DOSEN PENGAMPU
ZULMAN BARNIAT M.IP
Disusun oleh
Nama : Dedeh Imas Kurnia
Npm : 20022004
Prodi :Ilmu Komunikasi
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur senantiasa kita panjatkan kepada Allah Subhanallahu Wa Ta’ala atas
karunianya sehingga makalah ini dapat saya selesaikan. Makalah ini merupakan syarat untuk
melengkapi nilai tugas mata kuliah dasar-dasar ilmu politik.Makalah ini berisi tentang
“KOMUNIKASI POLITIK KONTEMPORER INDONESIA”.
2
DAFTAR ISI
Daftar Isi...............................................................................................................................2
Bab 1 Pendahuluan
Bab 2 Pembahasan
Bab 3 Penutup
1.1 Kesimpulan............................................................................................................12
3
BAB 1
PENDAHULUAN
Hal ini penting dipersoalkan, karena dari beberapa orde pemerintahan yang
ada di Indonesia komunikasi politik yang dipergunakan tidak menyebabkan surutnya
praktek-praktek politik yang kurang demok-ratis, baik pada tataran pemerintah
Pusat maupun pemerintah Daerah. Praktek-praktek politik seperti inilah yang
kemudian memunculkan kesimpulan bahwa komunikasi politik kontemporer di
Indonesia hanya bisa dipahami melalui oleh sekelompok kecil elit yang kemudian
mengembang-kan fenomena-fenomena politik yang tidak demokratis, tidak menghargai
perbedaan, lebih mementingkan kelompok, dan kurang memperhatikan HAM.
4
1.2 Rumusan Masalah
Dari judul yang telah di tentukan,akan timbul masalah dan pertanyaan sebagai berikut.
5
BAB II
PEMBAHASAN
Komunikasi politik adalah pembicaraan yang sudah mencapai tahapan yang serius,
fokus dan sungguh-sungguh karena berkaitan masalah makro kehidupan bangsa dan negara
yang tujuan dan dampaknya untuk mewujudkan masyarakat yang berkeadilan, beradab
(moral) dan sejahtera. Kembali kepada pemahaman piramida khalayak komunikasi politik,
semakin keatas semakin sedikit orang-orang yang berperan, berambisi, dan yang terpanggil
untuk masuk ke lingkaran kekuasaan. Semakin kebawahan khalayak komunikasi politik
semakin tidak terlalu perhatian dengan masalah politik. Seperti yang telah digambarkan
dalam piramida yang teratas adalah elit opinion lalu dipertengahan ada attentive public
dan yang paling terbesar adalah general public
6
B. Pengertian komunikasi politik koontemporer menurut para ahli
1. (Maswadi Rauf dalam Harun & Sumarno, 2006:2)
3. Anwar Arifin
4. Harbert Blumer
7
5. Elmer (2012)
8
politik masyarakatpun akan juga tidak demokratis. Dan jika budaya korupsi
yang dikembangkan, maka jangan disalahkan apabila bentuk negara berubah dari
negara demokrasi ke negara kleptokrasi. Demikian juga permasalahan yang
berkaitan dengan hukum dapat diatur dengan uang, uang menjadi penguasa politik,
uang menjadi nyawa demokrasi, karena suara kebenaran dapat dibeli
dengan uang. Dan ketidakadilan merupakan fenomena biasa karena “anggapan
siapa yang punya uang, dia yang berkuasa”. Kecenderungan inilah yang terjadi dan
dipersepsi oleh mayoritas rakyat Indonesia tatkala proses reformasi berlangsung.
