Anda di halaman 1dari 5

Artikel CLTS_PAMSIMAS

“REVOLUSI” DI KABUPATEN PANDEGLANG


DALAM MENANGANI MASALAH SANITASI
(DENGAN MENERAPKAN PENDEKATAN CLTS)
“Kado Ulang Tahun Pandeglang ke 133”
Oleh: Solihin Abas
Community Development & Watsan (Water and Sanitation) Specialist
di Project Concern International (PCI) Indonesia
pada Program CHOICE/WAHANA SEHAT di Pandeglang.
E-Mail: abu_qowwam@yahoo.com

MEMBERI SUBSIDI MENJADI ‘PILIHAN’


Buruknya sanitasi lingkungan disebut-sebut sebagai salah satu penyebab terjadinya banjir besar di
Jakarta beberapa waktu yang lalu. Buruknya sanitasi lingkungan tentu saja bukan hanya berakibat
mendatangkan banjir, tetapi juga menjadi penyebab tercemarinya lingkungan serta air minum yang
masyarakat konsumsi sehari-hari. Persoalan sampah, SPAL (saluran pembuangan air limbah)
keluarga, dan kebiasaan buang besar (BAB) di sembarang tempat yang masih terjadi di hampir
seluruh peloksok Indonesia, khususnya di pedesaan adalah potret buram kondisi sanitasi
lingkungan kita yang bukan saja telah menyumbang penyebab terjadinya pencemaran lingkungan
dan air minum, tetapi juga menjadi penyebab terjadinya berbagai macam wabah penyakit yang
membahayakan, seperti diare dan muntaber. Bahkan penyakit polio yang sampai saat ini belum bisa
disembuhkan dan telah menyita perhatian pemerintah untuk memberantasnya dengan cara
memberikan vaksin kepada anak-anak sebagai pencegahan dalam beberapa tahun terakhir ini
ditularkan lewat kotoran manusia yang dibuang di sembarang tempat (di kebun, sawah, sungai,
pantai dll) menjadi penyebab menularnya

Bagi sebagian orang, khususnya yang bekerja di lembaga/instansi yang concern terhadap masalah
sanitasi lingkungan, masalah BAB di sembarang tempat (open defecation) adalah masalah serius
yang harus mendapat perhatian besar untuk menanganinya, karena persoalan tersebut telah banyak
mendatangkan masalah dan terjadi di seluruh peloksok Indonesia dan bahkan terjadi pula di negara-
negara miskin dan berkembang lainnya, seperti India, Bangladesh, Thailand, Nepal, Mongolia dan
lain-lain. Di Propinsi Banten sendiri, berdasarkan Data Cakupan Air Minum Penyehatan
Lingkungan se-Propinsi Banten Tahun 2006 (hasil kesepakatan work shop Air Minum dan
Penyehatan Lingkungan/AMPL di Hotel Abadi, 20 September 2006), angka cakupan
sanitasinya (cakupan propinsi) masih cukup rendah, yaitu 51,93 %. Artinya hampir setengah dari
jumlah penduduk di propinsi Banten yang masih belum menggunakan jamban. Di kabupaten
Serang, Lebak dan Pandeglang sendiri cakupannya masih di bawah 40 %, sementara di Kota
Tangerang, Cilegon dan Kabupaten Tangerang angka cakupannya diatas 60%.

Karena cakupan sanitasi yang masih rendah itulah, pemerintah telah banyak melakukan upaya
penanganan masalah ini, disamping dengan cara memberikan penyuluhan yang dilakukan oleh
tenaga kesehatan, juga dengan memberikan bantuan jamban umum dan kelaurga untuk daerah-
daerah yang masyarakatnya masih BAB di sembarang tempat. Hal yang sama juga dilakukan oleh
lembaga-lembaga non pemerintah termasuk lembaga internasional yang bekerja di Indonesia, sebut
saja misalnya Unicef dan World Bank. Upaya yang dilakukan pemerintah dan lembaga non
pemerintah dengan cara memberikan bantuan jamban tersebut telah berpuluh tahun berlangsung
dan menelan cukup banyak biaya yang dikeluarkan.

