Anda di halaman 1dari 14

SYARAT DAN ADAB SEORANG MUFASSIR

MAKALAH

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Terstruktur Dalam Mata Kuliah Ilmu Tafsir

Disusun Oleh Kelompok 3

Mutirara Safitri : 3722274

Siti Alvi Handayani : 3722282

Lailatul Rahmi : 3722285

Dosen Pengampu :

Wandi.A, S. Th.I, M.Ag

PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS SYARIAH (2-G)

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UIN SJECH M. DJAMIL DJAMBEK

BUKITTINGGI

2023
KATA PENGANTAR

Assalamu‟alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji kita panjatkan kepada Allah SWT., atas rahmat
dan karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan tugas penulisan makalh mata kuliah Ilmu Tafsir
dengan tepat waktu. Tidak lupa shalawat serta salam kepada junjungan Nabi kita Nabi
Muhammad SAW yang kita nantikan syafa‟atnya dihari akhir nantinya.

Kami berharap penulisan makalah berjudul “Syarat dan Adab Seorang Mufassir” dapat
menjadi referensi bagi pihak yang membutuhkan. Selain itu, kami berharap agar pembaca
mendapatkan sudut pandang baru setelah membaca makalah ini. Kami menyadari makalah ini
masih memerlukan penyempurnaan, kami menerima segala bentuk kritik dan saran pembaca
demi penyempurnaan makalah. Apabila terdapat kesalahan pada makalah ini, kami memohon
maaf.

Bukittinggi, 17 Maret 2023

Pemakalah

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................................... i


DAFTAR ISI.................................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................. 1
A. Latar Belakang ..................................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................................................ 1
C. Tujuan .................................................................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................................... 2
A. Mufassir ............................................................................................................................... 2
B. Syarat-syarat dan Adab Mufassir ......................................................................................... 2
C. Tiga Macam Ilmu Yang Harus Diketahui Sebelum Menafsirkan Al-Qur‟an ...................... 7
D. Riwayat Hidup Beberapa Mufassir dan Tafsirnya ............................................................... 8
BAB III PENUTUP ..................................................................................................................... 10
A. Kesimpulan ........................................................................................................................ 10
B. Saran .................................................................................................................................. 10
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Mufassir, orang yang menafsirkan Al-Qur‟an memiliki peranan penting bahkan
turut menentukan bagi pemasyarakatan Al-Qur‟an. Untuk itu, mufassir perlu memiliki
persyaratan-persyaratan tertentu.
Penafsiran Al-Qur‟an adalah kebutuhan bagi umat Islam, karena dengan adanya
kegiatan penafsiran Al-Qur‟an, maka umat Islam bisa mengerti apa yang dikehendaki
oleh Allah SWT. Sehingga denga begitu umat Islam akan menjadikan Al-Qur‟an sebagai
pedoman dalam kehidupan mereka. Namun dalam perkembangannya terdapat banyak
kasus yang sangat merugikan umat Islam, yaitu adanya penyimpanga penafsiran yang
dilakukan oleh orang-orang yang tak bertanggung jawab. Untuk menghindari hal-hal
seperti, para ulama tafsir mulai membangun kriteria-kriteria tertentu yang dijadikan
persyaratan dalam menafsirkan Al-Qur‟an.
Guna menghasilkan tafsir Al-Qur‟an yang berkualitas, mufassir mutlak perlu
memiliki prasyarat akademik di samping prasyarat-prasyarat lainnya. Seiring dengan itu,
ada sejumlah kaidah tafsir yang mengatur tentang bagaimana cara menafsirkan Al-Qur‟an
berikut mekanismenya yang mutlak harus diketahui dan dipedomani oleh para mufassir.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu mufassir?
2. Apasaja syarat-syarat dan adab menjadi mufasir?
3. Apasaja ilmu yang harus diketahui mufassir?
4. Siapa saja para mufassir dan tafsirannya?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa itu mufassir.
2. Untuk mengetahui syarat-syarat dan adab menjadi mufassir.
3. Untuk mengetahui ilmu yang harus diketahui seorang mufassir.
4. Untuk mengatahui para mufassir dan tafsirannya.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Mufassir
Orang yang menafsirkan (Al-Qur‟an) disebut mufassir, jamaknya mufassirun atau
mufassirin. Mufassir berasal dari bahasa Arab “fassar-yufassiru-tafsiira” berarti orang
yang menafsirkan. Secara terminologi ialah penelitian yang penulis lakukan pada kitab-
kitab klasik. Dapat disimpulkan pengertian mufassir, yaitu orang yang melakukan
kegiatan menjelaskan nash Al-Qur‟an, baik nash itu umum, khas, yang semua itu
mungkin bisa dijelaskan dengan pengkhususan atau pena‟wilan.
Dalam melakukan kegiatan untuk menjelaskan nash Al-Qur‟an itu dibutuhkan
pengetahuan yang mendalam tentang Al-Qur‟an. Pengetahuan yang mendalam itu adalah
pengetahuan yang luas tentang Al-Qur‟an dan pengetahuan yang berkaitan dengan Al-
Qur‟an. Pengetahuan tersebut dalam kajian ilmu tafsir menjadi persyaratan yang harus
dipenuhi oleh seseorang yang berminat untuk menafsirkan Al-Qur‟an.
Persyaratan tersebut tidak saja persyaratan ilmiah (keilmuan) tetapi juga
persyaratan yang berkaitan dengan etika profesional seorang mufassir dalam menafsrikan
Al-Qur‟an. Karena Al-Qur‟an sebagai wahyu Allah harus diletakkan pada posisi yang
terhormat, tidak seperti kitab-kitab karangan manusia. Berikut ini akan dijelaskan
beberapa persoalan yang berkaitan dengan syarat-syarat dan adab yang harus dipenuhi
oleh seorang mufassir.1

