Anda di halaman 1dari 7

Dr.

Youngky : kalau sampai main-main wah repot salah tangkap orang, jadi di proses tadi itu
harus dilakuin semua, jadi gak ada lagi istilah ada kesesatan di dalam surat
yang disampaikan berdasarkan ketetapan hukum acara pidana kita sebelum 3
hari pada waktu kehadiran sudah harus diterima oleh yang bersangkutan, tidak
boleh, ini procedural atau SOP yang sejalan dengan hukum acara kita dan
itupun didukung oleh teori-teori kepolisian kita memang harus begitu, tidak
boleh tidak. Nah kalau sudah keluar dari itu maka menjadi objek pengawasan
penyidikan. Nah itu yang bisa saya sampaikan.
Pak Nove : baik, terima kasih saudara ahli jawabannya, pertanyaan berikutnya tadi
saudara ahli menyinggung isu pemanggilan, saya sedikit menyentuh isu
tersebut, dari sudut pandang saudara ahli dalam hal ternyata ditemukan satu
fakta bahwa pertama, pemanggil dalam hal ini Penyidik, mengetahui memnag
ternyata Terlapor tidak berada di lokasi, dia memang tidak berada di lokasi,
dan alamat yang dikirimkan juga alamat Pelapor dan bukan alamat Terlapor,
apakah Penyidik tersebut berdasarkan hukum acara yang berlaku dianggap
sebagai cacat formil? Pemanggilan tersebut atau tidak menerapkan fungsi
intelijen sebagaimana saudara ahli jelaskan.
Dr. Youngky : tadi saya sudah sebutkan ada aspek formil dan aspek yang materiil yang
menentukan substansi suatu proses menetapkan suatu alat bukti dalam hukum
acara pidana, memang yang tadi kami sampaikan, memang selama ini yang
diutamakan adalah aspek fomil yang dikedepankan dan proses beracara nya
praperadilan, dan bukan hanya di praperadlan aspek formil di luar praperadilan
juga mengumpulkan alat bukti sering kali digunakan, namun kami memiliki
kecenderungan untuk persoalan substansi bukan formilnya, bukan untuk
memenuhi formilinya. Kalau untuk memenuhi syarat formil dalam
menentukan 2 alat bukti itu tidak sulit gampang sekali yang susah itu kita
harus menentukan substansi atau materiil dari suatu panggilan, terus kita
penuhi alat bukti, alat bukti saksi, untuk menentukan alat bukti saksi tidak
susah kok, dalam hukum acara pidana kita mengenal minimal dua alat bukti,
namun saya lebih sependapat, dewasa ini gak cukup hanya minimal dua alat
bukti, tapi 3, kenapa 3? peran ahli harus hadir dalam proses penyidikan dan itu
sedalam dengan pemikiran saya itu bahkan untuk beberapa kasus-kasus sering
terjadi error in persona maka dari itu harus membutuhkan peran ahli, umpanya
dahulu kala proses beracara memang sudah cukup seperti itu dua alat bukti,
tapi sekarang sudah bergeser ahli sudah mulai dilibatkan, ada yang implisit
atau eksplisit, dalam gelar umum itu implisit, dalam nomenklaturnya tapi
dalam gelar khusus itu eksplisit (perlu menghadirkan ahli), dan saya bersyukur
hal tersebut sudah menjadi pandangan baru kekinian yang diterapkan oleh
kepolisian, nah kenapa saya katakan menentukan aspek formil itu mudah?
Mudah nya gini, seorang saksi untuk bercerita dalam suatu persitiwa tidak
susah, namun persoalannya kualitas dari saksi ini. itu yang harus menjadi
orientasi dari proses penegakan hukum bukan hanya sekedar saksi, Ketika ia
menyampaikan informasi sesuatu fakta-fakta harus betul berkualitas bukan
karena orientasi dengan salah satu subjek. Yang kedua, untuk menetapkan
surat kalau dari aspek formil itu gak sulit, yang sulit itu aspek materiil itu
substansi dari surat itu, apakah dari surat tersebut menunjukkan suatu
peristiwa pidana atau tidak, itu yang susah. Nah itu yang seharusnya dari awal
bukti saksi maupun bukti surat, keduanya itu untuk menunjukkan suatu
peristiwa dari pidana yang mengarah ke salah satu subjek, pelaku delik, itu
yang menurut kami tugas pokok baik penyelidikan maupun penyidikan seperti
itu.
