Anda di halaman 1dari 16

Ekonomi Politik

KELOMPOK 3
NAMA :
M Agung Satria C1A017079
Febrian Alexsander Nababan C1A020006
Syabina Ketrin Purwani C1A020009
LIBERRALISASI DI NEGARA BERKEMBANG DAN NEGARA INDUSTRI
Liberalisasi di NSB
merupakan usaha pemerintah yang bertujuan untuk
memperbaiki kinerja dari perusahaan-perusahaan pemerintah melalui peningkatan
efisiensi, likuidasi, atau swastanisasi. Liberalisasi di NSB mempunyai beberapa
perbedaan bila dibandingkan dengan liberalisasi di negara industri. Perbedaan-
perbedaan tersebut, meliputi setidaknya pada dimensi berikut (Wilber & Jameson,
1992):
1. Liberalisasi di NSB menitikberatkan pada pengurangan defisit anggaran dan
tingkat inflasi. Sedangkan di negara-negara industri, liberalisasi ditujukan untuk
meningkatkan anggaran pemerintah melalui penjualan aset-aset negara kepada
swasta.
2. Tujuan pelaksanaan liberalisasi di NSB ditekankan pada pencapaian program
redistribusi pendapatan, sedang di negara industri liberalisasi lebih ditujukan
pada pembentukan kelas menengah baru sebagai pendukung sistem pasar.
3. Terbatasnya kelas menengah di NSB menyulitkan pembentukan modal melalui
pasar modal. Dengan meningkatnya kelas menengah di negara industri sebagai
akibat adanya liberalisasi, mendorong tumbuhnya investasi swasta.
4. Untuk meningkatkan modalnya, kebanyakan perusahaan swasta di NSB
lebih senang menggunakan sistem perbankan (utang pada bank) dibandingkan
menjual sahamnya di pasar modal. Sedangkan perusahaan swasta di negara
industri lebih menyukai menjual sahamnya melalui pasar modal dibandingkan
meminjam modal dari bank
5. Pelaksanaan liberalisasi di NSB tidak terlepas dari pertimbangan unsur
kedaerahan dan perbedaan etnik, dimana pertimbangan tersebut jarang ditemui
di negara-negara industri.
 PERBEDAAN PENDEKATAN
Ada dua pendekatan kebijakan yang dapat diterapkan dalam program stabilisasi
ekonomi suatu negara (Wilber & Jameson, 1992). Kebijakan tersebut meliputi
kebijakan yang bersifat neo-konservatif atau kebijakan yang menitikberatkan pada
penyesuaian struktural dalam perekonomian.
Kebijakan yang bersifat neo-konservatif bertujuan untuk merubah pola kekuatan
politik dan ekonomi di negara tersebut. Kebijakan neo-konservatif biasanya
diwujudkan dalam bentuk liberalisasi perusahaan-perusahaan milik pemerintah.
Sedangkan kebijakan yang menitikberatkan pada penyesuaian struktural bertujuan
untuk mengubah tingkat harga barang-barang jadi (final good), barang setengah
jadi (intermediate good) dan faktor-faktor produksi. Kebijakan ini dilaksanakan
melalui
liberalisasi perdagangan, penentuan harga domestik yang didasarkan pada tingkat
harga di pasar internasional, meningkatkan pendapatan pemerintah melalui pajak,
perbaikan sistem administrasi perpajakan serta mengurangi defisit pemerintah
dengan jalan mengurangi subsidi pemerintah dan pengeluaran pemerintah.
 ASPEK POLITIK PELAKSANAAN LIBERALISASI
Pelaksanaan liberalisasi perekonomian suatu negara tidak terlepas dari aspek
politik. Aspek politik tersebut meliputi (Wilber & Jameson, 1992):
1. Ideologi yang dianut
Negara yang bersifat liberal akan lebih cepat mengurangi campur tangan
pemerintah dalam perekonomiannya. Sebaliknya, campur tangan pemerintah
sulit untuk dikurangi pada negara yang ideologinya menitikberatkan pada
