Anda di halaman 1dari 21

Vol. 6 No. 2.

Des 2020 p-ISSN: 2476-910X


e- ISSN: 2621-8291

Ujaran Kebencian dalam Ranah Politik di Facebook

Aurora Rafi N1, Dadan Rusmana2


1
Bahasa dan Sastra Inggris, UIN Sunan Gunung Djati Bandung
email: aurorarafi90@gmail.com
2
Bahasa dan Sastra Inggris, UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Abstrak:

Di era kehidupan manusia, media sosial hadir sebagai solusi bagi masyarakat untuk
memudahkan komunikasi dan interaksi, pada sipapu. Akan tetapi karena tidak adanya regulasi
yang ketat, kemudian berubah menjadi sarana untuk menyebarkan ujaran-ujaran kebencian
dalam bentuk istilah-istilah tertentu. Istilah tersebut tidak dapat dipahami semua orang.
Karenanya, peneliti berusaha membongkar istilah- istilah yang digunakan yakni dari segi makna
dan juga ideologi penggunaan istilah tersebut. Adapun istilah ujaran kebencian yang dijadikan
bahan analisa diantaranya adalah mak banteng, Jokodok dan sebagainya. Analisa dilakukan
menggunakan teori Fairclough yakni dimensi text, discourse practice dan social practice.
Sementara untuk membongkar ideologinya yakni dengan menggunakan teori Jagger and F.
Maier yang terdiri dari konteks, luaran teks, sarana retorika, isi dan pernyataan ideologis,
kekhasan dan posisi wacana.
Kata kunci: Hate Speech, Pemerintahan Wacana

Abstract:

In this era, social media is present as a solution for the community to facilitate
communication and interaction, in Sipapu. However, due to the absence of strict regulations, it
has turned into a means to spread hate speech in the form of certain terms. This term cannot be
understood by everyone. Therefore, the researcher tries to dismantle the terms used, namely in
terms of the meaning and ideology of the use of these terms. The terms of hate speech that are
used as material for analysis include mak bull, Jokodok and so on. . The analysis was carried
out using Fairclough's theory, namely the dimensions of text, discourse practice and social
practice. Meanwhile, to dismantle the ideology, using the theory of Jagger and F. Maier which
consists of context, text output, rhetorical means, ideological content and statements,
peculiarities and positions of discourse.

Keywords: Hate Speech, Pemerintahan dan Wanita

I. PENDAHULUAN

Di zaman sekarang, kemajuan berdampak dalam berbagai sektor dalam


teknologi semakin maju dari sebelumnya. kehidupan, salah satunya ialah
Fungsi teknologi untuk keseharian pun penggunaan bahasa.
menjadi kenyataan pada era digital ini. Menurut Kamus Bahasa Indonesia,
Penggunaan teknologi seperi smartphone, bahasa dapat diartikan sebagai sistem
laptop, dan sebagainya semakin meningkat lambang bunyi yang bersifat arbiter.
dari tahun ke tahun. Tentu saja hal ini Bahasa digunakan oleh setiap orang untuk

Jurnal Bisnis Kolega 1


Vol. 6 No. 2. Des 2020 p-ISSN: 2476-910X
e- ISSN: 2621-8291

melakukan interaksi dan komunikasi. ini sering terjadi di media sosial. (Wulan,
Adapun, menurut Wibowo (2003) bahasa 2022)
adalah media perhubungan rohani yang Media social merupakan sebuah
bersifat amat penting untuk kehidupan media atau tempat yang memiliki banyak
setiap orang. (Fawaid et al., 2022) fungsi bagi setiap orang. Salah satu tujuan
Bahasa merupakan sarana untuk media sosial ialah untuk menghubungkan
melakukan komunikasi. Bahasa juga satu sama lain dalam konteks apapun
sebagai sarana untuk menyampaikan, secara netral dan tidak terbatas
pendapat, dan argumentasi kepada pihak waktu, tempat, dan subjek.
lainnya. Bahasa mempunyai peran sosial Meskipun ada kemudahan masuknya
penting dalam berkomunikasi dengan budaya luar tersebut, tidak semua
masyarakat luas. Dalam proses budaya dapat dengan baik diterima
berkomunikasi seorang komunikator masyarakat di Indonesia. Hal ini lah yang
maupun komunikan membutuhkan menjadi salah satu faktor mengapa suatu
kemampuan berbahasa supaya bisa perdebatan opini yang biasanya muncul
mengetahui makna pembicaraan karena adanya perbedaan pandangan,
pembicara. kebudayaan dan hal lainnya. Selain itu, hal
Setiap orang memakai bahasa untuk ini juga disebabkan karena saat ini
membedah dan membedakan setiap masyarakat Indonesia dibebaskan untuk
problem sosial dalam proses menyampaikan berbagai ekspresi dengan
berkomunikasi. Bahasa selalu tunduk pada maksud tujuan tertentu.
penggunanya. Di sinilah aspek bahasa Kebebasan berekspresi yang
memainkan peran yang sangat penting di dirasakan oleh masyarakat Indonesia
dalam berkomunikasi. (Mailani et al., sudah ada sejak pasca reformasi 1998.
2022) Kebebasan bersekpresi ini juga memasuki
Dalam sebuah kontruksi sosial, ranah pemerintahan Indonesia atau
bahasa merupakan hal yang harus ada. termasuk dalam konteks politik.
Melalui bahasa, sebuah pesan bisa Penyampaian ide atau gagasan di media
tersampaikan dengan baik. Pada awalnya, sosial, pemberitaan dan berbagai hal sudah
pesan-pesan saling bergantian dan sudah bisa dirasakan masyarakat. Namun,
disampaikan dengan cara yang etis. saat ini kebebasan berekspresi sudah
Namun, dalam kehidupan politik mencapai taraf kebablasan. Padahal, dalam
Indoensia, istilah-istilah baru seringkali berpendapat dan menyampaikan gagasan
tercipta dengan maksud untuk melabeling mesti memiliki etika dan norma beretika.
tokoh politik maupun pendukungnya. Hal Dalam ranah politik Indonesia, tak
jarang saling serang komentar ataupun

