Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH DASAR-DASAR ILMU POLITIK

TENTANG KOMUNIKASI POLITIK KONTEMPORER INDONESIA

DOSEN PENGAMPU
ZULMAN BARNIAT M.IP

Disusun oleh
Nama : Dedeh Imas Kurnia
Npm : 20022004
Prodi :Ilmu Komunikasi

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH LAMPUNG
TAHUN AJARAN 2020/2021

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa kita panjatkan kepada Allah Subhanallahu Wa Ta’ala atas
karunianya sehingga makalah ini dapat saya selesaikan. Makalah ini merupakan syarat untuk
melengkapi nilai tugas mata kuliah dasar-dasar ilmu politik.Makalah ini berisi tentang
“KOMUNIKASI POLITIK KONTEMPORER INDONESIA”.

Kehadiran makalah ini diharapkan dapat menambah perbendaharaan kajian-kajian tentang


komunikasi kontemporer,menambah wawasan mahasiswa dalam mengkaji isu-isu
komunikasi kontemporer,Penulis telah berupaya maksimal dalam penulisan makalah ini.
Namun karena berbagai keterbatasan; waktu, tenaga, ilmu pengetahuan, pengalaman dan
sebagainya, maka hasilnya terkesan masih amat sederhana. Penulis mengharapkan kritik
membangun dari para pembaca demi untuk kesempurnaan pada masa mendatang.

Bandar Lampung,14 Desember 2020

Dedeh Imas Kurnia

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ...................................................................................................................1

Daftar Isi...............................................................................................................................2

Bab 1 Pendahuluan

1.1 Latar belakang masalah.........................................................................................1


1.2 Rumusan masalah...................................................................................................2
1.3 Tujuan makalah......................................................................................................3

Bab 2 Pembahasan

1. Pengertian komunikasi politik kontemporer.......................................................4


2. Pengertian komunikasi politik menurut para ahli..............................................5
3. Proses komunikasi Politik kontemporer .............................................................6
4. Kekuatan politik kontemporer .............................................................................7
5. Peluang dan hambatan politik kontemporer.......................................................8
6. Budaya politik dan budaya komunikasi...............................................................9
7. Rakyat dalam konteks Komunikasi Politik.........................................................10
8. Patrimonialisme Politik.........................................................................................11

Bab 3 Penutup

1.1 Kesimpulan............................................................................................................12

3
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Komunikasi merupakan hal yang pasti dilakukan oleh manusia dalam


kehidupannya, demikian juga dengan hewan. Komunikasi merupakan salah satu
kebutuhan pokokmanusia dalam menjalani kehidupannya. Bahkan seorang bayi pun
sudah dapat melakukan komunikasi, seperti ketika ia menangis itu bsia jadi
menandakan bahwa ia sedang lapar atau tidak nyaman. Maka jelaslah bahwa
komunikasi adalah hal penting yang harus dipelajari dan dipahami.

Komunikasi politik kontemporer di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari


komunikasi politik yang dikembangkan dalam kepolitikan global, karena
keberadaan komunikasi politik ini ditentukan oleh tarik-menarik antara kepentingan
global dan kepentingan nasional/lokal. Tarikan kepentingan tersebut lebih bernuansa
kepentingan ekonomi dan kepentingan ideologi dunia dalam bentuk
demokratisasi dan hak asasi manusia (HAM). Hal itu tidak dapat dihindarkan karena era
global berarti politik global, ekonomi global, pasar global, dan lingkungan global.
Oleh sebab itu, dalam menyelenggarakan komunikasi politik kontemporer di
Indonesia, tidak terlepas dari kinerja politik Peme rintah dalam mengapresiasi
kepentingan global untuk kepentingan nasional.

Hal ini penting dipersoalkan, karena dari beberapa orde pemerintahan yang
ada di Indonesia komunikasi politik yang dipergunakan tidak menyebabkan surutnya
praktek-praktek politik yang kurang demok-ratis, baik pada tataran pemerintah
Pusat maupun pemerintah Daerah. Praktek-praktek politik seperti inilah yang
kemudian memunculkan kesimpulan bahwa komunikasi politik kontemporer di
Indonesia hanya bisa dipahami melalui oleh sekelompok kecil elit yang kemudian
mengembang-kan fenomena-fenomena politik yang tidak demokratis, tidak menghargai
perbedaan, lebih mementingkan kelompok, dan kurang memperhatikan HAM.

4
1.2 Rumusan Masalah

Dari judul yang telah di tentukan,akan timbul masalah dan pertanyaan sebagai berikut.

1. Apa itu Komunikasi Politik Kontemporer Indonesia ?


2. Bagaimakah proses Komunikasi Politik Kontemporer Indonesia ?
3. Apa saja kekuatan Politik Kontemporer Indonesia ?
4. Apa saja Hambatan dan peluang Politik Kontemporer indonesia ?
1.3 Tujuan Makalah
1. Mempelajari dan mencoba menganalisa Komunikasi Politik Kontemporer Indonesia
2. Mengetahui bagaimana proses Komunikasi Kontemporer Indonesia
3. Mengetahui beberapa hal yang menjadi kekuatan politik kontemporer indonesia
4. Mengetahui hambatan dan peluang dari komunikasi politik kontemporer indonesia

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Komunikasi Politik Kontemporer Indonesia

komunikasi politik artinya adalah politik sebagai pesan-pesan komunikasi, yaitu


bagaimana politik yang berkaitan dengan pengaruh, kekuasaan, kewenangan, nilai, ideologi,
kebijakan umum, distribusi kekuasaan menjadi pesan yang disampaikan secara sirkular dari
pengirim (komunikator politik) kepada penerima (komunikan), audiens atau khayalak
politik.

Komunikasi politik adalah pembicaraan yang sudah mencapai tahapan yang serius,
fokus dan sungguh-sungguh karena berkaitan masalah makro kehidupan bangsa dan negara
yang tujuan dan dampaknya untuk mewujudkan masyarakat yang berkeadilan, beradab
(moral) dan sejahtera. Kembali kepada pemahaman piramida khalayak komunikasi politik,
semakin keatas semakin sedikit orang-orang yang berperan, berambisi, dan yang terpanggil
untuk masuk ke lingkaran kekuasaan. Semakin kebawahan khalayak komunikasi politik
semakin tidak terlalu perhatian dengan masalah politik. Seperti yang telah digambarkan
dalam piramida yang teratas adalah elit opinion lalu dipertengahan ada attentive public
dan yang paling terbesar adalah general public

Komunikasi kontemporer sering diidentikan dengan komunikasi virtual. Komunikasi


virtual merupakan proses penyampaian pesan yang dikirimkan melalui internet atau
cyberspace. Komunikasi yang dipahami sebagai virtual reality pada ruang lingkup alam
maya dengan menggunakan internet. Komunikasi kontemporer sebenarnya
dilakukan dengan cara representasi informasi digital yang bersifat diskrit. Internet
merupakan media komunikasi yang sering digunakan pada saat ini sebagai menyambung
komunikasi dengan berbagai media.