pemerataan.
2. Defisit anggaran dan krisis keuangan pemerintah
Sebagian besar perusahaan milik pemerintah merupakan penyumbang besar
dalam defisit anggaran pemerintah. Sebagai contoh, pada akhir tahun 1970-
an perusahaan pemerintah menyumbang defisit anggaran pemerintah antara
66% hingga 76%. Untuk mengatasi hal tersebut, liberalisasi dianggap sebagai
langkah yang paling cepat untuk mengatasi defisit tersebut.
3. Dominasi koalisi dan jaminan sosial
Pada umumnya, NSB yang menerapkan kebijakan substitusi impor diwarnai
dengan adanya koalisi yang kuat antara elit pemerintah terutama dari kalangan
militer, para manajer yang pro-pemerintah, organisasi buruh, pegawai negeri
dan para profesional dari kalangan menengah yang dekat dengan pemerintah.
Biasanya koalisi ini tidak begitu memperhatikan sektor industri kecil, sektor
pertanian dan sektor informal. Meskipun harus diakui, bahwa koalisi yang
mendominasi negara-negara nganut kebijakan industri subsidi impor ini juga
memberikan jaminan sosial kepada kalangan berpenghasilan rendah dan
organisasi buruh.
4. Terpeliharanya kekuasaan
Keberadaan BUMN memungkinkan bagi pemerintah untuk mempunyai akses
langsung terhadap lapangan kerja, dana dan status. Adanya BUMN memung-
kinkan bagi pemerintah untuk mengontrol secara langsung aktivitas ekonomi.
Akibatnya, secara langsung maupun tidak langsung hal ini akan menjaga
kekuasaan pemerintah.
5. Kelangsungan suatu pemerintahan
Hingga saat ini belum ada kesepakatan apakah liberalisasi lebih mudah
dilaksanakan di negara demokratis ataukah negara otoriter. Satu hal yang perlu
ditekankan di sini bahwa apapun sifat pemerintahan suatu negara, diperlukan
adanya dukungan yang cukup bagi kelangsungan pemerintahannya untuk
melaksanakan liberalisasi perekonomian.
 BEBERAPA TREN PADA DEKADE 1980-AN
Sejarah mencatat setidaknya ada tiga krisis pada dekade 1980, yaitu: krisis
harga minyak, krisis utang luar negeri, dan krisis peran negara (Kuncoro, 1993).
Anjloknya harga minyak pada tahun 1983 dan 1986 terbukti membuat banyak
negara berkembang, terutama negara pengekspor minyak, kalang kabut. Krisis ini
mau tidak mau membuat para pengambil kebijakan di banyak negara mengkaji
ulang strategi pembangunannya dan melakukan serangkaian upaya yang dikenal
dengan nama penyesuaian struktural dan stabilisasi ekonomi Penyesuaian
struktural, pada dasarnya, merupakan bagian kebijakan pembangunan yang
bertujuan mengubah secara struktural sisi penawaran suatu perekonomian dengan
menghilangkan berbagai ketidaksempumaan pasar. Sedang tindakan stabilisasi
ekonomi dilakukan untuk mengendalikan sisi permintaan melalui kebijakan
makro ekonomi.
 LIBERILISASI EKONOMI POLITIK DI NEGARA MAJU
Liberlisasi ekonomi politik di negara maju dapat memiliki dampak yang
signifikan pada ekonomi, politik, dan sosial. Beberapa materi yang terkait dengan
liberalisasi ekonomi politik di negara maju adalah sebagai berikut:
1.Liberalisasi perdagangan: Liberalisasi perdagangan adalah proses penghapusan
hambatan tarif dan non-tarif, serta kebijakan proteksionisme lainnya untuk
mempromosikan perdagangan internasional yang lebih bebas. Dalam negara maju,
liberalisasi perdagangan dapat memberikan akses ke pasar yang lebih besar dan
membuka peluang baru bagi industri dan bisnis yang ada.

