Takwa adalah sebaik-baik bekal untuk meraih kebahagiaan abadi di akhirat. Oleh karena itu, khatib mengawali khutbah yang singkat ini dengan wasiat takwa. Marilah kita semua selalu meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah subhanahu wata’ala dengan melaksanakan semua kewajiban dan meninggalkan segenap larangan. Hadirin rahimakumullah Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh ath Thabarani dan sanadnya dinilai hasan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam Fathul Bari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda MAN U’TIYA FASAKARA WABTULIYA FASABAR,WATHOLAMA FASTAGHFARA WATHULIMA WAGHOFARO STUMA SAKATA FAKOLUU YA ROSULLAH MAA LAHU KOOLA ULIKA LAHUMU AMNU WAHUM MUHTADUN “Barang siapa yang diberi lalu bersyukur, diuji lalu bersabar, menzalimi lalu meminta maaf dan dizalimi lalu memaafkan,” kemudian Nabi terdiam. Para sahabat bertanya: Wahai Rasulullah, ada apa dengannya (apa yang ia peroleh)?, Nabi menjawab: “Mereka adalah orang- orang yang memperoleh keamanan (dari siksa kubur dan akhirat) dan mendapatkan petunjuk” (HR ath Thabarani). Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah, Dalam hadits di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan keutamaan seorang muslim yang memiliki empat sifat berikut ini: Pertama, bersyukur ketika memperoleh nikmat Syukur ada dua: Syukur wajib dan syukur sunnah. Syukur wajib adalah tidak menggunakan berbagai nikmat yang Allah anugerahkan dalam berbuat maksiat kepada-Nya. Sebaliknya memanfaatkan nikmat sebagai sarana dalam berbuat taat kepada Allah. Di antara nikmat yang sering dilalaikan banyak orang adalah nikmat kesehatan dan waktu luang. Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: NI’MATAANI MAGBUUNUN FIIHIMAAKHASIRUN MINNASI SYIKATUWALFARAGHU “Dua kenikmatan yang kebanyakan manusia tertipu dengannya, yaitu kesehatan dan waktu luang” (HR al- Bukhari). Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam Fathul Bari menjelaskan hadits di atas dengan mengatakan, barang siapa yang menggunakan waktu luang dan kesehatannya dalam berbuat taat kepada Allah, maka ia maghbuuth (orang lain patut menginginkan seperti dia tanpa rasa dengki), dan barang siapa yang menggunakan keduanya dalam berbuat maksiat kepada Allah, maka ia maghbuun (tertipu). Jika seseorang tidak mengisi waktu luangnya dengan hal-hal yang bermanfaat, maka ia akan menyibukkannya dengan hal-hal yang tidak ada kebaikannya. Imam Syafi’i memberikan nasihat kepada kita: IDZAILAM TASGHOL NAFSAKA BILHAKKI STAGHOLATKA BILBATILA “Jika engkau tidak menyibukkan dirimu dengan kebenaran, maka ia akan menyibukkanmu dengan kebatilan.” Karenanya, marilah kita menyibukkan diri dengan hal-hal yang bermanfaat bagi kita di kehidupan akhirat, yaitu amal-amal kebaikan seperti belajar ilmu agama dan mengajarkannya serta melakukan berbagai ibadah dan ketaatan lainnya. Sedangkan syukur sunnah adalah dengan mengucap al-Hamdulillah atau dengan melakukan sujud syukur. Sujud syukur disunnahkan ketika seseorang mendapatkan nikmat tertentu, terhindar dari suatu musibah atau ketika melihat orang lain terkena musibah sedangkan dirinya tidak tertimpa. Sujud syukur disunnahkan pada saat seseorang memperoleh nikmat tertentu pada waktu-waktu tertentu dan tidak disunnahkan untuk dilakukan setiap saat untuk kenikmatan yang terus menerus sebagaimana hal itu dijelaskan oleh Imam an-Nawawi dalam kitab al- Majmu’. Kenikmatan tertentu pada waktu-waktu tertentu itu adalah seperti saat istri melahirkan dengan selamat, ketika seseorang menuntaskan hafalan al-Qur’an, selamat dari kecelakaan dan hal-hal semacam itu. Seseorang yang melakukan sujud syukur disyaratkan dalam keadaan suci, menutup aurat dan menghadap kiblat. Hadirin jamaah Shalat Jumat yang berbahagia, Kedua, sabar ketika diuji. Sabar dalam menghadapi cobaan adalah satu dari tiga jenis sabar. Dua jenis sabar yang lain adalah sabar dalam melakukan kewajiban dan sabar dalam meninggalkan perkara haram. Sabar dalam menghadapi musibah artinya musibah yang menimpa tidak menyebabkan seseorang berbuat maksiat kepada Allah ta’ala. Ketika seorang muslim rajin dalam melakukan kebaikan lalu terkena musibah, maka musibah itu adalah ujian yang mengangkat derajatnya di akhirat. Sedangkan seorang Muslim yang banyak melakukan maksiat lalu ditimpa musibah, maka musibah itu adalah siksaan yang disegerakan di dunia yang menggugurkan siksaan baginya di akhirat. Dalam dua keadaan tersebut, musibah adalah kebaikan bagi seorang muslim. Syaratnya adalah Islam, sabar dan ridha. Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah, Ketiga, meminta maaf ketika menzalimi dan , memaafkan ketika dizalimi. Berbuat zalim kepada orang lain adalah seperti mencacinya tanpa hak, membicarakan kejelekannya, memfitnahnya, mengambil hartanya tanpa hak dan lain sebagainya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda yg artinya : “Tiga hal apabila seseorang bersifat dengannya, maka ia akan dihisab oleh Allah dengan hisab yang ringan dan dimasukkan ke dalam surga dengan rahmat-Nya.” Para sahabat bertanya: Bagi siapa itu wahai Rasulullah?. Nabi bersabda: “Engkau memberi orang yang tidak pernah memberimu, memaafkan orang yang menzalimimu dan menyambung silaturahim dengan kerabat yang memutus shilaturrahim denganmu.” (HR ath Thabarani) Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah Demikian khutbah singkat dapat saya sampaikan yang penuh keberkahan ini. Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat dan dapat kita amalkan bersama.