Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH AL ISLAM

II “IBADAH HAJI”

DOSEN PENGAMPU :

SAIBAH, S,Pd.i., M.Pd

DISUSUN OLEH :

RENDIKO BAGAS AHMADHA (2210611090)

LUCKY ARDIAN RIZKI PRATAMA (2210611095)

FAKULTAS TEKNIK

PRODI TEKNIK SIPIL

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JEMBER

2023
KATA PENGANTAR
Alhadulillah pada kesempatan ini marilah kita panjatkan puja dan puji syukur kita
kepada allah swt yang telah melimpahkan rahmatnya kepada kita semua sehingga kita
dapat bertemu melalui makalah ini dengan keadaan sehat wal afiyat.

Sholawat serta salam tak lupa kita haturkan ke pada nabi junjungan kita nabi
Muhammad SAW yang telah menjunjung kita dari jaman jahiliyah menuju jaman
islamiyah yakni addinul islam.

Makalah tentang “IBADAH HAJI” disusun sebagai salah satu persyaratan nilai
tugas mata kuliah AL-ISLAM II, Program Studi Teknik Sipil, Fakultas Teknik,
Universitas Muhammadiyah Jember.

Tak lupa juga penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada dosen pengampu
mata kuliah AL-ISLAM 1I yang telah memberikan kesempatan kepada kelompok kami
dalam menulis makalah ini, dan tak lupa juga terima kasih kepada teman-teman sekalian
yang telah memberikan semangat kepada kami untuk menyelesaikan makalah ini dengan
tepat waktu.

Jember, 07 Oktober 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................ii

DAFTAR ISI.............................................................................................................................iii

BAB 1 PENDAHULUAN.........................................................................................................1

1.1. Latar Belakang.............................................................................................................1

1.2. Rumusan Masalah.......................................................................................................1

1.3. Tujuan Penulisan.........................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................................2

2.1 Hakikat Haji.................................................................................................................2

2.2 Sejarah Haji.................................................................................................................8

2.3 Kriteria Haji Mabrur....................................................................................................9

2.4 Hikmah Haji..............................................................................................................11

2.5 Makna Spiritual Haji Bagi Kehidupan Sosial............................................................13

BAB III PENUTUP..................................................................................................................15

3.1. Kesimpulan................................................................................................................15

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................16

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Haji adalah salah satu rukun islam dan salah satu tiang agama islam. Tidak
sempurna keislaman seseorang hingga dirinya menjalankan ibadah haji. Jika semua
syarat-syarat haji telah terpenuhi pada seseorang, maka tidak halal baginya menunda
pelaksanaan haji karena perintah Allah dan Rasul-Nya. Maka seharusnya
menyegerakan untuk melaksanakan ibadah haji ini adalah suatu hal yang sangat
diharuskan karena manusia tidak mengetahui apa yang akan terjadi padanya , mungkin
pada kemudian hari dia akan menjadi miskin, sakit atau mati
Menurut Imam Abi Abdillah Muhammad bin Qosim al-Ghozi dalam Kitab fathul
qorib Ibadah haji adalah mengunjungi Baitullah di Makkah untuk melakukan amal
ibadah tertentu dengan syarat-syarat tertentu pula.
Diantara hikmah disyari’atkannya haji adalah memebersihkan jiwa seorang
muslim dari dosa-dosa sehingga jiwa layak menerima kemuliaan Allah SWT di dunia
dan di akhirat. Tentunya kemuliaan tersebut diperoleh dengan usaha yang maksimal
hingga seseseorang yang melaksanakan ibadah haji memperoleh perdikat haji yang
mabrur.

1.2. Rumusan Masalah


1 Bagaimanakah regulasi haji ?
2 Bagaimanakah tinjauan fiqih ibadah mengenai regulasi haji ?
3 Kenapa ibadah haji diwajibkan bagi yang mampu ?
4 Apa bedanya haji dengan umroh ?

1.3. Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui tinjauan regulasi haji
2. Untuk tinjauan fiqih ibadah mengenai regulasi haji
3. Untuk mengetahui kenapa ibadah haji diwajibkan bagi yang mampu
4. Untuk mengetahui apa bedanya haji dengan umroh

