Anda di halaman 1dari 23

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLTEKKES KEMENKES BENGKULU


JURUSAN PROMOSI KESEHATAN
Sekretariat : Jalan indragiri No. 03 Padang Harapan Bengkulu

JURNAL INTERNASIONAL STUNTING

EPIDEMIOLOGI

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLTEKKES KEMENKES BENGKULU

JURUSAN PROMOSI KESEHATAN

Sekretariat : Jalan Indragiri No. 03 Padang Harapan Bengkulu


KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
POLTEKKES KEMENKES BENGKULU
JURUSAN PROMOSI KESEHATAN
Sekretariat : Jalan indragiri No. 03 Padang Harapan Bengkulu

Nama : Hania Lestari Harahap

NIM : P05170021065

Tingkat : 1B Promosi Kesehatan

Mata Kuliah : Epidemiologi

Determinan Stunting Anak Usia 24-59 Bulandi Kabupaten Kulon Progo 2019

Abstrak
Penelitian ini berkaitan dengan stunting pada anak di Indonesia dengan z-score kurang dari -2
Standar Deviasi (SD) dan kurang dari -3 SD. Hasil studi pendahuluan menunjukkan prevalensi
stunting tertinggi yaitu 22,6%, di Puskesmas Temon II Kabupaten Kulon Progo. Penelitian ini
bertujuan untuk mengkaji determinan stunting pada anak usia 24-59 bulan. Penelitian ini
dilaksanakan pada bulan September 2018–Mei 2019. Desain penelitian ini adalah observasional
analitik dengan desain studi kasus-kontrol. Sampel penelitian adalah 60 anak usia 24-59 bulan.
Metode yang digunakan adalah proportional sampling, sedangkan analisis data menggunakan
chi-square dan regresi logistik. Analisis uji statistik menunjukkan adanya hubungan yang
bermakna antara anak stunting dengan faktor asupan energi (p-value = 0,030; = 0,05; CI = 95% ).
Faktor risiko adalah asupan energi, asupan protein, menderita ISPA, dan diare. Faktor yang tidak
berisiko adalah status imunisasi. Faktor protektif adalah akses air bersih dan riwayat pemberian
ASI eksklusif. Faktor yang paling berpengaruh terhadap stunting anak usia 24-59 bulan adalah
asupan energi.

Kata kunci: determinan, asupan energi, stunting

Pengantar

Stunting merupakan masalah gizi yang menjadi perhatian negara berkembang khususnya.1 Stunting, atau
terlalu pendek untuk usia seseorang, didefinisikan sebagai tinggi badan lebih dari dua standar deviasi (SD)
di bawah median Standar Pertumbuhan Anak Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).2 Malnutrisi terjadi
selama kehamilan dan periode bayi baru lahir.

Anak dianggap stunting dan sangat stunting jika panjang dan tinggi badan berdasarkan rentang usia kurang
dari Rujukan Pertumbuhan WHO-MulticenterStudi (MGRS) standar median.3 Kementerian Kesehatan RI
menilai nilai z-score anak stunting kurang dari -2 SD dan anak stunting parah kurang dari -3 SD.4 Wasting
pada anak-anak adalah gejala kekurangan gizi akut, biasanya karena asupan makanan yang tidak mencukupi
atau tingginya insiden penyakit menular, seperti yang ditunjukkan oleh rasio berat badan terhadap tinggi
badan kurang dari -2 SD median Standar Pertumbuhan Anak WHO.5
KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
POLTEKKES KEMENKES BENGKULU
JURUSAN PROMOSI KESEHATAN
Sekretariat : Jalan indragiri No. 03 Padang Harapan Bengkulu

Anak-anak yang menderita retardasi pertumbuhan karena diet rendah atau infeksi berulang cenderung
memiliki risiko lebih besar untuk sakit dan meninggal. Stunting adalah akibat dari kekurangan gizi jangka
panjang dan sering mengakibatkan keterlambatan menstruasi perkembangan intelektual, kinerja sekolah
yang buruk, dan penurunan kapasitas intelektual. Ini, pada gilirannya, mempengaruhi produktivitas ekonomi
di tingkat nasional. Wanita bertubuh pendek memiliki risiko lebih besar untuk komplikasi obstetrik karena
panggul yang lebih kecil. Wanita kecil memiliki risiko lebih besar melahirkan bayi dengan berat badan lahir
rendah, yang berkontribusi pada siklus malnutrisi antargenerasi. Sebagai bayi dengan berat badan lahir
rendah atau pertumbuhan intrauterin yang terhambat, mereka cenderung lebih kecil saat dewasa.5

