Tafsir Dan Takwil Atas Ayat-Ayat Mutasyābihāt Dalam Pandangan Mufassir Klasik Dan Modern
Tafsir Dan Takwil Atas Ayat-Ayat Mutasyābihāt Dalam Pandangan Mufassir Klasik Dan Modern
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Theologi Islam (S. Th. I.)
Oleh
KHAIRUL ANAM
NIM: 1111034000119
1437 H/2015 M.
LEMBAR PERNYATAAN
1. Skripsi ini merupakan asli karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
2. Semua sumber yang saya rujuk dalam penulisan skripsi ini telah saya cantumkan
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau merupakan
hasil plagiasi dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku
Khairul Anam
I
Motto
II
Halaman Persembahan
Skripsi ini saya tulis sebagai salah satu bukti study selama empat tahun
di bangku kuliah, dengan perjuangan yang begitu melelahkan dan persaingan
hidup yang sangat ketat di tengah-tengah kota Metro Politan yang kejamnya
melebihi kejamnya ibu tiri.
Akhirnya, skripsi ini saya persembahkan kepada: Bapak (almarhum)
dan Ibu (Abu Shaib & Suhayam), serta kakak-kakak saya yang selalu
memberikan dukungan, baik berupa moril ataupun materil (Moh Musleh &
Sua’dah, Hosni & Sudarti, Moh Sani & Su’ada, Samrawi & Maisura, Moh
Halim & Mariana, Mahrawi & Masuni, dan Moh Hosan & Wiwin
Wulandari).
Ya Allah, dengan segala kerendahan hati, kami mohon muliakanlah
mereka yang telah membantu saya selama masa study, berilah ketenangan hati
pada mereka, murahkan rizki dan panjangkan serta berkahkanlah usia
mereka, sediakanlah tempat untuk mereka di surga-Mu ya Rob.. Amin..
III
PEDOMAN TRANSLITERASI
transliterasi dalam buku Pedoman Akademik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2011-
2012.
Padanan Aksara
ب b be
ت t te
ث Ts Te dan es
ج j je
خ kh k dan h
د d de
ر r er
ز z zet
س s es
ش sy es dan ye
IV
ظ ẓ zet dengan titik bawah
غ gh ge dan ha
ف f ef
ق q ki
ك k ka
ل l el
م m em
ن n en
و w we
ه h ha
ء ʹ apostrop
ي y ye
Vokal Panjang
V
Vokal Rangkap
أي ai a dan i
أو au a dan u
Kata Sandang
Syaddah (Tasydȋd)
dengan sebuah tanda ( ّ), dalam alih aksara ini dilambangkan dengan
huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu.
Tetapi itu tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu
Ta Marbūṭah
Al-jāmiʻah al-
اجلامعة اإلسال مية Islāmiyyah
Diikuti oleh kata sifat
VI
ABSTRAK
Khairul Anam
Tafsir dan Takwil atas Ayat-ayat Mutasyābihāt dalam Pandangan Mufassir
Klasik dan Modern (Studi atas Tafsir Jāmiʻ al-Bayān ʻan Ta’wīli āy al-Qur’ān
dan Tafsir Maḥāsin al-Ta’wīl)
Persoalan tafsir dan takwil bukanlah hal baru dalam kajian ulum al-
Qur‟an. Ia telah ada sejak masa Nabi, tetapi pada saat itu jangkauannya masih
kecil, karena para mufassir pada saat itu jika menemukan ayat yang musykil
mereka langsung menanyakan kejelasan maknanya kepada Nabi. Oleh karena itu
penafsiran-penafsiran para sahabat, tābiʻīn , tābʻit tābiʻīn bahkan beberapa ulama
yang hidup setelah masa tābiʻīn masih menggunakan riwayat dari Nabi. Itulah
yang disebut tafsir bi al-ma’tsūr oleh ulama al-Qur‟an. Hal ini berbeda dengan
masa-masa berikutnya. Pada masa belakangan ini, tafsir mengalami
perkembangan yang pesat. Tafsir tidak lagi dipahami hanya sebatas pada
penjelasan-penjelasan yang dinukil dari riwayat, tetapi ia juga bersumber dari
penalaran, hingga selain dikenal dengan tafsir bi al-ma’tsūr juga dikenal dengan
tafsir bi al-ra’yi,yaitu tafsir yang didasarkan pada nalar manusia.
Selain tafsir, takwil juga telah banyak digunakan sebagai alat untuk
menguak makna-makna yang terkandung dalam al-Qur‟an. Tidak hanya pada
masa-masa akhir ini, tapi istilah takwil sudah sejak masa Nabi dikenal. Hanya
saja, penggunaan takwil terhadap al-Qur‟an secara berlebihan akhirnya
membuatnya kurang berkenan di hati sebagian ulama. Sehingga sebagian ulama
enggan menggunakan takwil dalam memahami al-Qur‟an, tapi sebagian yang lain
justru tidak bisa mengelak untuk menggunakannya. Dalam penelitian ini penulis
memilih dua kitab tafsir sebagai objek penelitian, yaitu; Tafsir Jāmiʻ al-Bayān ʻan
Ta’wīli āy al-Qur’an dan Tafsir Maḥāsin al-Ta’wīl, tentu saja penetapan dua kitab
tafsir ini tanpa alasan. Ada beberpa alasan kenapa penulis memilih dua kitab ini.
Diantaranya adalah karena dua kitab tafsir ini selalu menggunakan kata ta’wīl
pada setiap menjelaskan ayat, bahkan penamaan dua kitab tafsir ini menggunakan
kata ta’wīl.
Dalam penelitian ini, penulis memilih enam ayat al-Qur‟an untuk
dianalisis, dengan mengambil sebagian ayat-ayat muḥkam dan ayat-ayat
mutasyābih. Sebab penelitian ini bertujuan untuk membuktikan penggunaan
takwil dalam dua tafsir ini dalam menguraikan makna ayat-ayat al-Qur‟an, serta
penggunaan kata ta’wīl yang terdapat di dalamnya tidak selamanya dapat
dipahami bahwa ayat yang dijelaskan itu selamanya menggunakan penguraian
takwil, tapi juga menggunakan tafsir, yaitu dengan menguraikan/menjelaskan
makna-makna sesuai teks dan riwayat-riwayat.
Objek yang dikaji hanya difokuskan pada enam ayat. Yaitu dengan cara
memahami terlebih dahulu pemaparan al-Ṭabarī dan al-Qāsimī atas enam ayat
yang telah ditetapkan, setelah itu baru menganalisis paparannya dengan melihat
definisi tafsir dan takwil, apakah paparan yang mereka lakukan sesuai dengan
tafsir atau takwil. Maka dari apa yang telah penulis analisis dapat disimpulkan
bahwa penggunaan kata ta’wīl dalam dua tafsir ini tidak selamanya bermakna
takwil, dalam arti memalingkan suatu lafaẓ dari satu makna pada makna yang
lain, tetapi kata ta’wīl juga dapat bermakna tafsir, yaitu menguraikan makna ayat-
ayat al-Qur‟an sesuai makna ẓahir serta merujuk pada riwayat-riwayat.
VII
KATA PENGANTAR
syukur penulis kehadirat Allah swt, atas karunia Rahamat, Hidayah serta
ikhlasan. Dalam proses penulisan skripsi ini tentu banyak hal yang menyebabkan
kegalauan dan kegundahan yang dialami oleh penulis. Hal ini karenakan banyak
segala tugas yang menjadi syarat wisuda, penulis paham betul dengan maksud
mereka. Melihat sebagian teman-teman yang sudah selesai lebih awal juga
menjadi salah satu sebab kegelisahan penulis, sehingga penulis harus segera
menyelsaikan penulisan skripsi ini. Adik-adik junior yang hampir setiap ketemu
menanyakan “kapan wisuda bang”? ini juga menjadi alasan bagi penulis untuk
tetap semangat.
Shalawat serta salam penulis sampaikan kepada reformis dunia yang telah
bumi ini. Dari yang negatif ke yang positif, dari kegelapan pada cahaya, dari yang
tidak manusiawi pada yang manusiawi. Seorang Nabi yang menjadi suri tauladan
bagi umat manusia, sabdanya menjadi hukum dan akan terus dikaji sampai akhir
akhir penulisan skripsi ini, baik internal maupun eksternal. Berbagai macam
kesulitan juga dapat penulis rasakan, hal ini mungkin dikarenakan minimnya
VIII
pengetahuan penulis tentang apa yang dibahas dalam skripsi ini. Namun penulis
akhirnya optimis setelah mendengar kalam hikmah dari salah seorang dosen Tasir
pembimbing penulis dalam penulisan skripsi ini, dia adalah bapak Eva Nugraha,
MA. Beliau pernah berkata pada saya “Kalau kamu mentok dalam menulis, kamu
berdo‟a kepada Allah. Saya yakin Allah akan memberikan pentunjuk, karena
dari dukungan dan bantuan banyak pihak. Oleh karenanya, dengan segala
Prof. Dr. Masri Mansoer, MA. Selaku dekan Fakultas Usuluddin dan
Filsafat, juga sebagai deosen Metode Penelitian pada semester VII.
Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA. Sebagai Ketua Jurusan Tafsir Hadits,
sekaligus dosen pada mata kuliah Tahfiẓ al-Qur‟an pada semester IV
dan Praktikum Penulisan Karya Ilmiyah pada semester VII.
Dra. Banun Binaningrum, M.Pd. Sebagai sekretaris jurusan tafsir hadits
yang selalu melayani mahasiswa termasuk penulis dalam urusan surat
menyurat. Juga sebagai dosen pengampuh mata kuliah Bahasa Inggris
pada semester I.
Eva Nugraha, MA. Sebagai dosen pembimbing sekaligus sebagai dosen
penganpu mata kuliah Tafsir Ijtima’i pada semester VI yang selalu
meluangkan waktu dan tempatnya untuk penulis, bahkan tidak cuma
itu. Penulis memulai penulisan skripsi ini hingga selesai di rumah
beliau. Terimakasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada
beliau serta keluarga, karena telah menerima penulis untuk tinggal di
rumahnya selama penulisan skripsi ini dengan segala fasilitasnya.
Jazahumullah khairan katsira.
IX
Dr. Ahzami Samiun Jazuli, MA. dan Drs. A. Rifqi Muchtar, MA.
sebagai penguji skripsi pada sidang Munaqasah yang diselenggarakan
pada hari senin, 16 November 2015 bertempat di ruang Munaqasah
lantai 7 Fakultas Ushuluddin.
Seluruh dosen di Fakultas Ushuluddin khususnya di jurusan Tafsir
Hadits yang pernah mendidik penulis selama masa studi.
Bapak (Almarhum) dan Ibu yang selalu mendo‟akan dengan segala
ketulusan hatinya, menasehati, memperhatikan kesehatan dan selalu
mengingatkan penulis pada shalat sebagai salah satu ajaran Islam. Juga
kepada semua kakak penulis (Moh: Musleh & Su‟adah, Hosni & Darti,
Sani & Su‟adah, Samrawi & Maisurah, Moh: Halim & Mariana,
Mahrawi & Masuni, dan Moh: Hosan & Wiwin Wulandari),
terimakasih atas segala perhatian dan pengertiannya serta dukungannya
baik berupa materil maupun moril. Kalian luar biasa. I Love You.
Sahabat-sahabat Tafsir Hadist seperjuangan yang tidak bisa penulis
sebutkan satu persatu, terutama teman-teman TH kelas D. Kalian adalah
lawan dalam diskusi dan teman dalam berpikir. Kita telah berjuang
bersama, semoga kita masih bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang
yang lebih tinggi, dan suatu saat kita akan bertemu di forum resmi,
yaitu silaturrahmi alumni Tafsir Hadits Fakultas Usuluddin UIN
Jakarta, sebagaimana yang telah terlaksana beberapa bulan yang lalu,
yang dihadiri oleh tokoh-tokoh besar. Seperti Prof. Dr. Din
Syamsuddin, Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA. dan lain sebagainya.
Amin..
Teman-teman IMABA (Ikatan Mahasiswa Bata-Bata) Jakarta yang
telah menemani selama masa study. Berjuang bersama, lapar bersama,
dan mengabdi bersama. aku akan merindukan canda tawa kalian, juga
kacoan kalian yang kadang-kadang meningkatkan semangat belajar
penulis. Suasana masak bersama hingga makan bareng akan menjadi
kenangan indah diantara kita, dan akan menjadi cerita yang menarik
pada anak cucu kita nanti. Baihakim yang selalu memberi semangat
agar saya segera menyelesaikan skripsi, Ubed yang setiap kali bertemu
X
selalu bertanya “kapan wisuda, bang”?, sebenarnya saya bosan dengan
pertanyaan itu. Hasin, Jakfar Sadik, Sem Ali, dan Sufyan yang selalu
menemani saya main kartu taktkala saya malas mengerjakan skripsi.
bang Salim, bang Izat, bnag Habib, bang Afif, dan bang Muttaqin,
selaku senior saya di IMABA Jakarta, terimakasih buat kalian semua.
Kepada mereka semua penulis tidak bisa membalas apa-apa kecuali
ungkapan terimakasih yang sedalam-dalamnya serta do‟a yang tulus kepada Allah
swt, agar semua kebaikannya dibalas dengan pahala yang setimpal, jazākumullāh
khairan katsīra, serta diberkati kehidupan yang penuh bahagia, baik di dunia
maupun di akhirat kelak. Semoga apa yang telah penulis lakukan, berupa
penelitian ini bermanfaat bagi diri sendiri serta masyarat umum. Amin.
Khairul Anam
NIM: 1111034000119
XI
DAFTAR ISI
BAB I. PENDAHULUAN
XII
3. Sebagian Muḥkam dan sebagian Mutasyābih ....................... 35
Terpilih .................................................................................. 60
XIII
2. Pemilihan Lafaẓ-lafaẓ yang akan Dikomparasikan ............. 70
BAB V. PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................... 81
B. Saran-Saran ............................................................................... 82
Daftar Pustaka
XIV
BAB I
PENDAHULUAN
bersumber dari adanya ayat suci al-Qur`an yang bermakna jelas atau pasti
(muḥkamāt) dan yang bermakna samar atau tidak pasti (mutasyābihāt).2 Kedua
jenis ayat itu disebutkan dalam al-Qur`an QS. Āli „Imrān [3]; 7:
Pada ayat di atas terdapat dua klasifikasi ayat al-Qur`an, yakni ayat-ayat
1
Penulisan kata takwil (dengan menggunakan k) merujuk pada Kamus Besar Bahasa
Inidonesia, hal. 735.
2
Suʻūd bin „Abdillāh al-Fanyasān, Ikhtilāf al-Mufassirīn; Asbābuhū wa Atsāruhū (Dār
Isybīliyān: Markāz al-Dirāsyāt wa al-iʻlām, 1997 M), Cet. I, hal. 157.
1
2
ulama sebagai ayat yang terang dan tegas maksudnya, dapat dipahami dengan
mudah,3 seperti perintah untuk berpuasa pada bulan Ramaḍan, melaksanakan ṣalat
lima waktu, kewajiban ibadah haji bagi yang mampu, dan lain sebagainya.
beberapa pengertian dan tidak dapat ditentukan arti mana yang dimaksud kecuali
setelah dikaji secara mendalam, atau ayat-ayat yang pengertiannya hanya Allah
swt, yang mengetahui, seperti ayat-ayat yang berkaitan dengan perkara ghaib.4
tergolong mutasyābihāt dan mana pula yang tergolong muḥkamāt. Hal itulah yang
menyebabkan para ulama berbeda pendapat mengenai ruang lingkup batasan ayat-
ayat mutasyābihāt. Oleh karenanya, tidak jarang ditemukan ayat yang oleh
sebagian ulama dianggap muḥkamāt, akan tetapi oleh sebagian yang lain justru
dianggap mutasyābihāt.5
Muḥammad bin Ḥabīb al-Nīsābūrī, membagi ayat al-Qur`an pada tiga bagian.6
Pertama, seluruh ayat al-Qur`an adalah muḥkamāt (bermakna jelas dan pasti).
makna lebih dari satu). Ketiga, sebagian dari ayat-ayat al-Qur`an ada yang
muḥkamāt dan sebagian yang lain adalah mutasyābihāt. Pendapat yang ketiga ini
3
Nuruddin „Atir, „Ulūm al-Qur‟ān al-Karīm (Maṭbaʻah al-Ṣabāh 1416 H/ 1997 M), Cet.
VII, hal. 122.
4
Mannā‟ al-Qaṭṭān, Pengantar Studi al-Qur`an, trj; Mifdhol Abdurrahman (Pustaka al-
Kautsar, 2012), Cet. VII, hal. 266.
5
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Miṣbah; Pesan, kesan, dan Keserasian al-Qur`an, Vol. 2
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), hal. 19.
6
Badru al-Dīn Muḥammad bin ʻAbdillāh al-Zarkasyī, al-Burhān fī „Ulūm al-Qur‟ān
(Maktab Dār al-Turāts), hal. 68.
