Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH BUDAYA POLITIK INDONESIA

GURU PEMBIMBING : SITI NURHAYATI, S.Pd


PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN

Oleh :

Serli Indayani

Meilina Ilmi Nur Azizah

SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN MULTIMEDIA


TUMPANG
2021

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur yang setinggi-tingginya penyusun sampaikan kehadirat Tuhan yang maha Esa,
karena atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaiakan
makalah ini sesuai yang diharapkan.

Makalah ini kami susun untuk memenuhi tugas mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan
kewarganegaraan. Pembuatan makalah ini diperlukan supaya penulis dan pembaca dapat
memahami dan mengkaji tentang Manajemen Penjas.

Dalam proses pendalaman materi ini, tentunya kami mendapatkan bimbingan, arahan,
koreksi, dan saran. Untuk itu rasa terima kasih yang dalam kami sampaikan kepada:

 Pendidik Mata Pelajaran Pkn Ibu Siti Nurhayati, S.Pd yang telah membimbing kami.
 Rekan-Rekan Siswa yang telah memberikan masukan untuk makalah ini.

Penyusun sadar bahwa dirinya hanya manusia biasa yang pasti mempunyai kesalahan dan
kekurangan. Untuk itu penyusun mengharap kritik dan saran yang bersifat membangun demi
pengembangn makalah ini selanjutnya.

Demikian makalah ini kami buat semoga bermanfaat.

Malang, 21 November 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar i
Daftar Isi ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Pendahuluan 1
1.2 Rumusan Masalah 2
1.3 Tujuan 2

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pentingnya Sosialisasi Pengembangan Budaya Politik 3
2.2 Pengertian Sosialisasi dan Pengembangan Budaya Politik 3
2.3 Pentingnya sosialisasi dan Pengembangan Politik 5
2.4 Peran Serta Budaya Politik Partisipan 6
2.5 Budaya Kewarganegaraan sebagai perwujudan budaya politik partisipan 8
2.6 2. Peran budaya politik partisipan di Indonesia 9
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan 22
3.2 Saran 22
DAFTAR PUSTAKA 23

ii
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kehidupan manusia di dalam masyarakat, memiliki peranan penting dalam
sistem politik suatu negara. Manusia dalam kedudukannya sebagai makhluk sosial,
senantiasa akan berinteraksi dengan manusia lain dalam upaya mewujudkan
kebutuhan hidupnya.
Setiap warga negara, dalam kesehariannya hampir selalu bersentuhan dengan
aspek-aspek politik praktis baik yang bersimbol maupun tidak. Dalam proses
pelaksanaannya dapat terjadi secara langsung atau tidak langsung dengan praktik-
praktik politik..
Kehidupan politik yang merupakan bagian dari keseharian dalam interaksi
antar warga negara dengan pemerintah, dan institusi-institusi di luar pemerintah
(non-formal), telah menghasilkan dan membentuk variasi pendapat, pandangan dan
pengetahuan tentang praktik-praktik perilaku politik dalam semua sistem politik.
Oleh karena itu, seringkali kita bisa melihat dan mengukur pengetahuan-
pengetahuan, perasaan dan sikap warga negara terhadap negaranya, pemerintahnya,
pemimpim politik dan lain-lain.
Budaya politik, merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat dengan ciri-
ciri yang lebih khas. Istilah budaya politik meliputi masalah legitimasi, pengaturan
kekuasaan, proses pembuatan kebijakan pemerintah, kegiatan partai-partai politik,
perilaku aparat negara, serta gejolak masyarakat terhadap kekuasaan yang me-
merintah.

1
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dapat dirumuskan rumusan masalah sebagai
berikut :
1. Apa pentingnya sosialisasi pengembangan budaya politik ?
2. Apa pengertian sosialisasi dan pengembangan budaya politik
3. Bagaimana peran serta budaya politik partisipan ?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah :
1. Sebagai pemenuhan tugas mata pelajaran PKn di SMK multimedia
2. Sebagai bentuk kepedulian terhadap budaya politik di Indonesia
3. Sebagai bahan kajian pemahaman selanjutnya.

