Anda di halaman 1dari 34

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Hiperbilirubinemia didefinisikan sebagai kondisi dimana kulit dan
membran mukosa neonatus menguning setelah 24 jam kelahiran akibat
bilirubin tidak terkonjugasi masuk ke dalam sirkulasi (SDKI, 2017).
Hiperbilirubinemia merupakan kadar bilirubin yang berlebihan di dalam
darah dengan jumlah lebih dari 10 mg% diminggu pertama yang
menyebabkan jaundice atau warna kuning pada bayi, terlihat jelas di kulit,
sclera, mukosa, urin dan beberapa organ tubuh lainnya, adapun kadar
normal bilirubin total pada bayi yaitu 5 mg% (Sembiring, 2019). Gejala
hiperbilirubinemia adalah terdapatnya ikterus, ikterus terdiri dari dua jenis
yaitu ikterus fisiologis dan ikterus patologis (Noerbaya, 2020). Ikterus
fisiologis muncul dihari kedua dan ketiga kemudian hilang pada minggu
pertama dan selambat-lambatnya menghilang dihari kesepuluh setelah
lahir. Ikterus patologis terjadi di 24 jam pertama, kadar bilirubin serum
lebih dari 10 mg% pada neonatus cukup bulan dan melebihi 12,5 mg%
pada neonatus kurang bulan, meningkatnya bilirubin lebih dari 5% perhari,
ikterus yang menetap setelah dua minggu pertama dan kadar bilirubin
direk lebih dari 1% (Prayogo, 2020).
Bayi Baru Lahir (BBL) yang terdiagnosa hiperbilirubinemia
sebanyak 30-50% dan bayi mengalami ikterik sebanyak 65% di Amerika
Serikat (Viswanath, 2013 dalam Prayogo, 2020). Sementara itu penelitian
yang dilakukan Chime (2011) diperoleh prevalensi ikterus neonatorum
sebesar 33% dengan 21% terjadi pada bayi laki-laki dan 12% pada bayi
perempuan di Nigeria (Kusumah, 2017 dalam Ambaraita, 2019). Data dari
World Health Organization (WHO) kejadian ikterus neonatal di negara
berkembang seperti Indonesia sekitar 50% bayi baru lahir normal yang
mengalami perubahan warna kulit, mukosa dan wajah mengalami
kekuningan (ikterus) dan 80% pada bayi kurang bulan (premature)
(Akmal, 2019). Pada tahun 2013 angka kejadian hiperbilirubin di Rumah
2

Sakit Cipto Mangunkusumo 42,95%, di Propinsi Lampung 15,38% dan di


RSUD Ahmad Yani Metro 29,4% (Anggraini, 2016). Hasil prasurvei yang
dilakukan peneliti pada bulan Maret 2021 di Rumah Sakit Mardi Waluyo
Metro Lampung, bayi dengan hiperbilirubin menempati posisi kedua
penyakit terbanyak di Ruang Perinatologi, sejumlah 260 kasus pada tahun
2018, 215 kasus pada tahun 2019 dan 103 kasus pada tahun 2020 (Rekam
Medik RS Mardi Waluyo, 2021).
Hiperbillirubinemia akan berdampak buruk jika billirubin indirect
melalui sawar otak, hal ini dapat menyebabkan enslopati biliaris yang
dapat menimbulkan retardasi mental dan juga atetosis disertai pendengaran
yang terganggu. Bayi yang menderita hiperbillirubinemia harus menjalani
pemeriksaan rutin, mulai dari pemeriksaan pertumbuhan yang meliputi
fisik, motorik, perkembangan mental serta pemeriksaan pendengaran
(Prayogo, 2020). Menurut United Nations Childrens Fund (UNICEF)
terdapat 1,8% kematian bayi yang disebabkan oleh hiperbilirubin dari
seluruh kasus perinatal yang terjadi di dunia (Akmal, 2019).
Pengobatan hiperbilirubinemia bertujuan untuk menurunkan kadar
bilirubin yang tinggi. Pengobatan pada kasus hiperbilirubinemia dapat
berupa fototerapi, intravena immunoglobulin (IVIG), transfusi pengganti,
penghentian ASI sementara, dan terapi medikamentosa. Fototerapi atau
terapi blue light adalah terapi dengan menggunakan penyinaran sinar
dengan intensitas tinggi yaitu 425-475 nm (biasa terlihat sebagai sinar
biru) untuk menghilangkan bilirubin tak langsung dalam tubuh (Alini R,
2019). Fototerapi adalah intervensi yang paling umum digunakan untuk
mengobati dan mencegah hiperbilirubinemia pada bayi cukup bulan dan
premature (Saber, 2013). Adapun manfaat yang didapatkan dari fototerapi
yaitu efektif, tidak mahal, mudah untuk digunakan, serta tidak invasif.
Fototerapi mengurangi hiperbilirubinemia melalui proses fotoisomerisasi
dan isomerisasi struktural (Dewi, 2016). Terapi sinar dilakukan selama 24
jam atau sampai kadar bilirubin dalam darah kembali ke ambang batas
normal (Alini, 2019).
3

Terapi blue light cukup efektif dalam menurunkan kadar bilirubin


pada neonatus dengan hiperbilirubinemia. Penelitian tentang Indeks
Penurunan Kadar Bilirubin Pada Ikterik Neonatorum yang Menjalani
Terapi Sinar Biru di Ruang Neonatologi RS Ibnu Sina Bojonegoro
didapatkan hasil kadar bilirubin total sebelum diberi terapi sinar biru rata-
rata sebesar 14,49 mg/dL dan sesudah diberi terapi sinar biru 12,16 mg/dL
sehingga didapatkan penurunan sebanyak 2,23 mg/dL (16,08%) (Asriyani,
2019). Namun, terapi blue light juga dapat menimbulkan efek buruk yaitu
stres oksidatif dan status oksidatif total di plasma neonatus meningkat
selama fototerapi, perubahan pada membran eritrosit, kerusakan DNA di
limfosit perifer (bersifat sementara) dan hipertermia pada radiasi cahaya
yang sangat tinggi 60-120 µW /cm2/nm (Ebbesen, 2017). Oleh karena itu
penggunaan fototerapi neonatal harus bijaksana dan hanya bertujuan pada
neonatus yang sangat membutuhkannya, mengikuti anjuran pedoman serta
selalu menimbang risiko dan manfaat dari pengobatan untuk neonatus
(Faulhaber, 2019).
Berdasarkan prasurvei juga didapatkan data bahwa lama hari rawat
(LOS) pada terapi blue light berbeda-beda, dari total 21 pasien pada bulan
Januari sampai dengan Maret 2021 untuk bilirubin total awal 12 mg/dL
LOS-nya 2 hari, bilirubin total awal 15 mg/dL LOS-nya 3-4 hari dan
bilirubin total awal 17 mg/dL LOS-nya 5-7 hari. Peneliti berpendapat
bahwa semakin tinggi kadar bilirubin total awal maka sekain lama hari
rawatnya. Terapi blue light dapat menurunkan kadar bilirubin total namun
lama pemberian terapi blue light masih belum jelas. Terapi blue light di
RS Mardi Waluyo biasanya dilakukan selama 12-24 jam berturut-turut
tanpa memandang kadar bilirubin total awal. Oleh karena itu perlu
ditemukan metode yang efektit agar dapat mempersingkat pemberian
terapi blue light dengan mempertimbangkan kadar bilirubin total awal
sehingga diharapkan berdampak pada penurunan lama hari rawat.
Faktor-faktor yang berkaitan dengan pemberian terapi blue light
seperti spesifikasi fototerapi yang meliputi jenis lampu, jarak lampu,
intensitas cahaya dan luas daerah yang terpapar sejauh ini belum pernah
4