6
B. Pengertian komunikasi politik koontemporer menurut para ahli
1. (Maswadi Rauf dalam Harun & Sumarno, 2006:2)

Komunikasi politik. Pembicaraan politik, yakni pembicaraan kekuasaan,


pembicaraan pengaruh dan pembicaraan otoritas. Komunikasi Politik sebagai
obyek kajian Ilmu Politik, karena pesan-pesan yang disampaikan dalam
proses komunikasi bercirikan politik, yakni berkait dengan kekuasaan
politik negara, pemerintahan dan aktivitas komunikator dalam kedudukan
sebagai pelaku kegiatan politik.

2. David Easten & Jack Dennis

Children in the Political System: Origens of Political Legitimacy”


menjelaskan tentang komunikasi politik adalah “suatu proses perkembangan
seseorang untuk mendapatkan orientasi-orientasi politik dan pola-pola
tingkah laku”(Sumarno AP, 2006:82).Agitasi politik adalah“suatu proses
perkembangan seseorang untuk mendapatkan orientasi-orientasi politik dan
pola-pola tingkah laku”, (Sumarno AP, 2006:82).

3. Anwar Arifin

Kampanye politik Adalah “Suatu usaha individu atau individu-individu yang


berkepentingan untuk mengontrol sikap kelompok individu lainnya dengan
jalanmenggunakan sugesti ”(Arifin, 2003; Delli, 2013).

4. Harbert Blumer

“Suatu kampanye politik yang dengan sengaja mengajak dan membimbing


untuk mempengaruhi/membujuk orang guna menerima suatu pandangan,
sentimen, atau nilai “(Arifin, 2003.)“ Merupakan kegiatan komunikasi politik
yang dilakukan secara terencana dan sistematik untuk menggunakan sugesti
(mempermainkan emosi) guna mempengaruhi seseorang atau kelompok orang,
khalayak atau komunitas yang lebih besar (bangsa) agar melaksanakan atau
menganut suatu ide (ideologi, gagasan sampai sikap),atau kegiatan
tertentu dengan kesadarannya sendiri tanpa merasa dipaksa/terpaksa”.

7
5. Elmer (2012)

komunikasi politik adalah setiap bentuk penyampaian pesan, baik dalam


bentuk lambang-lambang maupun dalam bentuk kata-kata tertulis atau
terucap, ataupun dalam bentuk terucap, ataupun dalam bentuk isyarat yang
mempengaruhi kedudukan seseorang yang ada adalam suatu struktur
kekuasaan tertentu

C. Bagaimanakah proses komunikasi politik kontemporer indonesia

Komunikasi politik kontemporer yang dikembangkan saat ini setidaknya dapat


menangkal komunikasi politik satu arah yang selama ini dilakukan pemerintah yang
cenderung sangat sentralistis, dimana Presiden memegang penuh seluruh kebijakan
yang perlu dikomunikasikan. Hal ini berakibat pematangan politik tidak terjadi, di
samping menyebabkan terjadinya political decay (pembusukan politik).Dipahami bahwa
kekuasaan yang terpusat cenderung korup dan menyalahgunakan kewenangan
baik hal itu dilakukan oleh individu maupun oleh kelompok elit penguasa dan kondisi
seperti ini menyebabkan ketidak berdayaan dan ketidakpercayaan warganegara
terhadap Pemerintahan. Dan tatkala warganegara tidak berdaya dan tidak percaya
pada Pemerintah, maka pada saat itu komunikasi politik yang dilakukan
pemerintah perlu mengedepankan prioritas opini yang penting untuk dikembangkan.
Pengembangan opini tentunya didasarkan pada keterwakilan rakyat atas masalah-masalah
yang ia hadapi, sehingga muncul simpati publik terhadap kebijakan yang
diambil pemerintah.

Kemampuan mengemas opini publik yang kemudian dimatangkan dalam


perdebatan publik, akan membawa pada suatu suasana politik yang dinamis. Suasana
politik yang dinamis umumnya akan memunculkan keseimbangan kekuatan politik; akan
tetapi jika hal itu tidak terjadi maka pada saat yang sama akan memunculkan kelompok-
kelompok andingan yang merupakan kekuatan politik terselubung yang mengapresiasi
kepentingan-kepentingan politik tertentu dengan tujuan chaos bagi kekuasaan politik.
Dan kejatuhan suatu rezim tinggal menunggu waktu. Hal inilah yang antara lain
menjadi pemicu munculnya berbagai stigma politik dalam gerakan reformasi.

Dalam negara yang bercirikan patrimonialisme seperti Indonesia, peran


pemerintah sangat besar dalam pendidikan politik. Oleh sebab itu, jika budaya politik
yang tidak demokratis yang dikembangkan, maka dapat diduga bahwa tindakan-tindakan

8
politik masyarakatpun akan juga tidak demokratis. Dan jika budaya korupsi
yang dikembangkan, maka jangan disalahkan apabila bentuk negara berubah dari
negara demokrasi ke negara kleptokrasi. Demikian juga permasalahan yang
berkaitan dengan hukum dapat diatur dengan uang, uang menjadi penguasa politik,
uang menjadi nyawa demokrasi, karena suara kebenaran dapat dibeli
dengan uang. Dan ketidakadilan merupakan fenomena biasa karena “anggapan
siapa yang punya uang, dia yang berkuasa”. Kecenderungan inilah yang terjadi dan
dipersepsi oleh mayoritas rakyat Indonesia tatkala proses reformasi berlangsung.
Akan tetapi persepsi itupun belum banyak berubah tatkala reformasi telah
kehilangan agenda, ntara lain dapat diketahui dari persepsi rakyat tentang
pemerintahan saat ini, yaitu pemerintahan mobokrasi, yaitu pemerintahan yang
kebijakannya ditentukan oleh tekanan-tekanan gerombolan atau kelompok-
kelompok di luar parlemen ataupun kabinet yang digerakkan dengan imbalan materi. Pada
kondisi seperti ini, maka membangun opini publik melalui komunikasi politik
dengan dasar nilai-nilai demokratisasi merupakan hal yang harus dilakukan oleh
pemerintah jika menginginkan suatu pemerintahan yang dapat bertahan lama. Tuntutan
demokratisasi dalam kepolitikan sudah merupakan tuntutan global, dan umumnya
tuntutan global akan menggunakan segala macam cara untuk dapat berhasil.
Oleh sebab itulah, maka komunikasi politik kontemporer seyogyanya
didasarkan pada asas demokrasi.