2.Deregulasi: Deregulasi adalah proses mengurangi regulasi pemerintah dalam


bisnis dan kegiatan ekonomi lainnya. Hal ini dapat mencakup penghapusan aturan
dan persyaratan yang tidak perlu, seperti peraturan lingkungan, peraturan
kesehatan dan keselamatan, dan aturan keuangan. Di negara maju, deregulasi
dapat membantu mengurangi birokrasi, meningkatkan efisiensi dan memberikan
peluang baru bagi inovasi dan pertumbuhan ekonomi.

3.Privatisasi: Privatisasi adalah proses di mana bisnis dan layanan publik


diserahkan dari pemerintah ke sektor swasta. Dalam negara maju, privatisasi dapat
memberikan insentif dan persaingan pasar yang lebih besar dan meningkatkan
efisiensi, serta meningkatkan kualitas dan ketersediaan layanan publik.

4.Investasi Asing: Investasi asing merupakan proses masuknya modal asing ke


dalam negara. Di negara maju, investasi asing dapat memberikan modal dan
teknologi baru yang dibutuhkan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan
inovasi, serta menciptakan lapangan kerja baru.

Namun, dampak liberalisasi ekonomi politik di negara maju juga dapat


menimbulkan kritik dan tantangan. Liberalisasi dapat memperburuk kesenjangan
sosial, mengurangi perlindungan lingkungan, merusak industri lokal, dan
menghasilkan ketidakpastian dan fluktuasi dalam ekonomi global. Oleh karena
itu, negara maju harus mempertimbangkan kebijakan liberalisasi yang tepat dan
memastikan bahwa dampaknya pada masyarakat dan lingkungan dipantau dan
diawasi secara ketat.
PENGALAMAN INDONESIA

Sebagai negara penganut sistem ekonomi terbuka, perkembangan yang terjadi di


dunia internasional sedikit banyak akan mempengaruhi perekonomian Indonesia.
Di antara tiga macam krisis yang sedang menjadi "trend" pada dasawarsa 1980,
nampaknya krisis minyak-lah yang paling memukul perekonomian Indonesia. Tak
pelak lagi ini berkaitan dengan struktur penerimaan negara yang didominasi oleh
penerimaan dari sektor minyak dan gas. Pada dasawarsa 1970-an betapa
dominannya penerimaan migas dalam menyokong penerimaan dalam negeri.
Padahal penerimaan dari migas merupakan fungsi dari harga minyak di pasar
internasional. Begitu harga minyak anjlok, misalnya tahun 1982 dan 1986,
konsekuensinya penerimaan migas pada tahun anggaran itu menurun drastis.

Untungnya pemerintah cepat tanggap menghadapi kejutan eksternal semacam ini.


Dimulai dengan penjadwalan proyek-proyek besar, devaluasi dan deregulasi
perbankan pada tahun 1983 Tahun-tahun selanjutnya, kita menyaksikan deretan
panjang paket deregulasi di bidang moneter (dan keuangan), fiskal, perdagangan
(dan pengapalan), dan investasi (lihat Tabel 18:1). Secara garis besar, deregulasi
tersebut nampaknya merupakan kombinasi dari kebijakan expenditure-reducing
policy dengan expenditure-switching policy. Terasa juga adanya niat pemerintah
untuk melakukan restrukturisasi ekonomi, yaitu: mengubah ketergantungan pada
satu komoditi (minyak) menjadi banyak komoditi (diversifikasi ekspor non-
migas), mobilisasi dana dalam negeri (pajak dan tabungan), serta mengurangi
campur tangan pemerintah di banyak sektor yang dirasa menghambat kemajuan
dunia usaha. Bayang-bayang krisis bantuan luar negeri bukannya tidak ada.
Dibanding negara- negara Amerika Latin dan Afrika, memang kondisi beban
utang Indonesia masih 'mendingan'. Kendati debt service ratio (DSR),
perbandingan antara pembayaran bunga dan cicilan utang, berkisar antara 25,4%
hingga 40,7% selama 1985-1989, Indonesia agaknya tidak bisa dibandingkan
dengan negara-negara Amerika Latin yang beban pembayaran utangnya melebihi
penerimaan ekspor mereka. Jumlah utang yang meningkat selama tiga tahun
terakhir sampai 1990 disebabkan oleh kebutuhan untuk mendapatkan pinjaman
baru dan karena perubahan nilai tukar AS terhadap Yen dan Mark Jerman; sedang
meningkatnya DSR karena sudah banyak utang yang jatuh tempo, anjlok-nya
minyak bumi dan komoditi primer lain, serta 'currency realignment'
(Djojohadikusumo, 1990).