Pak Nove : baik saudara ahli terima kasih, masih berkenaan dengan panggilan ya, cacat
formil dari suatu panggilan, bisakah saudara ahli jelaskan degan suatu
pemanggilan terhadap seorang terlapor, dalam hal ini terlapornya itu berada di
luar negeri (WNA), terima kasih.
Dr. Youngky : saya luruskan sedikit, kalau untuk klarifikasi itu undangan, kalau untuk saksi
itu panggilan, keduanya ini subjek dan objeknya itu dibutuhkan untuk
kepentingan peneyelidikan dan penyidikan, kalau memang itu berkaitan
dengan hubungan antar negara, maka itu harus berhubungan dengan kedutaan,
jadi harus dilibatkan peran kedutaan, jadi kedutaan dimana subjek menjadi
objek penyelidikan dan penyidikan, itu (kedutaan) harus diikutsertakan. Dalam
hukum internasional, apakah ini berkaitan dari suatu negara tersebut bukan
merupakan tindak pidana, namun di tempat kita menjadi objek pidana, itu soal
lain. Contoh kalau yang begesakan dengan politik, di negara kita ada namun di
negara lain beluim tentu diatur, nah ini kadang berbeda sistem hukum dan
hukum positifnya itu, tapi sepanjang itu berkaitan dnegan pidana yang masih
dapat disamakan secara umum di tempat yang sama, itu gak terlalu sulit. Nah,
persoalannya kalau itu memang bersentuhan dengan hukum bisnis, kita
pendekatan pidana pidana di negara lain yang sudah maju mereka tahu itu
merupakan perbuatan dalam ranah bisnis, makanya mereka gak mau sentuh
itu. Mereka lebih maju, lah kita berpikirnya masih di sini sini aja, mau hukum
bisnis mau hukum perdata dimasukkan sebagai tindakan pidana, nah ini yang
di negara luar sana tidak diterima. Nah itu dibutuhkannya peran diplomatik
untuk mengirim surat panggilan, nah itu memang seharusnya terjadi
sebagaimana literatur yang dari pedoman penyidikan, PERKAP, dan lannya
memang harus. Bahkan hal tersebut memungkinkan interaksi untuk dilakukan
di tempat subjek yang menjadi objek investigasi. Konsekuensi yang berkaitan
dengan penyelidikan dan penyidikan yang berkaitan dengan cost, makanya ada
perencanaan sebelum melakukan penyelidikan dan penyidikan, bukan serta
merta bertindak insidentil, jadi itu wajib (pemanggilan WNA melalui kedubes)
dilakukan karena itu lintas negara, jangankan lintas negara dalam negeri saja
jika yang diundang itu keberatan, kita wajib mendatangi di tempat yang
diundang untuk interaksi. Saya tambahkan sedikit, kalau sudah pro Justitia itu
wajib sebagai warga negara untuk hadir panggilan, itu dalam konteks dalam
negeri dan dapat disesuaikan.
Pak Nove : menurut pemahaman saudara ahli, jika dari suatu undangan dikirimkan ke
alamat pelapor bukan terlapor, dan pelapor mengirimkan undangan tersebut ke
email terlapor, menurut saudara ahli apakah pemanggilan tersebut dapat
dianggap sah dan patut?
Dr. Youngky : Kalau patut itu kan persoalan waktu dan kalau keabsahan itu apakah proses
penerbitan tersebut telah melalui SOP atau tidak, kalau tidak melalui SOP
maka terjadi kecacatan dalam bentuk surat tersebut yang mengakibatkan tidak
sah nya surat tersebut. Jadi dalam proses pemanggilan tadi sudah saya
singgung ya, maka itu harus ditunjukkan ke subjek yang bersangkutan tidak
boleh dititipkan kecuali ke ketua RT/RW setempat. Dan itu pun dengan
kondisi tertentu.
Pak Nove : Kita bergeser sedikit ke isu berikutnya, masuk ke isu selanjutnya apakjah
saudara ahli dapat jelaskan terkait proses penetapan seorang masuk dalam
daftar pencarian orang (DPO)?