B. Syarat-syarat Dan Adab Mufassir


Untuk dapat menjadi mufassir, seseorang harus memiliki beberapa persyaratan,
baik yang bersifat fisik dan psikis, maupun yang bersifat diniah (keagamaan) dan
terutama syarat-syarat yang bersifat akademik.
Persyaratan fisik dan priskis (kejiwaan) seperti yang umum berlaku pada dunia
keilmuan lainnya ialah bahwa mufassir itu harus orang dewasa (baligh) dan berakal
sehat. Anak kecil dan orang gila, tidak bisa diterima penafsirannya. Kemudian secara

1
Samsurizal, MA “Karakteristik Kata Al-Haqq dalam Al-Qur’an” (Jawa Barat : CV.Adanu Abimata,
2021) hal 74

2
psikis, seorang mufassir juga harus memiliki etika penafsiran yang lazim dikenal dengan
sebutan adab al-mufassir, yaitu harus sehat Itikadnya (shihhat al-i’tikad), bagus niatnya
(husn al-niyyah), lurus tujuan/maksudnya (shihhat al-maqshud), baik akhlaknya (husn al-
khuluq), dan patut diteladani amal perbuatannya (al-imtisal wa al-‘amal).
Syarat lain yang tidak kurang penting ialah beragama islam (Muslim). Orang kafir
tidak dibenarkan menafsirkan Al-Qur‟an, karena dia tidak memiliki kepentingan apa pun
dengan Al-Qur‟an. Karenanya, tidaklah mengherankan jika hingga dewasa ini, tidak satu
pun orientalis yang menafsirkan Al-Qur‟an dalam konteksnya yang utuh dan menyeluruh.
Meskipun banyak orang orientalis yang mencoba menerjemahkan dan mengomentari Al-
Qur‟an, tetapi yang secara serius dan sistematis menafsirkan Al-Qur‟an kelihatannya
tidak ada sama sekali. Lagi pula penafsiran Al-Qur‟an oleh orang-orang orientalis dalam
konteks keislaman yang sesungguhnya memang tidak boleh terjadi. Alasannya, selain
karena mereka tidak berkepentingan juga terutama dikhawatirkan akan menimbulkan
kekacauan baik di kalangan umat islam secara internal malahan terbuka kemungkinan
konflik secara eksternal dengan umat beragama lain.
Adapun persyaratan-persyaratan akademik yang harus dipenuhi oleh para
mufassir ialah menguasai perangkat-perangkat keilmuan yang akan diuraikan lebih jauh
di bawah ini.2
Banyak ulama, sejak dahulu hingga kini yang sering kali mengemukakan belasan
syarat yang harus dipenuhi oleh mereka yang akan tampil menafsirkan Al-Qur‟an.
Syarat-syarat tersebut banyak. Imam Jalaluddin as-Sayuthy dalam bukunya al-itqan
menyebutkan lima belas syarat, yaitu :
1. Ilmu Bahasa Arab yang dengannya dia mengetahui makna kosakata dalam pengertian