Jurnal Bisnis Kolega 2


Vol. 6 No. 2. Des 2020 p-ISSN: 2476-910X
e- ISSN: 2621-8291

berdebat akan dimulai ataupun diakhiri sikap tidak toleran (intoleransi) itu lenyap.
dengan komentar yang menyakiti, Meskipun Pemilihan Umum (PEMILU)
vulgar,atau hal yang tidak sesuai dengan 2024 masih jauh, akan tetapi saat ini
etika dalam berbahasa. Sebagai contohnya, pemberitaan politik menjadi pemberitaan
pengguna media memberikan komentar yang banyak dipenuhi komentar baik pro
yang sinis terhadap para tokoh politik maupun kontra dari netizen.
maupun simpasisan yang memiliki Akan tetapi dalam kenyataanya,
pandangan politik berbeda. (Maulana & perkembangan media yang semakin
Mulyadi, 2021) terbuka tersebut tidak dibatasi dengan
Contoh dari permasalahan ini ialah sikap yang kuat untuk saling menghargai
saat memasuki Pemilihan Presiden 2019 dan menghormati. Seringkali dikolom
lalu. Saat itu, media sosial mulai ramai komentar maupun status pengguna media
dengan berbagai istilah baru yang sosial melampiaskan hujatan, celaan dan
bertujuan untuk melabelisasi para para bully-an yang dilakukan di media online
calon presiden, seperti ‘cebong’ dan tersebut. Salah-satu yang menarik
‘kampret’. (Claudia & Wijayanto, 2020) perhatian adalah tentang hujatan yang
Istilah ‘cebong’ digunakan untuk menjurus dan menyudutkan ranah politik.
menandai para pendukung Joko Widodo. Tentu saja ujaran kebencian berupa
Adapun, istilah ‘kampret’ diberikan sebagai hujatan-hujatan kepada objek tertentu
pendukung Prabowo Subianato. Pengamat seringkali ditemukan dalam beberapa
politik dari Universitas Gajah Mada, media internet, seperti blog, forum, media
Wawan Masudi menyatakan bahwa sosial. Akan tetapi, seiring dengan
sebutan ini berasal dari warganet yang perkembangan teknologi, media sosial
memang memiliki tujuan untuk menjadi tempat yang paling banyak
mengelompokkan perbedaan pilihan digunakan oleh masyarakat saat ini.
politik dan membuat situasi pemilihan Media sosial pun menjadi tempat
umum menjadi hangat. (Wulan, 2022) yang paling sering ditemui komentar
Fenomena bahasa ini bukan hanya ataupun ujaran kebencian dari
terjadi di dunia jurnalisme ataupun politik, penggunanya karena kemudahan
tetapi juga di kalangan masyarakat umum. penggunaannya. Ada banyak istilah-istilah
Para pendukung dari masing-masing kubu dalam hujatan yang muncul dan beberapa
saling bermunculan di media sosial. kali sempat ramai diperbincangkan netizen
(Juditha, 2017) Indonesia. Istilah-istilah yang baru terlahir

Konflik berupa kekerasan dalam ini digunakan untuk menghujat dan saling

berbahasa di ranah politik saat ini memang serang dalam ranah politik di media

sudah tidak terjadi lagi tapi bukan berarti internet.

Jurnal Bisnis Kolega 3


Vol. 6 No. 2. Des 2020 p-ISSN: 2476-910X
e- ISSN: 2621-8291

Fenomena saling hujat antar membongkar suatu makna dari kata,


kelompok itu dilakukan dengan diperlukan 3 dimensi; (1) dimensi text, (2)
menggunakan beberapa istilah yang discourse practice dan (3) social practice.
menyudutkan atau menyepelekan. Sementara untuk membongkar
Beberapa istilah yang ramai digunakan ideologinya yakni dengan menggunakan
diantaranya adalah ‘cebong kafir’,’mak teori Jagger and F. Maier yang terdiri dari
banteng’ kaum kadrun’ dan banyak lagi konteks, luaran teks, sarana retorika, isi
istilah lainnya. dan pernyataan ideologis, kekhasan dan
Hujatan dengan istilah-istilah posisi wacana.
tersebut sebagian besar merujuk pada Pola Hate Speech dalam
‘penyudutan’ kepada tokoh politik. Tidak Perpolitikan dalam Media Digital
semua orang paham pada istilah- istilah
Kemunculan internet telah merubah
tersebut, hanya antar kelompok yang
segalanya mulai dari cara hidup sampai
menggunakan istilah itu saja yang
cara berpikir. Kini semua orang bisa
mengetahuinya. Akan tetapi hal itu bisa
mempublikasikan pemikirannya di ranah
dipahami dengan cara membongkar
publik dengan hanya memposting status di
makna dari istilah-istilah tersebut melalui
media sosial.
konteks dalam status yang di posting oleh
Di satu sisi, keberadaan media ini
orang- orang dari bagian kelompok
bisa membantu untuk hal-hal positif
tersebut.
kemajuan manusia. Namun disisi lain bisa
Dari fenomena yang terjadi tersebut,
memberikan dampak negatif yakni perihal
peneliti tertarik untuk melakukan
kebebasan yang tak berbatas. Semua orang
penelitian terhadap fenomena intoleransi
bisa dengan bebas mempublikasikan apa
dalam media digital khususnya di media
saja yang ada di pikiran mereka baik itu
sosial. Dalam penelitian ini, peneliti
pendapat, kritik bahkan sampai pada
mengumpulkan istilah-istilah yang
hujatan dan juga hinaan. Adapun hal atau
dihimpun dari media sosial facebook saja.
tema yang dipublikasikan juga sangat
Platform facebook dipilih karena pengguna
beragam mulai dari kegiatan sehari-hari,
facebook di Indonesia paling banyak
politik, budaya, dan bahkan agama.
dibandingkan user sosial media lainnya.
Adapun istilah yang dipilih adalah istilah Freedom of Speech merupakan salah
yang seringkali digunakan. satu dari sekian banyak HAM