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Hakikat Haji


Ibadah haji adalah suatu ibadah yang memerlukan kebulatan tekad dan
kesungguhan hati. Kebulatan tekad untuk meninggalkan kampung halaman beserta
keluarga tercinta dan kesungguhan hati untuk meninggalkan segala tingkah laku yang
tidak baik. Haji diwajibkan bagi setiap muslim, dengan syarat “bagi yang mampu”.
Mampu baik secara fisik dan materi. Dan yang lebih penting adalah kemampuan untuk
menyiapkan diri sebagai tamu Allah. Haji adalah suatu ibadah yang tidak membedakan
kedudukan dan status sosial. Prosesi haji dan maknanya demikian penting untuk dikaji,
sebab jangan sampai ibadah ini hanya sebagai ritualnya tanpa mengetahui makna
terdalamnya. Ritual haji merupakan kumpulan simbol-simbol yang sangat indah prosesi
haji mengandung simbolisasi filosofis yang maknanya sangat dalam yang dapat
menyentuh aktivitas kehidupan manusia sehari-hari. Makna prosesi haji apabila
dihayati dan diamalkan secara baik dan benar, maka akan mampu memberikan
kesejukan, kecintaan, kebenaran dan keadilan kepada umat manusia. Dengan demikian
akan tercipta kedamaian di muka bumi.

Pengertian haji secara etimologis berasal dari qashdu (maksud, niat, menyengaja),
sedangkan kata umrah berarti ziarah. Secara terminologis, haji adalah ialah bermaksud
(menyengaja) menuju Baitullah dengan cara dan waktu yang telah ditentukan. Dari
pengertian tersebut dapat dipahami bahwa haji dan umrah adalah untuk melakukan
kewajiban ziarah ke Baitullah karena Allah (QS. Al-Baqarah [2]: 196).

2
Artinya: “ Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. Tetapi jika kamu
terkepung (oleh musuh), maka (sembelihlah) hadyu yang mudah didapat, dan jangan
kamu mencukur kepalamu, sebelum hadyu sampai di tempat penyembelihannya. Jika
ada di antara kamu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu dia bercukur), maka
dia wajib berfidyah, yaitu berpuasa, bersedekah atau berkurban. Apabila kamu dalam
keadaan aman, maka barangsiapa mengerjakan umrah sebelum haji, dia (wajib
menyembelih) hadyu yang mudah didapat. Tetapi jika dia tidak mendapatkannya, maka
dia (wajib) berpuasa tiga hari dalam (Musim) haji dan tujuh (hari) setelah kamu kembali. Itu
semuanya sepuluh (hari). Demikian pula, bagi orang yang keluarganya tidak ada (tinggal) di sekitar
Masjidilharam. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras hukuman-Nya.

Dari ayat di atas, manusia diperintahkan untuk menunaikan ibadah haji dan
umrah hanya untuk taat kepada Allah. Bukan untuk kepentingan bisnis, untuk
memperoleh popularitas dan lain-lain. Demikian pula ibadah haji ini juga diwajibkan
bagi yang mampu (QS. Ali Imran [3]: 97).

Artinya : “di sana terdapat tanda-tanda yang jelas, (di antaranya) maqam Ibrahim.
Barangsiapa memasukinya (Baitullah) amanlah dia. Dan (di antara) kewajiban manusia
terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang
yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Barangsiapa mengingkari (kewajiban)
haji, maka ketahuilah bahwa Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh
alam.”

Dari ayat al-Qur’an di atas dapat memperkuat pentingnya niat haji sematamata
karena Allah Swt. Kata lillah dalam ayat tersebut adalah lam al-ijab wa alilzam (yang
berfaidah mewajibkan dan meniscayakan) ibadah haji hanya untukNya.

Tamu yang hadir ada jutaaan manusia dari seluruh penjuru dunia. Dan setiap
yang hadir mestinya mampu merespon permasalahan-permasalahan yang ada dengan
baik. Misalnya, ketika ada orang yang kehausan, kelaparan, sakit, kesasar dan orang

3
yang

4
kehilangan sangunya, mereka bersedia membantu menolongnya. Bila mereka sanggup
merespon masalah-masalah yang ada di sekitarnya dengan baik, niscaya Tuhan pun
akan tersenyum.

Namun kebanyakan tidak demikian, ketika melakukan ibadah ternyata ada juga
ujiannya. Ketika hendak mencium Hajar Aswad misalnya, mereka berusaha untuk
melakukannya meskipun harus menyakiti orang lain, menendang dan mendorongnya,
bahkan ada yang rela membayar hanya demi untuk mencium Hajar Aswad. Kalau itu
yang terjadi, maka akan hilang kesatuannya dirinya dengan umat, hilang pula gairah
transformasi sosialnya. Seolah mereka mengatakan, “Aku harus melakukan yang paling
bagus yang terbaik dan orang lain tidak perlu”.

