Anda di halaman 1dari 39

LAPORAN ASUHAN KEPERAWATAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN Ny. S 41 Thn P1102 Ab100 POST SECTIO
CAESAREA MOW II DENGAN INDIKASI PE DI RUANG BRAWIJAYA RSUD
KANJURUHAN KABUPATEN MALANG

DEPARTEMEN
KEPERAWATAN MATERNITAS

OLEH :
Nama : Friski Ayu Lestari Putri
NIM : 202210461011051

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2023
LEMBAR PENGESAHAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN Ny. S 41 Thn P1102 Ab100 POST SECTIO
CAESAREA MOW II DENGAN INDIKASI PE DI RUANG BRAWIJAYA RSUD KANJURUHAN
KABUPATEN MALANG

DEPARTEMEN
KEPERAWATAN MATERNITAS
KELOMPOK 14

NAMA: Friski Ayu Lestari Putri


NIM: 202210461011051
TANGGAL PRAKTEK/MINGGU KE 1 : 9 - 14 JANUARI 2023

Malang, Januari 2023


Pembimbing Lahan Pembimbing Institusi

( ) ( Henny Dwi Susanti. M. Kep., Sp.Mat., PhD.)


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Definisi Sectio Caesarea

Sectio Caesarea adalah prosedur pembedahan yang digunakan untuk melahirkan bayi melalui

sayatan yang dibuat pada perut dan rahim ibu (Penny, Janet, dan Ann, 2008). Sectio Caesarea adalah

suatu persalinan buatan dimana janin dilahirkan melalui suatu insisi pada dinding depan perut dan

dinding rahim dengan syarat rahim dalam keadaan utuh serta berat janin diatas 500 gram (Sarwono,

2009).

Sectio Caesarea adalah sebuah bentuk melahirkan anak dengan melakukan sebuah irisan

pembedahan yang menembus abdomen seorang ibu dan uterus untuk mengeluarkan satu bayi atau

lebih. Cara ini biasanya dilakukan ketika kelahiran melalui vagina akan mengarah pada komplikasi-

komplikasi kendati cara ini semakin umum sebagai pengganti kelahiran normal (Mitayani, 2012).

Sectio Caesarea merupakan suatu persalinan buatan, yaitu janin dilahirkan melalui insisi pada dinding

perut dan dinding rahim dengan syarat rahim dalam keadaan utuh serta bobot janin diatas 500

gram (Solehati, 2015).

1.2 Etiologi Sectio Caesarea

Menurut Amin & Hardi (2013) operasi Sectio Caesarea dilakukan atas indikasi sebagai

berikut :

1. Indikasi yang berasal dari ibu

Yaitu pada primigravida dengan kelainan letak, Cefalo Pelvik Disproportion (disproporsi

janin/ panggul), ada sejarah kehamilan dan persalinan yang buruk, ketidakseimbangan

ukuran kepala bayi dan panggul ibu, keracunan kehamilan yang parah, komplikasi kehamilan

yaitu pre eklampsia dan eklampsia berat, atas permitaan, kehamilan yang disertai penyakit

(jantung, DM), gangguan perjalanan persalinan (kista ovarium, mioma uteri dan sebagainya).

2. Indikasi yang berasal dari janin


Fetal distress/ gawat janin, mal persentasi dan mal posisi kedudukan janin seperti bayi yang

terlalu besar (giant baby), kelainan letak bayi seperti sungsang dan lintang, kelainan tali pusat

dengan pembukaan kecil seperti prolapsus tali pusat, terlilit tali pusat, adapun faktor

plasenta yaitu plasenta previa, solutio plasenta, plasenta accreta, dan vasa previa. kegagalan

persalinan vakum atau forseps ekstraksi, dan bayi kembar (multiple pregnancy).

Sedangkan menurut Sagita (2019), indikasi ibu dilakukan Sectio Caesarea adalah ruptur uteri

iminen, perdarahan antepartum, ketuban pecah dini. Sedangkan indikasi dari janin adalah fetal

distres dan janin besar melebihi 4.000 gram> Dari beberapa faktor Sectio Caesarea diatas dapat

diuraikan beberapa penyebab sectio sebagai berikut :

1. CPD (Chepalo Pelvik Dispropotion) adalah ukuran lingkar panggul ibu tidak sesuai dengan ukuran

kepala janin yang dapat menyebabkan ibu tidak dapat melahirkan secara normal. Tulang-

tulang panggul merupakan susunan beberapa tulang yang membentuk rongga panggul yang

merupakan jalan yang harus dilalau oleh janin ketikaakan lahir secara normal. Bentuk panggul

yang menunjukkan kelainan atau panggul patologis juga dapat menyebabkan kesulitan dalam

proses persalinan normal sehingga harus dilakukan tindakan operasi. Keadaan patologis

tersebut menyebabkan bentuk rongga panggul menjadi asimetris dan ukuran-ukuran bidang

panggul menjadi abnormal.

2. PEB (Pre-Eklamasi Berat) adalah kesatuan penyakit yang langsung disebabkan oleh

kehamilan, sebab terjadinya masih belum jelas. Setelah perdarahan dan infeksi, preeklamsi

dan eklamsi merupakan penyebab kematian maternatal dan perinatal paling penting dalam

ilmu kebidanan. Karena itu diagnosa dini amatlah penting, yaitu mampu mengenali dan

mengobati agar tidak berlanjut menjadi eklamsi.

3. KDP (Ketuban Pecah Dini) adalah pecahnya ketuban sebelum terdapat tanda persalinan dan

ditunggu satu jam belum terjadi inpartus. Sebagian besar ketuban pecah dini adalah hamil

aterm di atas 37 minggu.

4. Bayi kembar, tak selamanya bayi kembar dilahirkan secara Sectio Caesarea. Hal ini karena
kelahiran kembar memiliki resiko terjadi komplikasi yang lebih tinggi daripada kelahiran satu

bayi. Selain itu, bayi kembar pun dapat mengalami sungsang atau salah letak lintang sehingga

sulit untuk dilahirkan secara normal.

5. Faktor hambatan jalan lahir, adanya gangguan pada jalan lahir, misalnya jalan lahir yang tidak

memungkinkan adanya pembukaan, adanya tumor dan kelainan bawaan pada jalan lahir, tali

pusat pendek dan ibu sulit bernafas.

6. Kelainan Letak Janin

a. Kelainan pada letak kepala

1) Letak kepala tengadah, bagian terbawah adalah puncak kepala, pada pemerikasaan

dalam teraba UUB yang paling rendah. Etiologinya kelainan panggul, kepala

bentuknya bundar, anaknya kecil atau mati, kerusakan dasar panggul.

2) Presentasi muka, letak kepala tengadah (defleksi), sehingga bagian kepala yang terletak

paling rendah ialah muka. Hal ini jarang terjadi, kira-kira 0,27-0,5 %. Presentasi dahi,

posisi kepala antara fleksi dan defleksi, dahi berada pada posisi terendah dan tetap

paling depan. Pada penempatan dagu, biasnya dengan sendirinya akan berubah

menjadi letak muka atau letak belakang kepala.

b. Letak sungsang merupakan keadaan dimana janin terletak memanjang dengan kepala

difundus uteri dan bokong berada di bagian bawah kavum uteri. Dikenal beberapa jenis

letak sungsang, yakni presentasi bokong, presentasi bokong kaki sempurna, presentasi

bokong tidak sempurna dan presentasi kaki


1.3 Kontraindikasi Sectio Caesarea

Menurut Rasjidi (2009) kontraindikasi dari sectio caesarea adalah :

1. Janin mati

2. Syok

3. Anemia berat

4. Kelainan kongenital berat

5. Infeksi piogenik pada dinding abdomen

6. Minimnya fasilitas operasi sectio caesarea

1.4 Manifestasi Klinis Sectio Caesarea

Menurut Martowirjo (2018), manifestasi klinis pada klien dengan post Sectio Caesarea

antara lain :

1. Kehilangan darah selama prosedur pembedahan 600-800 ml.

2. Terpasang kateter, urin jernih dan pucat.

3. Abdomen lunak dan tidakada distensi.

4. Bising usus tidak ada.

5. Ketidaknyamanan untuk menghadapi situasi baru

6. Balutan abdomen tampak sedikit noda.

7. Aliran lokhia sedang dan bebas bekuan, berlebihan dan banyak

1.5 Patofisiologi Sectio Caesarea

Adanya beberapa kelainan/hambatan pada proses persalinan yang menyebabkan bayi

tidak dapat lahir secara normal/spontan, misalnya karena ketidakseimbangan ukuran kepala bayi

dan panggul ibu, keracunan kehamilan yang parah, pre eklampsia dan eklampsia berat, kelainan

letak bayi seperti sungsang dan lintang, kemudian sebagian kasus mulut rahim tertutup plasenta

yang lebih dikenal dengan plasenta previa, bayi kembar, kehamilan pada ibu yang berusia lanjut,

persalinan yang berkepanjangan, plasenta keluar dini, ketuban pecah dan bayi belum keluar dalam