dilakukan evaluasi. Hasil wawancara dengan perawat pelaksana ruang


perinatologi terkait intervensi terapeutik keperawatan selama terapi blue
light seperti melepaskan pakaian bayi kecuali popok, memberikan penutup
mata (eye protector/biliband), menggnti alas dan popok bayi jika
BAB/BAK, menganjurkan memberikan ASI sesering mungkin sebagian
besar telah dilaksanakan. Namun pengukuran jarak antara lampu dan
permukaan kulit bayi selama ini belum diperhatikan serta penggunaan
linen belum semua menggunakan warna yang memantulkan cahaya, dari
hasil observasi penutup inkubator masih menggunakan linen berwarna biru
tua. Hal ini dapat berdampak pada lama waktu pemberian terapi blue light.
Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis tertarik untuk mengetahui lebih
dalam lagi tentang hubungan kadar bilirubin total awal dengan lama terapi
blue light pada bayi hiperbilirubinemia di Rumah Sakit Mardi Waluyo
Metro.

1.2 Identifikasi Masalah


Hiperbilirubinemia merupakan kadar bilirubin darah lebih dari 5
mg% yang menyebabkan jaundice atau warna kuning di kulit bayi, sclera,
mukosa, urin dan organ tubuh lainnya (Sembiring, 2019). Ikterus patologis
terjadi di 24 jam pertama, kadar bilirubin serum lebih dari 10 mg% pada
neonatus cukup bulan dan melebihi 12,5 mg% pada neonatus kurang
bulan, meningkatnya bilirubin lebih dari 5% perhari (Prayogo, 2020).
Bayi Baru Lahir (BBL) yang terdiagnosa hiperbilirubinemia
sebanyak 30-50% dan bayi mengalami ikterik sejumlah 65% di Amerika
Serikat; 33% di Nigeria; 50% di negara berkembang seperti Indonesia;
42,95% di RS Cipto Mangunkusumo; 15,38% di Propinsi Lampung;
29,4% di RSUD Ahmad Yani Metro dan 103 kasus di RS Mardi Waluyo.
Dampak hiperbillirubinemia seperti enslopati biliaris yang dapat
menimbulkan retardasi mental, atetosis disertai pendengaran yang
terganggu dan kematian. 1,8% kematian bayi di dunia disebabkan oleh
hiperbilirubinemia (UNICEF).
5

Terapi blue light cukup efektif menurunkan kadar hiperbilirubin


yaitu sebanyak 2,23 mg/dL (16,08%), namun menimbulkan efek buruk
seperti stres oksidatif dan status oksidatif total di plasma neonatus
meningkat, perubahan pada membran eritrosit, kerusakan DNA di limfosit
perifer (bersifat sementara) dan hipertermia. Oleh karena itu penggunaan
terapi blue light harus bijaksana dan hanya bertujuan pada neonatus yang
sangat membutuhkannya.
Berdasarkan prasurvei didapatkan data bahwa lama hari rawat
(LOS) pada terapi blue light berbeda-beda. Peneliti berpendapat semakin
tinggi kadar bilirubin total awal maka sekain lama hari rawatnya.
Fototerapi dapat menurunkan kadar bilirubin total namun lama pemberian
fototerapi masih belum jelas. Fototerapi di RS Mardi Waluyo biasanya
dilakukan selama 12-24 jam berturut-turut tanpa memandang kadar
bilirubin total awal. Faktor-faktor seperti jenis lampu, jarak lampu,
intensitas cahaya dan luas daerah yang terpapar sejauh ini belum pernah
dilakukan evaluasi. Intervensi terapeutik keperawatan sebagian besar
sudah dilaksanakan, namun pengukuran jarak antara lampu dan
penggunaan linen belum semua menggunakan warna yang memantulkan
cahaya. Hal ini dapat berdampak pada lama waktu pemberian terapi blue
light.

1.3 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah “apakah ada hubungan kadar bilirubin total awal
dengan lama terapi blue light pada bayi hyperbilirubinemia di Rumah
Sakit Mardi Waluyo Metro”.

1.4 Tujuan Penelitian


1.4.1 Tujuan Umum
Mengetahui hubungan kadar bilirubin total awal dengan lama terapi
blue light pada bayi hiperbilirubinemia di Rumah Sakit Mardi Waluyo
Metro Lampung.
6

1.4.2 Tujuan Khusus


1.4.2.1 Mengetahui distribusi frekuensi kadar bilirubin total awal pada bayi
hiperbilirubinemia yang diberikan terapi blue light di Rumah Sakit
Mardi Waluyo Metro Lampung.
1.4.2.2 Mengetahui distribusi frekuensi lama waktu pemberian terapi blue
light pada bayi hiperbilirubinemia di Rumah Sakit Mardi Waluyo
Metro Lampung.
1.4.2.3 Mengetahui hubungan kadar bilirubin total awal dengan lama waktu
terapi blue light pada bayi hiperbilirubinemia di Rumah Sakit Mardi
Waluyo Metro Lampung.

1.5 Manfaat Penelitian


1.5.1 Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai data
pendukung bagi penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan terapi
blue light pada neonatus dengan hiperbilirubinemia.
1.5.2 Manfaat Aplikatif
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi institusi
Rumah Sakit Mardi Waluyo Metro Lampung agar dapat meningkatkan
keterampilan SDM dalam perawatan neonatus dengan hiperbilirubin,
melakukan perbaikan SOP neonatus dengan terapi blue light pada bayi
hiperbilirubin dan mampu memodifikasi intervensi keperawatan agar
waktu yang diperlukan untuk terapi blue light tidak berlangsung lama.

1.6 Ruang Lingkup Penelitian


Penelitian ini termasuk dalam penelitian kuantitatif. Jenis penelitian adalah
deskriptif analitik dengan pendekatan Retrospektif. Penelitian ini
dilakukan untuk mengetahui apakah ada hubungan kadar bilirubin total
awal dengan lama terapi blue light pada bayi hiperbilirubinemia di Rumah
Sakit Mardi Waluyo Metro. Data diperoleh dari rekam medik pasien dan
dianalisis menggunakan chi square. Penelitian akan dilakukan pada bulan
Juni-Juli 2021 di Rumah Sakit Mardi Waluyo Metro Lampung. Penelitian
7

ini dilakukan karena pemberian terapi blue light tanpa memperhatikan


kadar bilirubin total awal dan lama pemberian terapi blue light masih
belum jelas. Populasi dalam penelitian ini adalah bayi dengan
hiperbilirubinemia yang mendapatkan terapi blue light di Rumah Sakit
Mardi Waluyo Metro Lampung pada tahun 2020.
8

