Anda di halaman 1dari 30

POPULASI KHUSUS OBESITAS DAN EATING DISORDER

MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Karakteristik dan Kompetensi
Individu Populasi Khusus yang diampu oleh:
Dr. Mamat Supriatna, M.Pd
Nadia Aulia Nadhirah, M.Pd

Disusun oleh Kelompok :


Muhammad Iqbal Aliyudin 2108324

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2022
KATA PENGANTAR

Puji serta syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, Allah
SWT. karena atas berkat rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah
dengan judul “Populasi Khusus Obesitas Dan Eating Disorder” dengan baik dan tepat
waktu.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada dosen pengampu mata kuliah
Strategi Pembelajaran Berbasis Bimbingan yakni Dr. Mamat Supriatna , M.Pd dan
Nadia Aulia Nadhirah, M.Pd. yang telah membimbing kami sedari awal penulisan
makalah ini sampai akhirnya kami menyelesaikan makalah dengan baik dan tepat
waktu.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk
itu, kami mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk perbaikan makalah
ini. Kami berharap makalah ini memiliki manfaat bagi siapapun yang membacanya.

Bandung, September 2022

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................
DAFTAR ISI..............................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................
A. Latar Belakang.................................................................................................
BAB II KAJIAN PUSTAKA.......................................................................................
A. Deskripsi Obesitas............................................................................................
B. Etiologi Obesitas...............................................................................................
C. Ilustrasi Obesitas..............................................................................................
D. Perlakuan Obesitas.........................................................................................
E. Deskripsi Eating Disorder...............................................................................
F. Etiologi Eating Disorder.................................................................................
G. Ilustrasi Eating Disorder.............................................................................
H. Perlakuan Eating Disorder.........................................................................
BAB III PEMBAHASAN..........................................................................................
A. Deskripsi Obesitas..........................................................................................
B. Etiologi Obesitas.............................................................................................
C. Iliustrasi Obesitas...........................................................................................
D. Perlakuan Obesitas.........................................................................................
E.Deskripsi Eating Disorder..................................................................................
F. Etiologi Eating Disorder....................................................................................
G. Ilustrasi Eating Disorder..................................................................................
H.Penangangan Eating Disorder...........................................................................
1. Cognitive behavioral therapy/terapi kognitif dan perilaku (CBT).........................
3. Interpersonal psychotherapy/terapi interpersonal (IPT).......................................
BAB IV PENUTUPAN.............................................................................................
A. Kesimpulan....................................................................................................
B. Saran..............................................................................................................

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia memerlukan makan untuk bisa tetap hidup sehat, makanan sehat
dibutuhkan tubuh untuk menjaga fungsi organ dan memastikan kinerjanya.
Secara umum, jenis makanan yang tergolong dalam kelompok makanan sehat
mengandung berbagai nutrisi. Syarat makanan yang sehat (4 sehat 5 sempurna),
yaitu bersih, memiliki gizi yang baik dan seimbang. Keseimbangan makanan
sehat adalah makanan yang memiliki kandungan karbohidrat, protein, lemak, dan
vitamin. Asupan nutrisi untuk tubuh bisa didapat dari beragam jenis makanan
sehat, tidak terbatas pada satu jenis saja. Bahkan, disarankan untuk mengonsumsi
ragam menu untuk menunjang pertumbuhan dan perkembangan tubuh.
Mengonsumsi berbagai jenis makanan bisa memberikan nutrisi yang berbeda,
sehingga gizi yang diperlukan oleh tubuh bisa terpenuhi. Di Indonesia ada
sebuah permasalahan kelebihan gizi yaitu obesitas.
Obesitas disebabkan oleh ketidakseimbangan antara jumlah energi yang
masuk dengan yang dibutuhkan oleh tubuh untuk berbagai fungsi biologis seperti
pertumbuhan fisik, perkembangan, aktivitas, pemeliharaan kesehatan (Jahari,
2004). Di Indonesia hingga kini obesitas, khususnya pada balita terus melonjak
dua kali lipat pada bayi usia 0-5 bulan 23,2%, usia 6-12 bulan 19,1% dan mulai
menurun 15,7% pada bayi usia 6-11 bulan (Riskesdas, 2007). Diikuti
peningkatan prevalensi pemberian susu formula 74,0% pada bayi usia 0-5 bulan
dengan karakteristik responden 82,3% di daerah perkotaan dan 59,3% di daerah
pedesaan (Riskesdas, 2010). Obesitas ini cukup berbahaya karena dapat
menimbulkan penyakit seperti jantung penyumbatan pembuluh darah dan lain-
lain. Selain itu, obesitas pada anak usia 6-7 tahun juga dapat menurunkan tingkat
kecerdasan karena aktivitas dan kreativitas anak menjadi menurun dan cenderung
malas akibat kelebihan berat badan (Sjarif, 2003).
Selain masalah obesitas terdapat masalah gizi lainnya yaitu eating disorder
(gangguan makan). Gangguan makan merupakan penyakit mental yang

4
memengaruhi kebiasaan makan. Gangguan makan, seperti anorexia nervosa
(AN) dan bulimia nervosa (BN), merupakan penyakit kronis yang didefinisikan
sebagai gangguan perilaku makan atau perilaku dalam mengkontrol berat badan.
Sejak 1980-an, terjadi peningkatan prevalensi gangguan makan dalam populasi
Asia. Di Indonesia, 12-22% wanita berusia 15-29 tahun menderita defisiensi
energi kronis (IMT). Eating disorders ini cukup beresiko karena dapat
mempengaruhi kemampuan tubuh untuk mendapatkan nutrisi yang dibutuhkan.
Apabila terjadi dalam jangka panjang, kondisi ini dapat membahayakan organ
tubuh seperti jantung, tulang, sistem pencernaan, bahkan dapat mengancam jiwa.
Karena begitu beresiko baik obesitas maupun gangguan makan, maka di makalah
ini akan membahas mengenai deskripsi sampai penanganan untuk penderita
obesitas dan penderita gangguan makan
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Deskripsi Obesitas
Makan berlebihan adalah masalah yang umum terjadi pada semua usia.
Sebagai seorang konselor menangani berbagai masalah emosional, ia akan segera
dihadapkan dengan anak-anak dan orang dewasa yang menderita makan
berlebihan dan obesitas yang diakibatkannya masalah kegemukan jarang
ditemukan tanpa disertai gejala.
Banyak orang gemuk, misalnya, menderita kekurangan energi dan vitalitas
fisik. Orang yang kelebihan berat badan sering murung, dengan beberapa
perasaan depresi. Bertentangan dengan stereotip individu gemuk sebagai periang
dan bahagia, kebanyakan orang yang kelebihan berat badan justru sebaliknya.
Banyak individu yang secara konsisten makan berlebihan juga menunjukkan
kurangnya perhatian terhadap penampilan fisik mereka. Beberapa wanita yang
kelebihan berat badan, misalnya, berpakaian sangat tidak rapi dan kurang
berminat untuk menjadi rapi dan terawat.
Obesitas sering membawa kesulitan penyesuaian lainnya. Individu yang
kelebihan berat badan sering merasa malu dengan penampilan fisiknya dan

5
karena itu gagal untuk mengambil bagian dalam kegiatan kelompok. Memiliki
konsep diri yang rendah dan penampilan fisik yang buruk, dia sering memiliki
sedikit teman dekat. Gadis SMA yang kelebihan berat badan, misalnya, merasa
tidak pada tempatnya dalam banyak kegiatan sosial. Anak laki-laki remaja yang
gemuk biasanya tidak dapat berpartisipasi dalam kegiatan atletik. Karena
keterbatasan ini, hubungan sosial menjadi cacat serius,

