Anda di halaman 1dari 31

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Teori

1. Efektivitas Pembelajaran

Efektivitas berasal dari kata “efektif”. Dalam Kamus Lengkap

Bahasa Indonesia “efektif” berarti: (1) ada efeknya (akibatnya,

pengaruhnya, kesannya), (2) dapat membawa hasil, berhasil guna.

Sedangkan efektivitas berarti (1) keadaan berpengaruh: hal berkesan, (2)

keberhasilan usaha atau tindakan. Handoko (Basmal, 2015: 8)

mengemukakan bahwa efektivitas merupakan kemampuan untuk memilih

tujuan yang tepat atau peralatan yang tepat untuk pencapaian tujuan yang

telah ditetapkan. Selanjutnya Said (Basmal, 2015: 8) mengemukakan bahwa

efektivitas berarti berusaha untuk dapat mencapai sasaran yang telah

ditetapkan sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan, sesuai pula dengan

rencana, baik dalam penggunaan data, sarana, maupun waktunya atau

berusahan melalui aktivitas tertentu baik secara fisik maupun non fisik

untuk memperoleh hasil yang maksimal baik secara kuantitatif maupun

kualitatif.

Eggen & Kauchak (Basmal, 2015: 8) menyatakan bahwa

pembelajaran dikatakan efektif apabila siswa secara aktif dilibatkan dalam

pengorganisasian dan penemuan informasi (pengetahuan). Siswa tidak

hanya secara pasif menerima pengetahuan yang diberikan guru. Dengan

8
9

demikian dalam pembelajaran sangat perlu diperhatikan bagaimana

keterlibatan siswa dalam pengorganisasian pelajaran dan pengetahuannya.

Semakin aktif siswa maka ketercapaian ketuntasan pembelajaran semakin

besar, sehingga semakin efektif pula pembelajaran.

Ekosusilo (Aswar, 2016: 6) mengemukakan efektivitas adalah suatu

keadaan yang menunjukkan sejauh mana apa yang sudah direncanakan

dapat tercapai. Jadi efektivitas merupakan standar atau taraf tercapainya

suatu tujuan yang telah direncanakan sebelumnya. Sedangkan menurut

Sadiman (Aswar, 2016: 6) Efektivitas pembelajaran adalah hasil guna yang

diperoleh setelah pelaksanaan proses belajar mengajar.

Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa efektivitas

pembelajaran adalah suatu keadaan yang menunjukan sejauh mana hasil

yang diharapkan diperoleh setelah pelaksanaan proses belajar mengajar.

Adapun indikator efektivitas dalam penelitian ini adalah:

a. Hasil Belajar

Hasil adalah suatu istilah yang digunakan untuk

menunjuk sesuatu yang dicapai seseorang setelah melakukan suatu usaha.

Bila dikaitkan dengan belajar berarti hasil menunjuk sesuatu yang

dicapai oleh seseorang yang belajar dalam selang waktu tertentu.

Sedangkan hasil belajar merupakan kemampuan maksimum yang dicapai

sebagai akibat dari perilaku dalam kegiatan. Sehubungan dengan hal ini,

Adolfina (Asdar, 2011: 12) memberikan batasan tentang hasil belajar,

yaitu: “Hasil belajar adalah taraf kemampuan aktual yang bersifat


10

terukur, berupa penguasaan pengetahuan, keterampilan yang dicapai oleh

siswa dari apa yang dipelajari di sekolah”.

Hasil belajar tidak akan dihasilkan selama seseorang tidak

melakukan kegiatan belajar. Kenyataan menunjukkan bahwa untuk

mendapatkan hasil belajar yang baik tidak semudah yang dibayangkan

tetapi penuh perjuangan dengan berbagai tantangan yang harus dihadapi

untuk mencapainya.

Hasil belajar dapat dilihat dari 3 aspek antara lain:

1) Ketuntasan Belajar Matematika

Ketuntasan belajar dapat diartikan sebagai penguasaan (hasil

belajar) siswa secara penuh terhadap seluruh bahan yang dipelajarinya

dan memperoleh nilai minimal sesuai dengan kriteria ketuntasan

minimal (KKM) yang ditentukan oleh sekolah bersangkutan.

2) Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) Klasikal

Ketuntasan belajar secara klasikal dapat dikatakan tuntas ketika

mencapai minimal 80% siswa dari jumlah keseluruhan siswa didalam

kelas mencapai nilai minimal sesuai dengan kriteria ketuntasan

minimal (KKM) yang ditentukan oleh sekolah bersangkutan.

3) Gain Ternormalisasi

Gain adalah selisih antara nilai Posttest dan Pretest, gain

menunjukkan peningkatan pemahaman atau penguasaan konsep siswa

setelah pembelajaran dilakukan guru.


11

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan yang dimaksud

dengan hasil belajar merupakan hasil penilaian terhadap kegiatan

pembelajaran sebagai tolak ukur tingkat keberhasilan siswa dalam

memahami pembelajaran yang dinyatakan dengan nilai berupa huruf atau

angka dan secara psikologis menampakkan perubahan perilaku pada

siswa.

b. Aktivitas Siswa

Aktivitas belajar matematika adalah proses komunikasi antara

siswa dengan guru dalam lingkungan kelas sebagai hasil interaksi siswa

dan guru atau siswa dengan siswa sehingga menghasilkan perubahan

akademik, sikap, tingkah laku dan keterampilan yang dapat diamati

melalui perhatian siswa, kesungguhan siswa, kedisiplinan siswa dan

kerjasama siswa dalam kelompok.

c. Kemampuan Guru dalam Mengelola Pembelajaran

Guru merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi hasil

pelaksanaan dari pembelajaran yang telah diterapkan, sebab guru adalah

pengajar di kelas. Untuk keperluan analitis tugas guru adalah sebagai

pengajar, maka kemampuan guru yang banyak hubungannya dengan

usaha meningkatkan proses pembelajaran dapat diguguskan ke dalam

empat kemampuan yaitu:

1) Merencanakan program belajar mengajar (membuat RPP)

2) Melaksanakan dan memimpin/mengelola proses belajar mengajar

3) Menilai kemajuan proses belajar mengajar


12

4) Menguasai bahan pelajaran dalam pengertian menguasai bidang studi

atau mata pelajaran yang dipegangnya.