3
adalah pendapat yang ṣaḥīh. Hal ini disinyalir dalam firman Allah swt, QS. Āli
„Imrān [3]: 7.
adalah ayat-ayat yang sudah diketahui takwilnya, dan dapat dipahami makna dan
terdapat pada surah al-Fātiḥah, karena ṣalat tidak sah tanpanya. Sedangkan
ketauhidan saja.8
memahaminya. Dalam memahami ayat-ayat muḥkamāt yang sudah jelas dan pasti
makna tidak cukup dengan tafsir, tapi harus dengan menggunakan takwil.
Tafsir tidak lagi dipahami hanya sebatas pada penjelasan-penjelasan yang dinukil
dari riwayat (tafsir kontemporer tidak didominasi oleh riwayat), tetapi ia juga
7
Akan dijelaskan lebih rinci pada bab berikutnya. Yaitu pada bab II setelah pembahasan
tentang definisi tafsir dan takwil serta perbedaannya.
8
Al-Qurṭubī, Tafsir al-Qurṭubī, Jilid. IV, hal. 25-26.
4
bersumber dari penalaran, hingga selain dikenal dengan tafsir bi al-ma‟tsūr juga
Munculnya tafsir yang didasarkan pada nalar manusia ini tidak terlepas
dari beberapa hal yang dapat mempengaruhi. Misalnya, pengaruh filsafat, realitas
dapat dilakukan dengan cara takwil, yaitu pemahaman atas fakta-fakta tekstual
yang diperlihatkan bukanlah makna lahiriyah kata-kata pada teks suci itu, tapi
Takwil sebenarnya sudah dikenal sejak masa sahabat Nabi Saw, karena
memang sejak dahulu kala istilah takwil sudah dikenal dalam bahasa Arab dan
menjadikan takwil kurang berkenan di hati dan pikiran sebagian ulama, terlebih
mereka yang hidup sebelum abad ke-3 H, atau kelompok yang berusaha
melakukan pemurnian agama dari segala yang baru.12 Kelompok ini dalam
9
Tafsir bi al-ma‟tsūr adalah menafsirkan al-Qur`an dengan al-Qur`an, hadits Nabi, dan
qaul sahabat, karena sahabat adalah orang yang hidup semasa dengan Nabi, mereka menyaksikan
turunnya wahyu dan mengetahui sebab-sebab turunnya ayat. Sementara tafsir bi al-ra‟yī adalah
tafsir yang bersumber dari nalar manusia dengan cara berijtihad dan dibangun atas dasar-dasar
yang benar (ṣahih) dan kaidah-kaidah yang benar. Lihat; Muhammad ʻAlī al-Ṣābūni, at-Tibyān fī
„Ulūm al-Qur‟ān (Beirut; Maktab al-Ghazali, 1981), Cet. II, hal. 63 dan 153.
10
Kata-kata ambigu yang bermakna ambigu diakui oleh para pakar ulama al-Qur`an
sendiri. Hal ini dapat ditandai dengan pengakuan keberadaan Lafaẓ mutarādif, yakni Lafaẓ-Lafaẓ
yang mempunyai beberapa kemungkinan arti.
11
Nur Kholis Madjid, Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah (Jakarta:
Paramadina, 1995), hal. 11.
12
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir (Tangerang: Lentera Hati, 2013), Cet. II, hal. 221.
5
Allah Swt, sambil berucap “Allāhu aʻlam bi murādihī” (Allah Maha Mengetahui
ditanya tentang makna firman Allah swt, dalam QS. Ṭāha [20]: 5;
ayat itu cukup jelas, lalu beliau terdiam tidak menjelaskan apa maksudnya,
bahkan beliau berkata: “mempertanyakan hal ini adalah bidʻah”.13 Namun sikap
manusia, sementara sikap yang ditunjukkan oleh kelompok salaf di atas, tidak
pengenalan Dzat Allah swt, dan sifat-sifat-Nya, tentang hal ghaib seperti malaikat
dan jin, yang nota bene merupakan bagian terpenting dari ajaran Islam. Boleh
jadi, ini yang menyebabkan ketidakpuasan sebagian ulama terhadap apa yang
banyak dilakukan. Penggunaan takwil antara lain terlihat pada penjelasan ayat-
ayat al-Qur`an yang dilakukan oleh para theolog, khususnya kaum Muʻtazilah
13
Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, hal. 222.
6
yang diidentifikasi sebagai kaum rasional. Meski demikian, takwil tetap saja
Baghdad pada tahun ke-3 H. Terlepas dari pertikaian, para kaum rasionalis yang
antara lain mengambil bentuk takwil, tidak boleh dinafikan. Apalagi dinamika
tidak lagi terjelaskan melalui sabda Rasulullah dan aqwāl para sahabat.14
sebagian dari kecenderungan positif, juga harus diterima sebagai bagian dari
kebutuhan. Lebih lagi, kaitannya dengan ayat-ayat tentang Dzat dan sifat Allah
swt.15
dengan cara liar, serampangan, dan sekehendak hati. Ia harus dibatasi oleh syarat-
syarat khusus yang terkait dengan materi ayat yang dapat ditafsirkan secara
setelah abad ke-3 H, tidak dapat mengelak dari penggunaan kata takwil. Tetapi
takwil.17 Pertama, sangat ketat. Kedua, sangat longgar. Yang pertama hampir
14
Quraish Shihab, Membumikan al-Qur`an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, Jilid. II (Bandung : Mizan, 1995), hal. 91.
15
Dedi Junaedi, Konsep Takwil dan Penerapannya dalam Tafsir al-Miṣbah Karya M.
Quraish Shihab: Tesis, hal. 10-11.
16
Syāṭibi, al-Muwāfaqāt, Jilid. II (Beirut : Dār al-Maʻrifat. t.th), hal. 100.
17
Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, hal. 224.
7
beranggapan bahwa para pendahulu telah berhasil menjelaskan seluruh makna al-
dan penerimaan masyarakat pada umumnya terhadap tafsir Jāmiʻ al-Bayān „an
karya Jamāluddīn al-Qāsimī (1866-1914 M). Kedua tafsir ini menarik untuk
dibahas sebagai sebuah penelusuran dari kajian takwil, karena beberapa alasan.
yang sama setiap menafsirkan ayat al-Qur`an yaitu, “al-Qaulu fī ta‟wīli qaulihī
Ta‟ālā. Padahal kedua mufassir ini berbeda zaman. al-Ṭabarī tergolong mufassir
(kontemporer) dari abad ke-4 hingga abad ke-12 Hijriah, dan periode modern dari
8
apakah yang dimaksud kata ta‟wīl dalam dua kitab tafsir ini adalah semuanya
bermakna takwil (dalam arti terminologi) atau bahkan mermakna tafsir (yaitu
Quraish Shihab (1944), „Ulūm al-Qur‟ān karya Nuruddin „Atir, „Ulūm al-Qur‟ān
min Khilāli Muqaddimāt al-Tafāsir karya Syaikh Ibrāhīm Haqqī, Fī „Ulūm al-
Qur‟ān „Arḍun wa Naqdun wa Tahqīqun karya Aḥmad Ḥasan Farḥāt dan buku-
buku „Ulum al-Qur`an yang lainnya. Tafsir dibedakan dengan takwil, walaupun
ada juga yang menyamakan diantara keduanya.18 Tafsir berkaitan denga riwāyah,
analisis. Takwil adalah melahirkan makna ayat dari makna yang zhāhir ke makna
lain yang dimungkinkan, selama makna yang dipilih sejalan dengan al-Qur`an dan
Sunnah.
Sementara dalam dua tafsir ini (Jāmiʻ al-Bayān „an Ta‟wīli āy al-Qur‟ān
tafsirnya, hal ini menjadikan motivasi bagi penulis untuk mengkaji lebih dalam
tentang konsep takwil kedua mufassir ini sekaligus penerapannya. Apakah semua
kata ta‟wīl yang dimaksud dalam tafsirnya ini adalah takwil dalam arti
kata ta‟wīl yang dimaksud adalah takwil dalam arti etimologi? Kesimpulan
18
Aḥmad Ḥasan Farḥāt, Fī „Ulūm al-Qur‟ān (Dār „Imār, 2001), Cet. I, hal. 210.
19
Khālid Fāiq al-„Ubaidi, al-Qur‟ān Manḥalu al-„Ulūm (Beirut, Dār al-Kutub al-
„Alamiyah 2007), Cet. I, hal. 322.
9
sementara penulis adalah semua takwil pasti tafsir dan tidak semua tafsir adalah
takwil.
takwil) belum ada yang melakukannya secara komparatif. dan penelitian ini akan
penulis tuangkan dalam bentuk skripsi dengan judul; TAFSIR DAN TAKWIL
MUFASSIR KLASIK DAN MODERN (Studi atas Tafsir Jāmiʻ al-Bayān „an
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan judul dan latar belakang masalah yang telah penulis paparkan
makna (ayat-ayat mutasyābihāt)? Apa yang maksud dari kata ta‟wīl oleh
batasan-batasan kedua kategori ayat tersebut, ayat yang masa saja yang
termasuk ayat muḥkamāt dan ayat mana saja yang termasuk mutasyābihāt.
telah penulis singgung pada latar belakang di atas. Secara garis besar ayat-
ayat mutasyābihāt berkaitan dengan sifat-sifat Allah swt, dan alam ghaib.
mutasyābihāt?
sebagai salah satu metode untuk memahami al-Qur`an. Dan sekalipun pada
masa itu istilah takwil sudah ada, tapi mereka enggan untuk
yang membutuhkan penjelasan lebih jelas dan luas. Apa yang melatar
20
Muhammed Arkoun, Rethingking Islam; Common Questions, Uncommon Answers,
terj. Yudian W. Asmin Laṭiful Khuluq (Yogyakarta: Pusaka Pelajar, 1996), hal. 65.
21
Saiful Anwar Ghofur, Profil Para Mufassir al-Qur`an (Yogyakarta: Pustaka Insan
Madani, 2008), hal. 158.
11
takwil? Apa yang dimaksud kata ta‟wīl dalam dua kitab tafsir ini (Jāmiʻ
istilah al-qaulu fī ta‟wīli qaulihī Taʻālā dalam setiap menafsirkan ayat al-
Qur`an?
1. Batasan Masalah
yaitu, tafsir dan takwil dalam pandangan al-Ṭabarī dan al-Qāsimī serta pemaknaan
Jāmiʻ al-Bayān „an ta‟wīli āy al-Qur‟ān dan tafsir Maḥāsin al-Ta‟wīl. Oleh
penulis hanya membatasi pada ayat-ayat berikut: QS. al-Baqarah [2]: 21, QS. al-
Furqān [25]: 33, dan QS. al-Ḥujurāt [49]: 13 untuk membuktikan bahwa kata
ta‟wīl bermakna tafsir, dan QS. al-Baqarah [2]: 115, QS. Āli „Imrān [3]: 7, dan
QS. al-Fath [48]: 10, sebagai contoh penerapam kata ta‟wīl sebagai takwil.
Pemilihan enam ayat ini dilakukan secara acak, yaitu dengan memilih tiga ayat
2. Rumusan Masalah
penulis dapat menetapkan satu poin yang akan menjadi inti dari pembahasa
12
skripsi ini. Yaitu: Bagaimana al-Ṭabarī dan al-Qāsimī memaknai kata ta‟wīl
sebagai tafsir dan kata ta‟wīl sebagai takwil pada ayat-ayat muḥkam dan
mutasyābihāt dalam tafsir Jāmiʻ al-Bayān ʻan Ta‟wīli āy al-Qur‟ān dan tafsir
Maḥāsin al-Ta‟wīl?
1. Tujuan Penelitian
a. Mengetahui lebih dalam tentang konsep takwil menurut al-Ṭabarī dan al-
Qāsimī.
2. Manfaat Penelitian
a. Untuk mengetahui makna lafaẓ ta‟wīl sebagai tafsir dan pengguaan kata
ta‟wīl sebagai takwil dalam dua tafsir tersebut, dalam tafsir Jāmiʻ al-
Penelitian ini juga menjadi kontribusi penulis yang bernilai ilmiah dalam
E. Kajian Pustaka
ilmiah yang membahas judul skripsi ini. Dalam tinjauan ini, penulis tidak
menemukan satupun judul yang sama dengan judul skripsi ini. hanya menemukan
beberapa karya ilmiah yang berkaitan dengan judul penelitian ini. Dapat penulis
Antara lain sebagai berikut: (1) Ahmad Sudirman Abbas,22 dalam kesimpulannya
tentang makna takwil, yaitu bahwa pemalingan suatu lafaẓ dari makna ẓahir
sebagai Lafaẓ pinjaman yang ditempatkan pada konteks asalnya dan berfungsi
sebagai alternatif dalam menjelaskan makna yang terkandung pada suatu Lafaẓ
selain makna asalnya. Takwil dipersepsikan dengan pemalingan Lafaẓ dari makna
ẓahirnya kemakna lain yang masih merupakan cakupan makna ẓahir tersebut
takwil dalam berijtihad dalam kaitannya dengan ilmu Uṣūl Fiqh. Takwil sebagai
sebuah metode dalam menetapkan sebuah hukum yang erat sekali kaitannya
22
Disertasi dengan judul: Hakikat, Majaz dan Takwil dalam Naṣ serta Implikasinya, 1422
H/2001 M.
23
Disertasi dengan judul: Takwil dan Penerapannya dalam Penetapan Hukum Islam
Menurut Abu Bakar al-Sarakhsi (Sebagaimana Terkandung dalam Bukunya Uṣūl al-Sarakhsi) dan
Relevansinya dengan Ijtihad Masa Kini, 1998.
14
dengan fiqh. (3) Ahmad Saiful Anam,24 dalam tesisnya, Anam menjelaskan
bahwa takwil adalah salah satu cara/metode dalam melakukan ijtihad dalam
teks hukum dengan cara memalingkan makna lahiriah suatu Lafaẓ ke makna lain
dengan cara berbeda oleh sebagian ulama. Dalam istilah tesis ini, ada yang
menggunakan takwil dekat dan ada yang menggunakan takwil jauh. Perbedaan ini
kemudian melahirkan produk yang berbeda. Jadi hukum yang dihasilkan juga
berbeda. Perbedaan hukum itu juga terlihat pada ulama yang menggunakan
(4) Dedi Junaedi, 25 Tesis ini fokus membahas pandangan Quraish Shihab
menjelaskan berbagai ayat, sekiranya ayat tersebut tidak bisa dijelaskan dengan
Rauf,26 dalam tesisnya ini Rauf memfokuskan penbahasannya pada konsep takwil
dengan sifat Allah, alam ghaib, jin, dan malaikat. Bahwa yang terkait dengan
24
Tesis dengan judul: Metode Pendekatan Kebahasaan dalam Ber-Ijtihad” (Studi
Tentang Takwil dan Permasalahannya, 1995.
25
Tesis dengan judul: Konsep Takwil dan Penerapannya dalam Tafsir al-Miṣbāh karya
M. Quraish Shihab, 1434 H / 2013 M.
26
Tesis dengan judul: Pendekatan Takwil al-Marāghī terhadap ayat-ayat Mutasyābihāt,
2007 M.
15
ayat-ayat yang mengandung makna ambigu, harus ditakwil agar dapat dipahami
maknanya.
(6) Anton Jaya,27 Skripsi yang ditulis oleh anton ini membahas tentang
mengeluarkan petunjuk teks dari makna yang riil kemakna yang metaforis,
pada makna subtansi dari suatu teks tersebut. (7) Rifaʻi Zarkasyi,28 dalam skripsi
Kedua, karya atau penelitian yang berkaitan dengan al-Ṭabarī, antara lain:
(1) Dedi Permana Irawan,29 dalam skirpsi ini Dedi hanya membahas tentang
penafsiran al-Ṭabarī khusus terhadap surah al-Aḥzāb ayat 33. Yaitu tentang peran
seorang perempuan dalam rumah tangga. (2) Siti Mabruroh,30 pokok pembahasan
yang berkaitan dengan kata hijrah dalam al-Qur`an. Al-Ṭabarī memberikan atensi
cukup besar dari aspek kebahasaan dalam menafsirkan kata hijrah. Menurutnya
hijrah mempunyai cakupan makna yang sangat luas, tidak hanya bermakna
meninggalkan kondisi tertentu karena Allah Swt. Tapi lebih dari itu. Jadi
pembahasan skripsi ini sama sekali tidak mengarah dengan tema yang penulis
27
Skripsi dengan judul: Metode Takwil Ibnu Rusyd; Telaah atas Kitab Faṣl al-Maqāl
fīmā baina al-Ḥikmah wa al-Syarīʻah min al-Ittiṣāl, 2015.
28
Skripsi dengan judul: Pemaknaan Ayat-ayat Mutasyābihāt (Analisis Terhadap
Terjemahan al-Qur`an DEPAG RI, 2008.
29
Skripsi dengan judul: Eksistensi Ahl al-Bait dalam Kitab Tafsir Jāmiʻ Bayān „an
Ta‟wīli āy al-Qur‟ān, karya Imam Ibn Jarīr al-Ṭabarī (Studi Kritis atas Surah al-Aḥzāb ayat 33),
2001.