Kebijakan Deregulasi Perdagangan

Selama era bonanza minyak, kebijakan industri Indonesia lebih berorientasi pada
substitusi impor dan cenderung menjadi proteksionis Bank Dunia
mengidentifikasi empat kategon strategi perdagangan suatu negara. Keempat
kategori tersebut dan masing-masing karakteristiknya adalah
(1) strongly outward-oriented Kontrol perdagangan bdak ada atau sangat
rendah; sedikit atau tidak ada kontrol langsung dan pengaturan lisensi nilai
tukar diberlakukan sedemikian rupa sehingga nilai tukar efektif untuk
barang ampor dan ekspor hampir sama;
(2) Moderately out ward-oriented keseluruhan struktur insentif bas pada
produksi dalam negeri dan pada pasar ekspor, tingkat rata-rata dan
cakupan proteksi efektif untuk pasar dalam negert relatif rendah,
penggunaan kontrol langsung dan pengaturan lisensi relat terbatas,
(3) Moderately Inward-oriented keseluruhan struktur insentit menguntungkan
produksi untuk pasar dalam negen, penggunaan kontrol impor dan lisensi
cenderung ekstensif, terdapat bias kebijakan yang anti ekspor, nilai tukar
diniai terlalu tinggi (evenvalued);
(4) Strongly inward oriented tingkat rata-rata proteksi efektif relat tinggi
untuk pasar domestik dan cakupan tingkat proteksi relat uas,
kontrollangsung dan panjinan yang tidak mendukung ekspor diterapkan,
insent yang positif untuk komoditi ekspor non-tradisional relatif sedikit
atau bahkan tidak ada, na takar dinilai terlalu tinggi secara signifikan (WB,
1987) Tabel 152 menunjukkan bahwa orientasi perdagangan Indonesia
berubah dari penode onentasi moderately outward (1983-1973) menuga
periode orientasi moderates and (1973-85)
Berkah dari melonjaknya harga minyak pada 1970-an memungkinkan pemerintah
untuk menerapkan tingkat suku bunga di bawah tingkat keseimbangan pasar dan
menyalurkan kredit dengan suku bunga rendah pada sektor prioritas (Kuncoro,
1996) Ditopang oleh bantuan luar negeri dan melonjaknya penerimaan negara dan
minyak dan gas (migas), Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang cepat
dan neraca pembayaran yang relatif "sehat" sejak 1973. Pengeluaran pemerintah
yang dibiayai dengan pendapatan migas menjadi mesin utama pertumbuhan untuk
keseluruhan perekonomian. Ekspormigas juga menyumbang sebagian besar devis
Pendapatan dari migas memungkinkan Indonesia untuk membangun dasar industri
baik industri hulu maupun industri strategis, banyak di antaranya merupakan
badan usaha mik negara seperti baja, semen, dan pupuk, Inisiatif pemerintah
untuk membangun industri berat dicerminkan oleh kenaikan tajam dalam pangsa
barang-barang logam dan produksi hasil pengolahan industri berat antara tahun
1975 dan 1980 Sektor manufaktur berkembang dengan pesat selama fase
substitusi impor yang mudah