Dr. Youngky : jadi proses dpo itu harus ada tahapan-tahapannya, hakikat dari DPO itu adalah
Ketika subjek yang menjadi objek itu melarikan diri, tapi kalau ternyata subjek
yang menjadi objek investigasi itu ternyata dia ada di tempatnya, dia tidak
melarikan diri ke tempatnya, ya itu tidak pantas dikatakan masuk ke dalam
Daftar Pencarian Orang, contoh konkretnya adalah saya tinggal di Jakarta
Utara, hasil investigasi menyatakan saya di situ bukan kontrak atau sewa,
investigasi atau observasinya begitu, sehingga waktu melakukan investigasi
tingkat akurasinya Ketika didatangi saya tidak ada di tempat oh berarti saya
pindah, didatrangi lagi gak ada di tempat oh mungkin udah tau laporan dari
keluarganya kepolisian mencari, merasa bersalah saya menghilang atau
melarikan, maka hal tersebut dapat menjadi syarat atau patut dimasukkan atau
diterbitkan ke dalam DPO, karena sudah dapat dipastikan berdasarkan hasil
observasi itu bahwa saya ada di situ, saya ada di situ, domisili saya di situ, istri
saya di situ, jadi ketika oh didatangakn atau dikirimkan surat itu tidak ada
betul-betul memang tidak ada bukan kebetulan bukan disengaja wah, jadi
tentunya surat-surat tersebut harus diketahui keluarganya, maka itu menjadi
syarat wah itu patut dikatakan subjek tersebut melarikan diri.
Ricki : Saya ingin menanyakan terkait dengan seseorang yang sudah tidak berada di
Indonesia, dalam hal ini sejak tahun 2019, selanjutnya diketahui pada tahun
2022 dilakukan laporan polisi terhadap dirinya dan secara mutatis mutandis
ditetapkan sebagai DPO, namun faktanya orang tersebut tidak berada di
Indonesia, jarak antara keluar dari Indonesia dan terbitnya LP kurang lebih 3
tahun, apakah orang tersebut dapat dikategorikan sebagai melarikan diri?
Dr. Youngky : kalau perihal jawaban dari pertanyaan itu tentu tadi kami sudah singgung, tapi
marilah kita tidak membicarakan dari DPO tapi mulai dari penetapan
tersangka saja, sebab penetapan DPO itu syaratnya sudah ditetapkan sebagai
tersangka. Tapi hakikatnya sudah kami sampaikan, apabila telah terjadi
kejadian sebaliknya tadi kesimpulan sebaiknya, karena kita sudah tahu
keberadaan subjek yang menjadi objek investigasi itu berada di luar, maka
cara atau tahapan yang harus ditempuh adalah harus didalami dulu prosesnya.
Untuk menjadikan proses investigasi yang berkualitas maka tidak boleh
dilewatkan hal tersebut, sebagai contoh ada suatu proses investigasi dalam
kasus pengadilan negeri jombang, maka benar ada penemuan mayat di
jombang, ada satu kelalaian dari investigasi tersebut dengan tidak melakukan
tes DNA SOP harus itu, tidak berkenan buat laporan lah orang ini yang
diterima oleh Polsek Jombang, pada mulanya itu dianggap sebagai hal yang
biasa saja, ini diamsusikan sudah sesuai dengan apa yang dilaporkan oleh
pelapor diamana anggota keluarganya menghilang, asumsi itu saja inisial jati
diri, dan itu sampai proses persidangan dan ada beberapa terdakwa dituntut
dalam putusan 18 tahun, dua orang terdakwa sudah, terdakwa yang ketiga
kebagian paling belakanh, sehingga dia belum ada putusan tetap, sehingga
yang belakang ini kemudian hari hiruk pikuk ada Ryan pembunuh berantai dan
ada di media cetak itu sontak Ryan bercerita, loh nama mayat yang ditemukan
itu oleh kepolisian adalah korban pembunuhan saya (Ryan) dan korban yang
sekian di wilayah rumah saya di Jombang bukan di Kebon itu, informasi itu
pihak kepolisian Jawa Timur turun tangan, akhirnya jadi isu yang heboh dan
pak OC Kaligis menjadi penasihat hukum gratis bagi dua terdakwa dan satu
terdakwa yang terakhir, terakhir melalui PK dilakukan pengujian kembali, Tes
DNA bilang apa mayat yang ditemukan di kebon dites DNA dan mayat yang
dikorek di rumah orang tua Ryan juga ada dites DNA cocok yang akhirnya
dibicarakan oleh Ryan, jadi akhirnya terjadi kekeliruan sehngga penetapan
tersangka dan terdakwa keliru karena telah melalaikan SOP, maka dari itu
setiap penyidik tidak boleh mengesampingkan SOP walaupun satu saja karena
kebebasan dan hak asasi manusia menjadi terancam. Saya piker seperti itu.