kebahasaan dan mengetahui pula yang Musytarak.
2. Ilmu Nahwu karena makna dapat berubah akibat perubahan I’rab.
3. Ilmu Sharaf karena perubahan bentuk kata dapat mengakibatkan perbedaan makna.
4. Pengetahuan tentang Isytiqaq (akar kata).
5. Ilmu al-Ma‟any, yaitu ilmu yang berkaitan dengan susunan kalimat dari sisi
pemaknaannya.

2
Muhammad Amin Suma “Ummul Qur’an” (Jakarta : Rajawali Pers, 2013) hal 402-403

3
6. Ilmu al-Bayan, yaitu ilmu yang berkaitan dengan perbedaan makna dari sisi kejelasan
atau kesamarannya.
7. Ilmu al-Badi, yaitu ilmu yang berkaitan dengan keindahan susunan kalimat.
8. Ilmu al-Qira‟at, yang dengannya dapat diketahui makna yang berbeda-beda sekaligus
membantu dalam menetapkan salah satu dari aneka kemungkinan makna.
9. Ilmu Ushul ad-Din, karena dalam Al-Quran ada ayat-ayat yang lafazhnya
mengesankan kemustahilannya dinisbahkan kepada Allah.
10. Ilmu Ushul al-Fiqih, yang merupakan landasan dalam meng-istinbath-kan/
menetapkan hukum yang dikandung oleh ayat.
11. Ashab an-Nuzul, karena dengannya dapat diketahui konteks ayat guna kejelasan
maknanya.
12. Nasekh dan Mansukh, yakni ayat-ayat yang telah dibatalkan hukumnya, sehingga
dapat diketahui yang mana yang masih berlaku.
13. Fiqih/Hukum islam
14. Hadits-hadits Nabi yang berkaitan dengan penafsiran ayat.
15. „Ilm al-Mauhibah, yakni sesuatu yang dianugrahkan Allah kepada seseorang
sehingga menjadikannya berpotensi menjadi mufassir. Itu bermula dari upaya
membersihkan hati, meluruskan akidah, atau apa yang diistilahkan oleh sementara
ulama dengan Shihhat al-‘Aqidah/lusurnya aqidah.3
Adapun menurut para ulama syarat-syarat lain yang harus dimiliki setiap mufassir
yang dapat kami ringkaskan sebagai berikut :
1. Akidah yang benar, sebab akidah memiliki pengauh yang besar terhadap jiwa
pemiliknya, dan seringkali mendorongnya untuk mengubah nash-nash, tidak jujur
dalam penyampaian berita. Apabila seseorang menyusun sebuah kitab tafsir, maka
dita‟wilkannya ayat-ayat yang bertentangan dengan akidahnya, kemudian
menggiringnya kepada madzhabnya yang batil, guna memalingkan orang-orang dari
mengikuti golongan salaf dan dari jalan petunjuk.
2. Bersih dari hawa nafsu, hawa nafsu akan mendorong pemiliknya untuk membela
kepentingan madzhabnya, sehingga ia menipu manusia dengan kata-kata halus dan

