Anda di halaman 1dari 24

TUGAS KEBIDANAN DALAM ISLAM

PERNIKAHAN SEDARAH (INCEST) DAN AMALAN-AMALAN


BAGI BAYI BARU LAHIR

Dosen Pengampu: Mufdlilah S.Pd., S.SiT., M.Sc

Disusun Oleh:
Nur Fitria Mandasari (090104016)
Lathifah Isna Hayati (090104017)
Putri Rahmasari (090104019)
Istianatur Rosidah (090104021)
Nurul Kurniati (090104022)

PROGRAM STUDI DIV KEBIDANAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN ’AISYIYAH
YOGYAKARTA
2010
PERNIKAHAN SEDARAH (INCEST)

A. Dasar dalam Fiqih


Islam mengkonstitusikan suatu larangan bagi laki-laki untuk
menikahi wanita muhrimnya karena haram hukumnya, baik muhrim
karena hubungan keturunan, muhrim sebab hubungan menyusui, maupun
muhrim sebab hubungan pernikahan.
Untuk muhrim karena hubungan keturunan, Islam
mengkonsepsikan tujuh wanita yang haram dinikahi, yakni:
1) Ibu dan ibunya ibu (nenek), nenek dari bapak, dan seterusnya
ke atas;
2) Anak dan cucu perempuan dan seterusnya ke bawah;
3) Saudara perempuan seibu sebapak, sebapak, atau seibu saja
4) Saudara perempuan dari bapak
5) Saudara perempuan dari ibu
6) Anak perempuan dari saudara laki-laki, dan
7) Anak perempuan dari saudara perempuan
Dalam surat An-Nisa’ ayat 23 Allah awt telah menyatakan:
”Diharamkan atas kalian (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu
yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara
bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan
(bibi), anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki
(kemenakan), anak-anak perempuan dari saudara-saudara yang
perempuan (kemenakan).”
Adapun wanita yang haram dinikahi atas sebab menyusui ada dua
orang, yaitu
1) Ibu yang menyusui, dan
2) Saudara perempuan sepersusuan
Sedangkan muhrim sebab pernikahan ada lima, yaitu
1) Ibu istri (mertua)
2) Anak tiri perempuan, bila sudah campur dengan istrinya
3) Istri anak (menantu)
4) Istri bapak (ibu tiri), dan
5) Menikahi dua orang perempuan sekaligus yang masih ada
hubungan muhrimnya, misalnya dua perempuan yang
bersaudara kandung, perempuan yang dimadu dengan saudara
perempuan dari bapaknya, dan menyatukan seorang perempuan
dengan muhrim lainnya (Rasjid, op. cit.: 389-907).

B. Tinjauan Pustaka Incest


1. Definisi

Menurut Hayati (2004) incest adalah perkosaan yang


dilakukan oleh anggota keluarga atau orang yang telah dianggap
sebagai anggota keluarganya. Menurut Masland dan Estridge  incest
adalah jenis perlakuan atau penyiksaan secara seksual yang melibatkan
dua anggota keluarga dalam satu keluarga, ayah dengan anak
perempuan, ibu dengan anak laki-laki, saudara laki-laki dengan
saudara perempuan dan kakek dengan cucu perempuan. incest
biasanya dapat terjadi karena rumah mereka sangat sempit, akses untuk
main keluar tidak ada atau sangat terbatas. Dalam hal ini hubungan
seksual yang terjadi ada yang bersifat sukarela dan ada yang bersifat
paksaan. Yang bersifat paksaan itulah yang dinamakan perkosaan.

2. Faktor penyebab

Menurut pengakuan pelaku incest yang dipublikasi di media


massa, hubungan incest mereka lakukan dengan alasan kesepian
ditinggal istri, kurang puas dengan pelayanan istri, karena kebiasaan
anak perempuan tidur dengan bapaknya dan menurut petugas yang
memeriksa pelaku incest, kejadian ini juga dapat terjadi karena adanya
dugaan pelaku mengidap kelainan seks dan masalah gangguan
kejiwaan.
Kejadian incest yang berulang dilatarbelakangi oleh
ketakutan korban terhadap pelaku sehingga korban cenderung memilih
untuk diam, tidak melaporkan kejadian tersebut kepada siapapun. Hal
ini menyebabkan pelaku merasa aman untuk mengulangi hal tersebut.
Kurangnya pengawasan orang tua terhadap perkembangan anak-
anaknya juga mempengaruhi terjadinya incest.

3. Dampak Incest
Dampak yang ditimbulkan dari peristiwa incest dapat dilihat dari
berbagai segi, yaitu :

a) Dampak dari segi fiqh Islam dan hukum

Seluruh pandangan mahzab fiqh Islam mengharamkan perkawinan


sedarah. Incest tidak bisa dibenarkan meskipun dengan sukarela
apalagi dengan paksaan (perkosaan). Mereka menyamakannya
dengan zina yang harus dihukum. Tetapi ada perbedaan di antara
mereka soal hukumannya. Mahzab Maliki Syafi’i, Hambali, Zahiri,
Syiah Zaidi dan lain-lain menghukumnya dengan pidana hudud
(hukum Islam yang sudah ditentukan bentuk dan kadarnya seperti
hukum potong tangan), persis seperti hukuman bagi pezina.
Sementara Abu Hanifah menghukumnya dengan tindak pidana
ta’zir (peringatan keras atau hukuman keras) bagi incest sukarela.