Selanjutnya, istilah-istilah tersebut yang ditetapkan pada Universal

dianalisa menggunakan Analisis Wacana Declaration of Human Rights oleh

Kritis menurut Fairclough. Fairclough PBB.

mengungkapkan bahwa untuk

Jurnal Bisnis Kolega 4


Vol. 6 No. 2. Des 2020 p-ISSN: 2476-910X
e- ISSN: 2621-8291

Berdasarkan definisi yang tertera atau melakukan ujaran kebencian


padaUndang Undang No. 9 Tahun 1998, merupakan salah satu kegiatan
kemerdekaan menyampaikan pendapat marjinalisasi dimana seseorang ataupun
merupakan suatu hak yang dimiliki sekelompok individu digambarkan buruk.
setiap warga negara untuk Adapun, dalam hal seperti ini marjinalisasi
menyampaikan pikiran dalam bentuk lisan, dilakukan dengan berbagai macam cari,
tulisan, dan sebagainya secara bebas yakni:
dan bertanggung jawab sesuai dengan a. Eufimisme
ketentuan peraturan perundang-
Merupakan cara menyampaikan
undangan yang berlaku (Presiden RI,
ujaran kebencian dengan kalimat yang
1998)
menghalluskan makna. Umumnya
Meskipun setiap orang bebas diguanakan untuk memperhalus sebuah
menyampaikan pendapat, terdapat “keburukan”.
beberapa batasan dalam
b. Disfemisme
menyampaikan pendapat yang
diberlakukan oleh negara untuk menjaga Merupakan pengasaran bahsa untuk
agar kebebasan berpendapat satu pihak memburukkan seseorang. Ini merupakan
tidak membatasi kebebasan pihak yang upaya mengganti sebuat kata yang dinilai
lain. Pembatasan tersebut tertera positif maupun netral menjadi yang
secara mendetail pada KUHP. bernilai kasar atau negatif.
Sayangnya, keterbukaan ruang c. Labeling merupakan
publik (public sphere) di dunia maya pemakaian kata-kata yang ofensif kepada
tersebut belum sepenuhnya dimanfaatkan individu, kelompok maupun kegiatan.
oleh masyarakat sesuai dengan fungsi
Stereotipe ialah penyamaan sebuah
media massa yaitu sebagai sarana berbagai
kata yang menunjukkan sifat-sifat negatif
informasi yang benar, media pendidikan,
atau positif (umumnya negatif) dengan
hiburan dan perekat sosial. Media sosial
orang, kelas, atau perangkat tindakan. Di
telah dimanfaatkan oleh sebagaian
sini, stereotip adalah praktik representasi
masyarakat untuk menyebarkan berita
yang menggambarkan sesuatu dengan
bohong, ujaran kebencian dan konten
penuh prasangka, konotasi yang negatif
negatif lainnya yang secara substantif
dan bersifat subjektif (Eriyanto,2011: 126-
bertentangan dengan nilai-nilai etika
127).
dalam berkomunikasi dan bertentangan
dengan nilia-nilai agama. (Juditha, 2017) Pasca Komisi Pemilihan Umum

Fathur Rohman (2016) dari hasil (KPU) Republik Indonesia menetapkan dua

penelitiannya menemukan. Hate speech pasangan calon presiden dan wakil

Jurnal Bisnis Kolega 5


Vol. 6 No. 2. Des 2020 p-ISSN: 2476-910X
e- ISSN: 2621-8291

presiden yang akan berkompetisi pada kampret adalah julukan bagi pendukung
pemilihan umum tahun 2019, istilah Prabowo. Politik Hujat dalam Sistem
cebong dan kampret semakin berseliweran Komunikasi Politik.
diberbagai flatform media komunikasi,
Di antara istilah-istilah yang muncul,
baik yang disampaikan secara langsung
ada istilah yang mengarah kepada
(oral message) maupun yang ditulis dalam
kelompok pendukung, yakni cebong dan
berbagai tweet. Istilah cebong dan
kampret. Istilah cebong dan kampret ini
kampret seperti sudah sangat melekat
dari waktu ke waktu semakin menyebar
kepada pendukung kedua calon. Stereotip
diberbagai sector. (Hayat & Nurhakki,
yang akhirnya muncul adalah pelabelan
2022)
dalam bentuk hujatan kepada pendukung
Meski demikian, penggunaan media
Jokowi dan Prabowo dengan sebutan
sosial seperti Facebook (Fb) untuk
Cebong dan Kampret. (Nomor et al., 2022)
menyampaikan pesan keagamaan
Sebuah penelitian mengenai
(religious message) malah disalahgunakan
kemunculan istilah baru, Pasca Komisi
oleh sebagian kelompok kepentingan
Pemilihan Umum (KPU) Republik
(group interest) dengan menebarkan
Indonesia menetapkan dua pasangan calon
agama bukan dari sisi kemanusiaan,
presiden serta wakil presiden Republik
perdamaian, dan kelembutannya,
Indonesia yang akan menjadi kompetensi
melainkan menampilkan agama di ruang
kedeoannya pada PEMILU 2019, muncul
yang pengap, ekslusif, ekstrem, dan
beberapa istilah baru. macam media sosial.
terkesan menggunakan kekerasan seperti
Ada yaang menyebutkan secara langsung,
yang ditampilkan melalui ujaran
ataupun menuliskannya dalam status,
kebencian. Penyebaran ujaran kebencian
komentar dan sebagainya. Akhirnya,
ini justru malah merusak nilai, norma, dan
pelabelan dalam bentuk hujatan ini
visi dari agama itu sendiri.
menjadi stereotip. Pendukung Jokowi
(Sari et al., 2022)
disebut dengan cebong, sedangkan

Mengmenghasut, dan merendahkan memotret realitas ujaran kebencian melalui


martabat kemanusiaan, maka agama telah media sosial seperti Facebook(Fb) menjadi
kehilangan ”separuh jiwanya” yakni sisi hal yang penting agar sebagian pengguna
humanitasnya. Sisi-sisi gelap dari ujaran media sosial tidak menempatkan hal
kebencian melalui media sosial inilah Perlu tersebut sebagai media provokasi dan
digerus agar agama kembali kepada menghasut.
fitrahnya, sebagai entitas yang membawa
Dalam kasus lain, fenomena
pesan suci perdamaian dan kasih sayang
intoleransi di Indonesia mencuat
lintas suku dan budaya. Karena itu,