Akan tetapi persepsi itupun belum banyak berubah tatkala reformasi telah
kehilangan agenda, ntara lain dapat diketahui dari persepsi rakyat tentang
pemerintahan saat ini, yaitu pemerintahan mobokrasi, yaitu pemerintahan yang
kebijakannya ditentukan oleh tekanan-tekanan gerombolan atau kelompok-
kelompok di luar parlemen ataupun kabinet yang digerakkan dengan imbalan materi. Pada
kondisi seperti ini, maka membangun opini publik melalui komunikasi politik
dengan dasar nilai-nilai demokratisasi merupakan hal yang harus dilakukan oleh
pemerintah jika menginginkan suatu pemerintahan yang dapat bertahan lama. Tuntutan
demokratisasi dalam kepolitikan sudah merupakan tuntutan global, dan umumnya
tuntutan global akan menggunakan segala macam cara untuk dapat berhasil.
Oleh sebab itulah, maka komunikasi politik kontemporer seyogyanya
didasarkan pada asas demokrasi.
Isu keadilan, isu hukum, isu agama, isu kesukuan, isu rasial, isu kedaerahan,
dan isu kesenjangan kemakmuran merupakan isu-isu aktual yang berkembang dalam
kepolitikan di Indonesia selama ini.Dan hal ini semakin menguat dewasa ini melalui
berbagai kerusuhan di daerah. Isu-isu aktual tersebut sewaktu-waktu
diperkirakan akan muncul dalam bentuk keberingasan dan kebrutalan sosial.Kasus
Situbondo (1998) merupakan salah satu kasus dimana isu yang diangkat ke
permukaan adalah isu agama, juga kasus Ambon (1999), Ternate (1999), dan Mataram
(2000) dewasa ini berangkat dari kasus yang sama, terlepas dari permainan politik elit,
tetapi yang jelas bahwa isu agama merupakan komoditas yang paling laku dijual dalam
perdagangan politik. Fenomena-fenomena tersebut berakumulasi dan berkembang dalam
persepsi masyarakat di daerah. Dan akumulasi sentimen tersebut yang seringkali muncul
dalam keberingasan dan kebrutalan sosial. yang orientasinya adalah faktor keadilan
antara pribumi dan non-pribumi yang umumnya merupakan sentimen-sentimen
9
yang diperbesar oleh perilaku-perilaku aparatur pemerintah melalui tindakan-
tindakan yang cenderung lebih mengedepankan tujuan daripada cara yang
harus ditempuh.Akibatnya muncul sinyalemen bahwa dalam praktek-praktek
keadilan baik yang menyangkut ijin mendirikan tempat peribadatan, ijin pembebasan
tanah, ijin pelebaran jalan, ijin pembuatan tempat-tempat rekreasi (lapangan golf),
maupun ijin untuk membuat perkebunan-perkebunan besar dan industri serta
pabrik-pabrik, telah terjadi praktek-praktek kolusi antara pemerintah dan pengusaha.
Fenomena-fenomena tersebut berakumulasi dan berkembang dalam persepsi masya-rakat
di daerah. Dan akumulasi sen-timen tersebut yang seringkali muncul dalam keberingasan
dan kebrutalan sosial.
Secara umum kekuatan politik kontemporer di Indonesia apapun nama dan sifat
organisasinya akan bermain dan memanfaatkan isu-isu politik sebagai berikut:
1. Isu Kesenjangan
Yang diindikasikan pada: Kesenjangan ekonomi kaya dan miskin; pengusaha dan
buruh. Kesenjangan Pendidikan Kota dan Desa; Kesenjangan Pem-bangunan Jawa
dan luar Jawa dan Kesenjangan Politik Elit Massa.
10
menyangkut kebebasan berpen-dapat, UU bidang politik, Pemerintahan, dan
Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah serta pelanggaran-pelanggaran HAM.
3. Isu Kemiskinan
7. Isu-isu yang berkaitan dengan kesukuan, agama, ras, dan antar golongan
11
E. Peluang dan hambatan Dinamika Politik Kontemporer Indonesia
1. Hambatan
Pendidikan politik juga erat kaitanya dengan pendidikan formal,sebab hal ini
mempengaruhi tingkat dan daya serap masyarakat.Semakin tinggi pendidikan yang
ditempuh oleh masyarakat maka,partisipasi politik yang dilakukan oleh relatif lebih
tinggi.