Keempat kemampuan guru di atas merupakan kemampuan yang

sepenuhnya harus dikuasai guru yang bertaraf profesional. Berdasarkan

uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kemampuan guru dalam

mengelola pembelajaran adalah kemampuan guru dalam melaksanakan

serangkaian kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran.

d. Respons Siswa

Respons siswa yang dimaksudkan di sini adalah tanggapan siswa

terhadap pembelajaran yang telah dilakukan, khususnya model

pembelajaran yang digunakan. Data respons siswa diambil dengan

menggunakan angket respons siswa yang diberikan pada saat kegiatan

pembelajaran berakhir yaitu sesaat setelah pertemuan keempat.

2. Pembelajaran Matematika

a. Belajar dan Pembelajaran

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), secara

etimologis belajar memiliki arti: “berusaha memperoleh kepandaian atau

ilmu”. Definisi tersebut memiliki pengertian bahwa belajar adalah sebuah

kegiatan untuk mencapai kepandaian atau ilmu.

Menurut Suyono dan Hariyanto (2011: 9) belajar adalah suatu

aktivitas atau suatu proses untuk memperoleh pengetahuan,

meningkatkan keterampilan, memperbaiki perilaku, sikap, dan


13

mengokohkan kepribadian. Dalam konteks menjadi tahu atau proses

memperoleh pengetahuan, menurut pemahaman sains konvensional,

kontak manusia dengan alam yang diistilahkan dengan pengalaman

(experience). Pengalaman yang terjadi berulang kali melahirkan

pengetahuan. Sedangkan menurut Gagne (Suyono dan Hariyanto, 2011:

12) menyatakan bahwa belajar adalah sebuah proses perubahan tingkah

laku yang meliputi perubahan kecenderungan manusia, seperti sikap,

minat, atau nilai dan perubahan kemampuannya, yaitu peningkatan

kemampuan untuk melakukan berbagai jenis kinerja.

Menurut Bower dan Hilgrad dalam buku Theories of Learning

(Muyassaroh, 2015: 11) mengemukakan:

“Learning refers to the change in a subject’s behavior or


behavior potential to a given situation brought about by the
subject’s repeated experiences in that situation, provided that the
behavior change cannot be explained on the basis of the subject’s
native response tendencies, maturation, or temporary states (such
as fatigue, drunkenness, and so on)’’.
Belajar merupakan perubahan tingkah laku atau kebiasaan tertentu

karena pengalaman yang diulang-ulang pada situasi tersebut, tidak dapat

dijelaskan berdasarkan tanggapan alamiah peserta didik, pendewasaan,

ataupun kondisi sementara (seperti kelelahan, keadaan mabuk, dan lain-

lain).

Menurut Fontana (Suherman, dkk., 2001: 8) belajar adalah

“proses perubahan tingkah laku yang relatif tetap sebagai hasil dari

pengalaman”.
14

Berdasarkan pengertian belajar yang sudah dikemukakan, dapat

disimpulkan bahwa belajar merupakan suatu proses usaha yang

dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang

baru, secara keseluruhan sebagai hasil latihan dan pengalaman individu

itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Perubahan perilaku

atau hasil belajar dalam pengertian ini sudah termasuk menemukan

sesuatu yang baru yang sebelumnya belum ada. Pada intinya belajar

adalah proses perubahan.

Menurut Slavin (Wardoyo, 2015: 20) “pembelajaran didefinisikan

sebagai perubahan dalam diri seseorang yang disebabkan oleh

pengalaman”. Perubahan yang terjadi bersifat permanen, artinya bahwa

perubahan yang terjadi bukan secara serta merta namun melalui proses

interaksi dan pengalaman yang sistematis. Proses pembelajaran terjadi

dalam tiga ranah kompetensi yaitu afektif (sikap), psikomotorik

(keterampilan), dan Kognitif (pengetahuan). Sedangkan menurut Jihad

dan Haris (Wardoyo, 2015: 21) “pembelajaran merupakan suatu proses

yang terdiri dari kombinasi dua aspek, yaitu belajar dan mengajar”.

Belajar merujuk pada apa yang harus dilakukan oleh siswa, sedangkan

mengajar berorientasi pada apa yang harus dilakukan oleh guru sebagai

pemberi pelajaran.

Dalam arti sempit, proses pembelajaran adalah proses pendidikan

dalam lingkup persekolahan, sehingga arti dari proses pembelajaran

adalah proses sosialisasi individu siswa dengan lingkungan sekolah,


15

seperti guru, sumber/fasilitas, dan teman sesama siswa (Suherman, dkk.,

2001: 9).

Pola interaksi antara guru dengan siswa pada hakekatnya adalah

hubungan antar dua pihak yang setara, yaitu interaksi antara dua manusia

yang tengah mendewasakan diri, meskipun yang satu telah ada pada

tahap yang seharusnya lebih maju dalam aspek akal, moral, maupun

emosional. Dengan kata lain, guru dan siswa merupakan subyek, karena

masing-masing memiliki kesadaran dan kebebasan secara aktif.

b. Matematika Sekolah

Kata matematika berasal dari bahasa latin, “manthanein” atau

“mathema” yang berarti “belajar atau hal yang dipelajari”. Dalam kamus

besar bahasa Indonesia, istilah matematika mengandung pengertian ilmu

tentang bilangan-bilangan, hubungan antar bilangan dan prosedur

operasional yang digunakan dalam penyelesaian masalah mengenai

bilangan.