Menurut Riset Kesehatan Dasar Nasional (Riset Kesehatan Dasar) oleh Badan Litbangkes Kementerian
Kesehatan, prevalensi stunting di Indonesia secara keseluruhan turun dari 37,2% pada tahun 2013 menjadi
30,8% pada tahun 2018.6 Persentase pengerdilan tahunan menurut Status Pemantauan Gizi (Pemantauan
Status Gizi/PSG) adalah 28,9% pada tahun 2014, 29% pada tahun 2015, 27,5% pada tahun 2016, dan
29,6% pada tahun 2017. Di Provinsi Yogyakarta, prevalensi stunting sedikit lebih rendah-13,86% pada
tahun 2017, turun menjadi 12,37 pada tahun 2018.6
Berdasarkan kajian Rahmayana,7 anak-anak berusia 24-59 bulan dari Bangladesh, India, dan Pakistan
berada pada risiko yang lebih besar dari obstruksi. Faktor penyebab harus
Hendraswaridkk,Determinan Stunting Anak Usia 24-59 Bulan di Kabupaten Kulon Progo

diketahui dapat mengontrol kejadian stunting. Diantaranya adalah asupan makanan yang tidak mencukupi,
penyakit menular, kurangnya pengetahuan ibu, pola asuh yang buruk, kondisi yang tidak sehat, dan
pelayanan kesehatan yang rendah.1,8 Dari jumlah tersebut, menurut United Nations Children's Fund
(UNICEF), faktor langsung dan tidak langsung paling mempengaruhi status gizi anak dan penyebab gizi
buruk. Asupan makanan dan penyakit dapat secara langsung menyebabkan rendahnya gizi, sementara ada
tiga penyebab tidak langsung dari kekurangan gizi – ketahanan pangan, pola pengasuhan anak, dan layanan
kesehatan dan lingkungan. Berdasarkan permasalahan tersebut dan masih tingginya prevalensi stunting pada
anak, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui penyebabnya.9 Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui determinan stunting pada anak usia 24-59 bulan.

Metode

Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan desain case-controlled. Penelitian
dilaksanakan pada bulan September 2018–Mei 2019 di Puskesmas Temon II Kabupaten Kulon Progo.
Populasi adalah semua anak usia 24-59 bulan. Sampel kasus adalah 30 anak stunting; sampel kontrol adalah
30 anak, bukan anak stunting. Responden adalah ibu-ibu kasus dan anak sampel kontrol. Pengambilan
sampel dalam penelitian ini adalah proportional sampling, diambil dari tujuh desa di Puskesmas Temon II.
Pemeriksaan anak di setiap desa dilakukan menurut kriteria inklusi dan eksklusi. Kriteria inklusi adalah
anak usia 24-59 bulan yang bertempat tinggal di daerah penelitian,

dengan batas z-score -2 SD hingga 2 SD. Ibu bersedia mengikuti penelitian dengan menandatangani
informed consent. Mereka dipilih secara acak mengikuti perbedaan proporsional

iuran yang ditentukan oleh masing-masing desa untuk terwakili secara merata.

Variabel riwayat pemberian ASI eksklusif diperoleh dari pengakuan responden terhadap pemberian ASI
selama 0–6 bulan. Asupan energi merupakan total energi yang bersumber dari makanan dan minuman
responden sebagaimana yang diinput dalam NutriSurvey 2007. “Rendah” adalah <80%, cukup 80%.
Asupan protein adalah

diambil dari total protein yang bersumber dari hewani dan nabati

protein yang didapat dan dimasukkan dalam Nutrisurvey 2007, lagi-lagi dengan kategori rendah <80% dan
cukup 80%. Status imunisasi berdasarkan buku Kesehatan Ibu dan Anak/KIA (Kesehatan Ibu dan
Anak/KIA) mengikuti syarat imunisasi dasar, sebagaimana diperoleh
7
Hendraswaridkk,Determinan Stunting Anak Usia 24-59 Bulan di Kabupaten Kulon Progo
sesuai dengan usia dan kebijakan pemerintah Program Pengembangan Imunisasi. Menderita Infeksi Saluran
Pernafasan Akut (ISPA) diperoleh dari pengakuan responden terhadap frekuensi anak sakit yang terkena
ISPA (TBC), batuk, pilek, dan pilek.

penyakit pernafasan) dalam satu tahun terakhir dengan kategori sering (≥6 kali setahun) dan jarang (<6 kali
setahun).

7
Hendraswaridkk,Determinan Stunting Anak Usia 24-59 Bulan di Kabupaten Kulon Progo
Angka kejadian diare diperoleh dari respondenpengenalan frekuensi anak sakit yang terkena diare dalam
satu tahun terakhir, dengan “sering” adalah 3 kali setahun dan “jarang” <3 kali setahun. Kesaksian
mengenai akses air bersih diperoleh dari responden

pengakuan dan pemeriksaan rumah responden.

Data diperoleh dari wawancara dengan kuesioner. Data asupan makanan responden diperoleh dari
wawancara berdasarkan kuesioner food recall 24 jam. Kemudian dianalisis dengan software NutriSurvey
2007 untuk mendapatkan persentase asupan energi dan asupan protein dibandingkan dengan angka
kecukupan gizi. Data penyakit menular (kejadian diare dan ISPA, September 2018 sampai Mei 2019)
dikumpulkan dari kesaksian responden dan buku register Puskesmas tahun sebelumnya (2018). Data
imunisasi primer dikumpulkan dari buku KIA dan register imunisasi Puskesmas Temon II. Sanitasi
lingkungan didasarkan pada penggunaan jamban dan akses air bersih.

Pengambilan data penelitian ini dilakukan oleh seorang enumerator, dengan tim gizi yang terdiri dari dua
ahli gizi dan tiga mahasiswa gizi terapan. Persiapan awal adalah pendataan di Puskesmas, kemudian kriteria
inklusi dan eksklusi dari responden terpilih. Jika responden cocok dengan inklusi, maka dilakukan
wawancara dengan menggunakan kuesioner. Status imunisasi pada kuesioner merupakan data sekunder dari
buku KIA. Kemudian tim nutrisi melakukan wawancara langsung untuk mengisi food recall 24 jam.
Wawancara dengan metode food recall 24 jam dilakukan dua kali dalam satu minggu dengan selang waktu
dua hari.