Perbuatan cabul atau perbuatan tidak senonoh akan berdampak


hukuman bagi pelaku. Di dalam KUHP hukuman untuk pelaku
perbuatan tersebut diatur dalam pasal 289-296, sementara dalam
RUU KUHP dirubah pasalnya menjadi pasal 425-429.
b) Dampak dari segi psikologis

Dari berbagai peristiwa hubungan incest yang banyak dilaporkan


media akhir-akhir ini menunjukkan betapa menderitanya
perempuan korban incest. Ketergantungan dan ketakutan akan
ancaman membuat perempuan tidak bisa menolak diperkosa oleh
ayah, kakek, paman, saudara atau anaknya sendiri. Sangat sulit
bagi mereka untuk keluar dari kekerasan berlapis-lapis itu karena
mereka sangat tergantung hidupnya pada pelaku dan masih berfikir
tidak mau membuka aib laki-laki yang pada dasarnya disayanginya
dan seharusnya menjadi pelindungnya. Akibatnya mereka
mengalami trauma seumur hidup dan gangguan kejiwaan.

c) Dampak dari segi kemanusiaan

Nurani kemanusian universal (secara umum) yang beradab sampai


hari ini mengutuk incest sebagai kriminalitas terhadap nilai-nilai
kemanusiaan. Meskipun dilakukan secara suka sama suka
(sukarela) dan tidak ada yang merasa menjadi korban, incest telah
mengorbankan perasaan moral publik.

d) Dampak dari segi sosial

Peristiwa hubungan incest yang terjadi pada satu keluarga akan


menyebabkan hancurnya nama keluarga tersebut di mata
masyarakat. Keluarga tersebut dapat dikucilkan oleh masyarakat
dan menjadi bahan pembicaraan di tengah masyarakat. Masalah
yang lebih penting dicermati dari kasus anak hasil incest adalah
karena kondisi yang tidak sehat dalam konteks sosial, yang
berkaitan dengan konstruksi sosial tentang keluarga. Misalnya
masyarakat mengenal ayah dan anak sebagai satu kesatuan
keluarga. Tetapi jika terjadi kasus incest, dimana ayah menghamili
anak perempuannya, maka bila lahir anak dari anak perempuan
tersebut maka status ayah itu menjadi ganda, ayah sekaligus
kakek. 

e) Dampak dari segi kesehatan

Peristiwa incest apalagi perkosaan incest dapat menyebabkan


rusaknya alat reproduksi anak dan resiko tertular penyakit menular
seksual. Korban dan pelaku menjadi stress yang akan merusak
kesehatan kejiwaan mereka. Dampak lainnya dari hubungan incest
adalah kemungkinan menghasilkan keturunan yang lebih banyak
membawa gen homozygot. Beberapa penyakit yang diturunkan
melalui gen homozygot resesif yang dapat menyebabkan kematian
pada bayi yaitu fatal anemia, gangguan penglihatan pada anak
umur 4-7 tahun yang bisa berakibat buta, albino, polydactyl dan
sebagainya. Pada perkawinan sepupu yang mengandung gen albino
maka kemungkinan keturunan albino lebih besar 13,4 kali
dibandingkan perkawinan biasa. Kelemahan genetik lebih
berpeluang muncul dan riwayat genetik yang buruk akan
bertambah dominan serta banyak muncul ketika lahir dari orang
tua yang memiliki kedekatan keturunan.

Gangguan emosional yang dialami si ibu akibat kehamilan yang


tidak diharapkan akan mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan janin pra dan pasca- kelahiran.Selain itu banyak
penyakit genetik yang peluang munculnya lebih besar pada anak
yang dilahirkan dari kasus incest seperti kelainan genetik yang
menyebabkan gangguan kesehatan jiwa (skizoprenia),
keterlambatan mental (idiot) dan perkembangan otak yang lemah.
C. Kesimpulan

Konstitusi Islam yang melarang laki-laki menikahi muhrimnya


mengandung aneka ragam makna yang semuanya itu pada dasarnya
ditujukan untuk menjaga ketentraman hidup manusia. Larangan menikahi
keluarga dekat yang sedarah dikonstitusikan karena hal tersebut dianggap
dapat melahirkan anak cucu yang lemah jasmani dan rohaninya. Selain itu,
konstitusi tersebut juga untuk menghindari terjadinya keributan antar
keluarga dan kerabat. Berarti, hal tersebut dipandang juga sebagai
kekuatan yang dapat menjaga tali persaudaraan dan kekerabatan.
Selain konsepsi di atas, larangan yang mengkonstitusikan
perkawinan seorang laki-laki dengan muhrimnya sebagai hal yang haram
dilatar belakangi oleh pandangan yang menyatakan bahwa muhrim adalah
wanita yang harus dijauhi dari rasa birahi dan dorongan seksual lainnya.
Untuk muhrim sebab pernikahan, Islam mengkonsepsikan larangan
tersebut sebagai suatu upaya untuk memperluas hubungan antarkeluarga
dan kerabat (Shibab, op. cit: 195).

