Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 latar Belakang

Para ahli ilmu agama sependapat, bahwa salah satu dari cabang-cabang ilmu fiqh yang
penting dipelajari dengan seksama oleh para muslimin, khususnya para thalaba (penuntut), ialah
petunjuk Allah yang mempunyai pengaruh yang besar dalam hubungan keluarga, dan mengelola
harta milik yang diwarisi, adalah “FIQHUL MAWARITS” atau “ILMU FARAIDH” (Hukum-
hukum Warisan menurut Syari’at Islam).

Dalam pokok hukum islam sebab waris-mewarisi adalah karena hubungan perkawinan
dan hubungan nasab. Seorang suami istri dapat waris mewarisi karena keduanya oleh
perkawinan yang dibenarkan oleh hukum islam, sebagai hak yang diperoleh karena perkawinan
tersebut. Hubungan nasab seorang anak dengan ayah dalam hukum islam juga ditentukan oleh
sah dan tidaknya hubungan perkawinan antara seseorang laki-laki dengan seseorang wanita,
sehingga menghasilkan anak itu di samping ada atau tidaknya pengakuan ayah terhadap anak
tersebut.

1.2 Rumusan masalah


1) Apakah pengertian anak zina dan anak li’an?
2) Apakah dasar hukum penyelesaian masalah anak zina dan anak li’an?
3) Apakah pendapat para ulama’ terkait masalah mawaris anak zina dan anak li’an?
4) Apakah contoh penyelesaian masalah mawaris anak zina dan anak li’an?
1.3 Tujuan penulisan
1) Agar mengetahui apakah pengertian anak zina dan anak li’an.
2) Agar mengetahui dasar hukum penyelesaian masalah anak zina dan anak li’an.
3) Agar mengetahui pendapat para ulama’ terkait masalah mawaris anak zina dan anak li’an.
4) Agar mengetahui contoh penyelesaian masalah mawaris anak zina dan anak li’an.

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Anak Zina dan Anak Li’an


Anak di luar nikah, di dalam fiqh disebut sebagai walad az-zina. Hasanayn Muhammad
Makluf membuat terminologi anak zina sebagai anak yang dilahirkan sebagai akibat dari
hubungan lelaki dan perempuan yang tidak sah. Hubungan lelaki dan perempuan yang tidak sah
sebagaimana dimaksud adalah hubungan badan (senggama/wathi’) antara dua orang yang tidak
terikat tali pernikahan yang memenuhi unsur rukun dan syarat nikah yang telah ditentukan.
Selain itu, hubungan lelaki dan perempuan yang tidak sah tersebut, dapat terjadi atas dasar suka
sama suka ataupun kerana perkosaan, baik yang dilakukan oleh yang telah menikah ataupun
belum menikah.1
Wahhbah az-Zuhaili mencatat, bahwa menurut ulama’ Malikiyah, zina adalah salah satu
penghalang kewarisan di dalam ketentuan Fiqh Islam. Oleh karenanya, seorang walad az-zina
tidak bisa saling waris mewarisi dengan ayahnya, meskipun ayah tersebut mengakuinya sebagai
anak biologisnya. Anak zina memiliki posisi yang sama dengan anak mula’anah hanya bisa
menerima dan memberi warisan dari garis ibunya saja, karena hubungan nasabnya hanya
tersambung dengan garis ibunya.2
Kata Li’an adalah diambil daripada kata al-la’nu yang artinya jauh dan laknat atau
kutukan. Menurut istilah hukum islam, li’an adalah sumpah yang diucapkan oleh suami ketika ia
menuduh istrinya berbuat zina dengan empat kali kesaksiannya bahwa ia termasuk orang yang
benar dalam tuduhannya, kemudian pada sumpah kesaksian kelima disertai persyaratan bahwa ia
bersedia menerima laknat jika ia berdusta.
Meskipun anak li’an mempunyai status yang sama dengan anak zina yaitu sama-sama
anak daripada anak yang tidak sah. Namun perbedaan antara kedua-duanya adalah bahwa anak
dari hasil hubungan zina tetap jelas statusnya daripada awal seperti lahir dari perempuan yang

1
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia, Puslitbang Kehidupan Keagamaan
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Ed. 1 Cet. 1, Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian
Agama RI, 2012, Hlm. 301
2
Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adilatuh, Dar al-Fikr, Damsyik, 1984, Hlm. 7992
2
tidak bersuami sedangkan anak dari li’an yang lahir daripada perkahwinan antara suami dan istri
yang sah, namun tidak diakui anak tersebut oleh dari suami itu sendiri.3
2.2 Dasar Hukum Penyelesaian Masalah Anak Zina dan Anak Li’an

