Anda di halaman 1dari 2

RADIKALISME AGAMA

Radikalisme adalah suatu paham yang dibuat-buat oleh sekelompok orang yang menginginkan
perubahan atau pembaharuan sosial dan politik secara drastis dengan menggunakan cara-cara
kekerasan.

Namun bila dilihat dari sudut pandang keagamaan dapat diartikan sebagai paham keagamaan
yang mengacu pada fondasi agama yang sangat mendasar dengan fanatisme keagamaan yang
sangat tinggi, sehingga tidak jarang penganut dari paham / aliran tersebut menggunakan
kekerasan kepada orang yang berbeda paham / aliran untuk mengaktualisasikan paham
keagamaan yang dianut dan dipercayainya untuk diterima secara paksa.

Pada dasarnya ada keengganan bagi banyak kalangan umat beragama untuk melihat potensi
keterkaitan antara agama dan radikalisme. Sikap enggan ini bukan didasarkan semata-mata untuk
membela agama tertentu, tetapi karena fungsi agama memang bukan untuk mendorong tindakan-
tindakan yang bersifat radikal, dan berbau negatif. Agama selalu berbicara tentang hal-hal yang
serba baik, serba agung, untuk menciptakan tatanan yang dalam perspektif, misalnya, Islam
"baldatun thayibatun wa rabun ghafur." Masyarakat Jawa menyebutnya, "negeri gemah ripah
lohjinawi, toto tenterem kerto raharjo." Atau, dalam pandangan para sosiolog Barat, agama
dimaksudkan untuk menciptakan "the good society." Inilah kira-kira yang menjadi fungsi
universal agama-agama yang ada.

Meskipun begitu, pada dasarnya sulit untuk mengingkari adanya tindakan-tindakan radikal yang
setidak-tidaknya membawa bendera agama kalau bukan justru diinspirasi dan dimotivasi oleh
cara pandang serta pemahaman tertentu terhadap doktrin-doktrin agama. Dan, dalam konteks
perkembangan global dewasa ini, komunitas Islam sulit untuk menghindar dari pertanyaan
apakah Islam mendakwahkan radikalisme? Tentu dengan semangat subjektivitas keagamaan,
setiap Muslim akan menjawab dengan nada negatif. Dengan kata lain, Islam tidak (pernah)
mengajarkan radikalisme. Kendatipun mereka mengetahui bahwa ada banyak tindakan radikal
yang bisa dikait-kaitkan dengan Islam.

Islam tidak bisa mengakomodir tindakan-tindakan ekstrem. Baginya jelas bahwa Islam justru
memerintahkan moderasi dan keseimbangan situasi yang tidak ekstrem. Moderasi dan
keseimbangan yang diajarkan Islam mencakup segala sesuatu, baik dalam hal kepercayaan,
beribadah, perbuatan dan tingkah laku, serta dalam hal menetapkan hukum. Inilah, yang dalam
Islam disebut al-sirat al-mustaqim (jalan lurus) jalan mereka yang diberi nikmat oleh Allah, dan
bukan mereka yang terkena murka Allah.

Oleh karena itu, bahwa moderasi atau keseimbangan bukan hanya merupakan karakteristik
umum Islam, tetapi juga menjadi tonggak paling fundamental. Jika secara doktriner dan
prinsipal, itulah yang ingin dipancangkan Islam, maka semestinya komunitas Islam adalah
komunitas yang mengikuti jalan lurus, adil, moderat, dan seimbang. Mereka seharusnya selalu
berada di tengah, tidak berada pada titik paling jauh baik di sisi kanan maupun di kiri dari pusat.

Gagasan mengenai moderasi dan keseimbangan mempunyai dasar yang kuat dalam Al-Qur'an
dan Sunnah dua sumber utama Islam. Sumber yang pertama ini telah menyebutkan berbagai
istilah yang memerintahkan Muslim untuk selalu berada di tengah, menjadi moderat, dan berlaku
seimbang (wasath) serta melarang mereka berlaku ekstrim, ta'addi (melampaui batas), atau
tasydid (kaku, keras). Demikian pula, berkali-kali Nabi Muhammad mengingatkan umatnya agar
tidak berlebihan meskipun di dalam menjalankan ajaran agama. Nabi juga mengingatkan bahaya
yang bakal dihadapi oleh mereka yang bertindak melampaui batas. Ajaran-ajaran Islam memang
memerintahkan Muslim untuk berlaku seimbang, dan melarang mereka bertindak ekstrem.

Ada tiga problem utama dalam radikalisme agama,


Pertama, tindakan ekstrem atau batas itu terlalu sulit untuk dapat disetujui oleh manusia. Terlalu
berat bagi mereka untuk memikul beban atau mentolerir tindakan-tindakan yang melampaui
batas. Meskipun mungkin ada sebagian orang yang dapat hidup dengan praktik-praktik yang
melampaui batas, mayoritas tidak mungkin bertindak demikian. Karenanya dapat dikatakan
bahwa ekstremisme itu sebenarnya berlawanan dengan sifat manusia (human nature).

Kedua, tindakan ekstrem atau yang melampaui batas itu tidak berumur panjang (short-lived).
Secara alamiah, kemampuan orang untuk bertahan khususnya terhadap hal-hal yang berbau
eksesif itu terbatas. Dan karena manusia itu pada dasarnya cepat bosan, maka tidak bakal mampu
bertahan dengan tindakan-tindakan yang melampaui batas untuk jangka waktu lama.

Ketiga, praktik-praktik yang melampaui batas itu membahayakan dan melanggar hak dan
kewajiban pihak lain.

Anda mungkin juga menyukai