B. Etiologi Obesitas
Penyebab makan berlebihan adalah banyak. Beberapa masalah fisik seperti
gangguan hormonal dan metabolisme Pola makan dan nutrisi yang tidak tepat
adalah faktor penyebab fisik lainnya. Jadwal harian yang menuntut kerja
berlebihan tanpa olahraga yang cukup juga dapat menyebabkan makan
berlebihan.Namun, dalam sebagian besar kasus kelebihan berat badan, sumber
kesulitannya dapat ditelusuri dari faktor emosional. Anak laki-laki yang
kekurangan emosi dapat beralih ke makan untuk memenuhi kebutuhannya akan
cinta dan kasih sayang. Merasa tidak dicintai dan tidak diperhatikan, beberapa
individu mengganti kesenangan yang diperoleh dari makan dengan kepuasan
emosional cinta dan penerimaan yang dibutuhkan. Memiliki kebutuhan cinta yang
sangat kuat, orang tersebut secara simbolis menggantikan kebutuhan ini dengan
makan berlebihan. Studi penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar anak
obesitas tidak ingin.
Ibu dari anak-anak seperti itu. mungkin bereaksi dengan salah satu dari dua
cara: Beberapa secara terang-terangan menolak anak dengan mengkritik.
mengutuk dan gagal menunjukkan kasih sayang. Dalam kasus ini anak mungkin
dipaksa untuk makan sebagai ukuran pengganti untuk mendapatkan beberapa
perasaan senang dan puas. Ibu-ibu lain dengan perasaan permusuhan dan
penolakan yang kuat terhadap anak-anak mereka bereaksi secara berlebihan.
Bukannya langsung mengungkapkan perasaan penolakannya, ibu ini. mencoba
untuk menyembunyikan ketidaksenangannya dengan anak dengan menjadi terlalu
memanjakan dan terlalu banyak menuntut. Sang ibu menolak untuk membiarkan

6
anaknya tumbuh dewasa. Dia terus memperlakukannya sebagai bayi dan
memenuhi setiap kebutuhannya. Dia mencurahkan makanan kepadanya dalam
upaya untuk menunjukkan cintanya dan menutupi perasaan permusuhannya.
Dalam situasi ini anak sering bereaksi dengan mengambil semua kemungkinan
makanan yang ditawarkan oleh ibu dalam upaya untuk tetap dalam rahmat
baiknya. Dengan makan, anak menuruti keinginan ibu dan dengan demikian
mendapatkan persetujuannya. Pola perilaku ibu di atas menunjukkan dua
dinamika umum dalam makan berlebihan. Dalam kasus orang tua yang menolak
secara terbuka, anak makan untuk mengimbangi kebutuhan emosional yang tidak
terpenuhi. Menanggapi ibu yang terlalu menuntut, anak tersebut berusaha untuk
mendapatkan persetujuan sewa pa.
Perasaan permusuhan mendasari beberapa contoh makan berlebihan. Ketika
seseorang (khususnya seorang remaja) memiliki perasaan permusuhan yang kuat
terhadap orang tua, dia mungkin beralih ke makan berlebihan sebagai cara untuk
menghukum orang tua. Tipe orang ini sering takut untuk secara terbuka tidak
setuju dengan orang tua atau mengungkapkan perasaan permusuhannya. Dia tahu,
bagaimanapun, bahwa orang tua akan marah dengan makan berlebihan dan
obesitas. Remaja kemudian dapat memilih metode ini untuk mengungkapkan
permusuhan terhadap orang tuanya.
Konsep diri yang sangat tidak memadai adalah umum di antara individu yang
kelebihan berat badan. Orang-orang ini sering merasa tidak layak untuk dicintai
dan diterima dan secara tidak sadar didorong untuk makan berlebihan untuk
membuktikan pada diri mereka sendiri ketidaklayakan ini. Pada awalnya tampak
aneh bahwa seseorang secara tidak sadar akan berusaha untuk membuktikan
ketidaklayakan palathologinya sendiri, tetapi orang dengan konsep diri yang
rendah sering merasa dia membutuhkan hukuman dan penolakan dan dengan
demikian memperumit dirinya sendiri.
Dalam sejumlah kasus obesitas, penyebab dasarnya adalah gangguan
psikofisiologis. Orang normal, ketika ditempatkan dalam situasi stres, mampu
mengungkapkan konfliknya secara verbal atau terlibat dalam beberapa aktivitas

7
fisik untuk melepaskan ketegangan. Beberapa individu, bagaimanapun, takut
mengungkapkan perasaan mereka. Ketika menghadapi frustrasi dan konflik,
mereka tidak mampu melepaskan ketegangan yang menumpuk. Ketika pola reaksi
ini berlanjut, ketegangan yang ditolak ekspresi verbal atau emosional mencari
pelepasan melalui sumber-sumber fisik dan fungsi efektif suatu organ dapat
terhambat.
Beberapa orang beralih ke makan berlebihan sebagai cara yang tidak disadari
untuk menghindari keterlibatan dengan lawan jenis. Ketika seorang gadis
menyimpan perasaan permusuhan yang kuat terhadap pria atau sangat takut akan
keterlibatan seksual, salah satu cara terbaik untuk menghindari keterlibatan
dengan seorang pria adalah dengan membuat dirinya begitu tidak menarik
sehingga pria tidak akan menginginkan kenalannya. Dengan cara ini obesitas
melayani kebutuhan emosional untuk menghindari hubungan dekat dengan lawan
jenis. Dalam beberapa kasus, dinamika ini juga dikaitkan dengan hubungan orang
tua yang terlalu bergantung. Seorang wanita muda berusia awal dua puluhan,
misalnya, mungkin memiliki keterikatan yang sangat kuat dengan ibunya. Tidak
ingin untuk meninggalkan hubungan ini melalui kemungkinan pernikahan, dia
makan berlebihan untuk mengurangi kemungkinan seseorang akan berkencan
dengannya dan berusaha mengambilnya dari ibunya.
C. Ilustrasi Obesitas
Identifikasi: Wanita Amerika Latin, usia 26
Masalah Penyajian: Wanita muda ini dirujuk untuk perawatan psikologis oleh
dokter medisnya yang tidak menemukan penyebab fisik dari makan berlebihan.
Riwayat Pribadi dan Keluarga: Mata pelajaran ini adalah anak kedua dari dua
bersaudara yang lahir dari keluarga kelas atas. Ayahnya adalah seorang eksekutif
bisnis dan ibunya aktif dalam urusan sosial masyarakat. Kakak laki-laki subjek
memiliki gangguan emosional yang serius dan telah berurusan dengan polisi
karena pencurian dan perilaku antisosial lainnya.
Selama terapi wanita ini mulai mendiskusikan pengalaman masa kecilnya, Dia
melaporkan bahwa ayahnya bekerja berjam-jam dan ibunya sangat sibuk dengan

8
kegiatan gereja dan sosial sehingga dia menghabiskan sedikit waktu dengan anak-
anak. Subjek menyatakan bahwa dia kelebihan berat badan "selama yang saya
ingat." Sebuah pertanyaan menarik oleh terapisnya memberikan banyak wawasan
tentang penyebab makan kompulsifnya. Selama wawancara ketiga, konselor
meminta wanita itu untuk melakukan beberapa "pekerjaan rumah selama
seminggu." Dia memintanya untuk membuat daftar saat-saat ketika dia
tampaknya memiliki keinginan khusus untuk makan. Ketika kejadian-kejadian
tersebut dibahas pada sesi berikutnya, terlihat bahwa keinginannya untuk makan
menjadi lebih besar ketika dia berada dalam situasi frustasi atau pernah
mengalami penolakan dari seorang teman. Suatu hari, misalnya, suaminya
menjadi marah dan menyerbu keluar rumah. Setelah beberapa saat menangis dia
segera pergi ke lemari es untuk menggantikan kesenangan yang terkait dengan
makan untuk kebutuhan emosional suaminya telah gagal untuk bertemu. Di lain
waktu, subjek merasakan keinginan yang kuat untuk makan setelah dia ditegur
oleh atasannya karena kualitas pekerjaan yang buruk pada pekerjaan paruh
waktunya.

