Anda di halaman 1dari 12

INDIKATOR PEMBANGUNAN KONVENSIONAL

Pendapatan per kapita ialah salah satu indikator yang paling sering dipergunakan sebagai tolak ukur
kemakmuran dan kesejahteraan ekonomi penduduk suatu negara. Serikat.
Atlas menggantikan kurs pasar. Faktor konvensi Atlas pada suatu tahun tertentu ialah rata-rata nilai tukar
suatu negara pada tahun tersebut dan nilai tukar pada dua tahun sebelumnya, penyesuaian perbedaan
tingkat inflasi negara tersebut dengan tingkat inflasi internasional.
Pengukuran kinerja pembangunan ekonomi berdasarkan pendapatan per kapita mendapatkan
kritikan dari sebagian ekonom.

secara umum terdapat beberapa hal yang menjadi alasan mengapa pendapatan per kapita kurang tepat
sebagai indikator pembangunan ekonomi di suatu negara:
1. Pendapatan per kapita menggambarkan ukuran kasar tentang berapa banyak pendapatan yang diterima
tiap orang pada suatu negara. Apabila terjadi jurang pendapatan yang cukup lebar antar-kelompok
masyarakat terutama yang berpendapatan paling kaya dengan paling miskin, maka ukuran ini akan
menyebabkan bias.
2. Faktor perbedaan satuan mata uang masing-masing di tiap negara. Pada akhirnya ukuran pendapatan
per kapita dipergunakan satu satuan yang sama, yaitu dolar Amerika, hal ini dapat berdampak bias ketika
kita membandingkan kondisi kemakmuran antar-negara dengan mempergunakan pendapatan per kapita
semata.

3. Pendapatan per kapita akan menyebabkan bias apabila dipergunakan sebagai satu-satunya ukuran
kemakmuran di suatu negara.

Terdapat sektor non-uang yang masih diberlakukan di negara sedang berkembang, terutama negara-
negara dimana industri keuangannya belum berkembang pesat. Hal ini menyebabkan kesulitan dalam
perhitungan pendapatan nasional.
Hal inilah yang kemudian menjadi dasar perkembangan keuangan inklusif di negara-negara sedang
berkembang.Penduduk yang hidup di daerah pedesaan di negara sedang berkembang membuat sendiri
benda-benda konsumsi dari barang-barang sederhana sehingga mampu menghemat atau meniadakan
beberapa pos pengeluaran.Perkiraan pendapatan nasional tidak dapat mengukur secara tepat perubahan
output yang disebabkan oleh perubahan tingkat harga.
Perbedaan satuan mata uang di tiap negara menjadikan perbandingan pendapatan nasional secara
internasional.
Arsyad (2010) menjelaskan mengapa pendapatan per kapita tidak mampu menunjukkan persamaan dalam
tingkat kesejahteraan masyarakat antar-wilayah atau bahkan antar-negara.
Pola pengeluaran masyarakat. Perbedaan pola pengeluaran masyarakat menyebabkan dua negara dengan
pendapatan per kapita yang sama belum tentu menikmati tingkat kesejahteraan yang sama. Hal ini terkait
dengan perbedaan gaya hidup dan kebiasaan yang terdapat pada setiap negara.
Perbedaan iklim. Perbedaan iklim termasuk salah satu yang memungkinkan timbulnya perbedaan pola
pengeluaran masyarakat. Masyarakat yang hidup di empat iklim tentu akan memiliki pengeluaran yang
berbeda dengan masyarakat yang hidup di dua iklim.
Struktur produksi nasional. Perbedaan pada komposisi sektoral akan mempengaruhi pula tingkat
kesejahteraan masyarakat mengakibatkan perbandingan tingkat pendapatan per kapita antara
negaranegara maju dan negara sedang berkembang selalu timpang sehingga perbedaan tingkat
kesejahteraan yang digambarkan jauh lebih besar daripada yang sebenarnya terjadi di antara kedua
kelompok negara tersebut .
Kesalahan yang banyak muncul ialah terkait penghitungan pendapatan per kapita di negara sedang
berkembang, karena adanya ketidaksempurnaan dalam metode penghitungan pendapatan per kapita.
Indeks Kualitas Hidup
Morris D Morris memperkenalkan satu indikator alternatif dalam mengukur kinerja pembangunan suatu
negara, yaitu indeks kualitas hidup . PQLI adalah salah satu indikator untuk mengukur kualitas hidup dari
suatu negara. Semua indikator diberi bobot 1 sampai 100. Angka 1 melambangkan kinerja terburuk dan
angka 100 melambarkan kinerja terbaik. Tahapan dalam menghitung indeks kualitas hidup ialah:
