Anda di halaman 1dari 46

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hiperbilirubin merupakan salah satu fenomena klinis yang sering ditemukan

pada sekitar 60% dari bayi normal menjadi kuning secara klinis sekitar minggu

pertama kehidupan. Unconjugated (tidak langsung) hiperbilirubinemia terjadi

sebagai akibat dari pembentukan bilirubin yang berlebihan karena hati bayi tidak

dapat mengeluarkan bilirubin cukup banyak dari darah. Walaupun sebagian besar

bayi yang baru lahir dengan penyakit kuning yang dinyatakan sehat, mereka

perlu dipantau karena berpotensi bilirubin toksik pada sistem saraf pusat.

Peningkatan kadar bilirubin yang berlebih dapat menyebabkan bilirubin

ensefalopati dan kemudian kernicterus, dengan merusak, cacat permanen

neurodevelopmental.

Data dari 11 rumah sakit di wilayah utara California Kaiser Permanente Medical

System dan dari 18 rumah sakit Intermountain Health care menunjukkan bahwa

tingkat total serum bilirubin adalah 20 mg per desiliter (342 mol per liter) atau

lebih tinggi sekitar 1-2% dari bayi yang lahir pada usia gestasi setidaknya 35

minggu. Rumah Sakit di Amerika Serikat telah meneliti berbasis eksperimen

menunjukkan bahwa 5 sampai 40 bayi per 1000 bayi matur dan post matur

mendapat fototerapi sebelum keluar dari perawatan dan bahwa jumlah yang sama

yang diterima kembali untuk fototerapi setelah keluar dari perawatan. Data ini

tidak mencakup penggunaan fototerapi di rumah, yang terjadi di beberapa


2

daerah. Di beberapa rumah sakit dan di negara-negara lain, fototerapi digunakan

lebih sering.

Hiperbilirubin salah satu fenomena klinis yang paling sering ditemukan pada

bayi baru lahir. Sekitar 25-50% bayi baru lahir menderita ikterus pada minggu

pertama. Angka kejadian hiperbilirubin lebih tinggi pada bayi kurang bulan,

dimana terjadi 60% pada bayi cukup bulan di Rumah Sakit Mitra Keluarga

Kelapa Gading.

Peningkatan kadar bilirubin yang tinggi dan berkepanjangan dapat disebabkan

oleh gangguan hemolitik (Inkompatibilitas ABO atau faktor Rh), kekurangan

glukosa-6- fosfat dehidrogenase, atau trauma kelahiran. Secara klinis

hiperbilirubinemia dapat muncul akibat masalah pemberian ASI bayi baru lahir

cukup bulan atau prematur (Grohmanna, et al, 2006). Pemantauan bilirubin

secara klinis merupakan langkah awal agar dapat dilakukan intervensi

selanjutnya, apakah ada indikasi bayi dilakukan fototerapi atau tidak. Cara ini

dianggap lebih mudah dan murah sebagai deteksi awal dilakukannya fototerapi.

Fototerapi telah dilakukan selama puluhan tahun, namun masih ada hal yang

diperdebatkan tentang bukti bagaimana fototerapi paling efektif. Fototerapi

dengan menggunakan tirai putih pemantul sinar yang diletakkan di sisi-sisi

unit fototerapi akan meningkatkan intensitas sinar dan meningkatkan

respon penurunan konsentrasi bilirubin serum. Fototerapi ganda lebih

efektif daripada fototerapi tunggal pada bayi dengan berat badan lahir rendah

dan lebih berguna untuk menurunkan kadar bilirubin serum yang meningkat
3

cepat jika dibandingkan fototerapi tunggal, serta foto terapi yang

menggunakan Billy Blanket yang serakarng sudah marak dipergunakan oleh

Rumah Sakit di Indonesia

Fototerapi di rumah sakit merupakan tindakan yang efektif untuk mencegah

kadar Total Bilirubin Serum (TSB) meningkat. Uji klinis telah mevalidasi

kemanjuran fototerapi dalam mengurangi hiperbilirubinemia tak terkonjugasi

yang berlebihan, dan implementasinya telah secara drastis membatasi

penggunaan transfusi tukar (Bhutani, 2011). Hasil penelitian menunjukkan

bahwa ketika fototerapi belum dilakukan, 36% bayi dengan berat kelahiran

kurang dari 1500 gram memerlukan transfusi tukar (Newman, et al, 2009).

Fototerapi merupakan modalitas tetapi dengan menggunakan sinar yang dapat

dilihat untuk pengobatan hiperbilirubinemia pada neonatus. Di Amerika

Serikat sekitar 10% neonatus mendapat fototerapi. Tujuan fototerapi untuk

membatasi peningkatan bilirubin serum dan mencegah penumpukan bilirubin di

jaringan otak yang dapat menyebabkan komplikasi neurologis yang dikenal sebagai

kern icterus. Efektitas fototerapi ditentukan oleh intensitas sinar, penurunan kadar

bilirubin sebanding dengan intensitas sinar yang digunakan. Model fototerapi

ganda disebut juga sebagai fototerapi intensif yang diberikan pada neonatus yang

mengalami peningkatan bilirubin serum yang sangat cepat, seperti yang sering

terjadi pada pada bayi berat lahir rendah.

Di Amerika sendiri penelitian tentang pemakaian Billy Blanket sudah dilakukan

sejak tahun 1990 dan telah dipublikasikan J Paediatr Child Health ditahun 1995
4

(Costello, SA et all), penelitian tersebut membandingkan penggunaan Billy

Blanket dengan foto terapi konvensional pada hiperbilirubin bayi prematur. Dari

hasil penelitian tersebut ada 24 bayi pada kelompok konvensional dan 20 pada

kelompok BillyBlanket. Rata-rata durasi fototerapi dibandingkan dan 44 jam

untuk kelompok konvensional dibandingkan 42 jam untuk kelompok BilyBlanket.

Di Rumah Sakit Mitra Keluarga Kelapa Gading sendiri untuk bayi Hiperbilirubin

sendiri pada 3 bulan terakhir untuk bayi hiperbilirubin sebanyak 42 pasien

hiperbilirubin dengan pasien menggunakan perlakuan Billy Blanket 20 pasien dan

therapy konvensional sebanyak 22 pasien

B. Rumusan Masalah
Pada dasarnya pasien hiperbilirubin akan sembuh dengan mengunakan foto

therapi dengan mengguakan alat konvensional atau pun dengan menggunakan

Billy Blankets. Akan tetapi dengan adanya Billy Blanket dapat meminimalkan

terjadinya cedera pada jangka waktu lama terhadap pasien dan atau perawat

dikarenakan cahaya biru yang dihasilkan oleh foto terpi konvensional


Fenomena yang terjadi saat ini, masih banyaknya metode perawatan yang masih

menggunakan metode foto therapy konvensional, sehingga perawatan yang

diberikan cenderung akan membuat cedera kepada perawat untuk jangka panjang

(kebutaan karena terpanjang sinar ultra violet) dan terhadap pasien hiperbilirubin

itu sendiri.
Adanya fenomena diatas, menjadikan alasan dan tujuan penelitian ini dilakukan,

sehingga penulis sangat tertarik untuk meneliti dan menganalisis efektivitas

pemakaian foto therapy Billy Blanket dan foto therapy konvensional


5

Pernyataan ini didukung dari beberapa penelitian diluar negeri berpendapat

bahwa Billy Blanket lebih efektif menurunkan kadar hiperbillirubin dibandingkan

foto therapy konvensional

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Teridentifikasi efektifitas penggunaan Billy Blanket dengan Foto therapy

terhadap penurunan kadar bilirubin pada bayi dengan hiperbilirubin Rumah

Sakit Mitra Keluarga Kelapa Gading


2. Tujuan Khusus
a. Teridentifikasi karakteristik bayi dengan hiperbilirubin di Rumah Sakit

Mitra Keluarga Kelapa Gading


b. Teridentifikasi rata rata kadar bilirubin bayi hiperbilirubin sebelum dan

sesudah pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi


c. Teridentifikasi perbedaan rata-rata kadar bilirubin bayi sebelum dan

setelah dilakukan foto terapi pada kelompok intervensi yang

menggunakan foto terapi konvensional dan Billy Blanket

D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Peneliti

Karena satu-satunya alternatif efektif untuk fototerapi pada bayi dengan

penyakit kuning yang parah adalah pertukaran transfusi, tolak ukur

keberhasilan fototerapi adalah penurunan secara dramatis dalam jumlah

rendah penggunaan pertukaran transfusi dalam prosedur umum unit

perawatan intensif neonatal sekarang ini. Untuk itu manfaat bagi peniliti ialah

bisa membandingan efektifitas penggunaan Billy Blanket dengan foto terapi


6

konvensional dari segi efektifitas, penurunan kadar bilirubin, lama perawatan

bahkan sampai dengan melihat dari segi biaya.

2. Bagi Pasien
Menggunakan Billy Blanket lebih efektif, karena sinar yang dihasilkan oleh

foto terapi tidak memancar ke segala arah tetapi untuk Billy Blanket sinar

hanya memantul pada alat yang dipakai, bayi pun tanpa menggunakan tutup

mata (yang biasanya berisi kertas karbon) karena sinar dibancarkan dari

bagian bawah tempat tidur bayi.