Analisis data meliputi univariat, bivariat, dan multivariat. Univariat melibatkan uji distribusi frekuensi.
Analisis bivariat menggunakan uji chi-square dengan taraf signifikansi (p-value = 0,05) dan CI 95%.
Interpretasi nilai odd ratio (OR) digunakan untuk menentukan risiko masing-masing faktor dan faktor yang
paling berpengaruh. Analisis regresi logistik multivariat dilakukan pada variabel hasil analisis bivariat
dengan nilai p-value < 0,25 untuk melihat faktor yang paling dominan. Penelitian ini telah disetujui oleh
Komite Etik Penelitian Kesehatan (KEPK) Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Yogyakarta
No.LB.01.01/KE-01/VII/249/2019.

Hasil

Tabel 1menunjukkan bahwa jenis kelamin dapat mempengaruhi tingkat stunting anak. Anak laki-laki lebih
banyak mengalami stunting (53,3%) dibandingkan anak perempuan, sedangkan yang tidak stunting lebih

7
Hendraswaridkk,Determinan Stunting Anak Usia 24-59 Bulan di Kabupaten Kulon Progo
banyak pada anak perempuan (46,7%) dibandingkan anak laki-laki. Pekerjaan ibu juga dapat mempengaruhi
tingkat stunting pada anak. Diketahui bahwa

7
Hendraswaridkk,Determinan Stunting Anak Usia 24-59 Bulan di Kabupaten Kulon Progo

anak stunting dan tidak stunting memiliki ibu yang tidak bekerja (66,7%) dibandingkan ibu yang bekerja
(63,3%). Pendidikan ibu juga dapat mempengaruhi tingkat stunting anak. Diketahui bahwa anak yang
stunting dan tidak stunting memiliki ibu dengan pendidikan menengah (80%) lebih tinggi daripada ibu yang
memiliki pendidikan rendah (83,3%).

Berdasarkan Tabel 2, riwayat pemberian ASI eksklusif berdasarkan hasil uji statistik menunjukkan tidak ada
hubungan antara riwayat pemberian ASI eksklusif dengan anak stunting (p-value = 0,588, CI 95%). Anak
yang tidak diberikan ASI Eksklusif memiliki resiko 0,64 kali lebih besar untuk mengalami stunting
dibandingkan dengan yang diberikan ASI Eksklusif, artinya ASI Eksklusif merupakan faktor proteksi
walaupun secara statistik tidak signifikan.

Faktor asupan energi dari hasil uji statistik menunjukkan adanya perbedaan kejadian anak stunting (p-value
= 0,017, CI 95%). Anak dengan asupan energi rendah memiliki peluang enam kali untuk mengalami
stunting dibandingkan dengan anak dengan asupan energi yang cukup. Menurut hasil tersebut, asupan
energi yang rendah merupakan faktor risiko anak stunting. Pada faktor asupan protein dari hasil uji statistik
tidak ada hubungan antara asupan protein dengan anak stunting (p-value = 0,605, CI 95%). Anak yang
asupan proteinnya rendah berpeluang 3,22 kali untuk mengalami stunting dibandingkan anak yang asupan
proteinnya cukup. Artinya asupan protein yang rendah merupakan faktor risiko anak stunting.

Faktor imunisasi tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan anak stunting (p-value = 1,00, 95%CI).
Namun anak yang tidak mendapat imunisasi dasar lengkap berpeluang 1,00 stunting dibandingkan anak
yang mendapat imunisasi dasar lengkap.

7
Hendraswaridkk,Determinan Stunting Anak Usia 24-59 Bulan di Kabupaten Kulon Progo
Menurut analisis uji statistik, imunisasi dasar lengkap bukan merupakan faktor risiko stunting.

Berdasarkan uji statistik, tidak ditemukan hubungan antara anak stunting yang sering menderita ISPA
dengan anak yang jarang menderita ISPA (p-value

= 0,210, 95% CI). Anak yang sering menderita ISPA memiliki peluang 2,78 kali lebih besar untuk
mengalami stunting dibandingkan anak yang jarang menderita ISPA. Hasil ini berarti bahwa anak yang
menderita ISPA memiliki faktor risiko yang tinggi untuk terjadinya stunting. Anak yang sering atau jarang
menderita diare tidak menunjukkan perbedaan antara anak yang stunting dan tidak stunting (nilai p = 1,00,
95% CI). Namun, anak yang sering menderita diare memiliki peluang 1,38 kali lebih tinggi untuk
mengalami stunting dibandingkan anak yang jarang menderita diare. Temuan ini berarti bahwa anak yang
sering menderita diare membawa faktor risiko stunting. Berdasarkan hasil uji statistik faktor akses air bersih
didapatkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara akses air bersih dengan anak stunting (p-
value = 0,422, 95%CI). Anak-anak yang mengkonsumsi un-

Tabel 1.Ciri-ciri Anak Stunting Usia 24-59 Bulan Dalam BekerjaWilayah Puskesmas Temon II Kabupaten
Kulon Progo

