Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

PENGARUH DIMENSI KUALITAS PELAYANAN JASA PADA PELANGGAN

DI SUSUN OLEH KELOMPOK 4

INDAH FELPIN
KASMAWATI
MUH. FADLI
KHALIL GIBRAN

AKPER MAPPAOUDANG MAKASSAR


TAHUN AJARAN 2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala limpahan rahmat
dan hidayah-Nya. Sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini yang
berjudul " PENGARUH DIMENSI KUALITAS PELAYANAN JASA PADA PELANGGAN
" ini dengan baik.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Dosen pengampu mata kuliah ini yang
telah membimbing dalam penulisan makalah ini. Tak lupa pula ucapan terima kasih
kepada teman-teman yang telah memberikan saran serta bantuan dalam menyelesaikan
makalah ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan kekeliruan dalam
penulisan makalah ini. Oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun dari
pembaca demi terciptanya makalah yang baik dan benar di kemudian hari. Akhir kata,
semoga makalah ini dapat memberi manfaat bagi semua pihak.

Makassar, Desemebr 2022

Kelompok 4
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................................
DAFTAR ISI ......................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................................
1.1 Latar belakang .................................................................................................
1.2 Rumusan masalah
1.3 Tujuan ............................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................................


2.1 Definisi pelayanan ............................................................................................
2.2 Dimensi kualitas pelayanan jasa ......................................................................
2.3 Pengertian jasa.................................................................................................
2.4 macam macam jasa .........................................................................................
2.5 model untuk mengukur jasa .............................................................................
BAB III PENUTUP ............................................................................................................
3.1 Kesimpulan.......................................................................................................
3. 2 Saran ...............................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Suatu perusahaan berada dalam bisnis untuk memenuhi kebutuhan dan
memuaskan konsumen, baik yang bergerak dalam bidang produksi maupun jasa.
Lingkungan persaingan yang kompetitif karena masuknya teknologi dan pelayanan yang
inovatif akan memacu suatu perusahaan untuk melakukan upaya stratregis sehingga
dapat menciptakan keunggulan kompetitif bagi perusahaan. Keunggulan kompetitif ini
diperoleh perusahaan melalui kemampuannya memberikan pelayanan yang unik dan
bernilai tambah serta lebih efektif dibandingkan dengan pesaingnya.
Kondisi ini menuntut setiap perusahaan untuk selalu memenuhi kebutuhan dan keinginan
konsumennya secara lebih memuaskan dibandingkan dengan para pesaingnya. Oleh
karena itu, perusahaan- perusahaan di industri jasa saling bersaing untuk memberikan
pelayanan yang berkualitas sehingga mampu mewujudkan kepuasan bagi
konsumennya.
Tuntutan untuk mendapatkan pelayanan yang berkualitas dan nyaman semakin
meningkat, sesuai dengan meningkatnya kesadaran arti hidup sehat. Keadaan ini
dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, sosial budaya dan sosial ekonomi masyarakat yang
perlu mendapat perhatian pelaku bisnis jasa terutama pengelola rumah sakit.
Pada masa sekarang ini konsumen dihadapkan dengan berbagai alternatif
pelayanan yang tersedia. Hal ini disebabkan karena meningkatnya persaingan di antara
pelaku bisnis untuk mendapatkan keuntungan dan pangsa pasar yang diinginkan.
Konsumen akan memperkirakan dalam memilih penawaran terbaik yang mampu
didapatkannya kemudian membentuk harapan atas kinerja pilihannya tersebut. Apabila
kinerja pilihannya tersebut tidak sesuai dengan harapan maka konsumen tersebut tidak
puas, sebaliknya jika kinerja pilihannya memenuhi harapan maka konsumen akan puas,
akan tetapi konsumen akan amat puas dan senang apabila kinerja pilihannya melebihi
harapannya.
Customer satisfaction (kepuasan pelanggan) adalah tingkat kesenangan atau
kepuasan yang dirasakan oleh konsumen, didapatkan dari kemampuan suatu produk
atau jasa yang dapat memenuhi keinginan, harapan dan kebutuhan konsumen tersebut.
Seperti yang diungkapkan Bitner dan Hubbert (1994) dalam Boshoff dan Gray (2004),
kepuasan konsumen dapat dibedakan menjadi dua perspektif dalam pemasaran jasa,
yaitu kepuasan kumulatif konsumen dan kepuasan pada saat pelayanan diterima
(transaction-specific satisfaction).
Loyalitas konsumen dari suatu produk atau jasa akan turut menentukan pola pembelian
ulang oleh konsumen terhadap produk atau jasa tersebut dan sebaliknya pola pembelian
kembali oleh konsumen akan menunjukkan loyalitas konsumen terhadap produk atau
