Anda di halaman 1dari 3

PROLOG

"Kita putus." Kata Angga.

Demi gunung laut dan seisinya ini adalah situasi paling mengenaskan yang baru saja terjadi.

"Maksud kamu?." Tanya Akila, terlihat bodoh memang tapi demi apapun ia ingin terlihat bodoh saat ini.

"Aku mau kita putus. Kamu sendirikan yang bilang kalau aku bosan maka hubungan ini bisa berakhir."

Jelaslah Akila bakalan bilang begitu karena saat itu mereka masih bucin. Masa kata itu yang balik
meyerang ia kembali.

"Alasannya?."

Akila pikir ia sendiri yang gila sekarang dengan menanyakan alasannya.

"Kamu terlalu sibuk dan aku bosan."

"Oke. Kalo itu mau kamu."

Bab 1
"Buruan ke Rumah sakit sekarang." Ucap Arka saat ponsel Akila menyentuh kupingnya.

Berlari adalah pilihan terbaik saat ini. Karena dengan bodohnya Akila meninggalkan rumah sakit tanpa
membawa sepeserpun hanya karena sebuah pesan singkat yang ia terima dari sang kekasih.

Merelakan jam istirahatnya dan jatah makan demi sebuah pertemuan. Tanpa melepaskan jas putih
penuh darah, Akila berlari menuju Cafe Euporia sesaat setelah pesan diterima.

Bucin memang.

Kabar buruk menampar Akila kembali ke dunia nyata.

Akibat dari tindakan bucin Akila berakhir dengan harus ngos-ngosan menuju rumah sakit karena
panggilan darurat. Kalo soal bucin emang nggak akan pernah terkalahkan.

Tak terhitung berapa kali Akila harus menghindari orang-orang di depannya agar tabrakan tak terjadi
karena kecepatan larinya saat ini perlu diacungi jempol. Demi apapun Akila tak ingin mendengar ocehan
dari dokter residen. Saat pagi hari ia sudah kenyang dengan makian dan ceramah berkepanjangan milik
Dosen residen. Masa diulang lagi. Kan hasilnya tetap sama. Sama sama bikin sakit kepala. Beban di
pundak makin bertambah dengan sendirinya. Perut yang tak bisa diajak kompromi akibat tak menerima
asupan siang tadi.

"Berapa kali saya harus bilang pada kalian kalau kalian belum menjadi dokter hanya karena kalian
menggunakan jas putih ini dan di panggil dokter." Ceramahan siang di mulai.

Setiap ucapan yang dilontarkan oleh dokter residen tak pernah sedap di dengar. Bukan sekali bahkan
sudah tak terhitung berapa banyak waktu yg dihabiskan para koas hanya untuk mendengarnya ceramah.

"Demi Tuhan, Nyet telinga gue kayaknya nggak bisa berfungsi lagi deh."

"Apalagi gue yg posisinya strategis banget Nyet."

"Ganteng ganteng mulut kayak gentong."

Beginilah akhir dari sesi ceramah. Bukan hal baru lagi.

"Lo semua ngomong Nyet dari tadi sambil ngahadap gue maksudnya apa?."

Nyebelin banget sih anying berasa kayak monyet aja.

"Lah emangnya elo monyet?." Tanya Lay sambil memasang wajah polos tak berdosa kayak pantat bayi.

"Nahh betul tuhh,, gue sama Lay kan cuman bilang Nyet bukan Monyet." Balas Angga membela diri.

"Nggak perlu

Anda mungkin juga menyukai