Referensi:
Kamal Pasha, Musthafa. 2003. Fikih Sunnah. Citra Karsa Mandiri: Yogyakarta.
Sudirman, Rahmat. 1999. Konstruksi Seksualitas Islam. Media Pressindo:
Yogyakarta.
______. Incest Itu Apa?. Desember 2007. http://idjatnika.multiply.com.
ADZAN DAN IQOMAH DI TELINGA BAYI

Adzan di telinga bayi di saat ia baru lahir, hampir termasuk perkara yang
disepakati. Fenomena seperti ini, nampak tersebar di Negeri kita yang jauh dari
Ulama rabbaniyyin yang mengajarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shohih dari
Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- sehingga membantu pesatnya perkembangan
masalah yang satu ini. Selain itu, banyak da’i yang berpangku tangan dan tidak
mau meneliti masalah ini lebih detail lagi dari segi keakuratan hadits-hadits yang
berkaitan dengan masalah ini, masalah disyari’atkannya adzan ditelinga bayi di
hari kelahirannya. Apalagi setelah tersebarnya kitab-kitab Syaikh Al-Albaniy -
rahimahullah- di dalamnya beliau menjelaskan bahwa derajat hadits adzan di
telinga bayi adalah “hasan”, tanpa mau lagi berusaha mengetahui dan meneliti
derajat hadits-hadits itu.
Menurut pemeriksaan para ulama terhadap riwayat-riwayat dan jalur-jalur
hadits adzan di telinga bayi, cuma ada tiga jalur atau empat:

Hadist Pertama
Dari Ubaidillah bin Abu Rafi’ dari ayahnya ia berkata:
‫صالَ ِة‬ َ ‫سلَّ َم َأ َّذنَ فِي ُأ ُذ ِن ا ْل َح‬
َّ ‫س ِن ْب ِن َعلِ ٍّي ِحيْنَ َولَ َد ْتهُ فَا ِط َمةُ بِال‬ َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو‬ ُ ‫َرَأيْتُ َر‬
َ ِ ‫س ْو َل هَّللا‬
Aku pernah melihat Rasulullah -shollallahu alaihi wa sallam-
mengumandangkan adzan seperti (adzan) untuk shalat di telinga Hasan bin Ali
setelah dilahirkan oleh Fatimah. (HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi)
Pada mulanya Syaikh al-Albani -rahimahullah- menghukumi hasan hadits
di atas. Dan ini dapat dilihat pada kitab karya beliau Irwâ` al-Ghalîl, no. 1173, dan
Shahîh al-Kalim ath-Thayyib, no. 167 cetakan Maktabah al-Ma’arif.
Namun kemudian beliau melamahkan hadits tersebut pada takhrij beliau
terhadap kitab Sunan at-Tirmidzi, no. 1514, Sunan Abi. Dawūd, no. 5104,
Hidâyah ar-Ruwât, no. 4085, dan Silsilah al-Ahâdîts adh-Dha’îfah, no. 321
cetakan terbaru. Silahkan lihat: al-I’lâm bi Âkhir Ahkâm al-Albâni al-Imâm, karya
Muhammad bin Kamal Khalid as-Suyuthi, hlm. 90-91, cetakan Dâr Ibn Rajab.
Kesimpulannya, hadits di atas adalah lemah.
Ada pula hadits yang menjelaskan tuntunan adzan dan iqomah di telinga
bayi. Berikut redaksinya:
‫ان‬ ِّ ‫ض َّرهُ ُأ ُّم ال‬
ِ َ‫ص ْبي‬ ْ ُ‫َمنْ ُولِ َد لَهُ َم ْولُ ْو ٌد فََأ َّذنَ فِي ُأ ُذنِ ِه ا ْليُ ْمنَى َو َأقَا َم فِي ُأ ُذنِ ِه ا ْلي‬
ُ َ‫س َرى لَ ْم ت‬
Barangsiapa yang dikaruniai anak lalu ia mengumadangkan adzan di
telinga kanannya dan iqomah di telinga kirinya maka bayi itu tidak akan ditimpa
bahaya.
Syaikh al-Albani -rahimahullah- berkomentar tetang hadits ini: “Sanad
hadits ini lemah, Yahya Ibnul ‘Ala’ dan Marwan bin Salim adalah pemalsu
hadits.” Lihat: Silsilah al-Ahâdîts adh-Dha’îfah, no. 321.
Setelah kita mengetahui kelemahan dua hadits di atas, maka tentunya
keduanya tidak boleh diamalkan, sebab beramal dengan dasar hadits lemah adalah
tidak boleh, bahkan merupakan salah satu jenis bid’ah dalam agama.