Titik balik dari rezim dengan pertumbuhan yang tinggi karena faktor minyak ke
masa pertumbuhan yang lebih lambat mulai pada tahun 1980-an mengakibatkan

Beberapa faktor yang mengakibatkan penurunan tingkat pertumbuhan adalah:


(1) penurunan harga minyak dunia yang mengakibatkan pendapatan pemerintah
dari perdagangan menurun;
(2) penerapan kuota OPEC yang mengurangi volume output minyak dan nilai
tambah sektor pertambangan pada GDP;
(3) banyaknya negara yang mengalami depresi dalam perekonomian dunia pada
1980-an;
(4) pengurangan belanja investasi setelah 1981, yang sebagian disebabkan oleh
pemotongan anggaran pemerintah;
(5) keseluruhan tingkat pertumbuhan terutama dipengaruhi oleh pertumbuhan
yang rendah pada 5 sektor: pertambangan, manufaktur, konstruksi, perdagangan,
dan administrasi publik (Booth, 1992: Bab 1: Nasution, 1991)
perubahan dramatis menuju strategi yang berorientasi ke luar (outward-looking)
Penurunan harga minyak dan komoditas primer lainnya sejak tahun 1982 sangat
memukul perekonomian Indonesia. Sebagai ilustrasi, rata-rata pertumbuhan
Produk Domestik Bruto setiap tahun hanya sekitar 4% selama periode 1982-86,
yang merupakan penurunan tajam dari yang pertumbuhan ekonomi sebesar 7,5%
pada periode 1973-1981.

Strategi perdagangan yang berorientasi ke dalam (inward-looking) ini berakhir


pada pertengahan 1980-an ketika kebijakan perdagangan diliberalisasikan (Tabel
18.3). Pada bulan April 1985, dilakukan pemotongan tarif secara besar-besaran
dan sebagian besar fungsi bea cukai ditransfer dari Pelayanan Bea Cukai kepada
perusahaan survei internasional bernama SGS dari Swiss.

Paket kebijakan 6 Mei 1986 menarik investor asing dengan beberapa insens baru.
Misalnya, mengganti sertifikat ekspor dengan sistem pengembalian bea masuk
(duty drawback) dan memungkinkan produsen dalam negeri untuk membeli input-
nya langsung dari pemasok asing. Proses dalam menghilangkan hambatan non-
tarif (NTBS Non-tariff barriers) terhadap produk impor dimulai pada 25 Oktober
1986, yang menghapus tarif atas 150 produk, lisensi untuk 165 produk, dan
melonggarkan restriksi 110 produk. Kebijakan ini berlanjut dengan serangkaian
deregulasi perdagangan seperti pada bulan Januari 1987, Desember 1987, 20
November 1988, 24 Desember 1988 (Djidin, 1997, Nasution, 1991). Secara
umum, rata-rata tingkat proteksi efektif untuk sektor manufaktur turun dari 86%
pada tahun 1987 menjadi 24% pada 1995. Demikian halnya dengan proporsi
industri yang out- put-nya dikenai restriksi NTBS, dari 44% dari total nilai
tambah pada 1986 menjadi 23% pada 1995 (Fane, 1996).
Gelombang Privatisasi di Dunia
Menurut UU Nomor 19 Tahun 2003 perihal Badan Usaha Milik Negara,
pengertian privatisasi adalah bentuk penjualan saham milik perusahaan
perseroan yang termasuk BUMN, kepada pihak lain dalam upaya
meningkatkan nilai perusahaan, memperluas kepemilikan saham dan
memperbesar manfaat bagi negara maupun masyarakat.
Adapun batas terkecil dari kepemilikan saham perseroan terbatas tersebut
dalam privatisasi adalah sebesar 51%, yang dimiliki oleh Negara Republik
Indonesia baik sebagian maupun keseluruhan.
Pada dasarnya, tujuan privatisasi adalah mendapatkan sumber dana baru
dalam rangka pertumbuhan negara, sumber Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN), serta peningkatan partisipasi kontrol dari
masyarakat.
Beberapa gelombang privatisasi di dunia, yakni : 

