Telemedicine menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 20 Tahun 2019 tentang
“Penyelenggaraan Pelayanan Telemedicine Antar Fasilitas Pelayanan Kesehatan” merupakan
pemberian pelayanan kesehatan jarak jauh oleh profesional kesehatan dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi, meliputi pertukaran informasi diagnosis, pengobatan, pencegahan penyakit dan cedera, penelitian dan evaluasi, dan pendidikan berkelanjutan penyedia layanan kesehatan untuk kepentingan peningkatan kesehatan individu dan masyarakat (Permenkes, 2019).1 Penerapan telemedicine di Indonesia berpedoman pada 3 peraturan perundang-undangan, yaitu : 1) Permenkes No. 20 Tahun 2019 Peraturan ini mengatur penyelenggaraan pelayanan telemedicine antar fasilitas pelayanan kesehatan dimulai dari jenis pelayanan yang diberikan, biaya, hak dan kewajiban antara fasilitas pelayanan kesehatan yang meminta konsultasi dan memberikan konsultasi, pendanaan dari pelayanan telemedicine yang diberikan, dan pembinaan serta pengawasan. 2) Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 74 Tahun 2020 Tentang Kewenangan Klinis Dan Praktik Kedokteran Melalui Telemedicine Pada Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) di Indonesia. 3) Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/4829/2021 Tentang Pedoman Pelayanan Kesehatan Melalui Telemedicine Pada Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Peraturan ini mengatur mengenai telemedicine secara khusus selama masa pandemi COVID-19.2
1. Konsep Permintaan Digitalisasi Pelayanan Kesehatan / Telemedicine
Penerapan telemedicine di Indonesia masih tergolong baru. Pada tahun 2016, aplikasi- aplikasi telemedicine bermunculan dan mulai berkembang. Namun, telemedicine mulai dikenal masyarakat Indonesia pada saat pandemi Covid-19. Selama pandemi terjadi peningkatan minat dan kebutuhan masyarakat Indonesia terhadap layanan telemedicine.2 Hal itu terlihat pada tahun 2020 terjadi lonjakan kunjungan ke aplikasi telemedicine hingga 600% dari sebelum adanya pandemi.3 Peningkatan ini terjadi diantaranya karena banyak masyarakat yang ingin berobat namun sejak diterapkan protokol pencegahan penularan virus Covid-19, yaitu physical distancing membuat aktivitas sehari-hari masyakat terbatas tak terkecuali di bidang layanan kesehatan, sehingga masyarakat tidak dapat datang secara langsung ke pelayanan kesehatan.4 Pandemi telah mendorong pertumbuhan aplikasi telemedicine, seperti HaloDoc mengalami peningkatan penggunaan sebesar 101 persen pada Maret 2020 dibandingkan rata-rata sepanjang tahun 2019.5 Sejumlah fasilitas kesehatan milik pemerintah pun ikut beralih ke flatform online.4 Kemenkes juga telah bekerja sama dengan 17 platform telemedicine, yaitu Aido Health, Alodokter, GetWell, Good Doctor, Halodoc, Homecare24, KlikDokter, KlinikGo, Lekasehat, LinkSehat, Mdoc, Milvik Dokter, ProSehat, SehatQ, Trustmedis, Vascular Indonesia, YesDok.6 Setelah pandemi berakhir, aktivitas sehari-hari sudah mulai berjalan kembali, begitupun dengan karyawan mulai bekerja secara offline. Namun, pelayanan pengobatan melalui telemedicine tetap diminati. Sebagaimana survei yang dilakukan oleh perusahaan konsultan sumber daya manusia dan jasa keuangan global, Mercer, terhadap lebih dari 14.000 karyawan di seluruh dunia menunjukkan bahwa salah satu tren kesehatan yang diinginkan karyawan adalah akses ke layanan kesehatan digital. 