Hadits Kedua
Adapun hadits kedua dari Ibnu Abbas , diriwayatkan oleh Al-Baihaqy
dalam Syu’abul Iman (6/8620) dari Muhammad bin Yunus dari Al-Hasan bin
Amer bin Saif As-Sadusy, ia berkata, Al-Qosim bin Muthoyyib Telah
menceritakan kami dari Manshur bin Shofiyyah dari Abu Ma’bad dari Ibnu
Abbas: ”Bahwasanya Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- adzan di telinga Al-
Hasan bin Ali pada hari ia dilahirkan, di telinga kanannya. Beliau melakukan
iqomat pada telinga kirinya”.
Setelah itu, Al-Baihaqi berkata: “Pada sanadnya terdapat kelemahan”.
Kami katakan, “Bahkan hadits ini palsu”. Penyakitnya ada pada Al-Hasan bin
Amer . Al-Hafizh berkata dalam At-Taqrib, “Orangnya matruk/ditinggalkan”.
Ibnu Abi Hatim berkata dalam Al-Jarh wa At-Ta’dil (1/2/26), biografi (no.109),
“Saya pernah mendengarkan bapakku berkata:[Kami pernah melihat Al-Hasan bin
Amer di Bashrah, dan kami tak menulis hadits darinya, sedang dia itu
ditinggalkan haditsnya]”. Adz-Dzahaby berkata dalam Al-Mizan, “Al-Hasan bin
Amer dikatakan pendusta oleh Ibnul Madiny. Al-Bukhory berkata, “Dia
pendusta”. Ar-Rozy berkata, “Dia ditinggalkan”.”.
Sebagaimana yang kita ketahui bersama, diantara kaedah-kaedah Ilmu
Mushtholah Hadits bahwa hadits dho’if (lemah) tak akan bisa meningkat menjadi
hadits shohih atau hasan, kecuali ia datang dari jalur periwayatan yang lain,
dengan syarat: Tak ada orang yang parah ke-dho’if-annya/kelemahannya dalam
jalur tersebut, apalagi sampai ada pendusta. Jadi, hadits kedua dari Ibnu Abbas ini
-sedang kondisinya begini- tetap kedudukannya sebagai hadits dho’if dan tidak
bisa dijadikan hujjah. Di antara konsekuensi ilmu hadits, hadits Ibnu Abbas
tersebut tidak bisa dijadikan sebagai penguat bagi hadits Abu Rofi’. Jadi, hadits
Abu Rofi’ tetap kedudukannya sebagai hadits dho’if, sedang hadits Ibnu Abbas
adalah palsu.

Hadits Ketiga
Adapun hadits Al-Hasan bin Ali, hadits ini diriwayatkan oleh Yahya ibnul
Ala’ dari Marwan bin Salim dari Tholhah bin Ubaidillah dari Al-Hasan bin Ali, ia
berkata: Bersabda Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, “Barang siapa yang
dikaruniai seorang anak, lalu ia mengadzani pada telinga kanannya dan
beriqomat pada telinga kirinya, niscaya anak itu tak akan
dimudhorotkan/dibahayakan oleh Ummu Shibyan”. [HR. Al-Baihaqiy dalam
Syu’abul Iman (6/390) , Ibnus Sunni dalam Amal Al-Yaum wa Al-Lailah (623).
Hadits ini dibawakan oleh Al-Haitsami dalam Al-Majma’’ (4/59) seraya berkata,
“HR.Abu Ya’la(6780), di dalamnya terdapat seorang rawi yang bernama Marwan
bin Salim Al-Ghifary, sedang ia itu matruk /ditinggalkan”.
Bahkan hadits Al-Husain bin Ali di atas adalah palsu, di dalamnya terdapat
seorang rawi yang bernama Yahya Ibnul Ala’ dan Marwan bin Salim, keduanya
memalsukan hadits sebagaimana hal ini disebutkan oleh Syaikh Al-Albany dalam
Silsilah Al-Ahadits Adh-Dho’ifah (321). Nah, Hadits Abu Rofi’ tetap kondisinya
sebagai hadits dho’if sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Hafizh dalam At-
Talkhish (4/149): “Inti permasalahannya pada Ashim bin Ubaidillah, sedang ia
itu dho’if.”
Dulu Syaikh Al-Albany meng-hasan-kan hadits ini dalam Shohih Sunan
At-Tirmidzy (1224), Shohih Sunan Abu Dawud (4258), Al-Irwa’ (4/401), dan
Silsilah Al-Ahadits Adh-Dho’ifah (1/493).
Namun belakangan Syaikh Al-Albany meralat peng-hasan-an beliau
terhadap hadits Abu Rofi’ (hadits pertama) dalam Adh-Dho’ifah pada cetakan
terakhir yang diterbitkan oleh Maktabah Al-Ma’arif (1/494/no.321), “Sekarang
saya tegaskan –sekalipun kitab Asy-Syu’ab telah dicetak-, bahwa hadits Ibnu
Abbas tidak cocok untuk dijadikan penguat (bagi hadits Abu Rofi’-pent.), karena
di dalamnya terdapat rawi pendusta dan matruk (ditinggalkan). Saya amat heran
terhadap Al-Baihaqy dan Ibnul Qoyyim, bagaimana keduanya cuma men-dho’if-
kan hadits tersebut sehingga saya hampir memastikan cocoknya hadits itu
dijadikan sebagai penguat. Makanya, sekarang aku pandang diantara kewajiban
saya untuk mengingatkan hal itu dan mentakhrijnya pada pembahasan akan
datang (no.6121)”.
Disana ada sebuah hadits yang diriwayatkan di dalam kitab “Manaqib Al-
Imam Ali” (113) dari Ibnu Umar secara marfu’. Cuma sayangnya hadits ini lagi-
lagi tidak bisa dijadikan penguat karena di dalamnya ada pendusta. Abu Ishaq Al-
Huwainy berkata dalam Al-Insyirah (hal.96), “Kesimpulannya, tak ada satu
haditspun menjadi penguat bagi hadits ini menurut yang saya ketahui, Wallahu
a’lam”.
Jadi, tiga hadits di atas tidak boleh dijadikan hujjah dalam menetapkan
sunnahnya meng-adzan-i, dan meng-iqomat-i telinga bayi yang baru lahir, karena
kelemahan dan kepalsuannya.
Syaikh al-Albani menyatakan, bahwa setiap ibadah yang tidak ada
keterangan tentang tata caranya melainkan dari hadits lemah atau palsu maka itu
adalah bentuk kebid’ahan. (Ahkâm al-Janâ`iz, hlm. 306, cetakan Maktabah al-
Ma’arif)
__________, 2009, Adzan dan Iqomah di Telinga Bayi, Majalah Islamiyyah
Manhajiyyah.