Sebagian ulama berpendapat bahwa akad nikah wanita hamil tersebut tidak sah, kecuali
apabila pernikahan itu dilakukan dengan laki-laki pelaku zinanya. Meskipun demikian, akibat
hukumnya, si anak tetap tidak bisa dinasabkan kepada bapaknya Mayoritas (jumhur) Ulama
membolehkan pernukahan antara wanita pezina dengan laki-laki yang bukan pezinanya.
Perbedaan pendapat ini timbul karena adanya perbedaan mereka dalam memahami firman Allah
Swt.:

ٍ
ْ ‫ِح َه ا ِإ اَّل زَان‬
‫َأو‬ ُ ‫الز انِيَةُ اَل ي َْن ك‬
َّ ‫ِك ةً َو‬ ْ ً‫ِح ِإ اَّل زَانِيَة‬
َ ‫َأو ُم ْش ر‬ ُ ‫الز انِي اَل ي َْن ك‬
َّ

َ‫ْم ْؤ ِم نِين‬ َ ‫ِك ۚ' َو ُح ِّر مَ ٰذَ ل‬


ُ ‫ِك عَلَى ال‬ ٌ ‫ُم ْش ر‬

Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan
yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang
berzina ataublaki-laki yang musyrik; dan demikian itu diharamkan atas orang-orang yang
mukmin. ( QS AL-Nur 3)

                 Ulama yang memahami ayat “ wahurrima  zhalika `ala almukminiina “ isyaratnya


kepada nikah, maka perkawinan wanita hamil karena zina, adalah tidak sah. Mayoritas ulama
memandang perkawinan tersebut tetap sah, tetapi tidak pantas dilakukan oleh orang beriman.4

 Anak yang lahir karena hubungan tanpa nikah tersebut disebut “Walad Ghairu Syar’iy”,
dan orang laki-laki yang menimbulkan kandungan itu disebut “Ab Ghairu Syar’iy.Anak Ghairu
Syar’iy atau anak zina tadi tidak ada hubungan darah dengan Ab Ghairu Syar’iy menurut hukum,
karena tidak ada hubungan waris-mewarisi. Anak tersebut hanya mempunyai hubungan darah
dengan ibu dan antara keduanya dapat waris-mewarisi. Demikian pula anak tersebut mempunyai
hubungan darah dengan kerabat ibunya. Yang berarti juga mempunyai hubungan ahli waris.
Dari penjelasan diatas, dapat ditegaskan bahwa menurut Mayoritas Ulama, anak zina
tidak bisa mewarisi “ayah”nya, karena status hukumnya tidak ada hubungan nasab diantara

3
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, Kencana, Bogor, 2003, Hlm. 239
4
Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, Jakarta : Raja Wali Pers 2002, Hlm. 160
3
mereka. Anak zina hanya bisa mewarisi harta peninggalan ibunya, dan saudara-saudaranya  yang
seibu. Demikian juga sebaliknya jika anak zina tersebut menunggal, maka harta peninggalannya
hanya bisa diwarisi oleh ibu dan saudara-saudaranya yang seibu.5
Adapun teknis pelaksanaan li`an, suami menuduh istrinya telah berzina disertai sumpah
empat kali atas nama Allah Swt, bahwa tuduhannya benar. Pada sumpah kelima, suami
mengatakan bahwa laknat Allah Swt. Akan menimpa dirinya jika ia berdusta. Kemudian istri
diberi kesempatan untuk menolak tuduhan dengan cara bersumpah empat kali atas nama Allah
dengan mengatakan bahwa suaminya berdusta. Pada supahnya yang kelima, ia
mengatakan  bahwa laknat Allah akan menimpa dirinya jika tiduhan suaminya ternyata benar.
Dasarnya adalah firman Allah Swt.:

‫َه ْم ُش ه َ ِإ‬
ُ‫َأر بَع‬
ْ ‫ِه ْم‬ ُ ‫َد اءُ اَّل َأ ْن ُف‬
ِ ‫س ُه ْم فَشَهَادَةُ َأحَد‬ ُ ‫َك ْن ل‬
ُ ‫َم ي‬
ْ ‫َه ْم َو ل‬
ُ ‫َأز َو اج‬
ْ ‫ون‬َ ‫َر ُم‬
ْ ‫ِين ي‬
َ ‫َو الَّذ‬

َ ‫َت اللَّهِ عَل َْي هِ ِإ ْن ك‬


َ‫َان مِن‬ َ ‫َع ن‬
ْ ‫ْخ امِسَةُ َأنَّ ل‬
َ ‫ َو ال‬.َ‫َّاد قِين‬
ِ ‫َم َن الص‬ ٍ ‫شَهَاد‬
ِ ‫َات بِاللَّهِ ۙ' ِإ نَّهُ ل‬