Isu keadilan, isu hukum, isu agama, isu kesukuan, isu rasial, isu kedaerahan,
dan isu kesenjangan kemakmuran merupakan isu-isu aktual yang berkembang dalam
kepolitikan di Indonesia selama ini.Dan hal ini semakin menguat dewasa ini melalui
berbagai kerusuhan di daerah. Isu-isu aktual tersebut sewaktu-waktu
diperkirakan akan muncul dalam bentuk keberingasan dan kebrutalan sosial.Kasus
Situbondo (1998) merupakan salah satu kasus dimana isu yang diangkat ke
permukaan adalah isu agama, juga kasus Ambon (1999), Ternate (1999), dan Mataram
(2000) dewasa ini berangkat dari kasus yang sama, terlepas dari permainan politik elit,
tetapi yang jelas bahwa isu agama merupakan komoditas yang paling laku dijual dalam
perdagangan politik. Fenomena-fenomena tersebut berakumulasi dan berkembang dalam
persepsi masyarakat di daerah. Dan akumulasi sentimen tersebut yang seringkali muncul
dalam keberingasan dan kebrutalan sosial. yang orientasinya adalah faktor keadilan
antara pribumi dan non-pribumi yang umumnya merupakan sentimen-sentimen

9
yang diperbesar oleh perilaku-perilaku aparatur pemerintah melalui tindakan-
tindakan yang cenderung lebih mengedepankan tujuan daripada cara yang
harus ditempuh.Akibatnya muncul sinyalemen bahwa dalam praktek-praktek
keadilan baik yang menyangkut ijin mendirikan tempat peribadatan, ijin pembebasan
tanah, ijin pelebaran jalan, ijin pembuatan tempat-tempat rekreasi (lapangan golf),
maupun ijin untuk membuat perkebunan-perkebunan besar dan industri serta
pabrik-pabrik, telah terjadi praktek-praktek kolusi antara pemerintah dan pengusaha.
Fenomena-fenomena tersebut berakumulasi dan berkembang dalam persepsi masya-rakat
di daerah. Dan akumulasi sen-timen tersebut yang seringkali muncul dalam keberingasan
dan kebrutalan sosial.

Apabila dilihat substansinya, maka isu/sentimen rasial tersebut umumnya


lebih disebabkan karena adanya kesenjangan penikmatan kemakmuran,
sebagai hasil dari adanya pembangunan. Bisa dipahami bahwa penikmatan
kemakmuran oleh kelompok non-pribumi hampir merata di seluruh propinsi dan
penikmatan tersebut di atas rata-rata penikmatan yang diterima oleh kelompok pribumi.
Akibatnya adalah munculnya kecemburuan sosial, bahwa pembangunan untuk seluruh
rakyat Indonesia ternyata lebih banyak dinikmati oleh kelom-pok-kelompok non pribumi.
Sikap prejudice di atas, tampak dari persepsi masyarakat bahwa dalam praktek-praktek
pembangunan telah terjadi kolusi antara penguasa dan pengusaha,yang umumnya
menguntungkan salah satu pihak dan merugikan rakyat pada umumnya.

D. Kekuatan politik kontemporer indonesia

Secara umum kekuatan politik kontemporer di Indonesia apapun nama dan sifat
organisasinya akan bermain dan memanfaatkan isu-isu politik sebagai berikut:

1. Isu Kesenjangan

Yang diindikasikan pada: Kesenjangan ekonomi kaya dan miskin; pengusaha dan
buruh. Kesenjangan Pendidikan Kota dan Desa; Kesenjangan Pem-bangunan Jawa
dan luar Jawa dan Kesenjangan Politik Elit Massa.

2. Isu Demokratisasi dan HAM

10
menyangkut kebebasan berpen-dapat, UU bidang politik, Pemerintahan, dan
Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah serta pelanggaran-pelanggaran HAM.

3. Isu Kemiskinan

Buruh dan tani, pengangguran masyarakat terdidik serta ketergusuran


masyarakat miskin kota atau pribumi yang dikalahkan.

4. Isu Kapitalisme Konglomerasi non-pribumi

Nepotisme ekonomi partai politik, kapitalis semu anak pejabat, liberalisasi


ekonomi yang meminggirkan produk dalam negeri serta monopoli ekonomi
pada produk-produk pasar yang berkaitan dengan harkat hidup masyarakat
banyak.

5. Isu Pemanfaatan Profesionalisme

Intelektual/cendekiawan,distribusi jabatan-jabatan politik dan jabatan karir,prilaku


politik aparat yang menunjuk pada arogancy partai politik dan kesombongan
penguasa.

6. Isu Transparasi Kebijakan

Kebijakan yang menunjuk kelompok yang dimenangkan dan kelompok


yang dikalahkan.

7. Isu-isu yang berkaitan dengan kesukuan, agama, ras, dan antar golongan

Berkembangnya berbagai isu di atas, setidaknya menunjukkan bahwa komunikasi


politik yang dilakukan oleh pemerintah dalam membangun opini publik telah
gagal untuk menepis isu-isu negatif di atas. Akibat yang paling dirasakan dari
kegagalan komunikasi politik yang dilakukan pemerintah,adalah terganggunya
hubungan-hubungan sosial, politik, dan ekonomi antara rakyat. Dan dengan
terganggunya hubungan-hubungan tersebut, maka terganggu pula ikatan
kebangsaan. Jika hal ini dibiarkan terus berlangsung, maka dis-integrasi bangsa
tinggal menunggu waktu.