D. Perlakuan Obesitas
Pertimbangan pertama dalam menangani orang yang kelebihan berat badan
haruslah pemeriksaan fisik. Meskipun gangguan hormon dan metabolisme tidak
ditemukan memainkan peran penyebab dalam sebagian besar kasus, penting
bahwa kemungkinan ini dikesampingkan sebelum mencoba psikoterapi. Jika
seseorang menderita masalah hormonal yang serius, terapi konseling berbulan-
bulan tidak akan meringankan gejalanya.
Dalam beberapa kasus, ist khusus medis akan meresepkan obat untuk
meredakan nafsu makan yang berlebihan. Meskipun ini saja umumnya tidak
efektif, ketika dikombinasikan dengan wawasan tentang penyebab makan
berlebihan seseorang, ini adalah tambahan yang bermanfaat untuk terapi.

9
Setelah pertimbangan-pertimbangan fisik telah ditangani, konselor harus
memulai program terapi yang diarahkan pada pemahaman dan penyelesaian
konflik-konflik dasar yang menyebabkan orang tersebut beralih ke makan
berlebihan. Masalah-masalah praktis, seperti mengatur jadwal seseorang untuk
menghindari kerja yang berlebihan dan berolahraga yang cukup, harus ditangani.
Substitusi makanan dengan nilai kalori yang rendah juga penting. Dinamika
seperti substitusi kepuasan makanan untuk dukungan emosional, atau hubungan
permusuhan dengan makan berlebihan perlu dieksplorasi dan diselesaikan.
Kebutuhan emosional yang tidak terpenuhi dari subjek harus
dipertimbangkan. Penyebab kekurangan emosional seseorang dan efeknya pada
penyesuaian kepribadiannya adalah yang paling penting. Ketika klien mulai
mendapatkan wawasan tentang perilakunya, konselor dapat membawanya ke
dalam pemahaman spiritual yang akan mengisi kekosongan emosional. Kasih
Tuhan dan pengetahuan.
Penyediaan-Nya setiap hari menawarkan kenyamanan dan keamanan yang
nyata yang tidak dapat diwujudkan di luar Kristus. Ketika seorang anak kelebihan
berat badan, konselor dapat membantu orang tua belajar untuk memenuhi
kebutuhan emosional dan juga kebutuhan fisiknya. Jika anak kurang cinta dan
kasih sayang, kebutuhan ini harus disediakan. Jika ia tidak memiliki hubungan
sosial yang memadai dengan teman sebaya, ia harus dibantu dalam
mengembangkan keterampilan antar pribadi.
Anak yang memiliki perasaan tidak mampu dan rendah diri membutuhkan
banyak bantuan untuk mengatasi perasaan-perasaan yang mengganggu mentalnya
ini. Dia harus dipuaskan dan didorong oleh orang tuanya. Mereka harus
memberikan tugas-tugas yang sesuai dengan tingkat perkembangannya dan
melihat bahwa ia memiliki minat yang luas. Rasa pencapaian dan dorongan yang
baru ini akan membantunya dalam mengatasi perasaan rendah diri yang
merupakan dasar dari makannya yang berlebihan.

10
E. Deskripsi Eating Disorder
Anoreksi nervosa adalah gangguan yang ditandai dengan hilangnya nafsu
makan. Individu yang menderita penyakit ini seringkali mengatakan “saya tidak
lapar”, “saya tidak ingin makan”, dan berbagai kalimat serupa yang memiliki
makna yang sama. Jika kondisi ini terus berlanjut, individu tersebut akan
menunjukkan gejala lain seperti kelelahan karena kekurangan nutrisi. Inidvidu
tersebut dapat mengalami kulit bersisik, denyut nadi menurun, dan suhu tubuh
yang rendah. Sementara itu, gejala yang dialami oleh anak-anak adalah hilang
nafsu makan yang disertai gejala lain, seperti mengisap jempol, mengompok, dan
melakukan kebiasaan gugup.

F. Etiologi Eating Disorder


Anoreksi dapat berasal dari fisik atau psikologis. Penyebab fisik yang paling
sering ditemukan adalah penyakit dengan demam tinggi, kegelisahan, ketegangan,
alergi, dan penyakit wasting kronis. Penyakit yang mempengaruhi fungsi kelenjar
(terutama kelenjar hipofisis) dan proses pencernaan seringkali menjadi akar dari
nafsu makan yang buruk. Kurangnya udara segar, olahraga yang tidak memadai,
dan kurang tidur dapat menyebabkan anoreksia. Pola makan yang tidak tepat,
seperti makan secara berlebihan, makan di waktu yang tidak tepat, dan
ketidakseimbangan vitamin dapat menyebabkan hilangnya nafus makan.
Kesulitan emosional adalah akar dari banyak kasus anoreksia. Seorang anak
mungkin menolak makan untuk mendapatkan perhatian atau untuk mendapatkan
apa yang diinginkannya. Dia mungkin terganggu oleh kurangnya keharmonisan di
rumah. Jika demikian, ketidakbahagiaannya kemungkinan besar terbawa ke dalam
kebiasaan makannya. Disiplin yang ekstrim di meja makan juga bisa menjadi
penyebab nafsu makan yang buruk. Jika waktu makan menjadi periode disiplin
dan ketidaknyamanan, wajar saja jika seseorang mengembangkan perasaan
negatif terhadap makan.
Pemberian makan yang dipaksakan atau ketidakkonsistenan dalam kebiasaan
makan juga mengganggu anak, terkadang menyebabkan dia tidak mau makan.

11
Beberapa anak menolak makan untuk menunjukkan permusuhan terhadap orang
tua mereka. Dengan cara tersebut mereka berharap dapat membuat orang tua
khawatir dan cemas atas kemungkinan penyakit fisik. Anak memperoleh
kepuasan ketika dia melihat orang tua khawatir karena dia telah berhasil
melepaskan permusuhan terhadap mereka. Penolakan orang tua atau masalah
ekstrem di sekolah juga merupakan penyebab umum anoreksia. Penyebab
anoreksi pada orang dewasa disebabkan penolakan yang terus-menerus untuk
makan sering dikaitkan dengan struktur kepribadian yang ditandai dengan
sensitivitas ekstrem, introversi, dan perilaku perfeksionis. Di masa kanak-kanak,
orang-orang ini sering memiliki banyak pengalaman yang tidak menyenangkan
dan umumnya merasa tidak aman dan takut. Banyak wanita yang menderita
kurang nafsu makan kronis memiliki hubungan yang buruk dengan ibu mereka
dan masih menyimpan perasaan permusuhan yang kuat yang belum terselesaikan.
Salah satu faktor yang sering ditemukan pada individu yang menderita anoreksia
nervosa adalah dinamika hukuman diri. Dalam kasus ini individu merasa tidak
layak, bersalah, dan membutuhkan hukuman. Penolakannya untuk makan adalah
upaya tidak sadar untuk menghukum dirinya sendiri dengan menolak kebutuhan
dasar tubuh. Keuntungan sekunder berpengaruh dalam banyak kasus anoreksia.
Selain melayani kebutuhan emosional tidak sadar lainnya, individu menemukan
kepuasan dalam perhatian, simpati,dan kasih sayang yang diterimanya melalui
sakit anoreksia karena individu membutuhkan cinta dan kasih sayang. Oleh sebab
itu, penolakan individu untuk makan memungkinkan dia menjadi pusat perhatian
sehingga memenuhi kekurangan emosionalnya
G. Ilustrasi Eating Disorder
Identifikasi : Gadis berkulit putih, usia 13 tahun.
Masalah : Gadis ini dibawa ke dokter keluarga karena ibunya menjadi
khawatir atas penolakan gadis itu untuk makan. "Saya khawatir dia akan mati
kelaparan," kata ibu kepada dokter. “Dia hanya mengambil makanannya dan dia
tidak makan cukup untuk membuat burung tetap hidup.” Pemeriksaan dokter
menemukan pasien menjadi kurus dan gugup dengan ruam kulit ringan. Riwayat