َ‫ْك اذِبِين‬
َ ‫ال‬
Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina) pada hal mereka tidak mempunyai saksi-
saksi selain dirinya sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan
nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang beriman. Dan (sumpah) yang
kelima bahwa laknat Allah atsnya jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. (QS AL-Nur 6-
7)
            Para Ulama sepakat bahwa status hukum anak li`an adalah sama dengan anak zina. Yaitu
bahwa anak hanya bisa dinasabkan kepada ibunya saja. Dasarnya adalah tindakan Nabi Saw.
Ketika menyelesaikan perkara li`an sebagaiman dalam riwayat berikut: 
“Riwayat dari ibnu `Umar r.a bahwa seorang laki-laki telah meli`an istrinya   pada Masa Nabi
Saw. Dan ia menafikan anak istrinya tersebut, maka Nabi Saw. Menceraikan antara keduanya
dan mempertemukan nasab anaknya kepada ibunya.”(Riwayat al-Bukhari dan Abu Daud)
“Rasulullah Saw.menjadikan hak waris anak li`an (mula`ananh) kepada ibunya DAN AHLI
waris ibu sesudahnya.”(Riwayat Abu Daud)

5
Ibid, Hlm. 162
4
Dari uraian diatas dapat ditegaskan bahwa status hukum anak li`an disamakan dengan
anak zina. Mereka hanya dapat mewarisi kepada ibu dan saudara-saudaranya yang seibu saja,
tidak bisa mewarisi kepada bapaknya dan ahli waris lainya, karna tidak mempunyai hubungan
kekerbatan dengan bapaknya.
2.3 Pendapat Para Ulama’ Terkait Masalah Mawaris Anak Zina dan Anak Li’an
Para ulama fiqih berbeda pendapat tentang warisan untuk anak yang lahir karena
perbuatan zina dan anak li'an. Secara umum, pendapat para ulama fiqih dapat dikelompokkan
menjadi tiga pendapat sebagai berikut :6

Pendapat Pertama Pendapat Kedua Pendapat Ketiga

Abu Hanifah, Malik, dan Ahmad bin Hambal Ahmad bin Hambal
Syafi'i berpendapat bahwa berpendapat bahwa anak berpendapat bahwa
anak tersebut dapat yang lahir karena ashabah anak li'an dan
mewarisi dari ibu dan perbuatan zina dan li'an anak yang lahir karena
kerabat ibunya, dan ibu dapat diwarisi dengan perbuatan zina adalah
serta kerabat ibunya pun cara ashabah. Ashabah- ibunya karena ibu bagi
dapat mewarisi darinya, nya adalah mereka yang mereka sama seperti
sesuai dengan kaidah menjadi ashabah ibunya kedua orang tua, yakni
waris-mewarisi yang atau mereka yang ayah dan ibu. Jika tidak
sudah diketahui. Ini mewarisi dari ibunya. ada ibu, ashabah-nya
adalah pendapat Zaid bin Sebagian orang berkata, adalah mereka yang
Tsabit dalam satu riwayat "Jika Anda ingin menjadi ashabah ibu.
dari Ali R.A mengetahui ashabah anak Pendapat ini juga
li'an, lihatlah ashabah disampaikan oleh beberapa
ibunya kalau ibunya wafat. tabi'in, di antaranya Hasan
Itulah yang menjadi dan Ibnu Sirin.
ashabah anak li'an."
 
6
Komite Fakultas Syariah Universitas Al Azhar, Mesir. 2011 (cetakan ketiga). Hukum Waris. H. Addys
Aldizar, Lc. dan H. Fathurrahman, Lc., penerjemah. Jakarta : Senayan Abadi Publishing. Terjemahan dari :
Ahkamul-Mawarits fil-Fiqhil-Islami
5
a. Pendapat Pertama

