BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hiperbilirubinemia
2.1.1 Definisi Hiperbilirubinemia
Hiperbilirubinemia adalah peningkatan kadar bilirubin dalam darah
dalam satu minggu pertama kehidupan bayi, pada hari ke 2-3 dan
puncaknya di hari ke 5-7, kemudian akan menurun pada hari ke 10-14,
peningkatannya tidak melebihi 10 mg/dl pada bayi atterm dan < 12
mg/dl pada bayi prematur. Keadaan ini masih dalam batas normal
(Noorbaya, 2020).
Hiperbilirubinemia didefinisikan sebagai kondisi dimana kulit dan
membran mukosa neonatus menguning setelah 24 jam kelahiran akibat
bilirubin tidak terkonjugasi masuk ke dalam sirkulasi (SDKI, 2017).
Hiperbilirubinemia terjadi pada 25-50% neonatus cukup bulan dan
lebih tinggi lagi pada neonatus kurang bulan. Hiperbilirubinemia dapat
merupakan suatu gejala fisiologis atau dapat merupakan hal yang
patologis, misalnya pada inkompatibilitas Rhesus dan ABO, sepsis,
penyumbatan saluran empedu dan sebagainya (Saifuddin AB, 2015).
Menurut (Noorbaya, 2020) Ikterik dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Ikterik Fisiologis
Ikterik yang timbul pada hari kedua dan ketiga, tidak mempunyai
dasar patologis, kadar tidak melampauai kadar yang
membahayakan. Dikatakan ikterik fisiologis apabila sesudah
pengamatan dan pemeriksaan selanjutnya tidak menunjukkan dasar
patologis dan tidak menunjukkan potensi berkembang menjadi
kern-icterus (suatu kerusakan otak akibat perlengketan bilirubin
indirek pada otak).
b. Ikterik Patologis
Ikterik yang mempunyai dasar patologis kadar bilirubin mencapai
hyperbilirubinemia.
9
2.1.2 Etiologi
Menurut (Noorbaya dkk, 2020) etiologi hiperbilirubinemia meliputi:
a. Kurangnya enzim glukoronil transferase.
b. Pemberian minum, terutama ASI yang kurang.
c. Gangguan fungsi hati/kerja hati yang bertambah berat akibat
inkompatibilitas Rhesus/ABO hati belum matang.
Menurut (SDKI, 2017) etiologi hiperbilirubinemia adalah:
a. Penurunan berat badan abnormal (>7-8% pada bayi baru lahir yang
menyusu ASI, >15% pada bayi cukup bulan).
b. Pola makan tidak ditetapkan dengan baik.
c. Kesulitan trasnsisi ke kehidupan ekstra uterin.
d. Usia kurang dari 7 hari.
e. Keterlambatan pengeluaran feses (mekonium).
2.1.4 Patofisiologi
Menurut (Noorbaya, 2020) patofisiologi hiperbilirubinemia adalah:
a. Peningkatan bilirubin indirek karena pemecahan sel darah merah
sebelum waktunya, fungsi hati belum matang.
b. Asupan kalori dan cairan kurang.
c. Kadar normal bilirubin indirek adalah kurang dari 5 mg/dl.
Berikut ini adalah tabel hubungan kadar bilirubin dengan daerah ikterus
menurut Kramer (Mansjoer, 2013).
11
Tabel 2.1
Hubungan Kadar Bilirubin Dengan Daerah Ikterus
2.1.5 Penatalaksanaan
Menurut (Noorbaya, 2020) penatalaksanaan hiperbilirubinemia adalah:
a. Pemberian ASI yang adekuat.
b. Anjurkan ibu menyusui sesuai dengan keinginan bayinya yaitu
setiap 2-3 jam.
c. Jemur bayi dalam keadaan telanjang dengan sinar matahari pagi
sekitar jam 7-9 pagi.
d. Pemberian terapi sinar matahari sehingga bilirubin direduksi
menjadi isomer foto yang tidak toksik dan mudah dikeluarkan tubuh
karena mudah larut.
Tabel 2.3
Alur Penanganan Ikterus Bayi Baru Lahir
6. Perawatan neonatus
a) Observasi
1) Identifikasi kondisi awal bayi setelah lahir (misalnya
kecukupan bulan, air ketuban jernih atau bercampur
mekonium, menangis spontan, tonus otot).
2) Monitor tanda vital bayi (terutama suhu).
b) Terapeutik
1) Lakukan inisiasi menyusui dini (IMD) segera setelah
bayi lahir.
2) Berikan vitamin K 1 mg intramuskuler untuk mecegah
perdarahan.
3) Mandikan selama 5-10 menit, minimal sehari sekali.