12
Tantangan yang dihadapi Indonesia saat ini dalam hal pendidikan politik
diantaranya adalah masih kurangnya kepedulian terhadap hubungan antara
pendidikan sebagaimana telah disebutkan sebelumnya dengan politik dalam wacana
publik.Publikasi,seminar maupun diskusi akademik yang mengangkat tema tentang
pendidikan politik pun masih terasa kurang terdengar.Fokus bahasa yang masih
sering disentuh diantaranya seringkali hanyalah seputar aspek ideologis politiknya
saja dan belum dianggap substansif,meskipun telah nampak adanya suatu bentukan
kombinasi antara pendidikan dan politik tersebut.
b.Pengaruh feodalisme
Feodalisme di Indonesia dapat diamati dari sejarah kerajaan masa lampau hingga
pendudukan para kolonialis belanda dan jepang.Dalam sejarah berdirinya
Indonesia,sejak zaman kerajaan,Indonesia telah mengenal sistem feodal.Contoh
feodalisme yang sangat kentara adalah pada sistem kasta dalam kerajaan hindu di
Indonesia.
Feodalisme pada masa masa penjajahan diwarnai oleh feodalisme yang terjadi di
eropa.Sistem tanam paksa dan penetapan pajak tanah yang tinggi kepada pribumi
adalah contoh feodalisme masa lampau pada zaman kolonialisme masih berkembang
pesat.Kebiasaan feodalisme secara turun temurun inilah yang kemudian mewarnai
sistem kehidupan yang politik di masyarakat indonesia yang menganggap bahwa
orang yang memiliki jabatan sturuktural,kepangkatan dan gelar akademik yang
tinggal di masyarakat dianggap sebagai kelompok masyarakat kelas atas dimana
selain kelompok tersebut adalah masyarakat kelas rendah yang hanya menuruti apa
yang dilakukan oleh para kaum kelas atas semata.
13
Hambatan yang mungkin muncul dari segi kultural diantaranya terdapat pada
aturan adat yang berbeda di kampung adat di seluruh Indonesia.Hukum adat dalam
kampung adat tidak mengarah kepada politik nasional karena aturan adat dan
kepemimpinan yang berlaku terhadap masyarakat yang berada dalam kampung
adatnya sendiri.Sebagian besar masyarakat yang berada di kampung adat tidak akan
terlalu peduli dengan pemerintah di atasnya.Bahkan dalam tataran yang
ekstrem,masyarakat mengenal indonesia dan sejauh mana luas wilayah Indonesia
tersebut.Hal ini meskipun kecil ternyata memiliki dampak bagi perpolitikan
nasional.
Hal ini di satu sisi memudahkan pekerjaan yang dilakukan oleh masyarakat dan
memudahkan informasi dan transfer pengetahuan.Namun disisi lain,kontrol yang
kurang terhadap isi kandungan informasi akan menyebabkan kesesatan (misleading)
informasi yang mengarah kepada bentuk-bentuk penghakiman sendiri (judging),dan
14
provokasi yang mengarah kepada kebencian atau pertikaian terhadap suatu
kelompok tertentu yang tentu saja bermuatan politis.
Media sosial muncul pada awalnya sebagai suatu fenomena baru yang
mempermudah komunikasi serta mempertemukan berbagai bagian masyarakat yang
selama ini tidak terhubung.Namun saat ini media sosial telah perlahan
bertransformasi menjadi perantara penyebar isu hoax yang merajalela.Isu hoax ini
jika dibiarkan dan disalah artikan oleh pihak yang memiliki kekuatan politis (power
politic) akan memicu provokasi dan ketidakstabilan sosial di masyarakat,provokasi
akan sangat mungkin muncul dan merusak tatanan yang sudah ada layaknya
memancing di air keruh.