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hiperbilirubinemia
2.1.1 Definisi Hiperbilirubinemia
Hiperbilirubinemia adalah peningkatan kadar bilirubin dalam darah
dalam satu minggu pertama kehidupan bayi, pada hari ke 2-3 dan
puncaknya di hari ke 5-7, kemudian akan menurun pada hari ke 10-14,
peningkatannya tidak melebihi 10 mg/dl pada bayi atterm dan < 12
mg/dl pada bayi prematur. Keadaan ini masih dalam batas normal
(Noorbaya, 2020).
Hiperbilirubinemia didefinisikan sebagai kondisi dimana kulit dan
membran mukosa neonatus menguning setelah 24 jam kelahiran akibat
bilirubin tidak terkonjugasi masuk ke dalam sirkulasi (SDKI, 2017).
Hiperbilirubinemia terjadi pada 25-50% neonatus cukup bulan dan
lebih tinggi lagi pada neonatus kurang bulan. Hiperbilirubinemia dapat
merupakan suatu gejala fisiologis atau dapat merupakan hal yang
patologis, misalnya pada inkompatibilitas Rhesus dan ABO, sepsis,
penyumbatan saluran empedu dan sebagainya (Saifuddin AB, 2015).
Menurut (Noorbaya, 2020) Ikterik dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Ikterik Fisiologis
Ikterik yang timbul pada hari kedua dan ketiga, tidak mempunyai
dasar patologis, kadar tidak melampauai kadar yang
membahayakan. Dikatakan ikterik fisiologis apabila sesudah
pengamatan dan pemeriksaan selanjutnya tidak menunjukkan dasar
patologis dan tidak menunjukkan potensi berkembang menjadi
kern-icterus (suatu kerusakan otak akibat perlengketan bilirubin
indirek pada otak).
b. Ikterik Patologis
Ikterik yang mempunyai dasar patologis kadar bilirubin mencapai
hyperbilirubinemia.
9

Pada kern-icterus, gejala klinik pada permulaan tidak jelas, antara


lain dapat disebutkanyaitu bayi tidak mau menghisap, letargi, mata
berputar, gerakan tidak menetu (involuntary movement), kejang, tonus
otot meninggi, meninggi, leher kaku dan akhirnya opistotonus
(Saifuddin AB, 2015).

2.1.2 Etiologi
Menurut (Noorbaya dkk, 2020) etiologi hiperbilirubinemia meliputi:
a. Kurangnya enzim glukoronil transferase.
b. Pemberian minum, terutama ASI yang kurang.
c. Gangguan fungsi hati/kerja hati yang bertambah berat akibat
inkompatibilitas Rhesus/ABO hati belum matang.
Menurut (SDKI, 2017) etiologi hiperbilirubinemia adalah:
a. Penurunan berat badan abnormal (>7-8% pada bayi baru lahir yang
menyusu ASI, >15% pada bayi cukup bulan).
b. Pola makan tidak ditetapkan dengan baik.
c. Kesulitan trasnsisi ke kehidupan ekstra uterin.
d. Usia kurang dari 7 hari.
e. Keterlambatan pengeluaran feses (mekonium).

Menurut (Nelson, 2011 dalam Noorbaya, 2020) secara garis besar


etiologi ikterus atau hiperbilirubinemia pada neonatus dapat dibagi
menjadi:
a. Produksi bilirubin yang berlebihan. Hal ini melebihi kemampuan
neonatus untuk mengeluarkan zat tersebut. Misalnya pada hemolisis
yang meningkat pada inkompatibilitas darah Rh, ABO, golongan
darah lain, defisiensi enzim G6-PD, piruvat kinase, perdarahan
tertutup dan sepsis.
b. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar. Gangguan ini
dapat disebabkan oleh asidosis, hipoksia, dan infeksi atau tidak
terdapatnya enzim glukoronil transferase (sindrom criggler-Najjar).
10

Penyebab lain yaitu defisiensi protein. Protein Y dalam hepar yang


berperan penting dalam uptake bilirubin ke sel hepar.
c. Gangguan transportasi bilirubin. Bilirubin dalam darah terikat pada
albumin kemudian diangkat ke hepar. Ikatan bilirubin dengan
albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat,
sulfafurazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak
terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang mudah
melekat ke sel otak.
d. Gangguan dalam ekskresi. Gangguan ini dapat terjadi akibat
obstruksi dalam hepar atau diluar hepar. Kelainan diluar hepar 12
biasanya disebabkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar
biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain.

2.1.3 Gejala dan Tanda


Menurut (SDKI, 2017) gejala dan tanda hiperbilirubinemia adalah:
a. Gejala dan tanda mayor meliputi
1. Profil darah abnormal (hemolisis, bilirubin serum total >2
mg/dL, bilirubin serum total pada rentang risiko tinggi menurut
usia).
2. Membran mukosa kuning.
3. Kulit kuning.
4. Sklera kuning.
b. Gejala dan tanda minor (tidak tersedia).

2.1.4 Patofisiologi
Menurut (Noorbaya, 2020) patofisiologi hiperbilirubinemia adalah:
a. Peningkatan bilirubin indirek karena pemecahan sel darah merah
sebelum waktunya, fungsi hati belum matang.
b. Asupan kalori dan cairan kurang.
c. Kadar normal bilirubin indirek adalah kurang dari 5 mg/dl.
Berikut ini adalah tabel hubungan kadar bilirubin dengan daerah ikterus
menurut Kramer (Mansjoer, 2013).
11

Tabel 2.1
Hubungan Kadar Bilirubin Dengan Daerah Ikterus

Derajat Kadar Bilirubin (mg/dL)


Luas Daerah Ikterus
Ikterus Preterm Aterm
I Kepala dan leher 4–8 4–8
II Dada sampai pusat 5 – 12 5 – 12
III Bagian bawah pusat sampai lutut 7 – 12 8 – 16
IV Lutut sampai pergelangan kaki dan 8 – 18 11 – 18
bahu sampai pergelangan tangan
V Kaki dan tangan termasuk telapak >10 >15
kaki dan telapak tangan
Sumber: Mansjoer (2013)

2.1.5 Penatalaksanaan
Menurut (Noorbaya, 2020) penatalaksanaan hiperbilirubinemia adalah:
a. Pemberian ASI yang adekuat.
b. Anjurkan ibu menyusui sesuai dengan keinginan bayinya yaitu
setiap 2-3 jam.
c. Jemur bayi dalam keadaan telanjang dengan sinar matahari pagi
sekitar jam 7-9 pagi.
d. Pemberian terapi sinar matahari sehingga bilirubin direduksi
menjadi isomer foto yang tidak toksik dan mudah dikeluarkan tubuh
karena mudah larut.

Menurut (Saifuddin AB, 2009) penanganan hiperbilirubinemia yaitu:


a. Mencegah terjadinya kern-icterus (ensefalopati biliaris)
Dalam hal ini yang penting adalah pengamatan yang ketat dan
cermat perubahan peningkatan kadar icterus/bilirubin bayi baru
lahir, khususnya icterus yang kemungkinan besar menjadi patologis
yaitu:
1) Ikterus yang terjadi pada 24 jam pertama.
2) Ikterus dengan kadar bilirubin > 12,5 mg% pada neonatus cukup
bulan atau > 10 mg% pada neonatus kurang bulan.
3) Ikterus dengan peningkatan kadar bilirubin > 5 mg%/hari.
b. Mengatasi hiperbilirubinemia
12

1) Melakukan dekomposisi bilirubin dengan fototerapi


2) Tranfusi tukar darah.
Indikasi transfusi tukar adalah:
a) Pada semua keadaan dengan kadar bilirubin indirek ≥ 20 mg
%.
b) Kenaikan kadar bilirubin indirek yang cepat yaitu 0,3 – 1 mg
% per jam.
c) Kadar Hb tali pusat < 14% dan Uji Coomb’s direk positif.