30
Skripsi dengan judul: Hijrah Menurut al-Ṭabarī dalam Kitab Tafsir Jāmiʻ al-Bayān „an
Ta‟wīli āy al-Qur‟ān, 2003.
16
tetapkan, yakni, spesifikasi skripsi ini tidak sama dengan spesifikasi penelitian
Tafsir Jāmiʻ al-Bayān „an Ta‟wīli āy al-Qur‟ān. Sama sekali tidak bersinggungan
dengan pemaknaan kata ta‟wīl yang digunakan al-Ṭabaī dalam setiap menjelaskan
suatu ayat al-Qur`an. (5) Hidayatullah,33 dalam skripsi ini, sebagaimana penulis
yang mengandung do‟a dalam al-Qur`an, dan sama sekali tidak menyingggung
antara lain: (1) Nasrullah,34 dalam skripsi ini, Nasrullah membahas corak dan
metode al-Qāsimī dalam menafsirkan al-Qur‟ān. Sebagai sebuah kitab tafsir yang
taḥlīlī. Hal ini dapat dilihat cara menafsirkan ayat. Ia menguraikan banyak hal.
mulai dari kosa kata, makna kalimat, Munāsabah ayat, Asbāb al-Nuzūl, riwayat-
riwayat yang berasal dari Nabi, Ṣahabat, Tabi‟in dan ulama-ulama lainnya.
sehingga tidak ada kesamaan pembahasan dengan fokus penelitian yang penulis
lakukan ini. (2) Aat Hidayat,35 dalam artikel ini, Aat membahas hal-hal yang
berkaitan dengan tafsir Maḥāsin at-Ta‟wīl mulai dari sejarah penulisan tafsir
31
Jurnal dengan judul: Jāmiʻ al-Bayān „an Ta‟wīli āy al-Qur‟ān: analisis alur
penafsiran Ibn Jarīr al-Ṭabarī, 2003.
32
Skripsi dengan judul: al-Dīn al-Khāliṣ dalam al-Qur`an; Telaah atas Kitab Tafsir Jāmiʻ
al-Bayān „an Ta‟wīli āy al-Qur‟ān Karya al-Ṭabarī, 2014.
33
Skripsi dengan judul: Ayat-ayat Do‟a dalam al-Qur‟ān (Ṣīghah-Ṣīghah Do‟a dalam al-
Qur`an Perspektif al-Ṭabarī), 1430 H/2009 M.
34
Skripsi dengan judul: Metode dan Corak Penafsiran al-Qāsimī dalam Tafsir Maḥāsin
al-Ta‟wīl, 2013.
35
Artikel dengan judul: Kitab Maḥāsin al-Ta‟wīl Karya al-Qāsimī, 2014.
17
bersinggungan dengan maksud penggunaan kata ta‟wīl dalam tafsir Maḥāsin al-
Ta‟wīl.
dan atau karya ilmiah sebagaimana disebutkan di atas yang terkait dengan judul
yang telah dipilih oleh penulis. Namun penulis tidak menemukan hasil
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
pandangan al-Ṭabarī dan al-Qāsimī tentang kata tak‟wīl dalam tafsirnya. Dalam
terhadap penafsiran al-Ṭabarī dan al-Qāsimī dalam karya tafsirnya, serta literatur-
2. Sumber Data
Sesuai dengan objek penelitian ini, maka teknik pengumpulan data yang
sekunder:
masalah yang diteliti yaitu: Tafsir Jāmiʻ al-Bayān „an Ta‟wīli āy al-
18
Jamāluddīn al-Qāsimī.
tema yang akan dikaji. Diantara sumber itu adalah Qaidah Tafsir Karya
lain sebagainya.
tujuan dari penelitian ini dapat tercapai secara optimal. Adapun langkah-
4. Analisis Data
data yang diproleh dari hasil pengumpulan ayat-ayat muḥkam dan mutasyābih,
G. Sistematika Penulisan
yaitu: latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan
permasalahan yang akan dibahas secara rinci dan detil pada bab-bab berikutnya.
Bab kedua, tinjauan teoritis tentang tafsir dan takwil, berupa pengertian
ini sengaja penulis letakkan di bab kedua agar pembaca dapat memahami dan
mengenal terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan tafsir dan takwil, ayat-ayat
(al-Ṭabarī dan al-Qāsimī), dan mengenal tentang tafsirnya yaitu, Jāmiʻ al-Bayān
„an Ta‟wīli āy al-Qur‟ān dan Maḥāsin al-Ta‟wīl. Hal ini dimaksudkan untuk lebih
20
mengenal sosok tokoh yang akan dikaji dan diteliti pemikirannya tentang tafsir-
dengan pemahaman takwil al-Qāsimī dalam tafsirnya (Jāmiʻ al-Bayān „an Ta‟wīli
Bab kelima, berisi kesimpulan dari penelitian ini, yaitu berupa jawaban
dari rumusan masalah yang telah penulis tetapkan di atas, serta saran untuk
pembaca hasil penelitian atau skripsi ini agar dikemudian hari penelitian yang
berkenaan dengan tema dan mufassir ini bisa dilanjutkan dengan kualitas yang
lebih tinggi. Upaya penulis dalam menyusun skripsi ini telah dilakukan dengan
penuh kehati-hatian, dan penulis tidak lupa mengharapkan kritik konstruktif dari
Mempelajari tafsir adalah sebuah kebutuhan bagi umat Islam agar dapat
dengannya tentulah tidak dapat memahami al-Qur`an dengan baik dan benar, dan
sekalipun ada yang mengaku bahwa dirinya mampu memahami al-Qur`an tanpa
sungguh itu adalah kedustaan yang sangat besar. Dengan tafsir juga dapat
Persoalan tafsir dan takwil bukanlah hal baru dalam kajian al-Qur`an.
Sampai sekarang masih menjadi perdebatan di kalangan para mufassir. Ada yang
mempersamakan antara tafsir dengan takwil ada pula yang membedakanya.1 Hal
ini karena baik kata tafsīr maupun kata ta‟wīl keduanya tedapat dalam al-Qur`an
dan Hadits atau atsār ṣahabat. Kata tafsīr dalam al-Qur`an hanya disebut satu
1
Aḥmad Ḥasan Farḥāt, Fī „Ulūm al-Qur‟ān, ʻArḍun wa Naqdun wa Taḥqīqun (Dār
„Imār, 2001), Cet. I, hal. 200.
2
„Adnān Muḥammad Zarzūr, Madkhal Ilā al-Qur‟ān wa al-Ḥadīts (Al-Maktab al-
Islāmī), hal. 216.
21
22
Selain disebut dalam al-Qur`an, kata tafsīr juga disebut dalam Hadits Nabi
ِ ِ ِ َصح ِ ِ
َّه ْمُ صلَّى اللَّوُ َعلَْيو َو َسلَّ َم َو َغ ًِْنى ْم أَن ِّ ِاب الن
َ َِّب َ ْ ض أ َْى ِل الْع ْل ِم م ْن أ ِ ي َع ْن بَ ْع َ ُرِو
اى ٍد َوقَتَ َاد َةِ شدَّدوا ِيف ى َذا ِيف أَ ْن ي َف َّسر الْ ُقرآ ُن بِغَ ًِن ِع ْل ٍم وأ ََّما الَّ ِذي رِوي عن ُُم
َ َْ َ ُ َ ْ ْ َ ُ َ ُ َ
آن أ َْوِ و َغ ًِنِِها ِمن أ َْى ِل الْعِْل ِم أَنَّهم فَ َّسروا الْ ُقرآ َن فَلَيس الظَّ حن ِبِِم أَنَّهم قَالُوا ِيف الْ ُقر
ْ ُْ ْ َ ْ ْ ُ ُْ ْ َ ْ َ
.)فَ َّس ُروهُ بِغَ ًِْن ِع ْل ٍم أ َْو ِم ْن قِبَ ِل أَنْ ُف ِس ِه ْم (رواه الرتمذي
“Telah diriwayatkan dari sebagian ulama dari para sahabat Nabi
saw, dan yang lainnya, bahwa mereka memperketat dalam masalah ini,
yaitu tentang menafsirkan al-Qur`an tanpa Ilmu, adapun yang
diriwayatkan dari Mujāhid, Qatādah dan lainnya dari para ulama, bahwa
mereka menafsirkan al-Qur`an bukan karena perasangka yang ada pada
mereka, kemudian mereka mengatakan tentang al-Qur`an atau
menafsirkannya tanpa dasar ilmu atau dari diri mereka." (HR. Tirmidzi).
Ayat-ayat lain yang di dalamnya mengandung kata ta‟wīl adalah: QS. Āli
„Imrān [3] : 7, QS. Al-Aʻrāf [7] : 53, QS. Yūnus [10] : 39, Yūsuf [12] : 6, 21, 36,
37, 44, 45, 100, dan 101, QS. Al-Isrā‟ [17] : 35, QS. Al-Kahfi [18] : 78 dan 82.
Dalam Hadits Nabi juga di temukan kata ta‟wīl, seperti dalam sabda Nabi saw,
sebagai berikut:
3
Maksudnya: Setiap kali mereka datang kepada Nabi Muhammad saw, membawa suatu
hal yang aneh berupa usul dan kecaman, Allah menolaknya dengan suatu yang benar dan nyata.
4
Lidwa Pusaka i-Software - Kitab 9 Imam Hadist. Nomor Hadits 2876.
5
Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur‟an (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), Cet. I, hal.
307.
23
Dari penjelasan ini jelaslah bahwa kata tafsīr dan ta‟wīl sama-sama
makna kata tafsīr dan ta‟wīl. Sebagian ulama mengatakan bahwa tafsir dan takwil
adalah satu makna (sama) sebagian yang lain mengatakan berbeda. Mengenai
pesamaan dan perbedaan antara tafsir dan takwil terdapat banyak pendapat.
Sebelum menjelaskan persamaan dan perbedaan tafsir dan takwil terlebih dahulu
penulis paparkan tentang makna dari keduanya, baik secara etimologi atau
terminologi.
1. Pengertian Tafsir
Tafsir dilihat dari lughah (bahasa) mengikuti wazan tafʻīl dari akar kata al-
Kasyfu), dan menjelaskan makna kalimat yang masuk akal. Menurut sebagian
Lafaẓnya yang mirip, kedua kata tersebut mempunyai makna yang mirip bahkan
suatu Lafaẓ yang musykīl. Hal ini diungkapkan dalam firman Allah swt. QS. Al-
6
Mannāʻ Khalīl al-Qaṭṭān, Mabāḥis fī ʻUlūm al-Qur‟ān (Mansyūrāt al-„Aṣr al-Ḥadīst,
1973), hal. 323.
24
hasil pelacakan penulis ditemukan beberapa ragam definisi yang disebutkan oleh
para ulama. Bila hal ini dirunut secara kronologis maka definisi ulama tersebut
sebagai berikut: al-Baghawī (436-516 H),7 Abū Ḥayyān (654-745 H),8 Al-Khāzin
(678-741 H),9 dan Ibn Jizzī (693-741 H).10 Dari berbagai ragam definisi tersebut
terdapat kesamaan secara subtansial antara satu dengan yang lainnya yaitu,
membahas dan menguraikan, dan objek yang dibahas adalah berupa hal-hal yang
2. Takwil
Kata ta‟wīl ditinjau dari segi bahasa musytāq dari kata awwala yuawwilu
ta‟wīlan ) حأويال- يؤ ّول- )اوَّلatau dari akar kata āla ya‟ūlu ( يؤول- )اَلyang artinya
Sebagaimana firman Allah swt: .( ونه يجذوا مه دووه مىئالDan mereka tidak akan
7
Definisi tafsir secara istilahi menurut al-Baghawiī adalah ilmu yang membahas sebab-
sebab turunnya ayat al-Qur`an dan keberadaannya serta kisah-kisah yang terdapat di dalamnya
dengan cara menuqil langsung dari sumber aslinya. Lihat: Muhammad Ṣifā‟ Syaikh Ibrāhīm
Ḥaqqī, „Ulūm al-Qur‟ān min Khilāli Muqaddimāt al-Tafāsir, Jilid. I (Muassasah al-Risalah, 2004),
Cet. I, hal. 211.
8
Tafsir adalah ilmu yang membahas tentang tata cara mengucapkan Lafaẓ al-Qur`an (ilm
qira‟āt), madlulnya (ilmu bahasa yang dibutuhkan), hukum-hukum yang partikular dan universal
(mencakup ilmu taṣrīf, ilmu al-I‟rāb, ilmu al-Bayān, dan ilmu al-Badī‟), dan makna susunan
kalimat (mencakup dilālah haqīqat dan dilālah majaz). Definisi dari Abu Hayyan ini adalah
definisi yang paling sempurnah karena mencakup keseluruhan. Lihat: Syaikh Ibrāhīm Haqqī,
„Ulūm al-Qur‟ān min Khilāli Muqaddimāt al-Tafāsir, Jilid. I, hal. 211-212.
9
Tafsir menurut al-Khāzin adalah membuka sesuatu yang tertutup, yaitu menjelaskan
makna-makna kalimat yang rasional atau setiap sesuatu yang dapat menjelaskan hakikat dari
sesuatu yang lain, maka itu dinamakan tafsir. Lihat: al-Khazin, Lubāb al-Ta‟wīl fī Maʻāni al-
Tanzīl, dalam muqaddimahnya, Juz. I (Beirut: Dar al-Kutub al-„Alamiyah), hal. 12.
10
Tafsir adalah menjelaskan dan menerangkan makna al-Qur`an , menjelaskan apa yang
dikehendakinya dengan naṣnya, dengan isyarat atau dengan najwahnya. Kongklusinya bahwa
tafsir adalah menjelaskan. Menjelaskan makna kalimat dan Lafaẓ-Lafaẓ yang bermakna
gharib/asing.
11
Jamāluddān al-Qāsimā, Maḥāsīn al-Ta‟wīl, Juz. III (Dār al-Fikr Beirut), hal. 22.
25
Dilihat dari segi bahasa, takwil dan tafsir menurut al-Ṭabarī mempunyai
makna yang sama yaitu : ( انمزجع وانمصيزtempat kembali). Penggunaan kata ta‟wīl
ini sudah populer di kalangan para mufassir, bahkan beberapa kitab tafsir diberi
nama ta‟wīl.12
التأويل ىوصرف اللفظ عن معناه الظاىر اىل معىن حيتملو اااكان للمحتمل
.الذى يراه موافقا للكتاب والسنة
“Takwil adalah memalingkan Lafaẓ dari makna yang ẓāhir kepada
makna yang muḥtamil,13 apabila makna yang muḥtamil itu tidak
berlawanan dengan al-Qur`an dan al-Sunnah”.
sebagai berikut; mengalihkan makna lafaẓ dari satu makna ke makna lain yang
sesuai dengan makna lafaẓ yang sebelum dan sesudahnya, yakni makna yang
dapat ditampung olehnya, dan tidak bertentangan dengan al-Qur`an dan Sunnah.14
apakah penafsiran dan keterangan itu sesuai dengan yang tersurat dalam teks atau
tidak. Dalam konteks pengertian ini tafsir dan takwil benar-benar sinonim
(mutarādif). Inilah yang dimaksud dengan kata ta‟wīl yang identik dengan kata
tafsir oleh sebagian pakar ilmu tafsir. Salah satunya adalah Ibn Jarīr al-Ṭabarī.
12
Seperti tafsir Jāmiʻ al-Bayān „an Ta‟wīli āy al-Qur‟ān, karya al-Ṭabarī, Lubāb al-
Ta‟wīl, karya al-Khāzin, dan tafsir Maḥāsin al-Ta‟wīl, karya al-Qāsimī. Lihat: M. Quraish
Shihab, Kaidah tafsir (Ciputat: Lentera Hati, 2013), Cet. III, hal. 220.
13
Yaitu suatu lafaẓ yang mempunyai kemungkinan makna lain selain makna lafẓiyah-
nya. Lihat: al-Ṭabarī, Jāmiʻ al-Bayān, Juz. II, hal. 456.
14
Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, hal. 222.
26
Dalam tafsirnya beliau menggunakan kata ta‟wīl dalam setiap menafsirkan ayat
penjelasan tentang apa maksud dari setiap kata ta‟wīl dalam tafsirnya, akan
Kedua, Takwil adalah subtansi dari suatu kalimat. Jika kalimatnya berupa
perintah (Ṭalab), maka takwilnya adalah berupa perbuatan yang dituntut atau
esensi dari perintah.15 Misalnya firman Allah Swt, dalam QS. al-Nisā [4]: 59:
Maka takwil dari ayat ini adalah hakikat dari perintah yang terdapat di
dalamnya, yaitu perintah untuk kembali kepada Allah Swt, dan Rasul-Nya berarti
perintah untuk kembali pada al-Qur‟an dan Hadits dalam menyelesaikan sebuah
masalah.16 Sebab, al-Qur‟an dan hadits merupakan kitab panduan bagi umat
Juga dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhārī (194 H-256 H).