Ibu dapat mewarisi bagian tetap, saudara ibu juga mewarisi bagian tetap, dan sisanya
dikembalikan kepada mereka, menurut mereka yang berpendapat adanya pengembalian (ar-
radd). Berdasarkan pendapat ini, anak itu tidak bisa mewarisi dari orang lain dan orang lain tidak
bisa mewarisi darinya dengan cara ashabah senasab berdasarkan al-ukhuwwah atau al-umumah.
Ulama fiqih yang termasuk dalam kelompok pertama ini menjadikan hadits yang
diriwayatkan oleh Sahl bin Sa'du sebagai dalil. "...Sunnah menetapkan bahwa anak li'an dapat
mewarisi dari ibunya dan ibunya pun dapat mewarisi darinya, dengan bagian yang telah
ditetapkan Allah." (Nail al-Authar, juz VI, hlm.184)
Jumhur ulama juga mempunyai dalil yang menguatkan pendapat mereka bahwa waris-
mewarisi harus sesuai dengan ketetapan nash, dan tidak ada nash yang menyatakan bahwa ibu
boleh mewarisi lebih dari 1/3, demikian juga dengan saudara seibu, tidak bisa mewarisi lebih
dari 1/6. Contohnya, seorang anak yang lahir karena perbuatan zina atau li'an wafat,
meninggalkan warisan berupa tanah seluas 90 hektare dan meninggalkan ahli waris : ibu, ayah,
paman dari pihak ibu, dan ayahnya ibu. Dalam kasus ini, seluruh warisan hanya diberikan
kepada ibu, karena ia mendapat bagian tetap dan pengembalian (ar-radd). Hal ini disebabkan
paman dari pihak ibu dan ayahnya ibu termasuk dalam kelompok dzawil arham, dan ayah si
mayit pun tidak mendapatkan apa-apa karena nasabnya terputus.
Namun, jika seorang anak yang lahir karena perbuatan zina atau li'an wafat meninggalkan
istri, anak perempuan, dan saudara seibu, maka istri mendapatkan 1/8, anak perempuan 1/2, dan
sisanya untuk anak perempuan tersebut. Sedangkan saudara seibu tidak mendapatkan apa-apa,
karena ia tidak dapat mewarisi ketika ada bersama pokok atau cabang yang mewarisi.

b. Pendapat Kedua

Dalam satu riwayat dari Ibnu Mas'ud, Ibnu Umar pun berpendapat serupa dengan
pendapat kedua ini. Pendapat ini juga dipegang oleh ulama-ulama besar dari kalangan tabi'in,
seperti 'Atha, Mujahid, an-Nakha'i, dan asy-Sya'bi. Hadits yang dijadikan dalil oleh para ulama
yang berpendapat demikian adalah sabda Rasulullah SAW ketika menjawab pertanyaan
mengenai hal ini, "Ashabah-nya adalah ashabah ibunya."
6
Asy-Syaukani berkata ketika menjelaskan pendapat ini, "Ibu mendapatkan bagiannya,
kemudian untuk ashabah ibu secara berurutan. Pembagian tersebut dilakukan, jika tidak ada
orang lain selain ibu dan kerabatnya, misalnya anak laki-laki atau istri si mayit. Jika si mayit
mempunyai anak laki-laki atau istri, mereka berhak mendapatkan warisan sesuai bagiannya
dalam masalah waris-mewarisi."
Hadits lain yang dijadikan sandaran oleh mereka adalah sabda Rasulullah SAW,
"Berikanlah bagian-bagian itu kepada yang berhak. Jika ada sisa, pertama-tama untuk ahli
waris laki-laki yang terdekat."
Hadits di atas mengharuskan warisan dibagikan kepada laki-laki yang paling dekat
dengan anak li'an dari kerabat ibunya, yang dinasabkan kepada ibunya, setelah bagian ashhabul
furudh diberikan. Jikalau nasab anak li'an berpindah dari ayahnya kepada ibunya, maka
berpindah juga ashabahnya dari kerabat ayah kepada kerabat ibu.
Berdasarkan pendapat mazhab ini, jika seorang anak yang lahir karena perbuatan zina
atau li'an wafat meninggalkan istri, anak perempuan dan saudara seibu, maka istri mendapatkan
1/8 yang menjadi bagian tetapnya (fardh), anak perempuan mendapatkan 1/2 sebagai bagian
tetap, dan saudara seibu mendapatkan sisa sebagai ashabah. Jika seorang anak li’an wafat,
meninggalkan ibu dan paman dari pihak ibu, maka ibu mendapatkan bagian 1/3 dan paman dari
pihak ibu mendapatkan 2/3 sebagai ashabah.

c. Pendapat Ketiga
Terdapat perbedaan pendapat antara mazhab ini dengan mazhab sebelumnya. Pada
pendapat kedua, diterangkan bahwa ashabah anak li'an dan anak yang lahir karena perbuatan
zina adalah mereka yang menjadi ashabah ibunya. Kalau sang ibu hidup, dia dapat mengambil
bagian tetapnya (fardh) dan sisanya diambil oleh ashabah ibunya.
Sedangkan pendapat yang ketiga ini, mereka yang diterima menjadi ashabah ibunya
sebagai ashabah anak li'an dan anak yang lahir karena perbuatan zina, dengan syarat ibunya
tidak ada atau meninggal. Jika ibu ada, ibulah yang menjadi ashabah-nya atau dengan kata lain,
ibu akan mengambil seluruh harta warisan anak li'an dan anak yang lahir karena perbuatan zina.
Dalil yang dipergunakan oleh para ulama yang pendapat seperti ini adalah sabda Rasulullah
SAW, "Perempuan menguasai tiga warisan, warisan budak yang dimerdekakannya, barang
yang ditemukannya, dan warisan anak li'an-nya." (HR Abu Daud, Turmudzi, an-Nasa'i, dan Ibnu
Majah)