11
E. Peluang dan hambatan Dinamika Politik Kontemporer Indonesia

Dinamika politik kontemporer yang terjadi di indonesia mengalami berbagai macam


hambatan dalam pelaksanaannya pada tataran praktis.Sementara disisi lain,hal ini akan
memunculkan peluang dengan adanya berbagai kesempatan baik yang mampu dimanfaatkan
agar perjalanan politik bangsa ini jauh lebih baik.Berbagai hambatan dan tantangan tersebut
seyoganya mampu disikapi dengan positif oleh para pengambil kebijakan dan pemangku
kepentingan lainnya agar dapat bermanfaat bagi pelaksanaan kehidupan berpolitik di
indonesia.Berbagai hambatan dan tantangan tersebut diantaranya sebagai berikut :

1. Hambatan

Berbagai hambatan yang mewarnai pelaksanaan politik di indonesia dan menjadi


penyebab bagi dinamika politik yang saat ini sedang terjadi di indonesia seolah-olah
kini menjadi kambing hitam bagi setiap dampak politis atas setiap kebijakan yang
diambil oleh para pemangku kepentingan.Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor
hambatan yang muncul.Berbagai faktor tersebut diperoleh dari hasil penggalian dalam
terhadap situasi dan kondisi sosial kemasyarakatan yang terdapat dalam masyarakat
kita.Beberapa faktor hambatan tersebut di antaranya sebagai berikut :

a.Pendidikan masyarakat yang rendah

Pendidikan politik dapat menjadi suatu faktor hambatan bagi pencapaian


pelaksanaan politik indonesia.Hal ini disebabkan karena pendidikan politik dapat di
mungkinkan berpenaruh kepada partisipasi masyarakat dalam politik.Dengan
pendidikan politik meningkat diharapkan tingkat apatisme politik akan menurun.

Pendidikan politik juga erat kaitanya dengan pendidikan formal,sebab hal ini
mempengaruhi tingkat dan daya serap masyarakat.Semakin tinggi pendidikan yang
ditempuh oleh masyarakat maka,partisipasi politik yang dilakukan oleh relatif lebih
tinggi.

Kartaprawira (2006) mengartikan pendidikan politik sebagai upaya “upaya untuk


meningkatkan pengetahuan politik rakyat dan agar dapat berpartisipasi secara
maksimal dalam sistem politiknya”.Berdasarkan pendapat tersebut,maka secara
khusus di Indonesia,pendidikan politik perlu dilaksanakan secara berkesinambungan
agar masyarakat dapat terus meningkatkan pengetahuan dan pemahaman terhadap
dunia politik yang selalu mengalami dinamika yang kompleks.

12
Tantangan yang dihadapi Indonesia saat ini dalam hal pendidikan politik
diantaranya adalah masih kurangnya kepedulian terhadap hubungan antara
pendidikan sebagaimana telah disebutkan sebelumnya dengan politik dalam wacana
publik.Publikasi,seminar maupun diskusi akademik yang mengangkat tema tentang
pendidikan politik pun masih terasa kurang terdengar.Fokus bahasa yang masih
sering disentuh diantaranya seringkali hanyalah seputar aspek ideologis politiknya
saja dan belum dianggap substansif,meskipun telah nampak adanya suatu bentukan
kombinasi antara pendidikan dan politik tersebut.

b.Pengaruh feodalisme

Feodalisme di Indonesia dapat diamati dari sejarah kerajaan masa lampau hingga
pendudukan para kolonialis belanda dan jepang.Dalam sejarah berdirinya
Indonesia,sejak zaman kerajaan,Indonesia telah mengenal sistem feodal.Contoh
feodalisme yang sangat kentara adalah pada sistem kasta dalam kerajaan hindu di
Indonesia.

Feodalisme pada masa masa penjajahan diwarnai oleh feodalisme yang terjadi di
eropa.Sistem tanam paksa dan penetapan pajak tanah yang tinggi kepada pribumi
adalah contoh feodalisme masa lampau pada zaman kolonialisme masih berkembang
pesat.Kebiasaan feodalisme secara turun temurun inilah yang kemudian mewarnai
sistem kehidupan yang politik di masyarakat indonesia yang menganggap bahwa
orang yang memiliki jabatan sturuktural,kepangkatan dan gelar akademik yang
tinggal di masyarakat dianggap sebagai kelompok masyarakat kelas atas dimana
selain kelompok tersebut adalah masyarakat kelas rendah yang hanya menuruti apa
yang dilakukan oleh para kaum kelas atas semata.

Kebiasaan feodalisme masyarakat ini pada masa sekarang mengakibatkan


munculnya sikap yang acuh tak acuh dalam memilih pemimpin.Hal ini menyebabkan
munculnya dinasti politik turun temurun selama puluhan tahun yang berada dalam
suatu daerah pemerintah tertentu.Hal ini tentu saja mencederai dinamika politik yang
baik yang berusaha dicapai oleh seluruh rakyat indonesia dimana kepentingan politik
dinasti pada umumnya selalu berupaya menjaga dan melanggengkan
kekuasaannya.Hal ini adalah hambatan bagi upaya pendidikan politik di masyarakat
Indonesia.

c.Faktor kultural dan Agama

13
Hambatan yang mungkin muncul dari segi kultural diantaranya terdapat pada
aturan adat yang berbeda di kampung adat di seluruh Indonesia.Hukum adat dalam
kampung adat tidak mengarah kepada politik nasional karena aturan adat dan
kepemimpinan yang berlaku terhadap masyarakat yang berada dalam kampung
adatnya sendiri.Sebagian besar masyarakat yang berada di kampung adat tidak akan
terlalu peduli dengan pemerintah di atasnya.Bahkan dalam tataran yang
ekstrem,masyarakat mengenal indonesia dan sejauh mana luas wilayah Indonesia
tersebut.Hal ini meskipun kecil ternyata memiliki dampak bagi perpolitikan
nasional.

Agama juga memiliki aturan hukumnya masing-masing yang mengatur


kehidupan umatnya.Termasuk di dalamnya aspek politikdan
kepemimpinan.Bebeberapa agama yang secara gamblang mengatur mengenai
politik dan memilih pemimpin terdapat dalam Agama islam dan Kristen.Agama lain
pun mengatur mengenai hal tersebut hanya saja tidak secara eksplisit sebagaimana
agama islam dan kristen dalam kitab sucinya masing-masing.Agama buddha dan
hindu lebih mengarah kepada bentuk kedamaian batin personal dan lebih mengarah
kepada mengatur mengenai tingkah laku manusia yang baik dan yang buruk.Agama
dapat menjadi hambatan bagi politik di indonesia apabila di salah artikan,di salah
tafsirkan dan digunakan sebagai alat provokasi serta jualan politik kepada
masyarakat sehingga pada akhirnya akan menciptakan kekacauan tatanan hukum
dan pemerintahan karena konflik yang mungkin dapat terjadi antar umat beragama.

d.Kemajuan informasi yang mengarah pada misleading

Kesalahan pemahaman yang menyesatkan seringkali timbul dewasa


ini.Khususnya setelah kemajuan informasi berkembang pesat dan masyarakat telah
familiar dengan perangkat atau gawai elektronik yang gahar dimana setiap orang
telah mampu menggunakan dan membeli gawai canggih seperti ponsel pintar dan
atau komputer tablet.