Andreas, 2009, Adzan di Telinga Kanan dan Iqomat di Telinga Kiri Pada Saat
Kelahiran si Bayi, http://qurandansunnah.wordpress.com/.
AQIQAH
1. Definisi
Istilah aqiqah berasal dari bahasa Arab al-aqiqah wa al uqoqu yang berarti
kilat yang dapat disaksikan di tengah-tengah gumpalan awan, sebagaimana
kilatan yang ditimbulkan oleh sebuah pedang terhunus. Pengertian lain adalah
rambut yang tumbuh di atas kepala bayi sejak dalam kandungan hingga
tampak pada saat dilahirkan. Pengertian kedua inilah yang menurut
Zamakhsyari merupakan makna asal aqiqah.
2. Aqiqah Dalam Pandangan Islam
Pelaksanaan aqiqah menurut kesepakatan para ulama adalah hari ketujuh
dari kelahiran. Hal ini berdasarkan hadist samirah di mana Nabi saw.
Bersabda, ”Seorang anak terikat dengan aqiqahnya. Ia disembelihkan aqiqah
pada hari ketujuh dan diberi nama.” (H.R. At-Tirmidzi). Namun demikian,
apabila terlewat dan tidak bisa dilaksanakan pada hari ketujuh, ia bisa
dilaksanakan pada hari ke-14. Dan jika tidak juga, maka pada hari ke-21 atau
kapan saja ia mampu. Imam Malik berkata : ”Pada dzohirnya bahwa
keterikatannya pada hari ke-7 (tujuh) atas dasar anjuran, maka sekiranya
menyembilih pada hari ke-4 (empat), ke-8 (delapan), ke-10 (sepuluh) atau
setelahnya aqiqah itu telah cukup”. Karena prinsip ajaran Islam adalah
memudahkan bukan menyulitkan sebagaimana firman Allah swt : ”Allah
menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu”. (QS. Al Baqarah : 185)
3. Hukum Pelaksanaan Ibadah Aqiqah
Hukum melaksanakan Aqiqah untuk anak yang baru dilahirkan adalah
sunnah dan sangat dianjurkan dalam Islam sesuai pendapat dari jumhur
imam-imam dan ahli fiqh. Hal ini dikuatkan dengan sabda Nabi dalam sebuah
hadist : ”Sesungguhnya manusia pada hari kiamat nanti akan diminta
tanggungjawabnya atas aqiqah, sebagaimana akan diminta tanggungjawabnya
atas shalat-shalat lima waktu.”
4. Hewan Untuk Aqiqah
Masalah kambing yang layak untuk dijadikan sembelihan aqiqah adalah
kambing yang sehat, baik, tidak ada cacatnya. Semakin besar dan gemuk
tentu semakin baik. Dianjurkan agar dagingnya diberikan dalam kondisi
sudah dimasak. Hadist Aisyah ra. ” Sunnahnya dua ekor kambing untuk anak
laki-laki dan satu ekor kambing untuk anak perempuan. Ia dimasak tanpa
mematahkan tulangnya. Lalu dimakan (oleh keluarganya), dan disedekahkan
pada hari ketujuh.” (HR al-Bayhaqi)