1. Hitung persentase populasi yang melek huruf.
2. Hitung tingkat kematian bayi per 1000 kelahiran.
3. Hitung tingkat harapan hidup.
4. Hitung indeks kualitas hidup.
Kesimpulan umum yang dari studi Morris (1979) ialah negara-negara dengan pendapatan per kapita yang
rendah cenderung memiliki IKH yang rendah pula. Namun, hubungan antara pendapatan per kapita dan
selamanya searah. Sejumlah negara dengan pendapatan per kapita yang tinggi justru ada yang memiliki
IKH yang rendah, bahkan lebih rendah dari IKH negara-negara miskin. Pada sisi lain sejumlah negara
dengan tingkat pendapatan per kapita rendah justru memiliki IKH yang tinggi dari negara-negara
berpenghasilan menengah ke atas indeks kualitas hidup ini memiliki beberapa kelemahan, yaitu:
1. Penggunaan IKH hanya efektif untuk membedakan tingkat pembangunan jika Pendapatan nasional
bruto (PNB) masih rendah.
2. Penyusunan skala indeks 1-100 yang tidak memiliki suatu landasan akademis ilmiah kuat dalam
menyusunnya.
3. Pemberian bobot seimbang pada ketiga indikator yang didasarkan pada suatu landasan akademis
ilmiah yang kuat.
4. Keterbatasan data yang valid dalam menyusun indeks kualitas hidup di negara sedang berkembang.
Indeks Kebahagiaan
Indeks kebahagiaan diperkenalkan oleh Raja Bhutan Jigme Singye Wangchuck pada tahun 1972. Indeks
kebahagiaan ini telah menginspirasi pergerakan pemikiran pembangunan sosio-ekonomi. Pada Juli
2011, Perserikatan Bangsa-bangsa mengeluarkan Resolusi 65/309 yang menempatkan kebahagiaan
sebagai agenda pembangunan global.
Indeks kebahagiaan merupakan rata-rata dari angka indeks yang dimiliki oleh setiap individu di
Indonesia. Semakin tinggi nilai indeks menunjukkan tingkat kehidupan yang semakin bahagia, demikian
pula sebaliknya. Indeks kebahagiaan merupakan indeks komposit yang disusun oleh tingkat kepuasan
terhadap 10 aspek kehidupan yang esensial, yaitu: (1) Kesehatan; (2) Pendidikan; (3) Pekerjaan; (4)
Pendapatan rumah tangga; (5) Keharmonisan keluarga; (6) Ketersediaan waktu luang; (7) Hubungan
sosial; (8) Kondisi rumah dan aset; (9) Keadaan lingkungan; (10) Kondisi keamanan.
Merujuk pada Statistik 70 Tahun Indonesia Merdeka yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik
menunjukkan bahwa indeks kebahagiaan penduduk Indonesia pada tahun 2014 berada pada angka 68,88
dengan skala 0-100 atau terjadi peningkatan dibandingkan dengan kondisi di tahun 2013 yang memiliki
indeks kebahagiaan sebesar 65,11. Tiga Provinsi dengan indeks kebahagiaan tertinggi ialah Riau (72,42),
Maluku (72,12), dan Kalimantan Timur (71,45). Terdapat beberapa temuan menarik atas survei
pengukuran kebahagiaan, yaitu (BPS, 2015):
1. Indeks di perkotaan relatif lebih tinggi dibandingkan di pedesaan.
2. Penduduk yang berstatus cerai memiliki indeks kebahagiaan yang lebih rendah dibandingkan
penduduk yang menikah ataupun belum menikah.
3. Penduduk usia produktif (25-40 tahun) memiliki indeks kebahagiaan tertinggi, sebaliknya penduduk
yang sudah berumur 65 tahun ke atas memiliki indeks kebahagiaan yang paling rendah.
4. Pola kebahagiaan berdasarkan ukuran rumah tangga menyerupai U terbalik dengan tingkat
kebahagiaan tertinggi terjadi pada rumah tangga berjumlah 4 orang.
5. Semakin tinggi tingkat pendidikan, maka semakin tinggi pula tingkat kebahagiaannya.
6. Semakin tinggi rata-rata pendapatan rumah tangga, semakin tinggi pula tingkat kebahagiaannya.
Indeks Pembangunan Manusia
United Nations Development Programme (UNDP) memperkenalkan IPM pertama kali pada tahun 1990.
IPM dibentuk dari empat indikator yang merefleksikan dimensi umur panjang dan hidup sehat,
pengetahuan, dan standar hidup layak. Keempat indikator tersebut adalah angka harapan hidup saat lahir,
angka melek huruf, gabungan angka partisipasi kasar, dan Produk Domestik Bruto
(PDB) per kapita. Sejak saat itu, IPM secara berkala dipublikasikan setiap tahun dalam suatu Laporan
Pembangunan Manusia (Human Development Report).. Manfaat penting IPM antara lain sebagai berikut:
1. IPM merupakan indikator penting untuk mengukur keberhasilan dalam upaya membangun kualitas
hidup manusia (masyarakat/penduduk).
2. IPM dapat menentukan peringkat atau level pembangunan suatu wilayah/negara.
3. Bagi Indonesia, IPM merupakan data strategis karena selain sebagai ukuran kinerja Pemerintah, IPM
juga digunakan sebagai salah satu alokator penentuan Dana Alokasi Umum (DAU).