Hal ini di satu sisi memudahkan pekerjaan yang dilakukan oleh masyarakat dan
memudahkan informasi dan transfer pengetahuan.Namun disisi lain,kontrol yang
kurang terhadap isi kandungan informasi akan menyebabkan kesesatan (misleading)
informasi yang mengarah kepada bentuk-bentuk penghakiman sendiri (judging),dan

14
provokasi yang mengarah kepada kebencian atau pertikaian terhadap suatu
kelompok tertentu yang tentu saja bermuatan politis.

Media sosial muncul pada awalnya sebagai suatu fenomena baru yang
mempermudah komunikasi serta mempertemukan berbagai bagian masyarakat yang
selama ini tidak terhubung.Namun saat ini media sosial telah perlahan
bertransformasi menjadi perantara penyebar isu hoax yang merajalela.Isu hoax ini
jika dibiarkan dan disalah artikan oleh pihak yang memiliki kekuatan politis (power
politic) akan memicu provokasi dan ketidakstabilan sosial di masyarakat,provokasi
akan sangat mungkin muncul dan merusak tatanan yang sudah ada layaknya
memancing di air keruh.

Penyebab utama dari munculnya hal tersebut adalah kurangnya minat baca
masyarakat indonesia sehingga cenderung mudah terprovokasi informasi yang
belum tentu kebenarannya.Kemunculan gawai canggih dan ponsel pintar tidak
membuat masyarakat serta merta menjadi pandai juga melainkan makin banyak
membuat pihak terlena karena kemudahan yang ditawarkan oleh gawai tersebut.

e.Moralitas Elit Politik

Yakni berkaitan dengan personal para tokoh atau elit politik yang berkuasa.Yakni
tentang aspek moralitas elit politik.Pada saat ini para elit politik yang duduk dalam
pemerintahan baik eksekutif maupun legislatif jika ditinjau dari segi mental masih
belum menunjukan performa yang baik.Hal ini dibuktikan dari mudahnya
pemerintah dalam melaksanakan berbagai kesepahaman antar negara yang justru
seringkali malah menjadi kerugian bagi negara.Sikap mental yang kuat untuk
memperjuangkan kepentingan bangsa di dalam forum internasional saat ini masih
kurang manfaatnya bagi masyarakat indonesia.Berbagai kesepahaman telah di
tanda tangani oleh pemerintah namun hasil yang muncul belum memuaskan. Hal ini
menjadi salah satu penanda bahwa para elit politik belum mampu menegakan
mental mereka dalam berhadapan dan bernegosiasi dengan asing.

Hal penting yang juga menjadi hambatan dalam bentuk kebiasaan bagi elit politik
diantaranya adalah penyalahgunaan wewenang. Penggunaan mobil dinas yang tidak

15
sesuai prosedur,kunjungan kerja ke luar negeri yang bahkan tidak membawa banyak
manfaat melainkan hanya menghamburkan biaya,berbagai proyek akhir tahun yang
banyak muncul,serta banyak hal lainnya yang sejenis merupakan bentuk
penyalahgunaan kekuasaan yang tidak terasa namun pada kenyataannya dapay
merugikan rakyat itu sendiri. Hal ini akan menyebabkan biaya penyelenggaraan
negara membengkak dan berujung pada mahalnya biaya politik bagi para elit
dimana akan berpotensi mengarah kepada tindakan korupsi.

Yang terakhir yakni terkait birokrasi yang sangat panjang dalam berbagai bidang.
Hal ini akan menghambat percepatan pembangunanutamanya di dalam sektor
ekonomi dan juga politik serta keamanan dalam negeri.Reformasi birokrasi perlu
dilakukan dalam rangka memangkas berbagai prosedur rumit yang ada,sekaligus
menciptakan suatu tatacara atau perangkat sistem terbaru yang memudahkan
tercapainya tujuan birokrasi tersebut.

2. Peluang

Berbagai peluang muncul setelah berbagai evaluasi dan pengamatan dilakukan oleh
pemerintah dalam bidang-bidang yang terkait. Berbagai peluang tersebut diantaranya
dapat diamati sebagai berikut :

a.Perbaikan pendidikan politik

Saat ini berbagai bentuk pendidikan politik telah mulai dilakukan oleh berbagai
pihak.Jika menyambung kepada pendapat dari rusadi kartaprawira (2006:56),
bentuk penidikan politik dapat diselenggarakan melalui hal-hal berikut :

1) Bahan bacaan seperti surat kabar,majalah,dan lain-lain dalam bentuk


publikasi massa yang biasa membentuk pendapat umum.
2) Siaran radio dan televisi serta film (audio visual media).
3) Lembaga atau asosiasi dalam masyarakat seperti masjid dan gereja,dan juga
lembaga pendidikan formal ataun pun informal.

b.Sosialisasi media tentang politik

Peluang lainnya yang saat ini mulai mengemuka di antaranya adalah


menjamurnya berbagai penyiaran konten positif di berbagai media termasuk di

16
internet dan media sosial. Pendidikan politik yang diberikan ini di dukung oleh
kementrian komunikasi dan informatika.

Bentuk upaya penyiaran konten positif lainnya diantaranya adalah penyediaan


10000 website oleh mominfo yang dapat pula digunakan oleh komunitas atau
organisasi disamping wirausaha. Hal ini dapat memancing munculnya berbagai
konten positif yang tidak menutup kemungkinan juga mengandung berbagai
pendidikan positif yang melalui komunitas atau organisasi yang concern terhadap
hal tersebut.

Selain itu,saat ini baik media swasta maupun pemerintah bekerja sama
menyiarkan pendidikan politik kepada masyarakat. Bentuk penyampaiannya
sudah dapat terlihat melalui iklan layanan masyarakat,berbagai bentuk budaya
populer,serta program televisi dimana masyarakat dapat lebih mudah memahami
politik melalui berbagai tayangan.

c.Kolaborasi dan integrasi budaya dan sistem politik

Peluang berikutnya yakni mengenai integrasi antara sistem politik dan hukum
positif yang juga dibangun atas integrasi budaya,agama,dan situasi
kemasyarakatan. Potensi ini sebetulnya dapat menjadi ladang emas yang dapat
di manfaatkan bagi pemangku kebijakan untuk mengambil simpati rakyat dalam
rangka menciptakan kondusifitas sistem kemasyarakatan dan situasi sosial
masyarakat.

