Anda di halaman 1dari 36

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

2.1 Tinjauan Pekerjaan Sosial Industri

2.1.1 Definisi Pekerjaan Sosial Industri

Edi Suharto (2009:7) menyebutkan pekerjaan sosial industri sebagai

berikut :

Pekerjaan Sosial Industri dapat didefinisikan sebagai lapangan praktik


pekerjaan Sosial yang secara khusus menangani kebutuhan-kebutuhan
kemanusiaan dan sosial di dunia kerja melalui berbagai intervensi dam
penerapan metoda pertolongan yang bertujuan untuk memelihara
adaptasi optimal antara individu dan lingkungannya terutama
lingkungan kerja. Inti pekerjaan sosial industri meliputi kebijakan,
perencanaan, dan pelayanan sosial pada persinggungan antara pekerja
sosial dan dunia kerja. Kegiatan pekerjaan sosial industri antara lain
adalah program bantuan (bagi pegawai), promosi kesehatan,
manajemen perawatan kesehatan, tindakan alternatif affirmatif
(pembelaan), penitipan anak, perawatan lanjut usia, pengembangan
sumber daya manusia (SDM), pengembangan organisasi, pelatihan,
dan peningkatan karir, konseling bagi penganggur atau yang terkena
pemutusan hubungan kerja (PHK), tanggung jawab sosial perusahaan
(corporate sosial responsibility), tunjangan-tunjangan pegawai,
keamanan dan keselamatan kerja, pengembangan jabatan, perencanaan
sebelum dan sesudah pensiun serta bantuan pemindahan kerja. Konsep
pekerjaan sosial industri lebih luas dari konsep tanggung jawab sosial
perusahaan (CSR) maupun masyarakat (Community Development).
Pekerjaan sosial industri mencangkup pelayanan sosial yang bersifat
internal dan eksternal, dalam konteks internal pekerjaan sosial industri
melibatkan program-program bantuan bagi pegawai, seperti pelayanan
konseling, terapi kelompok, dan pengembangan sumber daya manusia.
Secara eksternal, pekerjaan sosial industri berwujud dalam bentuk
program CSR termasuk di dalamnya strategi dan program
pengembangan masyarakat, pengembangan kebijakan sosial, dan
advokasi sosial.

22
2

Berdasarkan pengertian pekerjaan sosial industri di atas, dapat

disimpulkan bahwa pekerjaan sosial industri memiliki fungsi agar dapat

terpenuhi kebutuhan individu dan keluarga, terjalin relasi yang baik dalam

perusahaan, serta membantu menciptakan relasi yang lebih luas antara tempat

kerja dan masyarakat, atau yang lebih dikenal dengan istilah tanggung jawab

perusahaan (corporate sosial responsibility). Praktikan membantu

menciptakan relasi yang baik di dalam lingkungan perusahaan antara

karyawan dengan karyawan maupun karyawan dengan atasan. Praktikan juga

membantu karyawan untuk membantu memecahkan permasalahan yang ada

pada mereka.

Pekerjaan sosial industri juga meliputi kebijakan, perencanaan, dan

pelayanan sosial pada persinggungan antara pekerja sosial dan dunia kerja

(internal dan eksternal) sehingga cakupan tentang pekerjaan sosial industri itu

sendiri lebih luas dari tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) maupun

mengembangkan masyarakat (Community Development).

1. Tujuan Pekerjaan Sosial

Dalam proses pertolongannya, peranan pekerja sosial sangat beragam

tergantung pada konteksnya. Secara umum pekerja sosial dapat berperan

sebagai mediator, fasilitator atau pendamping, pebimbing, percencana, dan

pemecah masalah. Kinerja pekerja sosial dalam melaksanakan meningkatkan

keberfungsian sosial dapat dilihat dari beberapa strategi pekerjaan sosial

sebagai berikut (DuBois dan Miley) dalam Suharto (2009:5):


3

a. Meningkatkan kemampuan orang dalam menghadapi masalah


yang dialaminya.
b. Menghubungkan orang dengan sistem dan jaringan sosial yang
memungkinkan mereka menjangkau atau memperoleh berbagai
sumber, pelayanan dan kesempatan
c. Meningkatkan kinerja lembaga-lembaga sosial sehingga mampu
memberikan pelayanan sosial secara efektif, berkualitas dan
berperikemanusiaan.
d. Merumuskan dan mengembangkan perangkat hukum dan
peraturan yang mampu menciptakan situasi yang kondusif bagi
tercapainya kemerataan ekonomi dan keadilan sosial.
Berdasarkan penjelasan di atas mengenai tujuan pekerja sosial dalam

menangani permasalahan pada klien. Pekerja sosial dapat berperan sebagai

mediator, fasilitator atau pendamping, pebimbing, percencana, dan pemecah

masalah. Praktikan dalam melaksanakan praktikum ini melakukan semua

tujuan dan peran yang dikatakan di atas dalam pemecahan permasalahan pada

klien yang ditangani.

2. Permasalahan Sosial di Dunia Industri

Menurut Smith dalam Suharto (2009:15) menyatakan pendapatnya

tentang pentingnya pekerjaan yaitu :

Pekerjaan merupakan salah satu dimensi yang paling penting dalam


kehidupan seorang individu. Dalam beberapa aspek, setiap individu
memaknakan dirinya dalam kaitannya dengan apa yang dilakukan
melalui pekerjaannya. Pekerjaan memberi seseorang sebuah identitas
sosial yakni sebuah pijakan bagi masyarakat yang lebih luas serta
sebuah medium yang mana nilai dan kedudukan seseorang dalam
masyarakat diketahui orang lain .
Menurut Suharto (2009:15) mekanisme dan otomatisasi adalah

fenomena industrialisasi yang melahirkan rutinitas dan membuat tenaga

manusia tampak semakin tidak penting. Perubahan teknologi, pergantian


4

tenaga kerja, dan pemutus hubungan kerja yang semakin menjadi fenomena

sehari-hari pada masyarakat industri sering menimbulkan kecemasan bagi

para pegawai.