 Para pendukung privatisasi mungkin terinspirasi oleh kisah sukses


Inggris dalam menjalankan gerakan privatisasi. Margaret Thatcher,
PM Inggris, yang membalik arah sosialisme di Inggris dan
meluncurkan ide privatisasi. Selama 1980-1988 lebih dari 40%
sektor publik Inggris telah ditransformasikan menjadi perusahaan
swasta dengan hasil penjualan saham 5.000 juta pounds per tahun.
 Langkah Inggris ternyata diikuti oleh lebih dari 100 negara, dari chili
sampai Turki, dari amerika sampai Bangladeh, dari Perancis
sampai Tanzania. Selama 1988-1993 telah sekitar 2.700 BUMN
beralih kepemilikan. Peter F. Drucker (1990) dalam buku The New
Realities menunjuk sedikitnya 3 sebab utama privatisasi yang
melanda dunia : Pertama, gagalnya program-program pemerintah
sejak perang dunia II; kedua, adanya keterbatasan pajak dan
pengeluaran pemerintah untuk mencapai tujuan yang digariskan;
ketiga, adanya keterbatasan pemerintah untuk meningkatkan
pendapatannya. Konsekuensi terbaik privatisasi adalah dapat
menciptakan persaingan, efisiensi dan pada gilirannya
pertumbuhan ekonomi.
 Privatisasi di negara-negara Amerika Latin ternyata bukan hanya
keputusan ekonomi. Di negara negara ini, privatisasi dikaitkan
dengan tarik menarik kekuatan politik dan bukan hanya sekedar
“Rasionalitas Pasar”. Maksudnya disini ialah bahwa privatisasi
dilakukan akibat “tekanan” bank-bank Internasional, konsultan, dan
lembaga pemerintah yang mendesain program privatisasi.
 Privatisasi juga merupakan kata kunci bagi negara negara Eropa
Timur. Awal dasawarsa 1990-an ditandai dengan bubarnya negara
Uni Soviet dan semakin “terbuka”-nya negara negara Eropa Timur.
Ini memperkuat anggapan bahwa sosialisme dan komunisme tidak
banyak diharapkan dalam meningkatkan kesejahteraan rakyatnya.
Kendati kecepatan dan program reformasi berbeda antarnegara
Eropa Timur, namun pola reformasi politik dan ekonomi yang
berlangsung relatif sama. Setelah reformasi politik terjadi, maka
program program reformasi ekonomi disusun, terutama : (a)
Sejumlah kebijakan dalam masa transisi yang menekankan pada
stabilisasi ekonomi secara makro maupun mikro; (b) privatisasi,
yang intinya mengganti sistem perencanaan komando dengan
sistem ekonomi pasar dengan ciri: desentralisasi pengambilan
keputusan, sistem pasar mengganti sistem perencanaan,
kepemilikan swasta mengganti kepemilikan negara, dan adanya
insentif upah. 
 Privatisasi juga melanda China. Sebagai negara sosialis, BUMN
dimiliki oleh rakyat dan dioperasikan baik oleh pemerintah daerah
maupun pusat. BUMN skala besar dikendalikan langsung oleh
pemerintah pusat, mengelola industri kunci, mengendalikan pasokan
pasar domestik (baca: mempengaruhi harga), dan membangun
infrastruktur.  Reformasi BUMN di China diawali dengan eksperimen
Deng Xiaoping pasca Kongres Partai ke-11 pada tahun 1978. Di
hampir semua daerah, 70% BUMN skala kecil dan menengah
diprivatisasi terutama melalui skema pemegangan saham oleh para
karyawan.  Saat ini diperkirakan terdapat 3,85 juta perusahaan di
mana 1,5 juta adalah perusahaan swasta (Brahm, 2001:7). Dilihat dari
total produksi industri, pangsa BUMN terus menurun dari posisi
dominan 77,6% pada tahun 1978 menjadi 28,5% pada tahun 1998
(Peiyan, 2001: 12-13). 