3. Bagi Institusi
Dilakukan penelitian ini bertujuan penggunaan alat (foto terapi) secara

maksimal diruang perawatan intensif (kamar bayi, perina, nicu), dan juga

bisa direkomendasikan kepada RS lain untuk penggunakan Billy Blanket bila

ternyata dari uji penelitian lebih efektif dibanding dengan menggunakan foto

terapi biasa.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Hiperbilirubin
1. Definisi Hiperbilirubin
Hiperbilirubinemia adalah ikterus dengan konsentrasi bilirubin serum yang

menjurus ke arah terjadinya kern ikterus atau ensefalopati bilirubin bila

kadar bilirubin tidak dikendalikan (Mansjoer, 2008). Hiperbilirubinemia

fisiologis yang memerlukan terapi sinar, tetap tergolong non patologis

sehingga disebut Excess Physiological Jaundice. Digolongkan sebagai


7

hiperbilirubinemia patologis (Non Physiological Jaundice) apabila kadar

serum bilirubin terhadap usia neonates >95% menurut Normogram Bhutani,

2006
Hiperbilirubin adalah terjadinya peningkatan plasma bilirubin 2 standart

devisiasi atau lebih dari kadar yang diharapkan berdasarkan umur bayi atau lebih

dari persentil 90 (Sukadi, 2008)

G
ambar 2.1 Kadar serum bilirubin terhadap usia neonates >95% menurut
Normogram Bhutani

2. Metabolisme Bilirubin
Segera setelah lahir bayi harus mengkonjugasi Bilirubin (merubah Bilirubin yang

larut dalam lemak menjadi Bilirubin yang mudah larut dalam air) di dalam hati.

Frekuensi dan jumlah konjugasi tergantung dari besarnya hemolisis dan

kematangan hati, serta jumlah tempat ikatan Albumin (Albumin binding site).

Pada bayi yang normal dan sehat serta cukup bulan, hatinya sudah matang dan

menghasilkan Enzim Glukoronil Transferase yang memadai sehingga serum

Bilirubin tidak mencapai tingkat patologis.


3. Klasifikasi

Terdapat 2 jenis ikterus yaitu yang fisiologis dan patologis. (Arief ZR, 2009).

a. Ikterus fisiologi
8

Ikterus fisiologi adalah ikterus yang timbul pada hari kedua dan hari ketiga

serta tidak mempunyai dasar patologi atau tidak mempunyai potensi menjadi

karena ikterus. Adapun tanda-tanda sebagai berikut :


1) Timbul pada hari kedua dan ketiga
2) Kadar bilirubin indirek tidak melebihi 10 mg% pada neonates cukup

bulan.
3) Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5% per hari.
4) Kadar bilirubin direk tidak melebihi 1 mg%.
5) Ikterus menghilang pada 10 hari pertama.
6) Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan patologis.

b. Ikterus Patologi
Ikterus patologis adalah ikterus yang mempunyai dasar patologis atau kadar

bilirubin mencapai suatu nilai yang disebut hiperbilirubinemia. Adapun tanda

- tandanya sebagai berikut :


1) Ikterus terjadi dalam 24 jam pertama.
2) Kadar bilirubin melebihi 10 mg% pada neonatus cukup bulan atau

melebihi 12,5% pada neonatus kurang bulan.


3) Pengangkatan bilirubin lebih dari 5 mg% per hari.
4) Ikterus menetap sesudah 2 minggu pertama.
5) Kadar bilirubin direk melebihi 1 mg%.
6) Mempunyai hubungan dengan proses hemolitik.

Penggolongan Hiperbilirubinemia berdasarkan saat terjadi Ikterus:

a. Ikterus yang timbul pada 24 jam pertama.


Penyebab Ikterus terjadi pada 24 jam pertama menurut besarnya

kemungkinan dapat disusun sbb:


1) Inkomptabilitas darah Rh, ABO atau golongan lain.
2) Infeksi Intra Uterin (Virus, Toksoplasma, Siphilis dan kadang-kadang

Bakteri)
3) Kadang-kadang oleh Defisiensi Enzim G6PD.
Pemeriksaan yang perlu dilakukan:
1) Kadar Bilirubin Serum berkala.
2) Darah tepi lengkap.
9

3) Golongan darah ibu dan bayi.


4) Test Coombs.
5) Pemeriksaan skrining defisiensi G6PD, biakan darah atau biopsi

Heparbila perlu.
b. Ikterus yang timbul 24 - 72 jam sesudah lahir.
1) Biasanya Ikterus fisiologis.
2) Masih ada kemungkinan inkompatibilitas darah ABO atau Rh,

ataugolongan lain. Hal ini diduga kalau kenaikan kadar Bilirubin cepat

misalnya melebihi 5mg% per 24 jam.


3) Defisiensi Enzim G6PD atau Enzim Eritrosit lain juga masih mungkin

Polisetimia.
4) Hemolisis perdarahan tertutup ( pendarahan subaponeurosis,pendarahan

Hepar, sub kapsula dll).


Bila keadaan bayi baik dan peningkatannya cepat maka pemeriksaan yang

perlu dilakukan:
1) Pemeriksaan darah tepi.
2) Pemeriksaan darah Bilirubin berkala.
3) Pemeriksaan skrining Enzim G6PD.
4) Pemeriksaan lain bila perlu.
c. Ikterus yang timbul sesudah 72 jam pertama sampai akhir minggu pertama.
1) Sepsis.
2) Dehidrasi dan Asidosis.
3) Defisiensi Enzim G6PD.
4) Pengaruh obat-obat.
5) Sindroma Criggler-Najjar, Sindroma Gilbert.

d. Ikterus yang timbul pada akhir minggu pertama dan selanjutnya:


1) Karena ikterus obstruktif.
2) Hipotiroidisme
3) Breast milk Jaundice.
4) Infeksi.
5) Hepatitis Neonatal.
6) Galaktosemia.
Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan
1) Pemeriksaan Bilirubin berkala.
2) Pemeriksaan darah tepi.
10

3) Skrining Enzim G6PD.


4) Biakan darah, biopsi Hepar bila ada indikasi
4. Etiologi
Menurut Hassan et al (2005) beberapa penyebab Hiperbilirubin adalah :
a. Peningkatan produksi :
1) Hemolisis, misal pada Inkompatibilitas yang terjadi bila terdapat

ketidaksesuaian golongan darah dan anak pada penggolongan Rhesus dan

ABO.
2) Pendarahan tertutup misalnya pada trauma kelahiran.
3) Ikatan Bilirubin dengan protein terganggu seperti gangguan metabolik

yang terdapat pada bayi Hipoksia atau Asidosis .


4) Defisiensi G6PD ( Glukosa 6 Phospat Dehidrogenase ).
5) Ikterus ASI yang disebabkan oleh dikeluarkannya pregnan 3 (alfa), 20

(beta) , diol (steroid).


6) Kurangnya Enzim Glukoronil Transeferase , sehingga kadar Bilirubin

Indirek meningkat misalnya pada berat badan lahir rendah.


7) Kelainan kongenital (Rotor Sindrome) dan Dubin Hiperbilirubinemia.
b. Gangguan transportasi akibat penurunan kapasitas pengangkutan misalnya

pada Hipoalbuminemia atau karena pengaruh obat-obat tertentu misalnya

Sulfadiasine.
c. Gangguan fungsi Hati yang disebabkan oleh beberapa mikroorganisme atau

toksin yang dapat langsung merusak sel hati dan darah merah seperti infeksi

Toksoplasmosis, Siphilis.
d. Gangguan ekskresi yang terjadi intra atau ekstra Hepatik.
e. Peningkatan sirkulasi Enterohepatik misalnya pada Ileus Obstruktif
5. Patofisiologi
Bilirubin adalah produk penguraian heme. Sebagian besar(85-90%) terjadi dari

penguraian hemoglobin dan sebagian kecil(10-15%) dari senyawa lain seperti

mioglobin. Sel retikuloendotel menyerap kompleks haptoglobin dengan

hemoglobin yang telah dibebaskan dari sel darah merah. Sel-sel ini kemudian

mengeluarkan besi dari heme sebagai cadangan untuk sintesis berikutnya dan

memutuskan cincin heme untuk menghasilkan tertapirol bilirubin, yang


11

disekresikan dalam bentuk yang tidak larut dalam air(bilirubin tak terkonjugasi,

indirek). Karena ketidaklarutan ini, bilirubin dalam plasma terikat ke albumin

untuk diangkut dalam medium air. Sewaktu zat ini beredar dalam tubuh dan

melewati lobulus hati ,hepatosit melepas bilirubin dari albumin dan

menyebabkan larutnya air dengan mengikat bilirubin ke asam glukoronat

(bilirubin terkonjugasi, direk) (Sacher,2004).


Dalam bentuk glukoronida terkonjugasi, bilirubin yang larut tersebut masuk ke

sistem empedu untuk diekskresikan. Saat masuk ke dalam usus ,bilirubin

diuraikan oleh bakteri kolon menjadi urobilinogen. Urobilinogen dapat diubah

menjadi sterkobilin dan diekskresikan sebagai feses. Sebagian urobilinogen

direabsorsi dari usus melalui jalur enterohepatik, dan darah porta membawanya

kembali ke hati. Urobilinogen daur ulang ini umumnya diekskresikan ke dalam

empedu untuk kembali dialirkan ke usus, tetapi sebagian dibawa oleh sirkulasi

sistemik ke ginjal, tempat zat ini diekskresikan sebagai senyawa larut air

bersama urin (Sacher, 2004).