24 jam, kontraksi lemah dan sebagainya. Kondisi tersebut menyebabkan perlu adanya suatu
tindakan pembedahan yaitu Sectio Caesarea. (Sari, 2016)

1.6 Pathway Sectio Caesarea

Plasenta previa, rupture Section caesarea


sentralis dan lateralis, panggul
sempit, pre-eklamsia, partus
lama

Post anestesi Luka post operasi

Penurunan medulla Penurunan kerja pons Jaringan terputus Jaringan terbuka


oblongata

Merangsang area Proteksi kurang


Penurunan refleksi Penurunan kerja otot sensorik
batuk eliminasi

Gangguan rasa Invasi bakteri


Akumulasi sekret Penurunan peristaltik
nyaman
usus

Bersihan jalan Konstipasi Nyeri Resiko infeksi


nafas tidak efektif

1.7 Klasifikasi Sectio Caesarea

Bentuk pembedahan Sectio Caesarea menurut Manuaba (2012), meliputi :

1. Sectio Caesarea Klasik

Sectio Caesarea Klasik dibuat vertikal pada bagian atas rahim. Pembedahan dilakukan dengan

sayatan memanjang pada korpus uteri kira-kira sepanjang 10 cm. Tidak dianjurkan untuk

kehamilan berikutnya melahirkan melalui vagina apabila sebelumnya telah dilakukan

tindakan pembedahan ini.


2. Sectio Caesarea Transperitonel Profunda

Sectio Caesarea Transperitonel Profunda disebut juga low cervical yaitu sayatan vertikal pada

segmen lebih bawah rahim. Sayatan jenis ini dilakukan jika bagian bawah rahim tidak

berkembang atau tidak cukup tipis untuk memungkinkan dibuatnya sayatan transversal.

Sebagian sayatan vertikal dilakukan sampai ke otot-otot bawah rahim.

3. Sectio Caesarea Histerektomi

Sectio Caesarea Histerektomi adalah suatu pembedahan dimana setelah janin dilahirkan dengan

Sectio Caesarea, dilanjutkan dengan pegangkatan rahim.

4. Sectio Caesarea Ekstraperitoneal

Sectio Caesarea Ekstraperitoneal, yaitu Sectio Caesarea berulang pada seorang pasien yang

sebelumnya melakukan Sectio Caesarea. Biasanya dilakukan di atas bekas sayatan yang lama.

Tindakan ini dilakukan dengan insisi dinding dan fasia abdomen sementara peritoneum

dipotong ke arah kepala untuk memaparkan segmen bawah uterus sehingga uterus dapat

dibuka secara ekstraperitoneum.

1.8 Komplikasi Sectio Caesarea

Menurut Jitowiyono & Kristiyanasari (2012) komplikasi Sectio Caesarea adalah sebagai

berikut :

1. Infeksi Peurperal

Komplikasi ini bersifat ringan, seperti kenaikan suhu selama beberapa hari dalam masa nifas,

bersifat berat seperti peritonitis, sepsis dan sebagainya.

2. Perdarahan

Perdarahan banyak bisa timbul pada waktu pembedahan jika cabang-cabang arteri ikut

terbuka. Darah yang hilang lewat pembedahan Sectio Caesarea dua kali lipat dibanding lewat

persalinan normal.

3. Komplikasi-komplikasi lain seperti luka kandung kemih, dan embolisme paru.

4. Suatu komplikasi yang baru kemudian tampak ialah kurang kuatnya parut pada dinding uterus,
sehingga pada kehamilan berikutnya bisa terjadi ruptur uteri. Kemungkinan peristiwa ini lebih

banyak ditemukan sesudah Sectio Caesarea Klasik.

Persalinan Sectio Caesarea juga dapat menimbulkan masalah keperawatan pada ibu

diantaranya nyeri bekas luka operasi, kelemahan, kerusakan integritas kulit, hambatan mobilitas

fisik, resiko infeksi, gangguan pola tidur.

1.9 Penatalaksanaan Post Op Sectio Caesarea

Menurut (Hartanti, 2014), ibu post sectio caesarea perlu mendapatkan perawatan sebagai

berikut :

1. Ruang Pemulihan

Pasien dipantau dengan cermat jumlah perdarahan dari vagina dan dilakukan palpasi fundus

uteri untuk memastikan bahwa uterus berkontraksi dengan kuat. Selain itu, pemberian cairan

intravena juga dibutuhkan karena 6 jam pertama penderita puasa pasca operasi, maka

pemberian cairan intravena harus cukup banyak dan mengandung elektrolit agar tidak terjadi

hipotermi, dehidrasi, atau komplikasi pada organ tubuh lainnya. Wanita dengan berat badan

rata-rata dengan hematokrit kurang dari atau sama dengan 30 dan volume darah serta cairan

ekstraseluler yang normal umumnya dapat mentoleransi kehilangan darah sampai 2.000 ml.

2. Ruang Perawatan

a. Monitor tanda-tanda vital

Tanda-tanda vital yang perlu di evaluasi adalah tekanan darah, nadi, suhu, pernafasan,

jumlah urine, jumlah perdarahan, dan status fundus uteri.

b. Pemberian obat-obatan

Analgesik dapat diberikan paling banyak setiap 3 jam untuk menghilangkan nyeri seperti,

Tramadol, Antrain, Ketorolak. Pemberian antibiotik seperti Ceftriaxone, Cefotaxime, dan

sebagainya.

c. Terapi Cairan dan Diet

Pemberian cairan intravena, pada umumnya mendapatkan 3 liter cairan memadai untuk
24 jam pertama setelah dilakukan tindakan, namun apabila pengeluaran urine turun,

dibawah 30 ml/jam, wanita tersebut harus segera dinilai kembali. Cairan yang biasa

diberikan biasanya DS 1%, garam fisiologi dan RL secara bergantian dan jumlah tetesan

tergantung kebutuhan. Bila kadar Hb rendah dapat diberikan transfusi darah sesuai

kebutuhan. Pemberian cairan infus biasanya dihentikan setelah penderita flatus, lalu

dianjurkan untuk pemberian minuman dan makanan peroral. Pemberian minuman

dengan jumlah yang sedikit sudah boleh dilakukan pada 6-8 jam pasca operasi, berupa air

putih.

d. Pengawasan fungsi vesika urinaria dan usus

Kateter umumnya dapat dilepas dalam waktu 12 jam pasca operasi atau keesokan paginya

setelah pembedahan dan pemberian makanan padat bisa diberikan setelah 8 jam, bila tidak

ada komplikasi.

e. Ambulasi

Ambulasi dilakukan 6 jam pertama setelah operasi harus tirah baring dan hanya bisa

menggerakan lengan, tangan, menggerakan ujung jari kaki dan memutar pergelangan kaki,

mengangkat tumit, menegangkan otot betis serta menekuk dan menggeser kaki. Setelah 6

jam pertama dapat dilakukan miring kanan dan kiri. Latihan pernafasan dapat dilakukan

sedini mungkin setelah ibu sadar sambil tidur telentang. Hari kedua post operasi, pasien

dapat didudukkan selama 5 menit dan diminta untuk bernafas dalam lalu

menghembuskannya. Pasien dapat diposisikan setengah duduk atau semi fowler.

Selanjutnya pasien dianjurkan untuk belajar duduk selama sehari, belajar berjalan, dan

kemudian berjalan sendiri pada hari ke tiga sampai hari ke lima pasca operasi.

f. Perawatan Luka

Luka insisi diperiksa setiap hari dan jahitan kulit, bila balutan basah dan berdarah harus

segera dibuka dan diganti. Perawatan luka juga harus rutin dilakukan dengan
menggunakan prinsip steril untuk mencegah luka terinfeksi.

g. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan darah diperlukan setiap pagi hari setelah pembedahan, untuk mengukur

Hematokrit apabila terdapat kehilangan darah yang banyak pada saat pembedahan atau

terjadi oliguria atau tanda-tanda lain yang mengisyaratkan hipovolemia.

h. Menyusui

Menyusui dapat dimulai pada hari pasca operasi Sectio Caesarea.

1.10 Pemeriksaan Penunjang Sectio Caesarea

Menurut Martowirjo (2018), pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada ibu Sectio

Caesarea adalah sebagai berikut :

1. Hitung darah lengkap.

2. Golongan darah (ABO),dan pencocokan silang, tes Coombs Nb.

3. Urinalisis : menentukn kadar albumin/glukosa.

4. Pelvimetri : menentukan CPD.

5. Kultur : mengidentifikasi adanya virus heres simpleks tipe II.

6. Ultrasonografi : melokalisasi plasenta menetukan pertumbuha,kedudukan, dan presentasi

janin.