عن عائشة رضي اهلل عنها قالت كان رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم يقول يف
يتؤل القرءان نعين قولو, ركوعو وسجوده سبحانك اللهم وحبمدك اللهم اغفرىل
17
.تعاىل فسبح حبمد ربك واستغفره انو كان توابا
15
Ḥasan Farḥāt, Fī „Ulūm al-Qur‟ān, hal. 208.
16
Jamāluddān al-Qāsimā, Maḥāsīn al-Ta‟wīl, Juz. III, hal. 21.
17
„Alī Ibn ʻUmar Ibn Muḥammad al-Sāhibānī, al-Ta‟wīl fī ghārib al-Hadīts min Khilāli
Kitāb al-Nihāyah li Ibn Atsīr (Maktab al-Rusyd Nasyirun, 2009), Cet. I, hal. 147.
27
terdapat perbedaan mendasar antara definisi yang pertama dengan yang kedua.
menjelaskan (al-Bayān), dengan demikian posisi takwil ada dalam hati dan
bersifat ẓinnī (penalaran) disamping teks juga. Sementara takwil dalam bentuk
yang kedua adalah hakikat dari sesuatu yang terdapat dibalik (di luar) teks al-
Qur`an.
didukung oleh ulama fiqh, ahli teolog (mutakallimīn) ahli tasawuf (mutaṣawwifah)
ialah memalingkan Lafaẓ dari makna yang kuat ( )انزاجخkepada makna lain yang
tidak kuat ( )انمزجىحkarena ada dalil yang mendukung, dan tidak bertentangan
dengan al-Qur`an dan hadits.18 Maka bagi penulis definisi yang paling pas untuk
dan persamaan makna, baik dari segi bahasa maupun isṭilāh. Maka disini penulis
akan menguraikan perbedaan antara tafsir dengan takwil secara definitif serta
didasarkan pada ulama salaf. Seperti ilmu tentang asbāb al-nuzūl, makkī-madānī,
mufasarnya. Sebagaimana telah dijelaskan di atas yang dikutip dari pendapat al-
penjelasan atas ayat-ayat al-Qur`an yang bertumpu pada hasil ijtihad para ulama).
Jika tafsir hanya dibatasi pada aspek-aspek internal teks saja dan harus menuqil
pada realitas, maka tidak ada alasan lagi untuk menolak takwil sebagai salah satu
medium untuk sampai pada maksud Tuhan yang terdapat dalam al-Qur`an.
membutuhkan penjelasan, seperti firman Allah swt. QS. al-Baqarah [2]: 83:
digunakan untuk kalam yang memuat cerita yang tidak dapat dilukiskan kecuali
dengan mengetahui cerita tersebut. Seperti firman Allah swt. QS. Al-Taubah [9]:
37: ( انما النسئ زيادة في الكفرpenundaan hanya menambah kekafiran) dan QS. Al-
Baqarah [2] : 189: .( ونيش انبز بأن حأ حى انبيىث مه ظهىرهبbukan suatu kebaikan kalau
diturunkan oleh Tuhan, sementara tafsir lebih umum, yaitu digunakan untuk
Kata tafsīr baik berasal dari kata al-fasru atau dari kata as-safru memiliki
makna yang sama, yaitu mengungkap sesuatu yang tersembunyi melalui medium
yang dianggap sebagai tanda bagi mufassir, hanya melalui tanda itu ia dapat
sampai pada sesuatu yang tersembunyi atau samar yang ia kehendaki. Berbeda
“gejala” atau dalam mengamati “akibatnya”. Dengan kata lain takwil dapat
“objek”, sementara hubungan ini dalam proses tafsir tidak dapat dilakukan secara
inilah proses pemahaman terhadap objek oleh pihak subjek dapat berjalan.21
Tafsir dapat pula dikatakan sebagai suatu metode yang menjelaskan objek
Lafaẓ dari sisi pandang ḥaqīqī atau majāzī, seperti kata al-ṣirāṭ ()انصزاط
takwil menjelaskan subtansi teks (makna batin dari teks). Dengan demikian, dapat
20
Ḥasan Farḥāt, Fī „Ulūm al-Qur‟ān, „Arḍun wa Naqdun wa Taḥqīqun, hal. 207-212-213.
21
Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas al-Qur`an, Kritik Terhadap Ulum al-Qur`an,
diterjemahkan oleh Khoiron Nadliyyin (Yogyakarta: LKiS, 2003), Cet. III, Edisi Revisi, hal. 294.
30
dikehendaki.
Contoh lain, misalnya Firman Allah swt. ( يخزج انحي مه انميجAllah swt
mengeluarkan yang hidup dari yang mati). Ayat ini kalau dipahami dengan tafsir
maka dapat dikatakan bahwa Allah swt, mengeluarkan ayam dari telur. Tapi jika
dipahami dengan takwil maka maksud dari ayat ini adalah Allah swt, memisahkan
yang benar dari yang salah, memisahkan yang baik dari yang buruk atau Allah
swt, memisahkan orang mukmin dari orang kafir, atau bisa jadi memisahkan yang
Dari uraian di atas, jelaslah kiranya bahwa tafsir berkaitan dengan riwāyah
dengan dirāyah (hal-hal yang berkaitan dengan nalar rasio). Tafsir berkaitan
dengan makna ẓāhir sedangkan takwil berkaitan dengan makna bāṭin. Tafsir
berkaitan dengan Lafaẓ sedangkan takwil berkaitan dengan jumlah, takwil khusus
untuk kitab-kitab yang berasal dari Tuhan sedangkan tafsir bisa juga untuk kitab-
kitab lain selain kitab yang berasal dari Tuhan. Itulah perbedaan tafsir dengan
memahami maksud Tuhan yang terkandung dalam al-Qur`an dan tentu keduanya
No Tafsir Takwil
Berkaitan dengan ilmu-ilmu
Berkaitan dengan ilmu dirāyah,
1 riwayah, seperti keterangan asbab
berpegang pada ijtihad.
an-nuzul makki-madani, dll.
22
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur`an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat, Jilid. II (Bandung : Mizan, 1995), hal. 554.
31
tentang muḥkam dan mutasyābih. Hal ini dimaksudkan karena ayat yang
ditetapkan oleh penulis untuk diteliti adalah terdiri dari ayat muḥkam dan
mutasyābih, sehingga menjadi penting untuk mengetahui terlebih dahulu apa dan
tentangnya. Uraian tentang muḥkam dan mutasyābih ini penulis letakkan pada
muḥkam dan mutasyābih antara lain adalah: al-Suyūṭī (849 H/1455 M-911 H/1505
23
Muḥkam adalah sesuatu yang telah jelas artinya, sedangkan mutasyābih sebaliknya.
Lihat: Al-Suyūṭi, Al-Iṭqān fī ʻUlūm al-Qur‟ān, Juz. II (Dār al-Fikr), hal. 2.
24
Muḥkam adalah ayat-ayat yang dalalah-nya kuat, baik maksud mapun Lafaẓnya,
sedangkan mutasyābih adalah ayat-ayat yang dalalah-nya lemah, bersifat mujmal, sulit dipahami,
dan memerlukan takwil. Lihat: Muḥammad al-Bakr Ismāʻīl, Dirāsat fī „Ulūm al-Qur‟ān (Dār al-
Manār, 1991), Cet. I, hal. 221.
25
Muḥkam adalah ayat-ayat yang diketahui pentakwilannya, dipahami makna dan
tafsirnya. Sedangkan ayat-ayat mutasyābihāt adalah ayat-ayat yang tidak boleh diusik maknanya
oleh siapapun, karena penafsiran dan pentakwilannya hak prerogatif Allah swt. Lihat: Al-Qurṭubī,
Tafsir al-Qurṭubī, ditertjemahkan oleh Dude Rosyadi, Naṣirul Haq, dan Fathurraḥman, Jilid. IV
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), Cet. I, hal. 25.
26
Muḥkam adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui secara langsung tanpa
memerlukan keterangan lain, smentara mutasyābih, memerlukan penjelasan lain baik dari luar
maupun dalam ayat itu sendiri dengan merujuk pada ayat lain. Lihat: Mannāʻ Khalīl al-Qaṭṭān,
Studi Ilmu-Ilmu al-Qur`an, diterjemahkan oleh Mudzakkir AS (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa,
2007), Cet. II, hal. 305-306.
32
sementara mutasyābih adalah ayat yang hanya Allah swt, yang dapat mengetahui
maksudnya. Kedua, Muḥkam adalah ayat yang hanya mengandung satu wajah,
Muḥkam adalah hukum-hukum yang wajib, janji dan ancaman. Dan yang
1. Ayat-ayat muḥkam seperti terdapat dalam QS. al-Ḥujurāt [49] : 13, QS.
tentang penciptaan manusia pada dua jenis, yaitu laki-laki dan perempuan dan
tentang posisi orang yang bertakwa disisi Allah swt. Yang kedua yaitu perintah
menyembah Allah swt, yang telah menciptakan mansuia. Sedangkan yang ketiga
yaitu tentang diperbolehkannya jual beli dan diharamkannya praktik riba serta
2. Ayat-ayat Mutasyābih seperti terdapat dalam QS. Ṭāha [20]: 5, QS. Al-
27
Jalāluddīn al-Suyūṭī, Samudera Ulum al-Qur`an, diterjemahkan oleh Farikh Marzukqi
Ammar dan Imam Fauzi Jaiz, Jilid. III (Surabaya: Bina Ilmu, 2007), Cet. I, hal. 2.
33
kemungkinan makna lain dan tidak bisa serta merta dipahami sesuai makna
literlek. Ayat pertama berbicara tentang tempat Allah swt, ayat yang kedua
berbicara tentang wajh Allah, sedangkan ayat yang ketiga berbicara tentang
tangan Allah swt. Allah swt, tidak sama dan tidak boleh disamakan dengan
manusia yang punya tempat tinggal, wajah, dan tangan. Sehingga ketiga ayat di
atas tidak bisa dipahami secara literlek. Ia membutuhkan makna lain yang sesuai
dapat penulis tarik kesimpulan bahwa ayat-ayat muḥkam adalah ayat-ayat yang
sudah jelas, baik Lafaẓ maupun maknanya, sehingga tidak dapat menimbulkan
keraguan dan kekeliruan bagi orang yang memahaminya, dan tidak memerlukan
penjelasan penalaran lebih mendalam lagi. Karena sudah dipahami maknanya, dan
Tanpa melakukan pentakwilan tidak mungkin dapat dipahami dengan baik dan
benar.
28
Muḥammad Hādi Maʻrifāt, al-Tamhīd fī ʻUlūm al-Qur‟ān, Juz. III (Muassasah al-
Nasyr al-Islami), hal. 7.
34
No Muḥkam Mutasyābih
ayat-ayat al-Qur`an dibagi menjadi dua: Pertama, ayat yang sudah jelas
maksud yang jelas dari pesan yang disampaikan lewat ayat-ayat tersebut.
35
bersumber dari firman Allah swt, dalam al-Qur`an QS. Āli „Imrān [3] : 7:29
tidak ada sesuatu apapun yang dapat melemahkan makna dan lafaẓ-lafaẓnya). Hal
ini sebagaiman Allah tegaskan dalam al-Qur`an QS. Hūd [11]: 1.31 2) al-Qur`an
dengan sebagian yang lain dalam hal kekuatan dan kesempurnaan lafaẓ-lafaẓnya).
Hal ini sebagaimana firman Allah swt, dalam al-Qur`an QS. al-Zumar [39]: 23.32
(samar dalalahnya). Bagian yang ketiga ini merujuk pada firman Allah swt, dalam
Dari tiga uraian tentang al-Qur`an di atas, yang sesuai dengan tema yang
dibahas dalam penelitian ini adalah bagian yang ketiga, yaitu pendapat yang
29
Abdul Djalal, ʻUlum al-Qur`an (Surabaya: Dunia Ilmu, 2008), Cet. I, hal. 243.
30
Muḥammad Amin Farsūkh, al-Madkhal Ilā „Ulūm al-Qur‟ān wa al-„Ulūm al-Islāmiyati (Dār al-
Fikr: Beirut), hal. 54.
31
Alif lām rā, Kitābun uḥkimat āyātuhū tsumma fuṣṣilat min ladun ḥakīm.
32
Allāhu allaẓī aḥsana al-hadītsi kitābā mutasyābihā matsāniya taqsyaʻirru minhu
juludu al-laẓīna yakhsyauna rabbahum.
33
Huwa allaẓi anzala ʻalaika al-kitāba minhu āyātun muḥkamātun hunna ummu al-kitāb
wa ukahru mutasyābihāt.
36
mengatakan bahwa sebagian al-Qur`an ada yang muḥkam ada pula yang
mutasyābih.
saja jika dibandingkan jumlahnya antara ayat muḥkam dengan ayat mutasyābih
jauh lebih banyak ayat muḥkam dalam al-Qur`an. Dari 6236 ayat dalam al-
Qur`an,34 ayat-ayat yang tergolong mutasyābih tidak sampai 200 ayat, jika ayat-
ayat yang sama tidak dihitung ulang.35 Hal ini karena al-Qur`an adalah kitab
petunjuk umum yang jelas bagi manusia ()هذابيبن نهىبس. Untuk mendapatkan
petunjuk dari al-Qur`an tentu harus memahami makna kandunganya. Jika ayat-
menyerahkan maknanya sepenuhnya kepada Allah swt, karena hal itu merupakan
hak prerogatif Allah swt, lebih banyak jumlahnya dari ayat-ayat muḥkam, tentulah
manusia.
diantara keduanya. Pada bagian ini penulis akan menjelaskan beberapa komentar
makna dari ayat-ayat mutasyābihāt dapat diketahui oleh para mufassir atau tidak.?
tentang muḥkam dan mutasyābih, dapat penulis paparkan disini bahwa paling
Perbedaan ini berakar pada perbedaan waqaf pada QS. Āli ʻImrān [3]:
وما يعلم تأويلو االاهلل والراسخون يف العلم يقولون امنا كل من عند ربنا
Yang diperselisihkan adalah apakah Lafaẓ al-rāsikhūna di-aṭaf-kan pada lafaẓ
Allāhu sedangkan lafaẓ yaqūlūna berada dalam posisi naṣab jadi ḥal dari Lafaẓ
diaṭafkan pada Lafaẓ Allāhu dan waqafnya bukan pada lafad Allāhu, tapi pada
Lafaẓ min „indi rabbinā. Maka dapat dipahami bahwa Allah swt, dan orang-orang
Pendapat pertama ini dipilih oleh Imam Nawāwī, Imam Mujāhid dan ṣahabat-
Allah swt:
.وما يعلم تأويلو االاهلل والراسخون يف العلم يقولون امنا كل من عند ربنا
Dia adalah salah satu diantara orang-orang yang dapat mengetahui takwil
pendapat yang lebih ṣahih. Sebab, tidak mungkin Allah swt, mengkhiṭab37 hamba-
36
Muḥammad al-Sāhibāni, al-Ta‟wīl fī gharīb al-Hadīts min Khilāli Kitāb al-Nihāyah li
Ibn Atsīr, hal. 147.
37
Khitāb adalah perintah Allah yang wajib dikerjakan oleh hamba-Nya.
38
Abdul Djalal, „Ulūm al-Qur‟ān, hal. 225.
38
Kedua, waqaf pada Lafaẓ illā allāhu ()االهللا, sedangkan Lafaẓ wa al-
wāwu isti‟nāf )(واو اإلصضخئىبف. Jadi kedudukan Lafaẓ al-rāsikhūna dalam iʻrāb
adalah menjadi mubtada‟. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa hanya Allah
swt. lah yang memahami ayat-ayat mutasyābihāt. Manusia hanya dituntut untuk
kedua ini banyak diikuti oleh ulama salaf dari kalangan para ṣahabat, tabiʻīn,
dipahami maknanya, lalu apa pentingnya ayat tersebut diturunkan? Bukankah al-
Jadi, dari dua pendapat di atas, penulis sendiri lebih cenderung pada
39
Jalaluddin al-Suyūṭi, Samudera Ulum al-Qur`an, Jilid. III, hal. 5-6.
39
syarat-syarat tertentu bagi mereka yang ingin menafsirkan al-Qur`an. Hal ini
kebebasan untuk menafsirkan al-Qur`an maka akan terjadi kekacauan dalam dunia
Baik pendekatan sastra, fiqh, tasawuf, kalam, filosofis dan lain sebagainya. Hal
ini menuntut adanya penguasaan ilmu-ilmu tertentu pada mereka yang ingin
menafsirkan al-Qur`an.40
40
Syaikh Muhammad al-Ghazali, Berdialog dengan al-Qur`an, Memahami Pesan Kitab
Suci dalam Kehidupan Masa Kini, diterjemahkan oleh Masykur Hakim dan Ubaidillah dari judul
aslinya Kaifa Nataʻammal maʻal-Qur`an (Bandung: Mizan, 1996), Cet. III, hal. 29.
