Disusun Oleh:
Nur Fitria Mandasari (090104016)
Lathifah Isna Hayati (090104017)
Putri Rahmasari (090104019)
Istianatur Rosidah (090104021)
Nurul Kurniati (090104022)
2. Faktor penyebab
3. Dampak Incest
Dampak yang ditimbulkan dari peristiwa incest dapat dilihat dari
berbagai segi, yaitu :
Referensi:
Kamal Pasha, Musthafa. 2003. Fikih Sunnah. Citra Karsa Mandiri: Yogyakarta.
Sudirman, Rahmat. 1999. Konstruksi Seksualitas Islam. Media Pressindo:
Yogyakarta.
______. Incest Itu Apa?. Desember 2007. http://idjatnika.multiply.com.
ADZAN DAN IQOMAH DI TELINGA BAYI
Adzan di telinga bayi di saat ia baru lahir, hampir termasuk perkara yang
disepakati. Fenomena seperti ini, nampak tersebar di Negeri kita yang jauh dari
Ulama rabbaniyyin yang mengajarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shohih dari
Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- sehingga membantu pesatnya perkembangan
masalah yang satu ini. Selain itu, banyak da’i yang berpangku tangan dan tidak
mau meneliti masalah ini lebih detail lagi dari segi keakuratan hadits-hadits yang
berkaitan dengan masalah ini, masalah disyari’atkannya adzan ditelinga bayi di
hari kelahirannya. Apalagi setelah tersebarnya kitab-kitab Syaikh Al-Albaniy -
rahimahullah- di dalamnya beliau menjelaskan bahwa derajat hadits adzan di
telinga bayi adalah “hasan”, tanpa mau lagi berusaha mengetahui dan meneliti
derajat hadits-hadits itu.
Menurut pemeriksaan para ulama terhadap riwayat-riwayat dan jalur-jalur
hadits adzan di telinga bayi, cuma ada tiga jalur atau empat:
Hadist Pertama
Dari Ubaidillah bin Abu Rafi’ dari ayahnya ia berkata:
صالَ ِة َ سلَّ َم َأ َّذنَ فِي ُأ ُذ ِن ا ْل َح
َّ س ِن ْب ِن َعلِ ٍّي ِحيْنَ َولَ َد ْتهُ فَا ِط َمةُ بِال َ صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو ُ َرَأيْتُ َر
َ ِ س ْو َل هَّللا
Aku pernah melihat Rasulullah -shollallahu alaihi wa sallam-
mengumandangkan adzan seperti (adzan) untuk shalat di telinga Hasan bin Ali
setelah dilahirkan oleh Fatimah. (HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi)
Pada mulanya Syaikh al-Albani -rahimahullah- menghukumi hasan hadits
di atas. Dan ini dapat dilihat pada kitab karya beliau Irwâ` al-Ghalîl, no. 1173, dan
Shahîh al-Kalim ath-Thayyib, no. 167 cetakan Maktabah al-Ma’arif.
Namun kemudian beliau melamahkan hadits tersebut pada takhrij beliau
terhadap kitab Sunan at-Tirmidzi, no. 1514, Sunan Abi. Dawūd, no. 5104,
Hidâyah ar-Ruwât, no. 4085, dan Silsilah al-Ahâdîts adh-Dha’îfah, no. 321
cetakan terbaru. Silahkan lihat: al-I’lâm bi Âkhir Ahkâm al-Albâni al-Imâm, karya
Muhammad bin Kamal Khalid as-Suyuthi, hlm. 90-91, cetakan Dâr Ibn Rajab.
Kesimpulannya, hadits di atas adalah lemah.
Ada pula hadits yang menjelaskan tuntunan adzan dan iqomah di telinga
bayi. Berikut redaksinya:
ان ِّ ض َّرهُ ُأ ُّم ال
ِ َص ْبي ْ َُمنْ ُولِ َد لَهُ َم ْولُ ْو ٌد فََأ َّذنَ فِي ُأ ُذنِ ِه ا ْليُ ْمنَى َو َأقَا َم فِي ُأ ُذنِ ِه ا ْلي
ُ َس َرى لَ ْم ت
Barangsiapa yang dikaruniai anak lalu ia mengumadangkan adzan di
telinga kanannya dan iqomah di telinga kirinya maka bayi itu tidak akan ditimpa
bahaya.
Syaikh al-Albani -rahimahullah- berkomentar tetang hadits ini: “Sanad
hadits ini lemah, Yahya Ibnul ‘Ala’ dan Marwan bin Salim adalah pemalsu
hadits.” Lihat: Silsilah al-Ahâdîts adh-Dha’îfah, no. 321.