Jurnal Bisnis Kolega 6


Vol. 6 No. 2. Des 2020 p-ISSN: 2476-910X
e- ISSN: 2621-8291

menjelang pilkada Jakarta tahun 2016 lalu. mempublikasikan tulisannya dalam


Umat Islam menghendaki pemimpin page khusus yang kemudian disebut
Jakarta yang beragama Islam. Hal itu tentu dengan website. Era sekarang, orang-
dipahami oleh agama lain sebagai salah
orang dapat mempublikasikan
satu bentuk diskriminasi dan bahkan
tulisannya dalam media sosial lewat
intoleransi. Setiap agama memandang
akun pribadi yang dimilikinya yang
agamanya yang paling benar. Ada banyak
kemudian secara berjejaring bisa
ditemukan posting-posting yang bernada
dilihat oleh banyak orang secara
hujatan. Pola hujatannya adalah dalam
bentuk saling serang antar kelompok yang publik. Setiap ada perkembangan

lebih jauh sebetulnya mengarah pada teknologi, seringkali hal itu bersifat
tokoh.(Astrika & Yuwanto, 2019) paradoksial. Hal ini karena di satu sisi
memberikan pengaruh positif namun
Teks itu meliputi tidak hanya
di sisi lain selalu ada celah untuk
yang dilisankan dan ditulis, tetapi
pengaruh negatif. Salah satu
termasuk pula kejadian-kejadian yang
diantaranya adalah adanya kasus
nirkata (non-verbal) lainnya –
hujatan di media sosial yang menjadi
keseluruhan lingkungan teks itu
fokus kajian dari penelitian ini.
(Halliday, 1994). Lalu seiring dengan
perkembangan teknologi tulisan tidak Sebuah penelitian yang dilakukan
hanya bisa dibuat atau dituangkan oleh Erwin Mulyadi, dkk menyatakan
dalam sebuah kertas namun kini bisa bahwa implementasi regulasi ITE LAW
dituangkan dalam versi virtual. Adanya dalam bermedia sosial ternyata masih
Teknologi Microsoft Office, itu kurang maksimal. Hal ini terbukti
memungkinkan seseorang menulis dengan masih banyaknya ujaran
dalam lembar dokumen secara digital negatif yang muncul di media sosial
yang kemudian bisa dicetak kedalam baik dalam bentuk status maupun pada
versi hard- copy. Kemudian teks atau kolom komentar. Lebih dari itu,
tulisan juga tidak hanya ditulis untuk regulasi-regulasi yang ada masih butuh
kebutuhan cetak saja namun juga untuk di implementasikan.
untuk dipublikasikan secara digital. (Ash-Shidiq & Pratama, 2021)
(Naufal et al., 2021)
Piramida kebencian di tahap
Kemunculan teknologi Hyper Text pertama merupakan kebencian yang
Markup Language (HTML) terbangun atas stereotip, komentra
memungkinkan siapa saja yang berisi hal tidak sennsitif,
Jurnal Bisnis Kolega 7
Vol. 6 No. 2. Des 2020 p-ISSN: 2476-910X
e- ISSN: 2621-8291

meremehkan deng lelucon. Sedangkan, Kemampuan memahami fungsi


ditahap selanjutnya dibangun dengan bahasa membua llebih jeli dalam
berbagai tindakan seperti mengejek, memperhitungkan konsekuensinya
memberikan julukan buruk, nama sehingga mampu meningkatkan
panggilan dan sebagainya. Bagian efektivitas komunikasi dan strategi
inilah yang muncul dominan sehingga wacana. Bahasa berfungsi sebagai alat
Ahok disebut cina, kafir, anis disebut identifikasi dan sarana kontrol sosial.
bodoh dan agus calon boneka Itulah sebabnya mengapa bahasa
gubernur. (Musyafak & Ulama’i, 2019) menjadi pra syarat untuk
mengembangkan praktik dan
Orang-orang bisa dengan bebas
persetujuan sosial. Analisis Wacana
untuk menulis dan mempublikasikan
Kritis (AWK) diaplikasikan agar dapat
apa saja baik itu berupa pendapat,
membongkar apa yang salah atau tidak
kritik bahkan juga hujatan di media
beres dalam masyarakat;
sosial tersebut. Perihal teks hujatan
ketidakadilan, ketidaksetaraan,
tersebut, ada banyak hasil penelitian
pembatasan kebebasan atau perihal
yang menunjukan bahwa saat ini media
diskriminasi.
sosial dipenuhi dengan teks-teks
hujatan. Seperti penelitian tim tirto.id, Pendekatan seperti ini membantu
setidaknya ada 90ribu/bulan akun untuk membongkar hubungan ideologi
yang memposting hujatan di social dan bahasa dalam suatu teks. Objeknya
media. (Wulan, 2022) yakni semua sumber data yang berupa
dokumen, kertas diskusi, perdebatan,
Teks-teks hujatan tersebut tentu
pidato, kartun, iklan, foto, Koran atau
bisa dianalisa menggunakan teori
sumber media lain, maka risalah
Critical discourse analysis. CDA atau
politik, film dan juga famplet dapat
Analisis Wacana kritis membantu
dianalis dengan AWK ini. Pendekatan
memahami bahasa dalam
baru ini membuka perspektif luas
penggunaannya. Kini bahasa bukan
untuk memecahkan masalah
sekedar menjadi alat komunikasi,
ketidakadilan, dominasi dan
melainkan juga digunakan sebagai
diskriminasi yang tengah terjadi
instrumen untuk melakukan sesuatu
dikalangan masyarakat. Menurut
atau sarana menerapkan strategi
Deborah Schiffrin (2007), analisis
kekuasaan. (Yanuartha & Alfirdaus,
wacana kritis juga dapat diartikan
2020)