jasa tersebut. Setelah konsumen membeli dan menikmati produk itu, ia akan menilai
apakah ia terkesan puas dan senang, jika mereka puas dan senang maka cenderung
akan melakukan tindakan mengkonsumsi kembali produk atau jasa tersebut. Loyalitas
konsumen tercipta dari berbagai faktor atribut yang melekat pada produk yang
dikonsumsi itu. Atribut – atribut inilah yang akan mempengaruhi perilaku konsumen
terhadap suatu produk atau jasa. Niat beli ulang adalah keputusan setiap individual
secara sadar untuk melakukan pembelian lagi suatu bentuk pelayanan pada perusahaan
yang sama, dengan memperhatikan situasi dan kondisi konsumen.
Perusahaan yang bergerak di bidang jasa sangat tergantung pada kualitas jasa
yang diberikan. Kualitas jasa adalah pengukuran seberapa baik tingkat pelayanan yang
diberikan sesuai dengan harapan dan keinginan konsumen. Menyalurkan kualitas jasa
berarti mengkonfirmasikan keinginan konsumen secara konsisten.
Service quality (kualitas pelayanan) merupakan hasil dari suatu proses evaluasi
pembelian, dimana konsumen membandingkan harapan-harapan mereka dengan
pelayanan yang telah mereka dapatkan dan mereka persepsikan, dengan kata lain ini
adalah hasil perbandingan antara harapan konsumen dengan persepsi konsumen pada
kinerja suatu jasa pelayanan. Salah satu ukuran dalam kualitas adalah kemampuan
perusahaan dengan segala konsistensinya memberikan manfaat kepada konsumen dan
mempertahankan konsumen.
Penelitian ini mengidentifikasi dimensi-dimensi kualitas pelayanan (service quality) dan
kepuasan konsumen (transaction-specific customer satisfaction) yang mempengaruhi
kepuasan konsumen kumulatif (overall satisfaction) dan niat membeli ulang pada industri
rumah sakit swasta.
Berdasarkan uraian di atas, penulis melakukan penelitian replikasi dengan judul:
PENGARUH DIMENSI KUALITAS PELAYANAN JASA PADA PELANGGAN
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. apa definisi pelayanan?
2. apa dimensi kualitas pelayanan?
3. apa pengertian jasa?
4. apa macam macam jasa?
5. apa model mengukur jasa?
1.3 TUJUAN
1. untuk mengetahui apa definisi pelayanan?
2. untuk mengetahui apa dimensi kualitas pelayanan?
3. untuk mengetahui apa pengertian jasa?
4. untuk mengetahui apa macam macam jasa?
5. untuk mengetahui apa model mengukur jasa?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Pelayanan
Pelayanan merupakan suatu kinerja yang dilakukan, tidak berwujud, cepat hilang,
lebih dapat dirasakan daripada dimiliki, dan konsumen lebih berpartisipasi aktif dalam
proses mengkonsumsi jasa tersebut. Menurut Taufik dalam Lonard bahwa pelayanan
adalah aktivitas atau manfaat yang ditawarkan oleh satu pihak, yang tidak berwujud dan
tidak menghasilkan kepemilikan apapun,
Pengertian Kualitas Pelayanan
Menurut Irawan yang dikutip oleh Tri Hari dan Tri Yuniati "kualitas pelayanan
adalah menyatakan bahwa kualitas pelayanan merupakan perbandingan antara layanan
yang dirasakan
suatu permulaan dari kepuasan pelanggan". Demikian pula menurut Parasuraman
atau persepsi konsumen dengan kualitas layanan yang diharapkan konsumen. Jadi jika
kualitas pelayanan yang dirasakan sama atau melebihi kualitas pelayanan yang
diharapkan maka layanan tersebut dikatakan berkualitas dan memuaskan.
2.2 Dimensi Kualitas Pelayanan Jasa
Menurut Parasuraman et al dalam Rambat Lupiyoadi terdapat lima dimensi kualitas jasa
yaitu:
a. Bukti Fisik (tangible)
Bukti fisik (tangibles) yaitu kemampuan suatu perusahaan dalam menunjukkan
eksistensinya kepada pihak eksternal. Penampilan dan kemampuan sarana dan prasana
fisik perusahaan yang dapat diandalkan serta keadaan lingkungan
*Tri Hari Koestanto dan Tri Yuniati, Pengaruh Kualitas Pelayanan Terhadap Kepuasan
Pelanggan Pada Bank Jatim Cabang Klampis Surabaya, Jurnal Ilmu dan Riset
Manajemen Vol.3 No. 10 (2014)
sekitarnya merupakan bukti nyata yang diberikan dari pelayanan yang diberikan oleh
pemberi jasa.
b. Keandalan (reliability)
Keandalan (reliability) adalah kemampuan perusahaan memberikan pelayanan sesuai
dengan yang dijanjikan secara akurat dan terpercaya. Kinerja harus sesuai dengan
harapan pelanggan yang berarti ketepatan waktu, pelayanan yang sama untuk semua
pelanggan tanpa kesalahan, sikap yang simpatik, dan dengan
akurasi yang tinggi.
c. Ketanggapan (responsiveness)
Ketanggapan adalah suatu kebijakan untuk memberikan pelayanan yang cepat
(responsif) dan tepat kepada pelanggan, denga penyampain informasi yang jelas.
d. Jaminan (assurance).
Jaminan dan kepastian (assurance) adalah pengetahuan, kesopansantunan, dan
kemampuan para pegawai perusahaan untuk menumbuuhkan rasa percaya para
pelanggan kepada perusahaan. Hal ini meliputi kredibilitas, keamanan,
kompetensi, dan sopan santun.
e. Empati (empathy)
Empati (empathy) adalah memberikan perhatian yang tulus dan bersifat individu
atau pribadi yang diberikan kepada para pelanggan dengan berupaya memahami
keinginan konsumen. Dimana suatu perusahaan diharapakan memiliki pengertian dan
pengetahuan tentang pelanggan, memahami kebutuhan para pelanggan secara spesifik,
serta memiliki waktu pengoperasian yang nyaman bagi pelanggan.