Sistem politik akan bertahan lama apabila didasarkan pada integrasi budaya.
Hal ini secara logis berpengaruh sebab sistem politik yang di bangun oleh
manusia juga merupakan suatu produk budaya yang tidak lepas dari buah
pemikiran dan karsa cipta manusia yang membuatnya.

Oleh karena itu,kolaborasi sangat diperlukan dalam rangka menciptakan suatu


budaya politik yang unik namun universal layaknya semboyan bangsa yakni
Bhinneka Tunggal Ika. Sistem politik yang muncul akan menjadi tunggal dengan
berdasar kepada pancasila dan UUD 45 namun bentuk implementasinya dapat
menjadi bermacam-macam yang disesuaikan dengan budaya dan adat istiadat
masyarakat setempat dimana mereka berada.

d.Perkembangan demokrasi

17
Kesempatan berikutnya yang muncul nya yakni dapat diamati pada perbaikan
sistem demokrasi di indonesia. Saat ini demokrasi di indonesia melakukan
pemilihan langsung oleh rakyat. Sejak dalam lingkup nasional hingga ke daerah
terkecil,pemilihan langsung oleh rakyat di anggap menjadi suatu perkembangan
bagi kemajuan demokrasi di indonesia.Baik pemilu presiden, maupun
pemilukada kini menjadi suatu pesta politik yang damai dan kondusif, Hal ini
menandakan bahwa demokrasi di indonesia telah dalam tahap membaik.

Demokrasi yang membaik tersebut akan berdampak pada peningkatan budaya


memilih yang dilakukan oleh masyarakat. Dengan kondusifitas yang muncul,
masyarakat akan berupaya untuk menyuarakan aspirasinya melalui dukungan
suara yang mereka berikan kepada salah satu pasangan calon yang berpartisipasi
dalam pilkada. Budaya memilih langsung ini jika ditambah dengan sosialisasi
dan pendidikan politik yang mumpuni akan mampu menekan tingkat golput yang
tinggi serta di sisi lain dapat meminimalisir terjadinya kecurungan dalam proses
pemilihan umum baik presiden maupun kepala daerah.

e.Kondusifitas situasi politik

Peluang yang dapat dimanfaatkan selanjutnya yakni berada dalam tataran


parpol dimana saat ini berbeda dengan beberapa dekade ke belakang dimana
konfrontasi antar kepentingan partai tidak ditunjukan secara kentara dan tidak
seramai pada zaman dahulu. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh
pecahnya berbagai partai besar dan tersebarnya jumlah anggota kader partai yang
mengakibatkan suara terpecah.Akibatnya kekuatan politik pun terpecah sehingga
friksi dan tekanan politik yang muncul tidak membesar seperti dahulu sebelum
masa reformasi.

Peluang selanjutnya yang menjadi bukti kondusifitas politik saat ini adalah
bahwa mahasiswa tidak lagi banyak turun ke jalan. Jumlah mahasiswa yang turun
ke jalan semakin hari semakin berkurang jumlahnya. Hal ini juga mungkin di
dukung oleh sistem pendidikan di perguruan tinggi yang mengarahkan para
mahasiswanya untuk lebih berfokus kepada kegiatan akademiknya ketimbang
kegiatan aktivisnya.

Kondusifitas yang muncul sebetulnya di dukung oleh kondisi perekonomian


bangsa yang telah mulai membaik. Pasalnya sat ini di Indonesia telah masuk ke

18
dalam negara G 20 dan menjadi salah satu negara dengan perekonomian yang
terbaik di Asia Tenggara. Perbaikan ekonomi dapat menjadi peluang yang dapat
di manfaatkan agar menghasilkan suatu lobi-lobi politik yang signifikan bagi
perpolitikan di tanah air. Dengan demikian dinamika politik yang terjadi adalah
dinamika politik yang muncul ke arah yang lebih baik dan tidak menjadi lebih
buruk dari sebelumnya.

F. Budaya Politik dan Budaya Komunikasi

Realitas politik memang diakui oleh Arifin ( 2011:286) lebih sering bisa dijelaskan
dari pendekatan kebudayaan. Hal tersebut bisa dicoba pahami dari pendekatan
budaya, pendekatan ini akan mengabaikan faktor kekuasaaan itu sendiri yang bersama-
sama dengan kondisi sosial ekonomi. Banyak kegiatan politik dan program
ekonomi yang secara struktural sudah terpenuhi, namun tidak dapat berjalan baik
akibat adanya kendala yang bersifat kultural.

Anwar Arifin (2011: 287) mengungkapkan bahwa aspek kebudayaan terhadap


komunikasi politik sangatlah berpengaruh pada substansi undang-undang dan
keputusan politik, namun juga terhadap media massa dan aplikasi di lapangan.
Perilaku poitik dan komunikasi politik, media massa dan masyarakat serta
hubungannya dalam kehidupan kenegaraan pada umumnya sangat mencerminkan
budaya indonesia.

Hubungan Budaya Komunikasi dan Ideologi, Perspektif ideologi yang berkaitan


dengan komunikasi politik bisa sesuai dengan salah satu perspektif yang
dikelompokkan oleh Thompson dalam Alfan (2009:254) mengelompokkan teori-
teori ideologi yaitu yang kelompok Kedua yaitu : ideologi sebagai proyeksi rasional
dan ideologi sebagai relasi sosial.

 Ideologi dari perspektif sebagai proyeksi sosial, ideologi


didefinisikan bahwa ada pemunculan wacana baru, wacana yang
menuntut tindakan tetapi tidak sekadar menuntut melalui penggunaan
otoritas atau tradisi, atau melalui retorika emotif. Ideologi juga
didefinisikan wacana yang berdasarkan pada ide yang mendasari
tindakan politik. Ideologi adalah sistem simbol, varian bahasa, dan kode
yang dielaborasi yang kesemuanya itu dapat melaksanakan tugasnya

19
memobilisasi proyek publik karena ketika diekspresikan melalui bahasa
tulis yang kritis, rasional dan dapat dimengerti secara empiris.
 Dari perspekstif relasi sosial, ideologi adalah sistem ide-ide politik yang dapat
diterapkan dengan kalkulasi politik.Lalu, ideologi terkait dengan
kompleksitas praktik sosial yang tidak menyatu dan sistem representasi
yang memiliki signifikansi dan konsekuensi politik.
 Ideologi politik menurut Alfan (2009:246) merupakan rumusan
mendasar tentang partai politik/politisi. Juga merupakan cirikhas suatu partai
politik/politisi dan visi dan garis yang hendak diwujudkan. Sedangkan
ideologi adalah basis sistem nilai dan paham yang menjelaskan mengapa
partai itu ada. Dari sisi masyarakat, kejelasan sistem nilai dan paham akan
memudahkan mereka dalam mengidentifikasikan sekaligus membedakan
suatu partai dengan partai lain.