Jurnal Bisnis Kolega 8


Vol. 6 No. 2. Des 2020 p-ISSN: 2476-910X
e- ISSN: 2621-8291

sebagai suatu kajian yang meneliti atau pemproduksian dan pengkonsumsian


menganalisis bahasa yang digunakan teks, (interpretasi) (3) praktik sosial,
secara alamiah, baik dalam bentuk tulis (eksplanasi).
maupun lisan terhadap para pengguna Teks hujatan yang didapatkan
sebagai suatu elemen masyrakat. Pada lewat pengumpulan data dari media
prakteknya, kajian wacana ini sosial tersebut akan dianalisa dengan
dilakukan secara struktural dengan menggunakan teori Fairclough
menghubungkan antara teks dan tersebut.
konteks. Selain itu, proses analisa juga
Faktor Penyebab Munculnya
dilihat dengan menganalisis tindakan
Istilah Hujatan
yang dilakukan seseorang dengan
Munculnya istilah-istilah baru
tujuan tertentu untuk memberikan
berupa ujaran kebencian di berbagai
makna kepada partisipan yang terlibat.
media sosial memiliki berbagai macam
AWK bertujuan untuk sebaab. Terdapat dua masalah utama yang
menganalisis bagaimana wacana menjadi latar belakang masyarakat
memproduksi dominasi social, menjadi pelaku penyebar ujaran
mendorong penyalahgunaan kebencian.
kekuasaan suatu kelompok terhadap
Penyebab pertama ialah karena
kelompok yang lain dan juga
sikap yang kurang bijak dalam mengikuti
bagaimana kelompok yang didominasi
arus perkembangan teknologi. Kemudian
melalui wacana melawan
alasan selanjutnya ialah karena kurangnya
penyalahgunaan tersebut. Ada banyak
filter bahasa dalam sebuah media sosial
teori discourse yang selama ini populer
tersebut. Setelah melakukan berbagai
dan banyak digunakan. Namun salah
observasi di beberapa media sosial,
satu yang paling dianggap relevan
terdapat banyak status akun media sosial
dengan penelitian ini adalah teorinya
maupun ujaran kebencian yang
Norman Fairclough. Fairclough (1995)
menempati kolom komentar. Salah satu
mengusung model 3 dimensi dalam
media yang banyak mengandung hujatan
menganalisa sebuah tulisan. Ketiga
atau hatespeech di ranah politik ialah
dimensi yang dimaksud adalah (1) teks
facebook.
(tuturan, pencitraan visual atau
gabungan ketiganya) (deskripsi), (2) Hal ini dapat dibuktikan melalui

praktik wacana yang melibatkan hasil program Virtual Police. Program ini

Jurnal Bisnis Kolega 9


Vol. 6 No. 2. Des 2020 p-ISSN: 2476-910X
e- ISSN: 2621-8291

dibentuk guna untuk menegur akun-akun


yang dianggap telah melakukan
pelanggaran UU ITE mengenai ujaran
kebencian serta SARA. Setelah
dibentuknya program Virtual Police dalam
kurun waktu 100 hari kerja, 23 Februari
2021 – 31 Mei 2021), u hasilnya
menunjukkan bahwa 215 akun telah
mendapatkan peneguran dari Virtual
Police, disusul facebook 180 akun dan
istagram 14 akun, dan terkahir youtube 19
akun. (Subyantoro & Apriyanto, 2020)

Periode tersebut merupakan tahun


politik di Indonesia. Bahkan di 2016
terjadi konflik politik terkait kampanye
pemilu pilkada serentak 2017 DKI
Jakarta.Selama ini pertarungan pemilu
seringkali menggunakan isu identitas untuk
kampanye, mobilisasi massa, dan
menjatuhkan lawan politik. Menguatnya
isu identitas suku, agama, ras menjadi
salah satu faktor meningkatnya situasi
intoleran di Indonesia.

Selama ini pertarungan pemilu seringkali


menggunakan isu identitas untuk
kampanye, mobilisasi massa, dan
menjatuhkan lawan politik. Menguatnya
isu identitas suku, agama, ras menjadi
salah satu faktor meningkatnya situasi
intoleran di Indonesia.

Jurnal Bisnis Kolega 10


Vol. 6 No. 2. Des 2020 p-ISSN: 2476-910X
e- ISSN: 2621-8291

Dengan adanya fenomena masing-masing ingin memenangkan


tersebut, kemudian menurut Scholastica pilihannya, maka terjadilah konflik. Konflik
Gerintya (2018), intoleransi menjadi yang terjadi di media sosial selama ini
sangat erat hubungannya dengan adalah adanya pihak yang menjagokan
demokrasi. Penilaian tingkat toleransi pilihannya dan lupa akan kekurangan
dan intoleransi sebuah negara sering serta tidak mau calon-nya dikritik.
dinilai juga dari kondisi demokrasinya. Sebaliknya masyarakat yang mendukung
Dengan kata lain, unsur toleran dan tidak calon lain, juga memiliki anggapan yang
toleran termasuk dalam penilaian sama.
bagaimana situasi politik dan demokrasi
di suatu negara dilihat. Hal itu bisa dilihat Tak dipungkiri jika pilkada
juga dari data laporan Democracy Index menghasilkan masyarakat yang
dari The Economist Intelligence Unit. terbelah. Bukan hanya pada saat
Berdasarkan laporan tersebut, indeks menjelang pilkada akan tetapi setelah
demokrasi di Indonesia memperlihatkan itu bahkan sampai pemilihan lima tahun
tren menurun dari 2014–2017. mendatang kembali lagi. Masyarakat
(Data Democracy Index Indonesia; yang calonnya tidak lolos seringkali tak
http://infographics.economist.com/2018/Dem bisa menerima dan berlarut-larut dalam
ocracyIndex) Fenomena intoleransi di sakit hati. Mereka tidak bisa menerima
Indonesia mencuat menjelang pilkada calon yang lolos terpilih menjadi
Jakarta tahun pemimpin. Apalagi jika kebijakan dari
2016 lalu. Umat Islam pemimpin yang mereka pilih itu tidak
menghendaki pemimpin Jakarta harus sesuai dengan harapan rakyat. Mereka
beragama Islam. Hal itu dipahami oleh akan mengkritisi pemimpin itu dan
agama lain sebagai salah satu bentuk bahkan sampai menyalahkan kelompok
diskriminasi dan bahkan intoleransi. lain yang dahulu mendukungnya.
Karena setiap agama memandang
agamanya yang paling benar, maka
kemudian masing-masing agama
memegang kuat prinsifnya. Karena
Jurnal Bisnis Kolega 11
Vol. 6 No. 2. Des 2020 p-ISSN: 2476-910X
e- ISSN: 2621-8291

