KELOMPOK 3
NAMA :
M Agung Satria C1A017079
Febrian Alexsander Nababan C1A020006
Syabina Ketrin Purwani C1A020009
LIBERRALISASI DI NEGARA BERKEMBANG DAN NEGARA INDUSTRI
Liberalisasi di NSB
merupakan usaha pemerintah yang bertujuan untuk
memperbaiki kinerja dari perusahaan-perusahaan pemerintah melalui peningkatan
efisiensi, likuidasi, atau swastanisasi. Liberalisasi di NSB mempunyai beberapa
perbedaan bila dibandingkan dengan liberalisasi di negara industri. Perbedaan-
perbedaan tersebut, meliputi setidaknya pada dimensi berikut (Wilber & Jameson,
1992):
1. Liberalisasi di NSB menitikberatkan pada pengurangan defisit anggaran dan
tingkat inflasi. Sedangkan di negara-negara industri, liberalisasi ditujukan untuk
meningkatkan anggaran pemerintah melalui penjualan aset-aset negara kepada
swasta.
2. Tujuan pelaksanaan liberalisasi di NSB ditekankan pada pencapaian program
redistribusi pendapatan, sedang di negara industri liberalisasi lebih ditujukan
pada pembentukan kelas menengah baru sebagai pendukung sistem pasar.
3. Terbatasnya kelas menengah di NSB menyulitkan pembentukan modal melalui
pasar modal. Dengan meningkatnya kelas menengah di negara industri sebagai
akibat adanya liberalisasi, mendorong tumbuhnya investasi swasta.
4. Untuk meningkatkan modalnya, kebanyakan perusahaan swasta di NSB
lebih senang menggunakan sistem perbankan (utang pada bank) dibandingkan
menjual sahamnya di pasar modal. Sedangkan perusahaan swasta di negara
industri lebih menyukai menjual sahamnya melalui pasar modal dibandingkan
meminjam modal dari bank
5. Pelaksanaan liberalisasi di NSB tidak terlepas dari pertimbangan unsur
kedaerahan dan perbedaan etnik, dimana pertimbangan tersebut jarang ditemui
di negara-negara industri.
PERBEDAAN PENDEKATAN
Ada dua pendekatan kebijakan yang dapat diterapkan dalam program stabilisasi
ekonomi suatu negara (Wilber & Jameson, 1992). Kebijakan tersebut meliputi
kebijakan yang bersifat neo-konservatif atau kebijakan yang menitikberatkan pada
penyesuaian struktural dalam perekonomian.
Kebijakan yang bersifat neo-konservatif bertujuan untuk merubah pola kekuatan
politik dan ekonomi di negara tersebut. Kebijakan neo-konservatif biasanya
diwujudkan dalam bentuk liberalisasi perusahaan-perusahaan milik pemerintah.
Sedangkan kebijakan yang menitikberatkan pada penyesuaian struktural bertujuan
untuk mengubah tingkat harga barang-barang jadi (final good), barang setengah
jadi (intermediate good) dan faktor-faktor produksi. Kebijakan ini dilaksanakan
melalui
liberalisasi perdagangan, penentuan harga domestik yang didasarkan pada tingkat
harga di pasar internasional, meningkatkan pendapatan pemerintah melalui pajak,
perbaikan sistem administrasi perpajakan serta mengurangi defisit pemerintah
dengan jalan mengurangi subsidi pemerintah dan pengeluaran pemerintah.
ASPEK POLITIK PELAKSANAAN LIBERALISASI
Pelaksanaan liberalisasi perekonomian suatu negara tidak terlepas dari aspek
politik. Aspek politik tersebut meliputi (Wilber & Jameson, 1992):
1. Ideologi yang dianut
Negara yang bersifat liberal akan lebih cepat mengurangi campur tangan
pemerintah dalam perekonomiannya. Sebaliknya, campur tangan pemerintah
sulit untuk dikurangi pada negara yang ideologinya menitikberatkan pada
pemerataan.
2. Defisit anggaran dan krisis keuangan pemerintah
Sebagian besar perusahaan milik pemerintah merupakan penyumbang besar
dalam defisit anggaran pemerintah. Sebagai contoh, pada akhir tahun 1970-
an perusahaan pemerintah menyumbang defisit anggaran pemerintah antara
66% hingga 76%. Untuk mengatasi hal tersebut, liberalisasi dianggap sebagai
langkah yang paling cepat untuk mengatasi defisit tersebut.