G. Patrimonialisme Politik

Patrimonialisme sesungguhnya merupakan bentuk kepemimpinan authoritarian,


diktator, di mana negara dijalankan sesuai kehendak pribadi pemimpin negara (personal
rule). Pemimpin negara memposisikan diri diatas hukum dan hanya mendistribusikan
kekuasaan kepada kerabat dan kroni dekatnya.Seringkali menggunakan kekerasan guna
mempertahankan posisi kepemimpinannya. Pemerintahan patrimonial bersandarkan diri
pada tiga unsur yang membuatnya jadi pemerintahan tradisional dan belum mencapai
tahap birokratis dan modern. (Michels, 1984).

Unsur-unsur budaya Patrimonialisme:

1. Unsur klientisme,Istilah ini merujuk pada hubungan kekuasaan yang dibangun


oleh penguasa dan lingkungan sekitarnya. Dalam birokrasi modern, pusat loyalitas
ada pada impersonal order (hukum). Namun, dalam klientisme, loyalitas ada pada
pribadi penguasa.
2. Unsur kaburnya wilayah publik,Dalam birokrasi modern, wilayah publik dan
pribadi sangat terpisah. Segala urusan sang pemimpin, di luar urusan rumah
tangga pribadi, ada dalam wilayah publik. Karena berada di wilayah publik,
urusan itu harus melalui prosedur yang sudah ditetapkan, dan
pertanggungjawabannya mesti transparan. Sedangkan dalam pemerintah
patrimonial, batas wilayah publik dan pribadi dibuat kabur. Bantuan uang dari luar

20
negeri, misalnya, yang seharusnya berada dalam wilayah publik, dimasukkan ke
wilayah pribadi, tanpa keterbukaan dan tanpa pertanggungjawaban.
3. Unsur Kultural Nonrasional, modern berkembang dalam kultur yang rasional,
yang sumber informasi dan validitasnya dapat diverifikasi dalam dunia yang
nyata. Sedangkan corak pemerintahan patrimonial mengembangkan kultur
nonrasional, dalam segala bentuk mistisisme ataupun kultus individual. Dalam
birokrasi modern, sang penguasa ditampilkan sebagai politisi biasa yang menang
pemilu. Sedangkan dalam corak patrimonial, penguasa diberi bobot mistik yang
lebih kuat. Ia digambarkan memiliki kekuatan supernatural tertentu, atau
keturunan sebuah dinasti atau moyang yang mahasakti atau kaliber seorang wali.
Dengan mistisisme itu, loyalitas kepada pemimpin menjadi lebih dalam. Bahkan,
informasi yang menjadi landasan kebijakan publiknya sebagian dianggap turun
dari kahyangan, yang tak dapat diverifikasi di dunia nyata.

Patrimonialisme politik adalah istilah untuk menyebut rezim pemerintahan dimana


kekuasaan penguasa tergantung pada kecakapan untuk mempertahankan kesetiaan para
elit kelompok. (Philipus, 2009).2 Kekuasaan politik dalam pemerintahan patrimonial
dipertahankan melalui cara bagaimana seseorang mendapatkan atau mempertahankan
kekuasaaanya. Jika demokrasi selalu di asosiasikan sebagai bentuk pemerintahan dari
rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat sebagaimana di ungkap oleh Abraham Lincoln pada
abad XVIII ,

Maka rakyat dalam pemerintahan patrimonial tak ubahnya hanya menjadi sapi perah
(klien) untuk kepentingan elit politik tertentu dalam mencapai tujuannya. Demokratisasi
politik di atas hanya berlangsung secara prosedural dimana kekuasaan berlangsung dan
dipertahankan melalui cara dan pola tertentu hanya sebagai alat tujuan untuk
kepentingan kelompok atau individu. Fenomena tersebut jelas telah kehilangan
identitasnya makna yang sebenarnya, menguatnya fenomena politik transaksional tidak
saja telah meruntuhkan legitimasi demokrasi namun mengubah wajah demokrasi hanya
merupakan alat untuk kepentingan kelompok tertentu. Meski Robert Dahl, menyebut tiga
prinsip utama pelaksanaan demokrasi, yakni (1) kompetisi, (2) partisipasi, dan (3)
kebebasan politik dan sipil. Kompetisi harus dibingkai dalam proses yang sehat dan luas
di antara individu serta dalam kelompok-kelompok organisasi untuk mencapai
kekuasaan pemerintahan, secara periodik dan persuasif. (Keith R, 1983).

21
Dari sini dapat kita simpulkan bawasannya, Budaya Patrimonialisme adalah unsur
yang buruk terhadap perpolitikan di Indonesia, Pengamat politik Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro berpendapat, sekalipun pascareformasi, sistem
patrimonial yang rentan terhadap praktik nepotisme dan kolusi masih melekat dalam
budaya politik Indonesia. Hal ini terjadi baik di lingkungan partai maupun pemerintahan.

H. Rakyat dalam konteks Komunikasi Politik

Dalam konteks Indonesia , masih ada mitos kekuasaan bukan hal yang dicari
secara terang-terangan bahkan diperlombakan secara terbuka. Ada fase mitos
tersebut masih kental, lalu berproses dalam bentuk budaya baru dengan benang merah
yang sama, yaitu peletakan posisi rakyat. Hal ini dijelaskan oleh Arifin (2011: 287-
301) , Pertama, ada istilah “kekuasaanlah yang mencari orang”. Yaitu bukanlah calon
penguasa atau calon pemimpin yang harus aktif berkampanye untuk memperoleh
kekuasaan, namun sebaliknya calon penguasa itu harus dalam kondisi tenang saja, dan
rakyatlah yang digambarkan datang dan memintanya untuk menjadi
pempimpin/penguasa. Wujudnya adalah dukungan publik yang sudah terkumpul lalu
diajukan ke tokoh tertentu. Kedua,ada serasi, selaras, dan seimbang. Pola
komunikasi politik yang berkembang adalah komunikasi politik yang bertumpu
pada model interaktif dan dialogis dalam forum lobi dan musyawarah. Tekanan model
ini adalah menciptaan rasa kebersamaan yaitu kebersamaan tokoh dengan rakyat.