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pentingnya Sosialisasi Pengembangan Budaya Politik
1. Pengertian Sosialisasi dan Pengembangan Budaya Politik
Sosialisasi politik adalah cara-cara belajar seseorang terhadap pola-pola
sosial yang berkaitan dengan posisi-posisi kemasyarakatan seperti yang
diketengahkan melalui bermacam-macam badan masyarakat.
Almond dan Powell, sosialisasi politik sebagai proses dengan mana sikap-
sikap dan nilai-nilai politik ditanamkan kepada anak-anak sampai metreka
dewasa dan orang-orang dewasa direkrut ke dalam peranan-peranan
tertentu. Greenstein dalam karyanya “International Encyolopedia of The
Social Sciences” 2 definisi sosialisasi politik:
a. Definisi sempit, sosialisasi politik adalah penanaman informasi politik
yang disengaja, nilai-nilai dan praktek-praktek yang oleh badan-badan
instruksional secara formal ditugaskan untuk tanggung jawab ini.
b. Definisi luas, sosialisasi politik merupakan semua usaha mempelajari
politik baik formal maupun informal, disengaja ataupun terencana pada
setiap tahap siklus kehidupan dan termasuk didalamnya tidak hanya
secara eksplisit masalah belajar politik tetapi juga secara nominal
belajat bersikap non politik mengenai karakteristik-karakteristik
kepribadian yang bersangkutan.
Easton dan Denuis, sosialisasi politik yaitu suatu proses perkembangan
seseorang untuk mendapatkan orientasi-orientasi politik dan pola-pola
tingkah lakunya.
Almond, sosialisasi politik adalah proses-proses pembentukan sikap-
sikap politik dan pola-pola tingkah laku. Proses sosialisasi dilakukan
melalui berbagai tahap sejak dari awal masa kanak-kanak sampai pada
tingkat yang paling tinggi dalam usia dewasa.

Sosialisasi beroperasi pada 2 tingkat:


a. Tingkat Komunitas

3
Sosialisasi dipahami sebagai proses pewarisan kebudayaan, yaitu suatu
sarana bagi suatu generasi untuk mewariskan nilai-nilai, sikap-sikap
dan keyakinan-keyakinan politik kepada generasi berikutnya.
b. Tingkat Individual
Proses sosialisasi politik dapat dipahami sebagai proses warga suatu
Negara membentuk pandangan-pandangan politik mereka.
Dalam konsep Freud, individu dilihat sebagai objek sosilaisasi yang
pasif sedangkan Mead memandang individu sebagai aktor yang aktif,
sehingga proses sosialisasi politik merupakan proses yang beraspek
ganda. Di satu pihak, ia merupakan suatu proses tertutupnya pilihan-
pilihan perilaku, artinya sejumlah kemungkinan terbuka yang sangat
luas ketika seorang anak lahir menjadi semakin sempit sepanjang proses
sosialisasi. Di lain pihak, proses sosialisasi bukan hanya merupakan
proses penekanan
2. Pentingnya sosialisasi dan Pengembangan Politik
a. Perubahan Sosial budaya
 Faktor pendorong terjadinya perubahan sosial di bidang politik
Berkembangnya zaman Bergantinya perundang-undangan yang
berlaku Masyarakat lebih demokratis UUDS tidak sesuai dengan
jiwa proklamasi Tunbuhnya kebudayaan dan penemuan baru
Pertentangan atau konflik Pemberontakan dan revolusi Orientasi ke
masa depan Asimilasi Sistem pendidikan formal yang lebih maju
sehingga menimbulkan SDM yang lebih inovatif

 Dampak yang di timbulkan dari perubahan sosial di bidang politik

Dampak positif Lebih menghemat waktu, tenaga, biaya dan fikiran.


