Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN

PENEUMONIA

Disusun oleh :
PIPIT FITRIAH OKTAVIANI

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN YPIB
MAJALENGKA 2020-2021
A. Konsep Dasar Pneumonia

1. Definisi

Secara klinis pneumonia dapat menjadi penyakit primer atau

menjadi komplikasi dari penyakit lain. Terjadinya inflamasi parenkim paru

merupakan penyakit yang sering terjadi pada anak namun lebih sering

terjadi pada bayi dikarenakan sistem imun bayi masih rendah. (Wong et al,

2008)

Pneumonia adalah salah satu infeksi saluran napas bawah akut

(ISNBA) yang mengenai parenkim paru, distal dari bronkiolus terminalis

yang mencakup bronkiolus respiratorius, dan alveoli, serta menimbulkan

konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat. (Setiati,

et al, 2014)

Pneumonia merupakan suatu proses peradangan parenkim paru

yang terjadi pada pengisian rongga alveoli oleh eksudat dan terdapat

konsolidasi. Umumnya disebabkan oleh bakteri, virus, jamur, dan benda-

benda asing pada saluran pernapasan (Ardiansyah, 2012). Sedangkan

menurut Suriadi & Yuliani (2010 : 226) pneumonia adalah peradangan

alveoli atau parenchyma paru yang terjadi pada anak

Dari beberapa definisi diatas, maka dapat kita simpulkan bahwa

pneumonia adalah penyakit infeksi saluran napas bawah akut yang

mengalami peradangan alveoli atau pada parenchyma paru yang sering

terjadi pada bayi dan anak yang disebabkan istem imun masih rendah.
2. Etiologi

Pneumonia disebabkan oleh infeksi bakteri, virus, dan jamur.

Menurut hasil penelitian penyebab pneumonia adalah bakteri (70%),

kemudian virus dan jamur yang sangat jarang ditemukan sebagai penyebab

pneumonia. (Kemenkes RI, 2010)

Menurut Nurarif & Kusuma (2016), penyebab pneumonia pada

anak dapat digolongkan menjadi:

a. Bacteria: Staphylococcus aureus, Hemophilus influinzae,

Streptococcus Pneumoniae, dan Klebsiella Pneumoniae.

b. Virus: Respiratory syncytial virus, dan Virus influenza.

c. Mycoplasma pneumonia.

d. Jamur: Pneumocystis jiroveci (PCP)

e. Aspirasi: makanan, kerosene (bensin, minyak tanah), cairan amnion,

dan benda asing.

f. Pneumonia hipostatik.

g. Sindrom loeffler.

Ada beberapa faktor penyebab yang dapat meningkatkan terjadinya kasus

penumonia pada balita ialah:

a. Umur balita: pada kelompok umur bayi sampai anak balita yang

menderita pneumonia yang tertinggi terdapat pada kelompok umur

bayi (<12 bulan) dibandingkan umur anak balita (12-59 bln).

(Adawiyah & Duarsa, 2012)

b. Faktor nutrisi: status gizi yang kurang dengan keadaan imunitas rendah

akan mudah terserang penyakit infeksi terutama pneumonia


(Sediaoetama, 2008). Balita yang tidak mengkonsumsi ASI eksklusif

sampai usia 6 bulan dan pemberian ASI kurang dari 24 bulan lebih

beresiko terkena pneumonia, dibandingkan Pemberian ASI selama 6

bulan pertama. Pemberian ASI selama 2 tahun juga akan menambah

ketahanan anak dalam melawan gangguan penyakit infeksi salah

satunya adalah Pneumonia. (Choyron, 2015)

c. Faktor lingkungan: anak balita yang tinggal di rumah dengan

menggunakan jenis bahan bakar yang memiliki banyak asap lebih

beresiko terkena pneumonia. (Khasanah, Suhartono, & Dharminto,

2016)

3. Klasifikasi Pneumonia

a. Berdasarkan anatomi, pneumonia terbagi mejadi 3:

1) Pneumonia lobaris, terjadi pada bagian ujung bronkiolus, yang

tersumbat karena adanya eksudat mukopurulen yang membentuk

bidang yang terkonsolidasi pada lobus terdekat. (Wong et al, 2008)

2) Pneumonia interstitial, terjadi proses inflamasi didalam dinding

alveolar (interstisium) dan jaringan peribronkial serta interlobaris.