7. Amniosintess : Mengkaji maturitas paaru janin.

8. Tes stres kontraksi atau non-stres : mengkaji respons janin terhadap gerakan/stres dari pola

kontraksi uterus/pola abnormal.

9. Penetuan elektronik selanjutnya :memastikan status janin/aktivitas uterus.

1.11 Diagnosa Keperawatan Sectio Caesarea

No SDKI SLKI SIKI


1 Bersihan Jalan Setelah dilakukan tindakan Latihan Batuk Efektif
Napas Tidak keperawatan 3x24 jam
Efektif diharapkan Bersihan 1. Observasi
▪ Identifikasi kemampuan batuk
Jalan Napas membaik ▪ Monitor adanya retensi sputum
dengan kriteria hasil: ▪ Monitor tanda dan gejala infeksi
saluran napas
1. Produksi sputum ▪ Monitor input dan output cairan (
menurun mis. jumlah dan karakteristik)
2. Mengi menurun 2. Terapeutik
3. Wheezing menurun ▪ Atur posisi semi-Fowler atau Fowler
▪ Pasang perlak dan bengkok di
pangkuan pasien
▪ Buang sekret pada tempat sputum
3. Edukasi
▪ Jelaskan tujuan dan prosedur batuk
efektif
▪ Anjurkan tarik napas dalam melalui
hidung selama 4 detik, ditahan
selama 2 detik, kemudian keluarkan
dari mulut dengan bibir mencucu
(dibulatkan) selama 8 detik
▪ Anjurkan mengulangi tarik napas
dalam hingga 3 kali
▪ Anjurkan batuk dengan kuat
langsung setelah tarik napas dalam
yang ke-3
4. Kolaborasi
▪ Kolaborasi pemberian mukolitik
atau ekspektoran, jika perlu

2. Konstipasi Eliminasi Fekal (L. Manajemen Eleminasi Fekal (I. 08238)


04033)
Observasi:
Setelah dilakukan
intervensi selama 1x4 jam - Identifikasi maslah usus dan penggunaan
maka Eliminasi Fekal obat pencahar
membaik, dengan kriteria - Identifikasi pengobatan yang berefek pada
hasil : kondisi gastrointestinal
Terapeutik:
1.Distensi Abdomen 4
(cukup menurun) - Berikan air hangat setelah makan
Edukasi
2. Peristaltik usus 4 (cukup
membaik) - Anjurkan makanan yang mengandung
banyak serat
- Ajurkan meningkatkan asupan cairan
Kaloborasi

▪ Kaloborasi pemberian obat

3 Nyeri Akut Tingkat nyeri (L. 08066) Manajemen nyeri (I. 08238)
Setelah dilakukan Observasi:
intervensi selama 1x4 jam
maka Tingkat nyeri
menurun, dengan kriteria - Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
hasil : frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
- Identifikasi skala nyeri
1. Keluhan nyeri 4
- Identifikasi respon nyeri non verbal
(cukup menurun) - Identifikasi factor yang memperberat dan
memperingan nyeri
2. Meringis 4
Terapeutik:
(cukup menurun)
Berikan teknik nonfarmakologi untuk
3. Pola Nafas 4 mengurangi rasa nyeri (nafas dalam)
(cukup membaik)

4 Resiko Infeksi Tingkat Infeksi (L. Pencegahan Infeksi (I.14539)


14137)
Observasi
Setelah dilakukan
intervensi selama 1x4 - Pemantauan tanda vital Kaji tanda-tanda
jam maka Tingkat infeksi ; suhu tubuh, nyeri dan perdarahan
Infeksi menurun, - Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik
dengan kriteria hasil : dan lokal
Terapeutik
1. Nyeri (Cukup
Menurun) - Mencuci tangan sebelum dan sesudah
setiap melakukan kegiatan perawatan
pasien.
- Cuci Tangan sebelum dan sesudah kontak
psien dan lingkungan
- Membatasi pengunjung
Edukasi
- Mengajarkan pasien dan keluarga tentang
tanda dan gejala infeksi
- Mengajarkan pasien merawat luka.
- Ajarkan mencuci tangan yang benar
2.1 Definisi Preeklamsi

Preeklamsi adalah suatu kondisi spesifik kehamilan, setelah umur kehamilan 20 minggu atau

segera setelah persalinan pada wanita yang sebelumnya memiliki tekanan darah normal. Umumnya

terjadi pada trimester ke III, kenaikan tekanan sistolik harus 30 mmHg atau lebih di atas tekanan yang

biasanya, atau mencapai 140 mmHg atau lebih. Tekanan sistolik meningkat lebih 15 mmHg atau lebih

atau mencapai 90 mmHg dan adanya 300 mg atau lebih protein urine per 24 jam atau 30 mg/dL (1+

pada dipstik) dalam sampel urine acak. Derajat proteinuria dapat sangat berfluktuasi dalam periode 24

jam (Prawiroharjo, 2009) (Bobak, 2004) (Leveno, 2009).

2.2 Etiologi

Teori tentang etiologi preeklamsi meliputi mekanisme imunologis, predisposisi genetik,

defisiensi diet, keberadaan senyawa vasoaktif, dan disfungsi endotelial. Beberapa ahli berpendapat

bahwa plasentasi abnormal berperan dalam hal ini. Pada kehamilan normal, arteri spiral plasenta

membentang melalui sepertiga dinding miometrium. Pada kehamilan preeklamsi, arteri spiral plasenta

tidak cukup kuat menginvasi dinding uterus (Sinclair, 2009). Penyebab timbulnya preeklampsia pada

ibu hamil belum diketahuisecara pasti, tetapi pada umumnya disebabkan oleh vasospasme arteriola

(Maryunani, 2009).

Etiologi preeklampsia sampai saat ini belum diketahui dengan pasti. Banyak teori-teori yang

dikemukakan oleh para ahli yang mencoba menerangkan penyebabnya, oleh karena itu disebut

(penyakit teori), namun belum ada yang memberikan jawaban yang memuaskan. Adapun teori-teori

tersebut menurut (Prawiroharjo, 2009) adalah :

1. Teori genetik

Berdasarkan teori ini, komplikasi hipertensi pada kehamilan dapat diturunkan pada anak

perempuannya sehingga sering terjadi hipertensi sebagai komplikasi kehamilannya.

2. Teori imunologis
Hasil konsepsi merupakan allegraf atau benda asing tidak murni karena sebagian genetiknya

berasal dari sel maternal, sehingga sebagian besar kehamilan berhasil dengan baik sampai aterm

dan mencapai well health mother dan well born baby. Unsure benda asing hanya berasal dari pihak suami

sehingga terdapat beberapa kemungkinan terhadap hasil konsepsi:

a. Terjadi adaptasi sempurna

b. Terjadi penolakan total terhadap hasil konsepsi

c. Terjadi kegagalan invasi-migrasi sel trofoblas masuk ke dalam arteri miometrium. Hal ini dapat

menyebabkan arterioli tidak dipengaruhi oleh sistem hormonal plasenta untuk dapat

mendukung tumbuh kembang janin dalam rahim.

3. Teori iskemia region uteroplasenter

Teori ini merupakan teori yang sekarang dipakai sebagai penyebab preeclampsia. Seperti

dikemukakan bahwa pada kehamilan normal, arteria spiralis yang terdapat pada desidua mengalami

pergantian sel dengan trofoblas endovascular yang akan menjamin lumennya tetap terbuka untuk

memberikan aliran darah tetap, nutrisi cukup dan O2 seimbang. Destruksi penggantian ini

seharusnya pada trimester pertama, yaitu minggu ke 16 dengan perkiraan pembentukan plasenta

telah berakhir.

Invasi endovascular trofoblas terus berlangsung pada trimester kedua dan masuk ke dalam

arteria miometrium. Hal ini menyebabkan pelebaran dan tetap terbukanya arteri sehingga

kelangsungan aliran darah, nutrisi dan O2 tetap terjamin. Hal tersebut diperlukan untuk tumbuh

kembang janin dalam rahim.

Invasi trimester kedua pada preeklamsia dan eklamsia tidak terjadi sehingga hambatan pada

saat memerlukan tambahan aliran darah untuk memberikan nutrisi dan O2 dan menimbulkan

situasi iskemia regio uteroplasenter pada sekitar minggu ke-20. Keadaan ini dapat menerangkan

bahwa preeklamsia-eklamsia baru akan terjadi mulai minggu ke-20 kehamilan

Pada kehamilan normal terjadi pembentukan prostasiklin dominan oleh plasenta,

khususnya endothelium pembuluh darah dan korteks renalis. Dengan dominannya prostasiklin,
vasodilatasi pembuluh darah akan terjadi sehingga aliran darah menuju sirkulasi retroplasenter

terjamin untuk memberikan nutrisi dan O2.