StuntingTidak Stunting
Variabel Kategori

n % n %
Jenis kelamin Pria 16 53.3 14 46.7
Perempua 14 46.7 16 53.3
n
Status pekerjaan Bekerja 10 33.3 11 36.7
ibu
Pengangg 20 66.7 19 63.3
ur
Tingkat Lebih 4 13.3 3 10
pendidikan ibu* rendah
Sekunder 24 80 25 83.3
Tersier 2 6.7 2 6.7
Catatan:*Tingkat pendidikan: Rendah = Kurang dari SMP; Menengah = Sekolah Menengah Atas; Tersier =
Perguruan Tinggi atau lebih tinggi.
7
Hendraswaridkk,Determinan Stunting Anak Usia 24-59 Bulan di Kabupaten Kulon Progo

Tabel 2. Hubungan Faktor Risiko Anak Stunting Usia 24-59 Bulan di Puskesmas Temon II Kabupaten
Kulon Progo

Stunting Buk Stuntin


an g
Variabel Kategori nilai-p ATAU 95% CI
n %
n %
Riwayat ASI ASI Eksklusif 9 30 12 40 0,588 0,643 0,221–
Eksklusif 1,873
Bukan ASI 21 70 18 60
Eksklusif
Asupan energi Rendah 12 40 3 10 0,017 6.000 0,047–
0,782
Memadai 18 60 27 90
Asupan protein Rendah 3 10 1 3.3 0,605 3.222 0,030–
3,168
Memadai 27 90 29 96.7
Status imunisasi Menyelesaikan 29 96.7 29 96.7 1.000 1.000 0,060-
16,763
Tidak lengkap 1 3.3 1 3.3
Menderita diare Sering 4 13.3 3 10 1.000 1.385 0,282–
6.796
Langka 26 86.7 27 90
Menderita ISPA Sering 9 30 4 13.3 0.210 2,786 0,751–
10,331
Langka 21 70 26 86.7
Akses air bersih Ya 17 56,7 21 70 0.422 0,560 0,193–
1,623
Tidak 13 43.3 9 30
Toilet Ya 29 96.7 29 96.7 1.000 1.000 0,060-
16,763
Tidak 1 3.3 1 3.3

7
Hendraswaridkk,Determinan Stunting Anak Usia 24-59 Bulan di Kabupaten Kulon Progo
Catatan:*berarti p-value < 0,05; ATAU = Rasio Ganjil; CI = Interval Keyakinan; ISPA = Infeksi Saluran
Pernafasan Akut

7
Hendraswaridkk,Determinan Stunting Anak Usia 24-59 Bulan di Kabupaten Kulon Progo

Tabel 3. Faktor yang Paling Mempengaruhi Stunting Balita Usia 24-59 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas
Temon II Kabupaten Kulon Progo

95% CI masa
untuk berlak
Variabel � Wald df Tanda masa
u (�)
tangan berlaku
(�)
Lebih
rendah Atas

Asupan -1.637 0,740 1 0,027 0,195 0,046 0,830


energi

Menderita -0,537 0,534 1 0,465 0,584 0,138 2.467


ISPA

Catatan:*nilai-p < 0,25; CI = Interval Keyakinan; ISPA = Infeksi Saluran Pernafasan Akut; df = derajat
kebebasan

air bersih memiliki peluang 0,56 kali lebih besar untuk mengalami stunting dibandingkan mereka yang
mengonsumsi air bersih. Artinya, akses terhadap air bersih merupakan faktor protektif atau preventif
terhadap stunting.

BerdasarkanMeja 2, faktor toilet tidak menemukan perbedaan stunting antara anak yang memiliki toilet
yang baik dan yang tidak (p-value = 1,00, CI 95%). Anak yang tidak menggunakan jamban yang baik
memiliki peluang 1,00 kali stunting dibandingkan anak yang menggunakan jamban yang baik. Dilihat dari
odds rationya, toilet bukan merupakan faktor risiko terjadinya stunting. Berdasarkan Tabel 3, variabel
asupan energi (p-value

= 0,027) merupakan faktor yang berhubungan bermakna dengan kejadian stunting pada anak usia 24-59
bulan setelah dikontrol dengan riwayat ASI eksklusif, asupan energi, asupan protein, status imunisasi,
kejadian diare, dan ISPA, dan toilet kondisi. Artinya, faktor asupan energi merupakan faktor protektif atau
pencegahan stunting pada usia 24-59-bulan.

8
Hendraswaridkk,Determinan Stunting Anak Usia 24-59 Bulan di Kabupaten Kulon Progo

Diskusi

Faktor-faktor yang diteliti dalam penelitian ini adalah faktor pemberian makan, meliputi pemberian ASI
eksklusif, asupan energi, dan asupan protein. Faktor pelayanan kesehatan meliputi status imunisasi dan
penyakit infeksi, ISPA, dan diare. Faktor sanitasi lingkungan terdiri dari akses air bersih dan jamban.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak yang tidak mendapatkan ASI eksklusif selama enam bulan
pertama memiliki risiko lebih besar untuk mengalami stunting. BerdasarkanMeja 2Hasil penelitian ini tidak
menemukan hubungan antara riwayat pemberian ASI eksklusif dengan kejadian stunting pada anak usia 24-
59 bulan di wilayah kerja Puskesmas Temon II Kabupaten Kulon Progo. Faktor pemberian ASI eksklusif
ditentukan sebagai faktor protektif atau faktor pencegah anak stunting. Penelitian ini sejalan dengan yang
dilakukan oleh Tariku, et al.,9 di Etiopia bahwa ASI eksklusif tidak berhubungan dengan stunting. Hal ini
mungkin disebabkan oleh kondisi stunting tidak semata-mata ditentukan oleh faktor status ASI eksklusif
dan faktor lain seperti kualitas makanan pendamping ASI, asupan gizi harian yang cukup, dan status
kesehatan bayi.11