3. Dominasi koalisi dan jaminan sosial
Pada umumnya, NSB yang menerapkan kebijakan substitusi impor diwarnai
dengan adanya koalisi yang kuat antara elit pemerintah terutama dari kalangan
militer, para manajer yang pro-pemerintah, organisasi buruh, pegawai negeri
dan para profesional dari kalangan menengah yang dekat dengan pemerintah.
Biasanya koalisi ini tidak begitu memperhatikan sektor industri kecil, sektor
pertanian dan sektor informal. Meskipun harus diakui, bahwa koalisi yang
mendominasi negara-negara nganut kebijakan industri subsidi impor ini juga
memberikan jaminan sosial kepada kalangan berpenghasilan rendah dan
organisasi buruh.
4. Terpeliharanya kekuasaan
Keberadaan BUMN memungkinkan bagi pemerintah untuk mempunyai akses
langsung terhadap lapangan kerja, dana dan status. Adanya BUMN memung-
kinkan bagi pemerintah untuk mengontrol secara langsung aktivitas ekonomi.
Akibatnya, secara langsung maupun tidak langsung hal ini akan menjaga
kekuasaan pemerintah.
5. Kelangsungan suatu pemerintahan
Hingga saat ini belum ada kesepakatan apakah liberalisasi lebih mudah
dilaksanakan di negara demokratis ataukah negara otoriter. Satu hal yang perlu
ditekankan di sini bahwa apapun sifat pemerintahan suatu negara, diperlukan
adanya dukungan yang cukup bagi kelangsungan pemerintahannya untuk
melaksanakan liberalisasi perekonomian.
BEBERAPA TREN PADA DEKADE 1980-AN
Sejarah mencatat setidaknya ada tiga krisis pada dekade 1980, yaitu: krisis
harga minyak, krisis utang luar negeri, dan krisis peran negara (Kuncoro, 1993).
Anjloknya harga minyak pada tahun 1983 dan 1986 terbukti membuat banyak
negara berkembang, terutama negara pengekspor minyak, kalang kabut. Krisis ini
mau tidak mau membuat para pengambil kebijakan di banyak negara mengkaji
ulang strategi pembangunannya dan melakukan serangkaian upaya yang dikenal
dengan nama penyesuaian struktural dan stabilisasi ekonomi Penyesuaian
struktural, pada dasarnya, merupakan bagian kebijakan pembangunan yang
bertujuan mengubah secara struktural sisi penawaran suatu perekonomian dengan
menghilangkan berbagai ketidaksempumaan pasar. Sedang tindakan stabilisasi
ekonomi dilakukan untuk mengendalikan sisi permintaan melalui kebijakan
makro ekonomi.
LIBERILISASI EKONOMI POLITIK DI NEGARA MAJU
Liberlisasi ekonomi politik di negara maju dapat memiliki dampak yang
signifikan pada ekonomi, politik, dan sosial. Beberapa materi yang terkait dengan
liberalisasi ekonomi politik di negara maju adalah sebagai berikut:
1.Liberalisasi perdagangan: Liberalisasi perdagangan adalah proses penghapusan
hambatan tarif dan non-tarif, serta kebijakan proteksionisme lainnya untuk
mempromosikan perdagangan internasional yang lebih bebas. Dalam negara maju,
liberalisasi perdagangan dapat memberikan akses ke pasar yang lebih besar dan
membuka peluang baru bagi industri dan bisnis yang ada.
