, 2021), tindakan agresif sebagai
dorongan naluriah dapat disalurkan dalam setting sosial seperti olahraga
dan Latihan. Olahraga dalam konteks ini dijadikan media pembebasan

5
dorongan agresif yang disebut pembebasan katarsis (cathartic
discharge).

2) Teori Agresi-Frustasi (Frustration-Aggression Theory)


Teori yang dikembangkan oleh Doilard, dkk yang menyatakan
bahwa rasa frustasi selalu menyebabkan tindakan agresif dan sebaliknya
tindakan agresif selalu berasal dari frustasi yang dirasakan individu.
Tindakan agresif merupakan konsekuensi tindak lanjut dari frustasi
(Permana & Prasetyo, 2021).

3) Teori Belajar Sosial (Social-Learning Theory)


Teori dari tokoh Bandura (dalam Permana & Prasetyo, 2021) yang
berpandangan bahwa tindakan agresif adalah sebuah respon atau
perilaku yang dipelajari dari lingkungan dimana individu berada, bukan
karena adanya dorongan naluriah maupun frustasi. Bandura
berpendapat bahwa agresivitas memiliki “Circular effects” dimana
tindakan tersebut akan mendorong tindakan-tindakan agresif lainnya.

4) Teori Keseimbangan (Balance Theory)


Tindakan agresif dihasilkan dari situasi tidak seimbang atau
berlawanan yang menimbulkan ketegangan dan rasa ketidaksenangan
antara diri dan orang lain. Pada atlet umumnya hal ini terikat pada
beberapa kelompok sosial lain, seperti keluarga, sekolah, teman
Latihan, teman bergaul dan sebagainya. Tindakan agresif akan tertuju
pada orang yang tidak disenangi atau yang berlawanan. Contohnya, saat
atlet dimarahi oleh pelatih akan melakukan tindakan agresif ke teman
atau lawannya.

6
2. Asertivitas dalam Olahraga
Perilaku asertif atau asertivitas merupakan kebalikan dari agresivitas yang
telah dibahas sebelumnya. Salah satu cara yang dapat dilakukan individu untuk
menumbuhkan sikap ini pada diri adalah dengan mendorong partisipasi dalam
kegiatan olahraga. Pada penelitian terdahulu telah dibuktikan bahwa terlibat dalam
olahraga dan melakukan olahraga berkontribusi pada beberapa keuntungan dalam
perkembangan tubuh, psikologis, kepribadian, kinerja tim, kerjasama, harga diri,
efikasi diri, pengendalian diri, rasa saling menghormati, juga menciptakan individu
yang asertif (Acet, dkk, dalam Aktop, dkk, 2015).
Menurut Gümüşdağ, dkk (dalam Aktop, dkk, 2015), Asertivitas merupakan
komponen penting dari keterampilan interpersonal. Perilaku asertif dapat
didefinisikan sebagai perilaku peningkatan diri yang mencakup beberapa hal
seperti penggunaan kekuatan fisik dan strategi verbal yang optimal untuk mencapai
suatu tujuan. Menurut Albert & Emmons (dalam Nihayah, 2014) perilaku asertif
merupakan perilaku yang memungkinkan seseorang untuk bertindak sesuai dengan
keinginan, mempertahankan diri tanpa merasa cemas, mengekspresikan perasaan
secara jujur dan nyaman, ataupun untuk menggunakan hak-hak pribadi tanpa
melanggar hak-hak orang lain.
Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa asertivitas dalam olahraga
merupakan perilaku seorang atlet atau olahragawan dalam meningkatkan dirinya
sesuai keinginan secara jujur, nyaman, tanpa adanya rasa cemas, dengan
menggunakan hak pribadinya tanpa perlu melanggar hak-hak orang lain dalam
mencapai tujuan.
Berdasarkan kajian dari Fensterheim dan Bear (dalam Nihaya, 2014), ciri-
ciri orang asertif ada empat, yaitu sebagai berikut:
a. Dapat dengan baik mengemukakan emosi yang dirasakan melalui kata dan
tindakan, Dalam olahraga hal ini dapat dilihat dari bagaimana atlet
bertindak dan menunjukkan emosi yang dirasakan selama pertandingan,
sehingga emosi tersebut tidak menjadi perilaku agresif yang merugikan.
b. Dapat berkomunikasi dengan orang lain, baik dengan orang yang tidak
dikenal, sahabat, keluarga dan dalam proses berkomunikasi relative

7
terbuka, jujur dan sebagaimana mestinya. Olahragawan asertif dapat
berkomunikasi dengan baik tidak hanya kepada rekan satu tim nya saja, tapi
juga kepada pelatih dan lawan yang dihadapi.
c. Cenderung mengejar apa yang diinginkan dan berusaha agar sesuatu itu
terjadi, namun juga sadar bahwa dirinya tidak dapat menang setiap saat.
Mampu menerima keterbatasannya, namun tetap berusaha untuk mencapai
tujuan dengan usaha yang sebaik-baiknya.
d. Bertindak dengan cara yang dihormatinya sendiri. Tidak melakukan
kecurangan untuk menutupi kekurangan yang ada dan dapat menerima
kemenangan atau kekalahan tanpa reaksi berlebih.

C. Faktor-Faktor Penyebab Agresi dalam Olahraga


Darisman dkk. (2021) menyebutkan beberapa faktor yang menjadi penyebab agresi
dalam olahraga yang terdiri dari:
1. Pemain yang sedang mengalami masalah mental
2. Seorang pemain di depan massa yang tidak ramah
3. Pemain dalam tim yang mengalami kekalahan dalam pertandingan yang sangat
ketat
4. Suatu tim di peringkat atas yang bermain dengan peringkat bawah
5. Pertandingan antar tim yang memiliki latar belakang suku yang berbeda atau
perbedaan budaya
6. Latar belakang permusuhan antara dua tim yang berasal dari dua ras atau dua suku
bangsa yang berbeda, serta situasi politik yang mereka wakili.
7. Kehadiran perbuatan agresif yang dilakukan orang lain yang tidak dihukum atau
menghasilkan keuntungan.

8
Menurut Makarowski dkk. (2021) agresi dalam olahraga terdiri dari tiga faktor
dasar di antaranya:

1. The “Go-Ahead

The go-ahead mengacu pada kegigihan yang teguh dalam mencapai tujuan
walaupun terdapat banyak rintangan. Hal tersebut dicirikan dengan individu yang
selalu ingin mendapatkan apa yang mereka inginkan. Atet dengan “go-ahead” yang
tinggi akan berani, tetap menyerang, dan tidak akan ragu-ragu, mereka juga melihat
rintangan sebagai tantangan yang harus diatasi.

2. Foul Play atau Permainan Curang

Permainan curang dalam olahraga berarti menghalangi seseorang untuk


mencapai tujuannya dengan cara yang tidak etis dan melibatkan permainan kotor
yang tidak adil. Permainan curang dapat berupa mendorong lawan, merebut
seragamnya, menjegal, dapat juga dengan menyebarkan desas-desus yang
menyakitkan, serta menggunakan orang lain untuk keuntungan mereka sendiri
untuk mendiskreditkan lawan di depan pelatih, manajer, atau sponsor mereka.

3. Assertiveness atau Ketegasan dalam Olahraga

Assertiveness berarti kemampuan untuk secara tegas menyuarakan


pendapatnya sendiri untuk tidak menyerah pada ancaman dan dominasi oleh orang
lain. Seorang atlet yang asertif akan menyampaikan umpan balik kritis kepada atlet
lain atau pelatih jika mereka tidak setuju dengan sesuatu, bahkan jika hal itu dapat
mengancam posisinya.

D. Strategi Pengendalian Perilaku Agresi yang Menyimpang


Perilaku agresif berperan penting dalam keberhasilan dari olahraga, jenis agresif
yang bermotivasi semangat, dapat menjadi jenis agresif yang efektif dalam pertandingan.
Hal ini memicu masing-masing tim untuk lebih unggul dari tim lainnya (Permana &
Praetya, 2021). Namun, terdapat juga jenis agresi menyimpang, seperti contohnya yaitu
keinginan untuk mencelakai atau mencederai lawan. Oleh karena itu, pelatih membutuhkan

9
sebuah strategi atau cara dalam mengendalikan perilaku agresi yang menyimpang. Strategi
tersebut yaitu sebagai berikut (Darisman dkk., 2021):
1. Memberikan pemahaman dan contoh perilaku non–agresif sebagai metode
konstruktif untuk memecahkan masalah.
2. Menggunakan dan mengajarkan etika dalam mengambil keputusan. Pengambilan
keputusan dilakukan melalui evaluasi dan pemilihan tindakan-tindakan yang
sejalan dengan nilai moral.
3. Melakukan pelatihan mental untuk atlet, agar para atlet dapat secara praktis
menguasai emosi ketika menghadapi perilaku agresif.
4. Memberikan hukuman bagi atlet yang terlibat tindakan agresif, hal ini dapat
membuat atlet sadar bahwa tindakan agresif seperti melukai lawan merupakan
tindakan yang tidak benar.
5. Menghindari pengaruh dari luar yang dapat memicu terjadinya tindakan agresif
dengan kekerasan di lapangan pertandingan.
6. Memberikan dorongan positif pada atlet, untuk meningkatkan kemampuan
bertindak tenang dalam menghadapi situasi-situasi yang emosional.
7. Menerapkan aturan secara konsisten pada setiap tingkatan, baik individu maupun
kelompok. Aturan dibuat untuk dilaksanakan oleh siapa pun yang terkait dan
berkepentingan di dalamnya. Tegakkan prinsip “perlakuan sama di depan hukum”.
Diskriminasi hanya akan menimbulkan ketidakadilan yang pada gilirannya akan
memicu tindakan kekerasan.
8. Pemberian informasi yang seimbang, faktual, dan sehat oleh media massa.
Terkadang, pihak yang mempunyai masalah sebenarnya biasa saja, tetapi situasi
dapat menjadi “panas” karena di blow-up sedemikian rupa oleh media massa.

E. Contoh Studi Kasus Agresivitas dan Asertivitas pada Atlet


1. Kasus 1: Agresivitas Saat Bertanding Pada Atlet Sepakbola Pekan Olahraga
Pelajar Daerah (Popda) Kab Sumenep.
Pada kasus ini, empat atlet sepak bola Pekan Olahraga Pelajar Daerah
(POPDA) Kab Sumenep yaitu AN, RM, RS dan IL yang sedang bertanding
melakukan tindakan agresivitas. Agresivitas yang dilakukan oleh subjek AN, RM,

10
RS dan IL saat bertanding adalah masalah dengan kepemimpinan wasit yang lebih
memihak pada tim lawan, dimana keempat subjek melakukan perlawanan kepada
wasit yang memimpin pertandingan. Kemudian masalah berikutnya yaitu mengenai
kontak badan dengan lawannya yang membuat agresivitas keempat subjek tidak
dapat terkontrol, subjek beberapa kali melakukan sikutan dan mentackling kaki
lawan dengan berupa dorongan, tarikan kepada anggota badan lawan, sikutan dan
mentackling kaki lawan dengan sengaja. Lalu agresivitas lainnya yang dilakukan
oleh subjek yaitu seperti, mencemooh, membentak, mengejek, mencaci lawan, dan
mengeluarkan kata-kata tidak sopan kepada lawan. Namun hal tersebut diketahui
karena ucapan dari pemain lawan yang memancing kemarahan keempat subjek, dan
perilaku agresivitas lain yang bertujuan untuk melukai pemain lawan.