Setelah kita mengetahui kelemahan dua hadits di atas, maka tentunya
keduanya tidak boleh diamalkan, sebab beramal dengan dasar hadits lemah adalah
tidak boleh, bahkan merupakan salah satu jenis bid’ah dalam agama.
Hadits Kedua
Adapun hadits kedua dari Ibnu Abbas , diriwayatkan oleh Al-Baihaqy
dalam Syu’abul Iman (6/8620) dari Muhammad bin Yunus dari Al-Hasan bin
Amer bin Saif As-Sadusy, ia berkata, Al-Qosim bin Muthoyyib Telah
menceritakan kami dari Manshur bin Shofiyyah dari Abu Ma’bad dari Ibnu
Abbas: ”Bahwasanya Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- adzan di telinga Al-
Hasan bin Ali pada hari ia dilahirkan, di telinga kanannya. Beliau melakukan
iqomat pada telinga kirinya”.
Setelah itu, Al-Baihaqi berkata: “Pada sanadnya terdapat kelemahan”.
Kami katakan, “Bahkan hadits ini palsu”. Penyakitnya ada pada Al-Hasan bin
Amer . Al-Hafizh berkata dalam At-Taqrib, “Orangnya matruk/ditinggalkan”.
Ibnu Abi Hatim berkata dalam Al-Jarh wa At-Ta’dil (1/2/26), biografi (no.109),
“Saya pernah mendengarkan bapakku berkata:[Kami pernah melihat Al-Hasan bin
Amer di Bashrah, dan kami tak menulis hadits darinya, sedang dia itu
ditinggalkan haditsnya]”. Adz-Dzahaby berkata dalam Al-Mizan, “Al-Hasan bin
Amer dikatakan pendusta oleh Ibnul Madiny. Al-Bukhory berkata, “Dia
pendusta”. Ar-Rozy berkata, “Dia ditinggalkan”.”.
Sebagaimana yang kita ketahui bersama, diantara kaedah-kaedah Ilmu
Mushtholah Hadits bahwa hadits dho’if (lemah) tak akan bisa meningkat menjadi
hadits shohih atau hasan, kecuali ia datang dari jalur periwayatan yang lain,
dengan syarat: Tak ada orang yang parah ke-dho’if-annya/kelemahannya dalam
jalur tersebut, apalagi sampai ada pendusta. Jadi, hadits kedua dari Ibnu Abbas ini
-sedang kondisinya begini- tetap kedudukannya sebagai hadits dho’if dan tidak
bisa dijadikan hujjah. Di antara konsekuensi ilmu hadits, hadits Ibnu Abbas
tersebut tidak bisa dijadikan sebagai penguat bagi hadits Abu Rofi’. Jadi, hadits
Abu Rofi’ tetap kedudukannya sebagai hadits dho’if, sedang hadits Ibnu Abbas
adalah palsu.
Hadits Ketiga
Adapun hadits Al-Hasan bin Ali, hadits ini diriwayatkan oleh Yahya ibnul
Ala’ dari Marwan bin Salim dari Tholhah bin Ubaidillah dari Al-Hasan bin Ali, ia
berkata: Bersabda Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, “Barang siapa yang
dikaruniai seorang anak, lalu ia mengadzani pada telinga kanannya dan
beriqomat pada telinga kirinya, niscaya anak itu tak akan
dimudhorotkan/dibahayakan oleh Ummu Shibyan”. [HR. Al-Baihaqiy dalam
Syu’abul Iman (6/390) , Ibnus Sunni dalam Amal Al-Yaum wa Al-Lailah (623).
Hadits ini dibawakan oleh Al-Haitsami dalam Al-Majma’’ (4/59) seraya berkata,
“HR.Abu Ya’la(6780), di dalamnya terdapat seorang rawi yang bernama Marwan
bin Salim Al-Ghifary, sedang ia itu matruk /ditinggalkan”.
Bahkan hadits Al-Husain bin Ali di atas adalah palsu, di dalamnya terdapat
seorang rawi yang bernama Yahya Ibnul Ala’ dan Marwan bin Salim, keduanya
memalsukan hadits sebagaimana hal ini disebutkan oleh Syaikh Al-Albany dalam
Silsilah Al-Ahadits Adh-Dho’ifah (321). Nah, Hadits Abu Rofi’ tetap kondisinya
sebagai hadits dho’if sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Hafizh dalam At-
Talkhish (4/149): “Inti permasalahannya pada Ashim bin Ubaidillah, sedang ia
itu dho’if.”
Dulu Syaikh Al-Albany meng-hasan-kan hadits ini dalam Shohih Sunan
At-Tirmidzy (1224), Shohih Sunan Abu Dawud (4258), Al-Irwa’ (4/401), dan
Silsilah Al-Ahadits Adh-Dho’ifah (1/493).