Pada dewasa normal level serum bilirubin <1mg/dl. Ikterus akan muncul pada

dewasa bila serum bilirubin >2mg/dl dan pada bayi yang baru lahir akan muncul

ikterus bila kadarnya >7mg/dl (Cloherty et al, 2008).

Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh pembentukan bilirubin yang melebihi

kemampuan hati normal untuk ekskresikannya atau disebabkan oleh kegagalan

hati(karena rusak) untuk mengekskresikan bilirubin yang dihasilkan dalam

jumlah normal. Tanpa adanya kerusakan hati, obstruksi saluran ekskresi hati juga

akan menyebabkan hiperbilirubinemia. Pada semua keadaan ini, bilirubin


12

tertimbun di dalam darah dan jika konsentrasinya mencapai nilai tertentu(sekitar

2-2,5mg/dl), senyawa ini akan berdifusi ke dalam jaringan yang kemudian

menjadi kuning. Keadaan ini disebut ikterus atau jaundice (Murray et al,2009).

6. Manifestasi klinis
Bayi baru lahir (neonatus) tampak kuning apabila kadar bilirubin serumnya kira-

kira 6mg/dl (Mansjoer at al, 2007). Ikterus sebagai akibat penimbunan bilirubin

indirek pada kulit mempunyai kecenderungan menimbulkan warna kuning muda

atau jingga. Sedangkan ikterus obstruksi (bilirubin direk) memperlihatkan warna

kuning-kehijauan atau kuning kotor. Perbedaan ini hanya dapat ditemukan pada

ikterus yang berat (Nelson, 2007).


a. Gambaran klinis ikterus fisiologis:
1) Tampak pada hari 3,4
2) Bayi tampak sehat(normal)
3) Kadar bilirubin total <12mg%
4) Menghilang paling lambat 10-14 hari
5) Tak ada faktor resiko
b. Gambaran klinik ikterus patologis:
1) Timbul pada umur <36 jam
2) Cepat berkembang
3) Bisa disertai anemia
4) Menghilang lebih dari 2 minggu
5) Ada faktor resiko
c. Tanda dan gejala hiperbilirubin adalah;
1) Tampak ikterus pada sklera, kuku atau kulit dan membran mukosa.
2) Jaundice yang tampak dalam 24 jam pertama disebabkan oleh penyakit

hemolitik pada bayi baru lahir, sepsis, atau ibu dengan diabetik atau

infeksi
3) Jaundice yang tampak pada hari ke dua atau hari ke tiga, dan mencapai

puncak pada hari ke tiga sampai hari ke empat dan menurun pada hari ke

lima sampai hari ke tujuh yang biasanya merupakan jaundice fisiologis


4) Ikterus adalah akibat pengendapan bilirubin indirek pada kulit yang

cenderung tampak kuning terang atau orange, ikterus pada tipe obstruksi
13

(bilirubin direk) kulit tampak berwarna kuning kehijauan atau keruh.

Perbedaan ini hanya dapat dilihat pada ikterus yang berat.


5) Muntah, anoksia, fatigue, warna urin gelap dan warna tinja pucat, seperti

dempul
6) Perut membuncit dan pembesaran pada hati
7) Pada permulaan tidak jelas, yang tampak mata berputar-putar
8) Letargik (lemas), kejang, tidak mau menghisap
9) Dapat tuli, gangguan bicara dan retardasi mental
10) Bila bayi hidup pada umur lebih lanjut dapat disertai spasme otot,

epistotonus, kejang, stenosis yang disertai ketegangan otot


7. Komplikasi
Komplikasi menurut Donna L. Wong ; 2008
a. Retardasi mental : kerusakan neurologist
Efek Hiperbilirubinemia dapat menimbulkan kerusakan sel-sel saraf,

meskipun kerusakan sel-sel tubuh lainnya juga dapat terjadi. Bilirubin dapat

menghambat enzim-enzim mitokondria serta mengganggu sintesis DNA.

Bilirubin juga dapat menghambat sinyal neuroeksitatori dan konduksi saraf

(terutama pada nervus auditorius) sehingga menimbulkan gejala sisa berupa

tuli saraf.
b. Kernikterus.
kerusakan pada otak akibat perlengketan bilirubin indirek pada otak terutama

pada korpus striatum, thalamus, nucleus subtalamus hipokampus, nucleus

merah didasar ventrikel IV.


c. Gangguan pendengaran dan penglihatan
d. Kematian.

B. Fototerapi
1. Definisi Fototerapi
Cara kerja terapi sinar adalah dengan mengubah bilirubin menjadi bentuk yang

larut dalam air untuk dieksresikan melalui empedu atau urin. Ketika bilirubin

mengabsorbsi cahaya, terjadi reaksi fotokimia yaitu isomerisasi. Juga terdapat

konversi ireversibel menjadi isomer kimia lainnya bernama lumirubin yang

dengan cepat dibersihkan dari plasma melalui empedu. Lumirubin adalah


14

produk terbanyak degradasi bilirubin akibat terapi sinar pada manusia. Sejumlah

kecil bilirubin plasma tak terkonjugasi diubah oleh cahaya menjadi dipyrole

yang diekskresikan lewat urin. (Malzemeler, 2011)


a. Jenis Lampu

Beberapa studi menunjukkan bahwa lampu flouresen biru lebih efektif

dalam menurunkan bilirubin. Akan tetapi karena cahaya biru dapat

mengubah warna bayi, maka yang lebih disukai adalah lampu flouresen

cahaya normal dengan spektrum 420 460 nm sehingga asuhan kulit bayi

dapat diobservasi baik mengenai warnanya (jaundis, palor, sianosis) atau

kondisi lainnya. Agar fototerapi efektif, kulit bayi harus terpajan penuh

terhadap sumber cahaya dengan jumlah yang adekuat. Bila kadar bilirubin

serum meningkat sangat cepat atau mencapai kadar kritis, dianjurkan

untuk menggunakan fototerapi dosis ganda atau intensif, teknik ini

melibatkan dengan menggunakan lampu overhead konvensional sementara

itu bayi berbaring dalam selimut fiberoptik. Warna kulit bayi tidak

mempengaruhi efisiensi pemberian fototerapi. Hasil terbaik terjadi dalam

24 sampai 48 jam pertama fototerapi (Wong, 2009).

Foto terapi intensif adalah terapi dengan menggunakan sinar bluegreen

spectrum (panjang gelombang 430-490 nm) dengan kekuatan paling kurang

30 uW/cm2 (diperiksa dengan radio meter, atau diperkirakan dengan

menempatkan bayi langsung di bawah sumber sinar dan kulit bayi yang

terpajan lebih luas. Bila konsentrasi bilirubin tidak menurun atau cenderung

naik pada bayi bayi yang mendapat fototerapi intensif, kemungkinan besar

terjadi proses hemolisis (Kosim, dkk, 2012).


15

Jenis-jenis lampu yang digunakan untuk foto terapi menurut

Judarwanto (2012) adalah:

1) Tabung neon biru


Dapat bekerja dengan baik jika digunakan untuk fototerapi namun dapat

menyebabkan ketidaknyamanan pada anggota staf rumah sakit


2) Tabung neon putih
Kurang efisien daripada lampu biru, namun, mengurangi jarak antara

bayi dan lampu dapat mengkompensasi efisiensi yang lebih rendah


3) Lampu kuarsa putih
Merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari beberapa penghangat

cerah dan inkubator, lampu ini memiliki komponen biru signifikan dalam

spektrum cahaya
4) Lampu kuarsa ganda
Lampu melekat 3-4 pada sumber panas overhead dari beberapa

penghangat bercahaya
5) Light-emitting diode (LED)
konsumsi daya rendah, produksi panas rendah, dan masa hidup lebih

lama
6) Cahaya serat optik, memberikan tingkat energy yang tinggi, tetapi

untuk luas permukaan terbatas.


b. Jarak

Dosis dan kemanjuran dari fototerapi biasanya dipengaruhi oleh jarak

antara lampu (semakin dekat sumber cahaya, semakin besar irradiasinya) dan

permukaan kulit yang terkena cahaya, karena itu dibutuhkan sumber cahaya

di bawah bayi pada fototerapi intensif (Maisels, et al, 2008).

Jarak antara kulit bayi dan sumber cahaya. Dengan lampu neon, jarak harus

tidak lebih besar dari 50 cm (20 in). Jarak ini dapat dikurangi sampai

10-20 cm jika homeostasis suhu dipantau untuk mengurangi resiko

overheating (Judarwanto, 2012)


16

c. Berat badan dan usia

Petunjuk penatalaksanaan Hiperbilirubinemia berdasarkan berat badan dan

bayi baru lahir yang relative sehat. Untuk bayi dengan berat lahir kurang dari

1000 gram, memulai fototerapi sebesar 5 - 6 mg / dL pada usia 24 jam,

kemudian meningkat secara bertahap sampai usia 4 hari. Efisiensi fototerapi

tergantung pada jumlah bilirubin yang diradiasi. Penyinaran area kulit

permukaan besar lebih efisien daripada penyinaran daerah kecil, dan efisiensi

meningkat fototerapi dengan konsentrasi bilirubin serum.