Analisis Kasus:
Berdasarkan kasus ini, dapat di analisis bahwa faktor kepemimpinan wasit
yang memihak pada tim lawan membuat agresivitas AN, RS, RM dan IL tidak
terkontrol. Hal ini ditunjukkan dengan beberapa kali keempat subjek melakukan
perlawanan kepada wasit yang memimpin pertandingan. Tindakan agresif ke empat
subjek, sesuai dengan teori keseimbangan (Balance Theory) dimana dikatakan
bahwa adanya agresivitas dihasilkan dari situasi tidak seimbang atau berlawanan
yang menimbulkan ketegangan dan rasa ketidaksenangan antara diri dan orang lain.
Namun hal ini juga tidak sepenuhnya kesalahan pada kepemimpinan wasit. Dimana
dijelaskan bahwa keempat subjek juga kurang mampu untuk mengontrol emosi saat
bertanding, sehingga sering terjadi pelanggaran-pelanggaran yang diperoleh tim
lawan. Kemudian karena keempat subjek terpancing oleh gaya permainan lawan
yang lebih memancing kemarahan dari keempat subjek, sehingga keempat subjek
memiliki keinginan untuk membalas tindakan yang dilakukan oleh lawan mereka.
Perilaku lain agresivitas dengan tujuan untuk mencederai pemain lawan terlihat
beberapa kali dilakukan oleh AN, RS, RM dan IL dalam pertandingan karena ingin
memenangkan perebutan bola dengan lawannya dengan mengangkat kaki terlalu
tinggi dan menarik baju dari lawan. Perilaku-perilaku agresivitas yang dilakukan
keempat subjek tentu saja bukan merupakan tindakan yang baik. Perlu adanya

11
pembenahan perilaku agar tidak terjadi lagi perilaku agresivitas yang merugikan
dan tidak menjunjung sportifitas di dalam arena. Diharapkan untuk kedepannya,
subjek AN, RS, RM dan IL dapat menumbuhkan sikap atau perilaku asertif dalam
diri untuk bertindak sesuai dengan keinginan, mempertahankan diri tanpa merasa
cemas, serta mengekspresikan perasaan secara jujur dan nyaman, tanpa melanggar
hak-hak orang lain.

2. Kasus 2: Figure Skater Tonya Harding yang “Mencederai” Skater Nancy


Kerrigan.
Pada tahun 1994 dalam persiapan untuk Olimpiade Musim Dingin 1994 di
Lillehammer, figure skater Nancy Kerrigan menjadi korban penyerangan oleh
orang tak dikenal. Akibat kejadian itu, Nancy Kerrigan mengalami cedera dan
terpaksa tidak dapat mengikuti kejuaraan US Figure Skating Championship 1994,
di mana Tonya Harding yang pada akhirnya tampil sebagai juara. Setelah dilakukan
investigasi lebih lanjut, terungkap jika penyerangan tersebut dilakukan oleh Shane
Stant yang merupakan orang suruhan Shawn Eckhardt (pengawal Tonya Harding)
yang juga disuruh oleh suami dari Tonya Harding yaitu Jeff Gilooly. Tonya
menyangkal tuduhan bahwa ia dalang serangan tersebut. Namun, ia akhirnya
ditahan karena mengganggu terbukti penyelidikan polisi. Suaminya dan orang-
orang suruhannya menghabiskan waktu di penjara karena perannya dalam
kejahatan itu. Sedangkan, Tonya Harding mengaku bersalah menghalangi
penuntutan, yang berarti dia mengakui dia tahu identitas orang-orang di balik
serangan itu. Karena kasus tersebut, dia menerima masa percobaan tiga tahun,
denda $ 100,000 dan 500 jam pelayanan masyarakat.

Analisis Kasus:
Pada kasus ini, Tonya Harding memang bukan pelaku utama dalam kasus
serangan yang terjadi pada figure skater Nancy Kerrigan tahun 1994, namun
keterlibatan Tonya Harding yang mengetahui pelaku dan motif didalamnya
membuat ia tetap dinyatakan bersalah. Perilaku agresi yang terjadi memiliki motif
untuk mendapatkan posisi teratas dalam kejuaraan Figure Skating Championship

12
Amerika Serikat tahun 1994. Hal tersebut berarti tujuan yang paling utamanya
tetaplah prestasi dan hasil yang menguntungkan bagi atlet tersebut sendiri, dimana
dalam hal ini yang diuntungkan yaitu Tonya Harding. Tindakan agresi yang terjadi
yaitu agresi secara fisik yang berbahaya dan melukai orang lain, melanggar aturan,
serta melanggar nilai sportivitas. Karena tindak agresivitas yang terjadi, seluruh
pihak yang terlibat mendapatkan hukuman. Suaminya dan orang-orang suruhannya
menghabiskan waktu di penjara Sedangkan, Tonya Harding menerima masa
percobaan tiga tahun, denda $ 100,000 dan 500 jam pelayanan masyarakat.

3. Kasus 3: Agresivitas suporter pertandingan antara FC Bekasi City dan PSIM


Yogyakarta di Stadion Patriot Candrabhaga, Kota Bekasi.
Kericuhan suporter terjadi seusai pertandingan Liga 2 antara FC Bekasi City
dan PSIM Yogyakarta di Stadion Patriot Candrabhaga, Kota Bekasi. Sejumlah
fasilitas stadion rusak akibat ricuh antar suporter tersebut. Penyebabnya ulah
oknum suporter. Mereka saling ejek yang pada akhirnya terjadi kericuhan, yang
mengakibatkan kerusakan fasilitas. Kerusakan yang didapat yaitu sejumlah fasilitas
Stadion Patriot Candrabhaga, seperti kursi di tribun penonton hingga pagar. Tidak
ada korban yang terluka akibat kericuhan ini. Akibat kericuhan ini, Pemkot Bekasi
akan bertindak tegas. Ia meminta pihak klub sepakbola FC Bekasi sebagai panitia
penyelenggara wajib bertanggung jawab atas segala kerusakan dan memberikan
edukasi kepada suporternya untuk menjaga dan merawat Stadion Patriot yang
merupakan kebanggaan masyarakat Kota Bekasi.

Analisis Kasus:
Berdasarkan kasus yang sudah dipaparkan, adanya tindak kerusuhan atau
tawuran antar suporter sepak bola yang terjadi setelah pertandingan usai manakala
tim kesayangannya kalah sudah menjadi hal yang biasa. Hal-hal ini mencerminkan
buruknya kepribadian yang dimiliki para suporter tersebut atau mungkin sikap
agresifitas yang mereka tunjukkan yang sudah menunjukkan aksi destruktif.
Adapun pada kasus ini, kericuhan dinilai terjadi karena sikap para suporter yang
'kurang dewasa'. Kurang dewasa disini yaitu ketika ada tim yang kalah, suporter

13
dari tim tersebut seharusnya legowo menerima kekalahan tersebut. Namun,
seringkali tindakan tidak terima akan kekalahan menyebabkan amarah dan emosi
negatif mereka naik sehingga membuat mereka melakukan tindak agresivitas.
Biasanya tindak agresi dapat muncul disebabkan oleh amarah, rasa benci, perasaan
iri atau cemburu, dendam, dan fanatisme. Seperti yang terlihat pada kasus ini,
suporter yang memiliki rasa fanatik berlebihan merasa iri atau cemburu atas
kemenangan lawannya, sehingga mereka melakukan tindak agresi yang melanggar
aturan, dan melanggar nilai sportivitas. Perlunya edukasi pada suporter tersebut
untuk menumbuhkan nilai sportivitas.

14
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Agresivitas adalah suatu bentuk perilaku yang membawa resiko terhadap orang lain
baik bersifat fisik maupun psikis. Agresi dalam olahraga dibagi menjadi dua, yaitu hostile
aggression yang bertujuan untuk mencederai orang lain dan instrumental aggression yang
bertujuan untuk merugikan orang lain tetapi tujuan utamanya tetaplah prestasi dan hasil
yang menguntungkan bagi atlet. Agresivitas juga berkaitan dengan beberapa teori, yaitu
teori naluri, teori agresi-frustasi, teori belajar sosial, dan teori keseimbangan. Faktor-faktor
penyebab agresi dalam olahraga menurut Darisman dkk. (2021) terdiri dari; pemain yang
sedang mengalami masalah mental, pemain di depan massa yang tidak ramah, pemain
dalam tim yang mengalami kekalahan dalam pertandingan yang sangat ketat, tim di
peringkat atas yang bermain dengan peringkat bawah, pertandingan antar tim yang
memiliki latar belakang budaya yang berbeda, serta kehadiran perbuatan agresif yang
dilakukan orang lain yang tidak dihukum atau menghasilkan keuntungan. Kemudian,
menurut Makarowski dkk. (2021) agresi dalam olahraga terdiri dari tiga faktor dasar di
antaranya the “Go-Ahead”, foul play, dan ketegasan dalam olahraga. Strategi pengendalian
agresi yang menyimpang menurut Darisman dkk. (2021) di antaranya dapat dilakukan
dengan memberikan pemahaman dan contoh non-agresif sebagai metode konstruktif
pemecahan masalah, mengajarkan etika dalam mengambil keputusan, melakukan pelatihan
mental untuk atlet, memberikan hukuman bagi atlet yang terlibat tindakan agresif,
menghindari pengaruh dari luar pemicu tindakan agresif, memberikan dorongan positif
pada atlet, menerapkan aturan secara konsisten pada setiap tingkatan, dan pemberian
informasi yang seimbang, faktual, dan sehat oleh media massa.
Contoh kasus agresivitas terjadi pada AN, RS, RM dan IL yang merupakan atlet
sepakbola POPDA Kab. Sumenep, di mana mereka melakukan agresivitas dikarenakan
kepemimpinan wasit yang memihak pada tim lawan, kontak badan dengan lawannya yang
membuat agresivitas tak terkontrol, dan ucapan dari pemain lawan yang memancing
kemarahan keempat subjek. Tindakan agresivitas yang dilakukan diantaranya menyikut
dan mentackling lawan, serta mengeluarkan kata-kata tidak sopan kepada lawan. Kasus
agresivitas selanjutnya terjadi pada tahun 1994 dalam persiapan olimpiade musim dingin

15
kejuaraan US Figure Skating, di mana Nancy sebagai figur skating mengalami
penyerangan oleh orang yang tak dikenal sehingga mengalami cedera dan tidak dapat
mengikuti kejuaraan. Kasus lainnya oleh suporter pertandingan Liga 2 antara FC Bekasi
City dan PSIM Yogyakarta, di mana kericuhan suporter menyebabkan sejumlah fasilitas
stadion rusak.
Asertivitas dalam olahraga merupakan perilaku seorang atlet atau olahragawan
dalam meningkatkan dirinya sesuai keinginan secara jujur, nyaman, tanpa adanya rasa
cemas, dengan menggunakan hak pribadinya tanpa perlu melanggar hak-hak orang lain
dalam mencapai tujuan. Orang yang asertif memiliki beberapa ciri seperti dapat
mengemukakan dengan baik emosi yang dirasakan melalui kata dan tindakan, dapat
berkomunikasi dengan orang lain, cenderung mengejar apa yang diinginkan, dan bertindak
dengan cara yang dihormatinya sendiri.