3
M. Quraish Shihab “Kaidah Tafsir : Syarat, Ketentuan, Dan Aturan Yang Patut Anda Ketahui Dalam
Memahami Al-Qur’an” (Tanggerang : Lentera Hati, 2013) hal 395 & 396

4
keterangan menarik seperti dilakukan golongan Qadariyah, Syi‟ah Rafidhah,
Mu‟tazilah dan para pendukung fanatik madzhab sejenis lainnya.
3. Menafsirkan lebih dahulu Al-Qur‟an dengan Al-Qur‟an, karena sesuatu yang masih
global pada satu tempat telah diperinci di tempat lain dari sesuatu yang dikemukakan
secara ringkas di suatu tempat telah diuraikan di tempat lain.
4. Mencari penafsiran dari Sunnah, karena sunnah berfungsi sebagai pensyarah Al-
Qur‟an dan penjelasannya. Al-Qur‟an telah menegaskan bahwa semua ketetapan
hukum Rasulullah berasal dari Allah, “Sesungguhnya kami telah menurunkan kitab
kepadamu dengan membawakebenaran supaya kamu megadili di antara manusia
dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu.”(An-Nahl : 44).
5. Apabila tidak didapatkan penafsiran dalam Sunnah, hendaklah melihat bagaimana
pendapat para sahabat. Karena mereka lebih mengetahui tentang tafsir Al-Qur‟an,
merekalah yang terlibat dalam kondisi ketika Al-Qur‟an diturunkan, di samping
mereka mempunyai pemahaman yang sempurna, ilmu yang shahih dan amal yang
saleh.
6. Apabila tidak ditemukan juga penafsiran dalam Al-Qur‟an, Sunnah, dan pandangan
para sahabat, maka sebagian besar ulama dalam hal ini merujuk kepada pendapat
tabi‟in, seperti Mujadid bin Jabar, Sa‟id bin Jubair,‟Ikrimah Maula Ibn Abbas, dan
tab‟in lainnya. Di antara tab‟in ada yang menerima seluruh penafsiran dari sahabat,
namun tidak jarang mereka juga berbicara tentang tafsir ini dengan istinbath dan
istidlal (penalaran dalilnya sendiri).
7. Pengetahuan bahasa Arab yang baik, karena Al-Qur‟an diturunkan dalam bahasa
Arab. Pemahaman yang baik terhadap Al-Qur‟an amat bergantung pada penguraian
mufradat, lafazh-lafazh dan pegertian-pengertian yang ditunjukkannya sesuai dengan
struktur kalimat.
8. Pengetahuan tentang prinsip-prinsip ilmu yang berkaitan dengan Al-Qur‟an, seperti
ilmu qira’at, sebab dengan ilmu ini dapat diketahui bagaimana cara mengucapkan
(lafazh-lafazh) Al-Qur‟an dan dapat memilih mana yang lebih kuat di antara berbagai
ragam bacaan yang diperkenankan.
9. Pemahaman yang cermat sehingga mufassir dapat mengukuhkan sesuatu makna atas
yang lain atau menyimpulkan makna uang sejalan dengan nash-nash syari‟at.