Johnson dalam Suharto (2009:16) menyatakan bahwa beberapa

permasalahan sosial yang umumnya ditangani pekerja sosial di dunia industri

adalah masalah yang terkait dengan dampak negatif industrialisasi disingkat

5A:

a. Alienation : Perasaaan keterasingan dari diri, keluarga dan


kelompok sosial yang dapat menimbulkan apatis, marah, dan
kecemasan.
b. Addiction Alcoholism : ketergantungan terhadap alkohol, obat-
obatan terlarang dan rokok yang dapat menurunkan poduktivitas,
merusak kesehatan fisik dan psikis, dan kehidupan sosial
seseorang.
c. Absenteeism : kemangkiran kerja atau perilaku membolos kerja
dikarenakan rendahnya motivasi pegawai, perasaan-perasaan
malas, tidak berguna, tidak merasa memiliki perusahaan, atau sakit
fisik dan psikis.
d. Accidents : kecelakaan kerja yang diakibatkan oleh menurunnya
konsentrasi pegawai atau lemahnya sistem kesehatan lingkungan
kerja.
e. Abuse : bentuk-bentuk perlakuan salah terhadap anak-anak atau
pasangan dalam keluarga (suami terhadap istri atau sebaliknya),
seperti memukul dan menghardik secara berlebihan yang
ditimbulkan oleh frustasi, kebosanan dan kelelahan ditempat kerja.
Beberapa permasalahan sosial yang telah dijelaskan diatas dapat

disimpulkan bahwa masalah sosial lainnya yang sering ditangani pekerja

sosial industri adalah diskriminasi ditempat kerja atau tindakan-tindakan tidak

adil terhadap wanita, kaum minoritas, imigran, remaja, pensiunan, dan para

penyandang cacat. Beberapa industri dan perusahaan juga kerap menimbulkan

dampak negatif terhadap masyarakat sekitarnya, kerusakan fisik dan psikis


5

bagi para pegawainya. Para pekerja sosial dapat membantu dunia industri

untuk mengidentifikasikan dan mengatasi berbagai biaya sosial (sosial costs)

yang ditimbulkan oleh perusahaan.

3. Model Pelayanan Pekerja Sosial Industri

Salah satu cara untuk mengkonseptualisasikan beragam pelayanan

sosial diberikan oleh pekerja sosial beserta peran dan keterampilan yang

dijalankannya adalah dengan membuat sebuah tipologi model setting PSI

yang dinyatakan oleh Straussner dalam Suharto (2009:16-24) sebagai berikut :

a. Model pelayanan sosial bagi pegawai

Model ini meliputi perancangan dan pengimplementasian

program-program dan pelayanan-pelayanan sosial yang terutama

ditujukan untuk memenuhi kebutuhan para pegawai suatu perusahaan

secara individual. Selain bermanfaat bagi pegawai yang bersangkutan,

model ini juga sangat bermanfaat bagi perusahaan karena dapat

meningkatkan kepuasan kerja, produktivitas dan kesetiaan pegawai

terhadap perusahaannya. Berbagai program dan pelayanan langsung

umumnya diarahkan untuk membantu para pegawai dalam menghadapi

gangguan fisik, mental, masalah keluarga dan masalah sosial yang

langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan peranannya sebagai

pegawai.

Model pelayanan sosial bagi pegawai merupakan bentuk atau

tipe intervensi pekerjaan sosial yang paling umum dilakukan oleh para
6

pekerja sosial diperusahaan. Beberapa peran yang paling sering dimainkan

oleh konselor, mediator, konfrontator konstruktif, pembela dan broker.

b. Model pelayanan sosial bagi majikan/organisasi

Dalam model ini yang menjadi klien pekerja sosial adalah pihak

perusahaan, bukan individu atau kelompok pegawai. Tujuan utamanya

adalah untuk membantu memanajemen perusahaan dalam

mengidentifikasi dan mengembangkan kebijakan-kebijakan dan

pelayanan-pelayanan yang berhubungan dengan dunia kerja. Program dan

pelayanan ini misalnya, menyangkut fasilitas penitipan anak, perawatan

kesehatan, pelayanan khusus bagi pegawai wanita atau kelompok

minoritas tertentu, pemberian analisis dan saran berkaitan dengan

perampingan perusahaan atau pengembangan pelatihan bagi para

pelanggan sebuah bank.

Sebagaimana dalam model pertama, pekerja sosial atau sosiater

yang menerapkan model ini bisa bekerja sebagai konsultan eksternal yang

disewa perusahaan atau bisa pula dari bagian dari pegawai perusahaan

yang bersangkutan. Beberapa peranan dan keahlian yang diperlukan dalam

model ini meliputi konsultan, analisis atau evaluator, pelatih, dan

pengembang program.

c. Model pelayanan sosial bagi konsumen

Model ini berfokus pada kebutuhan-kebutuhan konsumen dan

perusahaan. Pelayanan ini biasanya diberikan sebagai bentuk pembelaan


7

atas dasar hak-hak konsumen untuk menerima pelayanan perusahaan yang

berkualitas. Pelayanan juga bisa diberikan sebagai bentuk terimakasih

kepada pelanggannya yang telah turut membesarkan perusahaan.

Sebagai contoh, seorang pekerja sosial dapat mengembangkan

program-program untuk mengidentifikasi dan memberikan pelayanan

kepada konsumen utilitas publik yang berusia lanjut. Program ini

diberikan dengan alasan bahwa pelanggan tersebut rentan terhadap

pemutusan pelayanan dikarenakan gangguan-gangguan fisik atau mental

terkait dengan ketuaannya.

d. Model investasi sosial perusahaan

Model ini pada dasarnya menunjukan perluasan peran perusahaan

yang tidak hanya mengurus kesejahteraan pegawai dan kebutuhan

konsumen saja, melainkan turut peduli akan kehidupan masyarakat yang

tinggal disekitar perusahaan. Dalam konteks investasi sosial perusahaan

ini memiliki dampak yang lebih berdimensi luas dan jangka panjang.

Pelayanan sosial dari perusahaan tidak dipandang semata-mata hanya

sekedar melunasi tanggung jawab sosial perusahaan, melainkan sebagai

bagian dari rekayasa sosial dan strategi perusahaan yang rasional,

terencana dan berorientasi pada pencapaian keuntungan sosial jangka

panjang bagi kedua belah pihak, pihak perusahaan dan pihak masyarakat.

Istilah dan tugas-tugas pekerja sosial dalam model ini sangat bervariasi.
8

Beberapa istilah atau jabatan yang dipegang oleh pekerja sosial

meliputi, analisis pengalokasian kegiatan sosial, penasehat urusan

perkotaan, direktur tanggung jawab sosial perusahaan, konsultan relasi

kemasyarakatan, atau kordinator pelayanan masyarakat. Sementara itu,

tugas-tugas pekerja sosial umumnya menyangkut pengidentifikasian dan

hubungan perusahaan dengan pemuka-pemuka masyarakat,

pengevaluasian permintaan sumbangan dari kelompok-kelompok

kemasyarakatan dan organisasi-organisasi amal, pelaksanaan asesmen

kebutuhan masyarakat, dan pengembangan program serta pelayanan-

pelayanan sosial baru.

e. Model kebijakan publik dibidang kepegawaian

Model ini mencakup formulasi, identifikasi, analisis, advokasi bagi

kebijakan, serta program dan pelayanan-pelayanan pemerintah yang

langsung maupun tidak langsung mempengaruhi dunia kerja. Pekerja

sosial memegang peranan cukup penting dalam model ini, yakni sebagai

perencana dan kebijakan, pekerja sosial merancang kebijakan sosial yang

dapat diajukan kepada pemerintah untuk disahkan dan ditindaklanjuti.

Misalnya, kebijakan yang terkait upah kerja minimum, jaminan sosial bagi

pegawai atau pelayanan sosial bagi pegawai dan keluarganya (seperti

pelayanan penitipan anak dan hak cuti melahirkan bagi pegawai

perempuan).
9

Peran sebagai analis kebijakan menunjukkan pada tugas-tugas

pekerja sosial untuk menelaah konsekuensi-konsekuensi kebijakan sosial,

baik yang akan maupun yang telah diterapkan oleh pemerintah.