1
Edisi Revisi 5 Desember 2007
Artikel CLTS_PAMSIMAS

Lalu, apakah setelah sekian puluh tahun kita mengatasi masalah BAB di sembarang tempat dengan
cara membuatkan jamban untuk masyarakat telah mampu menghentikan kebiasaan masyarakat
untuk tidak lagi BAB di sembarang tempat?

COMMUNITY LED TOTAL SANITATION (CLTS) APROACH


Dari beberapa studi evaluasi terhadap beberapa program pembangunan sanitasi pedesaan
didapatkan hasil bahwa banyak sarana yang dibangun tidak digunakan dan dipelihara oleh
masyarakat. Banyak faktor penyebab mengenai ‘kegagalan’ tersebut, salah satu diantaranya adalah
tidak adanya demand atau kebutuhan yang muncul ketika program dilaksanakan, dan pendekatan
yang digunakan oleh program tersebut tidak berhasil memunculan demand dari masyarakat akan
jamban. Di India, Bangladesh dan beberapa negara berkembang lainnya termasuk Indonesia
terdapat kenyataan bahwa di beberapa desa yang mendapat bantuan untuk sanitasi, belum terbebas
dari kebiasaan BAB di sembarang tempat atau open defecation. Dengan kata lain, kebiasaan BAB
di sembarang tempat tetap berjalan, sekalipun fasilitas jamban disediakan. Milyaran rupiah telah
dikeluarkan, banyak tenaga kerja yang bergerak dari satu proyek ke proyek lainnya, dan banyak
pihak (kecuali masyarakat) sedikit banyak telah diuntungkan dari proyek-proyek tersebut
(Panduan Proses CLTS, Waspola-World Bank, 2005). Di sisi lain, dengan terbiasanya
masyarakat menerima bantuan dari ‘orang luar’ (baik pemerintah maupun lembaga non
pemerintah/LSM) ketergantungan mereka kepada orang luar semakin tinggi dan menganggap
dirinya tidak mampu menyelesaikan masalah yang mereka hadapi. Karena mereka berfikir, toh ada
‘orang luar’ yang akan membantu mereka.

CLTS atau Community Lead Total Sanitation atau sanitasi total yang dipimpin oleh masyarakat
dilatar belakangi oleh adanya “kegagalan” dari proyek-proyek sanitasi sebelumnya seperti
disebutkan di atas. Pendekatan CLTS merupakan pendekatan baru untuk pengembangan sanitasi di
pedesaan dan mulai berkembang pada tahun 2001. Pertama kali diperkenalkan oleh Kamal Kar di
sebuah komunitas kecil di district Rajshahi, Bangladesh.

Di Indonesia sendiri, pendekatan CLTS ini dikenalkan dan disponsori oleh World Bank, lembaga
yang sebelumnya sering memberikan bantuan ke banyak negara, termasuk Indonesia baik berupa
uang maupun dalam bentuk material untuk pembangunan jamban. Daerah-daerah yang sudah
melakukan pendekatan ini diantaranya adalah Muara Enim Propinsi Sumatra Selatan, Sambas
Propinsi Kalimantan dan Lumajang Propinsi Jawa Timur. Pandeglang adalah kabupaten ke 7 di
Indonesia dan pertama di Propinsi Banten yang menerapkan pendekatan ini pada tahun 2006.
Pendekatan ini diterapkan di lima kecamatan (Saketi, Pagelaran, Patia, Sukaresmi dan Angsana)
wilayah dampingan Project Concern International (PCI) Pandeglang, Pimpinan Daerah ‘Aisyiah
dan LAZ Harfa Pandeglang.

Apa itu Communy Led (prakarsa lokal yang dipimpin masyarakat)?


Jika pada era Orde Baru, model pembangunan masyarakat lebih berorientasi kepada top down atau
segala sesuatunya ditentukan oleh pengembil kebijakan, maka pada pada saat sekarang
kecenderungannya lebih pada pola bottom up yaitu model pembangunan yang didasarkan pada
aspirasi masyarakat atau lebih dikenal dengan istilah memberdayakan masyarakat. Pada model
pembangunan dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat, sejatinya adalah menempatkan
masyarakat sebagi subjek. Masyarakat bukan hanya menerima informasi sebuah kebijakan, juga
bukan hanya diajak berunding sementara yang memutuskan ‘orang luar’ dan bukan hanya juga
dilibatkan dalam membuat keputusan, sementara yang melakukannya adalah orang lain dan
masyarakat tidak diberikan wewenang untuk melakukan monitoring dan evaluasi serta
pengembangan/reflikasi.

