Anda di halaman 1dari 11

TUGAS INDIVIDU

Untuk Memenuhi Penilaian Mata Kuliah Teori


Hukum pada Program Studi Magister Ilmu
Hukum Fakultas Hukum Universitas Airlangga

OLEH
DEWI K, S.H.
NIM. 231221072
KELAS D

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2022
PERTANYAAN
1. Akhir-akhir ini Kota Surabaya dihebohkan adanya pencurian kendaraan
bermotor dan tawuran antar “gengster” yang meresahkan warga Surabaya.
Yang memprihatinkan adalah bahwa pelaku dari tindakan pelanggaran hukum
ini adalah anak-anak yang oleh Undang-Undang Indonesia mendapatkan
perhatian dan perlindungan khusus. Bahkan sebagian masyarakat menganggap
bahwa perilaku anak-anak ini telah disalahgunakan oleh orang dewasa dengan
cara menggunakan anak-anak untuk mendapatkan keuntungan.
Tugas:
a. Deskripsikan peraturan perundang-undangan Indonesia yang dapat
digunakan untuk menyelesaikan perkara ini.
b. Atas peraturan perundang-undangan yang anda deskripsikan tersebut
buatlah analisa tentang bagaimana sebaiknya/seharusnya menggunakan
teori positivisme (exclusive dan inclusive) untuk menyelesaikan kasus
(penegakan hukum).
c. Dengan mengacu kepada Perintah Walikota Surabaya yang memanfaatkan
ormas, karang taruna, lembaga kepolisian, dan lembaga TNI untuk
menanggulangi dan menindak para “perusuh” menurut anda hal ini dapat
dibenarkan? Jelaskan hal-hal yang positif dan negatif atas kebijakan ini.

JAWABAN
a. Peraturan perundang-undangan Indonesia yang dapat digunakan untuk
menyelesaikan perkara pencurian kendaraan bermotor dan tawuran:
1) Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang
Mengubah “Ordonantie Tijdelijke Bijzondere strafbepalingen” (Stbld.
1948 Nomor 17) dan Undang-Undang Dahulu Nomor 8 Tahun 1948;
“tanpa hak memasukkan ke Indonesia, membuat, menerima, mencoba
memperolehnya, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai,
membawa, mempunyai persediaan padanya, atau mempunyai dalam
miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan,

2
atau mengeluarkan dari Indonesia, sesuatu senjata pemukul, senjata
penikam, atau senjata penusuk.”
2) Pasal 170 KUHP
“(1) Barangsiapa dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama
menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan
pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.
(2) Yang bersalah diancam :
1. dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun, jika ia dengan sengaja
menghancurkan barang atau jika kekerasan yang digunakan
mengakibatkan luka-luka;
2. dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun, jika kekerasan
mengakibatkan luka berat;
3. dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, jika kekerasan
mengakibatkan maut.
(3) Pasal 89 tidak diterapkan.
3) Pasal 358 KUHP
Mereka yang sengaja turut serta dalam penyerangan atau perkelahian di
mana terlibat beberapa orang, selain tanggung jawab masing-masing
terhadap apa yang khusus dilakukan olehnya, diancam :
1. dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan, jika akibat
penyerangan atau perkelahian itu ada yang luka-luka berat;
2. dengan pidana penjara paling lama empat tahun, jika akibatnya ada yang
mati.
4) Pasal 365 KUHP
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun pencurian
yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan, terhadap orang dengan maksud untuk mempersiapkan atau
mempermudah pencurian, atau dalam hal tertangkap tangan, untuk
memungkinkan melarikan diri sendiri atau peserta lainnya, atau untuk
tetap menguasai barang yang dicuri.

3
(2) Diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun:
1. jika perbuatan dilakukan pada waktu malam dalam sebuah rumah atau
pekarangan tertutup yang ada rumahnya, di berjalan;
2. jika perbuatan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu;
3. jika masuk ke tempat melakukan kejahatan dengan merusak atau
memanjat atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau
pakaian jabatan palsu.
4. jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat.
(3) Jika perbuatan mengakibatkan kematian maka diancam dengan pidana
penjara paling lama lima belas tahun.
(4) Diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau
selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun, jika perbuatan
mengakibatkan luka berat atau kematian dan dilakukan oleh dua orang
atau lebih dengan bersekutu, disertai pula oleh salah satu hal yang
diterangkan dalam no. 1 dan 3
5) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak
Pasal 7 tentang Diversi
(1) Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara Anak di
pengadilan negeri wajib diupayakan Diversi.
(2) Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam hal
tindak pidana yang dilakukan:
a. diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan
b. bukan merupakan pengulangan tindak pidana.
Pasal 10 tentang syarat diversi dan bentuk kesepakatan Diversi.
(1) Kesepakatan Diversi untuk menyelesaikan tindak pidana yang berupa
pelanggaran, tindak pidana ringan, tindak pidana tanpa korban, atau nilai
kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi setempat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) dapat dilakukan oleh
penyidik bersama pelaku dan/atau keluarganya, Pembimbing
Kemasyarakatan, serta dapat melibatkan tokoh masyarakat.