2.1.6 Pengelolaan Hiperbilirubinemia Menurut Waktu Timbulnya dan


Kadar Bilirubin
Menurut (Saifuddin AB, 2015) pengelolaan ikterus menurut waktu
timbulnya dan kadar bilirubin yaitu:
Tabel 2.2
Pedoman Pengelolaan Hiperbilirubinemia Menurut Waktu Timbulnya
dan Kadar Bilirubin (Modifikasi Dari Maiseis 1972)

Bilirubin (mg%) < 24 jam 24 – 48 jam 49 – 72 jam >72 jam


<5 Pemberian makanan yang dini
5–9 Terapi sinar bila Kalori cukup
hemolisis
10 – 14 Transfusi tukar* Terapi sinar
bila hemolisis
15 – 19 Transfusi tukar* Transfusi Terapi +
tukar bila sinar*
hemolisis
>20 Transfusi tukar+
*Sebelum dan sesudah cterus e tukar  berikan terapi sinar
+Bila tak berhasil  cterus e tukar
Bil < 5 mg% selalu observasi
Bil > 5 mg% penyebab cterus perlu diselidiki

Sedangkan alur penanganan icterus bayi baru lahir menurut Saifudin


AB, (2015) dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
13

Tabel 2.3
Alur Penanganan Ikterus Bayi Baru Lahir

TANDA- Warna kuning pada kulit dn sklera mata (tanpa hepatomegaly,


TANDA perdarahan kulit dan kejang-kejang)
KATEGORI NORMAL FISIOLOGIK PATOLOGIK
PENILAIAN
Daerah 1 1+ 2 1 s/d 5 1 s/d 5
Ikterus
(rumus
kremer)
Kuning hari 1-2 >3 >3 >3 >3
ke-
Kadar ≤ 5 mg% 5-9 mg% 11-15 mg >15-20 > 20 mg%
bilirubin % mg%
PENANGANAN
Bidan atau Terus  Jemur di matahari pagi jam 7 – 9  Rujuk
Puskesmas diberi ASI selama 10 menit ke
 Badan bayi telanjang, mata rumah
ditutup sakit
 Terus diberi ASI  Banyak
 Banyak minum minum
Rumah Sakit Sama Sama Terapi Terapi
dengan di dengan di sinar sinar
atas atas
 Periksa golongan darah ibu dan
bayi
 Periksa kadar bilirubin
Nasihat Waspadai
bila bila kadar
semakin bilirubin
kuning naik > 0,5 Tukar darah
kembali mg/jam
Coomb’s
test
Sumber: Saifuddin AB, 2015

2.1.7 Intervensi Keperawatan Pada Hiperbilirubinemia


Menurut (SIKI, 2018) intervensi hiperbilirubinemia dibagi menjadi
intervensi utama dan intervensi pendukung.
a. Intervensi Utama
1. Fototerapi Neonatus
a) Observasi
1) Monitor ikterik pada sklera dan kulit bayi.
2) Identifikasi kebutuhan cairan sesuai dengan usia gestasi
dan berat badan.
3) Monitor suhu dan tanda vital setiap 4 jam sekali.
14

4) Monitor efek samping fototerapi (misalnya hipertermi,


diare, rush pada kulit, penurunan berat badan lebih dari
8-10%).
b) Terapeutik
1) Siapkan lampu fototerapi dan inkubator atau kotak bayi.
2) Lepaskan pakaian bayi kecuali popok.
3) Berikan penutup mata (eye protector/biliband) pada
bayi.
4) Ukur jarak antara lampu dan permukaan kulit bayi (30
cm atau tergantung spesifikasi lampu fototerapi).
5) Biarkan tubuh bayi terpapar sinar fototerapi secara
berkelanjutan.
6) Ganti dengan segera alas dan popok bayi jika
BAB/BAK.
7) Gunakan linen berwarna putih agar memantulkan cahaya
sebanyak mungkin.
c) Edukasi
1) Anjurkan ibu menyusui sekitar 20-30 menit.
2) Anjurkan ibu menyusui sesering mungkin.
d) Kolaborasi
Kolaborasi pemeriksaan darah vena bilirubin direk dan
indirek.
2. Perawatan bayi
a) Observasi
Monitor tanda-tanda vital bayi (terutama suhu 36,5ºC-
37,5ºC).
b) Terapeutik
1) Memandikan bayi dengan suhu ruangan 21-24 ºC.
2) Memandikan bayi dalam waktu 5-10 menit dan 2 kali
dalam sehari.
3) Rawat tali pusat secara terbuka (tali pusat tidak
dibungkus apa pun).
15

4) Bersihkan pangkal tali pusat dengan lidi kapas yang


telah diberi air matang.
5) Kenakan popok bayi di bawah umbilicus jika tali pusat
belum terlepas.
6) Lakukan pemijatan bayi.
7) Ganti popok bayi jika basah.
8) Kenakan pakaian bayi dengan bahan katun.
c) Edukasi
1) Anjurkan ibu menyusui sesuai kebutuhan bayi.
2) Ajarkan ibu cara merawat bayi di rumah.
b. Intervensi Pendukung
1. Edukasi orang tua: fase bayi
a) Ajarkan cara merawat dan mencegah ruam popok.
b) Ajarkan cara stimulasi perkembangan bayi.
2. Insersi intravena
a) Memasng infus sesuai advice dokter.
b) Pilih jenis jarum yang sesuai.
3. Manajemen spesimen darah
a) Ambil sampel darah sesuai kebutuhan.
b) Labeli specimen dengan data-data yang diperlukan (nama,
c) nomor rekam medik, tanggal lahir, waktu pengambilan
sampel.
4. Pemantauan tanda vital
a) Monitor suhu tubuh
b) Monitor nadi, pernapasan
c) Monitor oksimetri
5. Pemberian obat intravena
a) Berikan obat IV dengan kecepatan yang tepat
b) Lakukan prinsip 6 benar (pasien, obat, dosis, waktu, rute,
dokumentasi)
c) Pemberian obat melalui syringe pump jika diperlukan
16

6. Perawatan neonatus
a) Observasi
1) Identifikasi kondisi awal bayi setelah lahir (misalnya
kecukupan bulan, air ketuban jernih atau bercampur
mekonium, menangis spontan, tonus otot).
2) Monitor tanda vital bayi (terutama suhu).
b) Terapeutik
1) Lakukan inisiasi menyusui dini (IMD) segera setelah
bayi lahir.
2) Berikan vitamin K 1 mg intramuskuler untuk mecegah
perdarahan.
3) Mandikan selama 5-10 menit, minimal sehari sekali.
4) Mandikan dengan iar hangat (36-37ºC).
5) Gunakan sabun yang mengandung provitamin B5.
6) Oleskan baby oil untuk melembabkan kulit.
7) Rawat tali pusat secara terbuka (tidak dibungkus).
8) Bersihkan tali pusat dengan air steril atau air matang.
9) Kenakan pakaian dengan bahan katun.
10) Ganti popok segera jika basah.
c) Edukasi
1) Anjurkan ibu menyusui sesuai kebutuhan bayi.
2) Ajarkan ibu cara merawat bayi di rumah.
7. Skrining bayi sebelum pemulangan
a) Observasi
Identifikasi kesiaoan bayi dan keluarga untuk dilakukan
pemulangan.
b) Terapeutik
Lakukan skrining tumbuh kembang bayi.
c) Edukasi
1) Jelaskan pada orang tua tujuan dan prosedur skrining.
2) Informasikan pada orang tua pentingnya
menindaklanjuti hasil skrining.
17

Menurut (Nursing Interventions Classification, 2016) intervensi pada


bayi dengan diagnosa keperawatan ikterus neonatus adalah dengan
fototerapi neonatus (6924) yang meliputi:
a) Observation
Observasi tanda-tanda kuning.
b) Action
1) Tempatkan lampu fototerapi di atas bayi dengan tinggi yang
sesuai.
2) Berikan penutup mata dan buka penutup mata setiap 4 jam saat
lampu dimatikan untuk kontak bayi dengan orang tua.
3) Timbang berat badan neonatus.
4) Dorong pemberian ASI 8 kali per hari.
c) Education
Edukasi keluarga mengenai prosedur dan perawatan fototerapi.
d) Colaboration
1) Periksa kadar serum bilirubin, sesuai kebutuhan, sesuai protokol
atau permintaan dokter
2) Laporkan hasil laboratorium pada dokter.