B. Saran
Dengan hadirnya makalah ini diharapkan dapat memperkaya dan menambah
literatur mengenai agresivitas dan asertivitas dalam olahraga. Penulis menyadari masih
terdapat kekurangan dan keterbatasan dalam makalah ini. Harapan untuk penulisan
makalah ke depannya dengan tema yang sama supaya pembaca lebih memperdalam materi,
yaitu dengan mencari dari referensi pendukung lain yang menyajikan pembahasan lebih
lengkap. Penulis menerima saran dan kritik yang dapat membangun untuk makalah ini
sehingga ke depannya akan dapat lebih baik lagi.

16
DAFTAR PUSTAKA

Aktop, A., Özçelik, M., Kaplan, E., & Seferoğlu, F. (2015). An Examination of Assertiveness
and Aggression Level of Amateur Soccer Players in Different Age Groups. Procedia -
Social and Behavioral Sciences, 174, 1928–1932.

BBC. (2018, 20 February). Tonya Harding and Nancy Kerrigan: When Olympic figure
skating met whodunnit. Diakses pada 23 September 2022, dari Tonya Harding and
Nancy Kerrigan: When Olympic figure skating met whodunnit - BBC Sport

Darisman, E. K., Prasetiyo, R., & Bayu, W. I. (2021). Belajar psikologi olahraga: Sebuah
teori dan aplikasi dalam olahraga. CV Jakad Media Publishing.

Detik.com. (2022, 20 September). Suporter Ricuh Usai Laga Sepakbola, Fasilitas Stadion
Patriot Bekasi Rusak. Diakses pada 23 September 2022, dari Suporter Ricuh Usai Laga
Sepakbola, Fasilitas Stadion Patriot Bekasi Rusak (detik.com)

Gill D. L. Williams L. & Reifsteck E. J. (2017). Psychological dynamics of sport and exercise
(4th ed). Human Kinetics.

Kardiyanto, D. W. (2014). Faktor Penyebab Terjadinya Agresivitas Saat Bertanding pada


Atlet Sepakbola Pekan Olahraga Pelajar Daerah (Popda) Kab Sumenep. Jurnal Phederal
Penjas, 8(1).

Kumparan.com. (2020, 21 Desember). Kisah Tonya Harding: Eks Atlet Seluncur Indah
Berbakat yang Tidak Sportif. Diakses pada 23 September 2022, dari Kisah Tonya
Harding: Eks Atlet Seluncur Indah Berbakat yang Tidak Sportif | kumparan.com

Kurniawan, Ari Wibowo., dkk. (2021). Psikologi olahraga. Akademia Pustaka.

Nihayah, Z. (2014). Hubungan asertif dengan kebahagiaan pada mahasiswa Fakultas


Psikologi Angkatan 2013 Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.
Undergraduate thesis, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim.

17
Permana, D. & Praetyo, A. F. (2021). PSIKOLOGI OLAHRAGA Pengembangan Diri dan
Prestasi. Penerbit Adab.

Putra, Hizbikal Edi. (2018). Perbedaan tingkat asertivitas antara mahasiswa organisasi demaf
Fakultas Ushuluddin dan demaf Fakultas Dakwah Universitas Islam Negeri Raden Fatah
Palembang. Jurnal UIN Raden Fatah. http://repository.radenfatah.ac.id/3010/

Makarowski, R., Görner, K., Piotrowski, A., Predoiu, R., Predoiu, A., Mitrache, G.,
Malinauskas, R., Vicente-Salar, N., Vazne, Z., Bochaver, K., Cherepov, E., Hamzah, I.,
Nikkhah-Farkhani, Z., Miklósi, M., Kovács, K., Pelin, F., Boe, O., Rawat, S.,
Deshpande, A., & Plopa, M. (2021). The hungarian, latvian, lithuanian, polish,
romanian, russian, slovak, and spanish, adaptation of the makarowski’s aggression
questionnaire for martial arts athletes. Archives of Budo, 17, 75–108.

18
LAMPIRAN

Tabel Kontribusi

Nama dan NIM Bentuk Kontribusi Persentase

Afinery Gifta Annisafa


- Menyusun materi BAB II 20%
(15000120130262)
bagian Faktor-faktor
Penyebab Agresi dalam
Olahraga
- Menyusun BAB III

Diandra Mardiana Syabila


- Menyusun cover, kata 20%
(15000120140289)
pengantar, dan daftar isi
- Menyusun materi BAB II
bagian Strategi
Pengendalian Perilaku
Agresi yang Menyimpang
- Merapikan makalah

Fitri Ramadhina
- Menyusun materi BAB II 20%
(15000120130177)
bagian Pengertian
Agresivitas dan Asertivitas
dalam Olahraga
- Menyusun BAB I bagian
Latar Belakang

Tia Syifa Ademira


- Menyusun materi BAB II 20%
(15000120140337)
bagian contoh studi kasus

19
agresivitas dan asertivitas
pada atlet
- Menyusun power point

Zefanya Kaseger - Menyusun materi BAB II 20%


(15000120130268) bagian Agresivitas dan
Asertivitas dalam
Olahraga
- Menyusun BAB I bagian
rumusan masalah, tujuan,
dan manfaat

20
AROUSAL, STRESS, DAN KECEMASAN PADA ATLET
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Psikologi Olahraga

Kelompok 3
Anggota :

Adinda Diah Ayu Putri 15000120140079


Annisa Indah Ramadhani 15000120130131
Dhea Siti Fadillah 15000120130267
Diva Indira Ulayna 15000120130162
Fadhilla Rizki 15000120120046

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat
dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
“Arousal, Stress, dan Kecemasan pada Atlet” ini tepat pada waktunya. Adapun tujuan dari
penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Psikologi Olahraga.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Novi Qonitatin, S.Psi., M.A. selaku dosen
pengampu mata kuliah Psikologi Olahraga yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat
menambah pengetahuan dan wawasan kami terkait materi yang kami dapatkan. Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian pengetahuannya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Kami menyadari makalah ini jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kami menantikan kritik dan saran yang membangun demi
kesempurnaan makalah ini.

Semarang, 30 September 2022

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kondisi mental seorang atlet akan mempengaruhi performa yang dimiliki oleh
atlet tersebut. Apabila atlet dalam kondisi alfa, performa yang diberikannya pun akan
sangat baik. Namun, jika atlet dalam kondisi mental yang buruk, ia akan kesulitan
dalam mencapai tujuannya. Performa seorang atlet dapat dipengaruhi oleh beberapa
alasan, yaitu arousal, stress, dan kecemasan.

Atlet mendapatkan berbagai tekanan pada saat bertanding. Tekanan dapat


datang dari pihak pelatih, supporter maupun tim, hal tersebut mampu mendatangkan
stress dan kecemasan pada diri atlet. Atlet harus bisa mengeluarkan segala
kemampuannya untuk bertanding sehingga prestasi dapat dicapai oleh atlet. Faktor
psikis dalam olahraga menjadi sangat penting dalam menunjang ataupun menghambat
prestasi atlet. Puncak penampilan dapat tercapai apabila penampilannya berada dalam
puncak energi yang optimal. Hal ini ditandai sepenuhnya oleh ketenangan atlet dalam
bermain dan mampu menghindarkan kecemasan dalam permainan.

Pencapaian prestasi puncak dalam dunia olahraga oleh seorang atlet juga tidak
dapat dipisahkan dengan kegiatan manajemen arousal yang baik, yaitu pengaturan
kondisi psikis dan fisik atlet dalam rangka mengerjakan atau memenangkan suatu
pertandingan. Tanpa manajemen yang baik, arousal justru dapat merugikan atau
menjadi sumber kekalahan seorang atlet dalam suatu pertandingan olahraga. Besarnya
pengaruh arousal, stres, dan kecemasan pada atlet melatarbelakangi kelompok kami
untuk membuat makalah berjudul “Arousal, Stress, dan Kecemasan pada Atlet”.

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja pengertian arousal, stress, dan kecemasan?
2. Apakah ciri-ciri dan hubungan arousal dengan penampilan atlet?
3. Apa saja jenis-jenis, sumber-sumber, gejala dan cara menangani stres pada
atlet?
4. Apa saja jenis-jenis, sumber-sumber, gejala dan cara menangani kecemasan
pada atlet?
C. Tujuan
1. Untuk memahami arti dari arousal, stress, dan kecemasan
2. Untuk mengetahui ciri-ciri dan hubungan arousal dengan penampilan atlet
3. Untuk mengetahui jenis-jenis, sumber-sumber, gejala dan cara menangani
stres pada atlet
4. Untuk mengetahui jenis-jenis, sumber-sumber, gejala dan cara menangani
kecemasan pada atlet
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Pengertian Arousal, Stress, dan Kecemasan


a. Arousal

Menurut Oxford English Dictionary, Arousal didefinisikan sebagai


sesuatu yang membuat seseorang mendapatkan sebuah perasaan tertentu, atau
sesuatu yang memberi rasa tertarik, ingin tahu, atau amarah dari seseorang.
Menurut Weinberg & Gould (2019), arousal merupakan campuran dari
aktivitas fisiologis dan psikologis yang menunjukkan peningkatan atau
intensitas motivasi seseorang. Arousal juga dapat didefinisikan sebagai
fenomena aktivasi berbagai organ tubuh yang terjadi pada seseorang yang
dipengaruhi oleh keadaan psikologis dan fisiologis (Rohmansyah, 2017).

b. Stress

Stres adalah suatu kondisi yang penuh tekanan yang kemudian


mempengaruhi fisik, mental, perilaku seseorang. Menurut Lazarus dan Folkman
(1984), stres merupakan kondisi internal yang muncul dari kebutuhan-
kebutuhan fisik di dalam tubuh (keletihan, kondisi sakit, dan sebagainya) atau
dari faktor lingkungan dan situasi sosial yang memiliki potensi yang
membahayakan dan tidak terkontrol. Fletcher (2009) juga mendefinisikan stress
sebagai suatu respon terhadap tuntutan-tuntutan, baik yang berasal dari
lingkungan maupun diri sendiri yang berhubungan dengan performa atlet dalam
kompetisi.

c. Kecemasan

Tekanan dari pihak pelatih, supporter maupun tim, hal tersebut mampu
mendatangkan kecemasan pada diri atlet. Menurut Weinberg & Gould (2019),
kecemasan adalah bentuk emosi negatif yang ditandai dengan kegelisahan, rasa
khawatir, dan ketakutan yang berhubungan dengan kegairahan. Taylor (1995)
juga mengatakan bahwa kecemasan merupakan sebuah pengalaman subjektif
mengenai ketegangan mental yang menggelisahkan sebagai reaksi umum dan
ketidakmampuan menghadapi masalah.