Penyebab utama dari munculnya hal tersebut adalah kurangnya minat baca
masyarakat indonesia sehingga cenderung mudah terprovokasi informasi yang
belum tentu kebenarannya.Kemunculan gawai canggih dan ponsel pintar tidak
membuat masyarakat serta merta menjadi pandai juga melainkan makin banyak
membuat pihak terlena karena kemudahan yang ditawarkan oleh gawai tersebut.
Yakni berkaitan dengan personal para tokoh atau elit politik yang berkuasa.Yakni
tentang aspek moralitas elit politik.Pada saat ini para elit politik yang duduk dalam
pemerintahan baik eksekutif maupun legislatif jika ditinjau dari segi mental masih
belum menunjukan performa yang baik.Hal ini dibuktikan dari mudahnya
pemerintah dalam melaksanakan berbagai kesepahaman antar negara yang justru
seringkali malah menjadi kerugian bagi negara.Sikap mental yang kuat untuk
memperjuangkan kepentingan bangsa di dalam forum internasional saat ini masih
kurang manfaatnya bagi masyarakat indonesia.Berbagai kesepahaman telah di
tanda tangani oleh pemerintah namun hasil yang muncul belum memuaskan. Hal ini
menjadi salah satu penanda bahwa para elit politik belum mampu menegakan
mental mereka dalam berhadapan dan bernegosiasi dengan asing.
Hal penting yang juga menjadi hambatan dalam bentuk kebiasaan bagi elit politik
diantaranya adalah penyalahgunaan wewenang. Penggunaan mobil dinas yang tidak
15
sesuai prosedur,kunjungan kerja ke luar negeri yang bahkan tidak membawa banyak
manfaat melainkan hanya menghamburkan biaya,berbagai proyek akhir tahun yang
banyak muncul,serta banyak hal lainnya yang sejenis merupakan bentuk
penyalahgunaan kekuasaan yang tidak terasa namun pada kenyataannya dapay
merugikan rakyat itu sendiri. Hal ini akan menyebabkan biaya penyelenggaraan
negara membengkak dan berujung pada mahalnya biaya politik bagi para elit
dimana akan berpotensi mengarah kepada tindakan korupsi.
Yang terakhir yakni terkait birokrasi yang sangat panjang dalam berbagai bidang.
Hal ini akan menghambat percepatan pembangunanutamanya di dalam sektor
ekonomi dan juga politik serta keamanan dalam negeri.Reformasi birokrasi perlu
dilakukan dalam rangka memangkas berbagai prosedur rumit yang ada,sekaligus
menciptakan suatu tatacara atau perangkat sistem terbaru yang memudahkan
tercapainya tujuan birokrasi tersebut.
2. Peluang
Berbagai peluang muncul setelah berbagai evaluasi dan pengamatan dilakukan oleh
pemerintah dalam bidang-bidang yang terkait. Berbagai peluang tersebut diantaranya
dapat diamati sebagai berikut :
Saat ini berbagai bentuk pendidikan politik telah mulai dilakukan oleh berbagai
pihak.Jika menyambung kepada pendapat dari rusadi kartaprawira (2006:56),
bentuk penidikan politik dapat diselenggarakan melalui hal-hal berikut :
16
internet dan media sosial. Pendidikan politik yang diberikan ini di dukung oleh
kementrian komunikasi dan informatika.
Selain itu,saat ini baik media swasta maupun pemerintah bekerja sama
menyiarkan pendidikan politik kepada masyarakat. Bentuk penyampaiannya
sudah dapat terlihat melalui iklan layanan masyarakat,berbagai bentuk budaya
populer,serta program televisi dimana masyarakat dapat lebih mudah memahami
politik melalui berbagai tayangan.
Peluang berikutnya yakni mengenai integrasi antara sistem politik dan hukum
positif yang juga dibangun atas integrasi budaya,agama,dan situasi
kemasyarakatan. Potensi ini sebetulnya dapat menjadi ladang emas yang dapat
di manfaatkan bagi pemangku kebijakan untuk mengambil simpati rakyat dalam
rangka menciptakan kondusifitas sistem kemasyarakatan dan situasi sosial
masyarakat.