Hasil perhitungan suara yang akurat dan cepat . Rakyat merasa lebih
dihargai . Terjadi perubahan sistem ketatanegaraan menjadi lebih
baik. Dampak negatif Meningkatnya golput (golongan putih).
Mementingkan diri sendiri dibanding kepentingan bersama.
Kampanye yang anarkis menimbulkan kerusuhan dan kemacetan lalu
lintas. Banyak menimbulkan kerusuhan kerusuhan di kubu
pemerintahan, karena partai yang terpilih masih mementingan

4
golongan partainya. Kepentingan kelompok lebih menonjol di
banding kepentingan masyarakat, sehingga masyarakat lebih hidup
individualis atau kurang peduli dengan pemerintah.

 Upaya pengendalian untuk mengurangi dampak yang di timbulkan


perubahan sosial di bidang politik
Pemerintah atau partai-partai politik mesti meningkatkan kinerja,
khususnya mensejahterakan rakyat. Harus diadakan pengamanan
yang ketat, juga kondisi sesuai suasana. Para politisi harus lebih
professional, dengan mengedepankan urusan rakyat dibanding
urusan partai. Harus ada rasa tanggung jawab dari masing – masing
individu. Pembentukan segala bentuk aturan atau UU yang didukung
oleh tata kelola pemerintah yang bersih, berwibawa dan
mengedepankan kepentingan masyarakat. Memberikan penerangan
atau penjelasn tentang pentingnya memberikan hak suara.
Membangun kominikasi dengan publik dimana public bisa
dirangsang untuk berpartisipasi dalam pemilu. Menampilkan citra
positif dan kampanye yang kreatif.
b. Kematangan Budaya Politik
1. Budaya Politik Indonesia
Masalah budaya politik Indonesia masih tetap merupakan topik
kajian yang sangat menarik, sekalipun kajian tersebut akhir-akhir ini
kurang lagi mendapatkan minat kalangan imuan politik Indonesia.
Hal tersebut terjadi karena beberapa hal.
Pertama, penjelasan yang bersifat kultural dalam memahami politik
Indonesia kurang representatif bila dibandingkan penjelasan yang
bersifat lain. Penjelasan yang bersifat cultural dipresepsikan
terlampau berorientasi kepada perilku kelompok politik sebuah etnik
yang dominan di Indonesia, terutama etnik jawa,sehingga tidak dapat
dijadikan parameter dalam memahami politik Indonesia kontemporer
yang sudah semakin kompleks.
Kedua, ketika memasuki dekade 80-an, kalangan ilmuan politik
sudah

5
mulai dihadapkan pada penjelasan yang bersifat cultural
memperlihatkan wajah yang etnosentris dan patrokial. Penjelasan
alternatif yang muncul dikenal denan pendekatan ekonomi politik,
yang juga bersifat strukturlis, yang mencoba mengaitkan antara
persoalan politik dengan masalah ekonomi.
Ketiga, belum lagi terselesaikan perdebatan tentang model
penjelasan mana yang lebih baik untuk menjelaskan politik
Indonesia, apakah model penjelasan yang bersifat kultural atau
structural, sekarang kita dihadapkan kepada kenyataan munculnya
sebuah model analisis yang dapat dikatakan juga sebagai alternatif,
yaitu alternatif yang lebih memperhatikan peranan state, yang
kemudian dihadapkan dengan masyarakat atau civil society. Proses
pembentukan budaya politik di Indonsia dilakukan melalui apa yang
disebut sosialisasi politik. Yaitu proses penerusan atau pewarisan
nilai dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui berbagi
media, seperti: keluarga, sanak saudara, kelompok bermain sekolah.
Sejak kecil seorang individu sudah ditanami nilai-nilai atau
keyakinan politik orang tuanya. Anak juga mendengarkan
pembicaraan orang tua mengenai figure politik yang di usung,
apalagi anak juga dapat langsung atribut-atribut partai politik yang
diminati orangtuanya yang tentunya akan mempengaruhi pandangan
seorang individu kelak. Di sekolahpun mulai taman kanak-kanak
sampai tingkat lanjutan individu disuguhi pemahaman dan
pencitraan terhadap tokoh atau organisasi politik, yang terdapat
dalam pelajaran sejarah, ideologi, ilmu sosial sampai pajangan
gambar Presiden dan Wakil Presiden, lambang Negara.
Adapun budaya politik Indonesia dapat dikelompokan sebgai
berikut:
a) Hierarki yang tegar
Sangat dipengaruhi oleh kultur etnis jawa, sistem hierarkis
merupakan dasar dalam kehidupan masyarakat. Sehingga
stratifikasi sosial bukan didasarkan pada atribut sosial yang