7
Kalau ibu mewarisi dari budak yang dimerdekakannya dengan cara ashabah, ibu pun
mewarisi dari anak li'an-nya dengan cara ashabah juga, karena ibu sama derajatnya dengan ayah
dan ibu si anak li'an. Sebagai bukti, Ibnu Abbas pernah berkata, "Ibu anak li'an adalah ayah dan
ibunya."
Dengan demikian, jika seorang anak li'an wafat meninggalkan istri, ibu, dan saudara
perempuan seibu, maka istri mendapatkan 1/4 sebagai bagian tetap, dan ibu mendapatkan seluruh
sisanya, sebagai bagian tetap dan sekaligus sebagai ashabah. Apabila ibu tidak ada, istri
mendapatkan 1/4 sebagai bagian tetap dan saudara perempuan mendapatkan sisa sebagai ashabah
dan bagian tetap. Jika ia wafat, meninggalkan saudara perempuan seibu dan anak laki-laki dari
saudara perempuan seibu, maka saudara perempuan seibu mendapatkan 1/6 dan anak laki-laki
dari saudara perempuan seibu mendapatkan sisa sebagai ashabah. Cara pembagian yang
demikian sesuai dengan dua pendapat tersebut.
Setelah kita memaparkan beberapa pendapat ulama fiqih di atas, tampaklah bagi kita
bahwa pendapat ketiga lebih kuat dan dapat diterima, karena memang asal nasab itu dari ayah.
Apabila nasab dari pihak ayah terputus, maka secara otomatis seluruh nasabnya berpindah ke
ibu, sebagaimana asal ketaatan itu untuk orang yang memerdekakan ayah, kalau ayah budak.
Ketaatan dapat kembali berpindah ke ayah sebagai asal, jika ayah dimerdekakan setelah ketaatan
pindah ke ibu.
Mazhab ini merupakan mazhab Abdullah ibnu Mas'ud, Imam Ahmad bin Hambal dan
Ishaq bin Rahawaih. Ibnul Qayyim berkata, “Berdasarkan pendapat di atas, Al-Qur'an telah
menunjukkan dengan isyarat yang sangat indah dan halus. Allah menjadikan Isa dari anak-cucu
Ibrahim lewat perantara Maryam, ibunya. Maryam pun berasal dari anak cucu Ibrahim. Jika
ada yang bertanya, 'Kemudian, bagaimana dengan riwayat dari Sahl yang menjelaskan bahwa
Sunnah yang berlaku adalah anak yang lahir karena perbuatan zina dan li'an dapat mewarisi
dari ibunya dan ibunya dapat mewarisi darinya sesuai bagian yang telah ditetapkan Allah?'
Kita jawab, 'Kita terima itu karena ketika ibu menjadi ashabah, tidak menggugurkan bagian
yang telah ditetapkan Allah. Sesungguhnya, ibu anak itu seperti ayah, yang terkadang dapat
mewarisi bagian tetap dan terkadang mewarisi bagian ashabah. Ibu pasti mengambil bagian
tetap-nya, dan jika ada sisa, ia dapat mengambilnya dengan cara ashabah.

8
2.4 Contoh Penyelesaian Masalah Mawaris Anak Zina dan Anak Li’an

Contoh Penyelesaian Masalah Mawaris Antara Anak Zina

Dapat ditegaskan bahwa menurut Mayoritas Ulama, anak zina tidak bisa mewarisi
“ayah”nya, karena status hukumnya tidak ada hubungan nasab diantara mereka. Anak zina hanya
bisa mewarisi harta peninggalan ibunya, dan saudara-saudaranya  yang seibu. Demikian juga
sebaliknya jika anak zina tersebut meninggal, maka harta peninggalannya hanya bisa diwarisi
oleh ibu dan saudara-saudaranya yang seibu. Dengan pelaksanaan pemberian warisan pada anak
tersebut ialah seperti apabila seseorang wanita meninggal dunia dan meninggalkan ahli waris :

a. Seseorang suami, yaitu A

b. Dua anak laki-laki, yaitu B dan C

c. Seorang anak laki-laki (anak zina), yaitu D

Maka pembagiannya ialah sebagai berikut :