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan

8
Hendraswaridkk,Determinan Stunting Anak Usia 24-59 Bulan di Kabupaten Kulon Progo
hubungan antara asupan energi dan stunting. Asupan gizi yang tidak mencukupi terutama dari total energi
berhubungan langsung dengan defisit pertumbuhan fisik pada anak. Konsumsi energi yang rendah
merupakan penyebab utama stunting pada anak di Indonesia.12

Penelitian ini mengungkapkan bahwa tidak ada hubungan antara asupan protein pada anak stunting usia 24-
59 bulan di wilayah kerja Puskesmas Temon II Kabupaten Kulon Progo. Namun, secara statistik, asupan
protein masih merupakan faktor risiko stunting. Hasil ini menunjukkan bahwa ada hubungan yang
signifikan antara konsumsi protein dengan kejadian stunting pada bayi. Penelitian ini menunjukkan bahwa
sebagian besar anak memiliki tingkat asupan protein yang cukup, namun secara statistik tidak ditemukan
hubungan antara tingkat asupan protein dengan anak stunting usia 24-59 bulan. Ada beberapa kemungkinan
alasan untuk tidak menemukan hubungan. Stunting terjadi dalam waktu yang lama, sehingga tingkat asupan
protein tidak bisa dianggap sebagai salah satu penyebabnya. Selain itu, asupan protein bukan satu-satunya
faktor yang mempengaruhi stunting.

Imunisasi adalah upaya untuk meningkatkan atau meningkatkan kekebalan seseorang terhadap suatu
penyakit secara aktif. Jika mereka terkena penyakit itu suatu hari, mereka tidak akan sakit atau hanya
mengalami gejala ringan.13Status imunisasi pada anak merupakan salah satu indikator kontak dengan
pelayanan kesehatan. Kontak dengan pelayanan kesehatan diharapkan dapat membantu memperbaiki
masalah gizi dalam jangka panjang. Status imunisasi juga diharapkan berpengaruh positif terhadap status
gizi jangka panjang.

Status imunisasi sejalan dengan hasil penelitian ini. Analisis statistik tidak menunjukkan hubungan antara
status imunisasi dengan stunting pada anak usia 24-59 bulan. Menurut uji statistik, faktor imunisasi bukan
merupakan faktor risiko stunting. kajian Sutriyawan,14 menyatakan bahwa tidak ada status imunisasi yang
bermakna dengan kejadian stunting. Meski anak diberikan imunisasi lengkap, bukan berarti anak terhindar
dari stunting. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan stunting adalah pengetahuan, ASI eksklusif,
sanitasi yang buruk karena tidak adanya jamban, saluran air yang tergenang, tempat sampah yang terbuka,
lingkungan yang tidak bersih, pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, pendapatan orang tua, jenis
kelamin. anak balita, BBLR

8
Hendraswaridkk,Determinan Stunting Anak Usia 24-59 Bulan di Kabupaten Kulon Progo

berat badan, lama melahirkan anak, dan ibu yang jarang mencuci tangan menggunakan air bersih dan
sabun.15

Namun berbeda dengan penelitian ini, salah satu penelitian yang dilakukan oleh Neldawati dalam Mugianti,
dkk.,21 menunjukkan bahwa status imunisasi memiliki hubungan yang signifikan dengan indeks status
gizi.Anak yang tidak diberikan imunisasi dasar lengkap tidak langsung menderita penyakit menular.
Imunitas anak dipengaruhi oleh faktor lain seperti status gizi dan adanya patogen. Ada bentuk herd
immunity atau kekebalan dalam imunisasi, dimana individu yang tidak diimunisasi tetap terlindungi karena
sebagian besar individu lain dalam kelompok tersebut kebal terhadap penyakit setelah mendapat
imunisasi.11

Infeksi merupakan faktor yang secara langsung mempengaruhi status gizi selain gizi yang cukup. Infeksi
menurunkan asupan makanan, mengganggu penyerapan nutrisi, menyebabkan hilangnya nutrisi secara
langsung, meningkatkan kebutuhan metabolisme atau kehilangan katabolik nutrisi, dan mengganggu
transportasi nutrisi ke jaringan target, termasuk asupan makanan. Salah satu penyakit menular, termasuk
diare, merupakan gejala penyakit saluran cerna atau penyakit lain di luar saluran pencernaan.