5
Berikut adab yang harus dimiliki seorang mufassir, yaitu :
1. Berniat baik dan bertujuan benar, sebab amal perbuatan itu bergantung pada niat.
Orang yang berkecimpung dalam ilmu-ilmu syari‟at hendaknya mempunyai tujuan
dan tekad membangun kemaslahatan umum, berbuat baik kepada islam dan
membersihkan diri dari tujuan-tujuan duniawi agar Allah meluruskan langkahnya
dan menjadikan ilmunya bermanfaat sebagai buah keihklasannya.
2. Berakhlak mulia, karena mufassir bagai seoirang pendidik. Pendidikannya yang
diberikan itu tidak akan berpengaruh ke dalam jiwa, jika ia tidak menjadi panutan
dengan akhlak dan perbuatan mulia.
3. Taat dan amal. Ilmu akan lebih dapat diterima melalui orang yang mengamalkannya
daripada yang hanya debat dalam teori dan konsep. Dan perilaku mulia akan
menjadikan mufassir sebagai panutan yang baik bagi pengamalan masalah-masalah
agama yang ditetapkannya. Seringkali manusia menolak untuk menerima ilmu dari
orang yang luas pengetahuannya hanya karena orang tersebut berperilaku buruk dan
tidak mengamalkan ilmunya.
4. Jujur dan teliti dalam penukilan. Ia tidak berbicara atau menulis kecuali setelah
menyelidiki apa yang diriwayatkannya. Dengan cara ini ia akan terhindar dari
kesalahan dan kekeliruan.
5. Tawadhu‟ dan lemah lembut, karena kesombongan ilmiah merupakan batu dinding
kokoh yang dapat menghalangi antara seorang alim dengan kemanfaatanny ilmunya.
6. Berjiwa mulia. Seharusnya seorang alim menjauhkan diri dari hal-hal yang remeh
serta tidak menjadi penjilat dan pengemis jabatan dan kekuasaan bagai peminta-
minta yang buta.
7. Berani dalam menyampaikan kebenaran, karena jihad paling utama adalah
menyampaikan kalimat yang hak di hadapan penguasa alim.
8. Berpenampilan simpatik yang dapat menjadikan mufassir berwibawa dan terhormat
dalam semua penampilannya secara umum, juga dalam cara duduk, berdiri dan
berjalan, namun sikap ini hendaknya tidak dipaksa-paksakan
9. Bersikap tenang dan mantap. Mufassir hendaknya tenang dalam berbicara, tidak
terburu-buru, mantap dan jelas kata demi kata.

6
10. Mendahulukan orang yang lebih utama dari dirinya. Seorang mufassir hendaknya
tidak gegabah untuk menafsirkan di hadapan orang yang lebih pandai pada waktu
mereka masih hidup dan tidak pula merendahkan mereka sesudah mereka wafat.
Tetapi hendaknya menganjurkan belajar dari mereka dan membaca kitab-kitabnya.
11. Siap dan metodologis dalam membuat langkah-langkah penafsiran seperti memulai
dengan menyebutkan asbabun nuzul, arti kosa kata, menerangkan struktur kalimat,
menjelaskan segi-segi balaghah dan i’rab yang padanya bergantung penentuan
makna. Kemudian menjelaskan makna umum dan menghubungkannya dengan
konteks kehidupan umum yang sedang dialami, kemudian mengambil kesimpulan
dan penetapan hukum.4

C. Tiga Macam Ilmu Yang Harus Diketahui Sebelum Menafsirkan Al-Qur’an


Menurut Zarqani, ada tiga ilmu yang harus diperhatikan dalam menafsirkan Al-
Qur‟an, yaitu : pertama, ilmu yang hanya diketahui oleh Allah sendiri dan tidak diberikan
kepada siapa pun termasuk para nabi-Nya, seperti ilmu tentang dzat-Nya, sifat-sifat-Nya,
an juga tentang kegaiban-Nya. Ilmu ini menurut kesepakatan para ulama tidak boleh
dibahas. Oleh karenanya, jika ditemukan dalam kitab-kitab tafsir ada ayat-ayat yang
berkenaan dengan dzat Allah, sifat-sifat-Nya, maupun tentang kegaiban-Nya kemudian
berusaha ditafsirkan oleh pengarangnya, maka tafsir tersebut tidak dapat diterima karena
dapat merusak akiadh.
Kedua, ilmu yang hanya diberikan oleh Allah SWT ke pada nabi-Nya, dan tidak
boleh ada perdebatan di dalamnya, seperti penempatan awal-awal surah dalam Al-Qur‟an
dan menafsirkan ayat-ayat muqthothiat.
Ketiga, ilmu yang Allah SWT ajarakan kepada nabi-Nya serta diperintahkan
untuk menyampaikannya dan terbagi menjadi dua :
1. Ilmu yang tidak bisa hanya mengandalkan kekuatan pendengaran, tapi ketelitian dan
keuletan seperti ilmu nasikh wal mansukh, ilmu qira’at, kisah-kisah umat terdahulu,
asbaabun nuzuul, berita-berita tentang hari kiamat.