5. Yang Berhak Menerima Daging Sembelihan Aqiqah


Mereka yang paling layak menerima sedekah adalah orang fakir dan
miskin dikalangan umat islam begitu juga dengan aqiqah. Walau bagaimapun
berdasarkan beberapa buah hadist dan amalan Rasulullah dan sahabat kita
disunnahkan juga memakan sebahagian daripada daging tersebut ,bersedekah
sebahagian dan menghadiahkan sebahagian lagi
6. Hukum Aqiqah Setelah Dewasa
Ada 2 (dua) pendapat fuqaha dalam masalah aqiqah setelah dewasa
(baligh). Pertama, pendapat beberapa tabi’in, yaitu ‘Atha`, Al-Hasan Al-
Bashri, dan Ibnu Sirin, juga pendapat Imam Syafi’i, Imam Al-Qaffal asy-
Syasyi (mazhab Syafi’i), dan satu riwayat dari Imam Ahmad. Mereka
mengatakan orang yang waktu kecilnya belum diaqiqahi, disunnahkan
(mustahab) mengaqiqahi dirinya setelah dewasa. Dalilnya adalah hadis
riwayat Anas RA bahwa Nabi SAW mengaqiqahi dirinya sendiri setelah
nubuwwah (diangkat sebagai nabi). (HR Baihaqi; As-Sunan Al-Kubra, 9/300;
Mushannaf Abdur Razaq, no 7960; Thabrani dalam Al-Mu’jam al-Ausath no
1006; Thahawi dalam Musykil Al-Atsar no 883).
Kedua, pendapat Malikiyah dan riwayat lain dari Imam Ahmad, yang
menyatakan orang yang waktu kecilnya belum diaqiqahi, tidak mengaqiqahi
dirinya setelah dewasa. Alasannya aqiqah itu disyariatkan bagi ayah, bukan
bagi anak. Jadi si anak tidak perlu mengaqiqahi dirinya setelah dewasa. Selain
itu, hadis Anas RA yang menjelaskan Nabi SAW mengaqiqahi dirinya sendiri
dinilai dhaif sehingga tidak layak menjadi dalil. (Hisamuddin ‘Afanah,
Ahkamul Aqiqah, hlm. 59; Al-Mufashshal fi Ahkam al-Aqiqah, hlm.137;
Maryam Ibrahim Hindi, Al-’Aqiqah fi Al-Fiqh Al-Islami, hlm. 101; M. Adib
Kalkul, Ahkam al-Udhiyyah wa Al-’Aqiqah wa At-Tadzkiyyah, hlm. 44).
SUNAT PEREMPUAN
1. Definisi Sunat Perempuan
Menurut bahasa, khitan berasal dari khatana-yakhtunu-khatan yang
berarti memotong (Syafa’ah dan Toha, 2007), sedangkan istilah khitan
dalam bahasa arab adalah bagian kemaluan laki-laki atau perempuan
yang dipotong/bagian yang dikhitan (Safarah, 2007). Ada yang
berpendapat bahwa istilah khitan berasal dari kata khatn yang berarti
khitan bagi laki-laki, sedangkan bagi perempuan lebih dikenal dengan
istilah kahfdh.
Kata sirkumsisi berasal dari bahasa Latin circum (berarti memutar)
dan caedere (berarti memotong). Khitan dalam islam tidak hanya
dilakukan pada laki-laki, tetapi juga kepada wanita. Khitan bagi laki-laki
adalah memotong semua kulup (kulit) yang menutupi ujung zakar.
Sedangkan mengkhitankan wanita ialah dengan memotong sebagian kulit
(labia minora) atau kelentit (praeputium clitoridis) yang terdapat pada
bagian atas farji (Umar, 1986)
Sedangkan WHO mendefinisikan Female Genital Circumsission
(FGC) sebagai semua tindakan/prosedur yang meliputi pengangkatan
sebagian atau total dari organ genitalia eksterna perempuan atau bentuk
perlukaan lain terhadap organ genitalia perempuan dengan alasan
budaya, atau alasan nonmedis lainnya (Forward, 2010).
2. Sejarah Sunat Perempuan
Praktik sunat pada perempuan sudah ada sejak jaman sebelum
masehi. Sururin (2008) menyatakan bahwa penelitian anthropologi
mendapatkan praktek tersebut pada mummi mesir yang justru ditemukan
pada kalangan kaya dan berkuasa, bukan oleh rakyat jelata. Ahli
antropologi menduga pada jaman kuno sunat untuk mencegah masuknya
roh jahat melalui vagina (Ardyanto, 2006)
Sunat telah dilakukan sejak zaman prasejarah (Wikipedia, 2009),
dilihat dari gambar-gambar di gua yang berasal dari Zaman Batu dan
makam Mesir purba. Alasan tindakan ini masih belum jelas pada masa itu
tetapi teori-teori merperkirakan bahwa tindakan ini merupakan bagian
dari ritual pengorbanan atau persembahan, tanda penyerahan pada Yang
Maha Kuasa, langkah menuju kedewasaan, tanda kekalahan atau
perbudakan, atau upaya untuk mengubah estetika atau seksualitas.
Menurut Milos dan Macris (dalam Sumarni, dkk, 2005), sunat
sudah dilakukan secara rutin sejak 6.000 tahun yang lalu di bagian
selatan Afrika, mulai dari Libya, Mesir, Timur Tengah, Amerika Selatan,
Australia, dan Asia Tenggara. Pada saat itu sunat dilakukan untuk alasan
religi, manusia dihukum agar tidak melakukan tindakan seksual yang
menyimpang dan berlebihan.
3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Sunat Perempuan
WHO (2006) membedakan alasan pelaksanaan sunat perempuan
menjadi 5 kelompok, yaitu :
a. Psikoseksual, diharapkan pemotongan klitoris akan mengurangi libido
pada perempuan, mengurangi/menghentikan masturbasi, menjaga
kesucian dan keperawanan sebelum menikah, kesetiaan sebagai istri,
dan meningkatkan kepuasan seksual bagi laki-laki. Terdapat juga
pendapat sebaliknya yang yakin bahwa sunat perempuan akan
meningkatkan libido sehingga akan lebih menyenangkan suami.
b. Sosiologi, yaitu melanjutkan tradisi, menghilangkan hambatan atau
kesialan bawaan, masa peralihan pubertas atau wanita dewasa, perekat
sosial, dan lebih terhormat. Wanita yang tidak disunat akan diejek,
disiksa dan tidak memenuhi syarat untuk menikah (Nitri, 1993)