Sedangkan sebagai advokat kebijakan, pekerja sosial menjalankan peran

mendesakkan kebijakan kepada pemangku kepentingan (stakeholder) dan

sasaran kebijakan (policy audience). Advokasi ini pada dasarnya

dimaksudkan untuk menyebarluaskan makalah kebijakan yang ia buat,

baik melalui media cetak maupun media lainnya. advokasi ini adakalanya

dilakukan oleh tim analis kebijakan dengan merancang strategi advokasi

yang dapat dijadikan pedoman pada saat melakukan advokasi.

dapat disimpulkan bahwa pelayanan sosial diberikan oleh pekerja

sosial beserta peran dan keterampilan yang dijalankannya adalah dengan

membuat sebuah tipologi model setting Pekerjaan Sosial Industri yaitu model

pelayanan sosial bagi pegawai, model pelayanan sosial bagi

majikan/organisasi, model pelayanan sosial bagi konsumen, model investasi

sosial perusahaan, model kebijakan publik dibidang kepegawaian.

4. Corporate Sosial Responsibility (Tanggung Jawab Sosial Perusahaan)

a. Definisi Corporate Social Responsibility (Tanggung Jawab Sosial

Perusahaan)

Schermerhorn memberi definisi Tanggung jawab Sosial


Perusahan (CSR) sebagai suatu kepedulian organisasi bisnis untuk
bertindak dengan cara-cara mereka sendiri dalam melayani
kepentingan organisasi dan kepentingan publik eksternal. Secara
konseptual, CSR adalah sebuah pendekatan dimana perusahaan
10

mengintergrasi kepedulian sosial dalam operasi bisnis mereka dan


dalam interaksi mereka dengan para pemangku kepentingan
(stakeholders) berdasarkan prinsip kesukarelaan dan kemitraan.
Nuryana dalam Suharto (2009:103)
beberapa nama lain yang memiliki kemiripan atau bahkan identik

dengan CSR ini antara lain Investasi Sosil Perusahaan (Corporate Social

Investment/Investing), Kedermawanan Perusahaan (Corporate

Philantropy), Relasi Kemsyarakatan Perusahaan (Corporate Community

Relations), dan Pengembangan Masyarakat (Community Development)

(lihat Briliant dan Rice; Burke: Suharto 2009:103).

Belum ada definisi TSP yang secara universal diterima oleh

berbagai lembaga. Beberapa definisi TSP di bawah ini menunjukkan

keragaman pengertian TSP menurut berbagai organisasi (lihat Majalah

Bisnis dan CSR; Wikipedia; Sukada dan Jalal: Suharto 2009:103).

1) World Business Council for Sustainable Development:


Komitmen berkesinambungan dari kalangan bisnis untuk
berperilaku etis dan memberi kontribusi bagi pembangunan
ekonomi, seraya meningkatkan kualitas kehidupan karyawan
dan keluarganya, serta komunitas lokal dan masyarakat luas
pada umumnya.
2) International Finance Corporation: Komitmen dunia bisnis
untuk memberi kontribusi terhadap pembangunan ekonomi
berkelanjutan melalui kerjasama dengan karyawan, keluarga
mereka, komunitas local dan masyarakat luas untuk
meningkatkan kehidupan mereka melalui cara-cara yang baik
bagi bisnis maupun pembangunan.
3) Institute of Chartered Accountants, England and Wales:
jaminan bahwa organsasi-organisasi pengelola bisnis mampu
memberi dampak positif bagi masyarakat dan lingkungan,
seraya memamksimalkan nilai bagi para pemegang saham
(shareholders) mereka.
4) Canadian Goverment: Kegiatan usaha yang mengintegrasikan
ekonomi, lingkungan dan sosial ke dalam nilai, budaya,
11

pengambilan keputusan, strategi, dan operasi perusahaan yang


dilakukan secara transparan dan bertanggung jawab untuk
menciptakan masyarakat yang sehat dan berkembang.
5) European Commision: Sebuah komsep dengan mana
perusahaan mengintegrasikan perhatian terhadap sosial dan
lingkungan dalam operasi bisnis mereka dan dalam
interaksinya dengan para pemangku kepentingan
(stakeholders) berdasarkan prinsip kesukarelaan.
6) CSR Asia: Komitmen perusahaan untuk beroperasi secara
berkelanjutan berdasarkan prinsip ekonomi, sosial dan
lingkunganm seraya menyeimbangkan bergam keoentingan
para stakeholders.
Program Corporate Social Responsibility sudah mulai

bermunculan di Indonesia seiring telah disahkannya Undang-Undang

Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, adapun isi Undang-

Undang tersebut yang berkaitan dengan CSR, yaitu:

Pada pasal 74 di Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007,

berbunyi:

1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya dibidang dan/atau

berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung

Jawab Sosial dan Lingkungan.

2) Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) merupakan kewajiban perseroan yang pelaksanakannya

dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.

3) Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.
12

4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan

Lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Menurut pengertian di atas Shafira Corporation melalui Shafira

Foundation telah melakukan tanggung jawab sosial dengan berbagai

program yang dibuat oleh Shafira Foundation baik kepada masyarakat

yang berada di Bandung Raya maupun keluarga dari karyawan yang

bekerja di Shafira sendiri.

b. Konsep Tanggung Jawab Sosial

Secara lebih teoritis dan sistemasi, konsep piramida tanggung

jawab sosial perusahaan yang dikembangkan Archie B. Carrol (Saidi dan

Abidin: Suharto 2009:102).

1) Tanggung jawab ekonomi. Kata kuncinya adalah: make a


profit. Motif utama perusahaan adalah menghasilkan laba.
Laba adalah fondasi perusahaan dapat terus hidup (survive) dan
berkembang.
2) Tanggung jawab legal. Kata kuncinya: obey the law.
Perusahaan harus taat hokum. Dalam proses mencari laba,
perusahaan tidak boleh melanggar kebijakan dan hukum yang
telah ditetapkan pemerintah.
3) Tanggung jawab etis. Perusahaan memiliki kewajiban untuk
menjalankan praktek bisnis yang baik, benar, adil dan fair.
Norma-norma masyarakat perlu menjadi rujukan bagi perilaku
organisasi perusahaan. Kata kuncinya: be etichal.
4) Tanggung jawab filantropis. Selain perusahaan harus
memperoleh laba, taat hokum dan berprilaku etis, perusahaan
dituntut agar dapat memberi kontribusi yang dapat dirasakan
secara langsung oleh masyarakat. Tujuannya adalah untuk
meningkatkan kualitas kehidupan semua. Kata kuncinya: be a
good citizen. Para pemilik dan pegawai yang bekerja di
perusahaan memiliki tanggung jawab ganda, yakni kepada
perusahaan dan kepada public yang kini dikenal dengan istilah
nonfiduciary responsibility.
13

c. Model atau Pola Tanggung Jawab Sosial

Kini, di Indonesia telah terbentuk pola atau model CSR yang

digunakan oleh berbagai perusahaan. Menurut Saidi dan Abidin (dalam

Suharto, 2009:106) menjelaskan ada empat model atau pola CSR yang

umumnya diterapkan di Indonesia, yaitu:

1) Keterlibatan langsung. Perusahaan menjalankan CSR secara langsung

dengan menyelenggarakan sendiri kegiatan sosial tanpa perantara.