2.3 Pengertian jasa


Menurut Gitosudarmo (2000) pengertian jasa adalah:
“Produk yang tidak berwujud (intangible) yang biasanya berupa pelayanan yang
dibutuhkan oleh konsumen. Pelayanan jasa diutamakan harus menjaga mutu, kredibilitas
perusahaan pemberi jasa dan mudah menyesuaikan perkembangan. Pada umumnya
jasa diproduksi dan dikonsumsi secara bersamaan, maka pelanggan sering berada di
perusahaan, berinteraksi secara langsung dengan karyawan perusahaan, dan
merupakan bagian dari proses produksi jasa”.
Menurut William J. Stanton (1986), pengertian jasa adalah:
“Kegiatan yang dapat didefinisikan secara tersendiri, yang pada hakekatnya
bersifat tidak berwujud, yang merupakan pemenuhan kebutuhan tidak harus terikat pada
penjualan produk atau jasa lain”.
Produksi jasa mungkin terikat atau tidak terikat pada produk fisik. Dari dua definisi di atas
dapat ditemukan sebuah kesamaan, bahwa jasa merupakan suatu aktivitas yang
menghasilkan sesuatu yang intangible dan dapat memberikan manfaat bagi yang
menggunakannya.
Definisi jasa di atas berimplikasi bahwa intangibility merupakan ciri utama suatu
penawaran yang disebut sebagai jasa. Meskipun demikian, sulit untuk
mengklasifikasikan produk yang bersifat murni intangible maupun murni tangible (Baker
dan Taylor, 2001).
Menurut Kotler dan Amstrong (2001) jasa adalah :
“Jasa sebagai bentuk dari produk yang terdiri dari aktifitas, manfaat (benefit), atau
kepuasan yang ditawarkan untuk dijual dan pada dasarnya tidak berwujud (intangible)
dan tidak menghasilkan kepemilikan apapun. Jasa adalah aktifitas ekonomi yaitu
penciptaan nilai tambah (value) dan penyediaan manfaat untuk konsumen pada waktu
dan tempat tertentu sebagai hasil dari memenuhi keinginan dan kebutuhan pemakai
jasa”.