6
bersifat materialistik namun lebih pada akses kekuasaan. Seluruh
tatanan kehidupan dipenuhi dengan hierarkhis mulai dari bahasa
sampai status sosial seseorang terpilah secara tegas sehingga ada
ungkapan wong gedhe dan wong cilik. Implikasinya para
penguasa diposisikan sebagai seorang yang mengayomi, bersikap
baik, pemurah dan melindungi rakyatnya yang sering disebut
dengan istilah pamong praja, akan tetapi, sebaliknya, kalangan
penguasa menganggap rendah rakyat karena telah diberikan
kebaikan, kemurahan dan perlindungan, sehingga rakyat harus
patuh dan taat kepada penguasa. Dalam pembangunanpun selama
ini tidak dilakukan oleh masyarakat, namun dilakukan oleh para
penguasa/pemerintah sebagai bentuk perhatiannya terhadap
rakyat. Rakyat seakan disisihkan dari proses politik dan hanya
boleh menerima keputusan pemerintah. Dalam hal birokrasi juga
sangat berbelit-belit dan tidak efektif.
b) Kecendrungan patronage
Hubungan antara penguasa maupun masyarakat cenrung
patronage, yaitu pola hubungan dalam konteks individual, antar
dua individu, yaitu si Patron dan si Client, terjadi interaksi yang
bersifat resiprokal atau timbale balik dengan mempertukarkan
sumberdaya (exchange of resources) yang dimiliki masing-
masing pihak misalnya kekuasaan, kedudukan, perlindungan,
perhatian dan tidak jarang sumberdaya yang bersifat materi pada
si Patron, sementara Client memiliki sumberdaya berupa tenaga,
dukungan dan loyalitas). Bisanya patron yang paling banyak
menikmati hasil karena memiliki sumberdaya yang lebih banyak.
Tidak jarang juga ada pihak ketiga yang disebut brooker yang
menyebabkan hubungan ini berkembang. Pola hubungan seperti
ini di Indonesia cendrung mengarah ke pola hubungan yang
negatif yang tenar dengan istilah kolusi. Dari gambaran itu dapat
diamati bahwa perilaku para birokrat sekarang merupan
kelanjutan dari apa yang dilakukan oleh pendahulu mereka.