40
1. Syarat-Syarat Penafsiran
al-Qur‟ān menyebutkan lima belas ilmu yang harus dikuasai oleh seorang
mufassir atau mereka yang ingin menafsirkan al-Qur`an.41 Yaitu: 1. Ilmu Bahasa
(prinsip-prinsip agama), 10. Uṣūl Fiqh, 11. Asbāb al-Nuzūl (sebab-sebab turunnya
penjelas ayat-ayat mujmal (global) dan mubham (samar), dan 15. Ilmu al-Muhibah
mūhibah).
Ḍawy,44 maka ia harus menguasai tiga syarat pengetahuan tambahan selain lima
filsafat, sosial, ekonomi, dan politik yang sedang mendominasi dunia agar
mufassir mampu mengcounter setiap syubhāt yang ditujukan kepada Islam serta
41
Jalāluddīn al-Suyūṭi, al-Itqān fī „Ulūm al-Qur‟ān, Juz. I (Dār al-Fikr), hal. 180-181
42
Ilmu Bahasa, nahwu dan Ṣarraf adalah merupakan hal yang sangat penting dalam
kaitannya dengan tafsir, sebab seseorang tidak akan bisa memahami ayat al-Qur`an tanpa
mengetahui mufradat dan susunan kalimatnya dengan jelas. Lihat: Muḥammad ʻAlī al-Ṣābūni, al-
Tibyān fī „Ulūl al-Qur‟ān, hal. 158.
43
Suatu nama apa bila isytiqaqnya berasal dari dua subjek yang berbeda, maka artinya
dapat dipastikan berbeda. Seperti kata al-Masīh apakah berasal dari al-Siyāḥah atau al-Maṣu.
44
Silakan lihat: Syurūṭ al-Mufassir wa Adābuhū dalam
http://www.ahlalhdeeth.com/vb/ṣowthread.php?t=82245. Diakses pada tanggal 30-08-
2015.
41
sangat urgen untuk memperlihatkan bagaimana sikap dan solusi Islam terhadap
problem tersebut.
menafsirkan al-Qur`an. tanpa menguasai ilmu-ilmu ini sulit bagi mereka untuk
bisa memahami al-Qur`an dengan baik dan benar. Itulah syarat yang telah
ditetapkan oleh ulama terhadap para mufassir. Adanya tiga syarat tambahan bagi
mufassir kontemporer ini sangatlah logis, sebab problem yang dihadapi ulama
kontemporer tentulah tidak sama persis dengan problem yang dihadapi oleh
mufassir salaf. Sehingga berbagai hal yang berkaitan dengan penafsiran harus
2. Syarat-syarat Pentakwilan.
harus dibatasi dengan berbagai syarat agar ia tidak digunakan secara liar dan
serampangan. Oleh karena itu, menurut Abu Zahrah takwil dapat diterapkan
mengandung makna takwil walaupun itu sangat jauh, maksudnya makna itu
tidak asing sama sekali dari lafaẓdnya. Kedua, harus ada faktor yang menuntut
dikembalikan pada makna asalnya maka ia akan bertentangan dengan naṣ. Maka
dalam kondisi seperti ini takwil dapat diterapkan. Misalnya kata yadun (tangan)
42
ketika disandarkan pada Allah swt, tidak boleh diartikan dengan makna aslinya,
tapi harus diartikan dengan kemungkinan makna yang lain, yakni al-Qudrah
dengan menggunakan pendekatan takwil, dengan kata lain kriteria yang dapat
ditakwilkan.
Misalnya, paham tentang ʻam dan khaṣ, muṭlāq dan muqayyad. Juga
45
Abū Zahrah, Uṣūl Fiqh (Beirut Dār al-Fikr al-Arabiyah), hal. 135.
46
Abū Zahrah, Uṣūl Fiqh, hal. 136.
BAB III
Nama lengkap al-Ṭabarī adalah Abū Ja‟far Muḥammad Ibn Jarīr Ibn
Yazīd Ibn Katsīr1 Ibn Ghālib al-Ṭabarī dilahirkan di Amul, Ibu Kota Ṭabaristān,
Iran, pada tahun 224 H atau tahun 225 H (sekitar 839 M atau 840 M).2 Ketidak
pada saat itu, yaitu dengan kejadian-kejadian besar dan bukan angka.3
Menurut para ahli sejarah, daerah ini dinamakan dengan Ṭabaristān karena
dengan pertumbuhan umurnya. Dalam usia tujuh tahun ia sudah hafal al-Qur`an,
jadi imam ṣalat ketika saat berusia delapan tahun, dan menulis hadits ketika
1
Versi lain mengatakan bahwa Kakek kedua al-Ṭabarī bukan Katsīr bin Ghālib tetapi
Khālid bin Ghālib. Lihat: Muḥammad Bakr Ismāʻil, Ibn Jarīr al-Ṭabarī wa Manhājuh fī al-Tafsīr
(Kaira: Dār al-Manār, 1991), hal. 9.
2
Abū Jaʻfar Muḥammad Ibn Jarīr al-Ṭabarī, Jāmiʻ al-Bayān „an Ta‟wīli āy al-Qur‟ān,
Jilid. I (Beirut Dār al-Fiqr), hal. 3. Lihat juga: Muḥammad Ṣifā‟ Syaikh Ibrāhīm Ḥaqqī, „Ulūm al-
Qur‟ān min Khilāli Muqaddimāt al-Tafāsir, Jilid. I (Muassasah al-Risalah, 2004), Cet. I, hal. 260.
3
Rasihan Anwar, Melacak Unsur-Unsur Isra‟iliyat dalam Tafsir al-Ṭabarī dan Tafsir
Ibnu Katsīr (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hal. 55-56.
4
Musṭafā al-Ṣāwi al-Juwaini, Manāhij fī al-Tafsīr (Mesir: Nas‟atu al-Maʻārif,
Iskandariyah), hal. 301.
5
Ḥasain „Aṣi, Abū Ja‟far Muḥammad Ibn Jarīr al-Ṭabarī wa Kitabūhu Tārikh al-Umam
wa al-Muluk (Beirut: Dār al-Kutub al-„Alamiyah, 1992), Cet. I, hal. 53.
43
44
keagamaan. Hal ini bersamaan dengan situasi agama Islam yang sedang
rujukan para pemikir saat itu. Hemat penulis Kondisi sosial yang demikian ini
Tempat pertama yang menjadi tujuannya adalah Ray dan daerah sekitarnya.
Disana mulai belajar hadits dari Muḥammad bin Ḥāmid al-Rāzī. Kemudian
pindah ke Baghdad untuk belajar kepada Aḥmad bin Ḥambal (164-241 H/ 780-
855 M), tapi sesampainya di Baghdad ternyata Aḥmad bin Ḥambal sudah wafat.6
Di Kufah beliau belajar qirāah dari Sulaimān al-Tūlhi dan hadits dari sekelompok
jamāʻah yang diperoleh dari Ibrāhīm Abī Kuraib Muḥammad bin al-„Alā al-
Madanī, salah seorang ulama besar dalam bidang hadits. Dari Baghdad beliau
melanjutkan riḥlah ilmiyahnya menuju dua kota besar selatan Baghdad, yaitu
Basrah dan Kufah. Di Basrah, beliau berguru pada Muḥammad bin Abd al-Aʻlā
al-Sanʻānī (w 245 H/859 M), Muḥammad bin Mūsā al-Ḥarasī (w. 248 H/ 862 M),
dan Abū al-ʻAsʻas, Aḥmad bin al-Miqdam (w. 253 H/867 M), dan Abū al-Juzā‟
6
Al-Ṭabarī, Jāmiʻ al-Bayān „an Ta‟wīli āy al-Qur‟ān, Jilid. I, hal. 3.
7
Subḥi al-Ṣāliḥ, Mabāḥīts fī 'Ulūm al-Qur‟ān (Beirut: Dār al-'Ilm, 1972), Cet. VII, hal.
179-180.
45
Ḥumaid bin Masʻadah dan Bisr bin Muʻai al-„Aqadi (w. akhir 245 H/859-860 M),
dari ulama Kufah, yaitu Ḥamdān al-Sārī (w. 243 H/857 M). Pada tahun 253 H,
beliau sampai di Mesir. Pada saat di Mesir, beliau belajar pada pemuka-pemuka
madzhab Syāfiʻī, antara lain adalah: al-Rābi bin Sulaimān al-Murādī dan Ismāʻīl
bin Ibrāhīm al-Muzannī dan lain-lainnya. Dari sana beliau kemudian kembali ke
Baghdad, dan kembali ke Ṭabaristān, lalu balik lagi ke Baghdad hingga akhir
Diantara guru-guru beliau yang lain adalah: Syaikh Yūnus Abd „Aʻlā (w.
264 H), Syaikh Muḥammad Ibn Ḥāmid al-Rāzī (w. 248 H), Syaikh Sufyān Ibn
Waqīʻ (w. 247 H). Selain ini, masih banyak guru-guru beliau yang berada di
Syām, Mesir dan Iraq. Sementara sebagian murid-muruid beliau yang bertemu
langsung adalah: Ibn Mujāhid, Abū al-Qāsim al-Ṭabarani (w. 360 H), Muḥammad
dapat mengetahui hadits ṣahīh dan ḍaʻīf, hingga beliau dijuluki sebagai bapak
8
Al-Ṭabarī, Jāmiʻ al-Bayān „an Ta‟wīli āy al-Qur‟ān, Jilid. I, hal. 4.
9
Muḥammad Shifā‟ Syaikh Ibrāhīm Ḥaqqī, „Ulūm al-Qur‟ān min Khilāli Muqaddimāt al-
Tafāsir, Jilid. I (Muassasah al-Risalah, 2004), Cet. I, hal. 266-267.
10
Muḥammad Ḥusain al-Dzahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, Juz. I (Dār al-Hadīts al-
Qāhirah, 2005), hal. 180-181.
46
sejumlah karya-karyanya. Mengenai berapa banyak buku yang telah beliau tulis
tidak ditemukan informasi yang pasti. Yang pasti al-Ṭabarī menulis kitab empat
lembar setiap hari selama 40 tahun,13 bisa dibayangkan betapa banyak karya yang
telah beliau tulis. Tapi tidak semua karya al-Ṭabarī sampai ke masa sekarang.
Siapa saja yang pernah membaca karya beliau dalam bidang fiqh maka ia akan
berkata bahwa beliau adalah faqīh (pakar fiqh), jika mereka membaca karya
tafsirnya mereka akan berkata bahwa beliau adalah seorang bapak tafsir, dan
apabila mereka karya nahwu, balāghah dan faṣāhah, mereka akan mengatakan
bahwa beliau adalah ahli bahasa, begitupun dengan disiplin ilmu-ilmu yang lain.
Menurut Rasikhan Anwar tidak semua karya al-Ṭabarī sampai ke masa sekarang.
Diduga banyak karya beliau tentang hukum yang hilang bersamaan dengan
lenyapnya madzhab jarīriyah. Berikut ini adalah beberap karya beliau yang
11
Jalāluddīn al-Suyūṭī, Ṭabaqāt al-Mufassirīn (Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiyah, 1982),
hal. 82.
12
Māniʻ Abd Ḥalim Maḥmūd, Metodologi Tafsir, Kajian Komprehensif Metode Para
Ahli Tafsir, terj: Faisal Ṣaleh dan Syahdianor (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 69.
13
Ibrāhīm Ḥaqqī, „Ulūm al-Qur‟ān min Khilāli Muqaddimāt al-Tafāsir, hal. 267.
47
sampai pada masa sekarang ini:14 Kitab tafsir (Jāmiʻ al-Bayān „an Ta‟wīli āy al-
Qur‟ān),15 kitab Tārīkh (Tārīkh al-Umam wa al-Mulk, dan lain sebagainya), kitab
fiqh (Ikhtilāf „Ulūm al-Amṣār fī Ahkām al-Syar‟ī al-Islām), kitab hadits (Tahdzīb
Dari sekian banyak karya al-Ṭabarī yang telah diterbitkan oleh berbagai
penerbit menunjukkan bahwa al-Ṭabari adalah salah seorang mufassir yang tidak
hanya menguasai satu cabang ilmu, tapi berbagai cabang keilmuan ia kuasai.
Seperti tafsir, fiqh, hadits, nahwu, bahsa Arab, sastra Arab, dan lain sebagainya.
Tafsir ini disusun oleh al-Ṭabarī sebelum beliau menulis kitab tarikhnya
dipenghujung abad ke tiga. Tafsir ini dianggap sebagai kitab induk dari berbagai
kitab tafsir yang ada sampai saat ini, yang terdiri dari 30 jilid.16 Mayoritas
mufassir menjadikan tafsir al-Ṭabarī ini sebagai rujukan utama bagi tafsir mereka
yang menggunakan bi al-Ma‟tsūr, namun tidak sedikit juga para tokoh mufassir-
bi al-Ra‟yi yang merujuk pada tafsir al-Ṭabarī. Hal yang demikian ini
menurut al-Dzahabi dikarenakan pembahasan tafsir al-Ṭabarī yang sangat luas dan
mendalam.17
dengan tujuan yang ingin dicapai. Secara umum ada empat metode penafsiran
yang telah dikenal oleh para mufassir, yaitu: metode Taḥlīlī (analisis), metode
pendapat lainnya.19
saw, para ṣahabatnya, tabiʻīn, dan tabit tabiʻīn. Pola yang digunakan al-Ṭabarī
ayat ini. Dalam tafsirnya ia berkata “pendapat mengenai takwil firman Allah swt,
riwayat atau pendapat yang berkenaan dengan ayat yang hendak ditafsirkan,
18
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir (Tangerang: Lentera Hati, 2013), Cet. II, hal. 377-
378.
19
Abdul Djalal, „Ulūm al-Qur‟ān (Surabaya: Dunia Ilmu, 2008), Cet. III, hal. 3.
20
Husain al-Dzahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, hal. 184.
49
beberapa pendapat yang dikutipnya21. Ini artinya bahwa al-Ṭabarī di satu sisi juga
bahwa belum pernah ada kitab tafsir yang sekaliber tafsir al-Ṭabarī”. Ibn
Taimiyah berkata “Diantara tafsir-tafsir yang sampai pada masa sekarang ini,
tafsir yang paling besar adalah tafsir al-Ṭabarī, karena ia memuat pendapat-
pendapat ulama salaf dengan sanad yang kuat. Dalam pendekatan bahasa, beliau
menjadikan bahasa Arab sebagai pegangan oleh karena bahasa arab merupakan
ayat sesuai dengan susunan muṣaf, sedangkan oreintasi yang digunakan adalah
menyebabkan tafsir al-Ṭabarī secara partikular dinilai sebagai contoh penting dan
21
Mannāʻ al-Qaṭṭān, Studi Ilmu al-Qur`an, terj: Mifdhol Abdurrahman (Jakarta: Pustaka
al-Kautsar, 2012), Cet. VII, hal. 454.
22
Muzdalifah Muhammadun, “Jāmiʻ al-Bayān „an Ta‟wīli āy al-Qur‟ān; Analisis Alur
Penafsiran Ibnu Jarīr al-Ṭabarī”. Jurnal al-Fikr Volume 17 Nomor 2 Tahun, 2013. Hal. 9.
23
Mannāʻ al-Qaṭṭān, Studi Ilmu al-Qur`an, hal. 454. Lihat juga: Ḥusain al-Dzahabī, al-
Tafsīr wa al-Mufassirūn, hal. 172.
24
Tafsir taḥlīlī adalah menafsirkan ayat al-Qur`an dengan berbagai seginya, sesuai
dengan kecenderungan dan keinginan mufassirnya, dihidangkan secara urutan muṣaf. Biasanya
yang dihidangkan mencakup pengertian umum kosa kata ayat, munasabah ayat dengan ayat
sebelumnya, Asbāb al-Nuzūl, makna global ayat, hukum yang dapat ditarik, biasanya
menghadirkan berbagai pendapat madzhab, qirā‟at, i‟rāb ayat-ayat yang ditafsirkan serta ke
istimewaan susunan katanya. Lihat: M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, hal. 378.
25
Rasihan Anwar, Melacak Unsur-unsur Isrā‟ iliyāt dalam Tafsir al-Ṭabarī dan Tafsir
Ibn Katsīr, hal. 66.
50
mufassir merujuk pada qaul para ṣahabat dan tabiʻīn dengan sanad yang ṣahīh.
Hal ini menurut al-Ṭabarī sekaligus menjadi ciri tafsir yang ṣahīh dan berfaidah.26
Nama lengkap al-Qāsimī adalah Jamāl ad-Dīn bin Muḥammad Sa‟īd ad-
Damaskus pada tahun 1866 M, dan wafat pada tahun 1914 M bertepatan dengan
26
Ḥusain al-Dzahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, hal. 184.
27
Abd Ḥalīm Maḥmūd, Metodologi Tafsir, hal. 72-73.
28
Abd al-Ḥayyi bin „Abd al-Kabīr al-Kittāni, Faḥrās al-Faḥāris wa al-Itsbāt, Juz. I (Dār
al-Garb al-Islāmī, 1982), hal. 477.