2.4 Macam – macam Jasa:


a. Jasa industri
Disediakan oleh organisasi dalam lingkup yang luas termasuk pengolahan,
pertambangan, pertanian, organisasi non laba dan pemerintah.
b. Jasa konsumen
Banyak digunakan secara luas oleh masyarakat.
3. Karakteristik jasa menurut Kotler dan Amstrong (1997):
a. Tidak berwujud
Jasa tidak dapat dilihat, dirasakan, didengar, atau dirasakan dengan
indera penciuman sebelum membeli.
b. Tidak terpisahkan
Salah satu sifat utama jasa adalah diproduksi pada jangka waktu yang bersamaan dan
tidak dapat dipisahkan dari penyedia, penyedianya mesin atau manusia.
c. Keanekaragaman
Mutu jasa tergantung pada siapa yang menyediakan jasa disamping waktu, tempat, dan
bagaimana jasa tersebut disediakan.
d. Tidak tahan lama
Jasa tidak dapat disimpan untuk dijual atau dipakai lagi kemudian.
e. Tidak menghasilkan kepemilikan apapun
Jasa yang sudah dibeli hanya dapat digunakan sekali saat itu juga.
f. Pengukuran
Pengukuran terhadap mutu jasa pada umumnya sangat sulit ditentukan, karena
menyangkut aspek psikologis individu pengguna.
4. Perilaku Konsumen Jasa
Penyedia jasa perlu memahami bagaimana konsumen memilih dan
mengevaluasi penawaran jasa karena konsumen lebih memerlukan waktu untuk memilih
jasa yang akan dipilih terhadap sifat jasa yang itangible dan tidak standar.
Terdapat empat kategori perilaku konsumen dalam proses pembelian, yaitu (Zeithaml
dan Bitner, 1996):
a. Mencari informasi
Konsumen memperoleh informasi tentang produk dan jasa berasal dari sumber personal
(teman atau ahli) dan sumber non – personal (media masa atau media elektronik). Pada
saat membeli jasa, konsumen tergantung dari sumber personal karena dapat
mengkomunikasikan informasi tentang kualitas, dimana informasi dari sumber non –
personal sering kali tidak tersedia.
b. Mengevaluasi alternatif - alternatif jasa
Untuk membeli jasa konsumen mempertimbangkan brand yang
ditawarkan. Selain itu karena jasa merupakan pengalaman bagi konsumen maka faktor
psikologis merupakan faktor yang
berpengaruh dalam membentuk persepsi yang efektif terhadap jasa.
c. Pembelian dan Konsumsi Jasa
Penyampaian jasa bisa dibayangkan seperti sebuah jasa dimana personil jasa
merupakan aktor”, konsumen jasa merupakan”audience”, prasarana fisik merupakan
”setting”, serta proses jasa merupakan petunjuk. Metafor drama menyajikan cara yang
penting dalam memahami kinerja jasa. Kesuksesan pertunjukan tergantung pada sejauh
mana drama dapat diperankan dengan baik. Selain itu perlu diketahui bahwa
ketidaksesuaian konsumen dapat disebabkan oleh beberapa hal antara lain seperti
perbedaan keyakinan, nilai, pengalaman, kemampuan membayar, usia atau kesehatan.
Pemasaran jasa harus mengantisipasi, mengakui dan mengatasi heterogenitas
konsumen yang potensial untuk memahami ketidakcocokkan.
d. Evaluasi Pasca Pembelian Jasa
Karena konsumen berpartisipasi terhadap proses produksi dan
konsumsi jasa maka konsumen merasa lebih bertanggungjawab atau menjadi bagian
atas ketidakpuasan yang dirasakan daripada ketika membeli produk. Jasa seringkali lebih
kompleks dibanding barang karena terdiri dari bermacam – macam atribut yang tidak
semuanya dapat ditawarkan kepada konsumen.