Untuk menjalankan tugas ini Shafira Foundation melakukan tanggung

jawab sosialnya secara langsung, seperti dalam pemberdayaan

terhadap ibu-ibu LKM binaan Shafira Foundation yang didampingi

langsung oleh F.O (Field Officer) dari Shafira Foundation dan dengan

cara memberikan peminjaman kepada ibu-ibu binaan.

2) Melalui yayasan atau organisasi sosial perusahaan. Model ini

merupakan adopsi dari model yang lazim diterapkan di perusahaan

negara maju. Perusahaan mendirikan yayasan sendiri dibawah

perusahaan atau grupnya, namun tetap harus bertanggung jawab ke

CEO atau dewan direksi. Shafira Foundation merupakan sebuah

organisasi sosial yang dibentuk oleh Shafira Corporation. Melalui

Shafira Foundation tanggung jawab sosial kepada masyarakat

dijalankan.

3) Bermitra dengan pihak lain. Perusahaan menyelenggarakan CSR

melalui kerjasama dengan lembaga sosial/ organisasi non-pemerintah


14

(ornop), instansi pemerintah, universitas atau media massa, baik dalam

mengelola dana maupun dalam melaksanakan kegiatan sosialnya.

Shafira Foundation dalam menyelenggarakan tanggung jawab

sosialnya melalui kerjasama atau bermitra dengan beberapa organisasi

yang berada di Kota Bandung seperti Rumah Amal Salman ITB, Bank

Sampah Bumi Inspirasi, Badan Koordinasi Pengajian Al-Quran dan

Keluarga Sakinah Indonesia (BKPAKSI) dan Mabrur Organisasi.

4) Mendukung dan bergabung dalam suatu konsorsium. Perusahaan turut

mendirikan, menjadi anggota, serta mendukung suatu lembaga sosial

yang didirikan untuk tujuan sosial tertentu. Dibandingkan dengan

model lain, pola ini lebih berorientasi pada pemberian hibah

perusahaan yang bersifat hibah “pembangunan”. Pihak konsorsium

atau lembaga semacam itu dipercaya oleh perusahaan yang

mendukungnya secara pro-aktif mencari mitra kerjasama dari kalangan

lembaga operasional dan kemudian mengembangkan program yang

disepakati bersama.

Model dan pola tanggung jawab sosial yang dijelaskan di atas

semua ada pada Shafira Foundation sesuai dengan penjelasan di poin-poin

yang disebutkan di atas.

d. Prinsip dasar perusahaan dalam menjalankan CSR.

Dalam menjalankan tanggung jawab sosialnya, perusahaan

memfokuskan perhatiannya kepada tiga hal, yaitu laba, lingkungan dan


15

masyarakat. Menurut Elkington dalam A.B Susanto (2009:11)

mengemukakan bahwa sebuah perusahaan yang menunjukan tanggung

jawab sosialnya akan memberikan perhatian kepada peningkatan kualitas

perusahaan (profit); masyarakat, khususnya komunitas sekitar (people);

serta lingkungan bumi (planet bumi).

Tanggung jawab sosial perusahaan yang dikembangkan Archie B.

Carrol harus dipahami sebagai satu kesatuan. Karenanya, secara

konseptual CSR merupakan kepedulian perusahaan yang didasari tiga

prinsip dasar yang dikenal dengan istilah triple bottom lines, yaitu 3p:

1) Profit. Perusahaan tetap harus berorientasi untuk mencari keuntungan

ekonomi yang memungkinkan untuk terus beroperasi dan berkembang.

Shafira Foundation dalam menjalankan program CSR tetap

memperhatikan profit atau keuntungan yang didapat oleh perusahaan

nantinya. Salah satu orientasi keuntungan ekonomi dari Shafira

Foundation sendiri memberdayakan ibu-ibu untuk menjadi reseller

dari busana produk shafira. Pemberdayaan yang dilakukan oleh

Shafira Foundation sendiri selain merupakan bentuk tanggung jawab

sosial perusahaan terhadap masyarakat shafira juga melihat sisi

keuntungan yang akan didapat dari perusahaan.

2) People. Perusahaan harus memiliki kepedulian terhadap kesejaheraan

manusia. Shafira Foundation terdapat beberapa program kemanusiaan

antara lain: LKM Kewirausahaan, Shafira Foundation memiliki


16

komitmen untuk mengurangi kemiskinan melalui akses LKMK bagi

keluarga pra sejahtera yang memiliki kegiatan usaha agar menjadi

lebih berkembang. Shafira Foundation juga memiliki program

kemanusiaan seperti Fundraising yang merupakan suatu kegiatan yang

dilakukan untuk mengumpulkan dana dengan cara mengedukasi para

donatur. Tujuan dari fundraising adalah untuk membuka mata, hati,

pikiran dan dompet donatur sehingga mendorong untuk mendonasikan

sebagian hartanya. Selain itu Shafira Foundation juga memiliki

program yang bernama Disaster Management yang bertujuan untuk

memberikan bantuan pasca bencana alam, dalam pemberian bantuan

ini Shafira Foundation tidak hanya memberikan bantuan berupa fisik

seperti makanan dan sebagainya malainkan Shafira Foundation

memberikan bantuan penanganan pasca bencana, baik bencana alam

maupun sosial. Program ini dijalankan sebagai wujud kepedulian

terhadap masyarakat korban bencana disesuaikan dengan kondisi dan

tingkat melalui Shafira Foundation Trauma Healing. Shafira

Foundation juga memiliki program yang dinamakan SEHATI (Senior

Club Hati Indonesia) yang merupakan sebuah komunitas yang

mewadahi warga senior usia 50 tahun keatas khususnya di daerah

Bandung. Melalui program SEHATI berharap dapat memberikan

sumbangsih dan kontribusi bagi terwujudnya masa senior yang sehat,

bahagia dan religius. Shafira Foundation juga memberikan Beasiswa


17

Bina Prestasi. Beasiswa ini di khususkan untuk anak karyawan Shafira

Corporation di bawah level Supervisor.

3) Plannet. Perusahaan peduli terhadap lingkungan hidup dan

keberlanjutan keragaman hayati. Beberapa program CSR yang berpijak

ada prinsip in biasanya berupa penghijauan lingkungan hidup,

penyediaan sarana air bersih, perbaikan permukiman, pengembangan

pariwisata (ekoturisme). Shafira Foundation memiliki satu program

dalam pengembangan desa pariwisata di Ciwidey. Tujuannya adalah

untuk menjadikan desa yang berdaya dan menjadikan desa tersebut

desa pariwisata dibidang pertanian.