Selain itu, dibentuk juga tromboksan A2 oleh sel trofoblas dan trombosit yang berfungsi

menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah. Oleh karena itu, autoregulasi aliran darah menuju

sirkulasi retroplasenter dikendalikan oleh perimbangan prostasiklin (vasodilatasi) dan tromboksan

A2 (vasoknstriksi) sehingga aliran darah relative konstan.

4. Teori kerusakan endotel pembuluh darah

Kerusakan sel endotel vaskuler maternal memiliki peranan penting dalam patogenesis

terjadinya preeklampsia. Fibronektin dilepaskan oleh sel endotel yang mengalami kerusakan dan

meningkat secara signifikan dalam darah wanita hamil dengan preeklampsia. Kenaikan kadar

fibronektin sudah dimulai pada trimester pertama kehamilan dan kadar fibronektin akan meningkat

sesuai dengan kemajuan kehamilan

5. Teori diet

Peranan kalsium dalam hipertensi dalam kehamilan sangat penting diperhatikan karena

kekurangan kalsium dalam diet dapat memicu terjadinya hipertensi. Kalsium berfungsi untuk

membantu pertumbuhan tulang dan janin, mempertahankan konsentrasi dalam darah pada

aktivitas kontraksi otot. Kontraksi otot pembuluh darah sangat penting karena dapat

mempertahankan tekanan darah. Kekurangan kalsium berkepanjangan akan menyebabkan

ditariknya kalsium dari tulang dan otot. Keluarnya kalsium dari otot dapat menimbulkan:

a. Kelemahan otot jantung yang melemahkan stroke volume

b. Kelemahan otot pembuluh darah yang menimbulkan vasokonstriksi sehingga terjadi

hipertensi.

2.3 Manifestasi klinik

Menurut (Bobak, 2004) (Sinclair, 2009):

1. Pre Eklamsia Ringan


a. Bila tekanan sistolik > 140mmHg kenaikan 30 mmHg di atas tekanan biasa, tekanan diastolic

90mmHg, kenaikan 14mmHg diatas tekanan biasa,tekanan darah yang meninggi ini

sekurangnya diukur 2x dengan jarak 6jam.

b. Proteinuria sebesar 300mg/dl dalam 24 jam atau > 1gr/I secara random ddengan memakai

contoh urin siang hari yang dikumpulkan pada dua waktu dengan jarak 6jam karena kehilangan

protein adalah variasi

c. Edema dependent, bengkak dimata, wajah, jari, bunyi pulmonal tidak terdengar. Edema timbul

dengan didahului penambahan berat badan 1/2kg/> 1 kg dalam seminggu atau lebih.

Tambahan berat badan yang banyak ini disebabkan retensi air dalam jaringan dan kemudian

baru edema namapak, edema ini tidak hilang dengan istirahat

2. Pre eklamsia berat

a. Tekanan darah sistolik ≥ 160mmHg dan diastolic > 110mmHg pada 2 kali pemeriksaan yang

setidaknya berjarak 6 jam dengan ibu posisi tirah baring

b. Proteinuria ≥ 5gr dalam urine 24 jam atau > +3 pada pemeriksaan diagnostic setidaknya pada

2 kali pemriksaan acak menggunakan contoh urin yang diperoleh cara bersih dan berjarak

setidaknya 4 jam

c. Oliguria < 400ml dalam 24jam

d. Gangguan otak atau gangguan penglihatan

e. Nyeri ulu hati

f. Edema paru atau sianosis

3. Eklamsia

a. Kejang-kejang/ koma

b. Nyeri kepala didaerah frontal

c. Nyeri epigastrium

d. Penglihatan semakin kabur

e. Mual, muntah
2.4 Patofisiologi

Pada preeklampsia terjadi spasme pembuluh darah disertai dengan retensi garam dan air. Pada

biopsi ginjal ditemukan spasme hebat arteriola glomerulus. Pada beberapa kasus, lumen arteriola

sedemikian sempitnya sehingga hanya dapat dilalui oleh satu sel darah merah. Jadi jika semua arteriola

dalam tubuh mengalami spasme, maka tekanan darah akan naik sebagai usaha untuk mengatasi

tekanan perifer agar oksigenasi jaringan dapat dicukupi. Sedangkan kenaikan berat badan dan edema

yang disebabkan oleh penimbunan air yang berlebihan dalam ruangan interstitial belum diketahui

sebabnya, mungkin karena retensi air dan garam. Proteinuria dapat disebabkan oleh spasme arteriola

sehingga terjadi perubahan pada glomerulus Mochtar,1998 dalam (Rini, 2009).

Mekanisme terjadinya hipertensi adalah terbentuknya angiotensin atau renin yang bisa

mengubah angiotensi I dan II atau angiotensin converting enzyme (ACE). ACE memgang peran fisiologis

yang penting dalam mengatur tekanan darah, mengandung angiotensinogen yang diproduksi di hati.

Selanjutnya oleh hormon renin akan diubah angiotensin I yang terdapat di ginjal. Kemudian diubah

lagi menjadi angiotensin II oleh ACE yang terdapat di paru-paru, angiotensin II inilah yang memiliki

peranan dalam menaikan tekanan darah abidin, 2009 dalam (Kustiyaningrum, 2012). Selain itu, adanya

terdapat volume cairan ekstraseluler akan diencerkan dengan menarik cairan meningkatkan terjadinya

diuresis. Akibatnya, volume meningkat yang pada akhirnya akan meningkatkan tekanan darah

Suheimi, 2009 dalam (Kustiyaningrum, 2012).

2.5 Penatalaksanaan

Menurut (Bobak, 2004), (Prawiroharjo, 2009):

1. Tujuan pengobatan

a. Menurunkan tekanan darah dan menghasilkan vasopasme

b. Mencegah terjadinya eklamsia

c. Anak hidup dengan memungkinkan hidup yang besar

d. Persalinan harus dengan trauma yang sedikit jangan sampai menyebabkan penyakit pada

kehamilan dan persalinan berikutnya


e. ,mencegah timbulnya kejang

f. Mencegah hipertensi yang menetap

2. Dasar pengobatan

a. Istirahat

b. Diet rendah garam

c. Obat-obat anti hipertensi

d. Luminal 100mg (IM)

e. Sedative (untuk mencagah timbulnya kejang)

f. Induksi persalinan

3. Pengobatan jalan (di rumah)

a. TD ≤ 140/90mmHg

b. Proteinuria positif kuat

c. Penambahan berat badan 1kg/lebih dalam 1 minggu harus dilakukan observasi yang teliti.

d. Sakit kepala, gejala, penglihatan dan edema jaringan dan kelopak mata

e. Berat badan ditimbang 2x sehari

f. TD diukur 4jam sekali

g. Cairan yang masuk dan keluar di catat

h. Pemeriksaan urine tiap hari, proteinuria ditentukan kuantitatif

i. Pemeriksaan darah

j. Makanan yang sedikit mengandung garam

k. Sebagai pengobatan diberikan luminal 4x30MgSO4 kalau ada edema dapat diberikan NH4CI

+ 4gr sehari tapi jangan lebih dari 3 hari


3.1 Definisi Masa Nifas

Masa nifas atau masa puerperium adalah masa setelah persalinan selesai sampai 6 minggu

atau 42 hari. Selama masa nifas, organ reproduksi secara perlahan akan mengalami perubahan

seperti keadaan sebelum hamil. Perubahan organ reproduksi ini disebut involus (Maritalia, 2012).

3.2 Tahapan Masa Nifas

Menurut Maritalia (2012) masa nifas dibagi menjadi 3 tahap, yaitu:

1. Puerperium dini

Puerperium dini merupakan masa pemulihan awal dimana ibu diperbolehkan untuk berdiri

dan berjalan-jalan. Ibu yang melahirkan per vagina tanpa komplikasi dalam 6 jam pertama

setelah kala IV dianjurkan untuk mobilisasi segera.

2. Puerperium intermedial

Suatu masa pemulihan dimana organ-organ reproduksi secara berangsur-angsur akan kembali

ke keadaan sebelum hamil. Masa ini berlangsung selama kurang lebih enam minggu atau 42

hari.

3. Remote puerperium

Waktu yang diperlukan untuk pulih dan sehat kembali dalam keadaan sempurna terutama bila

ibu selama hamil atau waktu persalinan mengalami komplikasi. Rentang waktu remote

puerperium berbeda untuk setiap ibu, tergantung dari berat ringannya komplikasi yang

dialami selama hamil atau persalinan.