4) Mandikan dengan iar hangat (36-37ºC).
5) Gunakan sabun yang mengandung provitamin B5.
6) Oleskan baby oil untuk melembabkan kulit.
7) Rawat tali pusat secara terbuka (tidak dibungkus).
8) Bersihkan tali pusat dengan air steril atau air matang.
9) Kenakan pakaian dengan bahan katun.
10) Ganti popok segera jika basah.
c) Edukasi
1) Anjurkan ibu menyusui sesuai kebutuhan bayi.
2) Ajarkan ibu cara merawat bayi di rumah.
7. Skrining bayi sebelum pemulangan
a) Observasi
Identifikasi kesiaoan bayi dan keluarga untuk dilakukan
pemulangan.
b) Terapeutik
Lakukan skrining tumbuh kembang bayi.
c) Edukasi
1) Jelaskan pada orang tua tujuan dan prosedur skrining.
2) Informasikan pada orang tua pentingnya
menindaklanjuti hasil skrining.
17
Fototerapi
Usia Dalam Jam Risiko Tinggi Risiko Risiko Rendah
Menengah
24 Jam > 8 mg/dL > 10 mg/dL > 12 mg/dL
48 Jam > 11 mg/dL > 13 mg/dL > 15 mg/dL
72 Jam > 13 mg/dL > 15 mg/dL > 18 mg/dL
96 Jam > 14 mg/dL > 17 mg/dL > 20 mg/dL
Sumber: Umami, 2009 dalam Klau R., 2015
18
yang menderita penyakit seperti ini disebut juga dengan bayi kuning
atau ikterus (Agistrio, 2019).
Blue Light therapy bertujuan untuk mengendalikan kadarbilirubin
serum agar tidak mencapai nilai yang dapat menimbulkan ensefalopati
bilirubin atau kernikterus. Prinsip Kerja Phototherapy bekerja dengan
memberikan cahaya pada kulit bayi secara langsung dengan jangka
waktu tertentu. Cahaya yang digunakan adalah cahaya Blue Light yang
mempunyai panjang gelombang antara 450 - 460 nm dengan intensitas
atau kekuatan illuminasi 4500 Lux atau sekitar 200 footcandle dengan
jarak penyinaran pada bayi ± 45 cm dalam keadaan mata ditutup bahan
yang tak tembus cahaya (Agistrio, 2019).
Pada saat dilakukan fototherapi, bayi dibaringkan di dalam
inkubator bila bayi prematur dan ranjang bayi bila matur dalam keadaan
telanjang, kecuali mata dan alat kelamin harus ditutup dengan
menggunakan kain kasa. Tujuannya untuk mencegah efek cahaya
berlebihan dari lampu-lampu tersebut. Seperti diketahui, pertumbuhan
mata bayi belum sempurna sehingga dikhawatirkan akan merusak
bagian retinanya. begitu pula alat kelaminnya, agar kelak tak terjadi
risiko terhadap organ reproduksi itu, seperti kemandulan reproduksi
(walau belum terbukti). Perlu diingat bahwa phototherapy hanya dapat
digunakan untuk bilirubin tak langsung saja, bukan bilirubin langsung.
Kemudian diatasnya akan dipasang alat yang memiliki lampu yang
akan memancarkan sinar dengan intensitas tinggi. Sinar ini akan
mengurai bilirubin tak langsung menjadi zat yang dapat dibuang keluar
dari tubuh melalaui air kencing atau empedu (Agistrio, 2019).
c. Indikator
Indikator adalah lampu penanda pesawat hidup yang akan menyala
pada saat Main Switch ON.
d. Timer
Timer untuk memindahkan kontak agar blue Light mati dan buzzer
berbunyi setiap enam jam pertanda bayi siap untuk diganti posisi.
e. Ballast
Ballast untuk membatasi aliran arus listrik agar rangkaian lampu
bekerja sesuai dengan range daya yang dibutuhkan.
f. Blue Light
Blue Light cahaya yang mampu menembus lapisan kulit untuk
mengurangi penimbunan bilirubin di jaringan bawah kulit atau
selaput lendir.
g. Starter
Sebagai pemicu pemanasan pada blue Light agar terjadi loncatan
elektron sehingga blue Light dapat menyala.
h. Hourmeter
Untuk menghitung la manya blue Light menyala agar bisa
memperkirakan life time pada blue Light untuk diganti.
i. Buzzer
Akan berbunyi setiap enam jam sekali untuk peringatan agar bayi
diubah posisinya.
Saat main switch ditekan akan menghubungkan PLN dengan timer dan
lampu Indikator, sehingga lampu indikator menyala dan Timer mulai
menghitung. Kontak timer menghubungkan ballast dan hourmeter
dengan PLN sehingga blue Light menyala dan hourmeter menghitung.