7
c) Kecendrungan Neo-Patrimonialistik
Dikatakan sebagai neo-patrimonialistik, karena Negara memiliki
atribut yang bersifat modern dan rasionalistik tetapi tetap juga
tetap juga memperhatikan atribut yang bersifat patrimonilistik.
Dalam kehidupan bernegara selain dalam lingkaran birokrasi dan
hierarkhi, terdapat kebijaksanaan yang bersifat patrikularistik
daripada bersifat universalistic, kalangan penguasa politik
cendrung mengaburkan apa yang menjadi kepentingan publik dan
sangat sulit menentukan kepastian rencana dan kebijakan yang
akan dipilih, sehingga sangat bertentangan dengan konsep Negara
modern yang bersifat rasionalistik, sehingga segala sesuatunya
dapat diprediksi.
2. Civil Society
Civil society merupakan kondisi dimana individu, kelompok dan
masyarakat dapat saling berinteraksi dengan semangat toleransi, di
dalam ruang tersebut masyarakat dapat melakukan partisipasi dalam
pembentukan kebijaksanaan public dalam suatu Negara. Sementara
Victor Perez-Diaz lebih menekankan pada suatu proses sejarah yang
tidak terputuskan serta keadaan masyarakat yang telah mengalami
pemerintahan terbatas, kebebasan, ekonomi pasar dan timbulnya
asosiasi-asosiasi masyarakat yang mandiri, dimana satu sama lainnya
saling menopang, dengan kata lain civil society adalah sebuah
masyarakat baik secara individual maupun secara kelompok dalam
Negara yang mampu berinteraksi dengan Negara secara independen.
Dalam masyarakat Indonesia, dapat dikatakan bahwa civil society
belum dapat ditemukan. Karena, masyarakat Indonesia masih berada
dalam proses transpormasi di satu pihak, di pihak lain kekuasaan
Negara masih sangat besar. Selain itu masyarakat Indonesia
merupakan masyarakat yang pluralistik baik dalam bidang ekonomi,
sosial-budaya, etnisitas, juga termasuk bidang politik, yang
kesemuanya merupaka faktor penghambat tumbuh dan
berkembangnya civil society.

8
B. Peran Serta Budaya Politik Partisipan
Partisipasi secara harafiah berarti keikutsertaan, dalam konteks politik hal
ini mengacu pada pada keikutsertaan warga dalam berbagai proses politik.
Keikutsertaan warga dalam proses politik tidaklah hanya berarti warga mendukung
keputusan atau kebijakan yang telah digariskan oleh para pemimpinnya, karena kalau
ini yang terjadi maka istilah yang tepat adalahmobilisasi politik. Partisipasi politik
adalah keterlibatan warga dalam segala tahapan kebijakan, mulai dari sejak
pembuatan keputusan sampai dengan penilaian keputusan, termasuk juga peluang
untuk ikut serta dalam pelaksanaan keputusan.
Konsep partisipasi politik ini menjadi sangat penting dalam arus pemikiran
deliberative democracy atau demokrasi musawarah. Pemikiran demokrasi
musyawarah muncul antara lain terdorong oleh tingginya tingkat apatisme politik di
Barat yang terlihat dengan rendahnya tingkat pemilih (hanya berkisar 50 – 60 %).
Besarnya kelompok yang tidak puas atau tidak merasa perlu terlibat dalam proses
politik perwakilan menghawatirkan banyak pemikir Barat yang lalu datang dengan
konsep deliberative democracy.
1. Budaya Kewarganegaraan sebagai perwujudan budaya politik partisipan
Sebagai komunitas warga negara yang terdidik dan terpelajar,hendaknya
kita memiliki peran besar (partisipasi aktif)untuk melakukan perubahan politik
yang lebih baik dan berbudaya. Melalui sarana pemilihan umum, kita dapat
menjadikannya sebagai momentum untuk mendorong perubahan sosial politik,
politik ekonomi, budaya, dan lain-lain ke arah yang lebih baik dan demokratif
melalui pemerintahanyang dipilah melalui pemilu, secara damai dan beradab
(berbudaya). Semua itu dimaksudkan sebagai upaya melakukan pendidikan
budaya politik partisipan (rakyat) yang lebih luas karena dengan demikian akan
dapat digunakan sebagai salah satu rujukan untuk menentukan pilihan dalam
pemilu secara arif, bijaksana, kritis, dan rasional.