Suami mendapat 1/4 bagian, sedang dua orang anak sebagai ‘ashabah bersama-sama
dengan seorang anak laki-laki yang mendapat kwlifikasi anak Zina tersebut. Asal masalahnya 4,
atau 24, maka bagian mereka masing-masing, seperti berikut ini :

A, mendapat 1/4 x 4 = 1, atau 1/4  x 24 = 6. B, C, dan D, semuanya mendapat 3/4  atau 3/24,


yang masing-masing mempunyai bagian yang sama, sehingga :

B = 1/4 x 4 = 1, atau 1/4 x 24 = 6.

C = 1/4 x 4 = 1, atau 1/4 x 24 = 6.

D = 1/4 x 4 = 1, atau 1/4 x 24 = 6.

Dalam kasus lain, dapat dicontohkan; seseorang (X),meninggal dunia,meninggalkan istri


(A), seorang saudara laki-laki (B) dan seorang cucu laki-laki (C) dari anak perempuan (Y). Cucu
laki-laki itu anak zina dari Y yang telah meninggal dunia.7 Hadits riwayar Amr bin Syu’aib dari
bapak dari kakeknya bahwasannya Rosululloh bersabda :“Siapa saja lelaki yang berzina baik

7
Dr. H. Zaini Muchtarom, M.A. Ilmu Fiqih 3 :Jakarta 1986, Hlm. 160
9
dengan wanita merdeka ataupun budak, maka anaknya anak zina tidak mewrisi dan tidak
diwarisi.” (Shohih, lihat Shohih Turmudli 2113dan Tahqiq Misykah 3054)

Anak yang dilahirkan hasil zina, maka anak tersebut tidak mendapatkan harta waris dari
laki-laki yang menzinai, dan sebaliknya. Tetapi, anak mendapatkan warisan dari ibunya dan juga
sebaliknya. Alasannya, karena anak yang mendapatkan harta waris ialah anak senasab atau satu
darah, lahir dengan pernikahan syar'i. Jika dilahirkan lebih dari enam bulan dan kurang dari
empat tahun setelah akad nikahnya, maka ada dua keadaan :

1.      Jika ada kemungkinan anak tersebut dari suami, karena ada hubungan badan setelah akad
nikah misalnya, maka nasabnya tetap ke suami, berarti berlaku baginya hukum-hukum anak
seperti hukum waris dll. Karena itu suami diharamkan meli’an istrinya atau meniadakan nasab
anak tersebut darinya (tidak mengakui sebagai anaknya)

2.      Jika tidak memungkinkan anak tersebut darinya seperti belum pernah ada hubungan badan
semenjak akad nikah hingga melahirkan, maka nasab anak hanya ke istri bahkan wajib bagi
suami meli’an dengan meniadakan nasab anak darinya (tidak mengakui sebagai anaknya). Hal
ini untuk menjaga agar tidak terjadi hak waris kepada anak.

Jika dilahirkan kurang dari enam bulan atau lebih dari empat tahun, maka anak tersebut
tidak bisa dinasabkan kepada suami dan tidak wajib bagi suami untuk meli’an istrinya. Bagi anak
tidak berhak mendapatkan waris karena tidak ada sebab-sebab yang mendukung hubungan
nasab.

Contoh Penyelesaian Masalah Mawaris Antara Anak Lian

Kata li’an menurut bahasa berarti alla’nu bainatsnaini fa sha’idan (saling melaknat yang
terjadi di antara dua orang atau lebih). Sedang, menurut istilah syar’i, li’an ialah sumpah dengan
redaksi tertentu yang diucapkan suami bahwa isterinya telah berzina atau ia menolak bayi yang
lahir dari isterinya sebagai anak kandungnya, dan kemudian sang isteri pun bersumpah bahwa
tuduhan suaminya yang dialamatkan kepada dirinya itu bohong.

Dari defenisi diatas dapat disimpulkan bahwa lian adalah sumpah seorang suami yang
menuduh istrinya berbuat zina, bahwa ia akan menerima laknat Allah Swt., apabila tuduhannya
terhadap istrinya berzina ternyata tidak benar. Apabila perzinaan yang dituduhkan suami

10
terhadap istrinya itu benar dan kemudian melahirkan anak, maka anak tersebut dinamakan anak
li`an. 