Shafira Foundation dalam menjalankan CSR berpedoman pada

prinsip dasar dalam menjalankan CSR sehingga dapat menjalankan

program CSR dengan baik.

2.2 Perilaku Asertif

2.2.1 Pengertian Perilaku Asertif

Menurut Dariuszky menyatakan bahwa orang yang memiliki


sikap asertif adalah orang yang menggunakan gaya komunikasi yang
tegas, jelas tepat dan tidak agresif, tidak mengalihkan topik
pembicaraan dan tidak mengorbankan diri sendiri. Asertif adalah
bentuk komunikasi dimana individu mengekspresikan pikiran,
perasaan dan keyakinan mereka sendiri secara jujur, langsung, namun
tetap mempertimbangkan pikiran, perasaan dan keyakinan lawan
bicara (Depkes RI: Depsos RI, 2008:54).
Menurut Zastrow asertif adalah merespon dengan cara
mengekspresikan pikiran, keyakinan, perasaan secara jujur, tegas,
jelas, langsung tanpa mengabaikan pikiran, perasaan, keyakinan dan
hak-hak orang lain. Menurut Tungga Perilaku asertif mengacu pada
dua hal yang sangat penting, yaitu mengekspresikan perasaan-
18

perasaan, pikiran-pikiran dan kebutuhan secara jujur, langsung dan


tegas dengan memperhatikan kebutuhan-kebutuhan orang lain. Jadi
individu yang berperilaku asertif adalah orang yang mampu
menyampaikan pikiran-pikiran, perasaan-perasaan dan kebutuhan
dengan percaya diri, terampil dan peduli pada kebutuhan orang lain
(Depsos RI, 2008:54)
Sedangkan orang-orang non-asertif (Fensterheim & Baer, 1995:58)

adalah mereka yang terlihat terlalu mudah mengalah(lemah), mudah

tersinggung, cemas, kurang yakin pada diri sendiri dan sukar mengatakan

masalah atau hal-hal diinginkan.

Dari beberapa pengertian tersebut maka disimpulkan bahwa perilaku

asertif adalah suatu kemampuan untuk mengkomunikasikan apa yang

diinginkan, dirasakan dan dipikirkan pada orang lain namun tetap menjaga

dan menghargai hak-hak serta perasaan orang lain. Menurut Cawood ada dua

tujuan utama perilaku asertif, yang pertama yaitu menjaga proses komunikasi

agar tetap lancar. Informasi yang kurang memadai/kurang tepat tidak bisa

digunakan dalam memecahkan masalah-masalah pengambilan keputusan.

Komunikasi yang lancar dapat diciptakan dengan cara menjaga nada suara,

sopan santun serta tidak keluar dari fokus dialog. Tujuan kedua yaitu

membangun sikap saling menghormati. Membangun sikap saling

menghormati tersebut dengan cara menciptakan harapan yang positif dan

menerima pendapat oranglain yang terlihat berbeda dengan pendapat dan

harapan diri sendiri, memperdulikan apa yang orang putuskan serta

melibatkan diri pada keputusan tersebut.


19

3 Ciri-Ciri Perilaku Asertif dan Non Asertif

Menurut Tungga mengidentifikasikan ciri-ciri perilaku asertif dari

Cawood, Ferron dan Zastrow (Depsos RI, 2008:54) sebagai berikut:

a. Mempertahankan pendapat, perasaan dan kebutuhannya sendiri dengan

menghargai hak-hak orang lain

b. Dapat mengekspresikan pikiran, perasaan dan kebutuhan pada waktu dan

tempat yang sesuai

c. Percaya diri dalam berelasi dengan orang lain

d. Mendengarkan secara efektif sehingga mampu mengiyakan, menerima

dan memahami pesan yang disampaikan

e. Bebas untuk memilih bertindak atau tidak bertindak sesuai dengan

harapan orang lain.

f. Merencanakan tindakan-tindakan yang akan dilakukan

g. Menyadari bahwa ia tidak akan mampu memuaskan setiap orang

h. Belajar dari kesalahan

i. Mampu mengendalikan emosi dan tahu kapan, dimana dan bagaimana ia

akan berperilaku asertif.

Menurut Tungga mengidentifikasikan ciri-ciri perilaku asertif dari

Cawood, Ferron dan Zastrow (Depsos RI, 2008:54) sebagai berikut:

1) Mengabaikan hak-hak orang diri sendiri untuk menyatakan pendapat,

perasaan dan kebtuhan


20

2) Membiarkan orang lain mengambil alih hak-haknya untuk menyampaikan

pendapat, perasaan dan kebutuhan

3) Tidak mau menyatakan pikiran, perasaan dan kebutuhan diri sendiri

4) Tidak jujur sehingga perkataan, perasaan dan tindakan tidak sesuai

5) Menekan rasa marah dan kebencian

6) Menerima begitu saja ide orang lain

7) Mengambil alih hal atau tugas yang tidak semestinya

8) Terbebani oleh tugas-tugas dan tuntutan-tuntutan orang lain atau harapan-

harapan diri sendiri yang tidak terpenuhi

9) Menunjukkan kesopanan yang berlebihan dan selalu mendorong orang lain

untuk mendahuluinya.

4 Hasil-hasil Perilaku Asertif

Tungga mengartikan pendapat Cawood (Depsos RI, 2008:58) bahwa

perilaku asertif akan menghasilkan 3 hal penting yang berkaitan dengan diri

sendiri maupun hubungan dengan orang lain, yaitu :

a. Berurusan dengan kenyataan

Orang yang berprilaku asertif cenderung memusatkan diri pada

masalah dan kebutuhan yang nyata (here and now). Hal ini akan

menyebabkan orang tersebut mampu berurusan dengan pikiran-pikiran,

perasaan dan kebutuhan yang nyata. Proses pemusatan diri pada kenyataan

tersebut dapat menyebabkan individu yang bersangkutan untuk tidak


21

tertekan oleh khawatir masa lalu dan terintimidasi oleh masa yang akan

datang.

b. Meningkatkan kepercayaan diri

Merencanakan tindakan dan belajar dari kesalahan merupakan dua

ciri-ciri perilaku asertif. Melalui perencanaaan tindakan yang baik akan

menyebabkan orang dapat melakukan sesuatu terutama yang berkaitan

dengan komunikasi dengan orang lain secara lebih cermat dan bertujuan.

Kemudian, jika terjadi kesalahan atau kekeliruan maka ia akan siap untuk

belajar dari kesalahannya untuk memperbaiki diri. Hal ini menyebabkan

orang yang bersangkutan semakin memahami kekuatan dan kelebihan

dirinya sekaligus kelemahan dan kekurangan dirinya secara jujur,

kemudian berusaha meningkatkan dirinya.

c. Memperkaya hubungan dengan orang lain

Ciri lain perilaku asertif adalah menghormati pendapat, perasaan

dan kebutuhan serta hak orang lain. Biasanya apabila mitra kita merasa

dihargai maka ia akan menghargai kita juga. Sikap saling menghormati

akan menjadi landasan yang kuat untuk saling mempercayai yang

akhirnya akan menghasilkan kerjasama yang sinergis.