2.5 Model Untuk Mengukur Kualitas Jasa


Mengukur kesenjangan antara harapan dan persepsi konsumen tentang jasa
merupakan suatu hal yang rutin dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar sebagai
umpan balik untuk mengukur kualitas dan melakukan koreksi apabila kualitas itu kurang
memuaskan konsumen. Menurut Jasfar mengatakan bahwa terdapat lima model yang
digunakan untuk menganalisis
Adapun model untuk mengukur kualitas pelayanan diatas, dapat dijelaskan sebagai
berikut:
1. Gap antara harapan konsumen dan persepsi manajemen
Yaitu untuk mengetahui bagaimana jasa atau pelayanan yang diperlukan oleh konsumen,
sehingga pihak manajemenen suatu organisasi atau pihak penyedia jasa kesehatan
dapat memahami dalam memberikan pelayanan kepada konsumen atau pasien.
2. Gap antara persepsi manajemen terhadap harapan konsumen dan spesifikasi kualitas
pelayanan.
Yaitu kadang kala manajemen mampu memahami secara tepat apa yang diinginkan oleh
konsumen atau pasien, tetapi kurangnya komitmen total manajemen terhadap kualitas
jasa atau pelayanan dan kurangnya sumber daya atau karena adanya kelebihan
permintaan.
3. Gap antara spesifikasi kualitas pelayanan dan penyampaian pelayanan
Yaitu adanya penyebab terjadinya gap ini dikarenakan beban kerja melampaui batas,
tidak dapat memenuhi standar kerja dan bahkan kurangnya standar kinerja yang telah
ditetapkan.
4. Gap antara penyampaian pelayanan dan komunikasi eksternal
Yaitu dimana seringkali harapan para konsumen dipengaruhi oleh iklan dan pernyataan
atau janji yang dibuat oleh pihak manajemen.
5. Gap antara jasa yang dirasakan dan jasa yang diharapakan
Yaitu gap ini terjadi apabila konsumen mengukur kinerja organisasi atau pihak penyedia
jasa kesehatan dengan cara yang berlainan atau bisa juga keliru mempersepsikan
kualitas jasa atau pelayanan.
Menurut Cooper (1994) konsep pemasaran pelayanan kesehatan adalah sebagai
berikut:
1. Konsep pelayanan Orientasi rumah sakit hanya untuk memberikan pelayanan dan
fasilitas yang baik.
2. Konsep penjualan Orientasi rumah sakit hanya pada untuk mencapai pemanfaatan
fasilitas yang memadai.
3. Konsep pemasaran perawatan kesehatan
Suatu orientasi sistem manajemen kesehatan yang menerima bahwa tugas pokok dari
sistem tersebut adalah untuk menentukan keinginan, kebutuhan, nilai-nilai untuk target
pasar, dan ukuran sistem sebagai cara untuk menyampaikan tingkat kepuasan yang
diinginkan konsumen. Dari perkembangan konsep pemasaran tersebut, maka jelas
terlihat adanya pergeseran rumah sakit dari dokter sebagai sentral, menjadi pasien
sebagai sentral. Rumah sakit harus memperhatikan kebutuhan, keinginan dan nilai-nilai
yang dirasakan pasien. Faktor kepuasan pasien merupakan hal yang penting
diperhatikan pihak rumah sakit. Pemasaran dalam sektor jasa kesehatan sangat berbeda
dengan sektor manufaktur dan jasa lainnya, seperti halnya industri obat-obatan, hotel,
dan lain lain. Produk-produk manufaktur diperbolehkan untuk diiklankan dalam media
masa baik cetak maupun elektronik. Sementara jasa kesehatan secara etis dan moral
tidak diperbolehkan untuk diiklankan atau diungkapkan secara terbuka kepada khalayak
umum. Setiap tenaga profesional menjunjung tinggi sumpah profesi untuk menggunakan
segala ekpertisnya menurut etika profesi dan nilai nilai moral. Pasien tidak boleh