Pneumonia interstitial disebut juga dengan bronkiolitis. (Nurarif &

Kusuma, 2016)

3) Bronkopneumonia ditandai dengan bercak-bercak infiltrate pada

lapangan paru. Dapat disebabkan oleh bakteri maupun virus.

b. Bedasarkan berat tidaknya penyakit pneumonia terbagi menjadi

pneumonia berat, pneumonia tidak berat dan bukan pneumonia.


Kelompok Umur Klasifikasi Gejala
2 bulan - <5 tahun Pneumonia berat Tarikan dinding dada bagian bawah
ke dalam (Chest in drawing)

Pneumonia Napas cepat sesuai dengan golongan


umur 2 bulan sampai 11 bulan
bernapas 50 kali atau lebih per
menit, 12 bulan sampai 5 tahun
bernapas 40 kali atau lebih per
menit.

Bukan pneumonia Tidak ada napas cepat dan tidak ada


tarikan dinding dada bagian bawah
ke dalam.
<2 bulan Pneumonia berat Napas cepat >60 kali per menit atau
tarikan kuat dinding dada bagian
bawah ke dalam (Chest in drawing).

Bukan pneumonia Tidak ada napas cepat atau tarikan


dinding dada bagian bawah ke
dalam.

4. Patofisiologi

Pneumonia dapat timbul melalui aspirasi kuman atau menyebar

langsung dari saluran pernapasan atas. Akibat sekunder dari Viremia atau

bacteremia hanya sebagian kecil. Saluran pernapasan bawah dimulai dari

sublaring hingga unit terminal umumnya dalam keadaan steril. Melalui

beberapa mekanisme, paru terlindungi dari infeksi termasuk barrier

anatomi dan barrier mekanik serta sistem pertahanan tubuh local maupun
sistemik. Barrier anatomi dan meknik diantaranya adalah filtrasi partikel di

hidung, pencegahan aspiraasi dengan refleks epiglottis, pengeluaran benda

asing melalui refleks batuk dan upaya menjaga kebersihan jalan napas oleh

lapisan mukosiliat.

Sistem pertahanan tubuh yang terlibat adalah sekresi lokal oleh

immunoglobulin A, respon inflamasi oleh sel-sel leukosit, komplemen,

sitokin, immunoglobulin, alveoli dan cell mediated immunity. Pneumonia

terjadi apabila salah satu sistem pertahanan diatas mengalami gangguan.

Inokulasi pathogen menyebabkan pada saluran pernapasan megalami

reaksi inflamasi akut yang berbeda sesuai pathogen penyebabnya.

Virus akan menyerang saluran pernapasan kecil dan alveoli, yang

lebih banyak mengenai lobus. Pada infeksi virus awalnya ditandai oleh lesi

berupa kerusakan silia epitel dengan akumulasi debris kedalam lumen.

Respon inflamasi awal adalah infiltrasi sel-sel mononuclear kedalam

submukosa dan perivascular. Sebagian sel poly morponucleus (PMN) akan

didapatkan dalam saluran napas kecil. Bila proses inflamasi meluas maka

sel debris, mucus serta sel-sel inflamasi yang meningkat dalam saluran

napas kecil akan menyebabkan obstruksi baik parsial maupun total.

Respon inflamasi di dalam alveoli sama seperti yang terjadi pada ruang

intertisial yang terdiri dari sel-sel mononuclear. Prosen infeksi yang berat

akan mengalami pengelupasan epitel dan akan terbentuk eksudat

hemoragik. Infiltrasi ke intertisial sangat jarang menimbulkan fibrosis.

Ketika bakteri mencapai alveoli, beberapa sistem pertahanan tubuh

akan diaktifkan. Saat terjadi kontak antara bakteri dan dinding alveoli
maka bakteri akan ditangkap oleh lapisan cairan epitel yang mengandung

opsonin dan akan terbentuk antibodi immunoglobulin G spesifik.

Selanjutnya terjadi fagositosis oleh makrofag alveolar, sebagian kuman

akan dilisis melalui perantara komplemen. Ketika mekanisme ini gagal

merusak bakteri dalam alveolar, leukosit PMN dengan aktivitas fagositosi

akan dibawa oleh sitokin sehingga muncul respons inflamasi.

Proses inflamasi mengkibatkan terjadinya kongesti vascular dan

edema yang luas. Area edema akan membesar dan membentuk area sentral

yang terdiri dari eritrosit, eksudat, purulent (fibrin, sel-sel lekosit PMN)

dan bakteri. Fase ini secara histopatologi dinamakan hepatisasi merah.