Mestinya tidak demikian, lebih baik kita bisa memberikan kesempatan kepada
orang lain dan tidak mengganggu mereka, dari pada bisa mencium Hajar Aswad namun
dilakukannya dengan cara menyakiti orang lain. Sebab mencium Hajar Aswad dapat
dilakukan dengan isyarat jarak jauh, yaitu dengan melambaikan tangan. Bila kita
mampu memahami apa yang sebenarnya dikehendaki Sang pemilik Rumah, maka
Tuhan akan memberikan kenaikan pangkat atau derajat di hadapanNya, bukan hanya
kenaikan pangkat atau derajat di hadapat makhluk-Nya.

Di tengah-tengah masyarakat ada pemahaman yang salah kaprah. Di mana


sebagian masyarakat meyakini bahwa dengan berulang kali pergi haji dan umrah, maka
dianggap semakin tinggi pula tingkat kesalehan dan ketaqwaannya. Dari tinjauan
sosiologis, kecenderungan ini memang diakui sebagai salah satu gejala dari struktur
sosial masyarakat.

A. Syarat Wajib Haji

Para ahli fiqh sepakat bahwa haji wajib dilakukan oleh seseorang
mukallaf ketika lima syarat wajib haji terpenuhi, yaitu Islam, baligh, berakal,
merdeka (bukan budak), dan mampu.

Syarat-syarat ada yang merupakan syarat kewajiban dan keabsahan atau


pelaksanaan (islam dan berakal), ada pula yang merupakan syarat kewajiban
dan ijza’ (kecukupan) tapi bukan syarat keabsahan (yaitu baligh dan merdeka),
dan ada pula yang merupakan syarat kewajiban saja, yaitu kemampuan.

5
1. Islam

Haji tidak wajib atas orang kafir, maka dari itu dia tidak dituntut
mengerjakannya di dunia ketika dia masih kafir, dan juga tidak sah jika
dia mengerjakannya sebab dia tidak punya kelayakan untuk menunaikan
ibadah. Jika orang kafir pernah menunaikan haji kemudian dia masuk
Islam dia wajib menunaikan haji lagi, haji yang pernah di lakukannya
pada saat dirinya masih kafir tidak terhitung sah.

Demikian pula haji tidak wajib atas orang kafir, menurut madzhab
Hanafi dalam hal-hal yang berkaitan dengan hukum akhirat. Jadi, dia
tidak diazab lantaran tidak berhaji sebab orang kafir tidak di-
khittab(dituntut) untuk mengerjakan amal-amal furu’ dalam syariat
Islam. Sedangkan menurut Jumhur orang kafir di azab diakhirat lantaran
meninggalkan haji, sebab dia dituntut untuk mengerjakan hal- hal furu’.

Mazhab Maliki berpendapat bahwa Islam adalah syarat keabsahan,


bukan syarat kewajiban. Jadi, haji wajib atas orang kafir tapi tidak sah
dikerjakannya kecuali jika dia masuk Islam. Mazhab Syafi’i mewajibkan
haji atas orang murtad, tapi tidak sah dikerjakannya kecuali jika dia telah
kembali ke Islam, adapun orang kafir asli tidak wajib haji atasnya

2. Taklif (baligh dan berakal)

Haji tidak wajib atas anak kecil dan orang gila sebab keduanya
tidak dituntut mengerjakan hukum-hukum syariat. Karena itu, keduanya
tidak harus menunaikan haji. Haji atau umrah juga tidak sah dilakukan
oleh orang gila,sebab dia tidak memiliki kelayakan untuk mengerjakan
ibadah. Seandainya mereka berdua telah menunaikan haji kemudian si
anak kecil mencapai umur baligh dan si orang gila menjadi waras,
mereka tetap wajib menunaikan haji Islam, dan haji yang kerjakan si
anak kecil tadi sebelum baligh terhitung sebagai amal tathawwu’
(sunnah)

6
3. Merdeka

7
Haji tidak wajib atas hamba sahaya, sebab haji adalah ibadah yang
lama temponya, memerlukan perjalanan jauh, dan disyariatkan adanya
kemampuan dalam hal bekal dan kendaraan, hal ini mengkibatkan
terabaikannya hak-hak majikan yang berkaitan dengan si hamba. Karena
itu, haji tidak wajib atasnya, sama seperti jihad.

4. Kesanggupan (fisik, finansial dan keamanan dalam perjalanan haji).

Menurut mazhab Hanafi kesanggupan meliputi tiga hal yaitu: fisik,


finansial dan keamanan. Kesanggupan fisik artinya kesehatan badan.
Jadi tidak wajib haji atas orang sakit, orang yang berpenyakit kronis,
orang cacat. Yang dimaksud kesanggupan ini adalah kesanggupan taklif,
yaitu terpenuhinya faktor-faktor dan sarana-sarana untuk mencapai tanah
suci, dan termasuk diantara faktor-faktor tersebut adalah badan tidak
mengalami cacat/penyakit yang menghalangi pelaksanaan hal-hal yang
diperlukan dalam perjalanan haji.