Ketiga, adanya perubahan budaya politik, dengan istilah “orang mencari


kekuasaan”. Hal ini didukung oleh liberalisasi, privatisasi, individualisasi,
kapitalisasi dan demokratisasi. Dorongan ini mengubah budaya dari „kekuasaan
mencari orang” ke arah budaya “ orang mencari kekuasaan”. Sehingga mendorong
lahirnya “budaya instan”. Rakyat digambarkan terjebak dalam money politic,
sehingga rusak mental politik rakyat.

22
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dari kajian di atas, maka Komunikasi politik adalah pembicaraan yang sudah mencapai
tahapan yang serius, fokus dan sungguh-sungguh karena berkaitan masalah makro kehidupan
bangsa dan negara yang tujuan dan dampaknya untuk mewujudkan masyarakat yang
berkeadilan, beradab (moral) dan sejahtera. Kembali kepada pemahaman piramida khalayak
komunikasi politik, semakin keatas semakin sedikit orang-orang yang berperan, berambisi,
dan yang terpanggil untuk masuk ke lingkaran kekuasaan. Semakin kebawahan khalayak
komunikasi politik semakin tidak terlalu perhatian dengan masalah politik. Seperti yang telah
digambarkan dalam piramida yang teratas adalah elit opinion lalu dipertengahan ada
attentive public dan yang paling terbesar adalah general public.

Komunikasi politik yang perlu dilakukan adalah melakukan komunikasi secara


spesifik/khusus dengan memilah isu-isu tertentu, karena dasar dari ber-kembangnya isu-
isu tersebut berbeda-beda. Karena dasar yang berbeda itulah, maka kerja komunikasi
politik relatif sulit, disamping kondisi politik yang berbeda antara satu wilayah dan
wilayah lain.

Untuk itulah maka berbagai rekomendasi pewacanaan komunikasi politik yang


perlu dilakukan. Pertama, dalam hal isu agama, maka komunikasi politik yang perlu
dilakukan adalah tindakan-tindakan yang menunjukkan adanya keadilan hukum dan
keadilan atas nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Untuk kasus seperti
Situbondo, Ambon, Mataram, dan Ternate maka tidak selayaknya apabila pemerintah
menyerahkan kepada masyarakat untuk menyelesaikan masalahnya sendiri,
karena justru fungsi Pemerintah adalah memoderatori konflik-konflik masyarakat.
Semakin cepat Pemerintah menyelesaikan persoalan tersebut, maka semakin
tertutup peluang elit politik yang bermain dengan mengatas-namakan kekuatan-
kekuatan politik tertentu menjual agama untuk kepentingan sendiri. Kearifan

23
dan keadilan serta pengayoman merupakan modal bagi Pemerintah untuk menyelesaikan
masalah-masalah tersebut.

Kedua, dalam hal arogansi pemerintah, maka selayaknya pemerintah lebih menekankan
pada pejabat yang bersangkutan untuk mencoba lebih bertindak sebagai pamong
yang arif dan bijaksana, artinya bahwa kepamongan pejabat-pejabat tersebut harus
didukung oleh tokoh-tokoh kharis-matik di daerah tersebut serta oleh tokoh-tokoh
agama yang men dukung. Kerja komunikasi politik pada isu ini adalah pada konteks inter
nal pemerintahan, sehingga bukan lagi komunikasi persuasif ataupun diplo masi yang
perlu dilakukan melainkan mela-kukan melalui koreksi internal.

Ketiga, isu keadilan, maka yang selayaknya dilakukan adalah membatasi sikap-sikap
yang cenderung lebih menekankan pada pencapaian target dan bukan pada cara.
Untuk itu selayaknya model tersebut diubah menjadi lebih mendahulukan cara
untuk mencapai target yang telah ditentukan.

DAFTAR PUSTAKA

Almond, Gabriel and James S. Colemann, 1960. The Politics of the Developing Areas.
New York: The Princenton University Press.

Almond, Gabriel and Sidney Verba, 1965. The Civic Culture. Boston: Litle Brown.

Dahl, Robert A., 1982. Analisa Politik Modern. Jakarta: PT Gramedia.

Huntington, Samuel P., 1984. No Easy Choice: Political Participation in Developing Countries.
Cambridge Mass: Harvard University Press.

Kor Lipset, Seymour M., 1959. Political Man: The Social Bases of Politics. New York: Dobleday.

Nimmo, Dann, 1993. Komunikasi Politik: Komunikator, Pesan, dan Media, Bandung: Remaja
Karya.

Raboy, Marc dan Peter A Bruck (ed)., 1989. Communication for and against Democracy. New
York: Black Rose Book.

24
Rauf, Maswadi, 1993. Komunikasi Politik: Masalah Sebuah Bidang Kajian dalam Ilmu Politik
dalam Indonesia dan Komunikasi Politik., Maswadi Rauf dan Mappa Nasrun (ed),
Jakarta: Gramedia.nhauser, William, 1973. The Politics of Mass Society. Glencoe III: The
Free Press

Badan pusat statistik.BPS.2016 Potret pendidikan indonesia statistik pendidikan 2016. [PDF].
jakarta :BPS

Budiarjo Miriam (1988) Dasar-dasar ilmu politik,Jakarta : Gramedia

Burke .Robert E (2008) Government [DVD]. Redmond , WA : Microsoft corporation ,2008

Dahl, Robert A. (1994) Analisa Politik Modern, Jakarta: Bumi Aksara

Alfan, M. Alfian (2009) Menjadi Pemimpin Politik. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Arifin, Anwar. 2011. Komunikasi Politik. Filsafat, Paradigma, Teori, Tujuan, Strategi dan
Komunikasi Politik Indonesia.Jakarta: Graha Ilmu.

Carsey, Thomas M., Robert A. Jackson Melissa Stewart and James P. Nelson (2011) Strategic
Candidates, Campaign Dynamics, and Campaign Advertising in Gubernatorial Races. State
Politics & Policy Quarterly (15 (I) , 18-30).from http://spa.sagepub.com/content/11/3/269

Delli, Michael X . (2013) An Engagement with Jeffrey Jones: Toward a New Vocabulary for
Political Communications. International Journal of Communications (7, 507-509),

Elmer, Greg. (2012) Live research : Twittering an election debate. New Media & Society
Journal (15 (I) , 18-30).From http://nms.sagepub.com/content/15/1/18

Feith, Herbert (1970)"Introduction". In Feithand Castle, Lance(ed). Indonesian Political


Thinking, 1945–1965. Ithaca: Cornell University Press.

Firmansyah (2008)Mengelola Partai Politik: Komunikasi dan Positioning Ideologi Politik di Era
Demokrasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

25

Anda mungkin juga menyukai