Anda di halaman 1dari 7

Ragam Upacara Adat Papua dan Filosofinya

1. Upacara Adat Papua: Bakar Batu, Ritual Masak Bersama-sama

Upacara adat Papua yang pertama adalah upacara bakar batu yang menjadi salah satu bentuk
syukur bagi masyarakat Papua. Upacara ini merupakan tradisi, di mana masyarakat Papua
melakukan sebuah ritual memasak bersama-sama.

Pada perkembangannya, upacara bakar batu ini memiliki nama lain yang berbeda-beda, seperti
Barapen di Jayawijaya, Kit Oba Isago di Wamena, dan Mogo Gapil di Paniai.

Biasanya, upacara bakar batu dilakukan oleh suku pedalaman seperti Nabire, Lembah Baliem,
Pegunungan Tengah, Paniai, Pegunungan Bintang, Yahukimo dan Dekai. Dalam sejarahnya,
upacara bakar batu bagi masyarakat di pegunungan tengah Papua merupakan pesat untuk
membakar daging babi.

Akan tetapi, sebagai bentuk toleransi, saat ini masyarakat Papua tidak harus atau tidak selalu
membakar babi, terkadang mereka juga membakar sapi, kambing maupun ayam.

Upacara batu bakar dilakukan untuk menyambut berita kebahagiaan seperti dilaksanakannya
perkawinan adat, kelahiran, penobatan kepala suku hingga mengumpulkan prajurit ketika akan
pergi berperang.

Selain itu, upacara bakar batu juga menjadi simbol dari kesederhanaan yang dimiliki oleh
masyarakat Papua yang selalu menjunjung persamaan hak, keadilan, ketulusan, kekompakan,
kejujuran hingga keikhlasan yang membawa perdamaian.
Upacara bakar batu disebut bakar batu, karena prosesi membakar batu hingga batu tersebut panas
membara, lalu setelah batu tersebut panas barulah masyarakat akan menumpuk makanan di
atasnya untuk dimasak hingga matang.

2. Koteka atau Holim

Koteka merupakan bagian dari pakaian adat Papua yang berfungsi untuk menutupi kemaluan
penduduk pria asli Papua, sementara bagian tubuh lainnya dibiarkan terbuka sehingga nyaris
telanjang. Koteka, secara harfiah memiliki makna sebagai pakaian. Koteka juga disebut dengan
horim atau bobbe.

Koteka terbuat dari bahan kulit labu air yang telah dihilangkan biji dan buahnya. Labu air yang
dipilih harus yang sudah tua karena labu yang tua jika dikeringkan mempunyai tekstur yang
keras dan awet. Labu tua tersebut ditanam di dalam pasir atau tanah kemudian dibakar agar lebih
mudah untuk mengeluarkan biji dan buahnya. Setelah berhasil dikeluarkan biji dan buahnya,
labu dikeringkan dengan cara diangin-anginkan di atas perapian.

Bentuknya panjang seperti selongsong dan ujungnya meruncing seperti kerucut atau lebih mirip
batang buah wortel. Di bagian ujung koteka diberi bulu ayam hutan atau bulu burung.

Koteka dipakaikan ke bagian vital pria. Agar tidak mudah lepas, di kiri dan kanannya terdapat
tali agar koteka dapat melilitkan tali tersebut ke bagian pinggang penggunanya. Bagi laki-laki
yang masih perjaka, koteka dipakai dengan posisi tegak lurus ke atas. Sementara bagi laki-laki
yang memakai koteka dengan posisi ke atas dan miring ke kanan, melambangkan kejantanan dan
memiliki status sosial yang tinggi ataupun kebangsawanan.
Anggapan umum yang beredar mengatakan bahwa ukuran, baik panjang dan besar, koteka
melambangkan status pemakainya. Namun pada kenyataannya bukanlah demikian. Ukuran
koteka dipilih berdasarkan aktivitas apa yang sedang dilakukan

3. Rumah Adat Emawa

Mee/Ekagi. Disatu sisi Emawa dipahami sebagai sebuah rumah kebenaran,yang diartikan dengan:
tempat ini adalah tempat pendidikan, tempat membangun relasi dengan sesama, dan tempat mensyukuri
kehidupan dari Sang Pencipta atau yang disebut Ugatame.

4. Atowo

Atowo merupakan alat musik tradisional Papua yang memiliki bentuk seperti tabung
dengan ukuran yang tidak terlalu besar. Atowo terbuat dari kayu dan biasanya pada sisi
bagian luar dihiasi dengan ukiran. Atowo adalah alat musik pukul yang saat ini cukup
sulit untuk ditemukan keberadaannya. Atowo dimainkan dengan cara ditabuh
menggunakan teknik pukulan tertentu untuk menghasilkan irama yang sesuai.
5. Tari Yospan, Tarian Persahabatan Rakyat Papua

Tari yang merupakan kepanjangan dari yosim pancar ini adalah tarian pergaulan yang sering
dibawakan muda-mudi sebagai bentuk persahabatan.