2. Dosis Foto terapi


Keefektifan fototerapi tergantung pada radiasi (output energi) dari sumber

cahaya. Radiasi diukur dengan radiometer atau Spectroradiometer dalam unit

watt per sentimeter persegi atau dalam microwatts per square centimeter

pernanometer atas panjang gelombang yang diberikan. Ketika diposisikan 20 cm

di atas bayi, konvensional atau unit fototerapi standar siang hari harus

memberikan sebuah radiasi spektral (diukur pada tingkat bayi) 8 sampai 10 W

per sentimeter persegi per nanometer dalam pita 430-to-490-nm, sedangkan

khusus lampu neon biru akan menyerahkan 30 sampai 40 W per sentimeter

persegi per nanometer. American Academy of Pediatrics mendefinisikan sebagai

intensif cahaya radiasi spectral pada sedikitnya 30 W per sentimeter persegi per

nanometer pada bandwidth yang sama disampaikan kepada sebanyak bayi luas

permukaan tubuh sebanyak mungkin. Ini dapat dicapai oleh menggunakan

sumber cahaya ditempatkan di atas dan di bawah bayi. Ada hubungan langsung

antara radiasi yang digunakan dan tingkat di mana tingkat bilirubin total serum.

Pedoman merekomendasikan standar fototerapi untuk tingkat bilirubin total


17

serum 2-3 mg per desiliter (34-51 mol per liter) lebih rendah dari kisaran yang

fototerapi intensif direkomendasikan (Bhutani, V. 2011).


Dosis fototerapi harus diperiksa dengan menggunakan sebuah radiometer yang

tersedia secara komersial dirancang untuk tujuan itu. Sayangnya, tidak ada

metode standar tunggal dalam penggunaan umum untuk pelaporan dosis

fototerapi dalam literatur klinis, sehingga sulit untuk membandingkan

dipublikasikan studi, dan radiometers sering berbeda menghasilkan hasil yang

sangat berbeda ketika radiasi diukur dari fototerapi dengan system yang sama.

Oleh karena itu, dokter harus menggunakan radiometer yang direkomendasikan

oleh produsen sumber cahaya. Menggunakan lampu fotometrik atau colorimetric

meter biasa atau mengandalkan visual estimasi kecerahan adalah tidak pantas.

Karena variasi spasial, radiasi idealnya harus diukur di beberapa situs di bawah

area diterangi oleh unit, dan pengukuran rata-rata. Karena hal ini bukan sering

dilakukan, maka American Academy of Pediatrics merekomendasikan bahwa

pengukuran harus dilakukan di bawah pusat cahaya.


Dosis dan kemanjuran dari fototerapi terpengaruh oleh jenis sumber cahaya.

Yang umum digunakan unit fototerapi berisi siang hari, putih, atau tabung neon

biru. Namun, ketika total serum tingkat bilirubin mendekati jarak di mana

intensif fototerapi direkomendasikan, penting untuk menggunakan lampu dengan

emisi biru karena alasan-alasan yang diuraikan di atas. American Academy of

Pediatrics saat ini merekomendasikan khusus lampu neon biru atau dioda

pemancar cahaya (LED) lampu yang telah terbukti efektif untuk fototerapi di

beberapa studi klinis. Lampu halogen yang difilter, sering dimasukkan ke dalam

alat serat optik, juga dapat digunakan.


18

Dosis dan kemanjuran dari fototerapi juga dipengaruhi oleh bayi jarak dari

cahaya (yang dekat sumber cahaya, semakin besar irradiance) dan daerah kulit

yang terkena, maka kebutuhan akan sumber cahaya di bawah untuk bayi dengan

fototerapi intensif. Meskipun controlled trials telah menunjukkan bahwa semakin

luas permukaan yang terkena, terjadi pengurangan yang lebih besar dalam total

serum bilirubin , dan biasanya tidak diperlukan untuk tidak menggunakan popok

bayi. Namun, jika total serum tingkat bilirubin terus meningkat meskipun

pengobatan, popok harus dihbuka sampai ada penurunan klinis yang signifikan.

Aluminium foil atau kain putih ditempatkan di kedua sisi bayi untuk

memantulkan cahaya juga akan meningkatkan efektivitas phototherapy. Karena

cahaya dapat menjadi racun bagi retina yang immatur, mata bayi harus selalu

dilindungi dengan penutup mata.


Efektivitas pengobatan tidak hanya tergantung pada dosis ringan tapi juga pada

sebab dan tingkat keparahan dari hiperbilirubinemia ini. Selama hemolisis masih

aktif, tingkat total serum bilirubin tidak akan menurun secepat itu dibandingkan

pada bayi tanpa hemolisis. Di sisi lain, karena fototerapi bekerja pada saat

bilirubin dalam kulit dan jaringan subkutan superfisial, bilirubin berada di tempat

tersebut (contoh, semakin tinggi total kadar bilirubin), maka fototerapi akan

semakin bermanfaat. Pada beberapa bayi dengan total serum bilirubin yang lebih

besar dari 30 mg per desiliter (513 mol per liter) fototerapi, intensif dapat

mengakibatkan penurunan sebanyak 10 mg per desiliter (171 mol per liter)

dalam beberapa hari.


3. Efek Samping Fototerapi
Efek samping ringan yang harus diwaspadai perawat meliputi feses encer

kehijauan, ruam kulit, transien, hipertermia, peningkatan kecepatan


19

metabolisme, seperti hipokalsemia dan priaspismus. Untuk mencegah atau

meminimalkan efek tersebut, suhu dipantau untuk mendeteksi tanda awal

hipotermia atau hipertermia, dan kulit diobservasi mengenai dehiDrasi dan

kekeringan, yang dapat menyebabkan ekskoriasi dan luka (Wong, 2009).


Komplikasi terapi sinar umumnya ringan, sangat jarang terjadi dan reversibel.

Komplikasi yang sering terjadi menurut Sastroasmoro 2004 diantaranya yaitu :


a. Bronze baby sindrom : mekanisme berkurangnya ekresi hepatik hasil

penyinaran bilirubin
b. Diare : bilirubin indirek menghambat lactase
c. Hemolisis : fotosensitivitas mengganggu sirkulasi eritrosit
d. Dehidrasi : Insesible Water Loss (30-100%) karena menyerap energi

foto
e. Ruam kulit : Gangguan fotosensitasi terhadap sel mast kulit dengan

pelepasan histamin

Pelumas minyak atau losion tidak boleh dioleskan ke kulit untuk

menghindari kulit menjadi cokelat atau efek gosong. Bayi cukup bulan yang

mendapat fototerapi mungkin perlu tambahan volume cairan untuk

mengompensasi kehilangan caian isensibel dan intestinal. Karena fototerapi

meningkatkan ekskresi bilirubin yang tak terkonjugasi melalui usus, feses

cair menun ningkatan pengeluaran bilirubin. Sering defekasi menyebabkan iritasi

perianal, sehingga pentng dilakukan asuhan kulit yang teliti terutama menjaga

kulit bersih dan kering (Wong, 2009).

C. Billy Blanket
1. Definisi Billy Blanket
20

Billy Blanket adalah perangkat fototerapi portabel untuk pengobatan penyakit

kuning neonatal (hiperbilirubinemia). BiliBlanket adalah merek dagang dari

General Electric Datex-Ohmeda, tapi namanya telah menjadi umum, istilah

sehari hari untuk berbagai produk serupa dan istilah yang digunakan dalam

profesi medis. Nama Billy Blanket adalah kombinasi dari bilirubin dan selimut.

Nama-nama lain yang digunakan adalah sistem home fototerapi, selimut

bilirubin, atau fototerapi selimut. Departemen of Pediatric (William Beaumont

Hospital, Royal Oak, MI, USA. 2007)


Deskripsi salah satu nama lain lampu rumah bilirubin (fototerapi / bili-selimut)

adalah sebuah alternatif untuk pengobatan rawat inap rumah sakit untuk

manajemen tingkat bilirubin tinggi pada bayi baru lahir, yang dikenal sebagai

hyperbilirubenemia. Billy Blanket di desain untuk pemakian yang efisien dan

aman khusus perawatan pada bayi yang baru lahir dengan konsentrasi serum

bilirubin tinggi. Ini melibatkan paparan dari bayi yang baru lahir ke sumber

cahaya ultraviolet (bili-light) di rumah untuk jangka waktu yang ditentukan.