Setahun berselang, UNDP melakukan penyempurnaan penghitungan IPM dengan menambahkan variabel
rata-rata lama sekolah ke dalam dimensi pengetahuan. Akhirnya, terdapat dua indikator dalam dimensi
pengetahuan, yaitu angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah. Karena terdapat dua indikator dalam
dimensi pengetahuan, UNDP memberi bobot untuk keduanya. Namun akhirnya, pada tahun 1995 UNDP
kembali melakukan penyempurnaan metode penghitungan IPM. Kali ini, UNDP mengganti variabel rata-
rata lama sekolah menjadi gabungan angka partisipasi kasar. Pada tahun 2010, UNDP secara resmi
memperkenalkan penghitungan IPM dengan metode yang baru (lihat Tabel 5.2). Metode ini
menggunakan indikator baru dalam penghitungan IPM. Indikator angka melek huruf dan gabungan angka
partisipasi kasar diganti dengan indikator harapan lama sekolah dan rata-rata lama sekolah. Indikator
PDB per kapita juga diganti dengan Produk Nasional Bruto (PNB) per kapita. Selain itu, penghitungan
rata-rata indeks juga dirubah dari rata- rata aritmetik menjadi rata-rata geometrik. Setahun kemudian,
UNDP menyempurnakan penghitungan metode baru. UNDP mengubah tahun dasar penghitungan PNB
per kapita dari 2008 menjadi 2005. Tiga tahun berselang, UNDP melakukan penyempurnaan kembali
penghitungan metode baru. Kali ini, UNDP mengubah metode agregasi indeks pendidikan dari rata-rata
geometrik menjadi rata-rata aritmetik dan tahun dasar PNB per kapita. Serangkaian perubahan yang
dilakukan UNDP bertujuan agar dapat membuat suatu indeks komposit yang cukup relevan dalam
mengukur pembangunan manusia.
Indeks Pembangunan Gender
Indeks Pembangunan Gender (IPG) diperkenalkan pertama kali oleh UNDP pada tahun 1995, lima tahun
setelah UNDP memperkenalkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). UNDP menggunakan metode
yang sama hingga tahun 2009.Pada tahun 2014, UNDP kembali melakukan penghitungan IPG dengan
menggunakan metode baru. Perubahan metode ini merupakan penyesuaian dengan perubahan yang terjadi
pada IPM. Selain sebagai penyempurnaan dari metode sebelumnya, IPG metode baru ini merupakan
pengukuran langsung terhadap ketimpangan antargender dalam pencapaian IPM.
IPG pada tahun 2014 mengalami perubahan pada indikator yang digunakan dan juga metodologi
penghitungannya. Dalam metode baru ini, dimensi yang digunakan masih sama, yaitu:
1. Umur panjang dan hidup sehat
2. Pengetahuan
3. Standar hidup layak
Menurut UNDP, ketiga dimensi tersebut digunakan sebagai pendekatan dalam mengukur kualitas hidup.
Millenium Development Goals
Pada bulan September tahun 2000, para pemimpin dunia anggota PBB medeklarasikan Millenium
Development Goals (MDGs) atau tujuan pembangunan milenium. Seluruh negara yang hadir pada saat
tersebut memiliki komitmen untuk mengintegrasikan MDGs sebagai bagian dari program pembangunan
nasional dalam upaya penyelesaian terkait dengan isu-isu yang sangat mendasar tentang pemenuhan hak
asasi dan kebebasan manusia, perdamaian, keamanan, dan pembangunan.
Deklarasi MDGs merupakan hasil perjuangan dan kesepakatan bersama antara negara-negara berkembang
dan maju. Negara-negara berkembang berkewajiban untuk melaksanakan komitmen dalam pencapaian
MDGs. Terdapat delapan tujuan yang ingin dicapai dalam MDGs (Staker, 2008), yaitu:
1. Memberantas kemiskinan dan kelaparan ekstrem. Dalam laporan MDGs tahun 2015 kemiskinan
ekstrem telah turun signifikan selama dua dekade terakhir. Apabila pada tahun 1990, hampir setengah
populasi dari negara berkembang di dunia hidup kurang dari $1,25/hari, maka pada tahun 2015 jumlah
tersebut telah turun menjadi 14 (United Nations, 2015).
2. Mewujudkan pendidikan dasar untuk semua.
3. Mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Saat ini jumlah perempuan yang
bersekolah jauh lebih banyak dibandingkan dengan 15 tahun yang lalu. Secara umum, seluruh kawasan di
dunia telah mengeliminasi terjadinya disparitas gender pada pendidikan (United Nations, 2015).