c. Higiene dan estetik, yaitu organ genitalia eksternal dianggap kotor dan
tidak bagus bentuknya, jadi sunat dilakukan untuk meningkatkan
kebersihan dan keindahan.
d. Mitos, yaitu meningkatkan kesuburan dan daya tahan anak.
e. Agama/kepercayaan, yaitu dianggap sebagai perintah agama, agar
ibadah lebih diterima. Mayoritas wanita di Somalia memberi alasan
melakukan sunat perempuan dengan alasan agama/kepercayaan (Dirie
dan Lindmark, 2006). Diterima atau tidaknya nilai-nilai kesehatan
dipengaruhi kepercayaan orang tersebut terhadap kesehatan.
Kepercayaan terhadap baik buruknya nilai kesehatan didasarkan atas
penilaiannya pada kemanfaatan dan kerugian yang dirasakannya
(Suryani dan Widyasih, 2008)
4. Macam-Macam Sunat Perempuan
Sumarni, dkk (2007) menyatakan terdapat 5 macam cara
melakukan sunat perempuan atau khifad, mulai dari yang paling sederhana
sampai yang sangat kejam. Berikut adalah cara-cara yang dimaksud:
a. Tetesan: sunat perempuan secara simbolis dengan melakukan usapan-
usapan pada klitoris dengan kunyit, terkadang disertai dengan
membersihkan smegma, atau dengan pemotongan kunyit yang sudah
dikupas dan diletakkan di dekat klitoris
b. Khitan atau sunat biasa: sunat perempuan dengan melakukan perlukaan,
penusukan, penggoresan pada kulit klitoris dan pemotongan sebagian
preputium sampai mengeluarkan darah
c. Clitoridectomy: sunat perempuan dengan menghilangkan sebagian atau
bahkan seluruh kulit klitoris (Rifa’i, 2001)
d. Pharaonic circumcision: sunat perempuan dengan melakukan
pemotongan sejumlah jaringan kelamin dan penghilangan semua labia
minora (Rifa’i, 2001)
e. Infibulation: penghilangan seluruh bagian alat kelamin, klitoris, labia
majora, dan labia minora, kemudian dijahit agar menjadi sempit atau
menyatu untuk selamanya, setelah itu jerami dimasukkan ke dalam
liang vagina dan menyisakan lubang kecil untuk keluarnya kencing dan
darah menstruasi (Althaus, 2007; BBC News, 1998)
5. Hukum Sunat Perempuan dalam Islam
Secara umum para ulama sepakat mengatakan bahwa khitan itu
suatu hal yang masyru’ (disyariatkan) baik bagi laki-laki ataupun wanita.
Akan tetapi mereka berbeda pendapat dalam menetapkan hukumnya,
apakah khitan itu wajib atau tidak. Bagi orang yang memandang bahwa
mengkhitan wanita itu lebih baik bagi anak-anaknya, maka hendaklah ia
melakukannya, akan hal orang yang tidak melakukannya, maka tidaklah
ia berdosa, karena khitan itu tidak lebih dari sekadar memuliakan wanita,
sebagaimana kata para ulama dan seperti yang disebutkan dalam beberapa
atsar (Qardhawi, 2009)
Thanthawy (2009) menentang sunat perempuan dan menyebutnya
tidak islami. Tidak ada hadist sahih yang menjelaskan hukum khitan
perempuan. Ibnu Mundzir mengatakan bahwa tidak ada hadist yang bisa
dijadikan rujukan dalam masalah khitan perempuan dan tidak ada sunnah
yang bisa dijadikan landasan. Semua hadist yang meriwayatkan khitan
perempuan mempunyai sanad dlaif atau lemah (Safarah, 2007)
Dalam penetapan hukum ini ada tiga pendapat. Pertama: Khitan itu
wajib, baik bagi laki-laki ataupun wanita. Ini adalah pendapat ulama
Syafi’i, Hanbali, dan sebagian ulama Maliki. Kedua: Khitan itu hukumnya
adalah sunat, baik bagi laki-laki, maupun wanita. Ini adalah pendapat
ulama Hanafi, Imam Malik dan Imam Ahmad dalam satu riwayat. Ketiga:
Khitan itu wajib hukumnya bagi laki-laki, sedangkan bagi wanita hanya
merupakan suatu kehormatan (makramah/mustahab). Ini pendapat
sebagian ulama Maliki, ulama Zhahiry, dan pendapat imam Ahmad dalam
satu riwayat.
Para ulama yang berpendapat bahwa khitan wajib bagi laki-laki dan
wanita, berdalil dengan hal-hal berikut:
a. Firman Allah (artinya): “Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji Tuhannya
dengan beberapa kalimat perintah dan larangan, lalu Ibrahim
melaksanakannya” (QS. Al-Baqarah: 124). Khitan adalah salah satu
kalimat yang diperintahkan Allah sebagai ujian terhadap Nabi Ibrahim
sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas. Dan biasanya
seseorang itu diuji Allah dengan sesuatu yang wajib.
b. Firman Allah (artinya): “Kemudian Kami wahyukan kepadamu agar
engkau mengikuti agama (ajaran) Ibrahim dengan lurus”. (QS. an-Nahl:
123). Ini adalah perintah untuk mengikuti ajaran Ibrahim as, dan khitan
merupakan salah satu ajarannya. Sebagaimana yang diriwayatkan Abu
Hurairah, bahwa Rasulullah saw bersabda, 'Nabi Ibrahim Khalilur
Rahman berkhitan setelah berumur delapan puluh tahun”.
c. Rasulullah bersabda kepada seseorang yang masuk Islam: Dari Utsaim
bin Kulaib dari bapaknya dari kakeknya bahwasannya dia datang
kepada Rasulullah, seraya berkata: "Saya telah masuk Islam." Maka
Rasulullah, bersabda, "Buanglah darimu rambut kekufuran dan
berkhitanlah." Ini adalah bentuk perintah, di dalam kaidah ilmu ushul
fiqih bahwa pada dasarnya sebuah perintah itu berhukum wajib selagi
tidak ada dalil yang memalingkannya kepada hukum lainnya.
Perintahnya untuk satu orang mencakup semua orang selama tidak ada
dalil yang menunjukkan khusus.
PEMBERIAN NAMA YANG BAIK TERHADAP ANAK