2.1.8 Indikasi Fototerapi Neonatus


Umami, 2009 dalam Klau R., 2015, menyatakan indikasi fototerapi
neonatus adalah sebagai berikut:
Tabel 2.4
Indikasi Untuk Fototerapi

Fototerapi
Usia Dalam Jam Risiko Tinggi Risiko Risiko Rendah
Menengah
24 Jam > 8 mg/dL > 10 mg/dL > 12 mg/dL
48 Jam > 11 mg/dL > 13 mg/dL > 15 mg/dL
72 Jam > 13 mg/dL > 15 mg/dL > 18 mg/dL
96 Jam > 14 mg/dL > 17 mg/dL > 20 mg/dL
Sumber: Umami, 2009 dalam Klau R., 2015
18

Menurut American Academy of Pediatrics (AAP) untuk penanganan


hyperbilirubinemia pada neonatus sehat dan cukup bulan adalah:
Tabel 2.5
Indikasi Fototerapi Pada Neonatus Sehat dan Cukup Bulan

Total Serum Bilirubin (mg/dL)


Usia Transfusi
Pertimbangan
(Jam) Fototerapi Transfusi tukar tukar dan
fototerapi
fototerapi
25-48 Jam ≥ 12 ≥ 15 ≥ 20 ≥ 25
49-72 Jam ≥ 15 ≥ 18 ≥ 25 ≥ 30
>72 jam ≥ 17 ≥ 20 ≥ 25 ≥ 30
Sumber: American Academy Pediatrics (2004) dalam Hidayat (2018)

Rekomendasi American Academy of Pediatrics (AAP) untuk penanganan


hyperbilirubinemia pada neonatus prematur (sehat dan cukup) adalah:
Tabel 2.6
Indikasi Untuk Fototerapi Pada Neonatus Prematur

Total Serum Bilirubin (mg/dL)


Neonatus Sehat Neonatus Sakit
Berat Badan
Transfusi
Fototerapi Transfusi Tukar Fototerapi
Tukar
<1.000 gr 5-7 Bervariasi 4-6 Bervariasi
1.000-1.500 gr 7-8 Bervariasi 6-8 Bervariasi
1.500-2.000 gr 10-12 Bervariasi 8-10 Bervariasi
2.000-2.500 gr 12-15 Bervariasi 10-12 Bervariasi
>2.500 gr 15-18 20-25 12-15 18-20
Sumber: American Academy Pediatrics (2004) dalam Hidayat (2018)

2.2 Alat Terapi Blue Light


2.2.1 Definisi
Blue Light Therapy atau Fototerapi merupakan terapi untuk
mengatasi keadaan hiperbilirubunemia dengan menggunakan sinar
berenergi tinggi yang mendekati kemampuan maksimal untuk
menyerap bilirubin. Alat Phototherapy atau Blue Light Lamp Therapy
dapat digunakan untuk therapy pada bayi yang menderita penyakit
hiperbilirubin atau penyakit kuning, yaitu adanya penimbunan
bilirirubin di jaringan bawah kulit atau selaput lendir yang ditandai
dengan warna kuning yang terlihat pada kulit atau selaput lendir, bayi
19

yang menderita penyakit seperti ini disebut juga dengan bayi kuning
atau ikterus (Agistrio, 2019).
Blue Light therapy bertujuan untuk mengendalikan kadarbilirubin
serum agar tidak mencapai nilai yang dapat menimbulkan ensefalopati
bilirubin atau kernikterus. Prinsip Kerja Phototherapy bekerja dengan
memberikan cahaya pada kulit bayi secara langsung dengan jangka
waktu tertentu. Cahaya yang digunakan adalah cahaya Blue Light yang
mempunyai panjang gelombang antara 450 - 460 nm dengan intensitas
atau kekuatan illuminasi 4500 Lux atau sekitar 200 footcandle dengan
jarak penyinaran pada bayi ± 45 cm dalam keadaan mata ditutup bahan
yang tak tembus cahaya (Agistrio, 2019).
Pada saat dilakukan fototherapi, bayi dibaringkan di dalam
inkubator bila bayi prematur dan ranjang bayi bila matur dalam keadaan
telanjang, kecuali mata dan alat kelamin harus ditutup dengan
menggunakan kain kasa. Tujuannya untuk mencegah efek cahaya
berlebihan dari lampu-lampu tersebut. Seperti diketahui, pertumbuhan
mata bayi belum sempurna sehingga dikhawatirkan akan merusak
bagian retinanya. begitu pula alat kelaminnya, agar kelak tak terjadi
risiko terhadap organ reproduksi itu, seperti kemandulan reproduksi
(walau belum terbukti). Perlu diingat bahwa phototherapy hanya dapat
digunakan untuk bilirubin tak langsung saja, bukan bilirubin langsung.
Kemudian diatasnya akan dipasang alat yang memiliki lampu yang
akan memancarkan sinar dengan intensitas tinggi. Sinar ini akan
mengurai bilirubin tak langsung menjadi zat yang dapat dibuang keluar
dari tubuh melalaui air kencing atau empedu (Agistrio, 2019).

2.2.2 Blok Diagram


a. PLN
PLN sebagai Supply induk untuk menghidupkan rangkaian.
b. Main Switch
Main switch adalah penyambung dan pemutus hubungan PLN
dengan rangkaian.
20

c. Indikator
Indikator adalah lampu penanda pesawat hidup yang akan menyala
pada saat Main Switch ON.
d. Timer
Timer untuk memindahkan kontak agar blue Light mati dan buzzer
berbunyi setiap enam jam pertanda bayi siap untuk diganti posisi.
e. Ballast
Ballast untuk membatasi aliran arus listrik agar rangkaian lampu
bekerja sesuai dengan range daya yang dibutuhkan.
f. Blue Light
Blue Light cahaya yang mampu menembus lapisan kulit untuk
mengurangi penimbunan bilirubin di jaringan bawah kulit atau
selaput lendir.
g. Starter
Sebagai pemicu pemanasan pada blue Light agar terjadi loncatan
elektron sehingga blue Light dapat menyala.
h. Hourmeter
Untuk menghitung la manya blue Light menyala agar bisa
memperkirakan life time pada blue Light untuk diganti.
i. Buzzer
Akan berbunyi setiap enam jam sekali untuk peringatan agar bayi
diubah posisinya.
Saat main switch ditekan akan menghubungkan PLN dengan timer dan
lampu Indikator, sehingga lampu indikator menyala dan Timer mulai
menghitung. Kontak timer menghubungkan ballast dan hourmeter
dengan PLN sehingga blue Light menyala dan hourmeter menghitung.
Saat waktu tercapai, timer memindahkan kontaknya ke buzzer sehingga
blue Light dan hourmeter mati lalu buzzer menyala (Agistrio, 2019).