Bukti riil bisa dilihat dari hasil gubernur baru Jakarta Anis Baswedan,
pilkada Jakarta kemarin yang telah beragam upaya untuk menyudutkan
menyisakan dendam khususnya dari gubernur dan para pendukungnya sering
kelompok yang calon-nya tidak menang terjadi dan banyak fakta yang bisa
dalam pemilihan. Pilkada kemarin ditemukan. Salah-satu contohnya yakni
merupakan bagian dari konflik beragama adanya sebutan ‘gabener’ sebagai
karena Islam menyatakan untuk plesetan dari ‘gubernur’. Kemudian ada
mendukung pemimpin yang beragam juga beberapa ungkapan lain seperti
Islam dan melarang umat untuk memilih ditulis dalam status ‘nih hasil kerjaan
pemimpin yang non-muslim (kafir). Hal gubernur yang seiman’ sambil
ini dipandang dan dianggap sebagai salah memperlihatkan keburukan kinerja dari
satu tindakan yang tidak toleran oleh gubernur baru. Pendukung gubernur Anis
non-Islam. Non-Islam merasa bahwa yang sebagian besar adalah muslim tentu
mereka memiliki hak dan kewajiban berusaha untuk membela dan tak sedikit
untuk menjadi pemimpin di negara juga dari mereka yang menghina seperti
dengan sistem pancasila ini. Mereka tidak dengan sebutan ‘cebong, ahoker, dll’
terima jika hak asasi mereka dijegal dengan sadis pula. Tentu ini akan
bukan secara konstitusi melainkan secara memperkeruh suasana dimana
politis. memperdalam luka bagi non-muslim yang
merasa mendapatkan perlakukan
Luka non-muslim semakin menjadi
intoleran tersebut.
ketika ada beragam kegiatan kampanye
yang bukan hanya menyudutkan mereka Dalam proses kampanye Pilkada
sebagai non-muslim, namun juga DKI Jakarta, konflik bersentimen agama
menyudutkan ras-ras tertentu seperti terjadi dan terlihat jelas. Demo besar-
china, tionghoa dan lain sebaginya. Maka besaran dilakukan kelompok muslim
dari itu, selama masa kepemimpinan menuntut

Basuki Tjahja Purnama (Ahok) momen kampanye politik sehingga ada


untuk diadili karena kasus penghinaan kelompok yang menduga jika demo-demo
agama. Hal itu terjadi bertepatan dengan tersebut adalah salah-satu bentuk upaya

Jurnal Bisnis Kolega 12


Vol. 6 No. 2. Des 2020 p-ISSN: 2476-910X
e- ISSN: 2621-8291

menjatuhkan lawan politik. Padahal bahkan adanya fatwa yang mengharuskan


sebetulnya demo tersebut hanya menuntut memilih pemimpin muslim, itu
keadilan (justice) dari penegakan hukum di menjadikan kelompok non muslim
Indonesia. Dalam hal ini pertentangan khususnya merasa didiskriminasi.
political structure terjadi antara Akhirnya peperangan non fisik-pun
pandangan Islam yang menganggap terjadi, khususnya yang ada di media
penegakan hukum yang tak segera sosial seperti facebook.
dilakukan, serta kaum pendukung ahok Kemudian peneliti menemukan
yang menganggap kaum Islam yang demo fenomena ‘perang’ tersebut terjadi lebih
tidak taat pada menunggu proses hukum besar di media sosial salah satunya
dan menilai aksi tersebut dimaksudkan facebook. Akan tetapi ada hal unik dari
untuk menekan pihak berwajib segera perang opini tersebut yakni adanya
menangkap Ahok. julukan-julukan yang digunakan dengan
Hal ini senada dengan penelitian M tujuan untuk menjatuhkan lawan.
Taufiq Rahman (2014, 282) yang Parahnya lagi, sebagian besar diantaranya
membandingkan pemikiran Rawls dan membawa sentimen agama. Beberapa
Qutb. Lebih jauh membandingkan julukan atau hujatan hatespeech yang
struktur politik Islam dan juga barat digunakan di media sosial sangat banyak
(west). Rawls menegaskan pentingnya sekali, diantaranya adalah
menghormati constitutional democracy. Makna Istilah Hujatan Media Sosial
Sementara Qutb yang menjadi representasi Facebook
Islam menyebutkan bahwa “Democracy or not Adapun, sasaran postingan maupun
is not Qut’s business. For him the important thing komentar yang mengandung unsur hate
is to uphold justice”. Umat Islam yang demo speech atau ujaran kebencian ditunjukkan

hanya menuntut keadilan saja, namun kepada tiga sasaran utama, yakni yang

persepsi dari non- muslim atau muslim pertama ialah individu yang memiliki jabatan
tertentu dalam pemerintahan, lalu kedua,
yang mendukung Ahok berbeda.
ialah komunitas yang memiliki sebuah
Kecurigaan dan dugaan non-
perbendaan pandangan politik maupun
muslim kepada muslim bukan tanpa
ideologi, dan terakhir ialag organisasi
alasan. Ada banyak fakta dan data,
Jurnal Bisnis Kolega 13
Vol. 6 No. 2. Des 2020 p-ISSN: 2476-910X
e- ISSN: 2621-8291

maupun afiliasi masyarakat.