Kesanggupan finansial adalah memiliki bekal dan kendaraan.


Yakni, mampu menanggung biaya pulang pergi serta punya kendaraan,
yang merupakan kelebihan dari biaya tempat tinggal serta keperluan-
keperluan lain.

B. Rukun dan Wajib Haji

Rukun dan wajib adalah dua istilah yang digunakan oleh semua
ulama fiqh hanya dalam ibadah haji. Keduanya sama-sama mesti
dikerjakan. Namun ada perbedaan diantara keduanya, meskipun dalam
banyak hal keduanya adalah sama. Rukun dalam haji adalah sesuatu yang
sama sekali tidak boleh tertinggal dalam arti bila salah satu rukun yang
ditentukan tertinggal, hajinya batal dan oleh karenanya harus diulang
kembali tahun berikutnya. Wajib adalah perbuatan yang mesti dilakukan,
namum bila satu diantaranya tertinggal tidak membawa kepada batalnya
haji itu, hanya diwajibkan melakukan perbuatan lain sebagai penggantinya.
Yang menjadi dasar hukum itu adalah dalil yang kuat dari al-Qur’an atau
hadits Mutawatir, sedangkan dasar hukum dari yang wajib itu hanyalah
dalil yang tidak kuat seperti hadits ahad.

8
rkun-rukun yang tidak sah haji kecuali dengan mengerjakannya, ada
lima: Ihram, Thawaf, Sa’i (setelah thawaf), wukuf di padang ‘Arafah dan
bercukur.

Adapun hal-hal yang wajib (yakni yang apabila tidak dikerjakan dapat
dan harus diganti dengan dam) ada enam:

1. Ihram dari miqat(tempat yang ditentukan untuk memulai haji).


Maka barang siapa melampaui miqattanpa ber-ihram, diwajibkan
membayar dam (denda) seekor domba.

2. Melempar Jumroh. Barangsiapa tidak melakukannya, diwajibkan


membayar dam, seekor domba.

3. Meneruskan wukuf di ‘Arafah sampai setelah matahari terbenam.

4. Menginap (mabit) di Muzdalifah.

5. Menginap (mabit) di Mina.

6. Thawaf wada’ (thawaf perpisahan sebelum meninggalkan


Makkah). Meninggalkan keempat hal terakhir wajib membayar
dam, menurut suatu pendapat, tetapi dalam pendapat lainnya hanya
dianjurkan saja (tidak wajib).

Namun didalam kitab lain disebutkan ada 4 rukun haji yang paling
utama yaitu:

1. Ihram

Yang dimaksud dengan ihram itu ialah kesengajaan haji yang


diiringi dengan perbuatan untuk mengerjakan rangkaian ibadah
haji dari awal sampai akhir. Dalam ibadah lainnya disebut niat.

2. Wuquf

Yaitu berada dalam waktu tertentu di ‘Arafah, yaitu suatu tempat


di luar Makkah, yang menurut riwayatnya tempat bertemu Adam
dan Hawa di bumi setelah keduanya disuruh keluar dari surga.
Wuquf di Arafah itu berlaku pada setiap tanggal 9 Zulhijjah, mulai
dari tergelincir matahari sampai terbenam matahari.
9
3. Tawaf Ifadhah

Yaitu berjalan cepat di sekililing ka’bah sebanyak tujuh kali.

4. Sa’i

Yaitu berjalan cepat dari bukit Shafa ke bukit Marwah bolak balik
selama 7 kali dan dimulai dari bukit Shafa.

2.2 Sejarah Haji


Pelaksanaan ibadah haji ditetapkan sepenuhnya oleh Rasulullah Saw, berdasarkan
petunjuk Allah. Praktek pengamalannya pada prinsipnya menapaktilasi perjalanan Nabi
Ibrahim dan Nabi Ismail As.
Setelah Nabi Ibrahim As membangun Baitullah, menyuruh anak cucunya
bertempat tinggal disekitarnya. Sejak itulah orang-orang Arab melakukan haji ke
Baitullah dan hal itu dilakukan terus menerus dengan prinsip beribadah hanya
mengharap ridho Allah tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Sebagaimana
ayat berikut (QS. Al-Baqarah 2:127) : “Dan (ingatlah) ketika Ibrahim meninggikan
(membina) dasar- dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa) : Ya Tuhan kami
terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah yang Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui”.
Setelah beberapa abad kemudian, mereka melakukan perubahan tatacara ibadah
haji sebagaimana dilakukan pada Nabi Musa As. Dengan perubahan itu, mereka
mempersekutukan Allah dengan berhala-berhala, mengangkat berhala di atas Baitullah
dan meletakkan di sekeliliingnya. Mereka meminta pertolongan kepada berhala dan
menjadikannya sebagai pemeberi syafa’at selain Allah. Mereka menyembelih hewan
qurban untuk berhala dan menyebut nama-nama berhala ketika menyembelih. Mereka
melakukan thawaf dengan telanjang dan sebagian mereka tidak melakukan wuquf di
Arafah bersama yang lain, karena mereka merasa derajatnya di atas derajat manusia
yang lain, sebab mereka mempunyai kewenangan mengurus Baitullah.
Hamka menjelaskan dengan lebih detail, yaitu bahwa sebelum negeri Mekkah
ditaklukan oleh Rasulullah dan kaum Muslimin pada tahun ke 8 hijriah, maka pada
tahun ke 7 hijriah sudah berlaku juga umratul qadha, pengganti umrah yang tidak
jadi pada

