NAMA
NPM
Introduction
saat ini sya sedang menempuh Pendidikan profesi bidan semester pertama. Ini adalah hari
keduanya berada di stase nifas di BPM Bidan Sari setelah sebelumnya menempuh stase
persalinan di Puskesmas.
Description
Memasuki stase BBL, saya teringat pengalaman saya saat dulu bekerja sebagai Bidan di
ruang Perinatologi RSUP Fatmawati tahun 2001. Saya merawat beberapa kasus bayi baru
lahir (neonatal) patologis yang mengalami hiperbilirubinemia dan dilakukan therapy blue
light. RSUP Fatmawati merupakan rumah sakit rujukan tersier dimana terdiri dari kasus-
kasus sulit dan penyakit yang membutuhkan pemeriksaan penunjang lebih lengkap.
Penatalaksaan dalam suatu penyakit disini dilakukan secara komprehensif disertai
skrining kemungkinan lainnya. Umumnya neonatus yang berada disini memiliki lebih
dari satu diagnosis, dimulai dari neonatus aterm/preterm/late preterm. Mayoritas neonatus
disini juga mempunyai berat badan lahir rendah (BBLR) dan disertai penyakit atau
kelainan lainnya seperti hiperbilirubinemia, sepsis, kelainan jantung seperti patent duktus
arteriosus (PDA), atrium septum defect (ASD), gangguan pernafasan seperti asfiksia,
respiratory distress syndrom (RDS), persistent pulmonary hipertension in neonate
(PPHN), gangguan kongenital seperti down syndrome, meningoencephalocele,
omfalocele, spina bifida, hydrocephalus dan masih banyak penyakit Iain.
Salah satu kasus bayi baru lahir dengan hiperbilirubinemia yang saya temui saat itu
adalah Bayi A, lahir aterm, usia 1 hari, tampak ikterik. Hasil penilaian yang ditemukan
pada bayi tersebut adalah: Bayi sadar, aktif, minum ASI masih sedikit, suhu 36,7 0C,
ikterik Krammer 2, tali pusat bersih. Bilirubin total 13 mg/dL, bilirubin direk 0,6 mg/dl.
Golongan darah ibu O rhesus +, anak B rhesus +, Coomb test+. Hasil diagnosis
hiperbilirubinemia karena ABO inkompatibilitas. Dan bayi tersebut dilakukan therapy
blue light. Phototherapy yang digunakan, biasanya hanya untuk menyinari satu sisi saja,
sehingga harus membalik badan bayi selama 3 jam sekali untuk menggapai seluruh
bagian tubuh.
Pada kasus bayi A, sependek pengetahuan saya, tingginya bilirubin indirek lebih
berbahaya dibanding bilirubin direk. Kadar bilirubin indirek tinggi akan berbahaya
karena menimbulkan efek toksik pada sel-sel syaraf pusat dimana klinis bayi menjadi
tidak mau menetek, letargi, kejang, koma, dan lain-lain. Karena itu dibutuhkan terapi
secara cepat dan tepat untuk mencegah komplikasi hiperbilirubinemia. Saat therapy blue
light diberikan, bayi A diberikan susu formula dan menjalani therapy blue light selama 4
hari sampai kadar bilirubin totalnya mencapai 9 mg/dl.
Hal yang menarik perhatian saya disini adalah bagaimana penatalaksanaan therapy blue
light pada bayi dengan hiperbilirubinemia. Dulu therapy blue light yang digunakan adalah
menggunakan lampu konvensional, bisa terdiri dari 2 lampu atau 4 lampu neon blue light
dan terasa panas di kulit. Hal ini membuat saya bertanya-tanya, adakah yang lebih efektif
untuk menurunkan kadar bilirubin dengan cepat namun dengan efek samping yang lebih
minimal. Hal ini menjadi penting dalam penanganan bayi dengan hiperbilirubinemia
dimana efektifitas penurunan kadar bilirubin dan efek samping yang minimal dari
penggunaan fototerapi dipertanyakan.
Pemberian ASI dapat membantu penurunan kadar bilirubin dan mencegah dehidrasi pada
bayi hiperbilirubinemia yang sedang melakukan therapy blue light. Namun ada perbedaan
dari beberapa literatur terkait pemberian ASI pada bayi hiperbilirubinemia yang sedang
melakukan therapy blue light. Ada yang merekomendasikan pemberian ASI terus
menerus dan ada yang merekomendasikan penghentian pemberian ASI sementara. Hal ini
membuat saya tertarik untuk mempelajari lebih lanjut terkait rekomendasi pemberian ASI
pada bayi hiperbilirubinemia yang sedang melakukan therapy blue light.
fototerapi. Berdasarkan penelitian bahwa ada pengaruh perubahan posisi tidur pada
bayi yang mengalami hiperbilirubinemia yang sedang menjalani blue light therapi.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kadar bilirubin total dari kelompok
intervensi lebih cepat turun dibandingkan kadar bilirubin total dari kelompok
kontrol. Penelitian ini merekomendasikan perubahan posisi tidur agar memperluas
area tubuh yang terpajan dengan sinar
fototerapi (Sumarni, 2018).
AAP juga merekomendasikan pemberian ASI terus menerus (minimal 8-10 kali dalam 24
jam) pada bayi yang sedang dilakukan blue light therapy. Cara terbaik untuk
menurunkan kadar bilirubin dalam darah adalah dengan meningkatkan pemberian makan
yang nantinya akan meningkatkan gerakan usus besar, sehingga bilirubin pun bisa keluar.
Pemberian ASI setiap 2-3 jam juga dapat mencegah dehidrasi. Sedangkan Gartner dan
Auerbach merekomendasikan dilakukan penghentian ASI sementara pada sebagian kasus
breastmilk jaundice (BMJ) dan tetap mendapat ASI selama dalam proses terapi
breastfeeding jaundice (BFJ).
Conclusions
Penurunan kadar bilirubin pada kasus bayi A berjalan lambat. Hal tersebut dapat
dipengaruhi beberapa hal yaitu blue light therapi flouresen yang efektifitasnya lebih
rendah dibanding dengan blue light therapi LED terhadap penurunan bilirubin total
serum serta penggunaan susu formula sebagai pemenuhan kebutuhan nutrisinya.
Action Plan
Berdasarkan pembelajaran dari kasus Bayi A, jika saya menemukan kasus yang sama,
saya akan merekomendasikan pemberian blue light therapi dengan menggunakan LED
yang lebih efektif menurunkan kadar bilirubin dengan efek samping yang lebih minim.
Jika dimungkinkan di ruang perinatologi untuk menjemur bayi di antara pukul 7-9 pagi,
dengan durasi selama 15-20 menit. Saya juga akan memberikan konseling ASI Eksklusif
pada ibu bayi tersebut agar dapat memberikan ASI secara terus menerus (minimal 8-10
kali dalam 24 jam) dengan cara menyusui secara langsung atau memerah ASI atau
menggunakan donor ASI.
Peta Konsep
Referensi