(Departement Pediatric Intensive Care UllevAl Hospital Oslo)

Gambar 2.2
pemakaian Billy Blanket pada bayi hiperbilirubin
21

2. Dosis foto therapi dengan Billy Blanket


Unit lampu terdiri dari sebuah reflector aluminium dan cadangan energi pada

tabung neon. Sebuah kipas yang berotasi mendukung sirkulasi udara disekitar

tabung neon. Tabung khusus menyebarkan cahaya dengan jarak 425-475 (sinar

biru)
Pada permukaannya terdapat sebuah aluminium transparan yang dilapisi plastik

lembut untuk kulit yang terbuat dari bahan polyurethane. Untuk posisi optimal

bayi, Billy Blanket dilengkapi dengan selimut terapi (Bilicombi). Cahaya

langsung terarah pada bayi menembus kain pada dasar selimut terapi. Ini

merupakan perawatan optimal dan tanpa mempengaruhi sekitar akibat cahaya

biru. (Departement Pediatric Intensive Care UllevAl Hospital Oslo)


3. Efek samping Billy Blanket
Dari hasil penelitian Departement Pediatric Intensive Care UllevAl Hospital

Oslo tahun 2007, belum terdapat adanya efek samping pada bayi hiperbilirubin

yang memakai Billy Blanket bahkan sampai meninggalkan ruam kulit tidak

ditemukan
22

BAB III

KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS DAN DEFINISI OPERASIONAL

A. Kerangka Konseptual
Kerangka konsep penelitian adalah suatu uraian dan visualisasi hubungan atau

kaitan antara konsep satu terhadap konsep yang lainnya atau antara variabel satu

dengan variabel yang lain dari masalah yang ingin diteliti (Notoatmodjo,
23

Soekidjo 2010: 83). Berdasarkan landasan teori yang telah peneliti uraikan

mengenai Efektifitas Pemakaian Billy Blanket dengan Foto terapi

Konvensional Terhadap Penurunan Kadar Bilirubin Pada Bayi

Hiperbilirubin

Gambar 3.1 Kerangka Konsep


Kerangka Konsep Efektifitas Pemakaian anatara Billy Blanket dengan Foto terapi

Konvensional Terhadap Kadar Penurunan Bilirubin Pada Bayi Hiperbilirubin


`
Pre Intervensi Variabel Independen / Variabel Dependent /
Intervensi
Foto terapi post Intervensi
Bayi dengan
konvensional
peningkatan
(lampu atas)
bilirubin
Penurunan kadar
(hiperbilirubin)
bilirubin
Foto terapi
dengan Billy
Blanket
Dari bagan diatas dapat dijelaskan bahwa pemakaian fototerapi dapat digunakan

untuk penyembuhan bayi dengan hiperbilirubin. Banyak faktor yang diduga

sebagai pencetus bayi dengan hiperbilirubin, dan dengan kemajuan tehnologi

menjadikan banyak macam alat untuk menurunkan kadar bilirubin dalam bayi

salah satunya dengan menggunakan billyBlanket. Fototerapi dievaluasi dalam

jumlah acak pada percobaan yang dilakukan dari tahun 1960 sampai 1990.

Meskipun percobaan ini membantu untuk menetapkan kemanjuran dari

fototerapi seperti yang digunakan selama periode ini, tidak digunakan cahaya

tinggi dengan dosis yang digunakan saat ini. Saat ini studi etika standard akan

mencegah segala percobaan dengan membandingkan fototerapi dengan placebo.

B. Hipotesis Penelitian
24

Jawaban sementara dari suatu penelitian biasanya disebut hipotesis. Hipotesis

didalam suatu penelitian berarti jawaban sementara penelitian atau dalil

sementara yang kjebenarannya akan dibuktikan dalam penelitian tersebut

(Soekidjo Notoatmodjo, 2010: 105)


Hipotesis yang ditetapkan pada penelitian ini adalah:
Adanya perbedaan efektifitas hasil kadar bilirubin pada bayi dengan pemakaian

foto terapi lampu atas dengan Billy Blanket

C. Definisi Oprasional
Definisi operasional adalah mendefenisikan variabel secara operasional

berdasarkan karakteristik yang diamati, sehingga memungkinkan peneliti untuk

melakukan observasi atau pengukiuran secara cermat terhadap suatu objek atau

fenomena. Definisi operasional ditentukan berdasarkan parameter yang dijadikan

ukuran dalam penelitian. Sedangkan cara pengukuran merupakan cara dimana

variabel dapat diukur dan ditentukan karakteristiknya (Hidayat, 2008)


Definisi operasional adalah uraian tentang batasan variabel yang dimaksud, atau

tentang apa yang diukur oleh variabel yang bersangkutan (Notoatmodjo, 2010)

Tabel 3.1 Definisi Operasional Penelitian


Definisi
Variabel Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur
Operasional
Bayi dengan Peningkatan kadar Pemeriksaan Nilai normal Rasio

hiperbilirubinemia bilirubin diatas normal laboratorium bilirubin bayi


0 -12 mg/dL
untuk kadar (lahir , matur dan

bilirubin usia 0-30 hari)

total
Foto Terapi bentuk pengobatan - 1 =Konvensional

untuk kulit dengan 2=Billy Blanket

menggunakan panjang

gelombang cahaya
25

buatan dari ultraviolet

(cahaya biru), bagian

dari spektrum

matahari. Dengan cara

ini, cahaya dari

panjang gelombang

tertentu dapat

disampaikan dengan

intensitas yang lebih

tinggi

BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

A. Desain Penelitian (Rancangan Penelitian)


Jenis rancangan penelitian keperawatan yang digunakan adalah pengaruh (causal),

tepatnya menggunakan desain Quasi Experiment (Pra test, Perlakukan, Post test).
26

Penelitian ini ditujukan untuk menguji pengaruh variabel independen terhadap

variabel dependen.

Pre test Perlakuan Post tes Hasil

Bayi hiperbilirubin dengan pemakaian foto O I OI-A T

terapi Billy Blanket (K-A)

Bayi hiperbilirubin dengan pemakaian foto O - O1-B T

terapi konvensional (K-B)

Keterangan
(K-A) : Pasien yang mendapatkan perl akukan menggunakan Billy Blanket
(K-B) : Pasien yang tidak mendapatkan perlakuan menggunakan Billy Blanket

atau hanya memakai foto terapi lampu atas


: Tidak ada perlakuan khusus
O : Nilai kadar peningkatan bilirubin sebelum dilakukannya foto terapi

(perlakuan khusus atau tidak)


I : Intervensi (perlakuan khusus terhadap bayi hiperbilirubin yang

menggunakan Billy Blanket)


O1(A+B) : Hasil akhir dari kadar bilirubin setelah dilakukannya foto terapi

(perlakukan khusus atau tidak)

B. Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan diruang Perinatologi RS Mitra Keluarga Kelapa Gading untuk

bayi hiperbilirubin dengan menggunakan Billy Blanket dan ruang kamar bayi RS

Mitra Keluarga Kelapa Gading untuk bayi hiperbilirubin menggunakan foto terapi

konvensional

C. Waktu penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2017

D. Populasi dan Sample


1. Populasi
27

Menurut Nursalam (2015), populasi dalam penelitian adalah setiap subjek

yang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan oleh peneliti. Populasi dalam

penelitian ini terdiri dari klien dengan Hiperbilirubin dengan pemakaian foto

therapy konvensional dan Billy Blanket yang dirawat di Rumah Sakit Mitra

Keluarga Kelapa Gading yaitu sebanyak 18 responden dibulan Februari 2017

2. Sampel

Metode sampling yang digunakan adalah Nonprobability sampling dengan

teknik accidental sampling yaitu pengambilan sampel dengan mencari subjek

atas dasar hal-hal yang menyenangkan atau mengenakkan peneliti. Subjek

dijadikan sampel karena kebetulan dijumpai di tempat dan waktu secara

bersamaan pada pengumpulan data (Nursalam, 2015)

Kelompok penelitian

a. Kriteria inklusi
Pasien dengan hiperbilirubin dengan menggunakan Billy Blanket dan

konvensional di ruang Perina RS Mitra Keluarga Kelapa Gading, dengan

kriteria :
1) Bayi matur
2) BB diatas 2500
3) Ikterik fisiologi (timbul pada 24 jam pertama)
4) Orang tua bersedia pasien menjadi responden
5) Kadar bilirubin bayi diatas 12mg/dL sampai dengan 16,99mg/dL
b. Kriteria ekslusi
1) Bayi dengan okterik Patologis
2) Bayi dengan Hiperbilirubin > 17mg/dL
3) Bayi dengan menggunakan Doubel Foto Terapi

E. Instrumen Penelitian
Instrumen adalah perangkat yang akan digunakan untuk pengumpulan data

(Notoatmodjo, 2012). Dalam penelitian ini instrumen yang digunakan berupa:


1. RekamMedik
28

Yaitu rekam medik yang meliputi identitas responden yang dirawat di ruang

Perina Rumah Sakit Mitra Keluarga Kelapa Gading.


2. Lembar Observasi
Lembar observasi berupa Form Catatan perawatan ruang Intensif (Flosit) digunakan

untuk mencatat seluruh sempel penenlitian sebelum dan sesudah dilakukan intevesi

serta lembar observasi yang diagikan peneliti kepada asisten peneliti untuk mencatat

data responden yang berisi tentang inisial, medrec, tanggal lahir, usia saat dilakukan

foto terapi, jenis kelamin, BB lahir, panjang badan, kadar bilirubin masuk, kadar

bilirubin 24 jam, perlakuan (konvensional atau Billy Blanket)


3. Lembar Laboratorium
Lembar laboratorium digunakan untuk mengetahui hasil dari pemeriksaan bilirubin

(bayi, indirek, direk, total) sebelum atau sesudah dilakukannya intervensi

F. Prosedur Pengumpulan Data


Prosedur pengumpulan data dilakukan dalam 4 tahap :
1. Persiapan penelitian
a. Peneliti membuat permohonan penelitian dari Dekan Fakultas Ilmu