5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Asertif

a. Jenis Kelamin

Menurut Arsante dan Gudykunst (Syarani, 1995) menyatakan

bahwa pada umumnya pria banyak memiliki sifat-sifat maskulin yaitu


22

kuat, asertif, kompetitif, dan ambisius. Penelitian Bee (Yogaryjantono,

1991) menambahkan laki-laki cenderung lebih mandiri, tidak mudah

terpengaruh, dan lebih tenang, perempuan lebih mudah terpengaruh dan

lebih bersifat mendidik. Budiman (Widodo, 1998) memperkuat pendapat

Bee, dengan mengatakan bahwa laki-laki lebih aktif dan lebih rasional

sedangkan perempuan lebih pasif, lebih emosional, dan lebih submisif.

b. Harga Diri

Alberti dan Emmons (Hidayati, 1987) mengatakan bahwa orang-

orang yang asertif diasumsikan memiliki konsep diri yang positif Orang

yang memiliki konsep diri positif dengan sifat-sifat penerimaan diri,

evaluasi diri yang positif dan harga diri yang tinggi, akan membuat

mereka merasa aman dan memiliki rasa percaya diri yang tinggi dalam

kancah sosial.

c. Pola Asuh Orangtua dan Lingkungan

Kualitas perilaku asertif seseorang sangat dipengarahi pengalaman

masa anak-anaknya (Andu, 1993) Pengalaman tersebut, yang kebanyakan

berupa interaksi dengan orang tua maupun anggota keluarga lainnya,

sangat menentukan pola respon seseorang dalam menghadapi berbagai

masalah setelah ia menjadi dewasa kelak.

d. Kebudayaan

. Thoha (1993) mengatakan bahwa kebudayaan dan lingkungan

masyarakat tertentu merupakan salah satu faktor yang kuat dalam


23

mempengaruhi sikap, nilai dan cara individu berperilaku. Setiap

kebudayaan mempunyai aturan yang berbeda-beda, perbedaan ini dapat

mempengaruhi pembentukan pribadi masing-masing individu terutama

dalam perilaku asertifnya

e. Tingkat Pendidikan

Caplow (Yogaryiantono, 1991) mengatakan bahwa semakin tinggi

tingkat pendidikan seseorang akan semakin ada kecenderungan untuk

sukses dalam bekerja. Semakin orang berpendidikan akan semakin

mengenal dirinya secara lebih baik, termasuk kelebihan dan

kekurangannya, sehingga mereka cenderung mempunyai rasa percaya diri.

Dengan pengalaman pendidikan formal yang dialami individu akan

berakibat besar terhadap sikap, konsepsi, dan cara berpikir. Dalam

bertingkah laku, lebih fleksibel lebih terbuka terhadap pembaharuan, serta

ingatan dan perasaannya lebih luas, ini akan membawa seseorang menjadi

percaya diri yang orientasi segala perilakunya lebih dititik beratkan pada

keputusannya sendiri (Yogaryjantono, 1991).

f. Jenis Pekerjaan dan Lama Bekerja

Penelitian Kiecolt dan Mc Grath (Prabana 1997) menyimpulkan

bahwa jenis pekerjaan berpengaruh terhadap asertivitas individu artinya

jenis pekerjaan yang banyak melibatkan individu dengan orang lain akan

berpengaruh positif terhadap kemampuan seseorang dalam berperilaku

asertif karena banyaknya hubungan interpersonal yang dilakukan.


24

g. Kondisi Sosial Ekonomi dan Intelegensi

Faktor sosial dan intelegensi seseorang mempengaruhi tinggi

rendahnya asertivitas seseorang Ditunjukkan oleh hasil peneiitian Sehartz

dan Gottman (Retnaningsih, 1992) menunjukkan bahwa individu yang

memiliki status sosial ekonomi dan intelegensi yang tinggi pada umumnya

tinggi pula nilai asertivitasnya. Johandar (1980) menambahkan bahwa

antara intelegensi dan prestasi belajar memiliki korelasi yang positif

artinya jika intelegensi semakin tinggi semakin tinggi pula prestasi

belajarnya.

6. Terapi Perilaku Asertif

Menurut Yeane EM. Tungga dkk. dalam Terapi Psikososial Suatu

Pengantar (2013), asumsi dasar terapi perilaku adalah bahwa perilaku-perilaku

maladaptif secara utama didapatkan melalui pembelajaran dan dapat

dimodifikasikan melalui pembelajaran tambahan. Para ahli pada terapi perilaku

pada umumnya meyakini bahwa kondisi-kondisi atau pengalaman-pengalaman

lingkungan merupakan pengaruh yang lebih besar dalam mengendalikan perilaku

dari pada pembawaan-pembawan kepribadian internal.

Terapi perilaku didasarkan pada teori pembelajaran. Terdapat beberapa

fokus umum diantara para ahli terapi perilaku salah satunya adalah perilaku

maladaptif harus diarahkan pada perubahan perilaku daripada berfokus pada

penyebab-penyebab mendasar yang tidak diketahui. Terapi perilaku didasarkan


25

pada asumsi bahwa semua perilaku terjadi sebagai tanggapan pada stimulasi,baik

internal maupun ekstrenal.

Pelatihan asertif secara khusus efektif dalam mengubah baik perilaku

lamban maupun perilaku agresif. Pelatihan asertif dirancang untuk membawa

seseorang untuk menyadari, merasakan, dan bertindak berdasarkan asumsi bahwa

ia memiliki hak untuk menjadi dirinya sendiri dan untuk mengungkapkan

perasaannya dengan bebas. Pelatihan asertif terdiri dari tiga komponen yaitu

modelling, role playing, social coaching and reward. Berikut adalah langkah

latihan asertif yang dapat dilakukan seorang pekerja sosial dalam membantu

oranglain untuk menjadi lebih asertif:

a. Secara bersama-sama mengidentifikasi situasi atau interaksi dimana seseorang

harus menjadi lebih asertif. Carilah informasi mengenai pengetahuan tentang

orang tersebut, dan dari pembahasan mendalam tentang interaksi-interaksi

dimana orang yang bersangkutan merasa harus menjadi lebih asertif. Anda

juga dapat meminta orang tersebut untuk menyimpan sebuah buku harian

yang mencatat tentang interaksi-interaksi dimana ia merasa kesal karena

bersikap tidak asertif, dan interaksi-interaksi dimana ia bersikap agresif secara

berlebihan

b. Mengembangkan secara bersama beberapa strategi bagi seseorang untuk

menjadi lebih asertif. Tugas-tugas kecil dengan sebuah kemungkinan yang

tinggi bagi hasil-hasil yang memuaskan harus diberikan terlebih dahulu.