Menurut Hamzah B. Uno (Muyassaroh, 2015: 14), matematika

sebagai suatu bidang ilmu yang merupakan alat pikir, berkomunikasi, alat

untuk memecahkan berbagai persoalan praktis, yang unsur-unsurnya

logika dan intuisi, analisis dan konstruksi, generalitas dan individualitas

serta mempunyai cabang-cabang antara lain aritmetika, aljabar, geometri,

dan analisis. Jadi pada hakikatnya matematika adalah ilmu pasti yang

berkaitan dengan logika.


16

Sedangkan menurut Reyt.,et al. (Asdar, 2011) mengatakan bahwa

“matematika adalah (1) Studi pola dan hubungan (study of patterns and

relationships) dengan demikian masing-masing topik itu akan saling

berjalinan satu dengan yang lain yang membentuknya, (2) Cara berpikir

(way of thinking) yaitu memberikan strategi untuk mengatur,

menganalisis dan mensintesa data atau semua yang ditemui dalam

masalah sehari-hari, (3) Suatu seni (an art) yaitu ditandai dengan adanya

urutan dan konsistensi internal, dan (4) Sebagai bahasa (a language)

dipergunakan secara hati-hati dan didefinisikan dalam term dan simbol

yang akan meningkatkan kemampuan untuk berkomunikasi akan sains,

keadaan kehidupan riil, dan matematika itu sendiri, serta (5) Sebagai alat

(a tool) yang dipergunakan oleh setiap orang dalam menghadapi

kehidupan sehari-hari”.

Definisi lain mengenai matematika menurut Johnson dan Rising

(Asdar, 2011) adalah “matematika merupakan pola pikir, pola

mengorganisasikan pembuktian logik, pengetahuan struktur yang

terorganisasi memuat: sifat-sifat, teori-teori dibuat secara deduktif

berdasarkan unsur yang tidak didefinisikan, aksioma, sifat atau teori yang

telah dibuktikan kebenarannya”.

Berdasarkan definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa

matematika merupakan suatu ilmu deduktif yang tersusun dari unsur-

unsur baik yang tidak terdefinisi maupun terdefinisi, aksioma, dalil,


17

terstruktur, serta membicarakan tentang bilangan dan kaitan antar

bilangan.

Dalam Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah, yang

dimaksud matematika adalah matematika sekolah, yaitu matematika yang

diajarkan di tingkat Pendidikan Dasar (SD dan SMP) dan Pendidikan

Menengah (SMA dan SMK). Matematika sekolah terdiri atas bagian-

bagian matematika yang dipilih guna menumbuhkembangkan

kemampuan-kemampuan dan membentuk pribadi serta berpandu pada

perkembangan IPTEK. Ini menunjukkan bahwa matematika sekolah

tetap memiliki ciri-ciri yang dimiliki oleh matematika, yaitu memiliki

objek kajian yang abstrak serta berpola pikir deduktif konsisten.

(Suherman, dkk., 2001: 54).

Fungsi mata pelajaran matematika dan sekaligus dijadikan acuan

dalam pembelajaran sekolah (Suherman, dkk., 2001: 55) adalah sebagai

berikut:

1) Matematika sebagai Alat

Matematika sebagai alat berfungsi untuk memecahkan masalah

yang dihadapi, baik itu masalah dalam mata pelajaran yang lain

maupun masalah dalam kehidupan sehari-hari. Siswa diberi

pengalaman menggunakan matematika sebagai alat untuk memahami

atau menyampaikan suatu informasi, misalnya melalui persamaan,

atau tabel dalam model matematika yang merupakan penyederhanaan

dari soal-soal cerita atau soal-soal uraian matematika lainnya.


18

2) Matematika sebagai Pola Pikir

Pelajaran matematika yang berfungsi sebagai pola pikir, yaitu

pembentukan pola pikir dalam pemahaman suatu pengertian maupun

dalam penalaran suatu hubungan di antara pengertian-pengertian itu.

Dengan pengamatan terhadap contoh diharapkan siswa mampu

menangkap pengertian suatu konsep, kemudian dilatih untuk membuat

perkiraan, terkaan, atau kecenderungan berdasarkan pengalaman atau

pengetahuan yang dikembangkan melalui contoh khusus

(generalisasi).

3) Matematika sebagai Ilmu

Matematika sebagai ilmu atau pengetahuan, dalam hal ini,

seorang guru harus mampu menunjukkan bahwa matematika selalu

mencari kebenaran dan bersedia meralat kebenaran yang sementara

diterima, bila ditemukan kesempatan untuk mencoba mengembangkan

penemuan-penemuan sepanjang mengikuti pola pikir yang sah.

Dari uraian di atas, jelas bahwa matematika sekolah mempunyai

peranan sangat penting bagi siswa untuk memenuhi kebutuhan praktis

dan memecahkan masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari.

Selain itu, matematika sekolah ditujukan agar siswa mampu mengikuti

pelajaran matematika lebih lanjut, untuk membantu memahami bidang

studi lain, serta siswa dapat berpikir logis, kritis, dan praktis, bersikap

positif dan berjiwa kreatif.


19

c. Pembelajaran Matematika

Pembelajaran matematika adalah suatu upaya/kegiatan

(merancang dan menyediakan sumber-sumber belajar,

membantu/membimbing, memotivasi, mengarahkan) dalam

membelajarkan siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran matematika,

yaitu: belajar bernalar secara matematis, penguasaan konsep, dan

terampil memecahkan masalah, belajar memiliki dan menghargai

matematika sebagai bagian dari budaya, menjadi percaya diri dengan

kemampuan diri sendiri, dan belajar berkomunikasi secara matematis.