51
fuqahā‟, sufistik, ilmu kalam (teologi) dan ahli sastra, baik klasik maupun
kontemporer.29
salaf untuk dijadikan dasar pijakan. Belaiu selalu membela madzhab salaf baik
dalil tanpa mencaci yang berbeda dengan pandangannya dan tidak juga membabi
buta.30
Ayah beliau adalah seorang ahl fiqh sekaligus sastrawan bernama Abū
literatur keagamaan seperti: tafsir, hadits, fiqh, bahasa, tasawuf, sastra, sejarah,
uṣūl fiqh. Buku-buku umum lainnya seperti sosial kemasyarakatan, olah raga,
mufassir, ahli hadits, uṣūl fiqh, tasawuf, ilmu kalam dan lain sebagainya. baik
yang klasik maupun yang kontemporer. Tidak heran jika beliau tumbuh sebagai
seorang intelek yang mempuni dalam segala bidang ilmu keagamaan. Disamping
Abd Majīd Abd Salām al-Muh{tasib, Ittijāhāt al-Tafsīr fī al-„Aṣri al-Hadīts, (Dār al-
29
fasilitas yang lengkap beliau juga termasuk sosok yang mempunyai kecerdasan
diatas rata-rata.
ada di perpustakaannya, beliau tidak terlepas dari pengaruh ulama yang se zaman
memberikan pengaruh yang luar biasa pada diri al-Qāsimī. Para penulis yang
termasuk bagian dari pentolan madrasah salaf. Beliau menjadi intelek yang
Allah swt, telah melimpahkan karunia-Nya. Beliau belajar Ṣahih Muslim baik
secara riwāyah atau dirāyah pada suatu majelis selama 40 hari, Sunan Ibn Mājah
kitab Taqrīb al-Tahdzīb karya Ibn Hajar serta merevisi kesalahan-kesalahan yang
ada di dalamnya, memperkokoh dan mensyarahnya. Lalu ia berkata “kitab ini saya
disebut dengan madzhab Jamalī, hingga akhirnya beliau ditanggap untuk dimintai
32
Abd Salam al-Muh{tasib, Ittijāhāt al-Tafsīr fī al-„Aṣri al-Hadīts, hal. 42.
53
keterangan. Tapi beliau menjawab semua apa yang dituduhkan kepadanya dan
semangat dan keilmuan yang ditekuninya, lahirlah beberapa karya beliau dengan
jumlah yang cukup banyak, yang berjumlah tidak kurang dari 80 karya.34 Baik
yang telah tercetak atau yang masih berbentuk dokumen asli. Ada yang
Tafsir al-Qāsimī, Maḥāsīn al-Ta‟wīl terdiri dari 17 juz. Juz pertama berisi
al-Nuzūl, Nāsikh wa al-Mansūkh, Kisah para Nabi dan lain sebagainya. Hal ini
33
Abd Ḥalīm Maḥmūd, Metodologi Tafsir, hal. 234.
34
Abd Ḥalīm Maḥmūd, Metodologi Tafsi, hal. 233.
35
Abd Ḥalīm Maḥmūd, Metodologi Tafsir, hal. 233.
54
dimaksudkan agar juz pertama ini menjadi kunci dari tafsir al-Qāsimī tersebut.36
Tafsir adalah sebuah hasil pemahaman ulama terhadap teks al-Qur`an yang
sifatnya ṣāliḥun likulli zamān wa al-makān. Karena itu, tafsir akan selalu
Maka, kajian terhadap latar belakang sosio-kultural dimana sebuah kitab tafsir
muncul adalah sesuatu yang urgen. Hal ini penting untuk mengetahui situasi apa
dan pengaruh apa yang melatar belakangi kemunculan kitab tafsir tersebut.
benturan antara dua peradaban yang berbeda. Benturan yang terus-menerus antara
pertengahan abad ke-19 dan awal abad ke-20, di mana serangan kolonialis kafir
bukan saja berkaitan dengan aspek teologis, juga berkaitan dengan aspek ekonomi
dan aspek kekuasaan. Benturan dan perang wacana ini pun terjadi di tempat
tinggal al-Qāsimī, yaitu negeri Syam. Tak pelak lagi, negeri Syam menjadi tempat
persemaian yang subur bagi gerakan kaum misionaris dan para pengikutnya.
istikhārah kepada Allah swt, juga karena sesuai dengan isi di dalam tafsirnya
mengambil yang paling kuat. Hal ini dapat dilihat ketika beliau mengkritik
makna dan segala aspek yang terkandung di dalamnya sesuai urutan bacaan al-
ayat beliau mengetengahkan sub pokok bahasan untuk menjelaskan secara detail
pendapat mufassir klasik dan mengutip dari tafsir mereka.41 Seperti tafsir al-
Ṭabarī, al-Zamakhsyari, Fakhru al-Rāsi, Ibn Katsīr dan lain sebagainya, kemudian
Ma‟tsūr, yaitu sebuah penafsiran yang bersumber dari al-Qur`an, sunnah nabi,
perkataan ṣahabat, tābiʻīn dan tābiʻit tābiʻīn. Hal ini karena al-Qāsimī juga
merupakan ulama yang pakar dalam ilmu hadits dan musṭalahnya, sehingga
halaman demi halaman dalam tafsirnya hampir tidak ada yang tidak berisi hadits.
ra‟yu.
اعةٌ َوالَ يُ ْؤ َخ ُذ ِمْن َها ِ ٍ َواتَّ ُقواْ يَ ْوماً الَّ ََْت ِزي نَ ْفس َعن نَّ ْف
َ س َشْيئاً َوالَ يُ ْقبَ ُل مْن َها َش َف ٌ
نص ُرو َن
َ َُع ْد ٌل َوالَ ُى ْم ي
“Dan jagalah dirimu dari (adzab) hari (kiamat, yang pada hari itu)
seseorang tidak dapat membela orang lain, walau sedikitpun; dan (begitu
41
Abd Salam al-Muh{tasib, Ittijāhāt al-Tafsīr fī al-„Aṣri al-Hadīts, hal. 44.
57
pula) tidak diterima syafāʻat dan tebusan dari padanya, dan tidaklah
mereka akan ditolong”.
seseorang atas hak orang lain yang diperlukan oleh siapapun yang mengerjakan
Jadi dapat dipahami bahwa ahli maksiat tidak dapat menerima syafaʻat. Al-Qāsimī
ini teruntuk khusus orang-orang kafir. Hal ini dipertegas dengan seruan yang
ditujukan kepada mereka. sebagaimana firman Allah swt, QS. al-Mudatstsir [74]
4842 dan QS. Al-Syuʻarā [26], 100-101.43 Makna ayat ini adalah bahwa Allah swt,
tidak akan memberikan tebusan dan syafāʻat bagi mereka yang kufur.44
42
Maka syafaʻat orang-orang yang dapat memberikan syafaat tidak akan bermanfaat
sedikitpun bagi mereka (orang-orang kafir).
43
Maka kami tidak mempunyai pemberi syafa‟at seorangpun, dan tidak pula mempunyai
teman yang akrab.
44
Jamāluddīn al-Qāsimī, Maḥāsin al-Ta‟wīl, Juz. II, hal. 121.
BAB IV
dan perbedaannya pada bab II, maka pada bagian ini penulis akan menghadirkan
beberapa contoh penafsiran dalam kitab Tafsīr Jāmiʻ al-Bayān „an Ta‟wīli āy al-
Qur‟ān, karya al-Ṭabarī dan Tafsīr Maḥāsin al-Ta‟wīl, karya Jamāluddīn al-
dan tafsir.
Pada sub bab ini, penulis berupaya menguraikan apa dan bagaimana yang
dalam tafsirnya. Selama ini, yang penulis tahu dan sebagaimana yang telah
menyebutkan kata ta‟wīl sebelum menjelaskan makna suatu ayat, penulis ingin
melihat apakah kata ta‟wīl yang dimaksud al-Ṭabarī dan al-Qāsimī adalah
memalingkan makna suatu lafaẓ dari makna asli pada makna yang lain atau
memalingkan makna suatu lafaẓ dari yang rājiḥ{ pada yang marjūḥ{, menjelaskan
makna bāṭin bukan makna ẓāhir dari suatu lafaẓ, sebagaimana yang didefinisikan
oleh kebanyakan ulama kontemporer.1 Atau yang dimaksud oleh al-Ṭabarī dan al-
Qāsimī dengan kata ta‟wīl-nya adalah al-bayān, al- syarh, al-iḍāh, al-kasyf
sebagaimana tafsir. Untuk melihat hal tersebut, penulis melakukan pelacakan dari
1
Jamāluddīn al-Qāsimī, Maḥāsin al-Ta‟wīl, Juz. II (Khādim al-Kitāb wa al-Sunnah,
Muḥammad Fu‟ād „Abdu al-Bāqī, 1957), Cet. I, hal. 763.
58
59
tiga contoh ayat. Pada tiga contoh ayat ini, penulis akan melihat seberapa banyak
kata-kata ta‟wīl dan kata-kata tafsīr yang digunakan oleh al-Ṭabarī dan al-Qāsimī
dengan sistematika analisis sebagai berikut: 1) penulis memilih ayat yang akan
dijadikan sampel, 2) memilih lafaẓ dari ayat sampel yang bisa diasumsikan
lakukan itu sesuai dengan asumsi penulis bahwa al-Ṭabarī dan al-Qāsimī
menafsirkan ayat tersebut.? Adapun rincian dari struktur analisis yang dilakukan
2
Hai manusia, sembahlah Tuhan-mu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang
sebelummu, agar kamu bertakwa.
3
Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil,
melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.
4
Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang
paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
60
َّاس إِنَّا َخلَ ْقنَا ُكم ِّمن اَ َك ٍر َوأُنثَى َو َج َع ْلنَا ُك ْم ُشعُوبًا َوقَبَائِ َل لِتَ َع َارفُوا إِ َّن
ُ يَا أَيح َها الن
ِ ِ ِ َ أَ ْكرم ُكم ِع
ٌيم َخبًِن
ٌ ند اللَّو أَتْ َقا ُك ْم إ َّن اللَّوَ َعل ْ ََ
Berikut adalah sejumlah alasan mengapa ayat-ayat di atas dipilih sebagai
sampel untuk memberi dan memastikan pemaknaan takwil dari ke dua mufassir
bermakna tafsir: (a) tiga ayat di atas tergolong ayat-ayat muḥkam. (b) terdapat kata
tafsīr dalam ayat tersebut. (c) secara umum, makna ayat tersebut sudah jelas dan
pasti.
Dari ketiga ayat di atas, penulis telah menetapkan beberapa lafaẓ yang
dianggap lafaẓ-lafaẓ kunci pada pembahasan ini. Dari QS. al-Baqarah [2]: 21,
penulis memilih tiga lafaẓ yang menjadi pokok pembahasan dalam penelitian ini.
Yaitu: lafaẓ اعبذوا, lafaẓ خهقكم, dan lafaẓ حخقىن, Pada ayat kedua (QS. al-Furqān
[25]: 33) penulis mengambil lafaẓ حفضيزا, dan pada ayat ketiga (QS. al-Ḥujurāt
[49]: 13), diambil dua lafaẓ, yaitu: lafaẓ شعىبب, dan lafaẓ قببئم.
menjelaskan terlebih dahulu sejumlah kosa kata yang dianggap sulit. Begitu pula
kata yang diperinci. Dari sejumlah kosa kata yang mereka cantumkan dalam
penjelasan tiga ayat di atas diambil 6 kosa kata yang menjadi alat teropong
penulis untuk melihat maknanya. Sebab 6 kosa kata tersebut menurut penulis
Terpilih.
tabel yang berkaitan dengan penjelasan lafaẓ-lafaẓ yang telah ditetapkan, dari
penjelas.5
a. Al- Ṭabarī
5
Tabel ini disajikan berdasarkan analisis penulis dari penjelasan al-Ṭabarī dan al-Qāsimī
atas tiga ayat di atas.
6
Dalam hal ini al-Ṭabarī menyebutkan tiga riwayat dalam kitabnya. Yanitu riwayat
Muḥammad bin Ḥumaid, Mūsa bin Harūn, dan Ibn ʻAbbās. Ibn ʻAbbās berkata dalam sebuah
riwayat yang diriwayatkan pada kami tentang makna uʻbudū, ia berkata bahwa makna uʻbudū
adalah wḥḥidū, al-Ṭabarī berkata: mungkin yang diinginkan Ibn ʻAbbās dalam mentakwilkan kata
uʻbudū dengan lafaẓ waḥḥidū adalah mengkhususkan ketaatan dan ibadah hanya kepada Allah,
bukan pada makhluk-Nya. Lihat: al-Ṭabarī, Jāmiʻ al-Bayān, Juz. I, hal. 385.
62
menyebutkan lafaẓ-lafaẓ yang sesuai dengan makna kata „ibādah. Seperti kata
انخضىع هللdan lafaẓ ( انخذنمketaatan dan kepatuhan kepada Allah, dengan segala
kerendahan jiwa dihadapannya). Hal ini sama ketika al-Ṭabarī memaknai kata
Pilihan kata yang kedua dalam ayat ini adalah lafaẓ خهقكم. Dari pelacakan
menjelaskan kata خهقكمsama persis dengan teks asli yaitu khalaqaqum. Pada lafaẓ
ketiga yang menjadi pilihan penulis dalam pembahasan ini adalah lafaẓ حخقىن, ia
mentakwil lafaẓ tersebut dengan makna lafẓiyah-nya, yaitu dengan kata طبعت.
Kalau diperhatikan makna kedua lafaẓ ini, maka terdapat kesamaan arti di
dalamnya. Taqwā dan Ṭāʻah berarti mengerjakan segala perintah dan menjauhi
lain, yaitu Mujāhid dan Ibn Wāqiʻ. Keduanya memaknai kata حخقىنdengan kata
حطيعىن.
Pada ayat kedua, terdapat lafaẓ حفضيزا. Pada ayat ini al- Ṭabarī memulai
dari ayat di atas adalah “orang-orang musyrik itu tidak akan datang kepadamu
(Muhammad) dengan membawa contoh yang mereka buat yang serupa dengan al-
Qur`an, kecuali aku datang kepadamu dengan membawa kebenaran yang dapat
7
Sebagaimana al-Qāsim menceritakan kepada kami, ia berkata: Husain menceritakan
kepada kami, ia berkata: Hajjāj menceritakan kepadaku, dari Ibn Juraij dari Mujāhid, tentang
firman Allah “Wa aḥsana Tafsīra” ia berkata: Bayānan. Lihat: al-Ṭabarī, Jāmiʻ al-Bayān, juz.
XVII, hal. 448.
63
kata tafsīr. Kata tafsīr, sebagaimana telah penulis jelaskan pada bab II, jika
dilihat dari pengertian secara bahasa, maka ia bermakna al-ibānah, al-kasyf, dan
kata tafsīr dalam ayat ini pada kitab tafsirnya. Ia menjelaskannya hanya dengan
makna lafẓiyah, dan menyebutkan beberapa pendapat ahl ta‟wīl yang senada
dengan pendapatnya.9
Pada ayat ketiga ini, penulis memilih dua lafaẓ yang diteropong
menguraikan makna dua lafaẓ tersebu? Dua lafaẓ itu adalah lafaẓ syuʻūb dan
qabāil. Kata syuʻūb dan qabāil jika dilihat dalam al-Qur`an terjemahan DEPAG,
al-Ṭabarī dengan mengacu pada beberapa riwayat yang telah ia sebutkan dalam
kitab tafsirnya.11 Ia memaknai dua lafaẓ tersebut dengan makna yang berbeda dari
8
Mannāʻ Khalīl al-Qaṭṭān, Mabāhis fī Ulūm al-Qur‟ān (Mansyūrāt al-„Aṣr al-Ḥadīst,
1973), hal. 323.
9
Dalam menjelaskan kata tafsīr pada ayat ini al-Ṭabarī menyebutkan tiga riwayah yang
senda dengan pendapatnya. Yaitu: pertama, Muḥammad bin Saʻīd menceritakan kepadaku, ia
berkata: bapakku menceritakan kepadaku, ia berkata: pamanku menceritakan kepadaku, ia berkata:
pamanku menceritakan kepadaku dari bapaknya dari Ibn „Abbās, tentang firman Allah: “wa
aḥ{sana tafsīra” Ibn „Abbās berkata: “aḥ{asana tafṣīlā (lebih baik penjelasannya). Kedua, al-Qāsim
menceritakan kepada kami, ia berkata: al-Ḥusain menceritakan kepada kami, ia berkata: Ḥujaj
menceritakan kepadaku dari Ibn Juraij dari Mujāhid tentang firman Allah: “wa aḥ{sana tafsīra” ia
berkata: “bayānan” (penjelasan). Ketiga, diceritakan dari al-Ḥusain, ia berkata: aku mendengar
Abū Muʻād berkata: ʻUbaid mengabarkan kepada kami, ia berkata: aku mendengar al-Ḍaḥḥāk
berkata tentang firman Allah “wa aḥ{sana tafsīra” ia berkata: “tafṣīlan” (penjelasan). Lihat: al-
Ṭabarī, Tafsir Jāmiʻ al-Bayān, Juz. XVII, hal. 447-448.
10
Lihat: al-Qur`an dan Terjemahannya, Departemen Agama Republik Indonesia
(Bandung: CV Penorogo, 2008), hal. 517.