4
(2) Kesepakatan Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh Penyidik atas rekomendasi Pembimbing Kemasyarakatan dapat
berbentuk:
a. pengembalian kerugian dalam hal ada korban;
b. rehabilitasi medis dan psikososial;
c. penyerahan kembali kepada orang tua/Wali;
d. keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan
atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan; atau
e. pelayanan masyarakat paling lama 3 (tiga) bulan.
Pasal 21
(1) Dalam hal Anak belum berumur 12 (dua belas) tahun melakukan atau
diduga melakukan tindak pidana, Penyidik, Pembimbing Kemasyarakatan,
dan Pekerja Sosial Profesional mengambil keputusan untuk:
a. menyerahkannya kembali kepada orang tua/Wali; atau
b. mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan, dan
pembimbingan di instansi pemerintah atau LPKS di instansi yang
menangani bidang kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat maupun
daerah, paling lama 6 (enam) bulan.
(2) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diserahkan ke
pengadilan untuk ditetapkan dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari.
(3) Bapas wajib melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan program
pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan kepada Anak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b.
(4) Dalam hal hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Anak
dinilai masih memerlukan pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan
lanjutan, masa pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan dapat
diperpanjang paling lama 6 (enam) bulan.
(5) Instansi pemerintah dan LPKS sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b wajib menyampaikan laporan perkembangan anak kepada Bapas
secara berkala setiap bulan.

5
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pengambilan
keputusan serta program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 69
(1) Anak hanya dapat dijatuhi pidana atau dikenai tindakan berdasarkan
ketentuan dalam Undang- Undang ini.
(2) Anak yang belum berusia 14 (empat belas) tahun hanya dapat dikenai
tindakan.
Pasal 71 tentang pidana
(1) Pidana pokok bagi Anak terdiri atas:
a. pidana peringatan;
b. pidana dengan syarat:
1) pembinaan di luar lembaga;
2) pelayanan masyarakat; atau
3) pengawasan. c. pelatihan kerja;
d. pembinaan dalam lembaga; dan
e. penjara.
(2) Pidana tambahan terdiri atas:
a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau
b. pemenuhan kewajiban adat.
(3) Apabila dalam hukum materiil diancam pidana kumulatif berupa
penjara dan denda, pidana denda diganti dengan pelatihan kerja.
(4) Pidana yang dijatuhkan kepada Anak dilarang melanggar harkat dan
martabat Anak.
Pasal 75
(1) Pidana pembinaan di luar lembaga dapat berupa keharusan:
a. mengikuti program pembimbingan dan penyuluhan yang dilakukan oleh
pejabat pembina;
b. mengikuti terapi di rumah sakit jiwa; atau
c. mengikuti terapi akibat penyalahgunaan alkohol, narkotika,
psikotropika, dan zat adiktif lainnya.

6
Pasal 76
(1) Pidana pelayanan masyarakat merupakan pidana yang dimaksudkan
untuk mendidik Anak dengan meningkatkan kepeduliannya pada
kegiatan kemasyarakatan yang positif.
Pasal 77
(1) Pidana pengawasan yang dapat dijatuhkan kepada Anak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1) huruf b angka 3 paling singkat 3
(tiga) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun.
Pasal 78
(1) Pidana pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1)
huruf c dilaksanakan di lembaga yang melaksanakan pelatihan kerja
yang sesuai dengan usia Anak.
Pasal 79
(1) Pidana pembatasan kebebasan diberlakukan dalam hal Anak
melakukan tindak pidana berat atau tindak pidana yang disertai dengan
kekerasan.
Pasal 80
(1) Pidana pembinaan di dalam lembaga dilakukan di tempat pelatihan
kerja atau lembaga pembinaan yang diselenggarakan, baik oleh
pemerintah maupun swasta.
Pasal 81
(1) Anak dijatuhi pidana penjara di LPKA apabila keadaan dan perbuatan
Anak akan membahayakan masyarakat.
(2) Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada Anak paling lama 1/2
(satu perdua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa.
Pasal 82
(1) Tindakan yang dapat dikenakan kepada Anak meliputi:
a. pengembalian kepada orang tua/Wali;
b. penyerahan kepada seseorang;
c. perawatan di rumah sakit jiwa;
d. perawatan di LPKS;