Saat waktu tercapai, timer memindahkan kontaknya ke buzzer sehingga
blue Light dan hourmeter mati lalu buzzer menyala (Agistrio, 2019).
2.2.5 Kalibrasi
Agistrio, (2019) menyatakan tujuan kalibrasi alat fototerapi yaitu untuk
menjamin hasil pengukuran sesuai dengan standar nasional maupun
internasional.
Parameter:
a. Konsentrasi Pencahayaan
b. Suhu
Alat Kalibrator:
a. Phototherapy Radiometer
Tabel 2.7
Hasil-Hasil Penelitian Terkait
Intervensi Pendukung
- Pengukuran TTV
- Observasi derajat Masalah Keperawatan
ikterik
Bilirubin Normal
2.6 Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah:
Ha : Ada hubungan kadar bilirubin total awal dengan lama terapi
blue Lightt pada bayi hiperbilirubinemia di Rumah Sakit Mardi
Waluyo Metro.
Ho : Tidak ada hubungan kadar bilirubin total awal dengan lama
terapi blue Lightt pada bayi hiperbilirubinemia di Rumah Sakit
Mardi Waluyo Metro.
26
BAB III
METODE PENELITIAN
Z ²₁₋ ₐˎ ₂ P(1−P) N
n=
d ²(N−1)+ Z ²₁ ₋ₐˎ ₂ P(1−P)
Keterangan:
d² = Tingkat penyimpangan yang diinginkan (0,05 atau 0,01)
Z ²₁ ₋ₐˎ ₂ = Standar deviasi normal pada derajat kepercayaan
(kemaknaan
95% adalah 1,96)
P = Proporsi sifat populasi misalnya prevalensi, bila tidak
diketahui gunakan 0,5 (50%)
N = Besarnya populasi
n = Besarnya sampel
Sumber: Hosmes dan Klar dalam Suyanto, (2009)
Jika diketahui:
d² = Tingkat penyimpangan yang diinginkan (0,05)
Z ²₁ ₋ₐˎ ₂ = Standar deviasi normal pada derajat kepercayaan
3.3.2 Sampel
Pengambilan sampel penelitian ini menggunakan teknik Simple Random
Sampling, yaitu teknik pengambilan sampel yang dilakukan secara acak
dan digunakan apabila setiap anggota populasi bersifat homogen,
28
Tabel 3.1
Definisi Operasional
Cara Alat
No. Variabel Definisi Hasil Skala
Ukur Ukur
1 Variabel Waktu yang Lembar Mengisi 1. Lama terapi Ordinal
. Dependen: digunakan observasi lembar blue light ≤
Lama terapi untuk observasi 24 jam
blue light pemberian 2. Lama terapi
terapi blue light blue light 25-
pada bayi 48 jam
dengan 3. Lama terapi
hiperbilirubine blue light 49-
mia sampai 72 jam
dinyatakan 4. Lama terapi
sembuh oleh blue light >
DPJP (Dokter 72 jam
Penanggung
Jawab
Pelayanan)
ciri responden yang sama dari tempat dimana penelitian tersebut harus
dilaksanakan. Agar diperoleh distribusi nilai hasil pengukuran
mendekati normal maka sebaiknya jumlah responden untuk uji coba
paling sedikit 30 responden. Pada penelitian ini tidak dilakukan uji
validitas dikarenakan instrumen yang dipakai adalah kuesioner yang
berisikan isian sederhana.
2. Analisa Bivariat
Analisa bivariat digunakan untuk mengetahui ada tidaknya
hubungan dari kedua variabel independen dan variabel dependen
dengan menggunakan uji statistik. Pada penelitian ini, analisa
bivariat digunakan untuk menguji apakah ada hubungan variabel
kadar bilirubin total awal dengan lama terapi blue light pada
neonatus. Uji statistik yang digunakan adalah chi squere dengan
tabel 2 x 4. Tingkat kepercayaan/kemaknaan adalah 95% dengan
menghubungkan antara dua variabel yang diperoleh kemudian
dibandingkan dengan nilai α = 0,05. Apabila p value > 0,05 maka
tidak ada hubungan antara variabel independen dengan variabel
dependen dan apabila p value ≤ 0,05 maka terdapat hubungan
antara variabel independen dan variabel dependen.
Rumus Chi squere:
( f −fh ) ²
x² = Σ ̥
fh
Keterangan:
x² : Hasil hitung
f̥ : Frekuensi yang diperoleh berdasarkan data
fh : Frekuensi yang diharapkan dalam sampel sebagai pencerminan
dari frekuensi yang diharapkan dalam populasi