.Penggunaan istilah hujatan yang
unik tersebut terkadang tidak bisa
dipahami secara literal, diperlukan
analisa kontekstual dan interpretasi
sosial untuk itu. Peneliti menggunakan
teori Fairclough untuk membedah makna
tersebut dari tiga dimensi berbeda yakni
dimensi text, dimensi discourse practice
dan social practice. Peneliti menemukan
beberapa fakta tentang penggunaan
istilah tersebut.
Dalam bukti ScreenShot diatas,
Dari 7 istilah yang sudah dianalisia,
ditemukan bahwa cebong kafir terdiri
penulis menyatakan bahwa tidak semua
atas dua kata yakni ‘cebong’ dan ‘kafir’.
istilah ini dapat dimengerti oleh
Adapun cebong merupakan sebutan
masyarakat luas jika hanya diartikan dari
kepada para pendukung presiden Joko
egi literal dan lesikal saja. Maka dari itu,
Widodo yang sudah ramai sejak pemilu
untuk dapat memahami istilah-istilah
2014 dan pemilu 2019. Kemudian, kata
yang ada, diperlukan pemahaman yang
kafir merupakan sebutan memiliki makna
mendalam secara konteks dan
sebagai orang tidak mengikuti petunjuk
interpretasi. Kemudian, peneliti dapat
Allah SWT.
menemukan hasil dari makna yang
dimaksud dari penggunaan istilah julukan b. Mak Banteng

hatespeech kepada tiga sasaran tersebut.


Adapun, fokus pengambilan data ialah
diambil dari akun-akun pengguna
facebook baik dalam bentuk status
maupun komentar yang berada dalam
kurun waktu juli 2022-november 2022.
a) . Cebong Kafir
Jurnal Bisnis Kolega 14
Vol. 6 No. 2. Des 2020 p-ISSN: 2476-910X
e- ISSN: 2621-8291

Mak merupakan bentuk kata dari negara di Timur tengah. Frasa ‘Imigran
“emak” yang dalam bahasa Betawi Yaman’ awalnya merupakan frasa yang
disebut emak atau ibu. Penulisan “mak” netral. Akan tetapi, makna frasa ini
lebih dipakai dalam tujuan gurauan menjadi negatif ketika ditambahkan kata
dibandingkan ‘Ibu:Sedangkan istilah ‘brengsek’.
banteng memiliki arti hewan yang memiliki
tanduk yang juga melambangkan partai Interpretasi dari kata diatas ialah
tokoh politik, Megawatisoekarnoputri. seorang imigran yang tidak tahu malu. Kata
Disebut banteng karena Megawati itu ditunjukkan kepada Mantan Gubernur
Soekarnoputri merupakan anggota dari DKI Jakarta sekaligus yang diketahui akan
Partai PDI-P yang mana banteng menjadi menjadi calon presiden Indonesia di
logo pada partai tersebut. PEMILU 2024, Anies Baswedan. Frasa
tersebut ditunjukkan karena Anies berasal
dari keturunan Yaman dan memiliki banyak
c. Imigran Yaman Brengsek
pendukung dari kalangan organisasi yang
dianggap islam radikal.

d). Kaum Kadrun

Imigran memiliki makna seseorang yang


berpindah dari suatu negara ke negara lain.
Sedangkan yaman merupakan salah satu

Jurnal Bisnis Kolega 15


Vol. 6 No. 2. Des 2020 p-ISSN: 2476-910X
e- ISSN: 2621-8291

Kadrun merupakan singkatan dari


‘kadal gurun’. Kadal gurun merupakan
hewan kadal yang hidupnya di gurun. e). Gebener
Namun, dalam konteks politik kadal
gurun memiliki arti yang berbeda. Kadal Dalam status tersebut, tertulis “sang
gurun merupakan sebutan yang diarahkan gabener” disertai dengan video yang
kepada para orang-orang yang dianggap berisikan Anies Baswedan. Gabener
memiliki pemikiran sempit dan merupakan plesetan dari kata Gubernur.
menggambarkan orang yang memiliki Kata Gabener maksudnya ialah tidak benar.
pemikiran islam yang keras atau radikal. Hal ini dituliskan oleh user facebook
Dalam status tersebut, status itu tersebut kepada Anies Baswedan karena
ditunjukkan kepada para pendukung Anies menganggap karya Anies selama ini tidak
Baswedan yang mana Anies akan maju sesuai janjinya.
dalam pemilihan umum 2024.

Genjer merupakan plesetan dari kata


Ganjar. Dalam konteks ini, user facebook
f). tersebut mengatakan ketidakpuasan atas
hasil hasil kerja Ganjar.

g). Kodok Pinokio


Genjer-genjer

Jurnal Bisnis Kolega 16


Vol. 6 No. 2. Des 2020 p-ISSN: 2476-910X
e- ISSN: 2621-8291

Kodok pinokio. Kodok merupakan tersebut yang disertai dengan lampiran


seekor hewan. Sedangkan pinokio berarti foto, link dan video yang menunjukan
orang yang ska berbohong. Jika diteliti lebih image agama terutama yang
jauh, status ini mengarah kepada Joko bersentimen pada Islam.
Widodo.
Sementara ideologi dari
Kesimpulan penggunaan istilah tersebut, peneliti
Hasil deskripsi, observasi, menemukan fakta bahwa semua berawal
pengumpulan data, kategorisasi serta dari ideologi politik. Kekalahan
analisa data yang telah dilakukan, bisa pemilukada Jakarta tahun 2016 lalu
disimpulkan bahwa fenomena saling hujat ternyata masih menyisakan dendam
di media sosial khususnya facebook sudah sampai sekarang. Penggunaan istilah
mengarah pada fenomena intoleransi. Hal hujatan itu juga menyiratkan bagaimana
itu dibuktikan dengan banyaknya postingan pandangan, pola pikir, dan prinsip. Orang-
hujatan yang memiliki sentimen agama. orang yang menggunakan 7 istilah lebih
Ada banyak sekali istilah–istilah hujatan Islami, dogmatis dan pandangan politiknya
yang digunakan oleh para netizen di media mendukung Prabowo.
digital seperti facebook. Akan tetapi
Peneliti berharap penelitian ini bisa
peneliti membatasi pada 7 istilah hujatan
menyadarkan para netizen bahwa
saja yang diantaranya adalah cebong kafir,
penggunaan istilah hujatan itu telah
mak banteng, kadrun, sang gebener.
menimbulkan konflik intoleransi. Meski
Kemudian istilah tersebut bentuk intoleransinya bukan berupa fisik
dianalisa dengan menggunakan teori melainkan verbal, namun bisa
discourse Norman Fairclough. Dari membahayakan negeri ini karena bisa saja
analisa makna, diketahui bahwa dari 7 pecah menjadi konflik fisik.
istilah hujatan yang dipilih, 7
REFERENCES
diantaranya bersentimen terhadap
agama Islam, sementara 3 sisanya Ash-Shidiq, M. A., & Pratama, A. R.