dieksploitasi demi popularitas profesi atau industri kesehatan. Pemasaran jasa
kesehatan hanya diperbolehkan melalui brosur, leaflet, atau buletin mingguan, bulanan,
triwulan dan lain- lain (Balthasar, 2004).
Rumah sakit di Indonesia juga harus memperhatikan ketentuan- ketentuan yang telah
ditetapkan oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia, sehingga konsep
pemasaran yang diterapkan oleh rumah sakit tidak menyimpang dari ketentuan yang ada
dan merugikan pemakai jasa kesehatan. Pemasaran rumah sakit harus memperhatikan
etika rumah sakit dan etika profesi, dan inilah yang membedakan rumah sakit dengan
bisnis jasa lainnya.
Departemen Kesehatan RI memberikan kebijakan dalam pemasaran rumah sakit yaitu
(Darmanto Djojodibroto, 1997):
1. Pemasaran rumah sakit dapat dilaksanakan agar utilisasi rumah sakit
menjadi lebih tinggi sehinggga akhirnya dapat meningkatkan rujukan medik dan
meluaskan cakupan yang selanjutnya memberi kontribusi terhadap peningkatan derajat
kesehatan penduduk.
2. Pemasaran rumah sakit hendaknya tidak dilepaskan dari tujuan pembangunan
kesehatan yakni antara lain, meningkatkan cakupan dan mutu pelayanan agar derajat
kesehatan penduduk menjadi lebih baik. Pemasaran tidak boleh lepas juga dari dasar-
dasar etik kedokteran dan etika rumah sakit serta ketentuan hukum yang berlaku.
3. Promosi yang merupakan bagian dari pemasaran sudah pasti berbeda dengan
promosi perusahaan umum yang mempunyai tujuan mengeruk keuntungan sebesar-
besarnya. Promosi rumah sakit harus selalu penuh kejujuran. Konsumen dalam
pelayanan rumah sakit selalu mempunyai pilihan yang sempit dan sangat tergantung
kepada rumah sakit dan dokter. Sifat hakiki ini harus dihayati.
4. Ikatan Dokter Indonesia dan PERSI sangat penting perannya dalam merumuskan
pemasaran dan promosi yang sehat dalam bidang rumah sakit.
5. Pemasaran dan promosi rumah sakit jangan sampai menimbulkan keadaan supply
created demand yang merugikan masyarakat.
6. Dalam memasarkan jasanya rumah sakit bisa sendiri-sendiri atau bisa juga kolektif
tergantung jenis jasa apa yang akan dipasarkan.
7. Cara pemasaran yang diperbolehkan adalah :
a. Internal:
- Meningkatkan pelayanan kesehatan.
- Kuesioner pada masyarakat.
- Mobilisasi dokter, perawat, dan seluruh karyawan rumah sakit. - Brosur/leaflet/buletin.
b. Eksternal :
- Informasi tentang pelayanan kesehatan yang ada di rumah sakit
dengan cara informasi yang tidak melanggar etik rumah sakit dan
kedokteran.
- Menggunakan media masa.
- Informasi tarif harus jelas.
- Meningkatkan hubungan dengan perusahaan/badan-badan di luar
rumah sakit.
- Menyelenggarakan seminar-seminar di rumah sakit.
- Pengabdian masyarakat.
8. Kegiatan promosi yang dapat dilaksanakan adalah :
a. Advertensi melalui majalah kedokteran, buku telepon.
b. Personal selling tidak dibenarkan untuk mencegah komitmen yang
tidak sehat dari pihak promotor dan calon pembeli. c. Sales promotion hanya
diperkenankan melalui ”open house” dengan tujuan agar masyarakat mengenal lebih
dekat dan lebih jelas.
d. Publisitas diperkenankan dalam bentuk brosur atau leaflet yang berisi fasilitas dan jasa
yang ada di rumah sakit tanpa memuat kata kata ajakan atau bujukan.
Mulai dirasakannya kepentingan dari pemasaran rumah sakit adalah terjadinya industri