PRIVATISASI BUMN DI INDONESIA 


Di Indonesia, pemerintah baru sejak 1988 memberlakukan upaya
privatisasi secara bertahap, yakni dengan dikeluarkannya Inpres no.5 (Oktober
1988), 3 keputusan menteri keuangan (740/KMK.00/1989; 741/KMK.99/1989;
1232/ KMK.013/1989), dan Surat Edaran S-648/MK013/1990. Dimulai dengan
menetapkan standar kesehatan BUMN yang mencakup profitabilitas, likuiditas dan
solvabilitas untuk merangking 212 BUMN saat itu dengan kategori: sangat sehat,
sehat, kurang sehat dan tidak sehat. 
Selama tahun 1989-1993 ternyata baru tujuh BUMN yang telah diprivatisasi.
Jumlah ini lima buah lebih sedikit dari pada BUMN baru yang didirikan dalam periode yang
sama, dan 45 lebih sedikit dari pada yang pernah dinyatakan oleh Menteri Keuangan akan
diprivatisasi setelah 1989. Jumlah saham yang dijual ke investor swasta juga masih relatif
kecil. Dari enam BUMN yang diprivatisasi melalui pasar modal antara tahun 1991 sampai
1997, sebagian besar kepemilikan saham BUMN masih dikuasai oleh pemerintah .
Pemerintah hanya menjual sebagian sahamnya yang berkisar antara 25% sampai 35%.

Namun berbeda dengan era Soeharto, pelaksanaan privatisasi sejak krismon


amat berbeda tujuannya. Di era Soeharto, kendati pelaksanaan privatisasi banyak yang
tidak tercapai, ia jauh dari kontroversi. Bahkan ada kecenderungan direksi dan karyawan
BUMN cenderung berlomba mengubah status perusahaannya menjadi persero. Sejak
1998, privatisasi merupakan bagian integral dari Lol dan paket struc- tural adjustment
program yang merupakan kesepakatan pemerintah dan IMF. Implementasinya ternyata
tidak mudah. Banyak orang yang mencurigai niat baik 
dan efektivitas "dokter" yang hanya menawarkan "obat generik" ini. 

Strategi Reformasi

Reformasi BUMN mengandung makna yang lebih luas. Kita memerlukan


sebuah grand strategy reformasi BUMN. Reformasi seharusnya mencakup setidaknya 2
dimensi utama: internal korporat BUMN dan positioning BUMN dalam konfigurasi sistem
ekonomi nasional (Kuncoro, 2002). Mari kita simak masing- 
masing dimensi ini. 

Dilihat dari strategi korporat BUMN, tersedia empat macam strategi:


restrukturisasi, emergency, hand-off, dan privatisasi. Strategi restrukturisasi tidak hanya
mencakup perubahan status badan hukum, dari Yayasan menjadi Perjan (misal: Yayasan
TVRI menjadi Perjan TVRI), Perjan menjadi Perum, Perum menjadi persero. Hakekat
restrukturisasi adalah strategic change, perubahan strategik yang mencakup downsizing,
perampingan, peningkatan daya saing, dan perbaikan kinerja BUMN secara umum. 