Namun belakangan Syaikh Al-Albany meralat peng-hasan-an beliau
terhadap hadits Abu Rofi’ (hadits pertama) dalam Adh-Dho’ifah pada cetakan
terakhir yang diterbitkan oleh Maktabah Al-Ma’arif (1/494/no.321), “Sekarang
saya tegaskan –sekalipun kitab Asy-Syu’ab telah dicetak-, bahwa hadits Ibnu
Abbas tidak cocok untuk dijadikan penguat (bagi hadits Abu Rofi’-pent.), karena
di dalamnya terdapat rawi pendusta dan matruk (ditinggalkan). Saya amat heran
terhadap Al-Baihaqy dan Ibnul Qoyyim, bagaimana keduanya cuma men-dho’if-
kan hadits tersebut sehingga saya hampir memastikan cocoknya hadits itu
dijadikan sebagai penguat. Makanya, sekarang aku pandang diantara kewajiban
saya untuk mengingatkan hal itu dan mentakhrijnya pada pembahasan akan
datang (no.6121)”.
Disana ada sebuah hadits yang diriwayatkan di dalam kitab “Manaqib Al-
Imam Ali” (113) dari Ibnu Umar secara marfu’. Cuma sayangnya hadits ini lagi-
lagi tidak bisa dijadikan penguat karena di dalamnya ada pendusta. Abu Ishaq Al-
Huwainy berkata dalam Al-Insyirah (hal.96), “Kesimpulannya, tak ada satu
haditspun menjadi penguat bagi hadits ini menurut yang saya ketahui, Wallahu
a’lam”.
Jadi, tiga hadits di atas tidak boleh dijadikan hujjah dalam menetapkan
sunnahnya meng-adzan-i, dan meng-iqomat-i telinga bayi yang baru lahir, karena
kelemahan dan kepalsuannya.
Syaikh al-Albani menyatakan, bahwa setiap ibadah yang tidak ada
keterangan tentang tata caranya melainkan dari hadits lemah atau palsu maka itu
adalah bentuk kebid’ahan. (Ahkâm al-Janâ`iz, hlm. 306, cetakan Maktabah al-
Ma’arif)
__________, 2009, Adzan dan Iqomah di Telinga Bayi, Majalah Islamiyyah
Manhajiyyah.
Andreas, 2009, Adzan di Telinga Kanan dan Iqomat di Telinga Kiri Pada Saat
Kelahiran si Bayi, http://qurandansunnah.wordpress.com/.
AQIQAH
1. Definisi
Istilah aqiqah berasal dari bahasa Arab al-aqiqah wa al uqoqu yang berarti
kilat yang dapat disaksikan di tengah-tengah gumpalan awan, sebagaimana
kilatan yang ditimbulkan oleh sebuah pedang terhunus. Pengertian lain adalah
rambut yang tumbuh di atas kepala bayi sejak dalam kandungan hingga
tampak pada saat dilahirkan. Pengertian kedua inilah yang menurut
Zamakhsyari merupakan makna asal aqiqah.
2. Aqiqah Dalam Pandangan Islam
Pelaksanaan aqiqah menurut kesepakatan para ulama adalah hari ketujuh
dari kelahiran. Hal ini berdasarkan hadist samirah di mana Nabi saw.
Bersabda, ”Seorang anak terikat dengan aqiqahnya. Ia disembelihkan aqiqah
pada hari ketujuh dan diberi nama.” (H.R. At-Tirmidzi). Namun demikian,
apabila terlewat dan tidak bisa dilaksanakan pada hari ketujuh, ia bisa
dilaksanakan pada hari ke-14. Dan jika tidak juga, maka pada hari ke-21 atau
kapan saja ia mampu. Imam Malik berkata : ”Pada dzohirnya bahwa
keterikatannya pada hari ke-7 (tujuh) atas dasar anjuran, maka sekiranya
menyembilih pada hari ke-4 (empat), ke-8 (delapan), ke-10 (sepuluh) atau
setelahnya aqiqah itu telah cukup”. Karena prinsip ajaran Islam adalah
memudahkan bukan menyulitkan sebagaimana firman Allah swt : ”Allah
menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu”. (QS. Al Baqarah : 185)
3. Hukum Pelaksanaan Ibadah Aqiqah
Hukum melaksanakan Aqiqah untuk anak yang baru dilahirkan adalah
sunnah dan sangat dianjurkan dalam Islam sesuai pendapat dari jumhur
imam-imam dan ahli fiqh. Hal ini dikuatkan dengan sabda Nabi dalam sebuah
hadist : ”Sesungguhnya manusia pada hari kiamat nanti akan diminta
tanggungjawabnya atas aqiqah, sebagaimana akan diminta tanggungjawabnya
atas shalat-shalat lima waktu.”