2
Edisi Revisi 5 Desember 2007
Artikel CLTS_PAMSIMAS

Dalam program pengembangan sanitasi pedesaan dengan pendekatan CLTS, masyarakat sendirilah
yang melakukan analisa masalah dan potensi, perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi,
pemanfaatan dan perawatan serta pengembangan/reflikasi. sehingga memberikan pengaruh kepada
semua orang di dalam kelompok masyarakat, demi tercapainya tujuan “Tidak ada lagi orang yang
BAB di sembarang tempat. Ciri lain yang menunjukkan masyarakat sebagai pemimpin (community
led) adalah sebagai berikut:

 Keputusan dibuat dan aksi dilakukan oleh masyarakat secara kolektif.


 Solidaritas sosial dan gotong royong terlihat sangat besar.
 Keputusan yang dibuat oleh masyarakat tidak bergantung pada petunjuk maupun tekanan dari
luar.
 Pemimpin informal (Natural Leader) muncul dari aksi kolektif lokal dan merekalah yang akan
memimpin prakarsa kolektif di masa depan.
 Masyarakat tidak mengikuti model-model/cetak biru pembangunan yang diperkenalkan.
 Inovasi dan keberagaman model muncul dari masyarakat sendiri.

Apa itu Total Sanitation (Sanitasi Total)?


Sanitasi Total adalah perubahan perilaku sanitasi yang terjadi di dalam masyarakat, mencakup
perubahan perilaku BAB ditandai dengan meningkatnya demand (kebutuhan) untuk menggunakan
sarana sanitasi serta perubahan perilaku hygienis dan sanitasi lainnya. “Sanitasi Total” akan dicapai
ketika seluruh masyarakat:
 Tidak BAB di sembarang tempat
 Menggunakan jamban sehat/hygienis untuk BAB
 Mencuci tangan dengan sabun sebelum menjamah makanan (untuk makan atau menyiapkan
makanan), setelah BAB, dan setelah membersihkan kotoran bayi.
 Menjaga jamban tetap berfungsi dan bersih.
 Berperilaku hygienis dalam menyiapkan makanan dan minuman.
 Mengelola air limbah dan sampah domestik (termasuk limbah hewan peliharaan) secara
hygienis.

Tolok ukur keberhasilan yang dicapai adalah terjadinya perubahan perilaku pada masyarakat,
bukan pada jumlah konstruksi atau bangunan jamban yang dibangun.

Prinsip CLTS
CLTS merupakan suatu pendekatan yang diterapkan untuk memfasilitasi masyarakat dalam
memahami permasalahan dan potensi peningkatan sanitasi di komunitasnya dengan prinsip :
 Tanpa subsidi; Dalam pendekatan ini tidak ada subsidi sedikitpun baik berupa uang maupun
material dan kepada orang termiskin sekalipun.
 Tidak menggurui, tidak menyuluh, tidak memaksa, tidak mempromosikan jamban;
‘Orang luar’ baik pemerintah maupun lembaga swasta atau NGO (Non Goverment
Organization) tidak lebih dari sekedar orang yang mefasilitasi kegiatan masyarakat.
Masyarakat sendirilah yang akan menentukan solusi apa yang akan diambil untuk mengatasi
masalah yang mereka hadapi dan mereka pulalah yang menentukan pilihan teknologi/model
jamban apa yang akan digunakan sesuai dengan kondisi lingkungan dan kemampuan mereka.
 Masyarakat sebagai pemimpin; Kelompok masyarakat setempatlah yang akan menggerakkan
masyarakat yang lainnya untuk terjadinya perubahan prilaku dari kebiasaan BAB disembarang
tempat (open defecation) menuju masyarakat yang sadar jamban dan terbebas dari BAB di
sembarang tempat (free open defecation).
 Masyarakat terlibat secara total; Masyarakat terlibat dalam melakukan analisis permasalahan
dan potensi, perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan dan pemeliharaan, monitoring dan
evaluasi serta pengembangan/replikasi.