Sistem politik akan bertahan lama apabila didasarkan pada integrasi budaya.
Hal ini secara logis berpengaruh sebab sistem politik yang di bangun oleh
manusia juga merupakan suatu produk budaya yang tidak lepas dari buah
pemikiran dan karsa cipta manusia yang membuatnya.
d.Perkembangan demokrasi
17
Kesempatan berikutnya yang muncul nya yakni dapat diamati pada perbaikan
sistem demokrasi di indonesia. Saat ini demokrasi di indonesia melakukan
pemilihan langsung oleh rakyat. Sejak dalam lingkup nasional hingga ke daerah
terkecil,pemilihan langsung oleh rakyat di anggap menjadi suatu perkembangan
bagi kemajuan demokrasi di indonesia.Baik pemilu presiden, maupun
pemilukada kini menjadi suatu pesta politik yang damai dan kondusif, Hal ini
menandakan bahwa demokrasi di indonesia telah dalam tahap membaik.
Peluang selanjutnya yang menjadi bukti kondusifitas politik saat ini adalah
bahwa mahasiswa tidak lagi banyak turun ke jalan. Jumlah mahasiswa yang turun
ke jalan semakin hari semakin berkurang jumlahnya. Hal ini juga mungkin di
dukung oleh sistem pendidikan di perguruan tinggi yang mengarahkan para
mahasiswanya untuk lebih berfokus kepada kegiatan akademiknya ketimbang
kegiatan aktivisnya.
18
dalam negara G 20 dan menjadi salah satu negara dengan perekonomian yang
terbaik di Asia Tenggara. Perbaikan ekonomi dapat menjadi peluang yang dapat
di manfaatkan agar menghasilkan suatu lobi-lobi politik yang signifikan bagi
perpolitikan di tanah air. Dengan demikian dinamika politik yang terjadi adalah
dinamika politik yang muncul ke arah yang lebih baik dan tidak menjadi lebih
buruk dari sebelumnya.
Realitas politik memang diakui oleh Arifin ( 2011:286) lebih sering bisa dijelaskan
dari pendekatan kebudayaan. Hal tersebut bisa dicoba pahami dari pendekatan
budaya, pendekatan ini akan mengabaikan faktor kekuasaaan itu sendiri yang bersama-
sama dengan kondisi sosial ekonomi. Banyak kegiatan politik dan program
ekonomi yang secara struktural sudah terpenuhi, namun tidak dapat berjalan baik
akibat adanya kendala yang bersifat kultural.
19
memobilisasi proyek publik karena ketika diekspresikan melalui bahasa
tulis yang kritis, rasional dan dapat dimengerti secara empiris.
Dari perspekstif relasi sosial, ideologi adalah sistem ide-ide politik yang dapat
diterapkan dengan kalkulasi politik.Lalu, ideologi terkait dengan
kompleksitas praktik sosial yang tidak menyatu dan sistem representasi
yang memiliki signifikansi dan konsekuensi politik.
Ideologi politik menurut Alfan (2009:246) merupakan rumusan
mendasar tentang partai politik/politisi. Juga merupakan cirikhas suatu partai
politik/politisi dan visi dan garis yang hendak diwujudkan. Sedangkan
ideologi adalah basis sistem nilai dan paham yang menjelaskan mengapa
partai itu ada. Dari sisi masyarakat, kejelasan sistem nilai dan paham akan
memudahkan mereka dalam mengidentifikasikan sekaligus membedakan
suatu partai dengan partai lain.
G. Patrimonialisme Politik
20
negeri, misalnya, yang seharusnya berada dalam wilayah publik, dimasukkan ke
wilayah pribadi, tanpa keterbukaan dan tanpa pertanggungjawaban.