4. Menurunkan angka kematian anak.
5. Meningkatkan kesehatan ibu.
6. Memerangi HIV dan AIDS, malaria serta penyakit lainnya.
7. Memastikan kelestarian lingkungan.
8. Mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan.
Delapan tujuan MDGs ini apabila kita lihat dari sudut pandang ekonomi Islam telah mampu memenuhi 4
aspek dalam maqashid syariah, yaitu hifdzu nafs (melindungi jiwa), hifdzu aql (melindungi pikiran),
hifdzu mal (melindungi harta), dan hifdzu nasab (melindungi keturunan). Namun satu aspek utama dalam
maqashid syariah masih belum tercakupi dalam tujuan MDGs tersebut, yaitu hifdzu din (melindungi
agama).
Upaya yang ditargetkan akan dibutuhkan untuk menjangkau orang-orang yang paling rentan, yaitu
(United Nations, 2015):
1. Ketidaksetaraan gender yang masih ada.
2. Terdapat kesenjangan besar antara rumah tangga termiskin dan terkaya, dan antara pedesaan dan
perkotaan.
3. Perubahan iklim dan degradasi lingkungan merusak kemajuan yang dicapai, dan orang miskin paling
menderita.
4. Konflik tetap menjadi ancaman terbesar bagi pembangunan manusia.
5. Jutaan orang miskin masih hidup dalam kemiskinan dan kelaparan, tanpa akses ke layanan dasar.
Sustainable Development Goals (SDGs).
Pada 25 September 2015 bertempat di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), para pemimpin
dunia secara resmi mengesahkan Agenda Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development
Goals/SDGs) sebagai kesepakatan pembangunan global. Kurang lebih 193 kepala negara hadir, termasuk
Wakil Presiden Indonesia Jusuf Kalla turut mengesahkan Agenda SDGs. Dengan mengusung tema
“Mengubah Dunia Kita: Agenda 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan”, SDGs yang berisi 17 Tujuan
dan 169 Target merupakan rencana aksi global untuk 15 tahun ke depan (berlaku sejak 2016 hingga
2030), guna mengakhiri kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan melindungi lingkungan. SDGs berlaku
bagi seluruh negara (universal), sehingga seluruh negara tanpa kecuali negara maju memiliki kewajiban
moral untuk mencapai Tujuan dan Target SDGs.
SDGs ini memiliki empat pilar, yaitu (United Nations, 2015):
1. Pilar pembangunan sosial. Pembangunan sosial SDGs adalah tercapainya pemenuhan hak dasar
manusia yang berkualitas secara adil dan setara untuk meningkatkan kesejahteraan bagi seluruh
masyarakat.
2. Pilar pembangunan lingkungan. Pembangunan lingkungan SDGs adalah tercapainya pengelolaan
sumber daya alam dan lingkungan yang berkelanjutan sebagai penyangga seluruh kehidupan.
3. Pilar pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi SDGs adalah tercapainya pertumbuhan ekonomi
berkualitas melalui keberlanjutan peluang kerja dan usaha, inovasi, industri inklusif, infrastruktur
memadai, energi bersih yang terjangkau dan didukung kemitraan.
4. Pilar pembangunan hukum dan tata kelola. Pembangunan hukum dan tata kelola SDGs adalah
terwujudnya kepastian hukum dan tata kelola yang efektif, transparan, akuntabel dan partisipatif untuk
menciptakan stabilitas keamanan dan mencapai negara berdasarkan hukum.
Adapun 17 tujuan yang ingin dicapai pada pembangunan berkelanjutan (SDGs), yaitu (United Nations,
2015):
1. Mengakhiri kemiskinan dalam segala bentuk dimana pun.
2. Mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan nutrisi yang lebih baik dan mendukung
pertanian berkelanjutan.
3. Memastikan kehidupan yang sehat dan mendukung kesejahteraan bagi semua untuk semua usia.
4. Memastikan pendidikan yang inklusif dan berkualitas setara, juga mendukung kesempatan belajar
seumur hidup bagi semua.
5. Mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan semua perempuan dan anak perempuan.
6. Memastikan ketersediaan dan manajemen air bersih yang berkelanjutan dan sanitasi bagi semua.
7. Memastikan akses terhadap energi yang terjangkau, dapat diandalkan, berkelanjutan dan modern bagi
semua.
8. Mendukung pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan, tenaga kerja penuh dan produktif,
dan pekerjaan yang layak bagi semua.
9. Membangun infrastruktur yang tangguh, mendukung industrialisasi yang inklusif dan berkelanjutan,
dan membantu perkembangan inovasi.
10. Mengurangi ketimpangan di dalam dan antar-negara.
11. Membangun kota dan pemukiman yang inklusif, aman, tangguh, dan berkelanjutan.
12. Memastikan pola konsumsi dan produksi yang berkelanjutan.
13. Mengambil aksi segera untuk memerangi perubahan iklim dan dampaknya.
14. Mengonservasi dan memanfaatkan secara berkelanjutan sumber daya laut, samudera dan maritim
untuk pembangunan yang berkelanjutan.