Tahap selanjutnya adalah hepatisasi kelabu yang ditandai dengan

fagositosis aktif oleh leukosit PMN. Proses ini akan mengakibatkan

kaburnya struktur seluler paru. Resolusi konsolidasi pneumonia terjadi

ketika antibodi antikapsular timbul dan leukosit PMN meneruskan

aktivitas fagositosisnya dan sel-sel monosit akan membersihkan debris.

Kerusakan jaringan disebabkan oleh enzim dan toksin yang

dihasilkan kuman Streptococcus aureus. Perlekatan Staphylococcus

aureus pada sel mukosa melalui teichoid acid yang terdapat pada dinding

sel dan paparan di submukosa akan meningkatkan adhesi dari fibrinogen,

fibronektinkolagen, dan protein yang lain.

Seseorang yang terkena pneumonia akan mengalami gangguan

pada proses ventilasi yang disebabkan karena penurunan volume paru.

Untuk mengatasi gangguan ventilasi, tubuh akan meningkatkan volume

tidal dan frekuensi napas sehingga terlihat takipnea dan dyspnea. Sehingga
proses difusi gas akan terganggu dan menyebabkan hipoksia bahkan gagal

napas. (Dosen KMB Indonesia, 2015)

Agen infeksi Aspirasi


benda asing
Aspirasi cairan lambung

Inflamasi dijaringan paru

Edema Alveoli terisi oleh


membran eksudat dari hasil
alveolar

Gas tidak dapat Udara tidak dapat


melewati membrane masuk
alveolar yang karena alveoli diisi oleh
mengalami edema cairan

Terjadi hipoksia dan retensi CO2

Pernapasan menjadi pendek, lelah, krekels,


di
paru penurunan suara napas

5. Manifestasi Klinis

Menurut Wong (2008), tanda-tanda umum pneumonia pada anak

yaitu:

a. Demam tinggi

b. Pernapasan: batuk tidak produktif sampai produktif dengan sputum

berwarna keputihan, takipnea, bunyi napas ronki atau ronki kasar,

pekak pada saat perkusi, nyeri dada, pernapasan cuping hidung, pucat
sampai sianosis (bergantung pada tingkat keparahan), frekuensi

pernapasan >60 kali/menit.

c. Foto toraks: infiltrasi difus atau bercak-bercak dengan distribusi

peribronkial.

d. Perilaku: sensitive, gelisah, dan letargik

e. Gastrointestinal: anoreksia, muntah, diare, dan nyeri abdomen.

6. Pemeriksaan Diagnostik

Menurut Ardiansyah (2012), pemeriksaan diagnostik yang

dilakukan untuk memperkuat diagnose ialah sebagai berikut:

a. Pemeriksaan Laboratorium

Dalam pemeriksaan ini, jumlah leukosit yang didapatkan ialah 15.000-

40.000 per mm dalam keadaan leukopenia. Biasanya lanjut endap

darah meningkat hingga 100 mm/jam.

b. Pemeriksaan Radiologis

Pemeriksaan sebaiknya dibuat dengan cara foto toraks posterior,

anterior, dan lateral untuk melihat keberadaan konsolidasi rentrokadial.

c. Foto Rontgen Dada (Chest X-Ray)

Untuk mengidentifikasi penyebaran gejala, misalnya pada lobus dan

bronchial.

d. ABGs/Pulse Oximetry

Abnormalitas mungkin timbul, tergantung pada luasnya kerusakan

paru.
7. Penatalaksanaan Medis

Penatalaksanaan yang umum dilakukan pada penderita pneumonia yaitu

(Ardiansyah, 2012):

a. Oksigen 1-2 liter/menit

b. Intra vena fluid drip dextrose 10%, NaCl 0,9% = 3:1, KCl 10 mEq/500 ml

cairan, jumlah cairan disesuaikan dengan berat badan, kenaikan suhu dan

status hidrasi.

c. Pemberian makanan enteral diberikan secara bertahap melalui selang

nasogastric dengan feeding drip jika sesak tidak terlalu berat.

d. Jika terdapat sekresi lendir berlebihan dapat dilakukan pemberian inhalasi

dengan salin normal dan beta agonis untuk meperbaiki transport mukosilier.

Seperti pemberian terapi nebulizer dengan flexoid dan ventolin yang

bertujuan untuk mempermudah mengeluarkan dahak juga dapat

meningkatkan lebar lumen bronkus.

e. Pemberian antibiotic sesuai jenis pneumonia.

Anda mungkin juga menyukai