3. Unsur Kultural Nonrasional, modern berkembang dalam kultur yang rasional,
yang sumber informasi dan validitasnya dapat diverifikasi dalam dunia yang
nyata. Sedangkan corak pemerintahan patrimonial mengembangkan kultur
nonrasional, dalam segala bentuk mistisisme ataupun kultus individual. Dalam
birokrasi modern, sang penguasa ditampilkan sebagai politisi biasa yang menang
pemilu. Sedangkan dalam corak patrimonial, penguasa diberi bobot mistik yang
lebih kuat. Ia digambarkan memiliki kekuatan supernatural tertentu, atau
keturunan sebuah dinasti atau moyang yang mahasakti atau kaliber seorang wali.
Dengan mistisisme itu, loyalitas kepada pemimpin menjadi lebih dalam. Bahkan,
informasi yang menjadi landasan kebijakan publiknya sebagian dianggap turun
dari kahyangan, yang tak dapat diverifikasi di dunia nyata.
Maka rakyat dalam pemerintahan patrimonial tak ubahnya hanya menjadi sapi perah
(klien) untuk kepentingan elit politik tertentu dalam mencapai tujuannya. Demokratisasi
politik di atas hanya berlangsung secara prosedural dimana kekuasaan berlangsung dan
dipertahankan melalui cara dan pola tertentu hanya sebagai alat tujuan untuk
kepentingan kelompok atau individu. Fenomena tersebut jelas telah kehilangan
identitasnya makna yang sebenarnya, menguatnya fenomena politik transaksional tidak
saja telah meruntuhkan legitimasi demokrasi namun mengubah wajah demokrasi hanya
merupakan alat untuk kepentingan kelompok tertentu. Meski Robert Dahl, menyebut tiga
prinsip utama pelaksanaan demokrasi, yakni (1) kompetisi, (2) partisipasi, dan (3)
kebebasan politik dan sipil. Kompetisi harus dibingkai dalam proses yang sehat dan luas
di antara individu serta dalam kelompok-kelompok organisasi untuk mencapai
kekuasaan pemerintahan, secara periodik dan persuasif. (Keith R, 1983).
21
Dari sini dapat kita simpulkan bawasannya, Budaya Patrimonialisme adalah unsur
yang buruk terhadap perpolitikan di Indonesia, Pengamat politik Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro berpendapat, sekalipun pascareformasi, sistem
patrimonial yang rentan terhadap praktik nepotisme dan kolusi masih melekat dalam
budaya politik Indonesia. Hal ini terjadi baik di lingkungan partai maupun pemerintahan.
Dalam konteks Indonesia , masih ada mitos kekuasaan bukan hal yang dicari
secara terang-terangan bahkan diperlombakan secara terbuka. Ada fase mitos
tersebut masih kental, lalu berproses dalam bentuk budaya baru dengan benang merah
yang sama, yaitu peletakan posisi rakyat. Hal ini dijelaskan oleh Arifin (2011: 287-
301) , Pertama, ada istilah “kekuasaanlah yang mencari orang”. Yaitu bukanlah calon
penguasa atau calon pemimpin yang harus aktif berkampanye untuk memperoleh
kekuasaan, namun sebaliknya calon penguasa itu harus dalam kondisi tenang saja, dan
rakyatlah yang digambarkan datang dan memintanya untuk menjadi
pempimpin/penguasa. Wujudnya adalah dukungan publik yang sudah terkumpul lalu
diajukan ke tokoh tertentu. Kedua,ada serasi, selaras, dan seimbang. Pola
komunikasi politik yang berkembang adalah komunikasi politik yang bertumpu
pada model interaktif dan dialogis dalam forum lobi dan musyawarah. Tekanan model
ini adalah menciptaan rasa kebersamaan yaitu kebersamaan tokoh dengan rakyat.