Nama dalam bahasa arab disebut dengan al-ismu adalah sebuah tanda yang
melekat pada seseorang hingga orang tersebut menjadi dipanggil dengan sebutan
itu. Bentuk jamaknya adalah al-asma’. Seseorang diberi nama lalu melekatlah
padanya nama itu, seperti seorang bayi yang diberi nama Muhammadani, maka
Muhammadani menjadi namanya.
Syariat Islam telah menetapkan bahwa di antara hak-hak anak yang harus
dia terima dari kedua orang tuanya adalah pemberian nama yang terbaik, yang
dapat menjadi cirri utama baginya dipanggil berbeda dengan orang lain di tengah-
tengah masyarakat. Nama tersebut harus mempunyai arti yang terpuji atau sifat
yang baik, yang menyenangkan hati dan menenangkan jiwa, yang membangkitkan
cita-cita mulia, atau yang menunjukkan keberanian dan kecerdasan.
Dalam hal ini Rasulullah SAW telah menegaskan : “Seseungguhnya kalian
pada hari kiamat nanti akan dipanggil dengan nama-nama kalian dan nama bapak-
bapak kalian. Oleh karena itu perbaguslah nama-nama kalian”.
Dalam riwayat lain Rasulullah SAW juga telah menjelaskan tentang nama-
nama yang beliau senangi : “Berilah nama anakmu dengan nama-nama para nabi”
(Demikian keterangandalam kitab Sunan Abi Daud Juz : 4, halaman : 394).
Nama yang paling disukai Allah SWT adalah Abdullah dan Abdurrahman,
sedangkan nama yang paling jujur adalah Haris dan Hamam. (Demikian
keterangan dalam kitab Misykatul-Mashabih Juz : 2, halaman : 565, dan
dikeluarkan oleh Imam Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah dalam kitab
Al-Jami’ush Shagir).
Dalam sebuah riwayat yang bersumber dari Ibnu Umar diterangkan bahwa
Rasulullah SAW telah bersabda : “Nama-nama kalian yang lebih disukai Allah
SWT adalah Abdullah dan Abdurrahman.” (HR. Muslim).
Apabila syariat Islam telah menekankan pentingnya pemberian nama yang
bagus untuk anak, maka para ayah dan ibu dihimbau untuk member nama yang
baik untuk anak-anak mereka, tetapi jangan pula member nama yang mengandung
arti pemaksaan, kesombongan, dan melampaui batas, misalnya nama Malikul-
Mulki (rajanya segala raja). Yang demikian adalah sesuai dengan sabda Rasulullah
SAW : “Sesungguhnya nama yang dibenci Allah SWT adalah nama seorang laki-
laki yang diberi nama Malikul-Amlak (raja dari segala raja), padahal tidak ada
raja dari segala raja selain Allah SWT.”
Semua nama yang berarti menghamba kepada selain Allah SWT, dalam
syariat Islam adalah sangat dilarang, seperti hamba Ka’bah (‘Abdul Ka’bah),
hamba nabi (‘Abdun-Nabi), dan hamba Hussain (‘Abdul Hussain). Selain itu juga
nama-nama yang tidak disukai karena memiliki arti yang tidak disukai pula seperti
Harb (perang), Murrah (sakit), Kalb (anjing), dan sebagaianya.
Waktu pemberian nama pada anak adalah pada hari ke-7 kelahiran
sekaligus melaksanakan ‘aqiqah yaitu pemotongan kambing seperti yang telah
ditentukan yaitu jika anak yang terlahir adalah laki-laki maka kambing yang
disembelih adalah 2 ekor dan jika anak yang terlahir adalah perempuan maka
kambing yang disembelih adalah 1 ekor saja. Anas radhiyallahu’anhu
mengetengahkan sebuah riwayat, bahwa Rasulullah SAW telah bersabda : “Anak
kecil hendaklah di’aqiqahi, diberi nama, dan dihilangkan penyakitnya pada hari
ke-7.” Tidak hanya itu, syariat Islam juga mengajarkan kepada pemeluknya
supaya memberi nama pada janin yang terlahir mati (IUFD) ataupun yang abortus.
MENCUKUR RAMBUT KEPALA ANAK

Di antara beberapa perlindungan syariat Islam terhadap anak adalah


menjaga dan merawat kebersihan serta kesehatan seorang anak yang baru
dilahirkan dari rahin ibu. Salah satunya adalah dengan mencukur rambut kepala
anak yang mana dengan pencukuran ini akan menghilangkan kotoran-kotoran
yang menempel di kepala anak dan terbawa sampai terlahir ke dunia sehingga
akan menghindari pertumbuhan mikrorganisme yang dapat menimbulkan penyakit
di kepala anak ataupun megelupaskan kulit kepala anak.
Oleh karena itu, Rasulullah SAW memerintahkan kepada umatnya supaya
mencukur rambut kepala anak pada hari ke-7 kelahiran. Dalam kitab Tuhfatul
Maudud karya Ibnul Qayyim, ‘Aisyah menegaskan bahwa Rasulullah SAW
ber’aqiqah dari kelahiran Hasan dan Husain pada hari ke-7 dan member nama
keduanya serta memerintahkan agar menghilangkan penyakit dari kepala
keduanya dengan mencukur rambutnya.

Anda mungkin juga menyukai