Hasil penelitian tidak sejalan dengan hasil penelitian ini bahwa tidak ada hubungan antara infeksi diare pada
anak stunting usia 24-59 bulan. Namun, diTabel 3Anak yang sering mengalami diare memiliki risiko 1,38
kali lebih besar untuk mengalami stunting, artinya infeksi diare merupakan faktor risiko terjadinya stunting.
Tidak adanya hubungan yang bermakna dalam penelitian ini karena dampak langsung diare yaitu penurunan
berat badan dibandingkan dengan stunting. Anak yang mengalami diare biasanya juga ditemukan anoreksia
dan dehidrasi. Jika tidak ditangani dengan baik, diare berdampak pada penurunan berat badan yang
merupakan tanda malnutrisi akut, sedangkan stunting menandakan malnutrisi kronis berulang. Faktor
lainnya adalah lamanya infeksi yang dialami.11

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dan diare adalah salah satu penyakit menular yang sangat rentan
terjadi pada anak-anak di bawah usia lima tahun. Masa anak-anak merupakan usia yang rentan terhadap
gangguan kesehatan khususnya ISPA karena sistem imunnya yang belum berkembang. Infeksi Saluran
Pernafasan Akut adalah peradangan akut pada saluran pernafasan atas dan bawah yang disebabkan oleh
infeksi bakteri, virus, atau rakhitis, baik dengan atau tanpa radang parenkim paru.16

Hasil penelitian ini tidak menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara penyakit infeksi ISPA
dengan stunting pada anak usia 24-59 bulan. Meskipun demikian, penyakit infeksi merupakan faktor risiko
terjadinya stunting. Hasil penelitian ini mengikuti penelitian yang dilakukan oleh Nasikhah di Kecamatan
8
Hendraswaridkk,Determinan Stunting Anak Usia 24-59 Bulan di Kabupaten Kulon Progo
Semarang Timur,16 yang menunjukkan bahwa riwayat penyakit menular, dalam hal ini infeksi saluran
pernapasan atas akut, merupakan faktor risiko yang tidak signifikan untuk stunting.

8
Hendraswaridkk,Determinan Stunting Anak Usia 24-59 Bulan di Kabupaten Kulon Progo
ing. Berbeda dengan penelitian Agrina dan Ameliwati,13 ada pengaruh yang signifikan antara status gizi
balita dengan ISPA. Hal ini disebabkan stunting dipengaruhi oleh frekuensi penyakit menular dan lamanya
asupan serta asupan zat gizi selama episode penyakit menular.17 Akses terhadap air bersih dan sanitasi
merupakan target keenam SDGs. Tanpa air bersih dan sanitasi yang memadai, penurunan prevalensi
stunting tidak akan tercapai.18Paparan terhadap lingkungan dan kebersihan yang buruk dapat
mengakibatkan stunting karena penyerapan nutrisi yang tidak memadai dan ketidakmampuan usus berfungsi
sebagai penghalang penyakit.19Tidak sejalan dengan penelitian ini bahwa tidak ada hubungan antara akses
air bersih dengan kejadian stunting pada anak usia 24-59 bulan di wilayah kerja Puskesmas Temon II.
Namun, hal tersebut merupakan faktor protektif atau pencegahan terjadinya stunting.

Dalam Kusumawati, et al.,11 penelitian Van der Hoek menemukan bahwa anak-anak dari keluarga dengan
fasilitas air bersih memiliki prevalensi diare dan stunting yang lebih rendah dibandingkan anak-anak dari
keluarga tanpa fasilitas air bersih dan toilet. Indikator jumlah anak jangka pendek adalah karena kurangnya
ketersediaan air minum yang bersih dan layak. Sebanyak 47% penduduk Indonesia minum air yang
mengandung kuman, padahal airnya sudah direbus dan 340 anak meninggal karena diare setiap minggunya
di Indonesia.12 Tidak ada hubungan antara stunting dengan akses air bersih sebagai sumber minuman.

Paparan terhadap lingkungan dan kebersihan sejalan dengan faktor sanitasi primer. Menurut penelitian
Yulestari,20 anak dengan stunting lebih banyak ditemukan pada keluarga dengan sanitasi dasar yang buruk.
Rumah tangga dengan sanitasi buruk memiliki kemungkinan 1,3 kali lebih besar memiliki anak stunting
dibandingkan rumah tangga dengan sanitasi dasar yang memadai. Dalam penelitian ini tidak ada hubungan
antara kepemilikan toilet dengan anak stunting usia 24-59 bulan, artinya faktor toilet ini bukan merupakan
faktor risiko stunting. Menurut penelitian ini, proporsi responden dengan jamban yang baik dan sumber air
bersih (sanitasi) lebih signifikan dibandingkan dengan sanitasi yang buruk.

Hasil uji regresi logistik padaTabel 3menunjukkan bahwa asupan energi merupakan faktor dominan yang
berhubungan dengan kejadian stunting pada anak usia 24-59 bulan di wilayah kerja Puskesmas Temon II.
Dalam penelitian Yensasnidar,18 ada hubungan yang signifikan antara asupan energi dengan kejadian
stunting pada siswa tersebut. Studi oleh Tessema, et al.,15 menunjukkan bahwa asupan protein dan energi
yang tidak memadai dapat menjadi prediktor kegagalan pertumbuhan linier masa kanak-kanak di pedesaan
Ethiopia. Sebagian besar asupan energi anak pada anak stunting dan non stunting berada di bawah perkiraan
kebutuhan rata-rata. Semua anak dengan defisiensi protein juga mengalami defisiensi energi. Median
kepadatan energi makanan pendamping ASI anak adalah 1,4 kkal/g, tanpa perbedaan bermakna antara

8
Hendraswaridkk,Determinan Stunting Anak Usia 24-59 Bulan di Kabupaten Kulon Progo

dan anak tidak stunting. Kajian Nova dan Afriyanti,19 menunjukkan bahwa kejadian stunting pada anak
sebagian besar terjadi pada anak yang asupan energinya kurang dari pada anak dengan asupan energi yang
cukup. Anak dengan asupan energi kurang dari 1,2 kali dari anak dengan asupan energi yang cukup,
mengalami stunting.11 Berdasarkan hasil teoritis dan faktual, penulis berasumsi bahwa asupan energi yang
rendah merupakan faktor dengan persentase tertinggi sebagai faktor stunting karena energi total
berhubungan langsung dengan defisit pertumbuhan fisik pada anak.