Fitri, dkk (2014:18) menyatakan bahwa Pembelajaran matematika

adalah suatu aktivitas mental untuk memahami arti dan hubungan-

hubungan serta simbol-simbol kemudian diterapkan pada situasi nyata.

Hudojo (Rokhayati, 2010: 13) juga menambahkan bahwa pembelajaran

matematika berarti pembelajaran tentang konsep-konsep dan struktur-

struktur yang terdapat dalam batasan yang dipelajari serta mencari

hubungan antara konsep-konsep dan struktur-struktur tersebut. Dengan

mengenal konsep dan struktur yang tercakup dalam bahan yang sedang

dibicarakan, anak akan memahami materi yang harus dikuasainya itu.

Belajar matematika bagi para siswa, juga merupakan

pembentukan pola pikir dalam pemahaman suatu pengertian maupun

dalam penalaran suatu hubungan diantara pengertian-pengertian itu.

(Suherman, dkk. 2001:55).


20

Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa

pembelajaran matematika adalah suatu proses atau kegiatan guru yang

dirancang untuk menciptakan interaksi antara siswa dengan pendidik dan

sumber belajar pada suatu lingkungan belajar untuk mencapai tujuan

yang diharapkan.

3. Model Problem Based Learning (PBL)

a. Pengertian Model Problem Based Learning (PBL)

Menurut Fathurrohman (2015: 113) Problem Based Learning

(PBL) adalah suatu model pembelajaran yang melibatkan peserta didik

untuk memecahkan suatu masalah melalui tahap-tahap metode ilmiah

sehingga peserta didik dapat mempelajari pengetahuan yang

berhubungan dengan masalah tersebut dan sekaligus memiliki

keterampilan untuk memecahkan masalah.

Menurut Harrison (Wardoyo, 2015: 72) “Problem Based Learning

is a curriculum development and instructional method that places the

student is an active role as a problem solver confronted with ill-

structured, real-life problem”. Dalam Problem Based Learning adalah

pengembangan kurikulum pembelajaran di mana siswa ditempatkan

dalam proses yang memiliki peranan aktif dalam menyelesaikan setiap

permasalahan yang mereka hadapi. Artinya bahwa Model Problem Based

Learning (PBL) menuntut adanya peran aktif siswa agar dapat mencapai
21

pada penyelesaian masalah yang diharapkan sesuai dengan tujuan

pembelajaran.

Menurut Arends sebagaimana dikutip oleh M. Hosnan

(Muyassaroh, 2015), Model Problem Based Learning (PBL) merupakan

model pembelajaran dengan pendekatan peserta didik pada masalah

autentik sehingga peserta didik dapat menyusun pengetahuannya sendiri,

menumbuhkembangkan keterampilan yang lebih tinggi secara inquiry.

Menurut Dwiyogo (Asdar, 2011), pembelajaran berbasis masalah

atau Problem Based Learning (PBL) adalah pengajaran yang dirancang

berdasarkan masalah riil kehidupan yang bersifat tidak tentu (ill-

structured), terbuka (open-ended), dan mendua. Di mana masalah yang

tidak tentu adalah masalah yang kabur, tidak jelas, atau belum

terdefinisikan.

Sebelum pembelajaran menggunakan model PBL dimulai, peserta

didik akan diberikan masalah-masalah. Masalah yang diberikan adalah

masalah yang memiliki konteks dengan dunia nyata. Semakin dekat

dengan dunia nyata, akan semakin baik pengaruhnya pada peningkatan

kecakapan peserta didik. Dari masalah yang diberikan ini, peserta didik

bekerjasama dalam kelompok, mencoba memecahkannya dengan

pengetahuan yang mereka miliki, dan sekaligus mencari informasi-

informasi baru yang relevan untuk menentukan solusi yang tepat.

Problem Based Learning (PBL) mempunyai karakteristik sebagai

berikut (Rusman, 2012: 232):


22

1) Permasalahan menjadi starting point dalam belajar

2) Permasalahan yang diangkat adalah permasalahan yang ada di dunia

nyata yang tidak terstruktur

3) Permasalahan membutuhkan perspektif ganda (multiple perspective)

4) Permasalahan menantang pengetahuan yang dimiliki siswa, sikap,

dan kompetensi yang kemudian membutuhkan identifikasi

kebutuhan dan bidang baru dalam belajar

5) Belajar pengarahan diri menjadi hal yang utama

6) Pemanfaatan sumber pengetahuan yang beragam, penggunaannya,

dan evaluasi sumber informasi merupakan proses yang esensial

dalam PBL

7) Belajar adalah kolaboratif, komunikasi, dan kooperatif

8) Pengembangan keterampilan inquiry dan pemecahan masalah sama

pentingnya dalam penguasaan isi pengetahuan untuk mencari solusi

dari sebuah permasalahan

9) Keterbukaan proses dalam PBL meliputi sintesis dan integrasi dari

sebuah proses belajar

10) PBL melibatkan evaluasi dan review pengalaman siswa dan proses

belajar

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa

pembelajaran berbasis masalah atau Problem Based Learning (PBL)

adalah suatu model pembelajaran yang berpusat pada siswa yang

berorientasi pada pemecahan masalah dunia nyata yang bertujuan untuk


23

meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa, kesadaran metakognitif,

dan hasil belajar kognitif.

b. Langkah-langkah Model Problem Based Learning (PBL)

Ismail (Rusman, 2012: 243) mengemukakan bahwa langkah-

langkah Model Problem Based Learning (PBL) adalah sebagai berikut:

Tabel 2.1 Sintaks Model Problem Based Learning (PBL)