3
Edisi Revisi 5 Desember 2007
Artikel CLTS_PAMSIMAS

“REVOLUSI” DAN PENGHARGAAN MURI


Ketika pendekatan ini dikenalkan ke beberapa daerah untuk diterapkan, termasuk di Pandeglang,
banyak orang yang meragukan bahkan menganggap mustahil pendekatan ini bisa menghentikan
kebiasaan orang BAB di sembarang tempat. Alasan yang mereka kemukaan diantaranya adalah:
Pertama, bahwa kebiasaan BAB di sembarang tempat sudah membudaya karena sudah dilakukan
sejak berpuluh-puluh bahkan beratus tahun yang lalu. Kedua, masyarakat dianggap tidak mampu
berswadaya (karena ‘kemiskinan’) dan tidak mampu memecahkan masalah yang mereka hadapi
sendiri tanpa bantuan ‘orang luar.’ Ketiga, bagaimana mungkin pendekatan CLTS bisa
menghentikan kebiasaan BAB di sembarang tempat, sementara saat ini saja, banyak desa yang
diberikan/dibuatkan jamban, masyarakatnya tetap BAB di sembarang tempat, apalagi kalau tidak
ada bantuan.

Demikian juga ketika Penulis memberikan training CLTS di Kabupaten Nabire Propinsi Papua, ada
seorang peserta dengan suara lantang mengatakan, bahwa tidak mungkin CLTS diterapkan di
Papua, karena di Papua masih banyak orang yang ‘pra sejarah’ yang tidak mungkin punya
kemampuan untuk untuk memecahkan masalah mereka sendiri tanpa dibantu ‘orang luar,’ baik
bantuan berupa materi maupun pemikiran.

CLTS memang ‘aneh,’ karena dengan menerapkan pendekatan ini diyakini bisa mengubah
kebiasaan orang yang sudah berpuluh bahkan beratus tahun untuk tidak lagi BAB di sembarang
tempat dan berprilaku hygienis lainnya tanpa memberikan bantun, tanpa menyuluh, tidak memberi
solusi dan masyarakat sendiri yang melakukan semuanya secara total. Lalu apakah pendekatan ini
bisa mewujudkan hal yang diyakininya itu?

Banyak orang yang tercengang dengan perubahan apa yang tejadi di masyarakat Pandeglang,
khususnya di wilayah kecamatan Saketi, Pagelaran, Patia, Sukaresmi dan Angsana, yang sejak
tahun awal 2006 menerapkan pendekatan ini. Bebarapa orang yang pernah datang dan belajar
CLTS di lima kecamatan tersebut, diantaranya dari Jakarta, Aceh, Papua dan tamu dari luar negeri
(Amerika, Canada, Inggris dan Belanda), mengaku takjub dengan perubahan yang terjadi. Menurut
mereka, masyarakat Pandeglang layak untuk dijadikan contoh daerah lain di Indonesia karena telah
mampu berswadaya penuh dan menyelesaikan masalah yang mereka hadapi (BAB di sembarang
tempat) tanpa ada bantuan dari orang lain dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama. Kampung-
kampung mereka kini menjadi bersih, terawat dan tidak lagi menghebuskan aroma yang tidak
sedap (bau kotoran manusia) seperti sebelum menerapkan pendekatan CLTS. Bagi mereka ini
semacam Revolusi, karena perubahannya begitu cepat dan dapat mengubah kebiasaan orang yang
sudah sangat lama mengakar di masyarakat.

Sejak diterapkannya pendekatan ini pada awal tahun 2006 sampai bulan Februari 2007 saja telah
terbangun sebanyak 1719 unit jamban oleh masyarakat tanpa subsidi satu peser pun dan sudah ada
15 kampung yang terbebas dari BAB di sembarang tempat. Jumlah yang fantastis dan tidak diduga
oleh banyak orang termasuk oleh World Bank, lembaga yang mengenalkan pendektan CLTS ini di
Propinsi Banten. Bisa dihitung, berapa ratus juta biaya yang bisa dihemat oleh pemerintah. Uang
dari pemerintah atau dari lembaga donor yang semula dialokasikan untuk mensubsidi pembuatan
jamban, bisa digunakan kegiatan lain yang jauh lebih penting dan menyangkut tanggung jawab
bersama, seperti untuk pendidikan dan kesehatan. Sementara untuk urusan ‘mengamankan kotoran
manusia’ biarlah orang yang mengeluarkan kotoran itu yang bertanggung jawab, tidak lagi harus
diurusi oleh orang lain.