B. Ciri-ciri Arousal dan Hubungan dengan Penampilan Atlet

Arousal merupakan peningkatan fisiologis, psikis serta sistem syaraf simpatetis


yang terjadi dan tidak dapat dihindari dalam berperilaku, bereaksi,berpikir dan
bergerak. Adapun ciri-ciri seseorang mengalami arousal dapat dilihat dari fisiologis dan
psikisnya, yaitu :

Fisiologis Psikologis

1. Otot menjadi sangat tegang dan kaku 1. Rasa takut dan cemas meningkat
2. Denyut jantung berdetak dengan cepat 2. Merasa cepat lelah
3. Hembusan nafas yang tidak teratur 3. Cenderung berpikiran negatif dan
4. Tekanan darah meningkat memarahi diri sendiri
5. Sulit dalam berkonsentrasi dan sulit 4. Penurunan kontrol emosi
fokus semua yang dilihat terlihat cepat
6. Tidak dapat berpikir dengan cermat
dan jernih
7. Perhatian dan pandangan hanya
terfokus pada satu hal tertentu

Berikut merupakan cara yang dapat dilakukan atlet atau olahragawan dalam
menangani Arousal adalah dengan menenangkan diri, menarik nafas mendalam dan
dikeluarkan secara teratur dan perlahan, mengatur tempo permainan, memusatkan pada
teknik terbaik yang dapat menambah atau menghasilkan poin, dan sebaiknya tidak
memikirkan hasil menang atau kalah.
Dalam mengukur Arousal Para psikolog juga menemukan adanya perubahan
dalam tanda-tanda psikologis antara lain detak jantung, pernafasan, keadaan kulit
(direkam dengan sebuah ukuran tegangan), dan biokimia (digunakan untuk menilai
perubahan zat-zat seperti katekolamin). Dalam mengukur tingkat arousal yang
mengacu pada skala Self - Report Measures dapat dilihat melalui sebuah set / seri,
dengan pernyataan seperti "Jantungku berdebar kencang.", "Aku merasa deg-degan.","
Aku merasa down.", menggunakan skala numerik dengan penilaian dari rendah
ketinggi.
Adapun teori yang mendasari Hubungan Arousal dengan penampilan Atlet atau
olahragawan adalah teori inverted u dan teori Drive. Pada teori Inverted U teori ini
merupakan sub teori dengan menjelaskan mengapa saling berhubungan antara arousal
dengan penampilan berbentuk persamaan kuadrat. Atlet yang memiliki Arousal yang
sedang cenderung memiliki peluang besar untuk menampilkan peak performance/
penampilan puncaknya. Sedangkan atlet yang memiliki tingkat Arousal rendah maupun
tinggi tidak akan menghasilkan performa yang benar-benar baik. Lalu, pada teori Drive
termasuk pada teori multidimensional tentang penampilan dan proses belajar.
Hubungan antara arousal dengan penampilan atlet digambarkan pada garis lurus yang
membentuk garis hubungan (linear) menyimpulkan seolah-olah adanya hubungan
positif secara terus menerus antara arousal dengan peningkatan penampilan atlet.

Teori drive menyatakan bahwa semakin tinggi arousal maka penampilan akan
semakin tinggi pula, sedangkan teori inverted U menyatakan arousal yang rendah atau
tinggi akan menurunkan penampilan, dan arousal yang sedang akan meningkatkan
penampilan atlet. Para ahli lebih menyetujui pada teori interverted u karena pada suatu
saat akan ada batasnya di mana garis hubungan korelasi positif akan berhenti dan
menurun.

C. Stres pada Atlet


a. Jenis-Jenis Stres pada Atlet

Menurut Selye (dalam Lazarus, 2000), stress dapat dibagi menjadi dua, yaitu:

1. Eustress merupakan bentuk stress yang menguntungkan bagi atlet


karena dapat membuat atlet mempertahankan motivasi dan daya
juangnya untuk menghadapi tuntutan yang menghambatnya untuk
mencapai prestasi olahraga.
2. Distress merupakan bentuk stress yang merugikan bagi atlet karena
menyebabkan emosi negatif yang membuat performa atlet terganggu
dan mengalami kesulitan dalam meraih prestasi.
b. Sumber Stres pada Atlet

Stres dapat bersumber dari dalam maupun dari luar individu. Stres yang
bersumber dari dalam individu, yaitu:

1. Atlet sangat mengandalkan kemampuan teknisnya sehingga mengalami


kesulitan sewaktu menghadapi situasi perlombaan yang kurang
menguntungkan.
2. Atlet merasa bermain baik sekali atau sebaliknya sehingga memberikan
beban mental pada dirinya.
3. Adanya pikiran negatif karena dicemooh atau dimarahi sehingga
menimbulkan frustasi yang mengganggu penampilannya.
4. Adanya pikiran puas diri dan menimbulkan benih-benih ketegangan
dalam dirinya.

Stres yang berasal dari luar individu, yaitu:

1. Rangsangan yang membingungkan, seperti komentar para juri yang


menuntut perilaku dari atlet.
2. Pengaruh massa atau penonton, misalnya cemoohan dari penonton.
3. Saingan yang bukan tandingannya akan membuat atlet merasa tidak
mampu untuk memenangkan kompetisi tersebut.
4. Kehadiran atau ketidakhadiran pelatih dapat memberikan dampak positif
maupun negatif terhadap atlet tergantung dengan hubungan personal
yang dimiliki oleh atlet dengan pelatihnya.
c. Gejala Stres pada Atlet

Gejala-gejala psikologis yang menyebabkan prestasi atlet menurun adalah rasa


jenuh, kelelahan, tertekan, stres, kecemasan, dan ketakutan akan gagal. Stres
dapat dibagi menjadi beberapa tipe berdasarkan durasi kondisi yang dialami
oleh atlet (Payne & Hahn, 2010), yaitu:
1. Stres akut

Stres akut terjadi dalam durasi yang singkat dan biasanya terjadi
beberapa saat setelah atlet terpapar suatu stresor.

2. Stres episodik

Stres episodik adalah stres yang berlangsung lebih lama daripada stres
akut, yaitu sebelum atau sesudah suatu kejadian terjadi. Stres episodik
bisa muncul setelah atlet berulang kali terpapar stresor yang sama secara
rutin dalam waktu yang lama.

3. Stres kronis

Stres kronis merupakan stres yang durasinya paling lama dibanding dua
tipe stres lainnya. Stres kronis ini memiliki dampak merusak dan
menganggu yang paling besar terhadap atlet.

d. Cara Menangani Stres pada Atlet

Menurut Rumbold dkk. (2006), terdapat beberapa teknik latihan mental yang
dapat digunakan untuk memanajemen stres yang dirasakan oleh atlet, yaitu:

1. Relaksasi

Relaksasi dapat mengurangi ketegangan fisiologis maupun fisik atlet


sehingga dapat meminimalkan ketegangan mental yang dirasakan oleh
atlet. Pada dasarnya, sebelum melakukan jenis latihan mental lainnya,
atlet harus melakukan relaksasi terlebih dahulu agar tubuh dan
pikirannya dapat lebih tenang dan fokus untuk menjalankan latihan
mental lainnya.

2. Hipnosis

Hipnosis merupakan teknik latihan mental yang memberujan sugesti


kepada atlet pada saat ia berada di dalam kondisi alfa. Sama seperti
hipnosis pada umumnya, self-hypnosis juga menekankan pemberian
sugesti dan pencapaian kondisi alfa dalam tiap prosedurnya. Stevenson
(2009) menyatakan bahwa self-hypnosis adalah tindakan melakukan
prosedur hipnosis tanpa melibatkan orang lain. Jadi diri sendirilah yang
memberikan sugesti-sugesti tersebut.

3. Imagery Training

Menurut Setyawati (2014), imagery adalah keterampilan


memvisualisasikan suatu pengalaman di dalam pikiran. Dalam konteks
olahraga, pengalaman yang divisualisasikan merupakan pengalaman
yang berhubungan dengan performa atlet di lapangan, baik saat latihan
maupun pertandingan. Contoh dari imagery thinking adalah atlet
membayangkan pengalaman dirinya mampu melakukan gerakan
olahraga yang sebelumnya sulit ia praktikkan, dapat mempraktikkan
berbagai teknik di dalam situasi pertandingan, dan memiliki
keterampilan psikologis untuk menjadikan tekanan dan tuntutan yang
dia rasakan sebagai sebuah tantangan yang menggugahnya untuk
menampilkan performa optimal.

4. Self-Talk

Smith & Kays (2010) menjelaskan bahwa self-talk adalah verbalisasi


atau dialog internal yang ditujukan kepada diri sendiri. Dialog internal
dapat berupa pernyataan positif ataupun negatif; masing-masing disebut
dengan positive self-talk dan negative self-talk (Jannah, 2016). Positive
self-talk adalah bentuk self-talk yang positif, mendukung, dan
memotivasi atlet. Contohnya seperti berkata “aku yakin aku bisa
menang hari ini” dan “aku adalah atlet yang hebat”.

5. Meditasi

Salah satu jenis meditasi adalah mindfulness meditation, yaitu suatu


latihan meditasi yang dapat meningkatkan fokus dan kesadaran terhadap
pengalaman atau peristiwa yang terjadi tanpa melibatkan pemberian
kritik terhadapnya (Salmon dkk., 2004). Bishop dkk. (2004)
menjelaskan bahwa ada dua komponen dalam prosedur mindfulness
meditation, yaitu self-regulation of attention dan orientation to
experience. Self regulation of attention adalah kemampuan atlet dalam
meregulasi emosi dan perhatian, sedangkan orientation to experience
adalah tahap di mana atlet dilatih agar mampu menerima pengalaman
yang sedang terjadi secara objektif dan terbuka.

6. Goal Setting

Goal setting adalah suatu keterampilan merumuskan tujuan-tujuan yang


ingin dicapai dalam periode waktu tertentu (Weinber, 2004), Adanya
batas waktu dalam perumusan tujuan tersebut membuat atlet merasa
lebih termotivasi untuk konsisten dalam mencapai tujuannya.

D. Kecemasan pada Atlet


a. Jenis-Jenis Kecemasan pada Atlet

Charles Spielberger (1966) dalam Singgih D. Gunarsa, (2008) membagi


kecemasan menjadi dua, yaitu:

1. State Anxiety adalah suatu keadaan emosional berupa ketegangan dan


ketakutan yang tiba-tiba muncul, serta diikuti perubahan fisiologi
tertentu. Munculnya kecemasan antara lain ditandai gerakan-gerakan
pada bibir, sering mengusap keringat pada telapak tangan, atau
pernapasan yang terlihat tinggi. State anxiety merupakan keadaan
objektif ketika seseorang mempersepsikan rangsangan-rangsangan
lingkungan, dalam hal ini pertandingan, sebagai sesuatu yang memang
menimbulkan ketegangan atau kecemasan.
2. Trait Anxiety adalah suatu predisposisi untuk mempersepsikan situasi
lingkungan yang mengancam dirinya. Spielberger (1966) merumuskan
trait anxiety sebagai pandangan bahwa jika seorang atlet yang pada
dasarnya sudah memiliki trait anxiety, maka manifestasinya,
kecemasannya akan selalu berlebihan dan mendominasi aspek psikis.
Hal ini merupakan kendala yang serius bagi atlet tersebut untuk
berpenampilan baik.
b. Sumber Kecemasan pada Atlet

Kecemasan, atau merasa fisik dan mental cemas dapat hadir dalam cara yang
berbeda, seperti ketakutan dan gugup, tetapi memiliki penyebab yang mendasari
yaitu stimulasi sistem saraf simpatik. Ketika sesuatu memicu sistem saraf ini,
ini akan direspon sebagai "melawan atau lari". Sistem saraf simpatik tidak hanya
dipicu dalam situasi bahaya pribadi. Pikiran kita yang kompleks dan bahaya
mungkin akan menerjemahkannya sebagai situasi yang menegangkan seperti
pada situasi sedang berpidato di depan penonton atau bermain di pertandingan
besar.