11
Riwayat Abū Kuraib-Ibn „Abbās (Komunitas-komunitas dan kabilah-kabilah), riwayat
Khallād bin Aslam (komunitas-komunitas), riwayat Abū Kuraib-Saʻīd bin Jubair (komunitas-
komunitas dan suku-suku besar), riwayat Muḥammad bin „Amr (nasab yang jauh dan nasab yang
dekat), riwayat Bisyr (nasab yang jauh), riwayat Ibn „Abdi al-Aʻlā (nasab), riwayat Husain (nasab
yang jauh ), riwayat Ibn Basysyār (suku besar dan kabilah-kabilah), riwayat Yahyā bin Ṭalḥah, dan
riwayat Muḥammad bin Saʻīid (ansab). Lihat: Tafsir Jāmi‟ al-Bayān, Juz. XXI, hal. 384-385.
64
apa yang telah dilakukan oleh KEMENAG. Ia memaknai lafaẓ syuʻūb dengan al-
nasab al-baʻīd (keturunan yang jauh) dan lafaẓ qabāil dengan al-nasab al-qarīb
berbeda. Ini artinya apa yang telah ia lakukan bukanlah bersumber dari sebuah
menjelaskan maksud suatu ayat juga dilakukan oleh para mufassir yang tafsirnya
bercorak bi al-ma‟tsūr.12
b. Al-Qāsimī
ayat-ayat yang telah disebutkan di atas, dengan membatasi pada lafaẓ-lafaẓ yang
telah ditetapkan sebagai lafaẓ-lafaẓ yang dianggap lafaẓ kunci dalam meneliti cara
penguraiannya. Pada ayat pertama (QS. al-Baqarah [2] 21), al-Qāsimī tidak
Dilihat dari ciri khas, gaya bahasa dan persoalan yang dibicarakan, ayat
di atas dimasukkan oleh ulama pada ayat Makkiyah. Karena masih menggunakan
seruan yang umum (yā ayyuhā al-nās). Hal ini dikarenakan ayat-ayat yang turun
12
Seperti: Tafsīr Ibn ʻAbbās, al-Muḥarraru al-Wajīz fī Tafsīri Kitāb al-ʻAzīz (karya Ibn
ʻAṭiyah), dan Tafsīr al-Qur‟ān al-ʻAẓīm (karya Ibn Katsīr). Lihat: Mannāʻ al-Qaṭṭān, Studi Ilmu-
Ilmu al-Qur`an, hal. 499-505.
65
di Mekkah (Makkiyah) pada umumnya lebih universal dari pada ayat-ayat yang
berlaku untuk semua lapisan masyarakat, tanpa terkecuali. Bukan hanya untuk
orang-orang yang beriman, tetapi juga untuk orang-orang yang tidak beriman. Al-
dinisbatkan pada orang-orang yang beriman, berarti ia adalah perintah agar tetap
mengeluarkan kalian dari ketiadaan menjadi ada), dan lafaẓ tattaqūn juga
Pada ayat kedua terdapat lafaẓ tafsīra. Lafaẓ ini dijelaskan dengan makna
lafẓiyah-nya oleh al-Qāsimī. Yaitu dengan kata bayānan dan hidāyatan.15 Al-
Qāsimī berbeda cara dengan al-Ṭabarī dalam menguraikan lafaẓ tafsīr, al-Ṭabarī
menyebutkan beberapa pendapat ulama dan beberapa riwayat terkait makna lafaẓ
padahal makna yang diinginkan oleh keduanya dari lafaẓ tafsīr adalah sama, yaitu
Pada ayat ketiga, terdapat dua lafaẓ yang penulis telusuri penjelasannya
menyimpang dari makna asli yang diinginkan oleh teks/ atau lafaẓ. Dua lafaẓ itu
adalah lafaẓ syuʻūb dan qabā‟il. Dalam menjelaskan dua lafaẓ itu, ia mengutip
pendapat al-Ṭabarī16 dan Syaikh Ibn al-Barri, serta syair-syair Arab sebagai alat
bantu dalam menjelaskan makna lafaẓ tersebut. makna-makna itu adalah sama
dengan makna yang dipilih oleh al-Ṭabarī dalam menjelaskan lafaẓ ini. Yaitu
antara lain: al-nasab al-baʻīd dan al-nasab al-qarīb, serta al-qabīlah al-„uẓmah.
pembagian: dua kali di ayat pertama, satu kali di ayat kedua dan ketiga. Kedua,
kata ta‟wīl disandingkan dengan pendapat ahl ta‟wīl dengan bentuk kalimat
“wabinaḥwi al-ladzī qulnā fi ta‟wīli dzālika qāla ahl ta‟wīl” sebanyak enam kali,
dengan pembagian: satu kali pada ayat pertama, dua kali pada ayat kedua, dan tiga
dalam tiga ayat di atas sebelum menguraikan maknanya, dengan kalimat yang
16
Qauluhū: syuʻūbā wa qabāila, qāla Ibn Jarīr: wajaʻalnākum mutanāsibain,
fabaʻḍukum yunāsibu ba‟ḍā nasaban baiʻīdā, waba‟ḍukum yunāsibu baʻḍā nasaban qarībā.
Lihat: al-Qāsimī, Maḥāsin al-Ta‟wīl, Juz. XV, hal. 5467.
17
Ahmad Warsun al-Munawwir, al-Munawwir: Kamus Arab Indonesia, hal. 774.
18
Lihat: Jāmiʻ al-Bayān „an Ta‟wīli āy al-Qur‟ān. al-Ṭabarī selalu menyebutkan kalimat
tersebut sebelum memulai penjelasannya.
67
sama seperti yang disebutkan oleh al-Ṭabarī dalam tafsirnya, yaitu “al-qaulu fī
ta‟wīli qaulihi Taʻālā. Pada ayat pertama ia hanya menyebutkan satu kali kata
ta‟wīl, begitupun pada ayat kedua dan ketiga. Hanya ada penambahan
pemalingan makna dari makna yang rājiḥ pada makna yang marjūḥ atau dari
makna ẓāhir pada makna bāṭin. Akan tetapi kata ta‟wīl tersebut lebih mengarah
sebagaimana terdapat dalam kamus. Hal ini dibuktikan dengan melihat pada
lafaẓ-lafaẓ yang telah diuraikan oleh al-Ṭabarī dan al-Qāsimī serta riwayat-
Untuk melihat bahwa sebuah uraian atas ayat al-Qur`an itu adalah tafsir,
penulis juga menggunakan riwayat sebagai alat teropong. Apakah al-Ṭabarī dan
hasil penelusuran penulis terhadap penjelasan al-Ṭabarī atas tiga ayat di atas,
pada ayat kedua 4 riwayat, dan pada ayat ketiga terdapat sebanyak 14 riwayat baik
yang berkkaitan dengan lafaẓ yang dibahas atau dengan ayat secara keseluruhan.
hanya mengemukakan 7 riwayat dalam QS. al-Ḥujurāt, dan pada dua ayat lainnya
al-ma‟tsūr.19
telah penulis tentukan pada bagian ini dan penyebutan beberapa riwayat sebagai
penjelasan atas ayat-ayat di atas, sudah cukup untuk membuktikan bahwa takwil
yang dimaksud oleh keduanya adalah tafsir. Hal ini sejalan dengan pandangan
Ibn Taimiyah yang membagi takwil pada dua makna, salah satu diantaranya
mempersoalkan apakah ia cocok dengan makna yang tersurat dalam teks al-
Qur`an. Takwil seperti inilah yang semakna dengan tafsir. Sebagaimana telah
تفسًنا تفصيال-بيانا
Al
ta* 3
19
Tafsir bi al-ma‟tsūr ialah rangkaian keterangan yang terdapat dalam al-Qur`an dan al-
Sunnah atau kata-kata sahabat sebagai keterangan/penjelasan maksud dari firman Allah, yaitu
penafsiran al-Qur`an dengan al-Sunnah. Dengan demikian tafsir bi al-Ma‟tsūr adalah tafsir al-
Qur`an dengan al-Qur`an, penafsiran al-Qur`an dengan al-Sunnah, dan penafsiran al-Qur`an
dengan pendapat para ṣahabat. Lihat: „Alī As-Ṣābuni, al-Tibyān fī Ulūm al-Qur‟ān, (Beirut:
Maktab al-Ghazali, 1981), Cet. II, hal. 63. Atau, Tafsir bi al-Ma‟tsur adalah tafsir yang mencakup
penjelasan terperinci dari sebuah ayat dengan ayat lain dalam al-Qur`an (tafsir al-Qur`an bi al-
Qur`an), keterangan yang berasal dari Rasulullah Saw (tafsir al-Qur`an bi al-Sunnah), sahabat
dan tabiʻīn berkenaan dengan penjelasan maksud Allah Swt yang terdapat dalam naṣ-naṣ kitab-
Nya yang mulia. Lihat: Muḥammad Ḥusain al-Dzahabi, al-Tafsīr wa al-Mufassir (Kairo:
Maktabah Wahbah, 2000), hal. 112.
69
Ḥujurāt
Al-
8
قبائل النسب القريب ta*
Al-Baqarah
اخرجكم من العدم
خلقكم ta* ta*
اىل الوجود
Aal-Qāsimī
ta* ta*
Pada bagian ini penulis ingin membuktikan bahwa tidak semua kata ta‟wīl
yang digunakan oleh al-Ṭabarī dan al-Qāsimī dalam kedua kitab tafsirnya
bermakna takwil, dalam arti memalingkan makna suatu lafaẓ dari makna yang
rājiḥ pada makna yang marjūḥ dengan syarat tidak bertentangan dengan pesan
al-Qur`an dan hadits Nabi. Untuk membuktikan hal ini, penulis memilih tiga ayat
yang menjadi kajian dalam sub bab ini. Satu diantaranya adalah ayat yang di
dalamnya mengandung kata ta‟wīl, sementara dua ayat lainnya adalah ayat yang
biasa dijelaskan dengan menggunakan takwil oleh beberapa ulama tafsir, karena
dua ayat ini tergolong ayat mutasyābihāt. Yaitu, ayat yang mempunyai
1) pemilihan tiga ayat yang dijadikan sampel, 2) pemilihan lafaẓ-lafaẓ yang akan
al-Qāsimī.
bahwa kata ta‟wīl bermakna takwil, setelah pada bagian A dalam bab ini penulis
telah membuktikan bahwa kata ta‟wīl bermakna tafsir. Pemilihan tiga ayat ini
hingga akhirnya menjatuhkan pilihan pada tiga ayat ini, karena bagi penulis ayat-
ayat ini adalah ayat-ayat yang sudah tidak asing lagi dan sering penulis jumpai
ِ ِ ِِ ِِ
ٌ ب فَأَيْ نَ َما تُ َولحواْ فَثَ َّم َو ْجوُ اللّو إ َّن اللّوَ َواس ٌع َعل
يم ُ َوللّو الْ َم ْش ِر ُق َوالْ َم ْغ ِر
Seputar penjelasan Muḥkam dan Mutasyābih serta Takwil. (QS. Āli
„Imrān [3] 7).21
20
“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu menghadap di
situlah wajah Allah, Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha mengetahui”.
21
“Dia-lah yang menurunkan al-Kitab (al-Qur`an) kepada kamu. diantara (isi) nya ada
ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi al-Qur`an dan yang lain (ayat-ayat)
mutasyābihāt. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka
mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyābihāt daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk
mencari-cari takwilnya, Padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. dan
orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang
mutasyābihāt, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat mengambil pelajaran
(daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal”.
71
ِ ِ َّ ِ
َ ك إََِّّنَا يُبَايِعُو َن اللَّوَ يَ ُد اللَّ ِو فَ ْو َق أَيْدي ِه ْم فَ َمن نَّ َك
ُ ث فَِإََّّنَا يَن ُك
ث َ َين يُبَايِعُون
َ إ َّن الذ
ِ ِِ ِ ِِ
يما
ً َجًرا َعظ ْ اى َد َعلَْيوُ اللَّوَ فَ َسيُ ْؤتيو أ َ َعلَى نَ ْفسو َوَم ْن أ َْو َىف ِبَا َع
Terpilih.
Dari tiga ayat tersebut di atas, penulis memilih lafaẓ-lafaẓ yang akan
menjadi pokok pembahasan dalam bagian ini. Pada ayat pertama penulis fokuskan
pada lafaẓ wajh Allāh, ayat kedua terletak pada lafaẓ ta‟wīlā, dan pada ayat ketiga
penulis memilih lafaẓ yad Allāh. Pemilihan tiga lafaẓ ini dikarenakan lafaẓ-lafaẓ
mengandung makna ambigu. Untuk lafaẓ ta‟wīlā penulis jadikan salah satu
pilihan kata dalam bagian ini untuk mengetahui pemaknaan al-Ṭabaī dan al-
pada bagaian ini, terlebih dahulu penulis tunjukkan tabel yang yang berisi
22
“Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu Sesungguhnya mereka
berjanji setia kepada Allah. tangan Allah di atas tangan mereka, Maka Barangsiapa yang
melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan
Barangsiapa menepati janjinya kepada Allah Maka Allah akan memberinya pahala yang besar”.
72
kata ta‟wīl dan kata tafsīr serta riwayat-riwayat yang berkaitan penjelasannya
a. Al-Ṭabarī.
Lafaẓ wajh Allāh adalah termasuk lafaẓ yang muḥtamil, yaitu suatu lafaẓ
makna yang dipakai untuk menjelaskan lafaẓ ini, selain makna lafẓiyah-nya.
menjelaskan lafaẓ wajh Allāh pada ayat ini mengemukakan makna iḥtimāl dari
lafaẓ wajh Allāh, yaitu Qiblatullāh, yaitu arah dimana umat Islam menghadapkan
mukanya pada saat melaksanakan ṣalat. Pendapat ini diperkuat dengan pendapat-
23
Al-Ṭabarī, Jāmiʻ al-Bāyān, Juz. II, hal. 456.
24
Misalnya, Abū Kuraib dan Al-Qāsim.
73
Pemalingan lafaẓ dari satu makna ke makna yang lain, atau dari makna
yang rājiḥ kemakna muḥtamil merupakan salah satu definisi takwil, jadi apa
yang dilakukan al-Ṭabarī dalam menjelaskan ayat/lafaẓ wajh Allāh ini adalah
Pada ayat kedua yang menjadi sorotan penulis adalah terletak pada lafaẓ
menjelaskan makna lafaẓ ini dengan melihat langsung pada penjelasan dalam
kitab tafsirnya, yaitu Jāmi‟ al-Bayān. Dalam menguraikan makna lafaẓ ta‟wīlā
pada QS. Āli ʻImrān ayat 7, al-Ṭabarī mengemukakan beberapa makna dari kata
pendapat orang Arab dalam menjelaskan kata ta‟wīlā dengan mengacu pada
syair-syair arab.26 Pada umumnya, orang Arab memaknai kata ta‟wīl dengan kata
tafsīr. Yaitu al-tafsīr, al-marjiʻ dan al-maṣīr, yakni tempat kembali. Jadi maksud
kembalinya.
dalam tafsirnya. Pertama, kata ta‟wīlā dimaknai dengan kata Al-ajal, yaitu
25
Al-Ṭabarī, Jāmiʻ al-Bayān, Juz. II, hal. 457.
26
بعي الشقاب فأصحبا
ّ تأول ر
ّ - تأول حبها
ّ علي اهنا كانت. Lihat: al-Ṭabarī, Jāmiʻ al-Bayān, Juz.
V, hal. 222.
74
dengan firman Allah: wamā yaʻlamu ta‟wīlahu illā Allāh, adalah bahwa tidak
Kata yad jika disandingkan pada manusia, maka ia bermakna tangan. Tapi
jika disandarkan pada Allah, boleh saja bermakna lain. Sebab, kalau dimaknai
tangan, maka ada penyerupaan antara Allah dengan makhluknya. Padahal al-
Qur`an sendiri dengan tegas mengatakan bahwa Allah tidak sama dan tidak boleh
yad Allāh dalam kitab tafsirnya? Setelah penulis melakukan penelusuran terhadap
penjelasan al-Ṭabarī tentang lafaẓ yad Allāh, ditemukan makna lain yang ia
27
Al-Ṭabarī, Jāmiʻ al-Bayān, Juz. V, hal. 215.
28
Al-Ṭabarī, Jāmiʻ al-Bayān, Juz. V, hal. 216.
29
Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia. Dia yang Maha Mendengar dan Maha
Melihat. (QS. al-Syurā [42] 11).
75
selalu setia bersamanya, walaupun harus bertemu musuh. Hal ini disebabkan
berjabatan tangan sebagai tanda kesepakatan. Maka, al-Ṭabarī memaknai kata yad
dengan dua makna, yaitu: yad dalam arti tangan sebagaimana makna aslinya, dan
yad dalam arti kekuatan. Bahwa kekuatan Allah, berada di atas kekuatan mereka
orang-orang kafir. Berikut ini penulis kutip pengurain tentang makna yad dalam
kitabnya.