12
pribadi dan keluarga : Orang tua gadis ini menikah pada usia dini. Meskipun
mereka stabil secara finansial tetapi mereka telah pindah beberapa kali dan
pernikahan mereka ditandai oleh banyak kekacauan dan pertengkaran. Selama
setahun setelah pernikahan mereka, pasangan itu menghadiri gereja tetapi pada
akhirnya keduanya menyerah untuk melakukan kunjungan rutin. Selama tiga
tahun terakhir sang suami menjadi tertarik pada wanita lain dan telah menjadi
intim secara seksual dengan beberapa wanita. Gadis ini dirujuk ke psikolog dan
ditemukan bahwa gadis itu merasa tidak nyaman dan mengalami kondisi yang
tidak bahagia di rumahnya. Setelah beberapa bulan konseling dengan anak dan
dengan orang tuanya, kondisi di rumah membaik. Hal ini tercermin dari nafsu
makan gadis ini yang membaik
H. Perlakuan Eating Disorder
Langkah pertama dalam mengobati anoreksia adalah pemeriksaan medis
untuk mengetahui kemungkinan kondisi fisik yang mungkin menyebabkan
masalah. Terapi untuk anak atau remaja dengan nafsu makan yang buruk
ditujukan kepada orang tua maupun anak. Orang tua harus menyadari bahwa
kesulitan anak merupakan reaksi terhadap lingkungan keluarga. Jika ingin
mengatasi masalah yang dialami anak maka lingkungannya serta sikapnya harus
ditingkatkan. Orang tua dan guru perlu menyadari bahwa aturan atau ultimatum
yang tidak fleksibel, seperti mewajibkan anak untuk makan dalam jumlah tertentu
setiap kali makan hanya akan memperumit masalahnya. Ketika suasana rumah
dan sekolah menjadi lebih santai maka ketegangan emosional anak akan
berkurang dan kesulitannya biasanya akan teratasi dengan sendirinya. Dalam
menghadapi orang dewasa, dinamika kepribadian dasar yang mendasari harus
terungkap dan diselesaikan. Jika orang tersebut memiliki konsep diri yang tidak
memadai dan secara tidak sadar berusaha menghukum dirinya sendiri dengan
perilaku ini maka dinamika ini harus dieksplorasi secara rinci. Saat individu
memahami alasan mengapa dia merasa membutuhkan hukuman dan saat dia
mulai menerima pengampunan dosa dari Tuhan maka sikap menghukum diri
sendiri ini akan hilang. Ketika anoreksia dikaitkan dengan gambaran yang lebih

13
luas dari perilaku neurotik, perasaan tidak aman dan tidak mampu harus
dieksplorasi dan diselesaikan.

BAB III
PEMBAHASAN
A. Deskripsi Obesitas
Obesitas adalah kondisi ketika lemak yang menumpuk di dalam tubuh sangat
banyak akibat kalori masuk lebih banyak dibandingkan yang dibakar. Jika tidak
segera ditangani, obesitas dapat meningkatkan risiko terjadinya penyakit jantung,
hipertensi, hingga diabetes.
Berdasarkan data World Health Organization di tahun 2016, ada sekitar 650
juta penduduk usia dewasa yang mengalami obesitas. Sementara di tahun 2020,
ada sekitar 39 juta anak usia di bawah 5 tahun yang menderita obesitas(WHO,
2021)
Obesitas bukan sekadar berat badan berlebih (overweight). Obesitas ditandai
dengan nilai indeks massa tubuh (IMT) 30 atau lebih, mudah atau banyak
berkeringat, penumpukan lemak di beberapa area tubuh, mudah lelah, dan nyeri

14
sendi.Pada anak-anak, obesitas umumnya ditandai dengan penumpukan lemak di
bagian payudara, sesak ketika melakukan aktivitas fisik, dan gangguan pubertas.
Obesitas dapat disebabkan oleh konsumsi makanan cepat saji atau minuman
yang mengandung gula tambahan dalam jangka panjang. Obesitas juga bisa
disebabkan oleh konsumsi makanan secara berlebihan yang tidak diimbangi
dengan olahraga secara rutin(Agüera et al., 2021).
Obesitas merupakan keadaan terjadinya peningkatan ukuran dan jumlah sel
lemak. Klasifikasi anatomi obesitas berdasarkan klasifikasi patologis dari jumlah
adiposit, distribusi lemak tubuh, atau dari karakterisasi deposit lemak yang
terlokalisasi (Wahyu, 2009). Dari ukuran dan jumlah sel lemak dapat
membedakan adanya 2 macam obesitas, yakni:
1. Obesitas hipertofi
Pembesaran sel lemak adalah kondisi patologis dari obesitas.
Pembesaran sel lemak ini berkorelasi dengan distribusi lemak dan
diasosiasikan dengan penyakit metabolik lain, seperti intoleransi glukosa,
dislipidemia, hipertensi, dan penyakit arteri koroner. Hal ini dapat terjadi
karena sel lemak yang besar dapat mensekresikan lebih banyak peptida
dan metabolit lainnya.
2. Obesitas hiperseluler
Peningkatan jumlah sel lemak biasanya terjadi ketika obesitas
berkembang saat masa kanak-kanak. Ketika obesitas terjadi saat awal atau
pertengahan masa kanak-kanak, tipe obesitas dapat menjadi parah.
Peningkatan jumlah sel lemak juga dapat terjadi di saat dewasa dan saat
IMT lebih besar daripada 40 kg/ m².
B. Etiologi Obesitas
Kurdanti dkk (2015) menjelaskan penyebab terjadinya obesitas pada individu
antara lain sebagai berikut.
1. Asupan protein
Dalam keadaan konsumsi berlebihan,. Nitrogen dikeluarkan dari tubuh
dan sisa-sisa ikatan karbon akan diubah menjadi lemak dan disimpan di