1
tahun ke 6 hijriah, padahal di Mekkah masih ada berhala, di Ka’bah masih terdapat 360
berhala.
Bahkan di bukit Shafa, masih terdapat berhala Lata sehingga menghalangi orang
Islam yang datang untuk melakukan ritual Sa’i (berjalan cepat antara Shafa dan
Marwah). Maka ada sahabat Rasulullah yang ragu-ragu tentang Sa’i di antara Shafa dan
Marwah itu karena melihat masih ada berhala lata berdiri di sana. Lalu datanglah ayat,
bahwa Sa’i di antara Shafa dan Marwah itu tidak ada halangan diteruskan sebab kita
melakukan Sa’i itu semata-mata ibadah karena Allah.
Kerena terdapat berbagai perubahan itulah maka diutuslah Nabi Muhammad Saw,
yang dengan tegas mengatakan bahwasannya kedatangannya adalah hendak
membangkitkan kembali ajaran asli Nabi Ibrahim, ajaran Hanif dan Muslim. Lurus
menuju Allah dan berserah diri kepada-Nya. Maka kedatangan Nabi Muhammad adalah
memperkuat kemabli ajaran Nabi Ibrahim itu, menghidupkan kembali sendi pokok
ajaran beliau. Oleh sebab itu, Ka’bah bukanlah semata-mata sebuah rumah kuno yang
antikdan menjadi sekedar tujuan wisata rohani bagi wisatawan. Oleh sebab itu Nabi
Muhammad Saw meneruskan perintah Allah atas Nabi Ibrahim, agar semua manusia
datang ke tempat itu.

2.3 Kriteria Haji Mabrur


Dari sisi bahasa, al mabrur adalah isim maf’ul dari akar kata al birru. Al birru itu
artinya kebaikan atau kebajikan. Dengan demikian, al hajjul mabruru artinya haji yang
diberikan kebaikan dan kebajikan Dari sisi istilah, haji mabrur adalah haji yang
diterima oleh Allah, kemudian berdampak pada kebaikan diri, serta bermanfaat bagi
orang lain. Oleh karenanya, al hajjul mabrur sebagai impian dari orang yang
melaksanakan jemaah haji itu melalui tahapan. Mabrur tidak datang tiba-tiba. Tetapi
harus diusahakan, mulai dari sebelum, saat, dan setelah pelaksanaan ibadah haji.

Terkait dengan persiapan, ketika kita ingin mencapai haji mabrur, tentu kita harus
melakukan aktivitas yang mendukung pencapaian haji mabrur. Persiapan itu antara lain:

1. memahami ajaran agama Islam dengan baik, termasuk juga manasik


hajinya. Karena amalan ibadah yang tidak disertai dengan ilmu, maka ia
dapat sia-sia.

1
2. harus dipastikan rejekinya halal. Jangan sampai berangkat ibadah haji
menggunakan uang hasil curian. Ini tidak diterima. Tidak boleh
menggunakan uang curian untuk kepentingan ibadah.

3. meningkatkan amal ibadah. Kita harus menyiapkan diri dengan


meningkatkan dan menyempurnakan amal ibadah.

Pada saat pelaksanaan ibadah haji, kita memastikan terlaksananya syarat, rukun,
wajib haji. Sunnah-sunnah haji juga harus dipahami. Termasuk, hal yang terlarang,
untuk dijauhi. Pelaksanaan amal perbuatan yang sah secara syar’i, belum tentu
diterima. Sesuatu itu sah atau tidak, dapat diukur dengan ketentuan fiqh haji. Persoalan
apakah diterima atau tidak, itu otoritas Allah swt. Nah, haji mabrur terkait denggan
keterterimaan ibadah kita oleh Allah.