Keperawatan Universitas Muhammadiyah ke Direktur RS Mitra Keluarga

Kelapa Gading dengan tembusan Diklat, Manager Keperawatan serta Instalasi

Rawat Inap khususnya PERINA dan Kamar Bayi RS Mitra Keluarga Kelapa

Gading
b. Peneliti melakukan presentasi rencana penelitian di jajaran Instalasi Rawat Inap

setelah ada izin dari Direktur RS Mitra Keluarga Kelapa Gading. Peneliti

Menjelaskan Tujuan penelitian, Manfaat, Prosedur penelitian dan intervensi

yang diberikan yaitu efektifitas pemberian Billy Blanket sebagai intervensi bayi

dengan hiperbilirubin
c. Peneliti menjelaskan bayi mana yang masuk ke kriteria Inklusi dan Eksklusi
d. Peneliti dibantu oleh 1 (satu) orang asisten peneliti dalam pengumpulan data,

dalam setiap shift. Asisten adalah perawat ruangan dengan kriteria pendidikan
29

D-III keperawatan, S-1 Keperawatan dan D-III Kebidanan dengan masa kerja

lebih dari 2 tahun dan sudah mengikuti pelatihan management PONEK atau

PPGDOn. Asisten peneliti mempunyai tugas membantu pengambilan data

dengan memberikan lembar observasi kepada perawat jaga pada shift tersebut,

memeriksa kelengkapan data dalam kuisioner dan melakukan observasi

responden dengan menggunakan lembar observasi


e. Peneliti menyamakan persepsi dengan asisten peneliti mengenai cara pengisian

lembar observasi responden. Kuisioner mengenai data demografi, pertanyaan

dengan di isi pada jawaban responden. Asisten peneliti memeriksa kelengkapan

jawaban dan pertanyaan yang diisi

2. Pelaksanaan penelitian
a. Peneliti menetapkan ruang Perina sebagai tempat untuk pengambilan sampel

yang dimana bayi dengan hiperbilirubin mendapatkan perlakuan menggunakan

Billy Blanket dan Kamar Bayi sebagai tempat untuk pengambilan sampel yang

dimana bayi hiperbilirubin menggunakan foto terapi konvensional


b. Peneliti memilih responden dengan bayi hiperbilirubin yang memenuhi kriteria

inklusi.
c. Peneliti menjelaskan rencana tentang penggunaan foto terapi kepada orang tua

responden kelompok intervensi maupun kelompok kontrol, jika orang tua

responden menyetujuinya, maka orang tua calon responden dipersilahkan

menandatangani lembar persetujuannya (Informed consent).


d. Peneliti memberikan lembar observasi kepada asisten peneliti untuk mencatat

semua perubahan yang berkaitan dengan penelitian


e. Setelah memberikan lembar observasi pada hari kedua atau 24jam setelah

dilakukan perlakuan maka kadar bilirubin akan dites pada pasien dengan

menggunakan foto terapi konvensional dan Billy Blanket.


f. Peneliti atau asisten peneliti menuliskan kadar bilirubin yang sudah didapatkan
30

(pemakaian 24jam) di lembar observasi, yang akan dikumpulkan kepada

peneliti
g. Peneliti memisahkan atau mengelompokkan lembar observasi untuk 2

kelompok, kelompok yang menggunakan foto terapi atas dan kelompok yang

menggunakan Billy Blanket.


h. Peneliti melakukan penelitian di bulan februari dari tanggal 1 sampai dengan

tangal 16 februari dan mendapatkan data responden sebanyak 18 yang tebagi 9

responden menggunakan foto terapi konvensional dan 9 responden

menggunakan Billy Blanket


3. Evaluasi
Peneliti mengevaluasi hasil dari bayi hiperbilirubin dengan menggunakan foto terapi

Billy Blanket dan foto terapi konvensional saat melaukan kontrol atau kunjungan. Dari

Evaluasi didapatkan 2 responden tidak masuk di kriteria inklusi yaitu 1 responden

dengan BB dibawah 2500gr dan 1 responden dengan bilirubin 16,35 mg/dL pemakaian

6 jam Billy Blanket berubah dengan menggunakan doubel blue light

G. Etika Penelitian
Sebelum melakukan penelitian, peneliti mengajukan permohonan ijin kepada

Institusi Universitas Muhammadiyah Jakarta. Setelah disetujui, peneliti mengajukan

permohonan ijin penelitian kepada Direktur Rumah Sakit Mitra Keluarga kelapa

Gading Jakarta dan pihak-pihak terkait untuk mendapatkan persetujuan. Selanjutnya

kuesioner dikirim ke subyek yang diteliti dengan menekankan pada masalah etika

sebagai berikut:

Menurut Notoatmodjo, (2012) prinsip dasar etika penelitian meliputi:

1. Menghormati harkat dan martabat manusia (respect for human dignity).


Peneliti perlu mempertimbangkan hak-hak subjek penelitian untuk mendapatkan

informasi tentang tujuan peneliti melakukan penelitian tersebut. Peneliti juga


31

memberikan kebebasan kepada subjek untuk memberikan informasi atau tidak

memberikan informasi. Sebagai ungkapan, peneliti menghormati harkat dan

martabat subjek penelitian, peneliti mempersiapkan formulir persetujuan subjek

(inform concent).
Pada penelitian yang dilakukan oleh peneliti, sebelum dilakukan penelitian

subjek diberi penjelasan terlebih dahulu mengenai penelitian yang akan

dilakukan, mulai dari prosedur, tujuan manfaat dari penelitian, serta

menjelaskan bahwa identitas nama dan informasi atau jawaban responden

dirahasiakan dan responden diberi kebebasan dalam memberikan informasi. Jika

bersedia untuk ikut serta dalam penelitian, responden diperkenankan untuk

menandatangani lembar persetujaun (inform concent). Tetapi jika responden

menolak, peneliti tidak memaksa dan tetap menghormati hak responden.


2. Menghormati privasi dan kerahasiaan subjek penelitian (respect for privacy and

confidentiality).
Setiap orang mempunyai hak-hak dasar individu termasuk privasi dan

kebebasan individu dalam memberikan informasi. Setiap orang berhak untuk

tidak memberikan apa yang diketahuinya kepada orang lain. Oleh sebab itu,

peneliti tidak boleh menampilkan informasi mengenai identitas dan kerahasiaan

identitas subjek. Peneliti cukup menggunakan coding sebagai pengganti

identitas responden.
Pada penelitian ini peneliti menjaga kerahasiaan identitas responden, peneliti

tidak mencantumkan nama subyek pada lembar pengumpulan data yang diisi

oleh subyek. Lembar tersebut hanya diberi inisial atau kode tertentu yang

bersifat rahasia, dan lembar tersebut hanya dilihat oleh peneliti, asisten peneliti.
3. Keadilan dan inklusivitas/keterbukaan (respect for justice an inclusiveness).
Prinsip keterbukaan dan adil perlu dijaga oleh peneliti dengan kejujuran,

keterbukaan dan kehati-hatian. Lingkungan penelitian perlu dikondisikan


32

sehingga memenuhi prinsip keterbukaan, dengan menjelaskan prosedur

penelitian. Prinsip keadilan ini menjamin bahwa semua subjek penelitian

memperoleh perlakuan dan keuntungan yang sama, tanpa membedakan jender,

agama, etnis dan sebagainya.


Pada penelitian yang dilakukan peneliti, semua responden yang memenuhi

kriteria dianggap sama dari segi agama, etnis, jenis kelamin, serta menjelaskan

prosedur penelitian kepada responden.


4. Memperhitungkan manfaat dan kerugian yang ditimbulkan (balancing harms

and benefits).
Sebuah penelitian hendaknya memperoleh manfaat semaksimal mungkin bagi

masyarakat pada umumnya dan subjek penelitian pada khususnya. Peneliti

hendaknya berusaha meminimalisasi dampak yang merugikan bagi subjek. Oleh

sebab itu, pelaksanaan penelitian harus dapat mencegah atau paling tidak

mengurangi rasa sakit, cedera, stress maupun kematian subjek penelitian.


Pada penelitian yang dilakukan peneliti, dilakukan dengan tujun untuk

memperoleh manfaat positif, salah satunya adalah untuk mengetahui hubungan

karateristik pasien dan dukungan sosial keluarga dengan depresi pada pasien

stroke iskemik sehingga dapat digunakan sebagai refrensi dalam mencegah

terjadinya stroke iskemik dan dapat digunakan sebagai refrensi dalam dunia

kesehatan, khususnya keperawatan.

H. Pengelolaan data
Setelah form pengkajian pasien diisi oleh peneliti, akan dilihat kelengkapan

pengisiannya yang meliputi :


1. Editing yaitu untuk melakukan pengecekan pengisian kuisioner apakah jawaban

yang ada dalam kuisioner lengkap, jelas, relevan dan konsisten.Pada tahap ini

peneliti mengecek kelengkapan pengisian lembar kuesioner yang di isi oleh


33

peneliti atau pun asisten peneliti sudah sesuai dengan petunjuk yang sudah

dijelaskan sebelum melakukan penelitian


2. Coding yaitu kegiatan merubah data berbentuk huruf menjadi data berbentuk

angka atau bilangan. Pada tahap ini peneliti memberi kode 1 dengan foto terapi

konvensional kode 2 dengan menggunakkan Billy Blanket


3. Processing yaitu pemprosesan data yang di lakukan dengan cara di entry data

dari kuisioner ke paket computer. Pada tahap ini, peneliti memasukan data ke

dalam program komputer dan program yang digunakan peneliti dalam

memproses data yaitu program SPSS 22, dimana datang yang dimasukkan

antara lain:
a) Nomer responden
b) Usia responden
c) Jenis Kelamin
d) Berat Badan responden
e) Panjang Badan responden
f) Kadar Bilirubin Responden
g) Perlakuan (Intervensi) dengan menggunakan foto terapi konvensional atau

dengan menggunakan Billy Blanket


4. Cleaning yaitu membersihkan data yang merupakan kegiatan pengecekan

kembali data yang sudah di entri apakah ada kesalahan atau tidak. Pada

penelitian ini, peneliti melakukan pengecekan dan memeriksa kembali data yang

sudah dimasukan. Data di olah dengan menggunakan metode Paired Sampel T

Test yaitu menggunakan Uji T Dependen

I. Analisa Data Penelitian


Setelah data terkumpul kenmudian dilakukan pengolahan data, mulaidari membuat

editing, coding, scoring dan tabulasi. Langkah selanjutnya yakni analisis data.Teknik

analisis data pada penelitian ini dioleh secara statistikdengan menggunakan program

komputer. Adapun analisisnya sebagaiberikut :