3.3 Perubahan Fisiologi Masa Nifas

Ibu dalam masa nifas mengalami perubahan fisiologis. Setelah keluarnya plasenta, kadar

sirkulasi hormon HCG (human chorionic gonadotropin), human plasental lactogen, estrogen dan

progesteron menurun. Human plasental lactogen akan menghilang dari peredaran darah ibu

dalam 2 hari dan HCG dalam 2 mingu setelah melahirkan. Kadar estrogen dan progesteron

hampir sama dengan kadar yang ditemukan pada fase follikuler dari siklus menstruasi berturut-

turut sekitar 3 dan 7 hari. Penarikan polipeptida dan hormon steroid ini mengubah fungsi seluruh
sistem sehingga efek kehamilan berbalik dan wanita dianggap sedang tidak hamil (Walyani, 2017)

Perubahan- perubahan fisiologis yang terjadi pada ibu masa nifas menurut Maritalia (2012) dan

Walyani (2017) yaitu:

a. Uterus

Uterus merupakan organ reproduksi interna yang berongga dan berotot, berbentuk seperti

buah alpukat yang sedikit gepeng dan berukuran sebesar telur ayam. Panjang uterus sekitar 7-

8 cm, lebar sekitar 5-5,5 cm dan tebal sekitar 2, 5 cm. Letak uterus secara fisiologis adalah

anteversiofleksio. Uterus terbagi dari 3 bagian yaitu fundus uteri, korpus uteri, dan serviks

uteri. Menurut Walyani (2017) uterus berangsur- angsur menjadi kecil (involusi) sehingga

akhirnya kembali seperti sebelum hamil:

1) Bayi lahir fundus uteri setinggi pusat dengan berat uterus 1000 gr.

2) Akhir kala III persalinan tinggi fundus uteri teraba 2 jari bawah pusat dengan berat uterus

750 gr.

3) Satu minggu postpartum tinggi fundus uteri teraba pertengahan pusat dengan simpisis,

berat uterus 500 gr.

4) Dua minggu postpartum tinggi fundus uteri tidak teraba diatas simpisis dengan berat

uterus 350 gr.

5) Enam minggu postpartum fundus uteri bertambah kecil dengan berat uterus 50 gr.

Pemeriksaan uterus meliputi mencatat lokasi, ukuran dan konsistensi antara lain:

1) Penentuan lokasi uterus

Dilakukan dengan mencatat apakah fundus berada diatas atau dibawah umbilikus dan

apakah fundus berada digaris tengah abdomen/ bergeser ke salah satu sisi.

2) Penentuan ukuran uterus

Dilakukan melalui palpasi dan mengukur TFU pada puncak fundus dengan jumlah lebar

jari dari umbilikus atas atau bawah.

3) Penentuan konsistensi uterus


Ada 2 ciri konsistensi uterus yaitu uterus kerasa teraba sekeras batu dan uterus lunak.

b. Serviks

Serviks merupakan bagian dasar dari uterus yang bentuknya menyempit sehingga disebut juga

sebagai leher rahim. Serviks menghubungkan uterus dengan saluran vagina dan sebagai jalan

keluarnya janin dan uterus menuju saluran vagina pada saat persalinan. Segera setelah

persalinan, bentuk serviks akan menganga seperti corong. Hal ini disebabkan oleh korpus

uteri yang berkontraksi sedangkan serviks tidak berkontraksi. Warna serviks berubah menjadi

merah kehitaman karena mengandung banyak pembuluh darah dengan konsistensi lunak.

Segera setelah janin dilahirkan, serviks masih dapat dilewati oleh tangan pemeriksa. Setelah 2

jam persalinan serviks hanya dapat dilewati oleh 2-3 jari dan setelah 1 minggu persalinan hanya

dapat dilewati oleh 1 jari, setelah 6 minggu persalinan serviks menutup.

c. Vagina

Vagina merupakan saluran yang menghubungkan rongga uterus dengan tubuh bagian luar.

Dinding depan dan belakang vagina berdekatan satu sama lain dengan ukuran panjang ± 6, 5

cm dan ± 9 cm. Selama proses persalinan vagina mengalami penekanan serta pereganganan

yang sangat besar, terutama pada saat melahirkan bayi. Beberapa hari pertama sesudah proses

tersebut, vagina tetap berada dalam keadaan kendur. Setelah 3 minggu vagina kembali kepada

keadaan tidak hamil dan rugae dalam vagina secara berangsur- angsur akan muncul kembali.
Sesuai dengan fungsinya sebagai bagian lunak dan jalan lahir dan merupakan saluran yang

menghubungkan cavum uteri dengan tubuh bagian luar, vagina juga berfungsi sebagai saluran

tempat dikeluarkannya sekret yang berasal dari cavum uteri selama masa nifas yang disebut

lochea.

Karakteristik lochea dalam masa nifas adalah sebagai berikut:

1) Lochea rubra/ kruenta

Timbul pada hari 1- 2 postpartum, terdiri dari darah segar barcampur sisa- sisa selaput

ketuban, sel- sel desidua, sisa- sisa verniks kaseosa, lanugo dan mekoneum.

2) Lochea sanguinolenta

Timbul pada hari ke 3 sampai dengan hari ke 7 postpartum, karakteristik lochea

sanguinolenta berupa darah bercampur lendir.

3) Lochea serosa

Merupakan cairan berwarna agak kuning, timbul setelah 1 minggu postpartum.

4) Lochea alba

Timbul setelah 2 minggu postpartum dan hanya merupakan cairan putih (Walyani, 2017)

Normalnya lochea agak berbau amis, kecuali bila terjadi infeksi pada jalan lahir,

baunya akan berubah menjadi berbau busuk.

d. Vulva

Sama halnya dengan vagina, vulva juga mengalami penekanan serta peregangan yang sangat

besar selama proses melahirkan bayi. Beberapa hari pertama sesudah proses melahirkan vulva

tetap berada dalam keadaan kendur. Setelah 3 minggu vulva akan kembali kepada keadaan

tidak hamil dan labia menjadi lebih menonjol.

e. Payudara (mamae)

Setelah pelahiran plasenta, konsentrasi estrogen dan progesteron menurun, prolactin

dilepaskan dan sintesis ASI dimulai. Suplai darah ke payudara meningkat dan menyebabkan

pembengkakan vascular sementara. Air susu sata diproduksi disimpan di alveoli dan harus
dikeluarkan dengan efektif dengan cara dihisap oleh bayi untuk pengadaan dan

keberlangsungan laktasi. ASI yang akan pertama muncul pada awal nifas ASI adalah ASI yang

berwarna kekuningan yang biasa dikenal dengan sebutan kolostrum. Kolostrum telah

terbentuk didalam tubuh ibu pada usia kehamilan ± 12 minggu. Perubahan payudara dapat

meliputi:

1) Penurunan kadar progesteron secara tepat dengan peningkatan hormon prolactin setelah

persalinan.

2) Kolostrum sudah ada saat persalinan produksi ASI terjadi pada hari ke 2 atau hari ke 3

setelah persalinan

3) Payudara menjadi besar dan keras sebagai tanda mulainya proses laktasi (Walyani, 2017)

f. Tanda- tanda vital

Perubahan tanda- tanda vital menurut Maritalia (2012) dan Walyani (2017) antara lain:

1) Suhu tubuh

Setelah proses persalinan suhu tubuh dapat meningkat 0,5⁰ celcius dari keadaan normal

namun tidak lebih dari 38⁰ celcius. Setelah 12 jam persalinan suhu tubuh akan kembali

seperti keadaan semula.

2) Nadi

Setelah proses persalinan selesai frekuensi denyut nadi dapat sedikit lebih lambat. Pada

masa nifas biasanya denyut nadi akan kembali normal.

3) Tekanan darah

Setelah partus, tekanan darah dapat sedikit lebih rendah dibandingkan pada saat hamil

karena terjadinya perdarahan pada proses persalinan.

4) Pernafasan

Pada saat partus frekuensi pernapasan akan meningkat karena kebutuhan oksigen yang

tinggi untuk tenaga ibu meneran/ mengejan dan memepertahankan agar persediaan

oksigen ke janin tetap terpenuhi. Setelah partus frekuensi pernafasan akan kembali
normal.

g. Sistem peredaran darah (Kardiovaskuler)

Denyut jantung, volume dan curah jantung meningkat segera setelah melahirkan karena

terhentinya aliran darah ke plasenta yang mengakibatkan beban jantung meningkat yang dapat

diatasi dengan haemokonsentrasi sampai volume darah kembali normal, dan pembulu darah

kembali ke ukuran semula.

h. Sistem pencernaan

Pada ibu yang melahirkan dengan cara operasi (section caesarea) biasanya membutuhkan

waktu sekitar 1- 3 hari agar fungsi saluran cerna dan nafsu makan dapat kembali normal. Ibu

yang melahirkan secara spontan biasanya lebih cepat lapar karena telah mengeluarkan energi

yang begitu banyak pada saat proses melahirkan. Buang air besar biasanya mengalami

perubahan pada 1- 3 hari postpartum, hal ini disebabkan terjadinya penurunan tonus otot

selama proses persalinan. Selain itu, enema sebelum melahirkan, kurang asupan nutrisi dan

dehidrasi serta dugaan ibu terhadap timbulnya rasa nyeri disekitar anus/ perineum setiap kali

akan b.a.b juga mempengaruhi defekasi secara spontan. Faktor- faktor tersebut sering

menyebabkan timbulnya konstipasi pada ibu nifas dalam minggu pertama. Kebiasaan defekasi

yang teratur perlu dilatih kembali setelah tonus otot kembali normal.