Selama era bonanza minyak, kebijakan industri Indonesia lebih berorientasi pada
substitusi impor dan cenderung menjadi proteksionis Bank Dunia
mengidentifikasi empat kategon strategi perdagangan suatu negara. Keempat
kategori tersebut dan masing-masing karakteristiknya adalah
(1) strongly outward-oriented Kontrol perdagangan bdak ada atau sangat
rendah; sedikit atau tidak ada kontrol langsung dan pengaturan lisensi nilai
tukar diberlakukan sedemikian rupa sehingga nilai tukar efektif untuk
barang ampor dan ekspor hampir sama;
(2) Moderately out ward-oriented keseluruhan struktur insentif bas pada
produksi dalam negeri dan pada pasar ekspor, tingkat rata-rata dan
cakupan proteksi efektif untuk pasar dalam negert relatif rendah,
penggunaan kontrol langsung dan pengaturan lisensi relat terbatas,
(3) Moderately Inward-oriented keseluruhan struktur insentit menguntungkan
produksi untuk pasar dalam negen, penggunaan kontrol impor dan lisensi
cenderung ekstensif, terdapat bias kebijakan yang anti ekspor, nilai tukar
diniai terlalu tinggi (evenvalued);
(4) Strongly inward oriented tingkat rata-rata proteksi efektif relat tinggi
untuk pasar domestik dan cakupan tingkat proteksi relat uas,
kontrollangsung dan panjinan yang tidak mendukung ekspor diterapkan,
insent yang positif untuk komoditi ekspor non-tradisional relatif sedikit
atau bahkan tidak ada, na takar dinilai terlalu tinggi secara signifikan (WB,
1987) Tabel 152 menunjukkan bahwa orientasi perdagangan Indonesia
berubah dari penode onentasi moderately outward (1983-1973) menuga
periode orientasi moderates and (1973-85)
Berkah dari melonjaknya harga minyak pada 1970-an memungkinkan pemerintah
untuk menerapkan tingkat suku bunga di bawah tingkat keseimbangan pasar dan
menyalurkan kredit dengan suku bunga rendah pada sektor prioritas (Kuncoro,
1996) Ditopang oleh bantuan luar negeri dan melonjaknya penerimaan negara dan
minyak dan gas (migas), Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang cepat
dan neraca pembayaran yang relatif "sehat" sejak 1973. Pengeluaran pemerintah
yang dibiayai dengan pendapatan migas menjadi mesin utama pertumbuhan untuk
keseluruhan perekonomian. Ekspormigas juga menyumbang sebagian besar devis
Pendapatan dari migas memungkinkan Indonesia untuk membangun dasar industri
baik industri hulu maupun industri strategis, banyak di antaranya merupakan
badan usaha mik negara seperti baja, semen, dan pupuk, Inisiatif pemerintah
untuk membangun industri berat dicerminkan oleh kenaikan tajam dalam pangsa
barang-barang logam dan produksi hasil pengolahan industri berat antara tahun
1975 dan 1980 Sektor manufaktur berkembang dengan pesat selama fase
substitusi impor yang mudah
Titik balik dari rezim dengan pertumbuhan yang tinggi karena faktor minyak ke
masa pertumbuhan yang lebih lambat mulai pada tahun 1980-an mengakibatkan
Paket kebijakan 6 Mei 1986 menarik investor asing dengan beberapa insens baru.
Misalnya, mengganti sertifikat ekspor dengan sistem pengembalian bea masuk
(duty drawback) dan memungkinkan produsen dalam negeri untuk membeli input-
nya langsung dari pemasok asing. Proses dalam menghilangkan hambatan non-
tarif (NTBS Non-tariff barriers) terhadap produk impor dimulai pada 25 Oktober
1986, yang menghapus tarif atas 150 produk, lisensi untuk 165 produk, dan
melonggarkan restriksi 110 produk. Kebijakan ini berlanjut dengan serangkaian
deregulasi perdagangan seperti pada bulan Januari 1987, Desember 1987, 20
November 1988, 24 Desember 1988 (Djidin, 1997, Nasution, 1991). Secara
umum, rata-rata tingkat proteksi efektif untuk sektor manufaktur turun dari 86%
pada tahun 1987 menjadi 24% pada 1995. Demikian halnya dengan proporsi
industri yang out- put-nya dikenai restriksi NTBS, dari 44% dari total nilai
tambah pada 1986 menjadi 23% pada 1995 (Fane, 1996).
Gelombang Privatisasi di Dunia
Menurut UU Nomor 19 Tahun 2003 perihal Badan Usaha Milik Negara,
pengertian privatisasi adalah bentuk penjualan saham milik perusahaan
perseroan yang termasuk BUMN, kepada pihak lain dalam upaya
meningkatkan nilai perusahaan, memperluas kepemilikan saham dan
memperbesar manfaat bagi negara maupun masyarakat.
Adapun batas terkecil dari kepemilikan saham perseroan terbatas tersebut
dalam privatisasi adalah sebesar 51%, yang dimiliki oleh Negara Republik
Indonesia baik sebagian maupun keseluruhan.
Pada dasarnya, tujuan privatisasi adalah mendapatkan sumber dana baru
dalam rangka pertumbuhan negara, sumber Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN), serta peningkatan partisipasi kontrol dari
masyarakat.
Beberapa gelombang privatisasi di dunia, yakni :
Strategi Reformasi
Dalam program privatisasi gelombang pertama sampai dengan akhir Maret 1999,
pemerintah hanya mampu mandapatkan 394 juta dolar jauh lebih rendah dari target awal
sebesar 1,5 miliar dolar AS . Pada akhir bulan April pemerintah berhasil meningkatkan
pendapatan dari privatisasi sebesar sekitar 1 miliar dolar AS yang berasal dari penjualan
kedua Indofood, Telkom, dan Pelindo III.