Pasal 162 Kompilasi hukum islam (KHI) diindonesia menyebutkan, “bilamana


li`an  terjadi, maka perkawinan itu putus untuk selamanya dan anak yang dikandung dinasabkan
kepada ibunya, sedang suaminya terbebas dari meberi nafkah.” Adapun teknis pelaksanaan li`an,
suami menuduh istrinya telah berzina disertai sumpah empat kali atas nama Allah Swt, bahwa
tuduhannya benar. Pada sumpah kelima, suami mengatakan bahwa laknat Allah Swt. Akan
menimpa dirinya jika ia berdusta. Kemudian istri diberi kesempatan untuk menolak tuduhan
dengan cara bersumpah empat kali atas nama Allah dengan mengatakan bahwa suaminya
berdusta. Pada supahnya yang kelima, ia mengatakan  bahwa laknat Allah akan menimpa dirinya
jika tiduhan suaminya ternyata benar. Dasarnya adalah firman Allah SWT.:

Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina) pada hal mereka tidak mempunyai saksi-
saksi selain dirinya sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan
nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang beriman. Dan (sumpah) yang
kelima bahwa laknat Allah atsnya jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. (QS AL-Nur
[24]: 6-7)

            Para Ulama sepakat bahwa status hukum anak li`an adalah sama dengan anak zina. Yaitu
bahwa anak hanya bisa dinasabkan kepada ibunya saja. Dasarnya adalah tindakan Nabi Saw.
Ketika menyelesaikan perkara li`an sebagaiman dalam riwayat berikut: 

“Riwayat dari ibnu `Umar r.a bahwa seorang laki-laki telah meli`an istrinya   pada Masa Nabi
Saw. Dan ia menafikan anak istrinya tersebut, maka Nabi Saw. Menceraikan antara keduanya
dan mempertemukan nasab anaknya kepada ibunya.”(Riwayat al-Bukhari dan Abu Daud)
“Rasulullah Saw.menjadikan hak waris anak li`an (mula`ananh) kepada ibunya DAN AHLI
waris ibu sesudahnya.”(Riwayat Abu Daud)8
Dari uraian diatas dapat ditegaskan bahwa status hukum anak li`andisamakan dengan
anak zina. Mereka hanya dapat mewarisi kepada ibu dan saudara-saudaranya yang seibu saja,
tidak bisa mewarisi kepada bapaknya dan ahli waris lainya, karna tidak mempunyai hubungan
kekerbatan dengan bapaknya.

8
Ahmad Rofiq M.A., Fiqh Mawaris, Jakarta:Rajawali Pers, 2002 Hlm. 163
11
Persoalan yang timbul adalah,bagaimana penyelesaiannya apabila anakli`an tersebut
berkedudukan sebagai al-muwarrits. Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Para
sahabat besar seperti `Umar ibn al-khattab, Ali ibn Abi Thallib dan ibn Mas`ud berpendapat, ibu
dari anak zina atau anakli`an sebagai ahli waris tunggal, sebagai ashab al-
furudl dan `ashabahsekaligus. Karena didalam kenyataannya, sejak li`an itu menjadi, hubungan
mereka itu terputus selamanya (bain), maka praktis ibu bertindak sebagai ibu dan bapak
sekaligus. Fungsi demikian sejalan dengan sabda Nabi Muhammad Saw.:

“Nabi Saw. Bersabda: ”Wanita itu dapat memperoleh tiga macam harta, harta
peninggalan budaknya yang telah dibebaskan, harta peniggalan anak pungutnya dan harta
peninggalan anak li`annya.”(Riwayat Abu Daud)

Sebagai akibat dari li`an tersebut ada dua hal besar yang berkaitan dengan masalah
kewarisan: pertama: putus hubungan kewarisan antara suami-istri dan kedua: putus hubungan
suami yang meli`an dengan anak yang dilahirkan. Adapun hubungan kewarisan antara laki-laki
dengan anak dari istri yang dili`annya terputus semenjak selesainya li`an yang mengandung
maksud menafikan anak itu; dan tidak dari pemisahan yang dilakukan oleh hakim; oleh karena
hubungan antara anak tersebut dan laki-laki itu dinafikan semenjak laki-laki tersebut
menafikannya dan bukan disebabkan oleh tindakan hakim  yang menceraikan antara suami dan
istri.9

Contohnya, seorang wanita meninggal dunia, ahli warisnya terdiri dari: nenek, anak
permpuan (tidak sah), dan cucu perempuan garis perempuan. Harta warisan sejumlah Rp
12.000.000,-. Bagian masing-masing adalah:

1. Menurut Imam Malik dan Imam Syafi`i:

Ahli Waris Bahagia Asal Masalah Haul Warisan Penerima


n
6 Rp 12.000.000,-
Nenek 1/ 2 1/6 Rp 12.000.000,- = Rp 2.000.000,-
6
Anak Zina/Li’an ½ 3 3/6 Rp 12.000.000,- = Rp 6.000.000,-
Cucu Perempuan - - - - -
Jumlah = Rp 8.000.000,-

9
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta : KENCANA, 2008, Hlm. 144
12
Sisanya Rp 12.000.000,- - Rp 8.000.000,- = Rp 4.000.000,- diserahkan ke bait al-mal. Anak
perempuan (tidak sah) tetap menerima bagian karena yang meninggal adalah ibunya, yang masih
dianggap mempunyai kekerabatan dan sebagai ahli waris yang sah.