2.2.3 Cara Pengoperasian


Agistrio, (2019) menyatakan cara pengoperasian fototerapi adalah
sebagai berikut:
21

a. Hubungkan stekker dengan jala-jala listrik PLN.


b. Tekan tombol ON, maka secara otomatis lampu indikator menyala.
c. Atur setting timer untuk lamanya waktu penyinaran yang diperlukan
(kelipatan 6 jam).
d. Tekan tombol START, maka lampu akan menyala, timer dan
hourmeter juga ikut bekerja.
e. Buzzer akan berbunyi 6 jam sekali ini menandakan posisi bayi harus
diubah.
f. Bila setting waktu telah tercapai secara otomatis lampu akan mati.
g. Tekan tombol OFF dan lepaskan stekker dari jala-jala listrik.

2.2.4 Cara Pemeliharaan Alat


Agistrio, (2019) menyatakan cara pemeliharaan alat fototerapi adalah
sebagai berikut:
a. Tempatkan alat phototeraphy pada tempat yang aman dari
kebocoran air, tempat yang lembab dan lain-lain yang dapat
menimbulkan kegagalan dan membahayakan keselamatan kerja.
b. Jaga kondisi alat yang perlu pengawasan khusus misalnya
mengecek kondisi lampu blue light serta life time dari lampu
tersebut.
c. Perlunya pengecekan komponen pendukung lainnya seperti timer,
hourmeter serta kestabilan tegangan.
d. Setiap pengoperasian alat selesai hendaknya dikondisikan dalam
keadaan off.
e. Jika terjadi kerusakan pada lampu hendaknya pemasangan lampu
menggunakan sarung tangan agar tidak terbentuk bayangan pada
lampu ketika membersihkan alat pastikan alat dalam kondisi off,
seperti kabel power tidak terhubung ke sumber PLN.
f. Lakukan pengecekan pada setiap instalasi listrik maupun kabel
power dari kerusakan.
22

2.2.5 Kalibrasi
Agistrio, (2019) menyatakan tujuan kalibrasi alat fototerapi yaitu untuk
menjamin hasil pengukuran sesuai dengan standar nasional maupun
internasional.
Parameter:
a. Konsentrasi Pencahayaan
b. Suhu
Alat Kalibrator:
a. Phototherapy Radiometer

2.2.6 Perbaikan Alat


Agistrio, (2019) menyatakan cara perbaikan alat fototerapi adalah
sebagai berikut:
a. Lampu tidak menyala
Permasalahannya biasanya pada kabel power, tombol switch dan
fuse.
b. Cahaya lampu
Permasalahanyanya biasanya pada operating hour lampu itu sendiri,
starter dan ballast.
c. Timer tidak berfungsi
Permasalahannya pada supply yang harus terpasang 220 Volt.

2.3 Hasil-Hasil Penelitian Terkait


Hasil penelitian terkait dapat dilihat pada tabel berikut ini:
23

Tabel 2.7
Hasil-Hasil Penelitian Terkait

No. PENELITI JUDUL METODE VARIABEL HASIL


1. Alini, 2019 Hubungan Kuantitatif Blue light Ada hubungan
pemsangan dengan therapi antara
blue light pendekatan Kecemasan pemasangan
therapy Cross Ibu blue light
dengan Sectional. therapy dengan
kecemasan kecemasan ibu
ibu pada bayi
hyperbilirubi
nemia di
RSUD Putri
Husada
Tembilahan
2. Asriyani, Alat terapi Eksperi- Blue Light Sensor pir dan
2018 blue light men Sensor Pir driver relay
menggunakan dapat berfungsi
sensor pir dengan baik
sebagai saklar
otomatis dalam
mematikan dan
menyalakan
lampu blue light
3. Ebbesen, Update on Review Effect Efek buruk lain
2017 phototherapy Literatur Fototerapi fototerapi stres
in jaundiced oksidatif dan
neonates status oksidatif
total di plasma
neonatus,
perubahan pada
membran
eritrosit,
kerusakan DNA
di limfosit
perifer
sementara,
hipertermi.
4. Ketut, 2010 Pemberian Korelasi Fototherapi Ada hubungan
fototerapi Hiperbilirubin yang signifikan
dengan antara tingkat
penurunan lamanya waktu
kadar pemberian
bilirubin fototerapi
dalam darah dengan
pada bayi penurunan kadar
BBLR bilirubin dalam
dengan darah pada
hiperbilirubi BBLR dengan
nemia hiperbilirubine
mia.
24

2.4 Kerangka Teori


Kerangka teori pada penelitian ini digambarkan pada gambar di bawah ini:
Gambar 2.8
Kerangka Teori

Intervensi Utama Hiperbilirubin

Lama Terapi Blue Light


Usia Bayi - < 24 jam
- 25-48 jam
- 49-72 jam
- > 72 jam

Intervensi Pendukung
- Pengukuran TTV
- Observasi derajat Masalah Keperawatan
ikterik

Bilirubin Normal

Sumber : American Academy of Pediatrics (2004), Hidayat (2018),


SIKI (2018)

2.5 Kerangka Konsep


Kerangka konsep dalam penelitian ini digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2.9
Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel dependen

Kadar Bilirubin Total


Awal Sebelum Terapi Lama Terapi Blue Light
Blue Light

Berdasarkan kerangka kerja di atas penulis mengadakan penelitian untuk


mencari hubungan kadar bilirubin total awal dengan lama terapi blue light
25

di Ruang Perinatalogi Rumah Sakit Mardi Waluyo Metro tahun 2021.


Variabel independent yang akan diteliti adalah kadar bilirubin total awal,
sedangkan variabel dependen dalam penelitian ini adalah lama terapi blue
light.

2.6 Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah:
Ha : Ada hubungan kadar bilirubin total awal dengan lama terapi
blue Lightt pada bayi hiperbilirubinemia di Rumah Sakit Mardi
Waluyo Metro.
Ho : Tidak ada hubungan kadar bilirubin total awal dengan lama
terapi blue Lightt pada bayi hiperbilirubinemia di Rumah Sakit
Mardi Waluyo Metro.
26

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian


Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian kuantitatif dengan desain
deskriptif analitik dan pendekatan cross sectional dimana data diambil
secara langsung oleh peneliti. Data diambil dari rekam medis pasien oleh
peneliti untuk mengetahui apakah ada hubungan kadar bilirubin total awal
dengan lama terapi blue light pada bayi hiperbilirubinemia di Rumah Sakit
Mardi Waluyo Metro Lampung.

3.2 Waktu Dan Tempat Penelitian


Penelitian dilakukan pada bayi hiperbilirubinemia di Rumah Sakit Mardi
Waluyo Metro Lampung. Penelitian akan dilakukan pada bulan Juni-Juli
2021.