15
dalam tubuh. Dengan demikian, konsumi protein secara berlebihan juga
dapat meningkatkan resiko obesitas(Ida Mardalena, n.d.).
2. Asupan Lemak
Hasil penelitian tentang asupan lemak menunjukkan bahwa tingginya
konsumsi lemak disebagian besar sampel penelitian mengkonsumsi
makanan tinggi lemak seperti makanan-makanan yang digoreng. Dengan
demikian makanan yang digoreng memiliki kontribusi yang besar dalam
asupan lemak tiap harinya.
3. Pola Makan Fast Food
Jenis fast food yang sering dikonsumsi adalah fast food lokal. Fast
food yang sering dikonsumsi oleh subjek pada kelompok obesitas adalah
beef burger, burger ring on, es krim, steak, mie ayam, bakso, mi instan,
batagor, siomay, sosis, tempura, dan tela-tela sedangkan pada kelompok
non-obesitas meliputi beef burger, cheese burger, burger regular, es krim,
steak, mi ayam, bakso, mi instan, siomay, batagor, dan sosis. Hasil
wawancara dengan kelompok obesitas menyatakan bahwa subjek
mengaku sering mengkonsumsi fast food minimal 1x/ bulan dan
maksimal 1x/minggu.
Hal ini karena setiap mengerjakan tugas kelompok, subjek pasti pergi
ke tempat-tempat yang menyediakan aneka jenis fast food seperti di KFC
dan Mc Donald. Selain itu, di sekitar sekolah juga banyak yang
menjajakan makanan jenis fast food lokal, baik itu di kantin sekolah
maupun di luar sekolah seperti pedagang kaki lima. Sebaliknya, hasil
analisis menunjukkan frekuensi konsumsi fast food berlebih dapat
menyebabkan risiko terjadinya obesitas. Hal ini karena fast food
merupakan jenis makanan cepat saji yang mengandung tinggi energi,
banyak mengandung gula, tinggi lemak, dan rendah sera
Kelebihan karbohidrat di dalam tubuh akan diubah menjadi lemak.
Perubahan ini terjadi di dalam hati. Lemak ini kemudian dibawa ke sel-sel
lemak yang dapat menyimpan lemak dalam jumlah tidak terbatas. Ukuran

16
atau porsi makan yang terlalu berlebihan juga dapat memiliki banyak
kalori dalam jumlah banyak dibandingkan dengan apa yang dianjurkan
untuk untuk konsumsi normal sehari-hari.
4. Aktivitas fisik
Tingkat aktivitas remaja obesitas lebih rendah bila dibandingkan
dengan remaja non-obesitas penelitian ini, aktivitas fisik aktif yaitu
>10.000 langkah yang dapat dilakukan dengan melakukan gerak langkah
sejauh 4,02-5,24 km. Beberapa penelitian epidemiologi menyebutkan
bahwa obesitas pada remaja terjadi karena interaksi antara makan yang
banyak dan sedikit aktivitas. Siswa SMP di Kota Yogyakarta dan
Kabupaten Bantul, mengungkapkan bahwa siswa dengan aktivitas fisik
ringan yang tinggi mempunyai kemungkinan untuk menjadi obesitas 1,7
kali lebih besar. Remaja yang tidak aktif memiliki kebiasaan hanya duduk
diam di rumah sepulang sekolah tanpa melakukan kegiatan yang lain.
Kegiatan yang dilakukan seperti duduk santai di rumah, membaca,
menonton TV, belajar, dan berbaring.
5. Kekurangan Asupan Serat
Serat Sebagian besar asupan serat, baik itu pada kelompok obesitas
maupun non-obesitas masih kurang dari kecukupan. Hal ini terjadi karena
rendahnya konsumsi sayur dan buah lalu diiringi dengan banyaknya
makan makanan (ISTIQOMAH, n.d.).
6. Faktor Psikologis (Harga Diri)
Tidak terdapat hubungan antara obesitas dengan harga diri pada
remaja dikarenakan beberapa faktor yaitu perkembangan individu yang
positif dengan merasa dimiliki, merasa dihargai, dan dapat diterima di
tengah Dengan semakin berjalannya waktu, stigma negatif tentang remaja
yang mengalami obesitas mulai menghilang di masyarakat. Selain itu,
banyak bermunculannya artis – artis yang memiliki berat badan lebih
dapat memberikan motivasi yang positif bagi remaja yang mengalami
obesitas, bahwa tidak hanya yang memiliki bentuk badan yang ideal yang

17
biasa masuk di televisi. Bahkan, dibeberapa daerah di Indonesia juga
mengadakan kontes kecantikan yang khusus diadakan untuk remaja yang
mengalami obesitas. Semboyan “Big Is Beautiful” tiga kata yang sangat
inspiratif bagi remaja obesitas, perubahan opini masyarakat ataupun
remaja tentang makna kecantikan, dari penampilan fisik yang ideal ke
inner beauty kecantikan yang terpancar dari dalam diri seseorang atau
kepribadian seseorang juga merupakan pengaruh positif dari media masa.
7. Faktor genetik (status obesitas ibu dan ayah)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa remaja yang memiliki ayah dan
ibu dengan status obesitas berisiko lebih besar menjadi obesitas
dibandingkan dengan remaja yang memiliki ayah dan ibu yang tidak
obesitas. Pengambilan data berat badan dan tinggi badan orang tua
berdasarkan data sekunder sehingga peneliti tidak secara langsung
menimbang dan mengukur berat badan dan tinggi badan orang tua.
(Septiani & Raharjo, 2017).
C. Iliustrasi Obesitas
Sunarti (39), warga Desa Cibalongsari, Kecamatan Klari, Kabupaten
Karawang, Jawa Barat memilili berat badan 148 kg. Pada Rabu (30/1/2019), ia
dilarikan ke IGD RSUD Karawang karena sesak napas. Sehari-hari ia tinggal
seorang diri di rumahnya. Sementara suaminya bekerja di luar kota dan hanya
pulang dalam waktu tertentu.
Narti mengakui jarang melakukan aktivitas dan kerap mengurung diri di
dalam rumah. Ia mengaku hanya sering ngemil bakso dan mie.
Pada 31 Januari 2019, Sunarti dirawat di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS),
Bandung dan pada 18 Februari, dia menjalani operasi bariatik, yakni tindakan
pengecilan lambung. Dua pertiga lambung Sunarti dipotong sehingga tersisa
sepertiga bagian. Operasi itu bertujuan untuk mengurangi volume dan kapasitas
jumlah makanan yang dikonsumsi Sunarti. Selain itu, tim dokter juga mengangkat
alat sensor lapar yang berada di bagian lambung. Setelah menjalani perawatan,
Sunarti diperkenankan pulang pada 1 Maret 2019. Pihak rumah sakit mengklaim,

18
saat itu tensi, nadi, respirasi, dan suhu badan Sunarti masuk dalam kategori bagus.
Namun Sunarti menghembuskan napas terakhirnya pada Sabtu (2/3/2022) sekitar
pukul 04.00 WIB. Sebelum meninggal, ia sempat mengeluh sesak napak. Padahal
ia sudah 'berhasil' menurunkan berat badan 15 kg (Rachmawati, 2022).

D. Perlakuan Obesitas
Gaya hidup sehat adalah kunci, penderita obesitas perlu merubah gaya hidup
sehat, untuk itu gru BK ata konselor bisa melakukan konseling.
Konseling mengenai modifikasi gaya hidup berhasil meningkatkan rerata
kualitas diet subjek dengan peningkatan yang bermakna secara statistik Kualitas
diet pada kelompok konseling intensif lebih meningkat dibanding kelompok
konseling tidak intensif. Peningkatan kualitas diet tersebut tergolong baik karena
berada di atas median. Salah satu penyebab meningkatnya kualitas diet adalah
konseling modifikasi gaya hidup yang diberikan. Konseling merupakan suatu
bentuk komunikasi dua arah yang dilakukan untuk memecahkan masalah
seseorang. Melalui konseling, seseorang diharapkan dapat memiliki pengetahuan
dan keterampilan untuk membuat perubahan sehingga dapat menyelesaikan
masalahnya.22 Penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian konseling
modifikasi gaya hidup dapat meningkatkan pengetahuan responden dan membuat
responden memahami materi yang disampaikan sehingga menyebabkan
perubahan pola makan yang dapat mempengaruhi perubahan kualitas diet.
Perubahan tersebut juga membutuhkan motivasi yang besar dan lingkungan yang
mendukung Kualitas diet pada kelompok konseling intensif lebih meningkat
dibanding kelompok konseling tidak intensif. Peningkatan kualitas diet tersebut
tergolong baik karena berada di atas median. Salah satu penyebab meningkatnya
kualitas diet adalah konseling modifikasi gaya hidup yang diberikan. Konseling
merupakan suatu bentuk komunikasi dua arah yang dilakukan untuk memecahkan
masalah seseorang. Melalui konseling, seseorang diharapkan dapat memiliki
pengetahuan dan keterampilan untuk membuat perubahan sehingga dapat
menyelesaikan masalahnya. Penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian

19
konseling modifikasi gaya hidup dapat meningkatkan pengetahuan responden dan
membuat responden memahami materi yang disampaikan sehingga menyebabkan
perubahan pola makan yang dapat mempengaruhi perubahan kualitas diet.
Perubahan tersebut juga membutuhkan motivasi yang besar dan lingkungan yang
mendukung.
Lalu penanganan obesitas juga bisa dengan teknik self-kontrol, syarat adalah :
1. Sasaran perilaku harus dinyatakan dengan jelas. 2. Perilaku alternatif sebagai
treatment perlu diidentifikasi kemungkinan keterlaksanaannya dalam jangkauan
subjek. 3. Perilaku pilihan harus ditawarkan kepada subjek, lebih diutamakan
perilaku yang diusulkan oleh subjek. Dalam bagian ini prinsip premac harus
diterapkan sebagai pengukuh. 4. Tujuan treatmen harus dapat diamati dengan
jelas dan dapat diukur. 5. Subjek harus diberikan kemudahan dalam berkonsultasi
manakala memerlukan bantuan dalam mengavaluasi atau melaksanakan treatmen
(Rahayu & Heriansyah, 2018).
Penaganan lainnya juga bisa menggunakan edukasi gizi. Edukasi gizi
merupakan upaya mendidik generasi muda agar dapat mengubah perilaku
konsumsinya sesuai aturan diet, dengan tujuan mempengaruhi perilakunya untuk
mengamalkan pesan dan informasi yang diberikan dalam proses edukasi. Pola
makan remaja yang tidak tepat dapat diubah dengan upaya peningkatan
pendidikan gizi dan pendidikan gizi sekolah (22). Pemberian edukasi dan
motivasi diyakini dapat meningkatkan asupan energi dan karbohidrat serta
kandungannya (lemak total, lemak jenuh, natrium), namun tidak mempengaruhi
peningkatan asupan serat dan protein. Studi lain juga menemukan bahwa
pemberian pendidikan dan motivasi meningkatkan konsumsi buah dan sayur satu
tahun setelah intervensi (29). Menurut Lawrence Green, tingkat pengetahuan dan
sikap subjek dapat membentuk suatu kebiasaan. Dalam hal ini, responden yang
paham gizi dan termotivasi dapat mengubah pola makan mereka dan menjadi
gemuk, yang dapat mempengaruhi nilai gizi masyarakat (Said et al., 2022).

20
E. Deskripsi Eating Disorder
Eating disorder merupakan kondisi akibat psikologis dan medis yang serius.
Gangguan makan seperti anorexia nervosa (AN) dan bulimia nervosa (BN),
merupakan penyakit kronis yang didefinisikan sebagai gangguan perilaku makan
atau perilaku dalam mengkontrol berat badan. Diagnostic and Statistical Manual
of Mental Disorders, 4th Edition (DSM-IV) mengklasifikasikan ada tiga jenis
gangguan makan yaitu anorexia nervosa (AN), bulimia nervosa (BN), dan binge-
eating disorder (BED) (Santoso & Putri, 2018). AN ditandai dengan keengganan
untuk menetapkan berat badan normal, penyimpangan pandangan terhadap tubuh,
ketakutan ekstrim menjadi gemuk, dan perilaku makan yang sangat terganggu.
BN ditandai dengan perilaku makan dalam jumlah yang besar yang sering dan
berulang-ulang, kemudian mencoba memuntahkan kembali, penggunaan obat
pencahar, berpuasa atau berolahraga secara berlebihan (Krisnani dkk, 2017).
Gangguan ketiga adalah “gangguan makan lain yang tidak ditetapkan”
(EDNOS – eating disorders not otherwise specified) yang memasukkan beberapa
variasi gangguan makan. Kebanyakan adalah mirip dengan anoreksia atau
Bulimia tetapi dengan karakter yang berbeda sedikit. Binge-eating disorder, yang
menerima peningkatan dalam jumlah penelitian dan perhatian media dalam
beberapa tahun belakangan ini adalah salah satu tipe EDNOS termasuk dalam
DSM-V Gangguan makan berlebihan (BED) adalah gangguan makan yang
ditandai dengan episode berulang dari makan sejumlah besar makanan (sering
sangat cepat dan ke titik ketidak nyamanan); perasaan kehilangan kontrol selama
makan tersebut; mengalami rasa malu, tertekan atau bersalah setelah itu; dan tidak
teratur menggunakan langkah-langkah kompensasi yang tidak sehat..(Lubis &
Siregar, n.d.).
F. Etiologi Eating Disorder
Faktor biologis, social, dan psikologis adalah terlibat dalam penyebab eating
disorder.
1. Faktor biologis

21
Kelaparan menyebabkan banyak perubahan biokimia, beberapa
diantaranya juga ditemukan pada depresi, seperti hiperkortisolemia dan
nonsupresi oleh deksametason.
Terjadi penekanan fungsi tiroid, amenore, yang mencerminkan
penurunan kadar hormonal. Kelainan tersebut dapat dikoreksi dengan
pemberian makanan kembali.
2. Faktor sosial
Penderita menemukan dukungan untuk tindakan mereka dalam
masyarakat yang menekankan kekurusan dan latihan. Tidak berkumpul
dengan keluarga adalah spesifik pada anoreksia nervosa.
Pasien dengan anoreksia nervosa kemungkinan memiliki riwayat
keluarga depresi, ketergantungan alcohol, atau suatu gangguan
makan.
3. Faktor psikologis dan psikodinamis
Anoreksia nervosa tampaknya merupakan suatu reaksi terhadap
kebutuhan pada remaja untuk menjadi lebih mandiri dan meningkatkan
fungsi social dan seksual.
Biasanya mereka tidak mempunyai rasa otonomi dan kemandirian,
biasanya tumbuh
di bawah kendali orang tua. Kelaparan yang diciptakan sendiri (self
starvation) mungkin merupakan usaha untuk meraih pengakuan sebgai
orang yang unik dan khusus. Hanya memalui tindakan disiplin diri yang
tidak lazim pasien anoreksia dapat mengembangkan rasa otonomi dan
kemandirian.
Faktor lainnya yang mempengaruhi eating disorder adalah Body Image, stres,
dan kepercayaan diri
a. Body Image
Remaja yang memiliki citra tubuh yang negatif akan lebih rentan
mengalami gangguan makan karena mereka tidak puas akan bentuk
tubuhnya dan cenderung melakukan diet yang tidak sehat (Siregar, 2017).