Kecemasan sering dikaitkan dengan rasa takut gagal, dan persepsi seorang atlet
atas kemampuannya yang mungkin didasarkan pada kinerja sebelumnya,
keyakinannya mengenai oposisi atau persepsi pentingnya kompetisi.
Persepsinya juga dapat sangat bervariasi dari acara ke acara, tergantung pada
keadaan yang dirasakan serta persiapan fisik dan mental dalam setiap kasus.

Cedera dapat menyebabkan kecemasan yang berhubungan dengan olahraga,


seperti luka secara langsung yang dapat mempengaruhi kemampuan seorang
atlet untuk melakukan kegiatan. Dalam situasi olahraga yang dianggap stres,
atlet dapat mengalami penyempitan attentional dan ketegangan yang berlebihan
pada otot, keduanya diyakini meningkatkan kemungkinan untuk
mempertahankan cedera.

Kecemasan dapat menyertai di setiap kehidupan manusia terutama bila


dihadapkan pada hal-hal yang baru. Sebenarnya kecemasan merupakan suatu
kondisi yang pernah dialami oleh hampir semua orang, hanya tarafnya saja yang
berbeda-beda. Pada taraf sedang, kecemasan justru meningkatkan kewaspadaan
pada diri individu. Namun, kecemasan pada tingkat berlebihan dapat
menghilangkan konsentrasi dan menurunnya koordinasi antara otak dan gerak
motorik. Kecemasan juga muncul akibat memikirkan hal-hal yang tidak
dikehendaki akan terjadi, meliputi atlet tampil buruk, lawannya dipandang
demikian superior, dan atlet mengalami kekalahan (Setiadarma M. P., 2000).

c. Gejala Kecemasan pada Atlet


1. Gejala kognitif

Berkaitan dengan proses berpikir pada atlet, pikiran-pikiran yang muncul


bersamaan dengan gejala kecemasan somatis seperti rasa takut, keraguan,
konsentrasi yang buruk, hilangnya kepercayaan dan mengalah pada self-talk.

2. Gejala somatik (fisik)

Berkaitan dengan perubahan-perubahan fisiologis yang berkaitan dengan


munculnya rasa cemas. Ini merupakan gejala pada tubuh atlet saat mengalami
kecemasan, seperti perut mual, kepala terasa berat, muntah, ketegangan otot,
tangan dan kaki berkeringat, peningkatan denyut jantung, dan berkeringat.

3. Gejala perilaku

Berkaitan dengan pola perilaku atlet, seperti menggigit kuku, menghindari


kontak mata, menampilkan perilaku introver atau ekstrover.

d. Cara Menangani Kecemasan pada Atlet


1. Visualisasi

Visualisasi digunakan untuk meningkatkan kinerja, mengembangkan


kepercayaan, dan mengelola kecemasan. Visualisasi dikenal sebagai citra atau
latihan mental, melibatkan membayangkan diri atlet berhasil bersaing di
perlombaan.

Dalam rangka membuat visualisasi, tutup mata dan bayangkan gerakan fisik
yang akan membuat atlet sukses dalam persaingan. Coba bayangkan diri
bergerak pada kecepatan yang sama seperti yang dilakukan dalam kehidupan
nyata. Pastikan bahwa atlet membayangkan dari perspektif diri sendiri, bukan
dari yang pengamat. Anda harus melihat adegan seperti jika Anda benar-benar
sedang melakukan suatu kompetisi (tidak menonton diri bersaing).

Beberapa tips untuk membuat pekerjaan visualisasi, lakukan apapun yang atlet
bisa untuk membuat pengalaman dibayangkan tampak senyata mungkin,
seperti pergi ke sebuah lapangan sepak bola kosong dan duduk di bangku
membantu atlet membuat pengalaman dibayangkan lebih nyata, dengan segala
cara melakukannya. Jika suara orang banyak berkemungkinan untuk
mengalihkan perhatian atlet selama kompetisi, lihat apakah dapat menemukan
rekaman audio dengan suara kerumunan bahwa atlet dapat bermain saat
memvisualisasikan acara tersebut. Apa pun dapat dilakukan untuk membuat
pengalaman membayangkan terasa nyata dan membantu dalam
menerjemahkan apa yang atlet bayangkan ke dalam apa yang atlet ingin capai.

2. Menetapkan tujuan

Tujuan yang jelas akan membantu atlet untuk mengukur keberhasilan. Pilih
tujuan yang dapat dicapai tetapi menantang, dan memecah tugas menjadi
bagian yang lebih kecil dengan serangkaian tujuan jangka pendek.

3. Teknik relaksasi

Relaksasi sangat membantu untuk mengurangi gejala fisik dari kecemasan


seperti peningkatan denyut jantung, otot-otot tegang dan pernafasan yang
cepat dan dangkal. Teknik ini dapat digunakan setiap saat menjelang
kompetisi. Dua teknik relaksasi yang paling umum adalah pernafasan
diafragma dan relaksasi otot progresif.

4. Restrukturisasi kognitif

Restrukturisasi kognitif mengacu pada perubahan kebiasaan cara berpikir.


Restrukturisasi kognitif membantu atlet mengevaluasi tubuh dengan gairah
dan kegembiraan berbeda dalam kemampuannya untuk menghadapi
tantangan.

Perencanaan untuk selalu melakukan yang terbaik terlepas dari betapa


pentingnya kompetisi memungkinkan atlet untuk melampirkan signifikansi
kurang untuk kompetisi utama, dan pada gilirannya mengurangi kecemasan
tentang kinerja. Atlet harus menyadari pikiran dan perasaan juga kunci untuk
mengelola gejala kognitif dari kecemasan. Menyadari pikiran negatif ketika
mereka pertama kali memasuki pikiran atlet memungkinkan untuk
menghentikannya sebelum mereka memegang kendali sehingga atlet dapat
menggantinya dengan yang lebih positif.

5. Mengembangkan kepercayaan diri

Fokus pada kesuksesan masa lalu bukan pada kegagalan. Membuat latihan dan
persiapan prioritas hingga atlet tidak ragu terhadap kemampuannya untuk
sukses.

E. Contoh Studi Kasus

Kecemasan adalah keadaan emosi negatif yang ditandai oleh adanya perasaan
khawatir, was-was, dan disertai dengan peningkatan gugahan sistem kebutuhan. Dalam
olahraga prestasi, kecemasan akan selalu menghinggapi dan bisa muncul terutama pada
saat menjelang pertandingan atau selama pertandingan (Husdarta, 2011: 80). Atlet yang
mengalami kecemasan biasanya cenderung sulit berkonsentrasi dan kemampuan teknis
menurun, sehingga dapat mempengaruhi penampilan saat pertandingan dan prestasi.
Kecemasan yang dialami atlet dapat diatasi dengan melakukan relaksasi untuk
mengontrol kecemasan, dan salah satunya dengan mendengarkan musik, karena musik
sebagai gelombang suara dapat meningkatkan suatu respon seperti peningkatan
endorfin yang dapat mempengaruhi suasana hati dan dapat menurunkan kecemasan.
Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara di GOR UNY pada tanggal 29
November 2016, diketahui bahwa: (1) atlet futsal sulit menjaga suasana hati sebelum
bertanding, (2) kecemasan merupakan perasaan terbanyak yang muncul sebelum
pertandingan, (3) belum diketahuinya penyebab kecemasan sebelum pertandingan, (4)
belum diketahuinya pengaruh terapi musik terhadap tingkat kecemasan sebelum
bertanding pada atlet futsal putri tim Muara Enim Unyted.

Menurut Dayat Suryana (2012: 7) terapi musik adalah proses yang


menggunakan musik untuk terapi aspek-fisik, emosional, mental, sosial, estetika dan
spiritual untuk meningkatkan atau mempertahankan kesehatan mereka. Terapi musik
juga mempunyai tujuan untuk membantu mengekspresikan perasaan, membantu
rehabilitasi fisik, memberi pengaruh positif terhadap kondisi suasana hati dan emosi
serta mengurangi tingkat kecemasan pada pasien (Djohan, 2006: 191). Terapi musik
digunakan untuk berbagai kondisi termasuk gangguan kejiwaan, masalah medis, cacat
fisik, gangguan sensorik, cacat perkembangan, masalah penuaan, meningkatkan
konsentrasi belajar, mendukung latihan fisik, serta mengurangi stres dan kecemasan
(Dayat Suryana, 2012: 7). Studi tentang kesehatan jiwa, telah menunjukkan bahwa
terapi musik sangat efektif dalam meredakan kegelisahan dan stress, mendorong
perasaan rileks serta meredakan depresi. Terapi musik membantu orang yang memiliki
masalah emosional dalam mengeluarkan perasaan, membuat perubahan positif pada
suasana hati, dan membantu memecahkan masalah. Terapi musik dapat memberikan
gambaran adanya hubungan antara musik dengan respon seseorang yang sebenarnya
tidak jauh dari hubungan emosi antar musik dan pendengar (Djohan, 2006: 51).
Pendengar dapat merasakan ketenangan maupun kedamaian dengan mendengarkan
musik. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan mengenai
pengaruh terapi musik terhadap tingkat kecemasan sebelum bertanding pada atlet futsal
putri, maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan
dengan diberikannya terapi musik dalam menurunkan tingkat kecemasan sebelum
bertanding pada atlet futsal putri tim Muara Enim Unyted.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Arousal menurut rohmansyah tahun 2017 didefinisikan sebagai


fenomena aktivasi berbagai organ tubuh yang terjadi pada seseorang yang
dipengaruhi oleh keadaan psikologis dan fisiologis.Teori yang mendasari
Hubungan Arousal dengan penampilan Atlet atau olahragawan adalah teori
inverted u merupakan sub teori dengan menjelaskan mengapa saling
berhubungan antara arousal dengan penampilan berbentuk persamaan kuadrat
dan teori Drive teori multidimensional tentang penampilan dan proses belajar.
Menurut Lazarus dan Folkman (1984), stres merupakan kondisi internal yang
muncul dari kebutuhan-kebutuhan fisik di dalam tubuh (keletihan, kondisi sakit,
dan sebagainya) atau dari faktor lingkungan dan situasi sosial yang memiliki
potensi yang membahayakan dan tidak terkontrol. Sedangkan kecemasan
menurut Weinberg & Gould (2019), kecemasan adalah bentuk emosi negatif
yang ditandai dengan kegelisahan, rasa khawatir, dan ketakutan yang
berhubungan dengan kegairahan. Dalam makalah ini juga menjelaskan tentang
jenis,sumber dan gejala stress dan kecemasan pada atlet serta penanganan pada
atlet yang mengalami arousal, stress dan cemas. Dapat disimpulkan bahwa
arousal,stress dan kecemasan pada atlet dapat mempengaruhi performance atlet
dalam sebuah pertandingan namun hal ini dapat ditangani dengan strategi-
strategi yang telah dijelaskan guna menguatkan mental atlet dan
mempertahankan performance atlet.