7 Selain itu, di Amerika Serikat, McKinsey memaparkan bahwa penggunaan telehealth bertahan pada level 38 kali lebih tinggi dibandingkan sebelum pandemi. Sementara itu, di Indonesia berbagai startup, penyedia layanan yakin bahwa jasanya akan tetap diminati, sehingga startup memiliki rencana untuk melakukan ekspansi.2 Investasi teknologi kesehatan digital di Indonesia cukup baik, dimana terjadi pertumbuhan yang pesat dan menjadi yang tercepat dalam penerobosan dan penggunaan internet di Asia Tenggara. Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia, dengan demografis yang sangat muda, siap menjadi pasar terbesar untuk produk berbasis teknologi, termasuk aplikasi digital. Sebagai negara kepulauan, akses obat-obatan yang buruk di daerah terpencil membuka peluang bagi kesehatan digital, termasuk telemedicine.5 Telemedicine berpotensi mengatasi berbagai masalah layanan kesehatan dan merevolusi kesehatan masyarakat Indonesia. Masalah utama terkait pelayanan kesehatan di Indonesia adalah jumlah dokter yang masih terbatas dan persebarannya yang belum merata. Selain itu, harga yang lebih terjangkau membuat semakin banyak masyarakat yang dapat menikmati layanan melalui telemedicine.3 Sebagai salah satu platform telemedicine terbesar di Indonesia, Good Doctor memaparkan jika mengunjungi rumah sakit secara offline dapat mengeluarkan biaya untuk dokter dan obat-obatan sekitar Rp.404.805, sedangkan dengan menggunakan jasa telemedicine, seperti Good Doctor hanya perlu mengeluarkan biaya sebesar Rp.109.936. 8 Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Caraka dan Jeanne mengenai niat penggunaan berkelanjutan telemedicine pasca pandemi terhadap 224 responden dapat disimpulkan bahwa semakin berkualitas layanan telemedicine dengan biaya moneter yang sesuai, layanan tersebut dapat diterima oleh pelanggan dan memiliki pengaruh positif terhadap niat penggunaan berkelanjutan telemedicine pasca pandemi Covid-19.9 Kearney melakukan studi pasar terhadap lebih dari 1.000 konsumen Indonesia di berbagai segmen pelanggan untuk mendapatkan wawasan langsung tentang masalah dan kebutuhan perawatan kesehatan para konsumen. Studi ini berfokus pada faktor utama dalam penggunaan aplikasi kesehatan digital, dimana konsumen yang menyetujui bahwa terdapat kemudahan penggunaan sebesar 20,3%, biaya layanan 18,9%, dan kualitas diagnosis kesehatan 18,8% adalah hal yang paling relevan. Sementara itu, sekitar 15,4% konsumen menggunakan aplikasi kesehatan untuk terhubung dengan dokter yang terpercaya, 12,4% untuk konsultasi spesialisasi, dan kurang dari 8% menganggap fitur seperti tips kesehatan dan kebugaran, penyimpanan catatan medis, dan pengingat obat-obatan sebagai aspek yang penting. Penyedia layanan yang berpikiran maju melihat perlu adanya inovasi untuk mengadakan berbagai dimensi dalam hal biaya, kualitas diagnostik, dokter yang dapat dipercaya, dan konsultasi khusus. Aplikasi kesehatan yang hanya melihat pasar yang homogen akan mengalami kegagalan, sedangkan aplikasi yang menghargai nuansa pasar akan memenuhi kebutuhan di seluruh segmen konsumen.5 Dengan demikian, untuk meningkatkan penggunaan telemedicine, penyedia layanan harus terus berupaya meningkatkan kualitas layanannya, sehingga para pengguna merasa nyaman dan terlayani dengan baik. Tidak menutup kemungkinan pun akan semakin banyak dokter yang menyediakan jasanya melalui telemedicine dan semakin banyak masyarakat yang menggunakannya sehingga mendukung perkembangan layanan ini. Namun, masih ada beberapa tantangan yang harus dihadapi oleh penyedia layanan telemedicine, salah satunya yaitu belum meratanya akses internet di Indonesia, sehingga sejumlah wilayah belum dapat menikmati layanan ini.3