Upaya untuk meningkatkan asupan energi pada anak adalah dengan membuat makanan yang membuat anak
tertarik untuk mengkonsumsinya. Penyakit infeksi yang terjadi pada anak stunting mengakibatkan hilangnya
nafsu makan, sehingga konsumsi makanan anak menurun.12 Sebaliknya, pembinaan keluarga untuk
meningkatkan status gizi anak sangat penting. Pengembangan media promosi kesehatan terkait gizi anak
dan penyuluhan kepada keluarga dengan masalah gizi buruk pada anak perlu disesuaikan dengan
karakteristik keluarga. Media dan materi penyuluhan harus disesuaikan dengan tingkat pendidikan keluarga
agar efektifitas penyampaian informasi berjalan optimal. Misalnya, lembar balik dengan pilihan kalimat
mudah dipahami. Selain itu, penyegaran bagi kader yang memberikan pendidikan kesehatan, khususnya gizi
pada anak, sangat penting.

Kesimpulan

Karakteristik responden di Puskesmas Temon II Kulon Progo menurut jenis kelamin anak stunting lebih
banyak berjenis kelamin laki-laki sedangkan yang tidak stunting lebih banyak berjenis kelamin perempuan.
Ibu yang bekerja berkontribusi terhadap stunting daripada ibu yang menganggur dengan pendidikan
menengah. Faktor asupan energi memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian stunting pada anak
usia 24-59 bulan, sedangkan faktor pemberian makan (riwayat pemberian ASI eksklusif dan asupan
protein), status imunisasi, penyakit infeksi (mengalami diare dan ISPA), dan toilet tidak terkait dengan
stunting anak usia 24-59 bulan.

Faktor risiko anak stunting usia 24-59 bulan di wilayah kerja Puskesmas Temon II Kabupaten Kulon Progo
adalah faktor makanan (asupan energi dan protein), penyakit infeksi (diare dan ISPA). Faktor non-risiko
adalah imunisasi dan status toilet, sedangkan faktor protektif adalah riwayat pemberian ASI eksklusif dan
akses air bersih. Faktor stunting yang paling berpengaruh di wilayah kerja Puskesmas Temon II Kabupaten
Kulon Progo adalah asupan energi.

8
Hendraswaridkk,Determinan Stunting Anak Usia 24-59 Bulan di Kabupaten Kulon Progo

Rekomendasi

Meningkatkan upaya revitalisasi bagi keluarga sadar gizi tentang pentingnya peningkatan gizi seimbang.
kebutuhan anak untuk mencegah stunting. Meningkatkan sosialisasi kepada masyarakat mengenai stunting,
melalui media booklet atau penyuluhan dan membuat kebijakan seribu hari pertama kehidupan anak untuk
meningkatkan status gizi ibu hamil, ibu menyusui, dan balita. Memberikan informasi dan penyuluhan
pendidikan bagi praktisi tentang pemenuhan kebutuhan gizi seimbang pada balita untuk mencegah stunting.
Kemudian memberikan edukasi kepada ibu dengan balita, termasuk pencegahan pasca kehamilan yang pada
gilirannya mendorong mereka untuk berpartisipasi aktif dalam Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak. Dengan
begitu, tumbuh kembang anak dapat terpantau untuk mendukung upaya pencegahan stunting.

Singkatan

WHO: Organisasi Kesehatan Dunia; SD: Standar Deviasi; UNICEF: Dana Anak-anak Perserikatan Bangsa-
Bangsa; ISPA: Infeksi Saluran Pernafasan Akut; SDG: Tujuan Pembangunan Berkelanjutan; WHO-MGRS:
Studi Referensi Pertumbuhan Multisenter Organisasi Kesehatan Dunia; KIA: Kesehatan Ibu Anak; ATAU:
Rasio Ganjil; CI: Interval Keyakinan.

Persetujuan dan Persetujuan Etika untuk Berpartisipasi

Penelitian ini telah disetujui oleh Komite Etik Penelitian Kesehatan (KEPK) Politeknik Kesehatan
Kementerian Kesehatan Yogyakarta No.LB.01.01/KE-01/VII/249/2019.

Minat Bersaing

Penulis menyatakan bahwa tidak ada persaingan kepentingan finansial, profesional, atau pribadi yang
signifikan yang mungkin mempengaruhi kinerja atau presentasi karya yang dijelaskan dalam naskah ini.

Ketersediaan Data dan Materi

Data yang mendukung temuan penelitian ini tersedia dari penulis terkait atas permintaan yang wajar.

8
Hendraswaridkk,Determinan Stunting Anak Usia 24-59 Bulan di Kabupaten Kulon Progo

Kontribusi Penulis
CAH, YEP, TM, dan YW terlibat dalam studi desain, analisis data, kompilasi, dan revisi naskah. SH terlibat
dalam penyusunan jurnal publikasi. Semua penulis membaca dan menyetujui naskah akhir.

Pengakuan
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Politeknik Kesehatan Kemenkes Yogyakarta yang telah
mendanai penelitian ini.