B. Saran

Berdasarkan materi yang telah kami susun, harapan dari penulis dengan
hadirnya makalah ini dapat membantu pembaca untuk lebih memahami
informasi mengenai Arousal,stress dan kecemasan pada atlet. Penulis
menyadari akan keterbatasan sumber yang kami gunakan dan kami dapatkan.
Sehingga penulis juga menyarankan untuk adanya penggalian lebih dalam
terkait materi. Penulis terbuka dalam kritik dan saran membangun dari pembaca
sehingga bisa mengemmbangkan penyusunan makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA

Anira., Damayanti, I., Rahayu, N. (2017). Tingkat Kecemasan Atlet Sebelum, pada Saat
Istirahat dan Sesudah Pertandingan. Jurnal Terapan Ilmu Keolahragaan. Jurnal Terapan
Ilmu Keolahragaan, 2(2), 62-67.

Atwater, E. 1993. Psychology of Adjustment. Second Edition Prentice-Hal, Inc, Englewood


Cliffs, New Jersey.

Fletcher, D., & Wagstaff, C. R. (2009). Organizational psychology in elite sport: Its emergence,
application and future. Psychology of sport and exercise, 10(4), 427-434.

Jannah, M. (2017). Kecemasan dan konsentrasi pada atlet panahan. Jurnal Psikologi Teori Dan
Terapan, 8(1), 53-60.

Larasati, D. M., & Prihatanta, H. (2017). Pengaruh terapi musik terhadap tingkat kecemasan
sebelum bertanding pada atlet futsal putri. Medikora, 16(1).

Lazarus, R.S & Folkman, S. 1984. Stress appraisal and coping. Newyork : Springer Publishing
Company.Inc.

Marcelino, W. 2000. Hubungan Stres dan Pysical Self Eficacy Dengan Prestasi Olahraga di
bidang Atletik. Fakultas Psikologi. Tesis, Jakarta: Program Pascasarjana, UI.

Nindyowati, M., Priyonoadi, B. (2016). Tingkat Kecemasan Atlet Aeromodelling Kelas Free
Flight Setelah Mengalami Cedera Bahu Menjelang Pertandingan. Medikora, 15(1), 69-
84.

Rohmansyah, N. A. (2017). Hubungan Kegairahan (Arousal) dengan Performa Olahraga.


Jendela Olahraga, 2(2).

Supriyanto, A. (2005). Stres dan Pengaruhnya dalam Renang. Jorpres (Jurnal Olahraga
Prestasi), 1(2).

Taylor, S. E. (1995). Health Psychology. Singapore: Mc Graw-Hill. Inc.

Weinberg, R. S., & Gould, D. (2019). Foundations of sport and exercise psychology, 7E.
Human kinetics.
Prof. Dr. dr. James Tangkudung, SportMed., M.Pd.,& Apta Mylsidayu, S.Pd.Kor., M.Or.
(2017). Buku mental training : Aspek-aspek psikologi dalam olahraga. Bekasi : Penerbit
Cakrawala Cendekia.ISBN: ISBN 978-602-50403-4-4.

Yane, S. (2013). Kecemasan dalam Olahraga. Jurnal Pendidikan Olah Raga, 2(2), 188-194.
AROUSAL, STRES, DAN KECEMASAN DALAM OLAHRAGA
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Psikologi Olahraga

Dosen Pengampu:
Dr. Dra. Niken Fatimah Nurhayati, M.Pd.

Disusun Oleh:
Kelompok 8
Jasmine Azzahra 15000120140329
Amalia Fernanda Cahyaningtyas 15000120130298
Moza Naomi Zhaafirah 15000120140146
Constantya Permata Sari 15000120140226
Stefani 15000120140197

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa penulis panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
hanya dengan rahmat-Nyalah kami dapat menyelesaikan makalah Psikologi Olahraga dengan
baik. Makalah ini dibuat guna memenuhi penugasan kelompok mata kuliah Psikologi
Olahraga Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro.
Dalam penyusunan makalah ini, tak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada Ibu Dr.
Dra. Niken Fatimah Nurhayati, M.Pd. selaku dosen pengampu yang telah memberikan tugas
ini. Sehingga penulis mendapatkan ilmu dan pengetahuan yang baru. Serta tidak terlepas dari
bantuan banyak pihak, sehingga makalah ini dapat terselesaikan. Penulis menyadari bahwa
dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan yang perlu diperbaiki dan masih jauh
dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun agar makalah ini dapat menjadi lebih baik lagi serta bermanfaat bagi para
pembaca.

Semarang, Oktober 2022

Kelompok 8

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................... i


DAFTAR ISI ......................................................................................................................... ii
BAB I ..................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ................................................................................................................. 1
A. Latar Belakang............................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ....................................................................................................... 1
C. Tujuan .......................................................................................................................... 1
D. Manfaat ........................................................................................................................ 1
BAB II .................................................................................................................................... 2
ISI ........................................................................................................................................... 2
A. Pengertin Arousal, Stres, dan Kecemasan ................................................................... 2
B. Ciri - Ciri Arousal ........................................................................................................ 4
C. Hubungan Arousal dengan Penampilan Atlet ............................................................. 5
D. Jenis - Jenis Stres pada Atlet ....................................................................................... 6
E. Sumber – Sumber Stres pada Atlet .............................................................................. 7
F. Gejala Stres pada Atlet ................................................................................................ 8
G. Penanganan Stres pada Atlet ....................................................................................... 8
H. Contoh Studi Kasus Arousal, Stres, dan Kecemasan pada Atlet ................................. 9
BAB III ................................................................................................................................ 14
PENUTUP ........................................................................................................................... 14
A. Kesimpulan ................................................................................................................ 14
B. Saran .......................................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ iii

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Olahraga merupakan aktivitas yang sebaiknya dilakukan oleh setiap individu.
Olahraga yang dilakukan dengan tepat dan rutin akan menjadikan tubuh menjadi sehat
dan kuat. Olahraga sudah menjadi suatu kebutuhan dalam kehidupan manusia sehari-hari,
sebab dengan olahraga manusia mendapatkan kesenangan dan kepuasan batin, selain itu
dengan olahraga secara rutin dan tepat dapat membuat manusia menjadi sehat dan kuat,
baik secara jasmani maupun rohani. Motto yang berbunyi “mens sana en corpore sano”
yang artinya dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat. Merupakan bukti bahwa
sudah sejak jaman dahulu manusia menyadari betapa pentingnya badan dan jiwa yang
sehat (Hartanti, Yuanto, Zaenal, dan Lasmon, 2004).

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Arousal?
2. Bagaimana cara mencegah terjadinya stress pada seseorang?
3. Apakah kecemasan yang berlebihan harus ditangani?

C. Tujuan
1. Mengetahui apa yang dimaksud dengan Arousal.
2. Memahami pencegahan stress pada seseorang.
3. Memahami kewajiban penanganan kecemasan yang berlebihan

D. Manfaat
Makalah ini dibuat agar bisa bermanfaat dalam menambah wawasan ilmu Psikologi
Olahraga mengenai Arousal beserta hubungannya dengan penampilan, stress dan
kecemasan pada seseorang terutama atlet.

1
BAB II
ISI

A. Pengertin Arousal, Stres, dan Kecemasan


1. Definisi Arousal
Arousal adalah suatu gejala yang menunjukkan adanya peningkatan aktivitas
fisiologis dan psikologis dalam diri seseorang. Sejalan dengan pengertian arousal
yang disampaikan oleh Robert dan Daniel di atas, dapat dijelaskan bahwa arousal
merupakan suatu taraf kegairahan yang dapat digambarkan dalam sebuah garis
kontinum. Terdapat tingkat arousal paling rendah dan tingkat arousal paling tinggi
yang dapat dialami oleh seseorang, sehingga di antara kedua tingkat tersebut
diperoleh pola atau derajat arousal. Contoh dalam kehidupan nyata adalah pada kasus
dua tim sepakbola yang sedang memperebutkan tropi kejuaraan dunia, dapat
dikatakan para pemain sedang berada pada kondisi sangat bergairah yang ditandai
dengan ketegangan yang tinggi, sebaliknya ketika seorang mahasiswa tertidur di
kelas karena menganggap presentasi yang disampaikan oleh pemateri di depan tidak
menarik, maka mahasiswa tersebut berada pada kondisi arousal yang rendah. Arousal
merupakan sinonim kata drive, activation, readines dan excitation, yaitu syarat untuk
mencapai penampilan yang optimal dalam dunia olahraga. Arousal merupakan suatu
istilah yang menunjukkan peningkatan aktivitas sistem saraf simpatis, yaitu sebuah
saraf yang berfungsi untuk memerintahkan kelenjar adrenal menghasilkan hormon
adrenalin. Arousal merupakan aktivasi fisiologi dan psikologi secara menyeluruh
pada organisme, yang memiliki tingkatan yang berbeda-beda dan berlangsung secara
kontinyu dari tidur lelap kepada kegembiraan/semangat yang kuat. Pengertian ini
mengacu pada intensitas gairah seseorang
2. Definisi Stres
Stres merupakan keadaan ketika seseorang merasa ketidaknyamanan mental dan
batin yang disebabkan oleh perasaan tertekan. Definisi stres menurut Kamus Besar

2
Bahasa Indonesia (2000) adalah gangguan atau kekacauan mental dan emosional
yang disebabkan oleh faktor ekstrinsik. Menurut American Institute of Stress (2010),
tidak ada definisi yang pasti untuk stres karena setiap individu akan memiliki reaksi
yang berbeda terhadap stres yang sama. Stres bersifat individu dan pada dasarnya
bersifat merusak bila tidak adanya keseimbangan antara daya tahan mental individu
dengan beban stres yang dirasakan.
Stres juga bisa berarti ketegangan, tekanan batin, tegangan, dan konflik yang
berarti:
a) Reaksi atau respon tubuh terhadap stresor psikososial (tekanan mental
atau beban kehidupan).
b) Kekuatan yang mendesak atau mencekam, yang menimbulkan suatu
ketegangan dalam diri seseorang.
c) Reaksi tubuh terhadap situasi yang menimbulkan tekanan, perubahan,
ketegangan emosi dan lain-lain
3. Definisi Kecemasan
Pada dasarnya kecemasan adalah kondisi psikologis seseorang yang penuh
dengan rasa takut dan khawatir, dimana perasaan takut dan khawatir akan sesuatu hal
yang belum pasti akan terjadi. Kecemasan berasal dari bahasa Latin (anxius) dan dari
bahasa Jerman (anst), yaitu suatu kata yang digunakan untuk menggambarkan efek
negatif dan rangsangan fisiologis (Muyasaroh et al. 2020). Menurut American
Psychological Association (APA) dalam (Muyasaroh et al.2020), kecemasan
merupakan keadaan emosi yang muncul saat individu sedang stress, dan ditandai oleh
perasaan tegang, pikiran yang membuat individu merasa khawatir dan disertai respon
fisik (jantung berdetak kencang, naiknya tekanan darah, dan lain sebagainya).
Berdasarkan pendapat dari (Gunarso, n.d, 2008) dalam (Wahyudi, Bahri, and
Handayani 2019), kecemasan atau ansietas adalah rasa khawatir, takut yang tidak
jelas sebabnya. Pengaruh kecemasan terhadap tercapainya kedewasaan, merupakan
masalah penting dalam perkembangan kepribadian. Kecemasan merupakan kekuatan
yang besar dalam menggerakan. Baik tingkah laku normal maupun tingkah laku yang

3
menyimpang, yang terganggu, kedua-duanya merupakan pernyataan, penampilan,
penjelmaan dari pertahanan terhadap kecemasan itu. Jelaslah bahwa pada gangguan
emosi dan gangguan tingkah laku, kecemasan merupakan masalah pelik.