Fase Indikator Tingkah Laku Guru
1 Orientasi siswa pada Menjelaskan tujuan pembelajaran,
masalah menjelaskan logistik yang diperlukan,
dan memotivasi siswa terlibat pada
aktivitas pemecahan masalah.
2 Mengorganisasi Membantu siswa mendefinisikan dan
pengalaman mengorganisasikan tugas belajar yang
individual/kelompok berhubungan dengan masalah tersebut.
3 Membimbing Mendorong siswa untuk mengumpulkan
pengalaman informasi yang sesuai, melaksanakan
individual/kelompok eksperimen untuk mendapatkan
penjelasan dan pemecahan masalah.
4 Mengembangkan Membantu siswa dalam merencanakan
dan menyajikan dan menyiapkan karya yang sesuai,
hasil karya seperti laporan, dan membantu mereka
untuk berbagai tugas dengan temannya.
5 Menganalisis dan Membantu siswa untuk melakukan
mengevaluasi proses refleksi atau evaluasi terhadap
pemecahan masalah penyelidikan mereka dan proses yang
mereka gunakan
Sumber: Ismail (2002)
Pada fase pertama siswa membutuhkan pemahaman yang jelas

tentang maksud dan tujuan pembelajaran dengan Model Problem Based

Learning (PBL) sehingga pembelajaran bukan hanya sekedar untuk

memperoleh informasi baru tetapi untuk menyelidiki masalah yang

dihadapi sehingga siswa bertanggung jawab atas pencapaian tujuan

pembelajaran secara mandiri.


24

Pada fase kedua guru mengatur siswa untuk melaksanakan

kegiatan pembelajaran berdasarkan masalah. Pembelajaran dengan

Model Problem Based Learning (PBL) menghendaki siswa

berkolaborasi untuk menyelidiki masalah bersama. Guru membantu

siswa untuk mengembangkan keterampilan sosialnya melalui kerjasama.

Agar dapat belajar bersama maka siswa mudah dikontrol dan tidak

membosankan. Pengelompokan siswa dapat diatur berdasarkan berbagai

kepentingan misalnya guru membagi kelompok-kelompok siswa

berdasarkan gender, etnik, dan tingkat kemampuan. Jika perbedaan-

perbedaan tidak berpengaruh maka guru dapat mengelompokkan siswa

berdasarkan minat siswa yang sama atau kelompok teman akrab atau

dekat.

Setelah pembentukan kelompok siswa akan secara bersama-sama

menyusun rencana. Kegiatan penyusunan rencana perlu memperhatikan

waktu yang disediakan untuk sub topik khusus, menyelidiki tugas-tugas

dan batas waktu untuk tugas-tugas tersebut. Pada kegiatan selanjutnya

berdasarkan rencana yang disusun bersama, guru membimbing siswa-

siswa secara individual atau kelompok-kelompok kecil. Kegiatan

investigasi dilaksanakan secara mandiri, kelompok ataupun berpasangan.

Kegiatan investigasi meliputi kegiatan mengumpulkan data dan

melakukan eksperimen jika perlu, menyusun hipotesis, menyelesaikan

masalah dan menyiapkan alternatif penyelesaian.


25

Selanjutnya siswa dituntut untuk menghasilkan produk berupa

solusi-solusi dan mempresentasikannya. Produk yang dihasilkan oleh

siswa berupa laporan, tabel, diagram, dan bentuk-bentuk yang bersifat

fisik. Kegiatan pada fase ini akan dilanjutkan dengan kegiatan

mempresentasikan hasil karya. Pada tahap ini siswa diharapkan dapat

mengomunikasikan gagasan-gagasan dengan simbol, tabel, atau diagram.

Tahap terakhir dari kegiatan pembelajaran dengan Model Problem Based

Learning (PBL) adalah aktivitas yang ditunjukkan untuk membantu siswa

membuat analisis dan mengevaluasi hasil pekerjaannya sehingga dapat

menemukan pengetahuan yang merupakan tujuan pembelajaran.

c. Kelebihan dan Kekurangan Model Problem Based Learning (PBL)

Menurut Warsono dan Hariyanto (Muyassaroh, 2015) Model

Problem Based Learning (PBL) memiliki beberapa kelebihan dan

kekurangan. Kelebihan model Problem Based Learning (PBL) antara

lain:

1) Peserta didik akan terbiasa menghadapi masalah (problem posing) dan

merasa tertantang untuk menyelesaikan masalah, tidak hanya terkait

dengan pembelajaran dalam kelas, tetapi juga menghadapi masalah

yang ada dalam kehidupan sehari-hari (real world).

2) Memupuk solidaritas dengan terbiasa berdiskusi dengan teman-teman

sekelompok kemudian berdiskusi dengan teman-teman sekelasnya.

3) Meningkatkan keakraban antara guru dan peserta didik

4) Membiasakan peserta didik untuk bereksperimen.


26

5) Meningkatkan kemampuan memecahkan masalah.

6) Meningkatkan keaktifan peserta didik.

7) Meningkatkan keterampilan peserta didik dalam mencari informasi.

8) Mendorong peserta didik untuk mengembangkan keterampilan

komunikasi matematika, baik lisan dan tulisan.

Sedangkan kelemahan dari Model Problem Based Learning

(PBL), antara lain:

1) Memerlukan biaya mahal dan waktu panjang.

2) Aktivitas peserta didik yang dilaksanakan di luar kelas sulit dipantau

guru.

3) Beberapa peserta didik yang memiliki kelemahan dalam percobaan

dan pengumpulan informasi akan mengalami kesulitan.

4) Ada kemungkinan peserta didik yang kurang aktif dalam kerja

kelompok.

5) Ketika topik/masalah yang diberikan kepada masing-masing

kelompok berbeda, dikhawatirkan peserta didik tidak bisa memahami

topik/masalah secara keseluruhan.