Diskusi dan persiapan harus dilakukan untuk bersiap menghadapi segala


26

kemungkinan jawaban yang ada. Bagi orang yang pada umumnya pemalu,

tertutup dan nonasertif dalam semua hubungan interpersonal, maka hal

tersebut akan menjadi penting untuk mengeksplor dan menjelaskan secara

rinci hubungan antara perilaku dan perasaan nonasertif terhadap kekesalan

atau rendah diri.

c. Memainkan peran menjadi sebuah teknik yang berguna dalam mempersiapkan

diri untuk menjadi lebih asertif. Si penolong pada tahap pertama memodelkan

sebuah strategi asertif dengan memainkan peran orang yang pemalu dan orang

yangpemalu tersebut berperan sebagai orang yang asertif. Kemudian

permainan peran ditukan, teknik seoertu ini terus dilatih hingga orang pemalu

nyaman untuk berlaku asertif pada orang lain.

d. Memperkuat seseorang yang tidak asertif dengan beberapa pedoman untuk

melatih diri sendiri bersikap asertif melalui beberapa bacaan. Berikan

penghargaan bagi tindakan-tindakan yang telah dilakukan secara tepat.

1. Thought stopping

a. Sasaran: orang dengan pemikiran negatif yang biasanya disertai panic

disorder kecemasan dan agoraphobia.

b. Tujuan: menahan pemikiran negatif yang menyulitkan secepat

mungkin dan menggantinya dengan pikiran positif.


27

Prosedur:

misal, pekerja menjadi malas untuk mengerjakan pekerjaan yang diberikan

oleh atasannya karena tidak suka dengan cara atasannya memberikan

perintah shingga pekerjaan yang dimaksud terasa sangat berat untuk

dikerjakan padahal belum dimulai.

a. Pertama peksos meminta klien untuk memikirkan hal-hal negatif itu

(misalnya:”saya ingin menjambak atasan saya dia memberikan tugas

dengan marah-marah saya benci cara dia”).

b. Kemudian klien diminta untuk mengangkat jari telunjuk ke atas saat

pikiran itu muncul.

c. Peksos dengan segera berteriak “stop” dan mengatakan bahwa pikiran

itu harus dihentikan.

d. Pola ini terus dilakukan sampai klien dapat menghentikan pikiran itu

jika mendengar kata stop.

e. Peksos meminta klien untuk melakukannya sendiri. (setiap kali

memikirkan hal negatif klien mengatakan stop pada dirinya sendiri).

f. Setelah pikiran negatif dapat dihentikan klien di minta untuk

memikirkan hal positif yang tidak ada hubungannya dengan pikiran

negatifnya.
28

2. Terapi realitas

Sasaran: individu yang memiliki masalah perilaku

Tujuan: membatu individu mengevaluasi perilakunya

Prosedur:

a. Wants: mendiskusikan apa yang diharapkan dan diinginkan klien.

b. Directions and doing: mendiskusikan apa yang saat ini dilakukan.

c. Evaluation: apakah yang dilakukan saat ini dapat mewujudkan

keinginan klien?

d. Planning and commitment: klien dan peksos merencanakan aksi dan

membuat komitmen.

e. Bentuk kelompok yang akan mengikuti terapi realitas berjumlah antara

5 – 15 orang, memiliki permasalahan psikologis yang sama,

membutuhkan psikoterapi, dan bersedia mengikuti terapi kelompok.

f. Mengapa harus berkelompok? Adanya dukungan dari individu-

individu yang senasib sehingga setiap anggota kelompok dapat

menyadari bahwa ia bukan satu-satunya orang yang mengalami

masalah. Selain itu, terapi kelompok juga memungkinkan anggota

kelompok belajar dari pengalaman anggota kelompok lain yang

berhasil mengatasi masalahnya dengan strategi tertentu.


29

2.3 Intervensi Pekerjaan Sosial


2.3.1 Konseling

Konseling adalah proses dimana seorang profesional terlatih

memberikan dukungan dan pedoman pada orang lain dalam sebuah tatanan

individu atau kelompok. Konseling menyediakan bantuan ketika seseorang

mengalami tekanan dalam kehidupan mereka setelah mengalami kejadian-

kejadian traumatis. Konseling juga meliputi pemberian nasihat, seperti dalam

pedoman-pedoman karir.

Menurut Corey (2010:318) mengatakan bahwa tujuan-tujuan

konseling yaitu: Penyusunan kembali kepribadian, penemuan makna dalam

hidup, penyembuhan gangguan emosional, penyesuaian terhadap masyarakat,

pencapaian kebahagiaan dan kepuasan, pencapaian aktualisasi diri, peredaan

kecemasan, serta penghapusan tingkah laku maladaptif dan belajar pola-pola

tingkah laku adaptif.

Zastrow dalam Edi Suharto (2009) mengatakan bahwa, “Konseling

pada dasarnya merupakan suatu keahlian yang diperoleh melalui pendidikan

dan pelatihan khusus. Namun demikian konseling bukanlah suatu peristiwa

mistik”. Meskipun pelatihan dan pengalaman dalam konseling sangat penting,

setiap orang memiliki potensi untuk memberikan pertolongan kepada orang

lain melalui proses mendengar dan berbicara mengenai masalah-masalah yang

dihadapinya. Namun hal ini bukan berarti konseling dapat dilakukan oleh

siapa saja.
30

Dalam bidang Pekerjaan Sosial Industri (PSI), khususnya dalam model

pelayanan sosial bagi pegawai, pelayanan konseling merupakan trademark

atau ciri khas intervensi dalam membantu mengatasi problema sosial yang

dihadapi para pegawai. Konseling adalah salah satu dalam gugus pendekatan

pekerjaan sosial dengan individu (social case work).

Zastrow dalam Edi Suharto (2009) mengatakan bahwa: “proses

konseling dapat dilakukan melalui tiga tahap, yaitu membangun relasi,

mengeksplorasi masalah secara lebih mendalam dan mengeksplorasi alternatif

solusi untuk memecahkan masalah”. Teknik-teknik yang diperlukan dalam

konseling antara lain: small talk, empati, ventilation, support, confrontation,

advice giving and counseling.

2.3.2 Konsep Metode Praktik Pekerjaan Sosial

a. Konsep Metode Sosial Casework

Sosial Casework, yang merupakan metode dalam pekerjaan sosial

yang digunakan oleh pekerja sosial dalam berbagai pelayanan sosial dan

institusi. Metode ini bertujuan untuk membantu individu-individu secara

perorangan, untuk mengatasi masalah-masalah personal dan sosial.

Metode ini dilakukan dengan didasari oleh suatu proses relasi yang

bersifat individual, tatap muka.menurut Richmond (1922), bahwa sosial

Casework terdiri dari proses yang mengembangkan kepribadian melalui

penyesuai secara sadar individu-individu, diantara orang-orang dan

lingkungan sosialnya. Casework mengembangkan perhatiannya dalam


31

bidang keluarga, dinamika keluarga dan interaksi anggota keluarga dengan

hasil bahwa keluarga merupakan lembaga yang potensial untuk digunakan

dalam melakukan intervensi terhadap individu.