22
Remaja yang merasa tidak puas dengan penampilan dirinya, dapat
mengalami eating disorder. Hal ini diakibatkan oleh konsep body image
seseorang yang buruk (persepsi negatif) dan ketidakpuasan terhadap tubuh
yang dimiliki sehingga dapat menimbulkan dorongan untuk menjadi lebih
kurus, Hasil penelitian terdahulu menunjukan bahwa adanya kesesuaian
dengan pernyataan bahwa body image merupakan sikap yang dimiliki
individu terhadap tubuhnya, berupa penilaian positif dan negatif, juga
didukung oleh hasil penelitian – penelitian terdahulu yang menjelaskan
bahwa adanya hubungan antara body image negatif dengan eating
disorders. Hal ini berkolerasi dengan hasil penelitian yang menjelaskan
bahwa 26,1% body image berpengaruh terhadap kecenderungan seseorang
memiliki eating disorder (Nadhirah et al., 2022).
b. Stres
Stres diartikan sebagai kondisi tekanan atau gangguan ataupun juga
kekacauan mental dan emosional. Tingkat keparahan stres ini akan
berpengaruh pada pola makan yang tidak normal yang dapat menyebabkan
gangguan makan (Eating disorder) (Noe et al., 2019).
Tingkat stres mempengaruhi tingkat keparahan binge eating disorder,
oleh karena itu perlu dilakukan manajemen stres yang memadai untuk
menghindari kemungkinan efek dari binge eating disorder, serta efek dari
stres lainnya .
c. Kepercayaan Diri
Kepercayaan diri yang rendah dapat menyebabkan permasalahan
dalam persahabatan, stress, kecemasan, depresi dan dapat berpengaruh
pada perilaku makan seseorang. Kepercayaan diri yang rendah juga
merupakan salah satu karakteristik primer dari remaja yang mengalami
penyimpangan perilaku makan. Remaja merasa mereka tidak dapat
mencapai apa yang diinginkan oleh lingkungan sekitarnya kemudian
mereka menjadi ekstrim untuk berusaha menyesuaikan dengan tuntutan
lingkungan sekitar (Lawler & Nixon, 2011).

23
Hasil penelitian juga telah dilaporkan bahwa terdapat hubungan
negatif antara kepercayaan diri dengan gangguan makan anorexia nervosa
pada remaja. Semakin tinggi tingkat gangguan makan anorexia nervosa
maka semakin rendah tingkat kepercayaan diri. Pada remaja, sebaliknya
semakin rendah tingkat gangguan makan anorexia nervosa maka semakin
tinggi kepercayaan diri pada remaja (Melani et al., 2021)
G. Ilustrasi Eating Disorder
Nama : Taylor Swift
Pekerjaan : Penyanyi dan Katris :
Penyanyi pop ini membuat pengakuan soal penyakitnya dalam serial
dokumeter Netflix, Miss Americana. Hal ini dideritanya setelah kerap membaca
berita mengenai penampilan fisiknya yang dinilai gemuk atau rumor kehamilan
karena beratnya bertambah. Ia mulai membenci makanan dan mengurangi asupan
hariannya demi tampil lebih baik. Namun kini mantan kekasih Harry Styles ini
telah sembuh dan menyadari makanan dapat membuatnya lebuh berenergi ketika
tampil di atas panggung (Langit, 2021).
H. Penangangan Eating Disorder
1. Cognitive behavioral therapy/terapi kognitif dan perilaku (CBT)
Cognitive Behavioral Therapy (CBT) merupakan terapi yang berfokus pada
perubahan kognitif untuk menghasilkan perubahan perilaku positif yang menjadi
tujuan dari terapi itu sendiri. CBT dilakukan untuk merekonstruksi kognitif B
yang kemudian menurunkan perilaku maladaptif B. Penelitian ini dilakukan untuk
memaparkan penggunaan CBT pada B dalam enam kali pertemuan. Berdasarkan
hasil pengukuran menggunakan lembar self-monitoring, menunjukan adanya
perubahan positif pada pola pikir B, serta terjadi penurunan perilaku makan
berlebihan dan memuntahkan makanan (Putrikita, 2021).
Membantu pasien dalam mengatasi isu-isu yang mengakibatkan ia mengalami
episode binge eating.Metode ini juga membantu pasien mengambil kembali
kontrol atas dirinya dan membiasakannya untuk makan secara teratur.CBT

24
bekerja dengan melihat hubungan antara pikiran negatif dengan perasaan dan
perilaku yang berkaitan dengan makanan, bentuk tubuh, dan berat badan.
Begitu penyebab emosi negatif dan pola telah diketahui, strategi perawatan
selanjutnya dapat direncanakan.Strategi ini pada akhirnya akan membantu Anda
dalam:menetapkan tujuan,memantau diri,membentuk pola makan yang
rutin,mengubah pemikiran tentang tubuh sendiri, serta mendorong kebiasaan
pengendalian berat badan yang sehat.
Binge eating disorder dapat ditangani dengan cognitive behavior therapy.
Cognitive behavior therapy memiliki tahap yaitu self-monitoring dengan
menggunakan food diary. Oleh karena itu dibuatlah food diary mobile app
berbasis Android sebagai alat untuk membantu cognitive behavior therapy bagi
penderita binge eating disorder (Guerdjikova et al., 2017)
2. Konseling Gizi
Pendekatan lain yang biasa digunakan adalah konseling gizi. Ahli gizi telah
lama berperan dalam pengobatan gangguan makan, dengan asumsi keahlian
mereka dalam diet dan kesehatan dapat membantu pasien mengevaluasi kembali
pilihan mereka pedoman yang lebih masuk akal. Konseling gizi biasa terdiri dari
penyediaan rencana makan, rekomendasi kalori, diskusi tentang pilihan makanan
alternatif untuk memenuhi kebutuhan gizi, dan dukungan untuk kemajuan
berkelanjutan dalam membuat makanan lebih sehat (Paruntu, 2014) (Kurdanti et
al., 2015).
3. Interpersonal psychotherapy/terapi interpersonal (IPT)
Jika perawatan sebelumnya bertujuan untuk mengatasi pikiran negatif yang
dimiliki klien, IPT lebih berfokus pada bagaimana hubungan pasien dengan orang
lain memengaruhi kondisinya.
Terapi ini didasari dengan keyakinan bahwa gejala psikologis, seperti
perubahan kebiasaan makan pada seseorang, sering kali adalah respons dari
pendapat orang lain terhadap dirinya.
Gejala tersebut juga bisa memengaruhi cara pasien dalam berinteraksi dengan
orang lain.Terapi dapat dilakukan secara berkelompok atau secara langsung

25
dengan terapis, dan terkadang dikombinasikan dengan CBT.IPT memiliki efek
positif jangka pendek maupun jangka panjang untuk mengurangi binge eating
maupun gangguan makan lainnya, termasuk bulimia dan anoreksia nervosa. Cara
ini mungkin juga efektif untuk mengatasi binge eating yang lebih parah(Lubis &
Siregar, n.d.).
4. Menerapkan Mind Ful Eating
Mindful eating atau makan dengan penuh kesadaran adalah teknik yang dapat
membantu dalam mengontrol kebiasaan makan. Pola makan satu ini telah terbukti
dapat menurunkan berat badan, mengurangi makan berlebihan, dan membantu
merasa lebih baik.(APRILIA, 2021)

BAB IV
PENUTUPAN
A. Kesimpulan
Manusia memerlukan makan untuk bisa tetap hidup sehat, makanan sehat
dibutuhkan tubuh untuk menjaga fungsi organ dan memastikan kinerjanya. Secara
umum, jenis makanan yang tergolong dalam kelompok makanan sehat
mengandung berbagai nutrisi. Syarat makanan yang sehat (4 sehat 5 sempurna),
yaitu bersih, memiliki gizi yang baik dan seimbang. Keseimbangan makanan
sehat adalah makanan yang memiliki kandungan karbohidrat, protein, lemak, dan
vitamin. Asupan nutrisi untuk tubuh bisa didapat dari beragam jenis makanan
sehat, tidak terbatas pada satu jenis saja. Bahkan, disarankan untuk mengonsumsi
ragam menu untuk menunjang pertumbuhan dan perkembangan tubuh.
Mengonsumsi berbagai jenis makanan bisa memberikan nutrisi yang berbeda,
sehingga gizi yang diperlukan oleh tubuh bisa terpenuhi.Jika nutrisi tidak
terpenuhi dengan benar maka akan menimbulkan penyakit seperti obesitas dan
eating disorder.