4. Materi Statistika

4.1 Pengertian Statistika


Statistik dapat diartikan sebagai berikut:
a. Kumpulan angka-angka suatu permasalahan, sehingga dapat
memberikan gambaran mengenai masalah tersebut.
b. Ukuran yang dihitung dari sekumpulan data dan merupakan wakil
dari data.
27

Statistika adalah ilmu yang mempelajari pengumpulan,


pengaturan, perhitungan, penggambaran, dan penganalisaan data, serta
penarikan kesimpulan yang valid (sahih) berdasarkan penganalisaan
yang dilakukan dan pembuatan keputusan yang rasional
4.2 Pengertian Data
Data merupakan bentuk jamak dari datum. Kumpulan datum
membentuk data. Data statistik bisa diperoleh dengan cara-cara berikut:
1. Survei, yaitu suatu daftar pertanyaan dengan pilihan jawaban yang
telah ditentukan atau terbuka yang diberikan kepada responden
(objek yang diteliti). Survei dapat dilakukan secara tertulis
(kuesioner), dan dilakukan secara lisan, misalnya wawancara.
2. Review, yaitu mengambil data dari literatur lain yang sudah terbit
3. Observasi, yaitu mengambil data melalui pengamatan atau penelitian
langsung
4.3 Membaca data
1. Tabel
Contoh:
Data jumlah siswa pada setiap tingkat sekolah pada suatu kota pada
tahun 2016 diberikan oleh tabel berikut:
Tabel 2.2 Data Jumlah Siswa pada Setiap Tingkat Sekolah
Tingkat sekolah Jumlah siswa
TK 1.500
SD 1.800
SMP 1.400
SMA 1.650
SMK 1.050
2. Diagram Batang
Data jumlah siswa pada setiap tingkat sekolah pada suatu kota
pada tahun 2016
28

2,000.00
1,800.00
1,600.00 1800
1,400.00 1650
Jumlah Siswa
1500
1,200.00 1400
1,000.00
800.00 1050
600.00
400.00
200.00
0.00
TK SD SMP SMA SMK
Tingkat Sekolah

Gambar 2.1 Data Jumlah Siswa Tingkat Sekolah


3. Diagram Lingkaran

Lain-lain Sepak
15.7% Bola
Karate 25.0%
8.1%

Bola
Basket Bulu
12.2% Tangkis
Bola 21.6%
Volli
17.4%

Gambar 2.2 Jenis Olahraga yang Disukai Siswa


4. Diagram Garis
250
192 184
Pemakaian (kwh)

200 170 180


148
136
150

100

50

0
Januari Februari Maret April Mei Juni
Bulan

Gambar 2.3 Jumlah Pemakaian Listrik


29

5. Ogive
Ogive Hasil Ulangan Matematika
45 Siswa kls XI-IA.1 SMAN 4 Watampone

45 45 45
42
40 39
37
Frek. Kumulatif 35
30 31
29
Ogive Negatif
25
20 Ogive Positif

15 16
14
10
8
5 6
3 Nilai (tb/ta)
0 0 0
29.5 39.5 49.5 59.5 69.5 79.5 89.5 99.5

Gambar 2.4 Hasil Ulangan Matematika Siswa


4.4 Menyajikan Data
1. Tabel distribusi frekuensi
Distribusi frekuensi adalah daftar yang membagi data yang ada
ke dalam beberapa kelompok atau kelas.
Ada dua macam distribusi frekuensi yaitu distribusi frekuensi
data tunggal dan distribusi frekuensi data kelompok.
a) Distribusi frekuensi data tunggal
Langkah menyusun tabel distribusi frekuensi data tunggal
a. Mengurutkan data dari yang terkecil ke yang terbesar (array)
b. Menentukan data terkecil
c. Menentukan frekuensi masing-masing data dengan sistem
turus/tally atau melidi
b) Distribusi frekuensi data berkelompok
Langkah-langkah menyusun tabel distribusi frekuensi data
kelompok
a. Menentukan jangkauan/rentang
Jangkauan/rentang disebut juga dengan range adalah
selisih antara data terbesar dan data terkecil.

Sumber: Sutrima dkk (2009: 14)


30

b. Menetapkan banyak kelas (K)


Berdasarkan kebiasaan yang ada, banyak kelas berkisar
antara 5 sampai dengan 15 (5 ≤ k ≤ 15). Cara lain untuk
menetapkan banyak kelas adalah menggunakan rumus Sturges,
yaitu:

Sumber: Sutrima dkk (2009: 14)

Keterangan:
K = banyak kelas (kelas interval)
N = banyaknya data
c. Menentukan interval kelas (i)
Besarnya interval kelas bagi tiap-tiap kelas dalam
distribusi frekuensi sebaiknya diusahakan sama. Adapun besarnya
i (interval kelas) dapat ditentukan dengan rumus:

Sumber: Sutrima dkk (2009: 14)

Keterangan:
i = interval kelas
R = rentang/jangkauan
K = banyaknya kelas
d. Menentukan batas bawah dari kelas pertama
Batas bawah dari kelas pertama hendaknya dipilih
sedemikian sehingga tidak terdapat satupun yang tidak masuk ke
dalam kelompok data. Dalam hal ini, batas bawah dari kelas
diambil data dengan nilai terkecil.
2. Penyajian data dalam bentuk diagram
a. Diagram garis
Diagram garis adalah suatu cara penyajian data statistik
menggunakan garis-garis lurus. Biasanya, diagram garis digunakan
31