4
Syaikh Manna Al-Qaththan “Pengantar Studi Ilmu Al-Qur-an” (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2006) hal
414-418

7
2. Ilmu yang berdasarkan kemampuan intelektual, seperti pengetahuan tentang ayat-
ayat mutasyabihat, ahkam, dan ilmu-ilmu lain yang berhubungan dengan hal
tersebut.5

D. Riwayat Hidup Beberapa Mufassir dan Tafsirnya


1. Ibn Abbas ra
Menurut jumhur ulama Ibn Abbas terkenal dengan julukan Turjumanul Qur’an,
Habrul Ummah dan Ra’isul Mufassirin. Umar ra sangat menghormati dan
mempercayai tafsir-tafsirnya. Pada beberapa bagian tafsirnya, terkadang mengutip
dari Ahli kitab keterangan-keterangan yang sesuai dengan Al-Qur‟an, namun
jumlahnya amatlah terbatas. Ibn Abbas, dalam memahami makna lafadz Al-Qur‟an
banyak merujuk pada syair Arab, karena pengetahuannya yang sangat tinggi tentang
bahasa Arab dan sastra Arab.
2. Mujahid
Menurut imam taqiyuddin an-nabhani, Mujahid selalu bertanya kepada ahli kitab
dan karena aspek inilah sebagian ulama berhati-hati dalam mengambil perkataannya
walaupun mereka besepakat terhadap kebenarannya. Sebagai contoh Imam Bukhari
dan Imam Syafi‟i berpegang pada tafsirnya.
3. At-Thabari
Kitab tafsirnya Jami’ul Bayan Fi Tafsirul Qur’an, merupakan tafsir paling besar
dan utama serta menjadi rujukan penting bagi mufassir bil ma’sur. Tafsirnya terdiri
dari 30 jilid dan merupakan tafsir paling tua yang sampai kepada kita secara lengkap.
Metode penafsirannya adalah dengan memaparkan berbagai pendapat dengan
sanad yang lengkap dan mengkonfrontirkannya lalu mentarjihnya. Beliau juga
menerangkan aspek i’rab jika perlu. Ibn Jarir menaruh perhatian besar terhadap
qira’at beliau juga meriwayatkan kisah isra’illiyat yang disusul dengan pembahasan
dan kritikan. Ibn Jarir berpedoman pada riwayat-riwayat shahih, syair-syair Arab
kuno, ilmu nahwu dan berpijak pada penggunaan bahasa Arab yang telah dikenal
luas.

5
Abdul Hamid, Lc., M.A. “Pengantar Studi Al-Qur’an” (Jakarta : Kencana, 2017) hal 160

8
4. Ibn Katsir
Kitab tafsirnya adalah Tafsirul Gur’anil ‘Azim, merupakan kitab tafsir bil ma‟sur
kedua terbaik, terdiri dari empat jilid berukuran besar. Sekarang terdapat
ringkasannya yang dibuat oleh M. Nasib Ar-Rifa‟i.
Ciri khas dan keistimewaannya adalah perhatiannya yang cukup besar terhadap
metode tafsir Qur‟an dengan Qur‟an. Tafsirnya paling banyak memaparkan ayat-ayat
yang besesuaian maknanya, diikuti dengan hadits-hadits marfu’ yang relevan serta
menjelaskan apa yang menjai hujjah dari ayat tersebut. Kemudian diikuti pula
dengan asar sahabat, pendapat tabi‟in dan ulama sesudahnya. Juga memuat
peringatan akan riwayat isra’illiyat munkar yang terdapat dalam tafsir bil ma’sur.
Pada pengungkapan berbagai pendapat ulama tentang hukum fiqih yang kadang-
kadang disertai pendiskiusian atas mazhab dan dalil yang dikemukakan masing-
masing.6