1. Analisis Univariat
Analisis Univariat bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan
34

karakteristik setiap variable penelitian, Dalam analisis ini

hanyadapatmenghasilkan ditribusi dan persentase dari tiap variabel

(Notoatmodjo,2012).
Setelah dilakukan penelitian ditemukan total responden sebanyak 18 responden

yang memenuhi kriteria inklusi yaitu 9 responden dengan menggunakan foto

terapi konvensional dan 9 responden dengan menggunakan Billy Blanket


2. Analisis Bivariat
Setelah dilakukan analisa univariat kemudian dilanjutkan analisa bivariat.Analsis

bivariat dilakukan terhadap dua variabel yang diduga berhubunganatau

berkorelasi (Notoatmodjo,2012).
Analisa dilakukan dengan menggunakan analisa Uji T adalah jenis pengujian

statistika untuk mengetahui apakah ada perbedaan dari nilai yang diperkirakan

dengan nilai hasil perhitungan statistika. Uji T pada dasarnya menunjukkan

seberapa jauh pengaruh satu variabel bebas secara individual dalam

menerangkan variasi variabel terikat. Uji T menilai apakah mean dan keragaman

dari dua kelompok berbeda secara statistik satu sama lain. Analisis ini digunakan

apabila kita ingin membandingkan mean dan keragaman dari dua kelompok data,

dan cocok sebagai analisis dua kelompok rancangan percobaan acak

(Notoatmodjo,2012).
penulis dipenelitian ini menggunakan Uji T Dependen dimana Uji T Dependen

sering digunakan pada analisa data penelitian eksperimen dan penelitian pre dan

post.

Rumus T test
d
T
SD _ d / n

Keterangan :

d = rata-rata deviasi / selisih sampel 1 dengan sampel 2


35

SD_d = standar deviasi dari deviasi / selisih dari sampel 1 dan sampel 2

n = besarnya atau jumlah sampel

Sementara untuk mencari nilai SD_d dengan menggunakan rumus sebagai

berikut:

SD _ d ( d1 d ) 2

BAB V

HASIL PENELITIAN

Pada bab ini, dijelaskan tentang laporan hasil penelitian yang telah dilakukan pada

bulan Februari 2017 pada bayi dengan Hiperbilirubinemia di RS Mitra Keluarga


36

Jakarta dengan jumlah responden 18 bayi terkait dengan penelitian Efektifitas

Pemakaian Billy Blanket dengan Foto terapi Konvensional Terhadap Penurunan

Kadar Bilirubin Pada Bayi Hiperbilirubin , dimana dapat dikelompokkan antara lain,

bayi hiperbilirubin dengan menggunakan foto terapi konvensional sebanyak 9 bayi dan

bayi hiperbilirubin dengan menggunakan Billy Blanket sebanyak 9 bayi.

Pada bab ini pula akan dibahas mengenai analisa hasil penelitian yang dilakukan 2

tahap , yaitu analisa univariat dan analisa bivariat. Analisa univariat adalah dengan

membuat distribusi frekuensi sedangkan analisa bivariat dilakukan untuk mengetahui

hub variabel-variabel penelitan dengan menggunakan Uji-T Dependen

A. Analisa Univariat

Dalam analisa univariat ini menjelaskan secara deskriptif mengenai variabel-

variabel penelitian yang terdiri dari karakteristik data demografi responden dan

penggunaan foto terapi konvensional serta Billy Blanket di Rumah Sakit Mitra

Keluarga Kelapa Gading

1. Karakteristik Responden Berdasarkan Data Demografi

Tabel 5.1
Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan data Demografi (usia, jenis
kelamin, berat badan dan panjang badan) hiperbilirubin (n = 18)
di RS Mitra Keluaga Kelapa Gading Februari 2017
37

No Variabel Frekuensi Presentase


Usia Bayi
1 0 3 hari 8 44,5
4 6 hari 10 55,5
2 Jenis Kelamin
Laki laki 10 55,5
Perempuan 8 44,5
3 Berat Badan Bayi
2500 3000 gr 8 44,5
3001 3500 gr 10 55,5
4 Panjang Bayi
45 50 cm 9 50
51 55 cm 9 50

a. Usia Bayi

Berdasarkan data pada tabel 5.1 diatas, hasil analisa distribusi responden

berdasarkan usia terbanyak umumnya di usia 4 6 hari yaitu 10 responden

(55,5%)

b. Jenis Kelamin

Berdasarkan data tabel 5.1 diatas, hasil analisa distribusi responden

berdasarkan jenis kelamin sebagian besar laki-laki yaitu berjumlah 10

responden (55.5%)

c. Berat Badan Bayi

Berdasarkan data pada tabel 5.1, distribusi responden berat badan sebagian

besar adalah 3001 3500 gr yang berjumlah 10 responden (55.5%).

d. Panjang Bayi

Berdasarkan data tabel 5.1 diatas, hasil analisa distribusi responden

berdasarkan panjang bayi 45 50 cm sebanyak 9 responden (50%) dan


38

panjang bayi 51 55 sebanyak 9 responden (50%). Hal ini menunjukkan

bahwa panjang bayi sama banyaknya.

B. Analisa Bivariat

Tabel 5.2

Hasil kadar penurunan bilirubin pada bayi hiperbilirunemia dengan


menggunakan foto terapi konvensional dan Billy Blanket di RS Mitra
Keluarga Kelapa Gading Februari 2017

Variabel Mean SD SE P Value N


Kadar Bilirubin

Foto terapi Konvensional 12,5656 0,69 0,23 0,028 9


Sebelum 12,0689 0,78 0,26
Sesudah
Billy Blanket
Sebelum 15,1711 1,25 0,14 0,000 9
Sesudah 12,4489 1,34 0,44

1. Hasil kadar penurunan bilirubin pada bayi hiperbilirubinemia dengan

menggunakan foto terapi konvensional

Berdasarkan tabel 5.2 diatas menunjukan bahwa rata - rata kadar bilirubin

responden sebelum dilakukan foto terapi konvensional adalah 12.5656 dan

setelah dilakukan foto terapi konvensional adalah 12.0689. Berdasarkan hasil

uji statistik menunjukan niai p Value = 0.028 (p < 0.05) maka dapat disimpulkan

bahwa ada penurunan kadar bilirubin dengan menggunakan foto terapi

konvensional

2. Hasil kadar penurunan bilirubin pada bayi hiperbilirubinemia dengan

menggunakan Billy Blanket


39

Berdasarkan tabel 5.2 diatas menunjukan bahwa rata - rata kadar bilirubin awal

pada kelompok Billy Blanket adalah 15.1711dan setelah dilakukan Billy

Blanket adalah 12.4489. Hasil uji statistik menunjukan niai p Value = 0.000 (p

< 0.05) maka dapat disimpulkan bahwa ada penurunan kadar bilirubin yang

signifikan bila menggunakkan Billy Blanket

Dengan hasil ini menunjukkan bahwa antara kelompok foto terapi konvensional

dan Billy Banket didapati perbedaan yang bermakna terhadap penurunan kadar

bilirubin.

BAB VI

PEMBAHASAN

Dalam bab ini peneliti akan membahas hasil penelitian tentang efektifitas pemakaian
40

Billy Blanket dengan foto terapi konvensional di RS Mitra Keluarga Kelapa Gading

Tahun 2017. Adapun dalam pembahasan ini meliputi keterbatasan penelitian dan

analisa bivariat variabel karakteristik penurunan kadar bilirubin pada bayi

hiperbilirunemia pada penggunaan foto terapi konvensional dan Billy Blanket, serta

hasil bivariat yang membanding 2 sampel kelompok yang dilakukan penelitian pre dan

post

A. Keterbatasan penelitian

1. Pembatasan kadar bilirubin yang diteliti berjarak 12 16.99 mg/dL, dimana

bilirubin diatas 16.99 mg/dL dokter spesialis menginstruksikan untuk

pemakaian doubel blue light, sehingga membatasi peneliti untuk menambah

responden dikarenakan untuk bayi dengan penggunaan double blue light masuk

ke dalam kriteria eksklusi

2. Peneliti hanya meneliti penurunan kadar bilirubin dalam waktu 24jam pertama

pada penggunaan foto terapi konvensional dan Billy Blanket, peneliti tidak

meneliti faktor persalinan ibu, berat badan bayi, usia saat memulai foto terapi,

pemberian ASI serta lama perawatan dikarenakan keterbatasan waktu penelitian

sehingga hasil penelitian ini hanya meneliti efektifitas penggunaan Billy

Blanket dan foto terapi konvensional dalam 24jam pertama.