يداهلل فوق ايديهم, احدِها: ويف قولو (يداهلل فوق ايديهم) وجهان من التأويل
قوة اهلل فوق قوهتم يف, واألخر. ألهنم كانوا يبايعون اهلل ببيعتهم نبيو,عندالبيعة
30
.نصرة رسولو ألهنم اَّنا بايعوا رسول اهلل على نصرتو على العدو
b. Al-Qāsimī
Dalam menguraikan ayat ini (QS. al-Baqarah [2] 115), al-Qāsimī tidak
keseluruhan ayat. Yang dimaksud dengan wajh Allāh, juga tidak dijelaskan dalam
penjelasan ayat ini. Oleh karena lafaẓ ini menjadi objek kajian dalam bagian ini,
terdapat lafaẓ wajh Allāh. Penulis temukan dalam surah al-Qaṣaṣ [28] 88, dan QS.
al-Raḥmān [55] 25. Pada dua ayat ini, al-Qāsimī menjelaskan makna lafaẓ wajh
Allāh dengan Dzat Allah.31 Pengalihan makna lafaẓ wajh dari makna aslinya
(wajah/muka) pada makna lain yang lebih sesuai dengan sifat Allah adalah salah
30
Al-Ṭabarī, Jāmiʻ al-Bayān, Juz. XXI, hal. 254-255.
31
Al-Qāsimī, Maḥāsin al-Ta‟wīl, Juz. XIII, hal. 4733 dan Juz. XV, hal. 5620.
76
Penjelasan QS. Āli Imrān ayat 7 dalam tafsir Maḥāsin al-Ta‟wīl sangat
luas dan detail. Paling tidak ada tiga tema besar yang dibahas oleh al-Qāsimī
dalam uraian ayat ini. Pertama, tentang muḥ{kam dan mutasyābih. Kedua, tentang
mutasyābih. Dalam hal ini al-Qāsimī berpendapat bahwa semua ayat al-Qur`an,
baik yang muḥkam atau yang mutasyābih dapat dijangkau maknanya oleh
manusia, karena Allah tidak mungkin menurunkan suatu ayat dalam al-Qur`an
yang tidak bisa dijangkau maknanya oleh manusia, sebab al-Qur`an adalah kitab
petunjuk. Ketiga, tentang makna takwil, ditinjau dari pandangan ulama salaf
sangat luas. Mengetahui berita yang terdapat dalam al-Qur`an adalah bentuk
Takwil dalam pandangan ulama salaf dapat dibagi pada dua makna.
Pertama, ditinjau dari segi bahasa, takwil bermakna tafsīr al-kalām wa bayānu
dalam hal ini sama dengan tafsir. Takwil juga dapat bermakna haqīqatun, nafsun,
takwil dari kalimat tersebut adalah hakikat dari perintah tersebut, dan jika
kalimatnya berbentuk berita, maka takwilnya adalah isi dari berita tersebut.
32
Al-Qāsimī, Maḥāsin al-Ta‟wīl, Juz. IV, hal. 760.
33
Al-Qāsimī, Maḥāsin al-Ta‟wīl, Juz. IV, hal. 765.
77
memalingkan suatu lafaẓ dari makna yang rājiḥ pada makna yang marjūḥ
dikarenakan ada dalil yang menunjukkannya.34 Inilah takwil yang dimaksud oleh
Pada ayat ketiga dari tiga ayat yang telah penulis tetapkan sebagai sampel,
penulis memilih lafaẓ yad Allāh sebagaimana pada penjelasan al-Ṭabarī di atas.
Hal ini dimaksudkan untuk melihat cara penguraian al-Qāsimī terhadap lafaẓ yad
penulis membaca dan memahami beberap uraian al-Qāsimī tentang makna lafaẓ
Pertama, sesuai makna aslinya, yaitu tangan Allah di atas tangan mereka
ketika mereka dibaiʻat.35 Ketika mereka berjanji untuk setia kepada Nabi, berarti
mereka juga tengah berjanji setia kepada Allah. Kedua, dengan mengutip
pendapat al-Qasysyāni, bahwa yang dimaksud yad dalam ayat ini adalah
Kekuasaan. Kekuasaan Allah yang tanpak pada tangan Rasul, dan berada di atas
kekuasaan mereka yang tampak pada tangan mereka sendiri. Barang siapa yang
barang siapa yang menepati janjinya, maka surga bagi mereka sebagai balasannya.
Berikut ini penulis sertakan uraian al-Qāsimī tentang makna lafaẓ yad:
34
Penjelasan lebih detailnya tentang takwil dapat dilihat pada penguraian al-Qāsimī
terhadap QS. Āli ʻImrān ayat 7. Disamping ia menyebutkan pandangan ulama salaf dan ulama
konemporer, ia juga menyebutkan pandangan tentang persoalan takwil golongan Jahmiyah dan
Muʻtazilah. Lihat: tafsir Maḥ{āsin al-Ta‟wīl, Juz. IV, hal. 762.
35
Yang dimaksud bai‟at disini adalah bai‟at riḍwan, dilakukan di bawah pohon Samrah di
Hudaibiyah. Para ṣahabat yang berjanji kepada Rasulullah pada saat itu berjumlah seribu empat
ratus orang, ada yang mengatakan seribu tiga raus orang, ada pula yang mengatakan seribu lima
ratus orang. Pendapat yang paling benar adalah pendapat yang pertama. Pendapat yang pertama ini
adalah pendapat Ibnu Katsir. Lihat: Al-Qāsimī, Maḥāsin al-Ta‟wīl, Juz. XV, hal. 5401-5402.
78
ayat di atas adalah menjelaskan makna kalimat, menyebutkan pendapat ulama lain
terkait tema yang dibahas, dan menyebutkan beberapa riwayat yang berkaitan
selalu memulai dengan berkata “al-qaulu fī ta‟wīli qaulihi Ta‟ālā”. Kalimat ini
fī ta‟wīli qaulihi Taʻālā”,37 yang jumlahnya empat belas kali, dengan klasifikasi:
dua kali pada QS. al-Baqarah: 115, sebelas kali pada QS. Āli ʻImrān: 7, dan satu
kali pada QS. al-Fath: 10. Kedua, kata ta‟wīl yang disandingkan dengan pendapat
ahl ta‟wīl dengan bentuk kalimat “wabinaḥwi al-ladzī qulnā fi ta‟wīli dzālika qāla
ahl ta‟wīl” sebanyak sepuluh kali, dengan klasifikasi: dua kali pada QS. al-
Baqarah: 115, enam kali pada QS. Āli ʻImrān: 7, dan dua kali pada QS. al-Fath:
10. Penulis sama sekali tidak menemukan penggunaan kata tafsir dalam uraian al-
36
Al-Qāsimī, Maḥāsīn al-Ta‟wīl, Juz. XV, hal. 5401.
37
Lihat al-Ṭabarī, Jāmi‟ al-Bayān „an Ta‟wīli āy al-Qur‟ān. al-Ṭabarī selalu
menyebutkan kalimat tersebut sebelum memulai penjelasannya.
79
Pola yang dilakukan al-Qāsimī dalam menguraikan makna lafaẓ atau ayat,
khususnya tiga ayat yang telah penulis tetapkan sebagai ayat sampel, tidak jauh
berbeda dengan pola yang dilakukan al-Ṭabarī. Ia juga menyebutkan kata ta‟wīl,
yang dibahas. Tapi, baik kata ta‟wīl atau riwayat-riwayat pendukung, yang
disebutkan oleh al-Qāsimī tidak sebanyak dan sedetail yang disampaikan oleh al-
panjang dibandingkan dengan al-Qāsimī. Hal ini bisa dilihat dari cara penguraian
Untuk melihat bahwa sebuah uraian atas tiga ayat al-Qur`an di atas adalah
takwil, penulis melihat cara yang mereka lakukan dalam menguraikan makna
mereka juga menyebutkan makna-makna lain yang masih berkaitan dengan lafaẓ
yang dibahas? Dari hasil penelusuran penulis terhadap penjelasan al-Ṭabarī dan
al-Qāsimī terhadap tiga ayat di atas, diketahui bahwa dalam menjelaskan makna
lafaẓ-lafaẓ di atas mereka tidak hanya melihat makna lafẓiyah-nya saja, tetapi
mereka juga menjelaskan dengan makna muḥtamil, yaitu makna lain yang masih
ada kaitannya dengan lafaẓ yang dibahas, bahkan dalam tiga ayat ini mereka lebih
menyebutkan makna lafẓiyah dari beberapa kalimat yang ia uraikan. Pada ayat
pertama QS. al-Baqarah [2] 115, kata wajh Allāh ditakwil dengan kata Qiblat
80
Allāh. Pada ayat kedua QS. Āli ʻImrān [3] 7, kata ta‟wīlā ditakwil dengan kata
lafẓiyah-nya, yaitu berupa tafsīr, al-marjiʻ, dan al-maṣīr. Pada ayat ketiga QS. al-
Fath [48] 10, kata yad Allāh ditakwil dengan kata quwwatullāh, walaupun al-
Pemalingan makna dari wajh Allāh menjadi qiblatullāh, dari kata ta‟wīlā
menjadi yaum al-Qiyāmah dan makna lainnya, dari yad Allāh pada quwwatullāh,
itu semua merupakan pemalingan dari makna lafẓiyah pada makna muḥtamil, dan
yang demikian ini adalah makna dari takwil. Dengan demikian, penjelasan
memalingkan suatu lafaẓ dari makna yang rājiḥ pada makna yang marjūḥ. Hal ini
bisa dilihat dari penguraian beliau atas lafaẓ-lafaẓ tersebut. Kata wajh Allāh pada
QS. al-Baqarah [2] 115, ditakwil dengan kata Dzāt Allāh, kata ta‟wīlā pada QS.
Āli ʻImrān [3] 7, ditakwil dengan haqīatun, nafsun, „ainun, nafsu al-murād bi-al-
kalām, dan ṣarfu al-lafẓi „an al-maknā al-rājiḥ ilā al-makna al-marjūḥ, dan kata
yad Allāh pada QS. al-Fath [48] 10, ditakwil dengan Qudrah Allāh. Pengalihan
lafaẓ dari satu makna ke makna lain merupakan salah satu kriteria takwil. Jadi
yang dilakukan oleh al-Ṭabarī dan al-Qāsimī dalam menguraikan makna lafaẓ-
lafaẓ di atas adalah bentuk dari takwil, sekalipun mereka menghadirkan makna
lafẓiyah-nya.
81
Baqarah
Al-
وجو اهلل ta* قبلة اهلل 6
املرجع-تفسًن
-يوم القيامة
Āli „Imrān
Al-Ṭabarī
تأويلو - 2
جزاء-عواقبو
املصًن
Al-Fatḥ
ta* ta*
- عٌن-حقيقة
Al-Qāsimī
Āli „Imrān
بالكالم
Al-Fatḥ
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang telah penulis lakukan terhadap makna kata
ta‟wīl dalam tafsir Jāmiʻ al-Bayān ʻan Ta‟wīli āy al-Qur‟ān karya al-Ṭabaī dan
sebelumnya, maka pada bagian ini penulis akan memberikan sebuah kesimpulan
yang menjadi ajang kontroversi terutama bagi para mufassir yang hidup sebelum
agama dari segala hal yang baru. Mereka ketika dihadapkan dengan ayat-ayat
berucap “Allāhu aʻla bi murādihi” seperti terdapat dalam Tafsir Jalalain, karya
Hal ini berbanding jauh dengan apa yang telah dilakukan oleh al-Ṭabaī
ayat-ayat al-Qur`an, baik yang muḥkam ataupun yang mutasyābih. Bahkan kitab
tafsir mereka beri nama takwil. Makna kata ta‟wīl dalam kedua tafsir ini tidak
selamanya bisa dipahami sebagai takwil, tetapi ia juga dapat bermakna tafsir. Jadi,
tidak semua tafsir dapat dikatakan takwil, tapi semua takwil dapat dikatakan
tafsir.
82
83
karenanya seluruh ayat-ayatnya harus bisa dipahami, baik yang muḥkam atau
yang mutasyābih. Hal ini telah dilakukan oleh al-Ṭabarī dan al-Qāsimī, mereka
diabaikan penafsirannya oleh sebagian ulama, seperti huruf muqaṭṭaʻah dan ayat-
pernyataan bahwa ayat mutasyābih tidak dapat dipahami maknanya kecuali oleh
maknanya oleh manusia dengan kapasitas ilmu yang dimiliki, tetapi mereka tidak
bisa memahaminya secara pasti, karena yang dapat memahami secara pasti
tafsirnya.
B. Saran-saran
tafsir dan takwil, penulis menyadari bahwa masih banyak celah dalam penelitian
ini sehingga membutuhkan kajian lebih lanjut tentang pemikiran mereka. Untuk
takwil sebagai sebuah metode dalam memahami al-Qur`an tidak akan ada
akan mengalami perubahan dan perkembangan dari satu masa ke masa yang lain.
yang diadopsi dari paham barat, yaitu hermeneutika. Awal munculnya metode ini
84
menuai kontroversi di kalangan sarjana muslim. Hal ini sama dengan takwil yang
kala itu juga menjadi kontroversi. Bebrapa sarjana muslim menerima metode baru
ini sebagai sebuah khazanah pemikiran yang bernilai ilmiah, dan sebagian yang
lain menolaknya dengan dalih metode ini lahir dari orang-orang Yahudi yang
dengan mencari titik kesamaan dan perbedaan antara dua metode tersebut. adakah
salah satu dari sekian banyak metode hermeneutika itu diterapkan dalam
penafsiran mereka.?
Dari beberapa uraian penulis dari awal hingga akhir tentang pemikiran
takwil al-Ṭabarī dan al-Qāsimī, tentulah banyak kekurangan. Baik yang berkaitan
denga ide, sistematika penulisan dan pemilihan kata-kata. Penulis menyadari hal
itu, karena keterbatasan keilmuan yang dimiliki. Oleh karenanya saran dan kritik
Abu Zaid, Nasr Hamid. Mafhum al-Naṣ. Cet. III. Beirut: al-Markaz ats-Tsaqāfi al-
Arabi. 1995
Ayyub, Ḥasan. „Ulūm al-Qur‟ān wa al-Ḥadīts. Dār al-Salām. Cet. I. 1422 H/2002
M
„Aṣi, Ḥasain. Abū Ja‟far Muḥammad Ibn Jarīr al-Ṭabarī wa Kitabūhu Tārikh al-
Umam wa al-Muluk. Cet. I. Beirut: Dār al-Kutub al-„Alamiyah. 1992
Baiquni, Ahmad. Islam dan Ilmu Pengetahuan Modern. Pustaka: Bandung. 1983
Chirzin, Muhammad. al-Qur`an dan Ulum al-Qur`an. Jakarta: Dana Bhakti Prima
Jasa. 1998
Faiq, Khālid al-Ubaidi. al-Qur‟ān Manḥalu al-„Ulūm. Beirut: Dār al-Kutub al-
„Alamiyah. 1428 H/2007 M
85
86
Goldziher, Ignas. Madzhab Tafsir dari Aliran Klasik hingga Modern. Jogjakarta:
Elsaq. 2003
----------. Ibn Jarīr al-Ṭabarī wa Manhājuh fī al-Tafsīr. Kairo: Dār al-Manār. 1991
Al-Khāzin. Lubāb al-Ta‟wīl fī Ma‟āni al-Tanzīl. Juz. I. Beirut: Dār al-Kutub al-
„Alamiyah
Al-Kittāni, Abd al-Ḥayyi bin „Abd al-Kabīr. Faḥrās al-Faḥāris wa al-Itsbāt. Juz.
I. Dār al-Garb al-Islāmī. 1982
Maʻrifat, Muhammad Hādi. al-Tamhīd fi Ulūm al-Qur‟ān. Juz. III. Muassasah al-
Nasyr al-Islami
Marzuki, Kamaluddin. „Ulūm al-Qur‟ān. Bandung: Rosyda Karya. Cet. II. 1994
Mulyati, Sri. Pengantar Kajian al-Qur`an. Jakarta: UIN Jakarta Press. 2004
Naser, Sayyed Husein. Tiga Pemikiran Islam: Ibnu Sina, Suhrawardi, dan Ibnu
Arabi. Bandung: Risalah. 1986
Nawai, Rif‟at Syauqi. Pengantar Ilmu Tafsir. Jakarta: Bulan Bintang. 1992
Al-Ṣālih, Subhi. Mabāhits fi 'Ulūm al-Qur‟ān. Cet. VII. Beirut: Dār al-'Ilm. 1972
----------. Sejarah Pengantar Ilmu al-Qur`an dan Tafsir. Semarang: Pustaka Rizki
Putra. Cet. III. 2000
Suma, Muhammad Amin. Studi Ilmu-Ilmu al-Qur`an II. Jakarta: Pustaka Firdaus.
2001
Al-Ṭabarī, Ibn Jarīr. Tafsīr al-Kubrā, Jāmiʻ al-Bayān „an Ta‟wīli āy al-Qur‟ān.
Maktab Ibn Taimiyah. Cet. II. 1422 H/2001 M