4. Hewan Untuk Aqiqah
Masalah kambing yang layak untuk dijadikan sembelihan aqiqah adalah
kambing yang sehat, baik, tidak ada cacatnya. Semakin besar dan gemuk
tentu semakin baik. Dianjurkan agar dagingnya diberikan dalam kondisi
sudah dimasak. Hadist Aisyah ra. ” Sunnahnya dua ekor kambing untuk anak
laki-laki dan satu ekor kambing untuk anak perempuan. Ia dimasak tanpa
mematahkan tulangnya. Lalu dimakan (oleh keluarganya), dan disedekahkan
pada hari ketujuh.” (HR al-Bayhaqi)
Nama dalam bahasa arab disebut dengan al-ismu adalah sebuah tanda yang
melekat pada seseorang hingga orang tersebut menjadi dipanggil dengan sebutan
itu. Bentuk jamaknya adalah al-asma’. Seseorang diberi nama lalu melekatlah
padanya nama itu, seperti seorang bayi yang diberi nama Muhammadani, maka
Muhammadani menjadi namanya.
Syariat Islam telah menetapkan bahwa di antara hak-hak anak yang harus
dia terima dari kedua orang tuanya adalah pemberian nama yang terbaik, yang
dapat menjadi cirri utama baginya dipanggil berbeda dengan orang lain di tengah-
tengah masyarakat. Nama tersebut harus mempunyai arti yang terpuji atau sifat
yang baik, yang menyenangkan hati dan menenangkan jiwa, yang membangkitkan
cita-cita mulia, atau yang menunjukkan keberanian dan kecerdasan.
Dalam hal ini Rasulullah SAW telah menegaskan : “Seseungguhnya kalian
pada hari kiamat nanti akan dipanggil dengan nama-nama kalian dan nama bapak-
bapak kalian. Oleh karena itu perbaguslah nama-nama kalian”.
Dalam riwayat lain Rasulullah SAW juga telah menjelaskan tentang nama-
nama yang beliau senangi : “Berilah nama anakmu dengan nama-nama para nabi”
(Demikian keterangandalam kitab Sunan Abi Daud Juz : 4, halaman : 394).
Nama yang paling disukai Allah SWT adalah Abdullah dan Abdurrahman,
sedangkan nama yang paling jujur adalah Haris dan Hamam. (Demikian
keterangan dalam kitab Misykatul-Mashabih Juz : 2, halaman : 565, dan
dikeluarkan oleh Imam Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah dalam kitab
Al-Jami’ush Shagir).
Dalam sebuah riwayat yang bersumber dari Ibnu Umar diterangkan bahwa
Rasulullah SAW telah bersabda : “Nama-nama kalian yang lebih disukai Allah
SWT adalah Abdullah dan Abdurrahman.” (HR. Muslim).
Apabila syariat Islam telah menekankan pentingnya pemberian nama yang
bagus untuk anak, maka para ayah dan ibu dihimbau untuk member nama yang
baik untuk anak-anak mereka, tetapi jangan pula member nama yang mengandung
arti pemaksaan, kesombongan, dan melampaui batas, misalnya nama Malikul-
Mulki (rajanya segala raja). Yang demikian adalah sesuai dengan sabda Rasulullah
SAW : “Sesungguhnya nama yang dibenci Allah SWT adalah nama seorang laki-
laki yang diberi nama Malikul-Amlak (raja dari segala raja), padahal tidak ada
raja dari segala raja selain Allah SWT.”
Semua nama yang berarti menghamba kepada selain Allah SWT, dalam
syariat Islam adalah sangat dilarang, seperti hamba Ka’bah (‘Abdul Ka’bah),
hamba nabi (‘Abdun-Nabi), dan hamba Hussain (‘Abdul Hussain). Selain itu juga
nama-nama yang tidak disukai karena memiliki arti yang tidak disukai pula seperti
Harb (perang), Murrah (sakit), Kalb (anjing), dan sebagaianya.
Waktu pemberian nama pada anak adalah pada hari ke-7 kelahiran
sekaligus melaksanakan ‘aqiqah yaitu pemotongan kambing seperti yang telah
ditentukan yaitu jika anak yang terlahir adalah laki-laki maka kambing yang
disembelih adalah 2 ekor dan jika anak yang terlahir adalah perempuan maka
kambing yang disembelih adalah 1 ekor saja. Anas radhiyallahu’anhu
mengetengahkan sebuah riwayat, bahwa Rasulullah SAW telah bersabda : “Anak
kecil hendaklah di’aqiqahi, diberi nama, dan dihilangkan penyakitnya pada hari
ke-7.” Tidak hanya itu, syariat Islam juga mengajarkan kepada pemeluknya
supaya memberi nama pada janin yang terlahir mati (IUFD) ataupun yang abortus.
MENCUKUR RAMBUT KEPALA ANAK