7
e. kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang
diadakan oleh pemerintah atau badan swasta;
f. pencabutan surat izin mengemudi; dan/atau
g. perbaikan akibat tindak pidana.
6) Pasal 80 Ayat (1) UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo. Pasal 55 Ayat (1)
ke-1 KUHPidana
“menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut
serta melakukan Kekerasan terhadap Anak.”

b. Analisa tentang bagaimana sebaiknya/seharusnya menggunakan teori


positivisme (exclusive dan inclusive) untuk menyelesaikan kasus (penegakan
hukum)
Teori Positivisme Hukum Inklusif hadir dalam suatu pemikiran ilmu
hukum merupakan anti-thesis terhadap peran dominan teori hukum positivism
(Jhon Austin) dan teori hukum Murni (Hans Kalsen) yang beranggapan
bahwa suatu peraturan dipandang sebagai hukum (law) jika mengandung
keputusan, dibuat lembaga legislatif (legislative power), bersifat tertulis
(written inform), pemberlakuanya dipaksakan oleh penegak hukum, polisi,
jaksa dan hakim (forceable), dan mengandung sanksi (punishment).
Pandangan ini melihat hukum di suatu wilayah dapat saja memuat kriteria
keabsahan yang memasukkan isi dari hukum tersebut sebagai kriteria validitas
dari hukum yang bersangkutan 1
Sementara Positivisme Hukum Eksklusif berpendapat bahwa kriteria
keabsahan terkait isi ini tidak serta merta menyebabkan suatu hukum menjadi
sah atau tidak sah karena isinya, melainkan hanya memberikan diskresi
kepada otoritas penegak hukum untuk menentukan lebih lanjut apakah hukum
tersebut sah atau tidak. Richard Posner beranggapan bahwa moralitas bersifat
relatif dalam artian bahwa sekalipun suatu masyarakat dapat memiliki kode
moral tertentu, kode tersebut ditentukan oleh perkembangan kehidupan
1
Jawahir Thontowi, Mahzab Tamsis: Teori Hukum Inklusif, Bahan untuk mahasiswa
program pascasarjana S2, S3 Fakultas Hukum UII Yogyakarta, Oktober 2017, hal. 8.

8
masyarakat tersebut dibandingkan dengan adanya suatu sumber nilai tertentu
yang pasti.2
Bertolak pada kedua paradigma positivisme tersebut diatas, berkaitan
dengan maraknya kasus tawuran yang melibatkan anak dibawah umur di Kota
Surabaya yang melakukan pencurian kendaraan bermotor serta tawuran antar
“gengster” yang meresahkan warga Surabaya. Bahkan sebagian masyarakat
menganggap bahwa perilaku anak-anak ini telah disalahgunakan oleh orang
dewasa dengan cara menggunakan anak-anak untuk mendapatkan keuntungan.
Hal ini memperlihatkan bahwa keberadaan aturan hukum positif yang telah
mengatur dan mengakomodir sanksi pidana terhadap tindakan tawuran dan
pencurian kendaraan bermotor yang dilakukan oleh anak, tidak berjalan
dengan efektif. Semakin banyaknya keompok tawuran diantara kalangan
pelajar tidak dapat diatasi secara represif dengan melakukan pemidanaan
terhadap anak sesuai dengan ketentuan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang
Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang Mengubah “Ordonantie Tijdelijke
Bijzondere strafbepalingen” (Stbld. 1948 Nomor 17) dan Undang-Undang
Dahulu Nomor 8 Tahun 1948, Pasal 170 KUHP, Pasal 358 KUHP, Pasal 365
KUHP, Pasal 7, PAsal 10, Pasal 21, Pasal 69, Pasal 71, Pasal 75, Pasal 76,
Pasal 80-Pasal 82 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak, serta Pasal 80 Ayat (1) UU Nomor 35 Tahun 2014
tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHPidana, yang kesemua peraturan tersebut
bersifat represif dan memberikan efek jera sebagai upaya terakhir (ultimum
remedium) kepada anak-anak yang melakukan tawuran dan pencurian
kendaraan bermotor. Hal ini tidak bisa serta merta dilakukan mengingat
kedudukan anak dalam peraturan perundang-undangan cukup mendapat
perhatian dan perlindungan khusus mengingat masa depan anak-anak masih
panjang dan merupakan generasi penerus masa depan bangsa dan akan
menimbulkan efek yang berkepanjangan apabila anak yang melakukan