Strategi emergency bermuara pada strategi penyelamatan, terutama perlu


dilakukan untuk BUMN yang tidak sehat, baru "pilek", atau bahkan sakit parah. Strategi
penyelamatan adalah strategi defensif yang diperlukan dengan maksud agar perusahaan
bisa mempertahankan hidup. Untuk tujuan tersebut, sasaran utama strategi penyelamatan
adalah efisiensi secara besar-besaran agar aliran kas positif. Oleh karena itu pengurangan
biaya dan peningkatan pendapatan menjadi esensial dalam strategi ini. 
Strategi hands-off, menarik diri, perlu dilakukan tidak hanya bagi BUMN tapi
juga menteri terkait dan anggota DPR. BUMN perlu menarik diri untuk bidang usaha yang
bukan core competence-nya. Menjadikan BUMN sebagai "sapi perah" untuk kepentingan
partai dan eksekutif perlu diminimalkan, syukur dihindari. Sudah menjadi rahasia umum, bila
berhadapan dengan komisi-komisi di DPR, direksi BUMN harus menyediakan "komisi" yang
pantas. Akuntabilitas dan good governance menjadi pekerjaan rumah besar dalam hal ini. 
Dalam praktik di Indonesia, secara garis besar dapat digolongkan dalam dua
gelombang privatisasi (Abeng, 2001). Dalam gelombang pertama boleh dikata privatisasi
berjalan lambat. Tanri Abeng sebagai Meneg BUMN pada periode rezim Habibie kala itu
menyadari betapa tidak mudahnya menjual BUMN. la mengidentifikasikan setidaknya ada
empat alasan: pertama, karena investor asing dan investor dalam negeri menarik investasi
mereka dari Indonesia dan memindahkannya ke luar negeri, akibatnya pemerintah kesulitan
dalam mencari investor yang mau membeli BUMN yang hendak diprivatisasi. Hal ini
diperparah lagi dengan semaraknya demonstrasi mahasiswa dan sentimen anti Cina pada
pertengahan 1998. Kedua, kurangnya kesempatan untuk mempromosikan program
privatisasi ke luar negeri akibat beban kerja yang harus ditanggung Meneg BUMN beserta
para deputinya dalam menyusun kementerian baru dan melaksanakan program reformasi.
Ketiga, adanya resistensi terhadap privatisasi dari para manajer BUMN dan kelompok-
kelompok yang berkepentingan yang ingin terus menginginkan kontrol negara atas BUMN
yang hendak diprivatisasi. Keempat, para lawan politik presiden Habibie memanfaatkan isu
privatisasi sebagai alat politik untuk menjatuhkan legitimasi terhadap pemerintahannya serta
memperkuat posisi politik mereka untuk kepentingan pemilu. 

Singkatnya, Tanri akhirnya memutuskan program privatisasi dilakukan melalui


penjualan lewat mitra strategik (strategic partner) dibanding lewat penawaran publik
melalui bursa saham. Ini bisa dimengerti karena: pertama, pasar modal baru mengalami
depresi akibat krisis moneter. Kedua, penjualan lewat mitra strategik dianggap lebih bagus
daripada penawaran publik terutama dalam memperbaiki manajemen BUMN maupun
peningkatan akses mereka terhadap pasar dan teknologi. 

Dalam program privatisasi gelombang pertama sampai dengan akhir Maret 1999,
pemerintah hanya mampu mandapatkan 394 juta dolar jauh lebih rendah dari target awal
sebesar 1,5 miliar dolar AS . Pada akhir bulan April pemerintah berhasil meningkatkan
pendapatan dari privatisasi sebesar sekitar 1 miliar dolar AS yang berasal dari penjualan
kedua Indofood, Telkom, dan Pelindo III. 

Gelombang kedua reformasi BUMN di Indonesia mengikuti tiga strategi


privatisasi , yaitu: pertama, privatisasi segera. Pendekatan ini merupakan dorongan dari
IMF, Bank Dunia, dan ADB dengan menjual aset-aset BUMN dengan tujuan memperoleh
peningkatan harga jual aset-aset BUMN setinggi mungkin melalui tender. Kedua,
restrukturisasi sebelum privatisasi. Bertujuan untuk memperoleh harga jual setinggi mungkin
setelah privatisasi. Ketiga, restrukturisasi dan privatisasi secara paralel. Memprioritaskan
usaha restrukturisasi dan privatisasi untuk memperoleh peningkatan harga jual secepat
mungkin. 

Anda mungkin juga menyukai