Sosial Casework ditujukan untuk membantu individu dan keluarga

yang mengalami masalah eksternal dan lingkungan, selain masalah di

dalam diri individu itu sendiri; sosial Casework menggabungkan unsur-

unsr-unsur psikologis dan sosial; dalam pelaksanaan praktek pekerjaan

sosial dengan individu dan keluarga (sosial Casework), terdapat 2 (dua)

keterampilan utama yang diperlukan, yaitu wawancara (interview) dan

konseling (counseling).

b. Teknik dalam Metode Sosial Casework

Naomi Brill menyatakan bahwa terdapat beberapa Teknik yang

dapat digunakan oleh pekerja sosial dalam menangani klien individu dan

keluarga, yaitu:

1) Small talk

Teknik ini digunakan oleh pekerjaan sosial pada saat kontak

permulaan dengan klien. Tujuan utama small talk adalah terciptanya

suatu suasana yang dapat memberikan kemudahan bagi keduanya

untuk melakukan pembicaraan sehingga hubungan selanjutnya dalam

proses intervensi akan berjalan sesuai dengan yang diharapkan.


32

2) Ventilation

Teknik ini digunakan oleh pekerja sosial untuk membaawa

kepermukaan perasaan-perasaan dan sikap-sikap yang diperlukan,

sehingga perasaan-perasaan dan sikap-sikap tersebut dapat

mengurangi masalah yang dihadapi klien. Pekerja sosial dituntut untuk

dapat menyediakan kemudahan bagi klien dalam mengungkapkan

emosinya secara terbuka. Tujuan ventilation adalah untuk

menjernihkan emosi yang tertekan karena dapat menjadi penghalang

bagi gerakan positif klien. Dengan membantu klien menyatakan

perasaan-perasaannya, maka pekerja sosial akan lebih siap

melaksanakan tindakan pemecahan masalah serta dapat memusatkan

perhatiannya pada diri klien.

3) Support

Teknik memberikan semangat, menyokong dan mendorong

aspek-aspek dari fungsi klien, seperti kekuatan-kekuatan internalnya,

cara berperilaku dan hubungannya dengan orang lain. Support harus

didasarkan pada kenyataan dan pekerja sosial memberikan dukungan

terhadap perilaku atau kegiatan-kegiatan positif dari klien. Pekerja

sosial harus membantu klien apabila klien mengalami kegagalan dan

sebaliknya lebih mendorong klien apabila berhasil. Sebaiknya pekerja

sosial menyatakan terlebih dahulu aspek-aspek yang positif sebelum

menyatakan aspek-aspek negative dari situasi yang dialami klien.


33

4) Advice Giving and Counseling

Teknik ini berhubungan dengan upaya memberikan pendapat

yang didasarkan pada pengalaman pribadi atau hasil pengamatan

pekerja sosial dan upaya meningkatkan suatu gagasan yang didasarkan

pada pendapat-pendapat atau digambarkan dari pengetahuan

professional. Keberhasilan teknik ini ditentukan oleh kemampuan

klien mempergunakannya dan kemampuan pekerja sosial membuat

asesmen yang valid.

5) Logical Discussion

Teknik ini digunakan untuk memberikan kemampuan berfikir

dan bernalar untuk memahami dan menilai fakta dari suatu masalah,

untuk meihat kemungkinan alternatif pemecahannya dan untuk

mengantisipasi serta melihat konsekuensi-konsekuensi dalam

mengevaluasi hasilnya.

6) Afirmasi

Teknik ini bertujuan untuk membuat klien meyakini kalimat-

kalimat positif sebagai peneguh kemampuan klien.

Prinsip-prinsip dalam praktek bimbingan sosial perorangan

(principles of casework practice) tidak terpisah dari pada prinsip-

prinsip umum pekerjaan sosial. Prinsip- prinsip social case work ini

dilaksanakan pada seluruh kegiatan dalam praktek case work dan


34

dimulai pada saat pertama terjadinya hubungan pekerjaan sosial

dengan klien dan sebelum pekerjaan sosial mengetahui klien secara

luas. Prinsip- prinsip bimbingan sosial perorangan (social case work)

dibagi menjadi dua, yaitu:

c. Prinsip- prinsip umum

Prinsip ini digunakan untuk semua bimbingan social perorangan yang

dipergunakan bagi semua macam pekerjaan bimbingan sosial perorangan.

Macam- macam prinsip umum pada social case work yaitu :

a) Prinsip penerimaan (the principle of acceptance)

Ialah bagaimanapun keadaannya klien, pekerja sosial harus dapat

menerima menurut kenyataan keadaannya secara wajar dan

dihargai atau dihormati sebagi seorang manusia dnegan segala

sifat-sifat yang khusus.

b) Prinsip hubungan (the principle of communication)

Pekerja sosial harus dapat menciptakan hubungan yang serasi

dengan klien. Sehingga klien mau dan bersedia mengemukakan

segala kesukaran yang dialami dan terbuka hatinya untuk

menceritakan permasalahannya.

c)  Prinsip individualisasi (the principle  of individualization)

Setiap klien haruslah dipandang sebagai suatu individu yang

berdiri sendiri, yang tidak sama dan berbeda dengan klien lainya.
35

Perbedaan itu disebabkan adanya perbedaan pengalaman dan latar

belakang kehidupannya.

d) Prinsip partisipasi (the principle of participation)

Bahwa klien sendiri yang akan ditolong oleh pekerja sosial harus

berpartisipasi secara aktif dalam usaha-usaha pertolongan yang

diberikan.

e) Prinsip kerahasiaan (the principle of confidentiallity)

Menyangkut hubungan kerja sama antara pekerja sosial dengan

klien yang berkaitan dengan segala pembicaraan dan keterangan-

keterangan mengenai diri klien yang dikemukakannya, maka

pekerja sosial harus dapat merahasiakan dan menyimpannya, serta

pekerja sosial tidak boleh memberitahukan nya kepada siapapun

tanpa mendapatkan persetujuan  atau izin dari klien yang

bersangkutan.

f) Prinsip kesadaran diri pekerja sosial (the principle of caseworker

self-awarnes)

Seorang pekerja sosial harus menyadari bahwa dirinya adalah

pekerja sosial yang menghadapi klien dan tak boleh menonjolkan

motif pribadinya.
36

d. Prinsip dasar pada bimbingan sosial perseorangan adalah:

a) Penerimaan, seorang pekerja sosial harus mau menerima dan

menghormati penerima pelayanan (klien) dalam setiap kondisi

yang dialaminya.

b) Komunikasi, antara pekerja sosial dan klien harus saling memberi

dan menerima informasi.

c) Individualisasi, pekerja sosial harus memahami, menerima bahwa

klien sebagai pribadi yang unik, dalam arti berbeda antara individu

yang satu dengan individu lainnya.

d) Pertisipasi, pekerja sosial harus ikut serta secara langsung dalam

membantu mengatasi permasalahan klien.

e) Kerahasiaan, pekerja sosial harus mampu merahasiakan informasi

yang diberikan oleh klien.

f) Kesadaran diri, sebagai manusia pekerja sosial menyadari akan

respon klien serta motivasi dan relasi bantuan profesional.

Anda mungkin juga menyukai