Bila Anda berkunjung ke Papua, mungkin pernah melihat tarian yang satu ini. Tari yospan
namanya. Tari yang merupakan kepanjangan dari yosim pancar ini adalah tarian pergaulan yang
sering dibawakan muda-mudi sebagai bentuk persahabatan.

Tarian ini adalah penggabungan dua tarian dari rakyat Papua, yakni tari yosim dan tari pancar.
Yosim adalah tarian yang mirip poloneis dari dansa barat. Tari ini berasal dari Sarmi, kabupaten
di pesisir utara Papua, dekat Sungai Mamberamo. Ada pula sumber yang mengatakan jika yosim
berasal dari wilayah Teluk Saireri (Serui, Waropen). Sementara, pancar adalah tari yang
berkembang di Biak Numfor dan Manokwari pada awal tahun 1960-an.

Pada awal kelahirannya, gerakan-gerakan dalam tari pancar seperti “akrobatik” di udara, yakni
gerakan jatuh jungkir-balik dari langit. Gerakannya mirip daun kering yang jatuh tertiup angin –
dari pesawat tempur jet Neptune buatan Amerika Serikat yang dipakai Angkatan Udara Belanda
di Irian Barat. Awalnya, tarian ini disebut pancar gas, kemudian disingkat menjadi pancar.
Tari yosim pancar memiliki dua regu pemain yaitu regu musisi dan penari. Penari yospan lebih
dari satu orang dengan gerakan dasar yang penuh semangat, dinamik, dan menarik. Beberapa
jenis gerakannya yang terkenal seperti pancar gas, gale-gale, jef, pacul tiga, seka, dan lain-lain.

Keunikan dari tarian ini adalah pakaian, aksesori, dan alat musik. Alat musik yang dipakai untuk
mengiringi tarian ini antara lain gitar, ukulele (juk), tifa, dan bass akustik (stem bass).

Tari yospan sudah sangat populer dan sering ditampilkan pada saat acara-acara adat, kegiatan
penyambutan, dan festival seni budaya. Tari ini juga biasa ditampilkan di festival-festival budaya
di berbagai negara.

6. Busur Panah Papua

Busur dan anak panah adalah salah satu senjata tradisional Papua Barat yang digunakan untuk
berburu babi hutan dan binatang lainnya. Busur dan anak panah juga jadi senjata Papua yang
selalu dibawa bersama tombak. Kegunaan lain dari panah adalah sebagai alat perang.
Perbedaannya terletak pada bahan yang digunakan untuk mata panahnya.

Untuk keperluan berburu hewan adalah menggunakan besi bambu. Di sisi lain, masyarakat adat
Papua memiliki aturan bahwa tombak yang digunakan saat akan berperang terbuat dari tulang
binatang. Panah juga digunakan sebagai hiasan rumah di beberapa bagian Papua, seperti Irian
Jaya, Wamena, dan Kururu. Panah di area ini hanya untuk koleksi di rumah.
Koleksi busur dan anak panah tidak boleh sembarangan diletakkan di dinding rumah untuk
menghormati budaya panah. Mengumpulkan busur dan anak panah sudah menjadi bagian dari
masyarakat. Jadi mencari tempat jual anak panah tidaklah sulit. Biasanya anak panah dapat
diperjualbelikan di pasar untuk keperluan koleksi atau dipesan langsung dari pengrajin anak
panah.

Pada zaman modern, senjata tradisional Papua ini telah mengalami banyak perkembangan dan
perubahan untuk modernisasi. Hasilnya adalah panahan dengan teknologi dan alat yang sama.
Yang membedakan adalah tujuan dari kegiatan tersebut. Panahan adalah untuk rekreasi, dan
busur dan anak panah tradisional Papua adalah sarana bertahan hidup.

7. Akai bipa mare

Akai bipa mare


Ata Mare mare raune
Akai bipa mare
Ata Mare mare raune

Karya desa anamore


Pokani mau waya Ima Moko maku
8. Kue Sagu Bagea

Kue bagea sagu merupakan salah satu kue khas Papua yang dibuat dari tepung
sagu dan tepung kenari. Selain dikenal sebagai oleh-oleh khas Papua, kue
bagea sagu juga banyak dibuat di Maluku, Sulawesi Utara.

Kue manis ini berbahan dasar tepung sagu yang memiliki tekstur sedikit keras
ketika digigit. Biasanya, kue kering ini dicelupkan ke minuman terlebih dahulu
agar tekstur kerasnya menjadi sedikit lembut. Makanan ini sangat pas
dikonsumsi ketika sedang mengisi waktu luang atau saat hujan turun. Apakah
kamu pernah mencobanya?

Anda mungkin juga menyukai