15. Melindungi, memulihkan, dan mendukung penggunaan yang berkelanjutan terhadap ekosistem
daratan, mengelola hutan secara berkelanjutan, memerangi desertification (penggurunan), menghambat
dan membalikkan degradasi tanah serta menghambat hilangnya keanekaragaman hayati. 16. Mendukung
masyarakat yang damai dan inklusif untuk pembangunan berkelanjutan, menyediakan akses terhadap
keadilan bagi semua dan membangun institusi-institusi yang efektif, akuntabel, dan inklusif di semua
level.
17. Menguatkan ukuran implementasi dan merevitalisasi kemitraan global untuk pembangunan yang
berkelanjutan.
INDIKATOR PEMBANGUNAN DALAM PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM
Indeks Keislaman Ekonomi (Economic Islamicity Index)
Rehman dan Askari (2010) telah mencoba untuk merumuskan suatu indeks pengukuran ke-Islaman
ekonomi (economic Islamic ity index). Hal yang melatarbelakangi kajian tentang indeks ke-Islaman
ekonomi ini ialah polarisasi yang terjadi di kalangan ekonom barat terkait studi hubungan antara agama
dengan ekonomi. Terdapat pihak yang melihat agama sebagai variabel dependen (terikat); dan sebagian
melihat agama sebagai variabel independen. Apabila agama dipandang sebagai suatu variabel dependen,
maka akan dilihat seberapa besar dampak pembangunan ekonomi memengaruhi tingkat beragama.
Misalkan seberapa besar indikator pembangunan seperti pendapatan, standar hidup akan berdampak pada
tingkat beragama –seperti tingkat kehadiran di tempat ibadah. Namun apabila agama dianggap sebagai
variabel independen, maka tingkat beragama akan memengaruhi ekonomi politik, seperti kinerja
perekonomian, produktivitas, etika kerja, dan lainnya.
Konsep indeks EI2 didasarkan pada derivasi tujuan utama dari sistem ekonomi Islam, yaitu:
1. Pencapaian keadilan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan,
2. Kesejahteraan dan penciptaan lapangan kerja, dan
3. Adopsi praktik ekonomi dan keuangan Islam
Tiga faktor di atas kemudian diturunkan menjadi 12 prinsip dasar ekonomi, yaitu:
1. Kesempatan ekonomi dan kebebasan ekonomi,
2. Keadilan untuk seluruh aspek tata kelola ekonomi,
3. Perlakuan yang lebih baik terhadap pekerja termasuk penciptaan lapangan kerja dan akses yang setara
untuk bekerja,
4. Pengeluaran untuk pendidikan tinggi relatif terhadap produk domestik bruto (PDB), termasuk akses
setara untuk pendidikan,
5. Pengentasan kemiskinan, bantuan, dan penyediaan kebutuhan dasar,
6. Distribusi kekayaan dan pendapatan yang lebih lanjut,
7. Infrastruktur sosial yang lebih baik serta penyediaan jasa sosial melalui perpajakan dan keadilan sosial,
8. Tingkat tabungan dan investasi yang lebih tinggi,
9. Suatu standar moral yang lebih tinggi, kejujuran, dan kepercayaan yang terdapat pada pasar dan
seluruh interaksi ekonomi,
10. Sistem keuangan syariah I: berbagi risiko terhadap kontak utang, yaitu sistem keuangan yang
mendukung dan penghilangan spekulasi,
11. Sistem keuangan syariah II: praktik keuangan yang mencakup penghilangan suku bunga,
12. Rasio perdagangan terhadap PDB yang lebih tinggi, rasio bantuan luar negeri terhadap PDB yang
lebih tinggi, dan tingkat keramahan lingkungan yang lebih tinggi.
Rehman dan Askari (2010) menyatakan bahwa beberapa proksi yang digunakan bukan merupakan
indikator ideal terkait variabel yang berkenaan dengan prinsip Islam. Lebih lanjut, pada penelitian
terdapat data yang kurang lengkap pada beberapa area seperti distribusi pendapatan, sedekah, perpajakan,
dan sistem keuangan. Hal ini menjadikan penggunaan proksi yang tersedia pada indikator pembangunan
konvensional. Hal ini menjadi suatu auto-kritik atas EI2 . Hal ini menjadikan negara-negara mayoritas
muslim lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara maju di Barat.
Indeks Pembangunan Manusia Islami (I-HDI)
Menurut Chapra (1993), ekonomi Islam adalah cabang ilmu yang membantu menyejahterakan manusia
melalui alokasi dan distribusi sumber daya yang sesuai dengan ajaran Islam, tanpa membatasi kebebasan
individu atau menciptakan ketidakseimbangan ekonomi makro. Pembangunan ekonomi dimaksudkan
untuk menjaga dan melestarikan lima unsur pokok penunjang kehidupan manusia, yaitu agama, jiwa,
akal, keturunan, dan harta. Fokus pembangunan ekonomi tidak hanya terletak pada pembangunan
material semata, tetapijuga menempatkan manusia sebagai pelaku dan objek utama dari pembangunan itu
sendiri seiring fungsinya sebagai khalifah di bumi. Pada dasarnya setiap manusia adalah pemimpin.