26
Obesitas adalah kondisi ketika lemak yang menumpuk di dalam tubuh sangat
banyak akibat kalori masuk lebih banyak dibandingkan yang dibakar. Jika tidak
segera ditangani, obesitas dapat meningkatkan risiko terjadinya penyakit jantung,
hipertensi, hingga diabetes.
Gangguan makan seperti anorexia nervosa (AN) dan bulimia nervosa (BN),
merupakan penyakit kronis yang didefinisikan sebagai gangguan perilaku makan
atau perilaku dalam mengkontrol berat badan. Diagnostic and Statistical Manual
of Mental Disorders, 4th Edition (DSM-IV) mengklasifikasikan ada tiga jenis
gangguan makan yaitu anorexia nervosa (AN), bulimia nervosa (BN), dan binge-
eating disorder (BED). AN ditandai dengan keengganan untuk menetapkan berat
badan normal, penyimpangan pandangan terhadap tubuh, ketakutan ekstrim
menjadi gemuk, dan perilaku makan yang sangat terganggu. BN ditandai dengan
perilaku makan dalam jumlah yang besar yang sering dan berulang-ulang,
kemudian mencoba memuntahkan kembali, penggunaan obat pencahar, berpuasa
atau berolahraga secara berlebihan (Krisnani dkk, 2017)
Oleh Karena itu dapat disimpulkan bahwa kita harus makan secukupnya saja.

B. Saran
Saran dari penulis adalah agar makalah ini bisa dikembangkan dan
diperbanyak lagi mengenai solusi penanganan obesitas dan eating disorder.

27
Referensi
Agüera, Z., Lozano-Madrid, M., Mallorquí-Bagué, N., & ... (2021). A review of
binge eating disorder and obesity. Neuropsychiatrie.
https://doi.org/10.1007/s40211-020-00346-w
APRILIA, E. (2021). KAJIAN PENGARUH MINDFUL EATING TERHADAP
PERILAKU MAKAN ORANG DEWASA. Universitas Katholik Soegijapranata
Semarang.
Guerdjikova, A. I., Mori, N., Casuto, L. S., & ... (2017). Binge eating disorder.
Psychiatric …. https://www.psych.theclinics.com/article/S0193-953X(17)30006-
0/abstract
Ida Mardalena, I. M. (n.d.). ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN
GANGGUAN SISTEM PENCERNAAN.
ISTIQOMAH, Y. R. (n.d.). Perbedaan asupan serat, aktivitas fisik dan pengetahuan
gizi pada remaja overweight dan non overweight di wilayah Kelurahan
Sambiroto Kecamatan Tembalang Kota Semarang.
Kurdanti, W., Suryani, I., Syamsiatun, N. H., Siwi, L. P., Adityanti, M. M.,
Mustikaningsih, D., & Sholihah, K. I. (2015). Faktor-faktor yang mempengaruhi
kejadian obesitas pada remaja. Jurnal Gizi Klinik Indonesia, 11(4), 179–190.
Langit, S. (2021). 5 Selebritas Wanita yang Pernah Mengidap Eating Disorder.
https://lifestyle.kompas.com/read/2021/03/23/112541720/5-selebritas-wanita-
yang-pernah-mengidap-eating-disorder?page=all.
Lawler, M., & Nixon, E. (2011). Body dissatisfaction among adolescent boys and
girls: the effects of body mass, peer appearance culture and internalization of

28
appearance ideals. Journal of Youth and Adolescence, 40(1), 59–71.
Lubis, W. H., & Siregar, J. H. (n.d.). Gangguan makan.
Melani, S. A., Hasanuddin, H., & Siregar, N. S. S. (2021). Hubungan kepercayaan
diri dengan gangguan makan anorexia nervosa pada remaja di SMAN 4 Kota
Langsa. Jurnal SAGO Gizi Dan Kesehatan, 2(2), 170–177.
Nadhirah, N. A., Kusnadi, G. A., Supriatna, M., Suryana, D., & Fahriza, I. (2022).
NEGATIVE BODY IMAGE TRIGGERS ADOLESCENTS TO EXPERIENCE
AN EATING DISORDER. QUANTA, 6(3), 22–28.
Noe, F., Kusuma, F. H. D., & Rahayu, W. (2019). HUBUNGAN TINGKAT STRES
DENGAN EATING DISORDER PADA MAHASISWA YANG TINGGAL DI
ASRAMA PUTRI UNIVERSITAS TRIBHUWANA TUNGGADEWI
(UNITRI). Nursing News: Jurnal Ilmiah Keperawatan, 4(1).
Paruntu, O. L. (2014). Pengaruh Konseling Gizi Terhadap Kepatuhan Diet Penderita
Hiperkolesterolemia di Poliklinik Gizi Rumah Sakit Umum Daerah Bitung.
Jurnal GIZIDO, 6(2).
Putrikita, K. A. (2021). COGNITIVE BEHAVIORAL THERAPY (CBT) UNTUK
MENGATASI BULIMIA NERVOSA. Insight: Jurnal Ilmiah Psikologi, 23(1),
1–18.
Rachmawati. (2022). Selain Pria 275 Kg yang Jatuh dari Lift Rumah, Ini 6 Kasus
Obesitas di Indonesia, Ada Titi Wati hingga Arya Permana.
https://www.google.com/search?
q=kisah+pasien+penderita+obesitas&rlz=1C1GCEA_enID893ID893&hl=id&bi
w=1366&bih=695&tbm=nws&sxsrf=ALiCzsbQBJtjPBD_rmoNsFlEplOqpOjV
XA
%3A1666202671569&ei=LzxQY_OsIsHLz7sPlcK2SA&ved=0ahUKEwizgPPS
8Oz6AhXB5XMBHRWhDQk4FBDh1QMIDA&uact
Rahayu, S. M., & Heriansyah, M. (2018). Teknik self-control untuk mengatasi
masalah obesitas. Seminar Nasional Bimbingan Dan Konseling Jambore
Konseling 3.
Said, I., Manggabarani, S., Lestari, D. A., Tanuwijaya, R. R., & Barokah, F. I. (2022).

29
Pengaruh Terapi Edukasi Gizi Encorage and Motivate (EncoMo) terhadap
Penurunan Berat Badan Siswa Obesitas di SMPN 164 Jakarta. Jurnal Kesehatan
Global, 5(2), 96–103.
Santoso, M. B., & Putri, D. (2018). Gangguan makan anorexia nervosa dan bulimia
nervosa pada remaja. Prosiding Penelitian Dan Pengabdian Kepada
Masyarakat, 4(3), 399–407.
Septiani, R., & Raharjo, B. B. (2017). Pola konsumsi fast food, aktivitas fisik dan
faktor keturunan terhadap kejadian obesitas (studi kasus pada siswa sd negeri 01
tonjong kecamatan tonjong kebupaten brebes). Public Health Perspective
Journal, 2(3).
Siregar, R. U. P. (2017). Hubungan Citra Tubuh Dengan Gangguan Makan Pada
Remaja Putri Masa Pubertas: Relationship Body Image With Eating Disorders
On Passenger Passenger. Jurnal Ilmiah Kebidanan (Scientific Journal of
Midwifery), 3(1), 1–7.
Wahyu, G. G. (2009). Obesitas pada anak. Bentang Pustaka.
WHO. (2021). Obesity. https://www.who.int/health-topics/obesity#tab=tab_1

30

Anda mungkin juga menyukai