Kemabruran dapat dilihat dari aktivitas seseorang setelah melaksanakan ibadah


haji. Diantara lain :

1. Meningkatnya pelaksanaan ibadah secara personal. Yang semula


ibadahnya bolong, tidak lagi. Yang biasanya menggunjing, tidak
menggunjing. Hubungan kita kepada Allah menjadi lebih intim.

2. Ath’imuth-tha’aam, artinya berikanlah makan orang yang membutuhkan


makan. Artinya, kita harus memiliki solidaritas sosial.

3. Washilul arham, artinya sambung tali kekerabatan. Terminologi sambung


itu artinya pernah terputus. Kalau sudah akrab, itu bukan silaturahmi,
melainkan merawat kekerabatan. Kata sambung kasih sayang itu kepada
yang memutus persahabatan dengan kita. Tidak mahal, tetapi butuh
kelegaan hati

4. Berikutnya adalah hubungan kita secara personal vertical kepada Allah.


Washallu bil laili wannasu niyaam. Shalat malam disaat semua orang
sedang terlelap tidur. Itu adalah cerminan dari hubungan yang sangat
privat kita dengan Allah. Tidak 3 riya, kita bermuhasabah, kita mengadu
kepada Allah.

1
2.4 Hikmah Haji
Hikmah haji ini dapat mengajarkan jamaah untuk lebih menghayati nilai
keimanan, keikhlasan, ketakwaan dan menghargai perjuangan Rasulullah SAW beserta
sahabatnya dalam menyebarkan ajaran Islam.

Adapun hikmah haji yang berkaitan dengan keagamaan yaitu :

1. menghapus dosa-dosa kecil dan menyucikan jiwa orang yang


melakukannya, sebagaimana diterangkan oleh Rasulullah SAW dalam
hadits: “Dari Abu Hurairah sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda:
“Siapa yang melakukan haji, tidak melakukan rafats dan tidak berbuat
fasik ia kembali sebagaimana pada ketika ia dilahirkan oleh ibunya.”(HR
Bukhari Muslim).

2. mendorong seseorang untuk menegaskan kembali pengakuannya atas


keesaan Allah SWT, serta penolakan terhadap segala bentuk kemusyrikan,
baik berupa patung-patung, bintang, bulan, matahari serta juga segala
sesuatu selain Allah. Hal ini karena Haji merupakan kilas balik atau
kembali napak tilas peristiwa penemuan keesaan Allah oleh Nabi Ibrahim
AS.

3. mendorong seseorang memperkuat keyakinan tentang adanya neraca


keadilan Allah dalam kehidupan dunia ini. Dan puncak dari keadilan itu
akan diperoleh pada hari kebangkitan kelak.

4. mengantar seseorang menjadi hamba yang selalu mensyukuri nikmat


nikmat Allah baik berupa harta dan kesehatan, dan menanamkan semangat
Ibadah dalam jiwanya. Rahman Ritonga menuangkan pendapat dari kitab
Al Badai karya Al-Kasani bahwa ibadah haji merupakan aplikasi dari sifat
kehambaan dan ke syukuran atas nikmat Allah SWT.

Ada juga hikmah haji yang berkaitan dengan sosial kemasyarakatan yaitu :

1. Ketika memulai ibadah haji dengan ihram dari miqat, pakaian biasa
ditinggalkan dan mengenakan pakaian ihram. Pakaian yang berfungsi
sebagai lambang kesatuan dan persamaan, sehingga hilanglah perbedaan

1
status sosial yang ada, semua menjadi satu sebagai hamba-hamba Allah
yang merindukan keridlaan-Nya

2. Ibadah haji dapat membawa orang-orang yang berbeda suku, bangsa, dan
warna kulit menjadi saling kenal mengenal antara satu sama lain. Ketika
itu terjadilah pertukaran pemikiran yang bermanfaat bagi pengembangan
negara masing-masing baik yang berhubungan dengan pendidikan,
ekonomi, maupun kebudayaan

3. Mempererat tali Ukhuwah al Islamiyah antara umat Islam dari berbagai


penjuru dunia.

4. Mendorong seseorang untuk lebih giat dan bersemangat berusaha untuk


mencari bekal yang dapat mengantarkan ke Mekah untuk haji. Semangat
bekerja tersebut dapat pula memperbaiki keadaan ekonominya yang pada
gilirannya bermanfaat untuk orang fakir dan miskin.

5. Ibadah haji merupakan ibadah badaniyah yang memerlukan ketangguhan


fisik dan ketahanan mental. Hal ini menunjukkan bahwa ibadah haji dapat
memperkuat kesabaran dan ketahanan fisik seseorang.