6
Juhana Nasrudin “kaidah ilmu tafsir al-qur’an praktis” (Yogyakarta : CV Budi Utama, 2017) hal 297-
299

9
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Mufassir, orang yang menafsirkan Al-Qur‟an memiliki peranan penting bahkan turut
menentukan bagi pemasyarakatan Al-Qur‟an.
2. Persyaratan fisik dan priskis (kejiwaan) seperti yang umum berlaku pada dunia
keilmuan lainnya ialah bahwa mufassir itu harus orang dewasa (baligh) dan berakal
sehat. Anak kecil dan orang gila, tidak bisa diterima penafsirannya. Kemudian secara
psikis, seorang mufassir juga harus memiliki etika penafsiran yang lazim dikenal
dengan sebutan adab al-mufassir, yaitu harus sehat Itikadnya (shihhat al-i’tikad),
bagus niatnya (husn al-niyyah), lurus tujuan/maksudnya (shihhat al-maqshud), baik
akhlaknya (husn al-khuluq), dan patut diteladani amal perbuatannya (al-imtisal wa
al-‘amal).
3. Ilmu yang harus diketahui seorang mufassir yang pertama, ilmu yang hanya
diketahui oleh Allah sendiri dan tidak diberikan kepada siapa pun. Kedua, ilmu yang
hanya diberikan oleh Allah SWT ke pada nabi-Nya, dan tidak boleh ada perdebatan
di dalamnya. Ketiga, ilmu yang Allah SWT ajarakan kepada nabi-Nya serta
diperintahkan untuk menyampaikannya. Adapun adab untuk menjadi seorang
mufassir, yaitu berniat baik dan bertujuan benar, berakhlak mulia, taat dan amal,
jujur dan teliti dalam penulisan, tawadhu‟ dan lemah lembut, berjiwa mulia, berani
dalam menyampaikan kebenaran, berpenampilan simpatik, bersikap tenang dan
mantap, mendahulukan orang yang lebih utama dari dirinya, serta siap dan
metoologis.
4. Beberapa mufassir dan tafsirannya, antara lain Ibn Abbas ra, Mujahid, At-Thabari,
Ibn Katsir.

B. Saran
Demikian ini makalah kami yang berjudul “Syarat-syarat dan Adab Seorang
Mufassir”. Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam melakukan ini,
dikarenakan keterbatasan ilmu yang kami miliki, oleh karena itu kami sangat
mengaharapkan kritik dan saran dari dosen pengampu dan teman-teman yang membaca
makalah ini. Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat untuk kita bersama.

10
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qaththan, S. M. (2006). Pengantar Studi Ilmu Al-Qur'an. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

Hamid, A. (2017). Pengantar Studi Al-Qur'an. Jakarta: Kencana.

Nasrudin, J. (2017). KAIDAH ILMU TAFSIR AL-QUR'AN PRAKTIS. Yogyakarta: CV BUDI


UTAMA.

Samsurizal. (2021). Karakteristik Kata Al-Haqq dalam Al-Qur'an. Jawa Barat: CV Adanu
Abimata.

Shihab, M. Q. (2013). Kaidah Tafsir : Syarat, Ketentuan, dan Aturan Yang Patut Anda Ketahui
Dalam Memahami Al-Qur'an. Tanggerang: Lentera Hati.

Suma, M. A. (2013). Ummul Qur'an. Jakarta: Rajawali Pers.

Anda mungkin juga menyukai