adalah sentimen terhadap non-muslim. (2021). Ujaran Kebencian Di Kalangan


Pengguna Media Sosial Di Indonesia :
Bukti bahwa ada sentimen agama,
Agama Dan Pandangan Politik.
peneliti menemukan penggunaan istilah
Jurnal Bisnis Kolega 17
Vol. 6 No. 2. Des 2020 p-ISSN: 2476-910X
e- ISSN: 2621-8291

Universitas Islam Indonesia, 2(1), 1– https://doi.org/10.24256/pal.v7i1.2715


11. Juditha, C. (2017). HATESPEECH in
Astrika, L., & Yuwanto, Y. (2019). Ujaran ONLINE MEDIA: JAKARTA ON
Kebencian dan Hoaks: Signifikasinya ELECTION 2017. Jurnal Penelitian
terhadap Pemilih Pemula di Kota Komunikasi Dan Opini Publik, 21(2),
Semarang. Jurnal Ilmiah Ilmu 223284.
Pemerintahan, 4(2), 107. Mailani, O., Nuraeni, I., Syakila, S. A., &
https://doi.org/10.14710/jiip.v4i2.5433 Lazuardi, J. (2022). Bahasa Sebagai
Claudia, V. S., & Wijayanto, Y. R. (2020). Alat Komunikasi Dalam Kehidupan
Tindak Tutur Ujaran Kebencian (Hate Manusia. Kampret Journal, 1(1), 1–10.
Speech) Pada Komentar Forum https://doi.org/10.35335/kampret.v1i1.
Diskusi COVID-19 dalam Jejaring 8
Sosial Facebook “Ini Kebumen.” Maulana, W., & Mulyadi, M. (2021).
Prosiding Seminar Nasional Linguistik Ujaran Kebencian Terhadap Jokowi
Dan Sastra (SEMANTIKS), 533–542. pada Masa Pandemi Covid-19: Studi
https://jurnal.uns.ac.id/prosidingsemant Kasus Twitter. Jurnal Lisnguistik
iks/article/view/45046 Komputasional, 4(1), 27–33.
Fawaid, F. N., Hieu, H. N., Wulandari, R., https://doi.org/10.26418/jlk.v4i1.42
& Iswatiningsih, D. (2022). Musyafak, N., & Ulama’i, A. H. A. (2019).
Penggunaan Bahasa Gaul Pada Remaja Narasi Ujaran Kebencian dalam
Milenial Di Media Sosial. Jurnal Pemilihan Umum Kepala Daerah
Literasi, 5(1), 64–76. (PILKADA). Jurnal Ilmu Dakwah,
https://jurnal.unigal.ac.id/index.php/lit 39(2), 166.
erasi/article/view/4969 https://doi.org/10.21580/jid.v39.2.4673
Hayat, N., & Nurhakki, N. (2022). Religion Naufal, D., Nurhadi, J., & Anshori, D.
Identity And Political Polarization: (2021). “KADRUN”, KPK, dan
How Does Labeling Make It Worst? Buzzer di Lingkungan Tempo:
Palita: Journal of Social Religion Analisis Wacana Kritis Ruth Wodak.
Research, 7(1), 51–66. Jurnal Pena Indonesia, 7(1), 1–18.

Jurnal Bisnis Kolega 18


Vol. 6 No. 2. Des 2020 p-ISSN: 2476-910X
e- ISSN: 2621-8291

http://journal.unesa.ac.id/index.php/jpi Cakrawala Jurnal Penelitian Sosial,


25–50.
Nomor, V., Page, S., Ismiyatin, L., &
Prayitno, H. J. (2022). Implikatur
Komentar Netizen dalam Cover
Majalah Tempo Bergambar Jokowi di
Sosial Media. 7(September), 90–103.

Sari, P. L. P., Supiatman, L., & Aryni, Y.


(2022). Hate Speech Acts on Social
Media ( Forensic Linguistics Study ).
English Teaching and Linguistics
Journal (ETLiJ), 3(2), 111–117.

Subyantoro, S., & Apriyanto, S. (2020).


Impoliteness in Indonesian Language
Hate Speech on Social Media
Contained in the Instagram Account.
Journal of Advances in Linguistics, 11,
36–46.
https://doi.org/10.24297/jal.v11i.8655

Wulan, E. P. S. (2022). Bahasa dan


Kekuasaan dalam Indonesia
Kontemporer: Sebuah Analisis dalam
Perspektif Strukturalisme Pierre
Bourdieu. JIIP - Jurnal Ilmiah Ilmu
Pendidikan, 5(5), 1522–1524.
https://doi.org/10.54371/jiip.v5i5.598

Yanuartha, R. A., & Alfirdaus, L. K.


(2020). Analisis Wacana Akun
Facebook Humor Politik Terkait
Pilkada Dki Jakarta Tahun 2017.

Jurnal Bisnis Kolega 19


Vol. 6 No. 2. Des 2020 p-ISSN: 2476-910X
e- ISSN: 2621-8291

Jurnal Bisnis Kolega 20


Vol. 6 No. 2. Des 2020 p-ISSN: 2476-910X
e- ISSN: 2621-8291

Jurnal Bisnis Kolega 21

Anda mungkin juga menyukai