Dalam Islam, manusia tidak hanya sebagai seorang pemimpin, melainkan juga sebagai makhluk Allah
Swt. yang paling mulia dengan fungsi khalifah yang harus dipertanggungjawabkan. Dalam konteks inilah,
manusia perlu senantiasa meningkatkan ilmu pengetahuan untuk memenuhi fungsi tersebut. Siddiqui
(1987) mengemukakan pendekatan pembangunan sumber daya manusia Islam mengandungi komponen-
komponen sebagai berikut: a. Komponen nilai Allah Swt., b. Komponen sosial, c. Komponen
komunikasi, d. Komponen ilmu pengetahuan praktis, dan e. Komponen pengelolaan. Islam menyerukan
efisiensi dan efektivitas dalam penggunaan waktu, tempat, dan sumber daya. Indeks pembangunan
manusia Islam atau Islamic Human Development Index (I-HDI) adalah alat yang digunakan untuk
mengukur perkembangan manusia dalam perspektif Islam. I-HDI mengukur pencapaian tingkat
kesejahteraan manusia dengan memenuhi kebutuhan dasar manusia untuk dapat hidup bahagia di dunia
dan akhirat (mencapai falah.
Indeks Pembangunan Manusia Islam Versi Anto Anto (2011)
berupaya menyusun suatu model pengukuran indeks pembangunan Islam yang diperuntukkan untuk
mengukur pembangunan di negara-negara Organisasi Kerjasama Islam (OKI). Indeks Pembangunan
Manusia yang telah dikembangkan oleh UNDP merupakan salah satu indikator yang komprehensif, tetapi
belum sepenuhnya sesuai dan memadai dalam mengukur pembangunan manusia dalam perspektif Islam.
Islamic Human Development Index (I-HDI) merupakan suatu indeks komposit yang terdiri atas beberapa
indikator yang diturunkan dari lima kebutuhan dasar yang dikembangkan sesuai dengan kerangka
maqashid syariah. Pemenuhan lima kebutuhan dasar yang terdapat pada maqashid syariah akan menjadi
landasan teoritis untuk mengembangkan indeks pembangunan manusia Islam. Oleh karenanya akan
terdapat lima dimensi utama pada I-HDI, dimensi ini mengukur kinerja baik kesejahteraan yang bersifat
material (material welfare/MW) dan kesejahteraan non-material (non-material welfare/NW).
Berdasarkan pada fondasi teoritikal, pembangunan dalam Islam dapat diekspreksikan sebagai berikut:

Wh=f(MW,NW) MW=f(PO,DE) NW=f(IEV) IEV=f(LE,E,FSR,R)


Dimana: Wh : holistic welfare (kesejahteraan holistik)
MW : material welfare (kesejahteraan material)
NW : non-material welfare (kesejahteraan non-material)
PO : property ownership (kepemilikan kekayaan)
DE : distributional equity (distribusi pendapatan)
IEV : Islamic environment and values (lingkungan dan nilai Islam)
LE : life expectancy (tingkat harapan hidup)
E : education (pendidikan)
F : family and social relationship (hubungan keluarga dan sosial) R : religiosity (religiositas
Indeks Pembangunan Manusia Islam versi Aydin Aydin (2017)
mengembangkan delapan dimensi komposit dari indeks pembangunan manusia Islam (Islamic Human
Development Index/IHDI) yang dikembangkan dari pemahaman atas perilaku manusia dari antropologi
tauhid. Dimensi ini termasuk fisik, penalaran, spiritual, etika, hewan, sosial, menindas, dan memutuskan.
Kemudian pengukurannya menggunakan sembilan indeks berbeda, tiga di antaranya berasal dari HDI
konvensional (cHDI).
Aydin (2017) mengikuti metodologi cHDI untuk menghitung indeks komposit. Perhitungan cHDI
melibatkan dua langkah. Pada langkah pertama, nilai maksimum dan minimum digunakan untuk
mengubah indikator menjadi indeks antara 0 dan 1. Kemudian, rumus berikut digunakan untuk
menghitung indeks setiap dimensi: (nilai saat ini − nilai minimum) / (nilai maksimum− minimum nilai).
Selanjutnya Wh=f(MW,NW) MW=f(PO,DE) NW=f(IEV) IEV=f(LE,E,FSR,R) pada langkah kedua,
cHDI dihitung dengan rata-rata geometrik dari indeks tiga dimensi. Demikian pula, pertama-tama
dilakukan pengukuran indeks untuk setiap dimensi. Kemudian dilakukan penghitungan indeks komposit
tunggal dengan menentukan rata-rata geometrik dari delapan dimensi.