3.3 Subyek Penelitian


3.3.1 Populasi
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas: obyek/subyek
yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh
peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono,
2013). Populasi dalam penelitian ini adalah semua dengan
hiperbilirubinemia yang diberikan terapi blue light pada bayi
hyperbilirubinemia di Rumah Sakit Mardi Waluyo Metro Lampung tahun
2021. Berdasarkan prasurvei penelitian jumlah neonatus yang di rawat
pada bayi hyperbilirubinemia di dengan terapi blue Light pada tahun
2020 adalah 103 kasus.
Berdasarkan jumlah populasi maka dapat ditentukan jumlah sampel yang
diperlukan dalam penelitian ini. Cara penghitungan sampel untuk
kategori dua populasi menurut Hosmer & Klar dalam Suyanto, 2009
dengan menggunakan rumus:
27

Z ²₁₋ ₐˎ ₂ P(1−P) N
n=
d ²(N−1)+ Z ²₁ ₋ₐˎ ₂ P(1−P)

Keterangan:
d² = Tingkat penyimpangan yang diinginkan (0,05 atau 0,01)
Z ²₁ ₋ₐˎ ₂ = Standar deviasi normal pada derajat kepercayaan

(kemaknaan
95% adalah 1,96)
P = Proporsi sifat populasi misalnya prevalensi, bila tidak
diketahui gunakan 0,5 (50%)
N = Besarnya populasi
n = Besarnya sampel
Sumber: Hosmes dan Klar dalam Suyanto, (2009)

Jika diketahui:
d² = Tingkat penyimpangan yang diinginkan (0,05)
Z ²₁ ₋ₐˎ ₂ = Standar deviasi normal pada derajat kepercayaan

(kemaknaan 95% adalah 1,96)


P = Proporsi sifat populasi misalnya prevalensi, bila tidak
diketahui gunakan 0,5 (50%)
N = 103

Jadi perhitungan jumlah sampelnya adalah sebagai berikut:


Z ²₁₋ ₐˎ ₂ P(1−P) N
n=
d ²(N−1)+ Z ²₁ ₋ₐˎ ₂ P(1−P)
1,96 . 0,5 ( 1−0,5 ) 103
n= 2
0,05 ( 103−1 ) +1,96 .0,5 ( 1−0,5 )
n = 68 sampel

3.3.2 Sampel
Pengambilan sampel penelitian ini menggunakan teknik Simple Random
Sampling, yaitu teknik pengambilan sampel yang dilakukan secara acak
dan digunakan apabila setiap anggota populasi bersifat homogen,
28

sehingga anggota populasi itu mempunyai kesempatan yang sama untuk


diambil sebagai sampel (Notoatmodjo, 2012).
3.4 Variabel Penelitian
Variabel penelitian adalah ciri atau ukuran yang melekat pada obyek
penelitianbaik bersifat fisik (nyata) atau psikis (tidak nyata). Variabel
independent dalam penelitian ini adalah kadar bilirubin total awal,
sedangkan variabel dependen dalam penelitian ini adalah lama terapi blue
Light.

3.5 Definisi Operasional Variabel dan Pengukuran Variabel


Defnisi operasional variabel digunakan untuk membatasi ruang lingkup
penelitian. Definisi operasional dalam penelitian ini yaitu:

Tabel 3.1
Definisi Operasional

Cara Alat
No. Variabel Definisi Hasil Skala
Ukur Ukur
1 Variabel Waktu yang Lembar Mengisi 1. Lama terapi Ordinal
. Dependen: digunakan observasi lembar blue light ≤
Lama terapi untuk observasi 24 jam
blue light pemberian 2. Lama terapi
terapi blue light blue light 25-
pada bayi 48 jam
dengan 3. Lama terapi
hiperbilirubine blue light 49-
mia sampai 72 jam
dinyatakan 4. Lama terapi
sembuh oleh blue light >
DPJP (Dokter 72 jam
Penanggung
Jawab
Pelayanan)

2 Variabel Pengukuran Lembar Mengisi 1. Risiko tinggi Ordinal


. Independen: total bilirubin observasi lembar 2. Risiko
Kadar direk dan observasi menengah
bilirubin indirek yang
total awal dilakukan
pertama kali
saat bayi
didiagnosis
hiperbilirubine
mia sebelum
dilakukan terapi
blue Light.
29

3.6 Etika Penelitian


Menurut Notoatmodjo (2012) Penelitian kesehatan pada umumnya dan
penelitian kesehatan masyarakat pada khususnya menggunakan manusia
sebagai obyek yang diteliti di satu sisi, dan sisi yang lain manusia sebagai
peneliti atau yang melakukan penelitian. Oleh sebab itu harus sesuai
dengan prinsip etika atau moral yang sudah ditetapkan, maka dalam
pelaksanaan penelitian kesehatan khususnya harus diperhatikan hubungan
antra kedua belah pihak ini secara etika, atau yang disebut etika penelitian.
Beberapa etik penelitian yang harus diperhatikan dan dipenuhi oleh
peneliti apabila repondennya manusia adalah: harkat dan martabat (respect
to people), berbuat baik (beneficience) dan tidak merugikan (non-
maleficence), keadilan (justice). Secara rinci hak-hak responden adalah
sebagai berikut:
3.6.1 Respect to People (Menghargai Harkat dan Martabat Manusia)
Proses pengambilan data penelitian ini menghargai harkat dan
martabat responden yang dilakukan dengan cara: Menjelaskan maksud
dan tujuan penelitian, meminta ijin dari orang tua kandung untuk
bersedia menjadi responden penelitian. Ketika ingin meminta ijin,
peneliti mempertimbangkan kondisi responden, peneliti memberikan
waktu sampai responden bersedia untuk berkomunikasi. Apabila orang
tua bayi menolak sebagai responden, peneliti tidak memaksa mereka.
Masalah etik perlu dicegah dengan melakukan penekanan masalah etik
yaitu dengan cara menghormati harkat dan martabat manusia,
menghormati kerahasiaan responden penelitian dan memperhitungkan
manfaat dan kerugian yang ditimbulkan pada saat penelitian, sesuai
norma etika (Sastroasmoro & Ismael, 2016).
3.6.2 Beneficience (Berbuat Baik)
Penelitian ini memberikan manfaat kepada responden secara tidak
langsung atau tidak saat pengumpulan data. Hasil jawaban responden
memberikan gambaran keadaan proses terapi blue light secara nyata,
30

sehingga data yang diambil menjadi masukan untuk peningkatan


kualitas pelayanan pada neonatus. Manfaat dari penelitian ini adalah
meningkatkan keterampilan SDM dalam perawatan neonatus dengan
hyperbilirubinemia dan dapat melakukan perbaikan pendokumentasian
tindakan observasi pada neonatus yang diberikan pemasangan blue
light serta mampu memodifikasi dengan intervensi keperawatan agar
waktu yang diperlukan untuk terapi blue light tidak terlalu lama. Tidak
ada kerugian yang ditimbulkan dari penelitian ini dan tidak
mempengaruhi pemberian pelayanan medis kepada pasien.
3.6.3 Justice (Keadilan)
Peneliti tidak membeda-bedakan perlakuan terhap responden
ketika pengumpulan data. Menghormati keberadaan sebagai umat
manusia (respect for human dignity) merupakan hal yang penting dalam
suatu penelitian. Penelitian ini memberikan kebebasan kepada orang tua
kandung calon responden untuk ikut terlibat dalam penelitian atau
menolak ikut dengan alasan apapun. Orang tua kandung responden juga
memiliki hak untuk berhenti sebagai resonden pada saat proses
penelitian berlangsung. Orang tua kandung responden yang bersedia
setelah mendapatkan informasi menandatangani informed consent
sebagai pernyataan bersedia sebagai responden. Menghormati
kerahasiaan subjek (respect for privacy and confidentiality). Peneliti
mengisi nama responden dengan inisial. Pada saat pengisian, peneliti
menggunakan kode mulai R1 untuk responden 1 dan seterusnya.
.
2.7 Uji Instrumen
Menurut Wiranata (2014), validitas dan reliabilitas dilakukan sebelum
penelitian. Dalam validitas dan reliabilitas instrument ini digunakan
sebagai panduan dalam membuat kuesioner.
2.7.1 Uji Validitas
Menurut Notoatmodjo (2012), untuk uji validitas kuesioner minimal
dilakukan agar diperoleh distribusi nilai hasil pengukuran mendekati
normal. Responden yang digunakan uji coba sebaiknya memiliki ciri-
31

ciri responden yang sama dari tempat dimana penelitian tersebut harus
dilaksanakan. Agar diperoleh distribusi nilai hasil pengukuran
mendekati normal maka sebaiknya jumlah responden untuk uji coba
paling sedikit 30 responden. Pada penelitian ini tidak dilakukan uji
validitas dikarenakan instrumen yang dipakai adalah kuesioner yang
berisikan isian sederhana.