i. Sistem perkemihan

Buang air kecil sering sulit selama 24 jam pertama. Kemungkinan terdapat spasine sfingter

dan edema leher buli- buli sesudah bagian ini mengalami kompresi antara kepala janin dan

tulang pubis selama persalinan. Urine dalam jumlah yang besar akan dihasilkan dalam waktu

12- 36 jam sesudah melahirkan. Setelah plasenta dilahirkan, kadar hormon estrogen yang

bersifat menahan air akan mengalami penurunan yang mencolok. Keadaan ini menyebabkan

diuresis. Uterus yang berdilatasi akan kembali normal dalam tempo 6 minggu.

j. Sistem integumen

Perubahan kulit selama kehamilan berupa hiperpigmentasi pada wajah, leher, mamae, dinding
perut dan beberapa lipatan sendri karena pengaruh hormon akan menghilang selama masa

nifas.

k. Sistem musculoskeletal

Ambulasi pada umumnya dimulai 4- 8 jam postpartum. Ambulasi dini sangat membantu

untuk mencegah komplikasi dan mempercepat proses involusi.

3.4 Perubahan Psikologis Masa Nifas

Pada primipara, menjadi orang tua merupakan pengalaman tersendiri dan dapat

menimbulkan stress apabila tidak ditangani dengan segera. Perubahan peran dari wanita biasa

menjadi seorang ibu memerlukan adaptasi sehingga ibu dapat melakukan perannya dengan baik.

Perubahan hormonal yang sangat cepat setelah proses melahirkan juga ikut mempengaruhi

keadaan emosi dan proses adaptasi ibu pada masa nifas. Fase- fase yang akan dialami oleh ibu

pada masa nifas menurut Dewi (2012) antara lain adalah sebagai berikut:

a. Fase taking in

Fase taking in merupakan fase ketergantungan yang berlangsung dari hari pertama sampai

hari kedua setelah melahirkan. Ibu terfokus pada dirinya sendiri sehingga cenderung pasif

terhadap lingkungannya. Ketidaknyamanan yang dialami ibu lebih disebabkan karena proses

persalinan yang baru saja dilaluinya. Rasa mules, nyeri pada jalan lahir, kurang tidur atau

kelelahan, merupakan hal yang sering dikeluhkan ibu. Pada fase ini, kebutuhan istirahat,

asupan nutrisi dan komunikasi yang baik harus dapat terpenuhi. Bila kebutuhan tersebut tidak

terpenuhi, ibu dapat mengalami gangguan psikologis berupa kekecewaan pada bayinya,

ketidaknyamanan sebagai akibat perubahan fisik yang dialami, rasa bersalah karena belum bisa

menyusui bayinya dan kritikan suami atau keluarga tentang perawatan bayinya.

b. Fase taking hold

Fase taking hold merupakan fase yang berlangsung antara 3- 10 hari setelah melahirkan. Ibu

merasa khawatir akan ketidakmampuan dan rasa tanggung jawab dalam perawatan bayinya.

Perasaan ibu lebih sensitif sehingga mudah tersinggung. Hal yang perlu diperhatikan adalah
komunikasi yang baik, dukungan dan pemberian penyuluhan atau pendidikan kesehatan

tentang perawatan diri dan bayinya.

c. Fase letting go

Fase ini merupakan fase menerima tanggung jawab peran barunya sebagai seorang ibu. Fase

ini berlangsung selama 10 hari setelah melahirkan. Ibu sudah mulai dapat menyesuaikan diri

dengan ketergantungan bayinya dan siap menjadi pelindung bagi bayinya. Perawatan ibu

terhadap diri dan bayinya semakin meningkat. Rasa percaya diri ibu akan peran barunya mulai

tumbuh, lebih mandiri dalam memenuhi kebutuhan dirinya dan bayinya. Dukungan suami

dan keluarga dapat membantu ibu untuk lebih meningkatkan rasa percaya diri dalam merawat

bayinya. Kebutuhan akan istirahat dan nutrisi yang cukup masih sangat diperlukan ibu untuk

menjaga kondisi fisiknya.

3.5 Komplikasi Masa Nifas

Komplikasi dan penyakit yang terjadi pada ibu masa nifas menurut Walyani (2017) yaitu:

a. Infeksi nifas

Infeksi nifas adalah keadaan yang mencakup semua peradangan alat- alat genetelia dalam masa

nifas. Masuknya kumankuman dapat terjadi dalam kehamilan, waktu persalinan, dan nifas.

Demam nifas adalah demam dalam masa nifas oleh sebab apa pun. Morbiditas puerpuralis

adalah kenaikan suhu badan sampai 38⁰ C atau lebih selama 2 hari dari dalam 10 hari

postpartum. Kecuali pada hari pertama. Suhu diukur 4 kali secara oral.

b. Infeksi saluran kemih

Pada masa nifas dini, sensitivitas kandung kemih terhadap tegangan air kemih di dalam vesika

sering menurun akibat trauma persalinan atau analgesia epidural atau spinal. Sensasi

peregangan kandung kemih juga mungkin berkurang akibat rasa tidak nyaman yang

ditimbulkan oleh episiotomi yang lebar, laserasi periuretra, atau hematoma dinding vagina.

Setelah melahirkan, terutama saat infus oksitosis dihentikan, terjadi diuresis yang disertai

peningkatan produksi urin dan distensi kandung kemih. Over distensi yang disertai katerisasi
untuk mengeluarkan air kemih sering menyebabkan infeksi saluran kemih.

c. Metritis

Metritis adalah inspeksi uterus setelah persalinan yang merupakan salah satu penyebab

terbesar kematian ibu. Bila pengobatan terlambat atau kurang adekuat dapat menjadi abses

pelvic yang menahun, peritonitis, syok septik, trombosis yang dalam, emboli pulmonal, infeksi

felvik yang menahan dispareunia, penyumbatan tuba dan infertilitas.

d. Bendungan payudara

Bendungan payudara adalah peningkatan aliran vena dan limfe pada payudara dalam rangka

mempersiapkan diri untuk laktasi. Bendungan terjadi akibat bendungan berlebihan pada

limfatik dan vena sebelum laktasi. Payudara bengkak disebabkan karena menyusui yang tidak

kontinu, sehingga sisa ASI terkumpul pada daerah ductus. Hal ini dapat terjadi pada hari ke

tiga setelah melahirkan. Penggunaan bra yang keras serta keadaan puting susu yang tidak

bersih dapat menyebabkan sumbatan pada ductus.

e. Infeksi payudara

Mastitis termasuk salah satu infeksi payudara. Mastitis adalah peradangan pada payudara yang

dapat disertai infeksi atau tidak, yang disebabkan oleh kuman terutama Sraphylococcus aureus

melalui luka pada puting susu atau melalui peredaran darah.

f. Abses payudara

Abses payudara merupakan komplikasi akibat peradangan payudara/ mastitis yang sering

timbul pada minggu ke dua postpartum (setelah melahirkan), karena adanya pembengkakan

payudara akibat tidak menyusui dan lecet pada puting susu.

g. Abses pelvis

Penyakit ini merupakan komplikasi yang umum terjadi pada penyakit- penyakit meluar seksual

(sexually transmitted disease/ STDs), utamanya yang disebabkan oleh chlamydia dan

gonorrhea.
h. Peritonitis

Peritonitis adalah peradangan pada peritoneum yang merupakan pembungkus visera dalam

rongga perut. Peritoneum adalah selaput tipis dan jernih yang membungkus organ perut dan

dinding perut sebelah dalam.

i. Infeksi luka perineum dan luka abdominal

Luka perineum adalah luka perineum karena adanya robekan jalan lahir baik karena rupture

maupun karena episiotomy pada waktu melahirkan janin. Rupture perineum adalah robekan

yang terjadi pada perineum sewaktu persalinan.

j. Perdarahan pervagina

Perdarahan pervagina atau perdarahan postpartum adalah kehilangan darah sebanyak 500 cc

atau lebih dari traktus genetalia setelah melahirkan. Hemoragi postpartum primer mencakup

semua kejadian perdarahan dalam 24 jam setelah kelahiran.


4.1 Defisis Tubektomi / MOW (Medis Operatif Wanita)

Tubektomi atau kontrasepsi mantap Wanita ialah suatu kontrasepsi permanen untuk

mencegah keluarnya ovum dengan cara tindakan mengikat dan atau memotong pada kedua

saluran tuba (Suratun, 2008).