Indeks Pembangunan Manusia Islam versi Rama dan Yusuf
Versi lain dari Indeks pembangunan Islam dikembangkan oleh Rama dan Yusuf (2019). Konsep ini
dilatarbelakangi karena konsep indeks pembangunan manusia yang ada bernilai netral dan tidak mampu
menangkap perspektif agama serta etika pembangunan sosial-ekonomi di negara-negara muslim. Padahal
negara muslim memiliki beberapa ciri khusus, budaya, dan nilai-nilai yang tidak sepenuhnya diakomodasi
oleh pengukuran pengukuran indeks pembangunan manusia. Rama dan Yusuf (2019) mengusulkan
Islamic Human Development Index (I-HDI) sebagai indeks holistik dan komprehensif untuk
pembangunan manusia yang berasal dari lima dimensi, yaitu maqā'id al-Sharī'ah: agama (dīn), kehidupan
(nafs), pikiran ('aql), keluarga (nasl), dan kekayaan (māl). Beberapa langkah yang dilakukan dalam
menggabungkan indeks. Langkah pertama adalah menormalkan semua variabel. Indikator negatif, seperti
angka kemiskinan, Gini rasio, dan tingkat pengangguran, dinormalkan dengan rumus (100-Pr) / 100
dimana Pr merupakan tingkat kemiskinan yang diukur dalam persentase. Jika angka kemiskinan bukan
dalam persentase, yaitu antara nol dan 100, tetapi dalam desimal, maka kemiskinan dinormalkan menjadi
1-Pr indeks yang dibangun digunakan untuk menentukan peringkat tingkat perkembangan manusia untuk
provinsi di Indonesia.
Indeks Zakat Nasional
Salah satu indikator pembangunan yang dikembangkan oleh Pusat Kajian Strategis Baznas ialah Indeks
Zakat Nasional (IZN). Mengapa Indeks Zakat Nasional dimasukkan dalam buku ini sebagai indikator
pembangunan versi Islam disebabkan zakat merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam suatu sistem
ekonomi Islam. Indeks Zakat Nasional ini akan menjadi alat ukur standar pengelolaan zakat nasional yang
dapat mengukur kinerja dan perkembangan zakat nasional. Indeks Zakat Nasional memiliki dua dimensi
yaitu dimensi makro dan mikro. Dimensi makro memiliki tiga indikator yaitu regulasi, dukungan
anggaran pemerintah untuk zakat, dan database lembaga zakat resmi muzakki dan mustahik. Sedangkan
dimensi mikro terdiri atas indikator kelembagaan dan dampak zakat. Teknik estimasi penghitungan yang
dilakukan dalam memperoleh nilai IZN menggunakan metode multi-stage weighted index. Nilai indeks
yang akan dihasilkan akan berada pada rentang 0,00 – 1,00. Semakin rendah nilai indeks yang didapatkan
maka semakin buruk kinerja perzakatan nasional, semakin besar nilai indeks yang diperoleh berarti
semakin baik kondisi perzakatan.

Islamic Finance Development Indicator Islamic Corporation for the Development (ICD)
mengeluarkan Islamic Finance Development Indicator (IFDI) yang merupakan suatu indeks tertimbang
gabungan yang mengukur perkembangan keseluruhan industri keuangan Islam menilai kinerja semua
bagiannya sejalan dengan tujuan berbasis keyakinan yang melekat. Informasi tersebut dikumpulkan
secara komprehensif dari 135 negara semesta dan diukur di lebih dari 10 metrik utama termasuk
Pengetahuan, Tata Kelola, CSR, dan Kesadaran. Indikator Pengembangan Keuangan Islam (IFDI) global
memberikan analisis terperinci kepada berbagai pemangku kepentingan industri tentang faktor-faktor
utama yang mendorong pertumbuhan dalam industri keuangan Islam. Ini adalah barometer definitif
keadaan industri keuangan Islam pada tahun 2020, dengan peringkat yang disediakan untuk 135 negara di
seluruh dunia. Ini mengacu pada lima indikator yang dianggap sebagai pendorong utama pembangunan di
industri.
Dengan mengukur perubahan dalam indikator ini dari waktu ke waktu dan lintas negara, IFDI
menyediakan alat penting dalam memandu kebijakan di dalam industri. IFDI mengevaluasi kekuatan
ekosistem di balik perkembangan industri secara keseluruhan serta ukuran dan pertumbuhan berbagai
sektor keuangan Islam di banyak negara tempat IFDI hadir. Lima indikator utama IFDI adalah:
Perkembangan Kuantitatif, Pengetahuan, Tata Kelola, Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, dan
Kesadaran. Laporan ini merangkum keadaan industri keuangan Islam global saat ini melalui
indikatorindikator ini dan menyoroti negara-negara peringkat teratasnya menurut IFDI. Untuk menilai
Perkembangan Kuantitatif lembaga dan pasar keuangan Islam, perlu untuk melihat semua sub-sektor
industri dan meninjau dimensi kuantitatifnya. Indikator ini menyoroti pertumbuhan keuangan, kedalaman
dan kinerja industri keuangan Islam secara keseluruhan dan berbagai sektornya. Ia juga melihat tren dan
peluang utama di lima sektor utamanya: Perbankan Islam; Takaful; Lembaga Keuangan Islam Lainnya;
Sukuk; dan Dana Islam.