Untuk itu, pastaslah kiranya kalau Musium Rekor Dunia Indonesia (MURI) pimpinan Jaya
Suprana, mencatatat prestasi dan kehebatan masyarakat Pandeglang dalam buku MURI dengan no
rekor ........... yang telah diterima Bupati Pandeglang mewakili masyarakat pada hari Ahad , 1 April
2007 di Alun-alun Pandeglang dalam suasana suka cita, karena bertepatan dengan hari jadi
4
Edisi Revisi 5 Desember 2007
Artikel CLTS_PAMSIMAS

Kabupaten Pandeglang ke 133 yang tentu saja ini menjadi kado istemewa. Penghargaan MURI ini
diperuntukkan bagi masyarakat Pandeglang khususnya di lima kecamatan yang dengan gigih dan
tanpa lelah membangun desanya dan semua pihak yang telah bekerja sama dan bersinergi dalam
melakukan kegiatan CLTS.

Penghargaan MURI ini sejatinya dapat menjadi motivasi dan inspirasi bagi kita semua untuk
meningkatkan komitmen kita dalam membangun masyarakat yang tidak hanya berorientasi kepada
hal-hal yang bersifat pisik, tetapi juga pada peningkatan sumber daya manusia dengan pendekatan-
pendekatan program yang memberdayakan masyarakat dan memberikan seluas-luasnya kepada
masyarakat untuk berkontribusi membangun daerahnya.

BAGAIMANA MELAKUKAN PENDEKATAN CLTS?


Untuk melakukan pendekatan ini tidaklah diperlukan waktu yang panjang, kalaupun pendekatan ini
untuk mengubah prilaku manusia, yang katanya untuk dapat mengubah prilaku manusia itu tidak
semudah membalikkan telapak tangan dan butuh waktu yang lama. Tapi yang terjadi adalah
pendekatan ini mampu mengubah prilaku manuasia “hampir semudah membalikkan telapak
tangan,” karena hanya membutuhkan waktu satu sampai dua jam untuk melakukan pemicuan
(trigering), yang dengan pemicuan inilah masyarakat bisa berubah. Pemicuan adalah sebutan untuk
sebuah sessi pertemuan dengan masyarakat dalam kegiatan CLTS yang lazim dilakukan di
lapangan terbuka dengan tanpa kursi dan tikar, di dalamnya berisi penggunaan alat (tools)
Participatory Reped Appraisal (PRA) yaitu alat yang digunakan untuk mengkaji masalah dan
potensi dengan cepat dan dilakukan secara partisipatif. Alat-alat tersebut meliputi: Social mapping
(pemetaan sosial), Transect Walk (penulusuran jalan), oral vecal (alur kontaminasi), penghitungan
volume tinja, simulasi air yang terkontaminasi oleh tinja dan FGD (Focus Group Discussion).
Dalam sessi ini seorang pendamping lapangan hanya berfungsi sebagai fasilitator yang banyak
bertanya kepada masyarakat layaknya seorang murid yang tidak tahu apa-apa dan bertanyanya
kepada gurunya.

Semua alat-lat tersebut digunakan untuk memicu rasa jijik, rasa malu, harga diri (khususnya kaum
perempuan), rasa nyaman dan aman, takut sakit karena tinja dapt mencemari air minum dan sungai
dll. Setelah masyarakat terpicu, akan muncul kesadaran dan rasa butuh (demand) untuk memiliki
jamban sendiri yang tidak perlu dibantu orang lain. Setelah itulah mereka mencari solusi apa yang
tepat dan realistis sesuai dengan kemampuan dan lingkungan mereka. Maka dalam giliran
berikutnya mereka menemukan solusi dan mengatur strategi untuk membebaskan kampung mereka
dari open defecation.

Dirgahayu Kabupaten Pandeglang ke 133.

5
Edisi Revisi 5 Desember 2007

Anda mungkin juga menyukai