Tubektomi adalah setiap tindakan pada kedua saluran telur Wanita yang mengakibatkan

Wanita tersebut tidak akan mendapatkan keturunan lagi. Jenis kontrasepsi ini bersifat permanen,

karena dilakukan penyumbatan pada saluran telur Wanita yang dilakukan dengan cara diikat,

dipotong ataupun dibakar (Proverawati, 2010).

4.2 Keuntungan Tubektomi / MOW (Medis Operatif Wanita)

Menurut Proverawati (2020), tubektomi memberikan keuntungan non kontrasepsi yaitu :

1. Penggunaan sangat efektif, yaitu 0,5 kehamilan per 100 perempuan selama satu tahun

pertama penggunaan.

2. Tidak mempengaruhi terhadap proses menyusui (breastfeeding).

3. Tidak tergantung pada faktor senggama

4. Baik bagi klien bila kehamilan akan menjadi resiko kehamilan yang serius.

5. Pembedahan sederhana dapat dilakukan dengan anestesi lokal.

6. Tidak ada efek samping dalam jangka waktu yang panjang.

7. Tidak ada perubahan organ dalam

4.3 Keterbatasan Tubektomi / MOW (Medis Operatif Wanita)

Menurut Proverawati (2010), metode tubektomi ini juga memiliki keterbatasan-

keterbatasan yang harus diperhatikan yaitu:

4.3.1.1 Harus dipertimbangkan sifat mantap metode kontrasepsi ini (tidak dapat

dipulihkan kembali).

4.3.1.2 Klien dapat menyesal di kemudian hari.

4.3.1.3 Resiko komplikasi kecil namun dapat meningkat apabila

menggunakan anestesi setelah tindakan.


4.3.1.4 Rasa sakit atau ketidaknyamanan muncul dalam waktu pendek setelah tindakan.

4.3.1.5 Dilakukan oleh dokter terlatih, yaitu dokter spesialis ginekologi untuk proses

laparoskopi.

4.3.1.6 Tidak melindungi diri dari IMS termasuk HBV dan HIV/AIDS.

4.4 Syarat-syarat Prosedur Tubektomi / MOW (Medis Operatif Wanita)

Beberapa syarat menurut Proverawati (2010), hal yang perlu diperhatikan ketika akan

menggunakan kontrasepsi mantap tubektomi ini yaitu:

1. Usia lebih dari 26 tahun

2. Jumlah anak (paritas) minimal adalah 2 dengan umur anak terkecil lebih dari 2 tahun.

3. Yakin telah mempunyai besar keluarga yang sesuai dengan keinginannya dan

pasangannya.

4. Pada kehamilan akan menimbulkan risiko kesehatan yang serius.

5. Pasca persalinan dan atau pasca keguguran.

6. Paham dan secara suka rela setuju dengan prosedur pelaksanaan.

7. Klien mempunyai hak untuk berubah pikiran setiap waktu sebelum pelaksanaan

prosedur ini, serta informed concent form harus ditandatangani oleh klien sebelum

prosedur dilaksanakan

4.5 Komplikasi Tubektomi / MOW (Medis Operatif Wanita)

Menurut Sifuddin (2010), komplikasi dan penanganan MOW meliputi :

1. Infeksi Luka

Apabila terlihat infeksi luka, obati dengan antibiotic bila terdapat abses lakukan

drainase dan obati seperti yang terindikasi.

2. Demam pasca operasi

Obati infeksi berdasarkan apa yang ditemukan.

3. Luka pada kandung kemih, intestinal

Mengacu ke tingkat asuhan yang tepat, apabila kandung kemih atau usus luka dan
diketahui sewaktu operasi, lakukan reparasi primer, apabila ditemukan pasca operaasi

dirujuk ke rumah sakit yang tepat bila perlu.

4. Hatoma (Subkutan)

Gunakan packs yang hangat dan lembab di tempat tersebut. Amati hal ini biasanya

akan berhenti dengan berjalannya waktu tetapi dapat membutuhkan drainase bila

ektensif.

5. Emboli gas yang diakibatkan oleh laparoskopi

Ajukan ke tingkat asuhan yang tepat dan mulailah resusitasi intensif, termasuk cara

intravena, resusitasi kardio pulmonar dan tindakan penunjang kehidupan lainnya.

6. Rasa sakit pada lokasi pembedahan

Pastikan adanya infeksi atau abses dan obati berdasarkan apa yang ditemukan

7. Perdarahan superficial (tepi kulit atau subkutan)

Mengontrol perdarahan dan obati berdasarkan apa yang ditemukan

b. Efek Samping Tubektomi / MOW (Medis Operatif Wanita)

Menurut Hartono (2006), kontap Wanita tidak menimbulkan efek samping jangka

Panjang yang jelek. Selama paling sedikit dua dasawarsa terakhir ini, timbul perdebatan mengenai

efek samping jangka Panjang bila memang ada dari kontap Wanita. Persoalan efek samping jangka

Panjang kontap Wanita meliputi empat hal yaitu :

1. Perubahan-perubahan hormonal

2. Pola haid

3. Problem ginekologis

4. Problem psikologis

c. Waktu Pelaksanaan Tubektomi / MOW (Medis Operatif Wanita)

Menurut Suratun (2008), waktu pelaksanaan tubektomi, yaitu :

1. Pasca persalinan, sebaiknya dalam jangka waktu 48 jam pasca persalinan

2. Pasca keguguran, dapat dilaksanakan pada hari yang sama dengan evakuasi Rahim atau
keesokan harinya

3. Dalam masa interval (keadaan tidak hamil), sebaiknya dilakukan dalam 2 minggu

pertama dari siklus haid ataupun setelahnya, seandainya calon akseptor menggunakan

salah satu cara kontrasepsi dalam siklus tersebut.

d. Persiapan Pra-Operatif Tubektomi / MOW (Medis Operatif Wanita)

Menurut Saifuddin (2010), persiapan pra-operatif MOW, yaitu :

1. Jelaskan secara lengkap mengenai tindakan MOW termasuk mekanisme

2. Pencegahan kehamilan yang dihasilkan dan efek samping yang mungkin terjadi

3. Berikan nasehat untuk perawatan luka bedag, kemana minta pertolongan bila terjadi

kelainan atau keluhan sebelum waktu control

4. Berikan nasehat tentang cara menggunakan obat yang diberikan sesudah tindakan

pembedahan

5. Anjurkan klien puasa sebelum operasi atau tidak makan dan minum sekurang-

kurangnya 2 jam sebelum operasi

6. Datang ke klinik dengan diantar anggota keluarga atau ditemani orang dewasa

7. Rambut pubis yang cukup Panjang digunting pendek dan dibersihkan dengan sabun

dan air serta dilanjutkan dengan cairan antiseptic

8. Tidak memakai perhiasan dan tidak memakai kosmetik seperti pemerah bibir, pemerah

pipi, kutek dan lain-lain

9. Menghubungi petugas setibanya di klinik

e. Perawatan dan Pemeriksaan Pasca Operasi

Perawatan dan pemeriksaan pasca operasi menurut Suratun (2008), yaitu :

1. Setelah tindakan pembedahan klien dirawat diruang pulih selama kuranglebih 4-6 jam

2. Bila dilakukan anastesi local, pemindahan klien dari meja operasi ke kereta dorong dan

dari kereta dorong ke tempat tidur di ruang pulih dilakukan oleh 2 orang perawat dengan

mendekatkan kereta dorong ke meja operasi atau tempat tidur. Akseptor diminta untuk
menggeserkan badannya, bila klien memperoleh anastesi umum pemindahan pasien

dilakukan oleh 3-4 orang

3. Selama diruang pulih klien diamati dan dinilai :

a. Nadi, tekanan darah, pernapasan tiap 15 menit pertama, tiap 30 menit pada 1 jam

kedua dan selanjutnya tiap jam hingga pasien pulang.

b. Rasa nyeri yang timbul yang mungkin memerlukan pengobatan analgetic

c. Perdarahan dari luka dan kemaluan

d. Suhu badannnya

e. Dua jam setelah tindakandengan anastesi local klien diizinkan minum dan makan,

karena rasa mengantuk telah hilang

f. Dua jam setelah tindakan anastesi local klien diizinkan duduk dan Latihan berjalan

dengan ditemani keluarganya apabila pasien tidak pusing

f. Jenis-jenis Tubektomi / MOW (Medis Operatif Wanita)

Macam- macam Tubektomi:

1. Penyinaran

Merupakan tindakan penutupan yang dilakukan pada kedua tuba falopii wanita yang

mengakibatkan yang bersangkutan tidak hamil atau tidak menyebabkan kehamilan lagi.

Keuntungan penyinaran adalah kerusakan tuba falopii terbatas, mordibitas rendah, dapat

dikerjakan dengan laparoskopi, hiteroskopi. Kerugiannya adalah : memerlukan alat- alat yang

mahal, memerlukan latihan khusus, belum tentukan standarisasi prosedur ini, potensi

reversibel belum diketahui.