Indonesia berhasil naik menjadi tiga besar peringkat negara IFDI untuk pertama kalinya sejak seri ini
diperkenalkan pada tahun 2012, sejak saat itu tidak pernah ada perubahan pada tiga posisi terdepan.
Indonesia telah naik ke posisi dua di belakang Malaysia, mendorong Bahrain dan UEA turun masing-
masing ke posisi ketiga dan keempat, karena kekuatan negara yang semakin meningkat dalam nilai
indikator Pengetahuan. Indonesia menempati peringkat pertama dalam sub indikator Pendidikan
Keuangan Islam dan peringkat kedua dalam Penelitian, didukung oleh banyaknya penyelenggara
pendidikan dan output yang produktif dari makalah penelitian keuangan Islam dan artikel jurnal yang
direview. Selain itu, sub-indikator Kesadaran negara ini nilainya hampir dua kali lipat sebagai hasil dari
peningkatan tiga kali lipat dalam jumlah acara keuangan Islam yang diselenggarakan sebagai bagian dari
implementasi Rencana Induk Ekonomi Syariah 2019-2024 oleh Komite Ekonomi dan Keuangan Syariah
Nasional (KNEKS). Indonesia juga kuat dalam hal indikator Tata Kelola, dengan seperangkat peraturan
lengkap yang mencakup semua aspek industri keuangan Islam yang tercakup dalam definisi IFDI.
KESIMPULAN
Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses pembangunan yang harus bersifat multidimensional.
Untuk mengetahui dan menganalisis perkembangan proses pembangunan ekonomi dari periode ke
periode diperlukan suatu indikator pembangunan yang dapat terukur. Hal ini yang mendasari
terbentuknya indikator pembangunan, baik di ekonomi konvensional maupun ekonomi Islam. Indikator
pembangunan ekonomi konvensional yang dibahas pada bab ini mencakup pendapatan per kapita, indeks
kualitas hidup, indeks pembangunan manusia, dan indeks pembangunan gender. Selain itu, disajikan pula
Millenium Development Goals (MDGs) yang merupakan kesepakatan para pemimpin negara yang
tergabung pada Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) pada kurun waktu 2000- 2015 dan Sustainable
Development Goals (SDGs) yang menjadi tujuan dan target pembangunan pada kurun waktu 2015 sampai
dengan tahun 2030. Sementara itu, indikator pembangunan Islam yang dibahas pada bab ini ialah indeks
ke Islaman ekonomi dan indeks pembangunan manusia Islam. Indikator pembangunan diperlukan untuk
mengukur dan menganalisis perkembangan perekonomian di suatu kawasan atau negara. Indikator
pembangunan memiliki beberapa manfaat penting dalam pembangunan. pertama, untuk mengetahui
kemajuan dan perkembangan perekonomian di suatu kawasan atau negara. Kedua, sebagai dasar dalam
melakukan suatu analisis ekonomi, terutama dalam pengambilan kebijakan. Ketiga, dapat
membandingkan tingkat kemajuan pembangunan antar-wilayah atau bahkan antar-negara dan antar-
kawasan. Keempat, untuk mengetahui corak pembangunan di setiap negara atau suatu wilayah. Ekonomi
konvensional telah mengembangkan berbagai indikator yang dipergunakan untuk mengukur proses
pembangunan, baik yang bersifat material, sosial, maupun campuran. Salah satu indikator pembangunan
yang menjadi acuan utama ialah pendapatan per kapita. Selain pendapatan per kapita, indikator
pembangunan lainnya yang dibahas dalam bab ini ialah indeks kualitas hidup, indeks pembangunan
manusia, dan indeks pembangunan gender. Islam memandang manusia tidak hanya sebagai objek
pembangunan semata, melainkan turut pula menjadi subjek penting dalam proses pembangunan. Proses
pembangunan manusia menjadi salah satu fokus utama dalam pembangunan Islam. Oleh karenanya
ekonomi Islam mencoba mengembangkan beberapa indikator yang menyesuaikan dengan tujuan syariah
(maqashid syariah) yang ingin dicapai. Beberapa indikator yang sudah dikembangkan ialah indeks ke
Islaman ekonomi (Economic Islamicity Index) dan indeks pembangunan manusia Islam (Islamic human
development index) baik yang dikembangkan oleh Anto (2011) maupun Rama dan Yusuf (2019).

DAFTAR ISTILAH PENTING


EI2 : Economic Islamicity Index The physical quality of life.
index/PQLI : Indeks kualitas hidup
IPM : Indeks Pembangunan Manusia
I-HDI : Islamic Human Development Index
MDGs : Millenium Development Goals
GDP : Pendapatan per kapita
SDGs : Sustainable Development Goals

Anda mungkin juga menyukai