untuk menyajikan data yang diperoleh dari hasil pengamatan


terhadap suatu objek dari waktu ke waktu secara berurutan.
b. Diagram batang
Diagram batang adalah diagram yang digunakan untuk
menyajikan data statistik, dengan batang berbentuk persegi panjang.
Langkah-langkah dalam melukis diagram batang adalah:
1) Melukis sumbu mendatar dan sumbu tegak yang berpotongan
2) Memberikan nama pada sumbu mendatar dan sumbu tegak
3) Membuat skala yang sesuai
4) Menentukan letak batang dan membuat batang
Penyajian data dalam bentuk diagram batang dapat dibuat dalam
posisi vertikal atau horizontal.
c. Diagram lingkaran
Diagram lingkaran adalah diagram yang menggunakan daerah
lingkaran untuk menggambarkan suatu keadaan. Langkah-langkah
dalam membuat diagram lingkaran adalah sebagai berikut:
1) Mencari derajat dan persentase masing-masing data
2) Lukislah lingkaran
3) Bagi lingkaran menurut data yang ada dengan menggunakan
busur derajat (membagi lingkaran dalam beberapa juring tertentu
sesuai data
3. Histogram dan polygon
Histogram adalah satu cara untuk menyajikan data statistik
dalam bentuk gambar. Histogram sering disebut sebagai grafik
frekuensi yang bertangga, yang terdiri dari serangkaian persegi panjang
yang mempunyai luas yang sebanding dengan frekuensi yang terdapat
dalam kelas-kelas interval yang bersangkutan. Cara menggambarnya,
antara persegi panjang yang berdekatan berimpit pada satu sisi. Setiap
persegi panjang pada suatu histogram mewakili kelas tertentu, dengan
pengertian: lebar persegi panjang menyatakan panjang kelas, tinggi
persegi panjang menyatakan frekuensi kelas dan digambarkan secara
32

vertikal. Oleh karena itu, jika setiap kelas mempunyai panjang yang
sama, maka luas setiap persegi panjang itu berbanding lurus dengan
frekuensinya. Selanjutnya, jika setiap titik tengah dari bagian sisi atas
persegi panjang pada histogram itu dihubungkan, maka kita peroleh
diagram garis. Diagram garis semacam ini disebut polygon frekuensi.
4. Ogive
Frekuensi kumulatif kurang dari (fk kurang dari) jumlah
frekuensi semua nilai amatan yang kurang dari batas atas (<),
sedangkan frekuensi kumulatif lebih dari (fk lebih dari) jumlah
frekuensi semua nilai amatan yang lebih dari batas bawah (>). Tabel
distribusi frekuensi kumulatif dapat digambarkan diagramnya berupa
ogive. Karena tabel distribusi frekuensi kumulatif ada dua macam, yaitu
tabel distribusi kumulatif kurang dari dan tabel distribusi frekuensi
kumulatif lebih dari, sebagai konsekuensinya kita mempunyai dua
macam ogive, yaitu ogive positif dan ogive negatif. Caranya adalah
dengan menempatkan nilai-nilai tepi kelas pada sumbu mendatar dan
nilai-nilai frekuensi kumulatif pada sumbu tegak. Titik-titik yang
diperoleh (pasangan nilai tepi kelas dengan nilai frekuensi kumulatif)
dihubungkan dengan garis lurus, maka diperoleh diagram garis yang
disebut polygon frekuensi kumulatif. Kurva frekuensi kumulatif inilah
yang disebut ogive.
4.5 Ukuran Pemusatan Data Tunggal
1. Rataan (Mean)
Nilai rataan adalah salah satu ukuran yang memberikan
gambaran yang lebih jelas dan singkat tentang sekelompok data
mengenai suatu masalah, baik tentang sampel atu populasi. Rataan yang
diperoleh dari hasil pengukuran sampel disebut statistik, sedangkan
rataan yang diperoleh dari populasi disebut parameter. Rataan hitung
(mean) dari suatu kumpulan data dengan banyak nilai data. Jadi,
33


̅

Sumber: Sutrima dkk (2009: 23)


Dengan:
̅ = rataan dari kumpulan data
xi = nilai data ke-i
n = banyak data
Notasi ∑ (dibaca: sigma) menyatakan penjumlahan suku-suku.
2. Median
Median adalah nilai tengah dari sekumpulan data yang telah
diurutkan dari terkecil ke terbesar.

Maka median dari kumpulan data itu ditentukan dengan cara


berikut:
a. Jika n adalah bilangan ganjil, maka median adalah nilai data ke ,

Sumber: Sutrima dkk (2009: 29)

b. Jika n adalah bilangan genap, maka Me adalah rataan dari nilai data
ke- dan nilai data ke- , ditulis

( )

Sumber: Sutrima dkk (2009: 29)


3. Modus
Modus didefinisikan sebagai angka statistik yang mempunyai
frekuensi tertinggi.
4.6 Ukuran Pemusatan Data Kelompok
1. Rataan (Mean)
Untuk data berkelompok, nilai mean ditentukan oleh rumus
berikut:
34


̅

Sumber: Sutrima dkk (2009: 25)

Keterangan:

̅ = Mean
xi = Nilai tengah
fi = Frekuensi
2. Median
Untuk data berkelompok, nilai median ditentukan oleh rumus
berikut:

( )

Sumber: Sutrima dkk (2009: 29)

Keterangan:

Bb = Tepi bawah kelas interval yang mempunyai frekuensi tertinggi


n = Banyaknya data
F = Frekuensi kumulatif sebelum kelas interval yang memuat Me
fm = frekuensi kelas interval yang memuat Me
p = Panjang kelas interval
3. Modus
Untuk data berkelompok, nilai modus ditentukan oleh rumus
berikut:

( )

Sumber: Sutrima dkk (2009: 27)

Keterangan:
Bb = Tepi bawah kelas interval yang mempunyai frekuensi tertinggi
35

b1 = Selisih frekuensi kelas modus dengan frekuensi sebelumnya


b2 = Selisih frekuensi kelas modus dengan frekuensi sesudahnya
p = Panjang kelas interval
B. Penelitian Relevan