22
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari kajian di atas, maka Komunikasi politik adalah pembicaraan yang sudah mencapai
tahapan yang serius, fokus dan sungguh-sungguh karena berkaitan masalah makro kehidupan
bangsa dan negara yang tujuan dan dampaknya untuk mewujudkan masyarakat yang
berkeadilan, beradab (moral) dan sejahtera. Kembali kepada pemahaman piramida khalayak
komunikasi politik, semakin keatas semakin sedikit orang-orang yang berperan, berambisi,
dan yang terpanggil untuk masuk ke lingkaran kekuasaan. Semakin kebawahan khalayak
komunikasi politik semakin tidak terlalu perhatian dengan masalah politik. Seperti yang telah
digambarkan dalam piramida yang teratas adalah elit opinion lalu dipertengahan ada
attentive public dan yang paling terbesar adalah general public.
23
dan keadilan serta pengayoman merupakan modal bagi Pemerintah untuk menyelesaikan
masalah-masalah tersebut.
Kedua, dalam hal arogansi pemerintah, maka selayaknya pemerintah lebih menekankan
pada pejabat yang bersangkutan untuk mencoba lebih bertindak sebagai pamong
yang arif dan bijaksana, artinya bahwa kepamongan pejabat-pejabat tersebut harus
didukung oleh tokoh-tokoh kharis-matik di daerah tersebut serta oleh tokoh-tokoh
agama yang men dukung. Kerja komunikasi politik pada isu ini adalah pada konteks inter
nal pemerintahan, sehingga bukan lagi komunikasi persuasif ataupun diplo masi yang
perlu dilakukan melainkan mela-kukan melalui koreksi internal.
Ketiga, isu keadilan, maka yang selayaknya dilakukan adalah membatasi sikap-sikap
yang cenderung lebih menekankan pada pencapaian target dan bukan pada cara.
Untuk itu selayaknya model tersebut diubah menjadi lebih mendahulukan cara
untuk mencapai target yang telah ditentukan.
DAFTAR PUSTAKA
Almond, Gabriel and James S. Colemann, 1960. The Politics of the Developing Areas.
New York: The Princenton University Press.
Almond, Gabriel and Sidney Verba, 1965. The Civic Culture. Boston: Litle Brown.
Huntington, Samuel P., 1984. No Easy Choice: Political Participation in Developing Countries.
Cambridge Mass: Harvard University Press.
Kor Lipset, Seymour M., 1959. Political Man: The Social Bases of Politics. New York: Dobleday.
Nimmo, Dann, 1993. Komunikasi Politik: Komunikator, Pesan, dan Media, Bandung: Remaja
Karya.
Raboy, Marc dan Peter A Bruck (ed)., 1989. Communication for and against Democracy. New
York: Black Rose Book.
24
Rauf, Maswadi, 1993. Komunikasi Politik: Masalah Sebuah Bidang Kajian dalam Ilmu Politik
dalam Indonesia dan Komunikasi Politik., Maswadi Rauf dan Mappa Nasrun (ed),
Jakarta: Gramedia.nhauser, William, 1973. The Politics of Mass Society. Glencoe III: The
Free Press
Badan pusat statistik.BPS.2016 Potret pendidikan indonesia statistik pendidikan 2016. [PDF].
jakarta :BPS
Alfan, M. Alfian (2009) Menjadi Pemimpin Politik. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Arifin, Anwar. 2011. Komunikasi Politik. Filsafat, Paradigma, Teori, Tujuan, Strategi dan
Komunikasi Politik Indonesia.Jakarta: Graha Ilmu.
Carsey, Thomas M., Robert A. Jackson Melissa Stewart and James P. Nelson (2011) Strategic
Candidates, Campaign Dynamics, and Campaign Advertising in Gubernatorial Races. State
Politics & Policy Quarterly (15 (I) , 18-30).from http://spa.sagepub.com/content/11/3/269
Delli, Michael X . (2013) An Engagement with Jeffrey Jones: Toward a New Vocabulary for
Political Communications. International Journal of Communications (7, 507-509),
Elmer, Greg. (2012) Live research : Twittering an election debate. New Media & Society
Journal (15 (I) , 18-30).From http://nms.sagepub.com/content/15/1/18
Firmansyah (2008)Mengelola Partai Politik: Komunikasi dan Positioning Ideologi Politik di Era
Demokrasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
25