9
Dalam setiap tahapan pemilu, kita sebagai simpatisan (kader) partai
politik, ataupu kaum terpelajar tidak ada larangan untuk mengikutinya. Namun
demikian, hal yang perlu dikedepankan dalam kampanye adalah situasi damai
karena dalam kampanyenya sering kali terjadi persinggungan antar massa
pendukung dari partai politik (simpatisan dan kader) partai politik. Bermula dari
saling mengejek dan saling hina di antara mereka ketika berpapasan di jalan raya
dalam situasi kampanye, perkelahian antar massa pendukung partai politik
seringkali terjadi.
Untuk mewujudkan situasi seperti itu dibutuhhkan toleransi yang besar
terhadap kelompok yang berbeda pandangan politik dan juga sikap anti
kekerasan. Pelajar yang ingin aktif dalam kampanye harus sadar bahwa tindakan
brutal, kekerasan, dan keseluruhan hanya akan merusak situasi pemilu yang
demokratis dan beradab. Untuk itu, kita harus sadar bahwa brutalisme,
kekerasan, dan kerusuhan yang mengiringi proses pemilu sebenarnya adalah
tindakan yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai demokratis dan budaya
politik bangsa Indonesia. Albert Camuspernah mengatakan bahwa I’ anarchie est
I’abus de la democratie, anarkisme adalah penyelewengan dari demokrasi.
2. Peran budaya politik partisipan di Indonesia
Di Indonesia saat ini penggunaan kata partisipasi (politik) lebih sering
mengacu pada dukungan yang diberikan warga untuk pelaksanaan keputusan
yang sudah dibuat oleh para pemimpin politik dan pemerintahan. Misalnya
ungkapan pemimpin “Saya mengharapkan partispasi masyarakat untuk
menghemat BBM dengan membatasi penggunaan listrik di rumah masihng-
masing”. Sebaliknya jarang kita mendengar ungkapan yang menempatkan warga
sebagai aktor utama pembuatan keputusan.
Dengan meilhat derajat partisipasi politik warga dalam proses politik
rezim atau pemerintahan bisa dilihat dalam spektrum:
 Rezim otoriter – warga tidak tahu-menahu tentang segala kebijakan dan
keputusan politik
 Rezim patrimonial – warga diberitahu tentang keputusan politik yang
telah dibuat oleh para pemimpin, tanpa bisa mempengaruhinya.

10
 Rezim partisipatif – warga bisa mempengaruhi keputusan yang dibuat
oleh para pemimpinnya.
 Rezim demokratis – warga merupakan aktor utama pembuatan keputusan
politik.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian dari bab-bab sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut :

1. Sebagai bangsa yang berdaulat, kemampuan menjaga dan melindungi seluruh


wilayah Negara dari berbagai ancaman dan gangguan baik berasal dari dalam
negeri maupun dari luar negeri, tidak dapat dihindari lagi. Pertahanan dan
keamanan Negara republik Indonesia dilaksanakan dengan menyusun,
mengerahkan, menggerakkan serta seluruh potensi nasional, termasuk
kekuatan masyarakat diseluruh bidang kehidupan nasional termasuk
pentingnya sosialisasi budaya politik yang baik dan sehat yang bisa
menyatukan semua komponen bangsa. Maka dapat disimpulkan bahwa
Budaya politik merupakan perilaku suatu masyarakat dalam kehidupan
bernegara, peneyelenggaraan administrasi negara.

2. Budaya politik partisipan perlu di sosialisasikan kepada segenap rakyat agar


dapat berperan serta secara aktif.

B. Saran
Dalam berpolitik sebaikya dilakukan menurut kaidah-kaidah dan aturan-
aturan yang sesuai agar tercipta integrasi nasional. Karena bangsa Indonesia terrdiri
dari berbagai macam suku, ras, agama, dan budaya.

11
DAFTAR PUSTAKA

https://zanas.wordpress.com/pentingnya-sosialisasi-politik-dalam-pengembangan-
budaya-politik/
http://www.geschool.net/nuurynurmelia/blog/perubahan-sosial-budaya-di-bidang-
politik
http://govmedikz-medikz.blogspot.com/2011/01/kematangan-budaya-politik.html
http://jeffryarcher.blogspot.com/2012/12/makalah-budaya-politik-partisipan.html

12

Anda mungkin juga menyukai