Ricki : berhubungan dengan hak asasi manusia, bagaimana jika dalam proses
panggilan undangan klarifikasi adanya ketentuan yang dilanggar sebagaimana
kovenan internasional atau hak-hak sipil. Mohon dijelaskan ahli.
Dr. Youngky : ya itu sudah jelas, dalam konvensi internasional PBB diberikan perlinudngan
terhadap hak-hak sipil baik yang menjadi saksi, tersangka, maupun terdakwa
itu, hak sipil patut dilindungi antara lain kalau memang procedural SOP lintas
departemen ada, ya pakai lah SOP itu sebagaiaman tahapan-tahapan dalam
SOP itu, contoh melakukan penyelidikan bagaimana, penyidikan bagaimana,
penetapan tersangka bagaimana, penetapan DPO bagaimana, sampai red
noticenya bagaimana, tapi kalau kita bicara bagaimana aspek pendekatan
formil semata tidak susah, kalau ada kekuasaan mudah untuk merekayasa
suatu tindakan formil kecuali sebaliknya, contoh konkretnya sederhana,
Bareskrim pernah minta tolong ke saya, “prof minta tolong”, kenapa harus
tergesa-gesa, “besok pagi kertas merah mau terbit”, nah kesimpulannya mau
diterbitkan kertas merah kami kan belum diperiksa, “sudahlah prof pahami
saja”, itu ada kemungkinan contoh konkret, jadi kami gak munafik dan
mengatakan bahwa hal-hal itu bisa terjadi.
Abdur : Saudara Ahli, terkait dengan subjek dalam suatu pelaporan polisi, apakah ada
perbedaan terhadap orang-orang yang memiliki kekuasaan yang melakukan
laporan, misal saya contohkan Presiden melakukan pelaporan, apakah terdapat
timeline atau kekhususan dalam menindaklanjuti laporan tersebut?
Dr. Youngky : bahwa kita hidup di negara hukum, maka adanya prinsip perlakuan yang sama
di hadapan hukum, tetapi pada kenyataannya tidak bisa memungkiri, jadi
sifatnya kondisional apakah ini ada suatu kepentingan yang lebih besar yang
harus didahulukan misalnya kepentngan negara, kepentingan masyarakat, atau
individu dahulu kah, nah perlakuannya pun berbeda, nah kalau ada
kepentingan negara nah itu di urutan pertama, ada kepentingan Lembaga itu di
bawahnya, ada kepentingan masyarakat di bawahnya, dan kepentingan
individu jauh di bawahnya, nah maka strata ini proses pelayanannya tidak
akan sama, walaupun dalam teorinya tidak dibolehkan, artinya kondisional
apalagi dalam developing country. Jadi kalau dalam kondisi tadi sama-sama
sedang dalam berhadapan di muka hukum, maka kepentingan hukum yang
berbeda tadi harus didahulukan, itu sifatnya kondisional, dan hanya soal waktu
pelayanan.
Pak Nove : kan tadi kita membahas tentang layer (strata) ada pertama kepentingan negara,
pemerintah, masyarakat, dan individu, dalam hal ada dua kepentingan yang
berbenturan antara individu, individu biasa saya tekankan lagi individu biasa,
menurut pemahaman saudara Ahli, apakah normal dan lazim jika dalam satu
hari terjadi laporan polisi, surat perintah penyelidikan, dan surat tugas
penyelidikan, dan surat undangan klarifikasi dalam satu hari yang sama.
Apakah hal tersebut lazim atau berpotensi memiliki cacat formil?