kesehatan, ternyata industri kesehatan mempunyai masalah yang besar seperti berikut
ini, antara lain (Cooper dalam Boy Sabarguna, 2004):
1. Tempat tidur terlalu banyak atau terlalu sedikit.
Menentukan jumlah tempat tidur yang tepat, jika terlalu banyak akan menambah biaya
perawatan dan pemeliharaan.
2. Untung, rugi.
Mencari keuntungan dari orang sakit dalam hal ini rumah sakit hanya mencari
keuntungan semata atau rugi karena manajemen yang buruk.
3. Pegawai banyak, pelayanan rendah.
Menentukan jumlah karyawan yang tepat, sehingga sumber daya efektif dan efisien.
4. Alat canggih atau tidak dapat menyelamatkan jiwa.
Kebijakan rumah sakit apakah mempunyai alat canggih dan mahal yang menyelamatkan,
atau dengan alat seadanya tapi pelayanan tidak maksimal.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Pelayanan merupakan suatu kinerja yang dilakukan, tidak berwujud, cepat
hilang, lebih dapat dirasakan daripada dimiliki, dan konsumen lebih berpartisipasi aktif
dalam proses mengkonsumsi jasa tersebut. Menurut Taufik dalam Lonard bahwa
pelayanan adalah aktivitas atau manfaat yang ditawarkan oleh satu pihak, yang tidak
berwujud dan tidak menghasilkan kepemilikan apapun,
suatu permulaan dari kepuasan pelanggan". Demikian pula menurut Parasuraman
atau persepsi konsumen dengan kualitas layanan yang diharapkan konsumen. Jadi jika
kualitas pelayanan yang dirasakan sama atau melebihi kualitas pelayanan yang
diharapkan maka layanan tersebut dikatakan berkualitas dan memuaskan.
Menurut Parasuraman et. all. dalam Tjiptono bahwa ada lima yang menjadi
dimensi kualitas pelayanan jasa, yaitu: "keandalan (reliability), daya tanggap
(responsiveness), jaminan (assurance), dan empati (empathy), dan bukti fisik". Dimensi-
dimensi ini perlu diperhatikan oleh pihak rumah sakit agar dapat memberikan pelayanan
yang baik kepada pasien dengan tujuan agar dapat memberikan kepuasan kepada
pasien. Karena pasien yang puas dengan kualitas pelayanan yang ada akan loyal dengan
rumah sakit tersebut dan bahkan akan merekomendasikan rumah sakit tersebut kepada
orang lain.
3.2 SARAN
Peneliti menyadari bahwa selama pelaksanaan penelitian ini masih banyak
kekurangan yang harus disempurnakan pada penelitian selanjutnya terutama untuk
penelitian yang ingin mengkaji kualitas pelayanan jasa yang berbeda. Berdasarkan hasil
penelitian “Pengaruh Dimensi Kualitas Pelayanan Jasa pada pelanggan.
DAFTAR PUSTAKA
Algifari (2003) Statistika Induktif, Edisi 2, AMP YKPN, Yogyakarta.
Armestead C. G. (1996). Customer Service and Support (Layanan dan Dukungan
Kepada Pelanggan). PT. Elex Media Komputindo. Kelompok Gramedia,
Jakarta.
Baker, T.L. and Taylor, S.A. (1994), “An Assessment of the relationship between
service quality and customer satisfaction in the formation of consumers
purchase intentions,” Journal of Retailing, Vol.70, pp.163-178.
Baldinger, A.L. and Rubinson, J. (1996), “Brand loyalty: the link between
attitude,” Journal of Advertising Research, November/Dcember, pp. 22-34. Boshoff, C.
and Gray, B. (2004), “The relationships between service quality, customer satisfaction
and buying intentions in the private hospital industry,”
Journal Business Management, Vol.35 (4).
Boy S.Sabarguna. (2004). Pemasaran Rumah Sakit. Yogyakarta: Konsorsium
.

Anda mungkin juga menyukai