2.      Menurut Imam Abu Hanifah:

Ahli Waris Bahagia Asal Masalah Haul Warisan Penerima


n

6 Rp 12.000.000,-

Nenek 1/6 1 1/6 Rp 12.000.000,- =Rp 2.000.000,-

Anak Zina / Li’an ‘ashba ½ 3/6 Rp 12.000.000,- =Rp 6.000.000,-


h

Cucu Perempuan 6 2 2/6 Rp 12.000.000,- =Rp 4.000.000,-

Jumlah Rp 12.000.000,-

Sisanya yang seharusnya diserahkan ke bait al-mal menurut pendapat Iman Malik dan Iman
Syafi`i, diserahkan pada cucu perempuan (dzawi al-arham) menurut Iman Abu Hanifah. Contoh
kedua, seorang laki-laki meninggal dunia, ahli waisnya terdiri dari bapak dan anak tidak sah.
Harta warisannya Rp 1.000.000,-. Maka penyelesaiannya.:

Ahli Waris Bahagia Asal Masalah Haul Warisan Penerima


n
Bapa ‘ashaba 1 1/1 Rp 1.000.000,- =Rp 1.000.000,-
h
Anak Zina - - - - -
1 Jumlah =Rp 1.000.000,-
Anak zina dianggap sebagai anak tiidak sah, karena itu tidak dapat menerima bagian harta
warisan. Karena bapak disini statusnya adalah sebagai kakek dari anak zina garis laki-laki,
karena tidak memiliki hubungan kekerabatan.10

10
Ahmad Rofiq M.A., Fiqh Mawaris, Jakarta : Rajawali pers, 2002 Hlm. 167
13
BAB III

PENUTUP

3.1: Kesimpulan

Dari pemaparan singkat di atas, kiranya dapat diambil beberapa kesimpulan, yakni
mengenai anak kandung ketetapan bahwa dia mendapatkan warisan adalah qath’i baik melalui
ayahnya ataupun melalui ibunya. sedangkan anak hasil perbuatan zina tersebut yang ia
dinasabkan langsung kepada ibunya jika si wanita yang melakukan zina tersebut tidak memiliki
suami atau dalam masa ‘iddah, sedangkan jika wanita tersebut memiliki suami atau dalam masa
‘iddah maka secara otomatis anak tersebut menjadi nasab dari suami ibunya.

Dapat ditegaskan bahwa menurut Mayoritas Ulama, anak zina tidak bisa mewarisi
“ayah”nya, karena status hukumnya tidak ada hubungan nasab diantara mereka. Anak zina hanya
bisa mewarisi harta peninggalan ibunya, dan saudara-saudaranya  yang seibu. Demikian juga
sebaliknya jika anak zina tersebut meninggal, maka harta peninggalannya hanya bisa diwarisi
oleh ibu dan saudara-saudaranya yang seibu. Dengan pelaksanaan pemberian warisan pada anak
tersebut ialah seperti apabila seseorang wanita meninggal dunia dan meninggalkan ahli waris.

Meskipun anak li’an mempunyai status yang sama dengan anak zina yaitu sama-sama
anak daripada anak yang tidak sah. Namun perbedaan antara kedua-duanya adalah bahwa anak
dari hasil hubungan zina tetap jelas statusnya daripada awal seperti lahir dari perempuan yang
tidak bersuami sedangkan anak dari li’an yang lahir daripada perkahwinan antara suami dan istri
yang sah, namun tidak diakui anak tersebut oleh dari suami itu sendiri. Dapat disimpulkan pula
bagaimana hukum pewarisan terhadap anak hasil perbuatan zina dan li’an.

14
3.2: Saran

Diharapkan penjelasan terkait masalah warisan anak dari hasil zina dan juga anak yang
dari ketidak pengakuan baik dari suami mahupun isteri atau li’an dapat memberikan sedikit
gambaran terhadap terkait masalah warisan ini. Yang dilihat sering timbul yang di mana dalam
era serba modern atau kontemporer pada zaman ini.

15

Anda mungkin juga menyukai