B. Ciri - Ciri Arousal


Adapun ciri-ciri orang yang mengalami arousal sebagai berikut:
 Otot sangat tegang dan kaku.
 Denyut jantung cepat.
 Napas tidak teratur.
 Tekanan darah meningkat.
 Sulit memperhatikan dan konsentrasi sehingga semua yang dilihat tampak cepat.
 Tidak dapat berfikir jernih dan cermat.
 Perhatian dan pandangan hanya pada satu hal tertentu.
 Rasa takut dan cemas memuncak.
Sejalan dengan pengertian arousal yang disampaikan oleh Robert dan Daniel,
suatu gejala yang menunjukkan adanya peningkatan aktivitas fisiologis dan
psikologis dalam diri seseorang. dapat dijelaskan bahwa arousal merupkan suatu
taraf kegairahan yang dapat digambarkan dalam sebuah garis kontinum. Terdapat
tingkat arousal paling rendah dan tingkat arousal paling tinggi yang dapat dialami
oleh seseorang, sehingga di antara kedua tingkat tersebut diperoleh pola atau derajad
arousal. Contoh dalam kehidupan nyata adalah pada kasus dua tim sepakbola yang
sedang memperebutkan tropi kejuaraan dunia, dapat dikatakan para pemain sedang
berada pada kondisi sangat bergairah yang ditandai dengan ketegangan yang tinggi,
sebaliknya ketika seorang mahasiswa tertidur di kelas karena menganggap presentasi
yang disampaikan oleh pemateri di depan tidak menarik, maka mahasiswa tersebut
berada pada kondisi arousal yang rendah.
Dalam dunia olahraga, aktivitas psikologis yang dialami oleh seorang atlet ketika
menghadapi suatu pertandingan akan mempengaruhi aktivitas fisiologis tubuhnya.
Dalam suatu pertandingan terdapat penonton sebagai faktor ekstern dan motivasi

4
sebagai faktor intern yang akan mempengaruhi atau mengakibatkan hypothalamus
melakukan aktivitas, sehingga menyebabkan beberapa bagian atau bahkan seluruh
tubuh atlet melakukan aktivasi, hal tersebut dilakukan oleh tubuh secara otomatis
dalam rangka menghadapi pertandingan yang sedang dijalani atau dihadapi karena
dirasa tubuh akan menghadapi ancaman.

C. Hubungan Arousal dengan Penampilan Atlet


Dalam dunia olahraga, baik dalam olahraga amatir maupun olahraga professional,
arousal sangat dibutuhkan untuk mencapai prestasi yang diharapkan. Arousal yang
dimaksud adalah arousal dalam batas-batas normal, yaitu dengan tujuan agar atlet scara
psikis siap untuk menghadapi pertandingan. Apabila atlet tidak merasakan arousal
menjelang atau saat melakukann pertandingan olahraga, dapat dikatakan bahwa atlet
tersebut secara psikologis atau psikis masih dalam keadaan tidur. Akibat rendahnya
tingkat arousal yang dialami, atlet menjadi tidak mampu berbuat banyak dalam suatu
pertandingan, terutama dalam menghadapi tugas-tugas gerak khusus yang harus
dilakukan dalam rangka mencapai kemenangan pertandingan yang dijalani.
Terdapat hubungan yang cukup unik antara arousal dengan penampilan atlet atau
performanya, pada awalnya kecemasan menjadi salah satu pemicu terjadinya arousal,
namun disisi lain arousal yang berlebih akan menyebabkan bertambahnya tingkat
kecemasan yang sedang dialami oleh seorang atlet. Sebagian besar kecemasan yang
menyebabkan terjadinya arousal adalah pada pertandingan yang dilakukan oleh atlet-
atlet pemula, sedangkan arousal yang menyebabkan terjadinya kecemasan adalah pada
pertandingan yang dilakukan oleh atlet-atlet profesional.
Tingkat arousal dalam diri atlet harus selalu dikontrol, karena apabila berlebih atau
terjadi over arousal akan menyebabkan aktivitas fisiologis dan psikologis tubuh terlalu
tinggi, sehingga cenderung dapat menghasilkan kecemasan yang tinggi. Tingkat arousal
yang terlalu tinggi justru tidak akan menghasilkan kesiapan tubuh, tetapi malah
menyebabkan kecemasan yang dikarenakan tubuh terlalu aktif dan tereksploitasi,
terutama karena pengaruh dari aktivitas otak dan jantung.

5
Rasa arousal muncul akibat ketidaksinkronan antara tuntutan lingkungan dengan
kemampuan atlet untuk mengatasinya. Efek dari arousal berefek pada kontrol gerak yang
lemah sehingga mengakibatkan penampilan juga menurun. Atlet dengan tuntutan dalam
setiap pertandingan yang tinggi seharusnya mampu untuk mengatasi arousalnya dengan
baik. Dalam kondisi ini, seorang atlet merasa dirinya terlalu lemah untuk mengatasi
tekanan yang muncul pada dirinya. Berkaitan dengan ini, strategi koping memegang
peranan yang dominan untuk mengatasinya.
Arousal yang tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah dapat menyebabkan
perhatian seseorang menjadi maksimal, yaitu perhatian yang tidak terlalu lebar dan tidak
terlalu sempit. Arousal yang rendah menyebabkan perhatian seseorang menjadi sangat
lebar dan cenderung kurang fokus sehingga lebih mudah terganggu oleh faktor ekstern.
Arousal yang terlalu tinggi pada seorang atlet menyebabkan perhatiannya terlalu sempit,
sehingga sulit untuk mengontrol berbagai hal yang terjadi atau menghambat atlet tersebut
dalam rangka mencapai tujuan.

D. Jenis - Jenis Stres pada Atlet


Quick dan Quick (dalam Almasitoh, 2012) mengkategorikan jenis stress menjadi dua,
yaitu:
1. Eustress
Eustress adalah akibat positif yang ditimbulkan oleh stress yang berupa timbulnya
rasa gembira, perasaan bangga, menerima sebagai tantangan, merasa cakap dan
mampu, meningkatnya motivasi untuk berprestasi, semangat kerja tinggi,
produktivitas tinggi, timbul harapan untuk dapat memenuhi tuntutan pekerjaan, serta
meningkatnya kreativitas dalam situasi kompetitif.
2. Distress
Distress adalah akibat negatif yang merugikan dari stress, misalnya perasaan bosan,
frustasi, kecewa, kelelahan fisik, gangguan tidur, mudah marah, sering melakukan
kesalahan dalam pekerjaan, timbul sikap keragu-raguan, menurunnya motivasi,
meningkatnya absensi, serta timbulnya sikap apatis.

6
E. Sumber – Sumber Stres pada Atlet
Lazarus dan Folkman (1984) yang juga menjadi penyebab dari tingkat stress adalah
penilaian primer (primary appraisal) dan penilaian sekunder (secondary appraisal).
Dimana penilaian ini dilakukan secara kognitif saat individu merespon sebuah stress yang
dihadapi. Wade dan Travis (2007), menyatakan sumber stress yang mengganggu
kehidupan seseorang yaitu: masalah pekerjaan, kebisingan, duka dan kehilangan,
kemiskinan, ketidakberdayaan dan status rendah. Menurut Sarafino (Smet dalam
Widiani, 2011) membedakan sumber-sumber stress terbagi menjadi tiga bagian yaitu:
1. Sumber-sumber stress di dalam diri seseorang,
2. Sumber-sumber stress di dalam keluarga,
3. Sumber-sumber stress di dalam komunitas,
Coleman dkk berpendapat bahwa sumber stress dapat dikategorikan menjadi tiga,
yaitu frustasi, konflik, dan tekanan. Sementara secara spesifik, menurut Singgih dalam
Aliffahmawati (2015) sumber stress pada atlet dapat dibedakan menjadi dua macam
yaitu:
1. Sumber stress dari dalam diri atlet (internal)
2. Sumber stress dari luar diri atlet (eksternal)
Menurut Husdarta dalam Aliffahmawati (2015) sumber stress bisa berada dari dalam
diri atlet misalnya: perasaan takut gagal, ragu-ragu akan kemampuan yang dimilikinya,
perasaan kurang latihan maksimal dan sebagainya. Serta dari luar diri atlet misalnya:
pengaruh penonton, ketidakhadiran keluarga, lingkungan pertandingan yang asing
baginya, ketidakhadiran pelatih, rangsangan yang membingungkan dan sebagainya.
Dari penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa stressor dapat dibagi menjadi
dua yaitu dari luar dan dalam diri individu. Faktor dari luar individu seperti faktor
lingkungan dan tuntutan sosial dan dari dalam individu seperti yang dinyatakan Lazarus
dan Folkman yaitu penilaian primer (primary appraisal) dan penilaian sekunder
(secondary appraisal).

7
F. Gejala Stres pada Atlet
Gejala stres pada atlet serupa dengan gejala stres pada individu umumnya. Hidayati
(2021) mengkategorikan gejala stres dalam 5 kelompok, yaitu sifat fisik, emosional,
mental, spiritual, atau relasional.
a. Fisik
Perubahan nafsu makan, rasa tegang di leher, kram perut, jantung berdebar, kaki
dan tangan dingin, gelisah, sakit kepala, dll.
b. Emosional
Frustasi, depresi, perubahan suasana hati yang cepat, mudah marah, mimpi buruk,
khawatir, gugup, mudah lupa, dll.
c. Mental
Kesulitan memecahkan masalah, kesulitan membuat keputusan, kesulitan
konsentrasi, kesulitan menghitung, pembicaraan diri negatif, sikap negatif, sering
mengkritik dan mengeluh, dll.
d. Spiritual
Kekosongan, keraguan, kehilangan arah, dll
e. Relasional
Kebencian, kesepian, menyembunyikan, menyendiri, ketidakpercayaan, lebih
sedikit kontak dengan lingkungan, dll.

G. Penanganan Stres pada Atlet


Strategi coping yang dilakukan atlet beraneka ragam sehingga mereka benar-benar
dapat menyesuaikan diri dengan berbagai tuntutan lingkungan baik internal maupun
eksternal. Atlet dalam mengatasi stress atau situasi yang tidak menyenangkan, seringkali
melakukan upaya seperti 1) merencanakan sesuatu pada penampilan mereka, apa yang
akan terjadi sebelum atau selama pertandingan, 2) mempunyai kurang lebih satu alternatif
perilaku untuk merencanakan aksi (Rushall, 1979). Nicholas Hoult (2005) menjelaskan
ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam coping stress yaitu evaluation and

8
strategic planning, proactive psychological strategies, dan reactive psychological
strategies.
Strategi coping yang digunakan atlet top adalah pada saat terjadi cedera, seperti: 1)
atlet menggunakan strategi kognitif, 2) atlet menghadapi dan menangani cedera, 3) atlet
elit mengatasi cedera pada momen yang kritis. Sedangkan pada kelelahan, biasanya
dengan cara (association dan dissociation).