Dr. Youngky : kami contohkan tingkat pelayanan di Polsek dengan tingkat pelayanan di
Polres dan di Polda, tentu gak bakal sama, karena sekup Polda itu tentu dari
laporan yang dibuat pada hari, tanggal, bulan, tahun, dan waktu pukul berapa,
maka pelayanan administrasi dalam polda dimanapun berada, tidak mungkin
administrasi baik itu utuk proses penyelidikan dan penyidikan, sampai
terbitnya sprinlik dulu lah ya, itu jam kantor yang digunakan, anggap lah
selesai itu pukul 6, kita hitung saja berapa jam dari waktu laporan sampai jam
6, bisa gak sampai keluarnya sprin, lalu surat ini nanti dengan asumsi, begitu
lapor, laporan ini dikawal, dibawa lagi ke wadir, baru terbit lah sprin itu,
pertanyaannya, apakah iya dapat dilakukan? Sampai lahirnya sprin, jangan
undangan dulu deh mas, sampai keluarnya sprin,dulu yang menentukan tim
penyelidiknya siapa, maka kalau sudah keluar tim penyelidiknya siapa maka
tim penyelidik tadi yang dapat melakukan draf surat yang nantinya akan
ditandatangani dan diundang oleh Perwira yang dalam hal ini bisa saja Perwira
sekaligus menjadi Penyidik. Jadi kesimpulannya membutuhkan waktu yang
lama dan relevan, tidak mungkin 1 hari.
Pak Nove : ini pertanyaan saya yang terakhir sebelum melanjutkan, yang saudara Ahli
ketahui, bagaimana proses penyelidikan dan atau penyidikan, yang dimana
dalam perkaranya atau posisi kasusnya tersebut beririsan atau bersinggungan
dengan keperdataan atau hukum perseroan terbatas?
Dr. Youngky : dari mulai beberapa literatur yang kami kumpulkan dari mulai penyelidikan
dan penyidikan yang ada di di PTIK itu, Perkap Bareskrim 2014, berdasarkan
PERKAP, dan lainnya, maka yang berkaitan dnegan keperdatan atau perseoan
terbatas atau beririsan dengan kasus pidana dan non pidana, maka hal tersebut
masuk klasifikasi penyelidikan yang sangat sulit, karena harus melibatkan
unsur multi disiplin ilmu, kenapa dikatakan sangat sulit, karena membutuhkan
waktu yang sangat panjang untuk menghimpun sejumlah ahli untuk
memberikan keterangan keahliannya.
Abdur : Saudara Ahli jelaskan, bilamana ada bergoresan dengan keperdataan dan
ditambah dengan subjek dalam laporan tersebut adalah WNA, apakah masuk
kualifikasi yang sangat berat atau cukup sampai situ saja?
Dr. Youngky : Kalau dari lintas negara itu merupakan tingkatan yang sangat sulit, karena
masih membutuhkan beberapa koordinasi, jadi bukan kategori sulit tapi sangat
sulit.
Pak Nove : izin melanjutkan pertanyaan tadi ya Saudara Ahli, sebelum nanti dilanjutkan
pertanyaan oleh Termohon, tadi Saudara Ahli jelaskan berkali-kali sangat sulit
karena harus mengumpulkan multi disiplin ilmu dan lain-lain, menurut
pemahaman Sdr. Ahli, apakah lazim jika dikategorikan sebagai perkara sangat
sulit tadi justru dari laporan polisi pertama kali dibuat hingga penetapan
tersangka,…….
Hakim : (Interupsi) *Hakim menjelaskan kembali dan menyimpulkan bahwa Sdr. Ahli
sudah menyatakan hal tersebut sangat sulit.
Termohon : Saudara Ahli menyatakan dengan keluarnya putusan MK tahun 2014, bahwa
penetapan Tersangka menjadi objek praperadilan, dan Tersangka sah menjadi
Pemohon Praperadilan, bagaimana dengan Tersangka yang berstatus sebagai
DPO?