Ibadah haji mengandung nilai-nilai historis. Dari sejak mengenakan pakaian


ihram yang melambangkan kezuhudan manusia sebagai latihan untuk kembali kepada
fitrahnya yang asli, yaitu sehat dan suci-bersih. Dengan pakaian seragam putih, mereka
berkumpul melakukan Ukuf di ‘Arafah. Kata ukuf berarti berhenti, sedang kata ‘arafah
berarti naik- mengenali. Dari makna bahasa ini dapat diperoleh suatu hikmah, bahwa
Ukuf di ‘Arafah, pada hakekatnya, adalah suatu usaha di mana secara fisik, tubuh kita
berhenti di Padan ‘Arafah, lalu jiwa-spiritual kita naik menemui Allah swt. Ukuf di
‘Arafah ini memberikan rasa keharuan dan menyadarkan mereka akan yaumul mahsyar,
yang ketika itu, manusia diminta untuk mempertanggung jawabkan atas segala yang
telah dikerjakannya selama di dunia. Di Padan ‘Arafah itu, manusia insaf dengan
sesungguhnya akan betapa kecilnya dia dan betapa agungnya Allah, serta dirasakannya
bahwa semua manusia sama dan sederajat di sisi Allah, sama-sama berpakaian putih-
putih, memuji, berdoa, sambil mendekatkan diri kepada Allah, Tuhan semesta alam.

1
Ibadah thawwaf dan sa’i yang dilakukan secara serempak dalam suasana khusyu’
mengesankan keagungan Allah. Bacaan-bacaan yang dikumandangkan mensucikan dan
mentauhidkan Allah memberi makna bahwa kaum muslim harus hidup dinamis,
senantiasa penuh gerak dan perjuangan, bahkan pengorbanan demi untuk menggapai
keridhaan Allah swt. Peristiwa sa’i mengingatkan manusia akan perlunya hidup sehat
disertai usaha sungguh-sungguh dan perjuangan habis-habisan dalam meraih kesehatan,
kesejahteraan, dan kebahagiaan paripurna.

ada bulan haji, umat Islam se dunia mengadakan pertemuan tahunan secara besar-
besaran, yang pesertanya berdatangan dari seluruh penjuru dunia, yang terdiri atas
berbagai bangsa. Mereka semua dipersatukan di bawa lindungan Ka’bah. Ka’bah-lah
yang menjadi lambang persatuan dan kesatuan umat. Pertemuan seperti inilah yang
perlu dimanfaatkan oleh umat Islam dalam rangka pembinaan dan pembangunan
masyarakat Islam baik nasional maupun internasional.

Dengan menunaikan ibadah haji, umat Islam didorong untuk menjadi manusia
yang luas gerak dan pandangan hidupnya, yang dapat menambah ilmu dan pengalaman
dengan berbagai bahasa. Melalui perkenalan itu lahir saling pengertian yang lebih baik,
rasa hormat, dan saling harga-menghargai di antara sesama umat Islam dari berbagai
penjuru dunia. Syarat ”mampu dan kuasa”, sebagaimana firman Allah swt. dalam QS
Ali ’Imran/3:97, telah ditetapkan oleh Allah untuk menunaikan ibadah haji, mendidik
setiap umat Islam agar mereka menjadi kuat dan sehat dalam bidang harta benda, fisik,
dan rohani untuk dapat melakukan ibadah haji, yang sifatnya wajib hanya sekali seumur
hidup. Karena itu, syarat ini pula mengisyaratkan bahwa haji merupakan ibadah fisik,
ibadah rohani, dan ibadah dana.

2.5 Makna Spiritual Haji Bagi Kehidupan Sosial


Sebagai sebuah ibadah yang sarat dengan simbol dan makna spiritual, sejatinya
harus dipahami dengan benar oleh jamaah haji. Sebab dengan mengerti, memahami dan
menghayati makna tersirat dari yang tersiratlah ibadah haji akan bermakna. Berhaji
dengan ritual fisik tanpa memahami makna sama dengan ritual ulangan yang jauh dari
nilai religiusitas. Dan itu adalah ibadah yang kering dengan makna. Seorang yang

1
bergelar haji diharapkan menjadi agen perubahan untuk membawa manusia ke arah
yang baik. Seorang yang bergelar haji adalah seorang yang telah memahami makna
hidup dengan benar. Tentu perilaku dan tindak tanduknya secara kualitatif-kuantitatif
menjadi baik. Akan menjadi antiklimaks apabila haji hanya dipahami sebagai ibadah
simbol dan itu tidak termanifestasi dalam realitas kehidupan di masyarakat.