2
Posner, Richard. 2002, The Problematics of Moral and Legal Theory. Cambridge: Harvard
University Press, Hlm. 19.

9
tawuran dan pencurian kendaraan bermotor langsung dipidana dengan tidak
mempertimbangkan kondisi psikologis dan masa depan anak.
Berdasarkan permasalahan tersebut diatas, apabila dikaitkan dengan
Positivisme Hukum Eksklusif yang memberikan diskresi kepada otoritas
penegak hukum untuk menentukan lebih lanjut apakah hukum tersebut dapat
berjalan efektif atau tidak, maka dalam hal ini Aparat Penegak Hukum dapat
melakukan diskresi terhadap aturan yang bersifat represif tersebut, dengan
mengikutsertakan peranan Pemerintah Kota Surabaya dan masyarakat untuk
mencegah dan menanggulangi maraknya tawuran yang dilakukan sekelompok
pelajar di Surabaya. Keterlibatan peranan Pemerintah Kota Surabaya dan
masyarakat dapat membantu aparat penegak hukum memberikan sosialisasi,
pencegahan dan pengawasan terhadap anak-anak yang berpotensi akan
melakukan tindakan tawuran ataupun tindak pidana lainnya. Peran orangtua,
masyarakat, kelompok/organisasi kemasyarakatan sangat diperlukan dalam
mengatasi permasalahan tersebut, mengingat lingkungan keluarga, lingkungan
sekolah, dan lingkungan anak bersosialisasi merupakan tempat utama yang
apabila tidak diawasi secara ketat dapat memberikan pengaruh dan dampak
buruk bagi anak sehingga timbul niat anak untuk melakukan pelanggaran
hukum dan melakukan tindak pidana.

c. Mengacu kepada Perintah Walikota Surabaya yang memanfaatkan ormas,


karang taruna, lembaga kepolisian, dan lembaga TNI untuk menanggulangi
dan menindak para pelaku tawuran dan memberikan Command Center (CC)
112 kepada masyarakat agar dapat melapor terkait adanya aktivitas/ tindakan
sekelompok orang/anak yang diduga mengarah ke tindakan tawuran
merupakan upaya yang baik untuk membantu aparat penegak hukum
memberikan sosialisasi, pencegahan dan pengawasan terhadap anak-anak yang
berpotensi akan melakukan tindakan tawuran ataupun tindak pidana lainnya.
Peran orangtua, masyarakat, kelompok/organisasi kemasyarakatan sangat
diperlukan dalam mengatasi permasalahan tersebut, mengingat lingkungan
keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan anak bersosialisasi merupakan

10
tempat utama yang apabila tidak diawasi secara ketat dapat memberikan
pengaruh dan dampak buruk bagi anak sehingga timbul niat anak untuk
melakukan pelanggaran hukum dan melakukan tindak pidana.
Kelebihannya, dalam hal ini suatu peraturan yang di buat lembaga
legislatif (legislative power), bersifat tertulis (written inform), pemberlakunya
dipaksakan oleh penegak hukum, polisi, jaksa dan hakim (forceable), dan
mengandung sanksi (punishment) dapat dilaksanakan dengan baik oleh aparat
penegak hukum sebagai upaya represif dan untuk upaya pencegahan dapat
dilaksanakan dengan melibatkan peran pemerintah setempat dan masyarakat.
Dampak negatifnya, peran masyarakat yang terlalu aktif dalam ikut serta
menjalankan tugas aparat penegak hukum untuk melakukan penindakan
terhadap anak yang diduga berpotensi akan melakukan tawuranatau tindak
pidana lainnya, dapat berpotensi memunculkan oknum yang memanfaatkan
situasi tersebut untuk menuduh seseorang atau sekelompok orang yang tidak
disukainya, hal ini dapat menimbulkan permasalahan dan provokasi di
kemudian hari apabila tuduhan tersebut tidak benar adanya, dan dapat
memunculkan aksi main hakim sendiri dari masyarakat.

11

Anda mungkin juga menyukai