Dr. Youngky : menurut pandangan kami tentu kami melakukan pendekatan dengan hukum
positif yang ada, yang berkaitan dengan suatu regulasi, sejalan dengan
ketentuan peraturan perundangan ternyata di situ sebelum di 2004 kita
mengenal beberapa Lembaga saja, namun di era pak SBY lahir lah perluasan
beberapa Lembaga antara lain Mahkamah Agung yang memiliki kewenangan
melahirkan peraturan. Peraturan yang diamanatkan oleh MA berdasarkan
perintah undang-undang, di dalam ketentuan undang-undang MA, selain
kewenangan yang diberikan sebagai pemeriksa Kasasi, pemeriksa judicial
review yang diperintahkan sesuai undang-undang. Contoh misalnya PERMA,
PERMA ada yang mengatur soal hakim Ad Hoc tentang sistem pidana tipikor,
nah itu amanat dan perintah dari undang-undang dari peradilan tipikor, lahirlah
PERMA kapasitas posisi untuk Ad Hoc dan Karir terjadi kolaborasi antara
Hakim Ad Hoc dan Karir, itu contoh. Nah berdasarkan hukum positif,
peraturan tersebut diakui, sebagai suatu aturan yang mengikat. Nah di luar itu,
sebenarnya gak masuk seperti Surat Edaran MA itu gak masuk regeling,
karena peraturan itu mengikat di luar aturan gak mengikat, maka suatu
kebijakan (beschikking), maka seyogyanya beschikking ini gak boleh
bertentangan dengan peraturan, apalagi bertentangan dengan aturan yang lebih
tinggi. Sedangkan kewenangan judicial review itu pendekatannya aja adalah
lex superiori derogate legi inferiori oleh karena itu sudah menjadi kesepakatan
bersama suatu aturan tidak boleh bertentangan dengan aturan yang lebih
tinggi. Kalau terjadi kekosongan, dimungkinkan adanya diskresi, selama itu
adalah kekosongan jadi untuk mengisi sementara waktu, tapi sebanyak tidak
mengganggu HAM. Contoh SEMA Nomor 1 Tahun 2018, dimana ternyata
pembatasan terhadap subjek praperadilan yang objeknya ditetapkan sebagai
DPO dibataskan, ini bukan PERMA, dengan asumsi PERMA saja, maka
PERMA itu mohon maaf yang mulia bertentangan dengan Putusan MK itu
yang tahun 2014 (PMK No.21/2014) tentang seseorang dapat dijadikan
pemohon praperadilan apabila telah ditetapkan sebagai Tersangka. Maka
negative legislator ini hanya bisa disimpangi oleh peraturan yang lebih tinggi.
Jadi harus ada ketentuan undang-undang yang mengamputasi, bahkan negative
legislator itu menjadi sumber bagi hukum positif. Contoh, Ketika mengadili
memeriksa perkara Tipikor, bahwa dulu memeriksa perkara Tipikor
menggunakan klausul dalam UU KPK, nah kemudian diuji di MK yang
kemudian menghasilkan dari putusan MK itu Legislator membuat Undang-
Undang Tipikor, nah sehingga dengan demikian dapat saya simpulkan SEMA
Nomor 1 Tahun 2018 ini tidak boleh bertentangan dnegan Putusan MK tahun
2014. Yang dimana putusan itu memutuskan terhadap alasan permohonan
praperadilan dapat diajukan untuk menguji sah tidaknya suatu penetapan
tersangka, maka dari itu jika dibataskan haknya itu dengan lahirnya SEMA
tadi, maka SEMA tadi gak boleh. Kenapa gak boleh tadi, karena bertentangan
dan kedua harusnya dalam bentuk PERMA. Nah tentu PERMA karena adanya
amanat dari undang-undang
Termohon : tadi Saudara Ahli mengatakan SEMA itu adalah kebijakan internal dan tidak
mengikat, saya lanjutkan, dalam Putusan MK No 21/2014 itu apakah ada
perkembangan objek seorang DPO dapat mengajukan praperadilan?
Dr. Youngky : Tentu kita tahu bersama bahwa dalam putusan tersebut yang dimohonkan atau
diuji adalah mengenai 2 alat bukti, MK itu kan mengadili berdasarkan
permohonan, tetapi manakala itu menjadi sebuah keputusan yang menjadi
negative legislator tadi dan bersifat final and binding, maka penetapan
tersangka itu kalai mau dibataskan harus dilahirkan dalam bentuk PERMA,
dan PERMA itu harus didasarkan atas perintah undang-undang, jadi harus
PERMA sekali lagi koreksi dari saya harus PERMA bukan SEMA.
Hakim : (suara tidak jelas)
Termohon : apabila menurut Saudara Ahli SEMA tersebut bertentangan dengan regulasi,
apakah hakim yang di bawah MA bisa tidak melaksanakan SEMA itu?
Dr. Youngky : Pandangan kami begini, kita kekuasaan kehakiman ini memamh problematic,
res politica itu tidak pure, maka dari itu jika kita berbicara tentang kekuasaan
kehakiman, kebetulan saya familiar, begini kita bisa bilang kekuasaan
kehakiman itu tidak bisa diintervensi harus independent, di sisi lain dengan
NIP nya dia termasuk ke dalam suatu pejabat …..

Anda mungkin juga menyukai