Haji memang dilakukan di tanah suci tapi sejatinya haji itu adalah di tanah air.
Rukun dan syaratnya dilakukan di Mekkah, tapi aplikasi haji itu adalah di Indonesia.
Haji yang penuh dengan makna paripurna itulah sesungguhnya makna spiritual ibadah
haji. Bukan hanya sekedar bergelar haji atau hajjah

Ibadah haji membangkitkan kesadaran bahwa kitakecil dihadapan Allah.


Sehingga tidak ada yang perlu disombongkan. Kita diajak untuk lebih menyelamidiri,
sebagaimana asal kata Arafah yang bermakna mengenal diri. Dalil yang terkenal
dikalangan sufi “man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafah robbahu”. Siapa yang kenal dirinya
akan kenal siapa tuhannya. Wukuf hakikatnya untuk menyadarkan, siapa, dari mana,
dan akan kemana kita.

Sebagai sebuah ibadah yang sarat dengan simbol dan makna spiritual, sejatinya
harus dipahami dengan benar oleh jemaah calon haji. Sebab denganmengerti,
memahami dan menghayati makna tersirat dari yang tersuratlah ibadah haji akan
bermakna. Berhaji dengan ritual fisik tanpa memahami makna, sama dengan ritual
ulangan yang jauh dari nilai religiusitas dan keringmakna.

Oleh karena itu, seorang yang bergelar haji diharapkan menjadi agen perubahan
untuk membawa manusia ke arah yang baik. Mampu memahami makna hidup dengan
benar. Tentu perilaku dan tindak tanduknya secara kualitatif-kuantitatif menjadi baik.
Akan menjadi antiklimaks apabila haji hanya dipahami sebagai ibadah simbol dan tidak
termanifestasi dalam realitas kehidupan

1
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Haji menyengaja menuju ke ka’bah baitullah untuk menjalakan ibadah (nusuk)
yaitu ibadadah syari’ah yang terdahulu. Hukum haji adalah fardhu ‘ain, wajib bagi
setiap muslim yang mampu, wajibnya sekali seumur hidup. Haji merupakan bagian dari
rukun Islam. Mengenai wajibnya haji telah disebutkan dalam Al Qur’an, As Sunnah
dan ijma’ Tata cara pelaksanaan haji harus sesuai dengan syarat, rukun, wajib dan
sunnat haji.
Islam, Syarat haji diantaranya : Baligh, Berakal, Merdeka, Kekuasaan
(mampu}sedangkan Rukun Haji adalah : Ihram yaitu berpakaian ihram, dan niyat ihram
dan haji, Wukuf di Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah; Thawaf, Sa’i, Tahallul dan Tertib
atau berurutan
Dari uraian tentang haji mabrur : eksistensi, implementasi dan implikasinya dapat
disimpulkan bahwa haji yang mabrur adalah haji yang baik dan diterima oleh Allah
swt., yang pelaksanaannya sesuai dengan apa yang dicontohkan Rasulullah saw.
dengan melaksanakan syarat, rukun, wajib haji serta menjauhi larangannya. Hal ini
harus dilandasi dengan niat yang ikhlas serta jauh dari penyimpangan akidah dengan
memperhatikan hal-hal yang terkait dengan pra haji, proses haji dan pasca haji.
Kemabruran haji tercermin pada peningkatan kualitas ibadah dan kepedulian sosial.

1
DAFTAR PUSTAKA

Ali Sujati, B. (2019). Kurikulum dan Pembelajaran Pada Sejarah dan Kebudayaan Islam di
MTs Kifayatul Akhyar Kota Bandung. SINAU: Jurnal Ilmu Pendidikan Dan
Humaniora, 5(2), 1-29
Saputra, A. R. (2016). Motif Dan Makna Sosial Ibadah Haji Menurut Jama’Ah Masjid
Darussalam Wisma Tropodo Waru Sidoarjo. Kodifikasia, 10(1), 89-108
Akmal, A. M. (2020). Fiqh Haji Mabrur: Makna, Implementasi dan Implikasinya. Jurnal AL-
MIZAB Jurnal Kajian Haji, Umrah dan Keislaman, 1(2)
Akmaluddin, M. (2012). Haji mabrur dalam perspektif syarah Hadits: Telaah pandangan
Imam Nawawi tentang Hadits-Hadits haji mabrur dalam syarah Shahih
Muslim (Doctoral dissertation, UIN Sunan Gunung Djati Bandung).
Fahham, A. M. (2016). Penyelenggaraan Ibadah Haji: Masalah dan
Penanganannya. Kajian, 20(3), 201-218.
Kisworo, B. (2017). Ibadah Haji Ditinjau Dari Berbagai Aspek. Al-Istinbath: Jurnal Hukum
Islam, 2(1 June), 75-98.

Anda mungkin juga menyukai