2.7.2 Uji Reliabilitas


Reabilitas ialah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat
pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Hal ini berarti
menunjukkan sejauh mana hasil pengukuran itu tetap konsiten atau
tetap (asas ajeg) bila dilakukan pengukuran dua kali atau lebih terhadap
gejala yang sama, dengan menggunakan alat ukur yang sama
(Notoatmodjo, 2012).

2.8 Pengumpulan Data Instrumen Dan Teknik Pengumpulan Data


Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data
sekunder. Sumber sekunder merupkan sumber yang tidak langsung
memberikan data kepada pengumpul data, misalnya lewat orang lain atau
lewat dokumen (Sugiyono, 2016). Pengumpulan data untuk variabel
independen dan variabel dependen yaitu kadar bilirubin total awal dan
lama terapi blue light menggunakan kuesioner yang berisi daftar isian
sederhana yang disiapkan oleh peneliti. Setelah peneliti mendapatkan izin
untuk pengambilan data penelitian dari Rumah Sakit Mardi Waluyo, maka
peneliti akan meminta daftar pasien neonatus dengan dignosis medis
hiperbilirubinemia tahun 2020 dengan jumlah yang sesuai perhitungan
sampel. Langkah-langkah dalam pengumpulan data yaitu:
a. Memberikan penjelasan kepada Penanggung Jawab Rekam Medis
Pasien RS Mardi Waluyo tentang tujuan penelitian, manfaat dan cara
pengumpulan data yang akan dilakukan oleh peneliti.
32

b. Mengikuti semua prosedur yang dipersyaratkan oleh Penanggung


Jawab Rekam Medis Pasien RS Mardi Waluyo terkait proses
pengambilan data rekam medis.
c. Mencatat semua data yang diperlukan oleh peneliti ke lembar
pengumpulan data yang disiapkan oleh peneliti.
d. Peneliti berkomitmen untuk tidak memfoto data rekam medis pasien,
tidak membawa pulang atau mengcopy rekam medis pasien dan
langsung mengembalikan rekam medis pasien setelah selesai
pengambilan data.
e. Mencatat temuan variabel pada lembar observasi.

3.9 Pengolahan Data


Setelah data terkumpul dari hasil pengisian kuesioner maka data tersebut
diolah dengan cara:
3.9.1 Editing
Data yang diperoleh atau dikumpulkan melalui kuesioner perlu
disunting (edit) terlebih dahulu. Kalau ternyata masih ada data atau
informasi yang tidak lengkap, dan tidak mungkin dilakukan
pengumpulan data ulang, maka kuesioner tersebut (drop out) atau
dikeluarkan (Notoatmodjo, 2012).

3.9.2 Membuat Lembar Kode (Coding Sheet)


Setelah semua kuesioner diedit atau disunting, selanjutnya dilakukan
pengkodean atau “coding”, yaitu mengubah data berbentuk kalimat atau
huruf menjadi data angka atau bilangan (Notoatmodjo, 2012). Peneliti
memberikan kode pada setiap variabel. Kode A untuk identitas
responden meliputi tanggal lahir, jenis kelamin, usia gestasi dan berat
badan lahir. Kode B untuk bilirubin total awal meliputi jenis
pemeriksaan, hari/tanggal pemeriksaan, jam pemeriksaan, nilai bilirubin
total awal (direk dan indirek). Kode C untuk panduan observasi terapi
blue light yang isinya spesifikasi fototerapi meliputi jenis lampu, jarak
33

lampu, intensitas cahaya dan luas daerah yang terpapar. Bagian


selanjutnya lembar pelaksanaan terapi blue light.

3.9.3 Memasukkan Data (Data Entry) atau Procecing


Setelah semua kuesioner terisi penuh dan benar, maka langkah
selanjutnya adalah memproses data agar data yang sudah dientri dapat
dianalisis. Data, yakni jawaban-jawaban dari masing-masing responden
yang dalam bentuk “kode” dimasukkan kedalam tabel tabulasi data dan
diproses dengan “softwere” komputer (Notoatmodjo, 2012).

3.9.4 Pembersihan Data (Cleaning)


Apabila semua data dari setiap sumber data atau responden selesai
dimasukkan, perlu dicek kembali untuk melihat kemungkinan-
kemungkinan adanya kesalahan-kesalahan kode, ketidaklengkapan dan
sebagainya, kemudian dilakukan pembetulan atau koreksi
(Notoatmodjo, 2012).

3.9.5 Analisis Data


Setelah data terkumpul dan diolah, selanjutnya dilakukan analisa
data. Analisa data dilakukan dengan teknik analisis univariat dan
bivariat. Analisis univariat digunakan untuk menjelaskan atau
mendeskripsikan karakteristik setiap variabel penelitian, diantaranya
menggunakan distribusi frekuensi. Analisa bivariat dilakukan terhadap
dua variabel yang diduga berhubungan atau berkorelasi (Notoatmodjo,
2012).
1. Analisa Univarit
Analisa univariat digunakan untuk melihat distribusi frekuensi
responden serta untuk mencari prosentase dari variabel dependen
dan independen. Dalam hal ini, analisis univariat digunakan untuk
mencari distribusi frekuensi karakteristik responden berdasarkan
tanggal lahir, jenis kelamin, usia gestasi dan berat badan lahir.
34

Analisis univariat juga digunakan untuk memaparkan data tentang


spesifikasi fototerapi meliputi jenis lampu, jarak lampu, intensitas
cahaya dan luas daerah yang terpapar.

2. Analisa Bivariat
Analisa bivariat digunakan untuk mengetahui ada tidaknya
hubungan dari kedua variabel independen dan variabel dependen
dengan menggunakan uji statistik. Pada penelitian ini, analisa
bivariat digunakan untuk menguji apakah ada hubungan variabel
kadar bilirubin total awal dengan lama terapi blue light pada
neonatus. Uji statistik yang digunakan adalah chi squere dengan
tabel 2 x 4. Tingkat kepercayaan/kemaknaan adalah 95% dengan
menghubungkan antara dua variabel yang diperoleh kemudian
dibandingkan dengan nilai α = 0,05. Apabila p value > 0,05 maka
tidak ada hubungan antara variabel independen dengan variabel
dependen dan apabila p value ≤ 0,05 maka terdapat hubungan
antara variabel independen dan variabel dependen.
Rumus Chi squere:
( f −fh ) ²
x² = Σ ̥
fh
Keterangan:
x² : Hasil hitung
f̥ : Frekuensi yang diperoleh berdasarkan data
fh : Frekuensi yang diharapkan dalam sampel sebagai pencerminan
dari frekuensi yang diharapkan dalam populasi

Anda mungkin juga menyukai