Na’imatun Muyassaroh (2015) dengan penelitiannya yang berjudul

“Efektivitas Model Problem Based Learning (PBL) Terhadap Kemampuan

Komunikasi Matematika Peserta Didik Materi Pokok Segiempat Semester Genap

Kelas VII SMPN 02 Kalinyamatan Jepara Tahun Pelajaran 2014/2015”

menyatakan bahwa model Problem Based Learning (PBL) efektif dalam

meningkatkan kemampuan komuniaksi siswa. Hal ini ditunjukkan oleh th 𝑢 𝑔 =

2,122 > ttabel = 1,675, karena t berada pada daerah penolakan 𝐻0, sehingga 𝐻1

diterima. Artinya rata-rata kemampuan komunikasi matematika kelas eksperimen

(menggunakan model Problem Based Learning (PBL) lebih baik dari rata-rata

kemampuan komunikasi matematika kelas kontrol (menggunakan model

pembelajaran konvensional).

Yusna, D. P. S. (2015) dengan penelitiannya yang berjudul “Penerapan

Model Problem Based Learning (PBL) dalam Materi Relasi dan Fungsi Bagi

Siswa Kelas X MAN Model Banda Aceh” menyatakan bahwa ketuntasan belajar

siswa tercapai serta respon siswa lebih dari 80% ketika diterapkan Model Problem

Based Learning (PBL). Sehingga dapat dikatakan bahwa Model Problem Based

Learning (PBL) efektif digunakan.

Penelitian lain yang menggunakan model Problem Based Learning (PBL)

dilaksanakan oleh Iwan Supriyono (2014) yang berjudul “Pengaruh Problem

Based Learning (PBL) Terhadap Prestasi Belajar Matematika Pada Sub Pokok
36

Bahasan Pecahan Di SMP Negeri 2 Nogosari Boyolali” mengatakan bahwa ada

perbedaan prestasi belajar yang signifikan antara siswa yang diberi pengajaran

dengan menggunakan pembelajaran Konvensional dan Problem Based Learning

(PBL) terhadap pembelajaran matematika siswa hal ini dapat dilihat pada hasil

analisis nilai Thitung > Ttabel yang meninjukkan hasil sebesar 4,602 > 2,048. Prestasi

belajar siswa dengan menggunakan model Problem Based Learning (PBL)

mempunyai rata-rata yang lebih tinggi daripada pembelajaran yang menggunakan

metode Konvensional pada sub pokok bahasan pecahan sehingga prestasi belajar

yang dicapai lebih tinggi.

C. Kerangka Pikir

Matematika masih menjadi mata pelajaran yang sulit di mata para pelajar

di setiap jenjang pendidikan. Hal ni terlihat dari masih rendahnya nilai

matematika siswa di sekolah-sekolah. Berbagai upaya telah dilakukan oleh guru

bersangkutan untuk meningkatkan hasil belajar siswa. Salah satunya dengan

memilih model yang sesuai dengan permasalahan yang ada didalam kelas.

Model Problem Based Learning (PBL) merupakan model pembelajaran

yang senantiasa mengharapkan guru untuk menyajikan masalah-masalah nyata

yang sering dihadapi dalam kehidupan sehari-hari kemudian meyelesaikannya

dengan menggunakan prinsip-prinsip matematika.

Model ini memberikan kesempatan kepada siswa untuk memecahkan

persoalan yang mereka hadapi, baik secara perorangan maupun dalam kelompok

dengan memberikan alternatif penyelesaian masalah yang mereka hadapi. Proses


37

PBL diawali dengan orientasi siswa terhadap masalah hingga siswa diharapkan

mampu menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah. Dengan

demikian siswa akan terbiasa mengidentifikasi masalah, merumuskan masalah,

dan membuat alternatif pemecahan terhadap masalah yang dihadapi sehingga

dapat mendorong siswa untuk memiliki kepekaan terhadap masalah-masalah yang

dihadapi dalam kehidupan sehari-hari.

Masalah yang terdapat di kelas:


1. Model pembelajaran yang kurang
tepat dan tidak variatif
2. Teacher centered.
3. Hasil belajar rendah

Model Problem Based Learning


(PBL)

Kelebihan Model Problem Based Learning (PBL) salah satunya


Meningkatkan kemampuan memecahkan masalah dan membiasakan
peserta didik untuk bereksperimen

Hasil Belajar Aktivitas Siswa Respons Siswa

Rata-rata hasil Persentase Persentase


belajar siswa aktivitas aktif respons siswa
setelah diajar meningkat terhadap
dengan (sesuai yang penerapan
menggunakan dikehendaki) model
model Problem
Problem Based
Based Learning
Learning (PBL) lebih
(PBL) dari 70%
meningkat merespons
positif

Gambar 2.5 Skema Kerangka Pikir


38

D. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kajian teori dan kerangka berpikir diatas, maka hipotesis

penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut:

Hipotesis Mayor

“Pembelajaran matematika efektif dengan penerapan Model Problem Based

Learning (PBL) pada siswa kelas XI IPA SMA Tridharma MKGR Makassar ”.

Hipotesis Minor

1. Rata-rata hasil belajar siswa setelah di ajar dengan Model Problem Based

Learning (PBL), minimal 73 (KKM).

2. Rata-rata Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) secara klasikal setelah di

ajar dengan Model Problem Based Learning (PBL), minimal 80%.

3. Rata-rata gain ternormalisasi siswa setelah diajar dengan menggunakan

Model Problem Based Learning (PBL), minimal 0,3.

4. Persentase respons siswa terhadap penerapan Model Problem Based

Learning (PBL), minimal 70% merespons positif.

Anda mungkin juga menyukai