Referensi
Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat STIKes Hang Tuah Pekanbaru. Masalah anak
pendek (stunting) dan intervensi

8
Hendraswaridkk,Determinan Stunting Anak Usia 24-59 Bulan di Kabupaten Kulon Progo

untuk mencegah terjadinya stunting (suatu kajian kepustakaan) masalah stunting dan intervensi pencegahan
stunting (tinjauan pustaka). Jurnal Kesehatan Komunitas. 2015; 2 (6): 254–61.
Trihono A, Tjandrarini DH, Irawati A, Utami NH, Tejayanti T, dkk.Pendek (stunting) di Indonesia, masalah
dan solusi. Sudomo M, editor. Jakarta: Lembaga Penerbit Balitbangkes; 2015.
Dinas Kesehatan Kabupaten Kulon Progo. Profil kesehatan Kabupaten Kulon Progo tahun 2016 (Data
2015). Wates: Dinas Kesehatan Kulon Progo; 2015.
Organisasi Kesehatan Dunia. Panduan interpretasi. Sistem Informasi Nutrisi Landacape. 2012. hal. 1–51
Riset Kesehatan Dasar. Hasil utama riset kesehatan dasar (RISKES-DAS). Jurnal Fisika A. 2018; 44 (8): 1–
200.
Dwi Pratiwi T, Yerizel E. Hubungan pola asuh ibu dengan status gizi balita di wilayah kerja puskesmas
Belimbing Kota Padang. Jurnal Kesehatan Andalas. 2016; 5 (3): 661–5.
Rahmayana. Hubungan pola asuh ibu dengan kejadian stunting anak usia 24-59 bulan di Posyandu Asoka II
wilayah pesisir Kelurahan Barombong Kecamatan Tamalate Kota Makassar tahun 2014. Al- Sihah: Jurnal
Ilmu Kesehatan Masyarakat. 2014; VI (2): 424–36.
Dana Anak-anak Perserikatan Bangsa-Bangsa. Memperbaiki gizi anak. Ituimperatif yang dapat dicapai
untuk kemajuan global. Legislatif NCSL. 2010.
Tariku A, Biks GA, Derso T, Wassie MM, Abebe SM. Stunting dan itu faktor penentu di antara anak-anak
berusia 6-59 bulan di Ethiopia. Jurnal Pediatri Italia. 2017.
Setiawan E, Machmud R, Masrul. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting pada anak usia
24-59 bulan di wilayah kerja Puskesmas Andalas Kecamatan Padang Timur Kota Padang tahun 2018. Jurnal
Kesehatan Andalas. 2018; 7 (2): 275–84.
Mugianti S, Mulyadi A, Anam AK, Najah ZL. Faktor penyebab anak usia stunting 25-60 bulan di
Kecamatan Sukorejo Kota Blitar. Jurnal Ners dan Kebidanan. 2018; 5 (3): 268–78.

8
Hendraswaridkk,Determinan Stunting Anak Usia 24-59 Bulan di Kabupaten Kulon Progo
Jakarta: Pusat Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Kesehatan; 2014.
Agrina S, Arneliwati. Analisa aspek balita terhadap kejadian infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) di
rumah. 2014; 5: 115–20.
Sutriyawan, Agung D. Hubungan status pekerjaan dan riwayat penya- kit infeksi dengan kejadian
stunting pada balita: studi retrospektif. J Kebidanan. 2020; 8 (2).
Tessema M, Gunaratna NS, Brouwer ID, Donato K, Cohen JL, McConnell M, dkk. Asosiasi antara
protein dan energi berkualitas tinggi asupan nutrisi, serum transthyretin, asam amino serum dan
pertumbuhan linier anak-anak di Etiopia. Nutrisi. 2018; 10 (11): 1-17.
Stephenson K, Amthor R, Mallowa S, Nungo R, Maziya-Dixon B, et Al. Mengkonsumsi singkong
sebagai makanan pokok menempatkan anak-anak berusia 2–5 tahun pada risiko asupan protein yang
tidak memadai, sebuah studi observasional di Kenya dan Nigeria. Jurnal Nutrisi. 2010; 9 (1): 9.
Kesehatan DuniaOrganisasi. Target nutrisi global WHA 2025: ringkasan kebijakan stunting. 2014; 9.
Yensasnidar, Adfar TD, Hastini B. Hubungan asupan energi, protein dan zink terhadap kejadian
stunting di SD Negeri 11 Kampung Jua Kecamatan Lubuk Begalung. 2019; 2 (1): 41–6.
Nova M, Afriyanti O. Hubungan berat badan, ASI eksklusif, MP-ASI dan asupan energi dengan
stunting pada balita usia 24-59 bulan di Puskesmas Lubuk Buaya. Jurnal Kesehatan Perintis (Perintis's
Health Jurnal). 2018; 5 (1): 39-45.
Yulestri. Analisis faktor-faktor sosio-ekonomi dan lingkungan ter-hadap kejadian stunting pada balita
10-59 bulan di Pulau Jawa tahun 2010 (analisis data Riskesdas 2010). 2013. hal. 1-13.
Mugianti S, Mulyadi A, Anam AK, Najah ZL. Faktor Penyebab Anank Stunting Usia 25-60 Bulan di
Kecamatan Sukorejo Kota Blitar. Jurnal

10
Hendraswaridkk,Determinan Stunting Anak Usia 24-59 Bulan di Kabupaten Kulon Progo

10

Anda mungkin juga menyukai