2. Operatif

Dapat dilakukan dengan cara :

a) Abdominal

1) Laparotomi

Laparotomi sudah tidak digunakan karena diperlukan insisi yang panjang.


Kontrasepsi ini diperlukan bila cara tubektomi yang lain gagal atau timbul

komplikasi sehingga memerlukan insisi yang lebih besar.

2) Mini-laparatomi

Laparotomi khusus untuk tubektomi yang paling mudah dilakukan 1-2 hari pasca

persalinan. Efektifitas : angka kegagalan 0-2,7 kehamilan per-100 wanita. Sayatan

dibuat digaris tengah diatas simpisis sepanjang 3cm sampai menembus peritoneum.

Untuk mencapai tuba digunakan alat khusus (elevator uterus) ke dalam kavum uteri.

Dengan bantuan alat tersebut uterus dalam keadaan retrofleksi dijadikan letak

antefleksi dahulu kemudian didorong kearah lubang sayatan, lalu dilakukan

penutupan tuba dengan salah satu cara.

Keuntungan mini-laparatomi adalah aman, mudah, wanita yang baru melahirkan

umumnya mempunyai motifasi tinggi untuk mencegah mendapatkan lebih banyak

anak. Kerugiaannya adalah resiko komplikasi (kesalahan, kegagalan teknis),

perdarahan serta resiko infeksi.

3) Laparoskopi

Mula- mula dipasang cunam serviks pada bibir depan porsio uteri, dengan maksud

supaya dapat menggerakan uterus jika hal tersebut diperlukan saat laparaskopi.

Sayatan dibuat dibawah pusat sepanjang lebih dari 1cm. Kemudian di tempat luka

tersebut dilakukan pungsi sepanjang rongga peritoneum dengan jarum khusus

(jarum veres) dan melalui jarum itu dibuat pneumoperitoneum dengan memasukkan

CO2 sebanyak 1 sampai 3liter dengan kecepatan kira- kira 1liter permenit. Setelah

jarum veres dikeluarkan, troika dimasukkan laparoskop melalui tabung. Dengan

cunam yang dimasukkan dalam rongga peritoneum bersama laparoskop, tuba dijepit

dan dilakukan penutupan dengan kauterisasi. Keuntungannya adalah cepat, insisi

kecil, kurang menyebabkan sakit jika dibanding mini laparatomi. Kerugiannya

resiko terjadi komplikasi, lebih sukar dipelajari, memerlukan keahlian bedah,


harga peralatannya mahal.

b) Vaginal

1) Kolpotomi

Jenis kolpotomi yang sering dipakai adalah kolpotomi posterior. Insisi dilakukan

di dinding vagina transversal 3- 5cm, cavum douglas yang terletak antara

dinding depan rektum dan dinding belakang uterus dibuka melalui vagina

untuk sampai di tuba. Efektifitas angka kegagalan 0-5,2 %.

Keuntungan: bisa dilakukan rawat jalan, hanya perlu waktu 5-15 menit,

rasa sakit post operatif lebih kecil dibanding cara lainnya, alatnya sederhana

dan murah.

2) Kuldoskopi

Rongga pelvis dapat dilihat melalui alat kuldoskop yang dimasukkan kedalam

cavum douglas. Adanya laparoskopi trans-abdominal, maka kuldoskopi kurang

mendapat perhatian/ minat dan sekarang sudah jarang dikerjakan.

Dalam posisi lutut dada kedua paha tegak lurus dan kedua lutut terbuka,

suatu rektraktor perineal dimasukkan ke dalam vagina. Bila fornik posterior

terlihat seperti bagian kubah yang kecil, maka cavum douglas bebas dari

perlekatan, lalu dilakukan oklusi tuba. Angka kegagalan 0-2 %.

Keuntungannya adalah tidak meninggalkan bekas, dapat dikerjakan

dengan rawat jalan, peralatan sederhana, murah, waktu operasi cepat.

Kerugiannya: Posisi akseptor mungkin kurang menyenangkan baginya.

c) Transcervikal

1) Histeroskopi

Prinsipnya seperti laparaskopi, hanya pada histeroskopi tidak dipakai trokar,

tetapi suatu vakum cervical adaptor untuk mencegah keluarnya gas saat

dilatasi serviks / kavum uteri. Efektivitas angka kegagalan 11-48 %.


Keuntungan metode ini adalah tidak perlu insisi, dapat dengan rawat

jalan.

Kerugiannya resiko perforasi uterus, angka kegagalan tinggi, sering timbul

kesulitan teknis dalam mencari orificium tubae, kadang tidak efektif.

2) Tanpa melihat langsung

Pada cara ini operator tidak melihat langsung kecavum uteri untuk

melokalisir orificium tubae.

3. Penyumbatan Tuba Secara Mekanis

Tubal clip Penyumbatan tuba mekanis dipasang pada isthmus tuba falopii, 2-3 cm dari uterus,

melalui laparotomi, lapaoskopi, kolpotomi dan kuldoskopi. Tuba clips menyebabkan kerusakan lebih

sedikit pada tuba falopii dibandingkan cara oklusi tuba falopii lainnya.

Tubal ring dapat dipakai pada mini-laparotomi, laparoskopi, dan cara trans-vaginal, dan dipasang

pada ampula 2-3cm dari uterus.

4. Penyumbatan Tuba Kimiawi

Zat- zat kimia dalam cair, pasta, padat dimasukkan ke dalam melalui serviks ke dalam uteri-

tubal junction, dapat dengan visualisasi langsung ataupun tidak. Cara kerjanya adalah zat kimia

akan menjadi tissue padat sehingga terbentuk sumbatan dalam tuba falopii (Tissue Adhesive), zat

kimia akan merusak tuba falopii dan menimbulkan fibrosis (Sclerosing agent).

Keuntungan dari metode ini adalah mudah mengerjakannya, dapat rawat jalan. Kerugiannya

adalah kebanyakan zat kimia kurang efektif, ada zat kimia yang sangat toksik kadang dapat

merusak jaringan, ireversibel


DAFTAR PUSTAKA

Amin, Hardi. (2013). Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC NOC.
Yogyakarta : Mediaction
Fadlun et.al. (2011). Asuhan Kebidanan Patologis. Jakarta: Salemba Medika.
Hartanti S. (2014). Penatalaksanaan Post Op Sectio Caesarea pada ibu. Published thesis for University
Of Muhammadiyah Purwokerto.
Jitowiyono, S., & Kristiyanasari, W. (2012). Asuhan Keperawatan Post Operasi. Yogyakarta : Nuha
Medika
Manuaba, IBG.et al. (2010). Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan & Keluarga Berencana Untuk
Pendidikan Bidan. Jakarta: ECG.
Manuaba. (2012). Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan. Jakarta :EGC.
Maritalia, D. (2012). Asuhan Kebidanan Masa Nifas dan Menyusui. Yogyakarta. Pustaka Belajar.
Marmi. (2011). Intranatal Care Asuhan Kebidanan Pada Persalinan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mitayani. (2012). Asuhan Keperawatan Maternitas. Jakarta : Salemba Medika
Mochtar. (2012). Sinopsis Obstetri Jilid I Edisi III. Jakarta: EGC.
Nugroho, Taufan. (2012). Patologi Kebidanan. Yogyakarta: Nuha Medika
Penny, Janet, Ann. (2008). Panduan Lengkap Kehamilan, Melahirkan, Bayi. Jakarta : Arcan
PPNI (2017) Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator Diagnostik. Jakarta: DPP
PPNI.
----------- (2018) Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan Keperawatan. Jakarta:
DPP PPNI.
----------- (2019) Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan. Jakarta:
DPP PPNI.
Prawirohardjo, Sarwono. (2010). Ilmu Kebidanan. Jakarta: PT Bina Pustaka.
Proverawati, A. (2010). Panduan Memilih Kontrasepsi. Yogyakarta : Mitra Cendikia Press
Saifuddin, A.B. (2010). Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi. Jakarta : Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo
Sari L. (2016). Patofisiologi Sectio Caesarea. Published thesis for University of Muhammadiyah
Purwokerto
Sarwono. (2009). Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta : YSB-SP
Sedyahutama, Yohanes. (2013). Faktor-faktor yang mempengaruhi wanita pasangan usia subur mengikuti
pelayanan keluarga berencana (kb) di kelurahan manggarai, kecamatan tebet,jakarta selatan tahun 2013.
Solehati, T., Cecep E. K. (2015). Konsep dan Aplikasi Relaksasi dalam Keperawatan Maternitas.
Bandung : PT. Refika Aditama
Walyani, E. S. W dan Purwoastuti, E. (2017). Asuhan Kebidanan Masa Nifas dan Menyusui.
Yogyakarta. Pustakabarupress.

Anda mungkin juga menyukai