3. Sulitnya mencari sumber atau pun jurnal tentang Billy Blanket merupakan suatu

hal yang sulit ditemui saat peneliti melakukan pnelitian, terutama untuk

penulisan Tinjauan Pustaka

B. Pembahasan Variabel
41

1. Hasil kadar penurunan bilirubin pada bayi hiperbilirubinemia dengan

menggunakan foto terapi konvensional

Hasil uji statistik menunjukan adanya penurunan dari kadar bilirubin dengan

menggunakan foto terapi konvensional. Hal ini sesuai dengan cara kerja terapi

sinar adalah dengan mengubah bilirubin menjadi bentuk yang larut dalam air

untuk dieksresikan melalui empedu atau urin. Ketika bilirubin mengabsorbsi

cahaya, terjadi reaksi fotokimia yaitu isomerisasi. Juga terdapat konversi

ireversibel menjadi isomer kimia lainnya bernama lumirubin yang dengan

cepat dibersihkan dari plasma melalui empedu. Lumirubin adalah produk

terbanyak degradasi bilirubin akibat terapi sinar pada manusia. Sejumlah kecil

bilirubin plasma tak terkonjugasi diubah oleh cahaya menjadi dipyrole yang

diekskresikan lewat urin. (Malzemeler, 2011)

Hal ini seuai dengan penelitian dari dr.Azlin, Emil (2009) dari Departemen

Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara (RSUP

H.Adam Malik, Medan) yang mengatakan Intensitas yang dicapai menentukan

efektifitas foto terapi, semakin tinggi intensitas sinar maka semakin cepat

penurunan kadar bilirubin. Menurut pendapat peneliti kurang efektif

penggunaan foto terapi konvensional dikarenakan penurunan kadar bilirubin

pada kelompok ini dipengaruhi oleh jarak foto terapi, dikarenakan jarak yang

mencapai + 50 cm mempengaruhi hantaran sinar yang dihasilkan oleh foto

terapi menyebar ke segala arah, tidak berfokus kepada bayi yang dapat

membuat sinar terbias oleh luas nya ruangan.

2. Hasil kadar penurunan bilirubin pada bayi hiperbilirubinemia dengan


42

menggunakan Billy Blanket

Berdasarkan hasil uji statistik menunjukan niai p Value = 0.000 (p < 0.05)

maka dapat disimpulkan bahwa ada penurunan kadar bilirubin yang signifikan

bila menggunakkan Billy Blanket di Rumah Sakit Mitra Keluarga Kelapa

Gading Tahun 2017

Menurut pendapat peneliti bahwa penggunaan Billy Blanket lebih efektif

dikarenakan jarak pantulan cahaya yang dihasilkan oleh Billy Blanket langsung

diterima oleh bayi dengan hiperbilirun tanpa ada jarak yang jauh serta bias yang

di karenakan oleh luas permukaan ruangan, akan tetapi selimut yang dipakai

oleh bayi berbahan khusus dimana bila ada penggantian selimut yang bukan

diajurkan maka efektifitas penurunan kadar bilirubin tidak dijamin saat

penggunaannya. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Costello, SA dari

Departemen of Pediatric, william Beaumont Hospital, Royal Oak USA dan

dipublikasikan J Paediatr Child Health ditahun 1995, yang meneliti

penggunaan Billy Blanket dengan foto terapi konvensional pada hiperbilirubin

bayi prematur. Dari hasil penelitian tersebut ada 24 bayi pada kelompok

konvensional dan 20 pada kelompok BillyBlanket. Rata-rata durasi fototerapi

dibandingkan dan 44 jam untuk kelompok konvensional dibandingkan 42 jam

untuk kelompok BilyBlanket.

Unit lampu terdiri dari sebuah reflector aluminium dan cadangan energi pada

tabung neon. Sebuah kipas yang berotasi mendukung sirkulasi udara disekitar

tabung neon. Tabung khusus menyebarkan cahaya dengan pancaran sinar 425-

475 (sinar biru), pada permukaannya terdapat sebuah aluminium transparan yang
43

dilapisi plastik lembut untuk kulit yang terbuat dari bahan polyurethane. Untuk

posisi optimal bayi, Billy Blanket dilengkapi dengan selimut terapi (Bilicombi).

Cahaya langsung terarah pada bayi menembus kain pada dasar selimut terapi. Ini

merupakan perawatan optimal dan tanpa mempengaruhi sekitar akibat cahaya

biru. (Departement Pediatric Intensive Care UllevAl Hospital Oslo). Terlebih

jarak yang ada pada Billy Blanket tidak kurang dari 10cm.

Hasil Penelitian ini memberikan gambaran foto terapi dapat menurunkan derajat

ikterik dengan menggunakan foto terapi konvensional maupun dengan

penggunaan Billy Blanket, namun dari penelitian yang peneliti lakukan bahwa

efektifitas pemakaian Billy Blanked lebih efektif dari pada penggunaan foto terapi

konvensional, ini bisa diliat dari penggunaan kedua alat foto terapi tersebut dalam

24 jam pertama. Menurut Bhutani (2011) untuk mengurangi efek samping foto

terapi maka alat yangdigunakan harus sepenuhnya menerangi luas permukaan

tubuh bayi. Begitu pula menurut Wong (2009) untuk mengefektifkan foto terapi,

kulit bayi harus terpajan penuh terhadap sumber cahaya dengan jumlah yang

adekuat. Bila kadar bilirubin serum meningkat sangat cepat atau mencapai kadar

krisis, dianjurkan untuk menggunakan foto terapi konvensional dan Billy Blanket

atau selimut fiberoptik. Hasil terbaik terjadi dalam 24 sampai 48 jam pertama

foto terapi. Penelitian ini juga mendukung penelitian yang dilakukan oleh Pratita

(2010) yang memberikan hasil pemberian foto terapi efektif dalam menurunkan

kadar bilirubin dengan jarak sinar lebih dekat ke neonatus lebih efektif dalam

menurunkan kadar bilirubin pada bayi dengan hiperbilirubinemia


44

BAB VII

KESIMPULAN DAN SARAN

Dalam bab ini dibahas tentang kesimpulan dari hasil penelitian dan saran peneliti

tentang Efektifitas Pemakaian Billy Blanket dengan Foto terapi Konvensional

Terhadap Penurunan Kadar Bilirubin Pada Bayi Hiperbilirubin di RS Mitra


45

Keluarga Kelapa Gading Tahun 2017

A. Kesimpulan

1. Karakteristik bayi mayoritas berusia 4 6 hari, berjenis kelamin mayoritas laki

laki, dan umumnya berat badan bayi 3001 3500 gr serta sebagian besar

dengan mayoritas kadar bilirubin berjarak 12 14.99mg/dL.

2. Rata - rata kadar bilirubin sebelum pada kelompok foto terapi konvensional

adalah 12,5656 dan rata - rata kadar bilirubin awal pada kelompok Billy Blanket

adalah 15,1711. Hasil rata rata kadar bilirubin setelah diberikan foto terapi

konvensional adalah 12,0689 dan hasil rata rata kadar bilirubin setelah

diberikan Billy Blanket adalah 12,4489. Rata rata kada bilirubin sebelum dan

sesudah baik pada kelompok kontrol maupun intervensi mengalami penurunan

3. Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan pada

kelompok Billy Blanket saat sebelum dan sesudah intervensi dengan nilai p =

0.000 (p Value < 0.05) sementara, untuk kelompok foto terapi konvensional

dengan nilai p = 0.028 (p Value <0.05). Hal ini menunjukkan bahwa antara

kelompok foto terapi konvensional dan Billy Banket didapati perbedaan yang

bermakna terhadap penurunan kadar bilirubin lebih cepat, sehingga menurut

peneliti pemakaian Billy Blanket lebih efektif dibanding dengan menggunakan

foto terapi konvensional

Pada hasil penelitian ini pula peneliti didapati bahwa foto terapi dengan jarak sinar

lebih dekat ke arah bayi (dicontohkan dengan penggunaan Billy Blanket) lebih

efektif dalam menurunkan kadar bilirubin pada bayi dengan hiperbilirubinemia.


46

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan temuan adanya keterbatasan dalam

penelitian, maka penulis memberikan saran sebagai berikut

1. Bagi Institusi Rumah Sakit

Diharapkan mempertahankan foto terapi pada bayi hiperbilirubin dengan

prosedur pelaksanaan dan tata cara yang tepat, dimana telah dilakukan

penelitian yang membuktikan bahwa pemakaian Billy Blanket lebih efektif

dibanding dengan pemakaian foto terapi konvensional.

2. Bagi institusi pendidikan

Penelitian ini juga dapat dijadikan evidence based practice, dimana belum

ada penelitian sebelumnya di instuisi pendidikan serta memperkaya materi

bacaan efektifitas pemakaian Billy Blanket dengan foto terapi konvensional

terhadap penurunan kadar bilirubin pada bayi hiperbilirubin.

3. Bagi peneliti selanjutnya Diharapkan melanjutkan penelitian ini dengan

membandingkan efektifitas pemakaian Billy Blanket dengan foto terapi

konnvensional terhadap penurunan kadar bilirubin pada bayi hiperbilirubinemia

dari beberapa kelompok baik itu dilihat dari segi faktor persalinan ibu, berat

badan bayi, usia saat memulai foto terapi, pemberian ASI serta lama perawatan

atau dengan sampel yang lebih besar dan area penelitian yang lebih.

Anda mungkin juga menyukai