H. Contoh Studi Kasus Arousal, Stres, dan Kecemasan pada Atlet


1. Studi Kasus I: "Hubungan Kegairahan (Arousal) dengan Performa Olahraga”.
 Judul Artikel : “Hubungan Kegairahan (Arousal) dengan Performa
Olahraga”.
 Judul Jurnal : Jendela Olahraga.
 Penulis : Nur Azis Rohmansyah.
 Vol., No., Hal., Tahun : Vol.2, No.2, 59 - 69, 2017.
 DOI : https://doi.org/10.26877/jo.v2i2.1703

Beberapa contoh kasus dalam artikel jurnal “Hubungan Kegairahan (Arousal) dengan
Performa Olahraga” dan penjelasannya:

a) Contoh kasus mengenai apa itu tingkat arousal tinggi dan rendah.
 Contoh Kasus:
Tingkat arousal antara: Dua tim sepakbola yang sedang memperebutkan
tropi kejuaraan dunia dengan Mahasiswa yang tertidur di kelas karena
menganggap presentasi yang disampaikan oleh pemateri di depan tidak
menarik.
 Pembahasan:
Dua tim sepakbola tersebut sedang berada pada kondisi sangat bergairah
(arousal) karena ditandai dengan ketegangan yang tinggi, sedangkan

9
mahasiswa pada contoh tersebut sedang berada pada kondisi arousal yang
rendah.

b) Penyebab kecemasan tinggi pada atlet lantai.


 Contoh Kasus:
Seorang atlet senam lantai harus menampilkan berbagai keterampilan
gerak yang sangat kompleks pada cabang olahraga senam lantai, pelatih dan
orang tua menekan atlet untuk memenangkan pertandingan, sehingga
menyebabkan atlet tersebut tegang karena takut gagal dan akhirnya atlet
tersebut menjadi sangat cemas.
 Pembahasan:
Proses terjadinya kecemasan merupakan serangkaian peristiwa dari
substansi adanya ketidakseimbangan antara tuntutan fisik, psikologis dan
kemampuan merespon. Biasanya rasa takut akan kegagalan dalam memenuhi
tuntutan merupakan salah satu rangkaian pemicu terjadinya kecemasan.
Tuntutan lingkungan merupakan jenis tuntutan yang terjadi pada seorang atlet
yang mengakibatkan terjadinya ketegangan fisik dan psikologis yang
akhirnya dapat menyebabkan terjadinya kecemasan.

c) Pengaruh tingkat arousal dengan tingkat trait anxiety.


 Contoh Kasus:
Saat sedang melakukan latihan rutin, Rena merasa senang saat diperhatikan
oleh orang-orang, sedangkan Maya merasa terancam bila diperhatikan.
 Pembahasan:
Maya merasakan terjadi ketidakseimbangan antara tuntutan pada
dirinya untuk memperagakan berbagai keterampilan gerak dengan
kemampuan untuk memenuhi tuntutan tersebut. Sedangkan, Rena merasa
terjadi keseimbangan antara tuntutan pada dirinya untuk memperagakan

10
berbagai keterampilan gerak dengan kemampuan untuk memenuhi tuntutan
tersebut, atau dirinya merasakan tuntutan tersebut tidak mengancam dirinya.
Hal ini disebabkan karena, seseorang yang mempunyai trait anxiety
yang tinggi akan cenderung merasakan situasi yang lebih (khususnya jika
dinilai dalam pertandingan) sebagai ancaman dibanding seseorang yang
memiliki trait anxiety yang rendah.
Oleh karena itu, tingkat arousal seseorang sangat berpengaruh pada
tinggi dan rendahnya tingkat trait anxiety seseorang.

d) Pengaruh harapan dan dukungan yang tinggi dari supporter terhadap tingkat
arousal atlet.
 Contoh Kasus:
Beberapa klub olahraga yang berlaga di stadion kandang atau di tempat
sendiri justru mengalami banyak kekalahan, dan biasanya terjadi pada akhir-
akhir pertandingan.
 Pembahasan:
Hal tersebut terjadi karena adanya over arousal yang disebabkan oleh
suporter atau pendukung fanatik tim tersebut. Harapan dan rasa bangga yang
teramat tinggi dari pendukung atau suporter terhadap timnya, terlebih tim
yang sedang bertanding di rumah sendiri menyebabkan tekanan yang cukup
besar bagi pemain. Dukungan yang terlalu tinggi tersebut menyebabkan
ketegangan yang dialami atlet menjadi lebih besar, sebab atlet menjadi takut
untuk melakukan kesalahan yang menyebabkan timnya mengalami
kekalahan.
Pada saat seorang atlet mulai berpikir takut melakukan kesalahan maka
akan menyebabkan terjadinya over arousal didalam melakukan berbagai
keputusan dan gerakan. Hal tersebut terjadi karena pada dasarnya ketika atlet
melakukann suatu keputusan gerakan olahraga, sejatinya telah ada kegairahan

11
(arousal) yang muncul secara intrinsik dalam diri atlet, namun dikarenakan
ada tambahan kegairahan (arousal) yang berasal dari support pendukung dan
rasa takut melakukan kesalahan gerak, maka terjadilah over arousal.
Oleh karena itu, seorang pelatih haruslah mampu mengendalikan tingkat
arousal yang dialami oleh atletnya demi tercapainya sebuah prestasi tertinggi
(peak performance).

2. Studi Kasus II: "Atlet Esports Ternyata Bisa Alami Stres Setingkat Atlet Olahraga
Lain".
a) Penjelasan kasus
Salah satu atlet esports asal Indonesia berinisial K baru-baru ini mengakui
bahwa dirinya beberapa kali merasakan adanya tekanan saat ia akan bertanding.
K dikenal sebagai salah satu pro player yang memiliki cukup banyak pendukung.
Hal ini membuatnya merasa semakin tertekan karena seolah dituntut harus selalu
menang oleh para pendukung. Terkadang, K merasa takut akan tampil dengan
performa buruk di depan penonton yang sudah mendukungnya. Hal-hal semacam
ini tentunya membuat K merasa stress dan cemas yang terkadang sulit untuk
dikendalikan.

b) Pembahasan/analisa kasus
Walaupun sudah terbukti punya beragam manfaat dan memberikan
keuntungan bagi banyak pihak, saat ini esports masih sering diremehkan. Padahal
dalam banyak penelitian, para atlet esports terbukti merasakan efek yang sama
dengan atlet dari olahraga fisik pada umumnya.
Baru-baru ini University of Chichester, Inggris, baru saja merilis jurnal
penelitian mengenai tingkat stres pada atlet esports. Hasilnya, para atlet yang
bermain game ini terbukti mendapatkan tingkat stres yang sama dengan atlet dari
cabang olahraga lain. Penelitian ini menemukan bahwa para pro-player seringkali
mendapat tekanan yang serupa saat sedang bertanding. Ada sebanyak 51 faktor

12
stres yang berhasil ditemukan dari para pro-player. Misalnya adalah masalah
komunikasi, demam panggung, dan beberapa kekhawatiran lainnya. Terutama
adalah rasa takut tampil buruk di depan banyak penonton yang sudah mendukung
mereka. Hal-hal semacam ini juga sangat umum ditemukan pada para atlet
olahraga lain seperti sepak bola, rugby, bola basket, ataupun olahraga lain yang
punya banyak penggemar. Tingkat stres semacam ini juga bisa mempengaruhi
performa si atlet saat sedang bertanding. Akibat paling buruknya adalah serangan
terhadap kesehatan mental para atlet.
Menurut University of Chichester, para atlet esports juga harus mendapatkan
pendampingan fisik dan mental yang setara dengan atlet olahraga lainnya. Untuk
itu University of Chichester menawarkan program pelatihan khusus bagi atlet
esports. Program yang berlangsung selama 3 tahun ini akan menjelaskan dampak
esports bagi fisik maupun mental, program latihan yang tepat, nutrisi yang
dibutuhkan, serta strategi. Untungnya saat ini sudah banyak organisasi esports
besar dunia yang sadar dengan pentingnya menjaga kesehatan para atlet mereka.

13
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Arousal merupakan suatu gejala yang menunjukkan adanya peningkatan aktivitas
fisiologis dan psikologis dalam diri seseorang. Terdapat tingkat arousal paling rendah
dan tingkat arousal paling tinggi yang dapat dialami oleh seseorang, sehingga di antara
kedua tingkat tersebut diperoleh pola atau derajat arousal. Ciri-ciri seseorang mengalami
arousal adalah otot sangat tegang dan kaku, denyut jantung cepat, nafas tidak teratur,
tekanan darah meningkat, dan lain sebagainya. Terdapat hubungan yang cukup unik
antara arousal dengan penampilan atlet atau performanya, pada awalnya kecemasan
menjadi salah satu pemicu terjadinya arousal, namun disisi lain arousal yang berlebih
akan menyebabkan bertambahnya tingkat kecemasan yang sedang dialami oleh seorang
atlet.
Sedangkan stres merupakan keadaan ketika seseorang merasa ketidaknyamanan
mental dan batin yang disebabkan oleh perasaan tertekan. Stres bersifat individu dan pada
dasarnya bersifat merusak bila tidak adanya keseimbangan antara daya tahan mental
individu dengan beban stres yang dirasakan. Jenis stres menurut Quick dan Quick (2012)
dibedakan menjadi dua, yaitu Eustress dan distress. Sedangkan stress dapat bersumber
dari dalam dan luar diri individu. Gejala stres pada atlet dapat dikategorikan menjadi 5
kelompok menurut Hidayati (2021), yaitu sifat fisik, emosional, mental, spiritual, atau
relasional. Dan yang terakhir adalah kecemasan.
Kecemasan adalah kondisi psikologis seseorang yang penuh dengan rasa takut dan
khawatir, dimana perasaan takut dan khawatir akan sesuatu hal yang belum pasti akan
terjadi.

14
B. Saran
Dengan dibuatnya makalah ini, diharapkan dapat menambah literatur terkait arousal,
stres, dan kecemasan pada atlet dalam dunia olahraga. Penulis juga berharap dengan
adanya makalah ini, dapat membuat pembaca tertarik dengan topik yang ada pada
makalah. Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam pembuatan
makalah ini. Sehingga, penulis menerima saran serta kritik untuk makalah ini agar ke
depannya dapat lebih baik lagi.

15
DAFTAR PUSTAKA

Rohmansyah, N. A. (2017). Hubungan kegairahan (arousal) dengan performa olahraga.


Jendela Olahraga, 2(2), 59 - 69. https://doi.org/10.26877/jo.v2i2.1703
Ningsih, M. F. (2017). Pengaruh kondisi stress terhadap coping stress pada atlet provinsi
kalimantan timur sebelum menghadapi pekan olahraga nasional. MOTIVASI, 4(1),
91-104.
Hidayati, L., & Harsono, M. (2021). Tinjauan literatur mengenai stres dalam organisasi.
Jurnal Ilmu Manajemen, 18(1), 20-30.
Komarudin. (2020). Coping stress dalam olahraga kompetitif.
https://www.scribd.com/doc/71822792/52-Coping-Stress-Dalam-Olahraga-
Kompetitif

iii

Anda mungkin juga menyukai