Anda di halaman 1dari 168

Hubungan Industrial:

Kasus dan Perspektif


Perbandingan antar Negara
Mukhlis Yunus | Muhammad Bahtiar Abdillah | R. Marsha Aulia Hakim
| Devi Melisa Damiri | Fithriya Zahra | Risna Resnawaty|
Moh. Benny Alexandri
Buku ini menggambarkan beberapa kasus dalam kaitannya dengan
Hubungan Industrial. Buku ini mencoba membandingkan kasus
Hubungan Industrial yang terjadi di Indonesia dengan kasus di
beberapa negara seperti di India, Nigeria, Cina dan Eropa.

Sudut pandang yang beragam diharapkan akan membuat cakrawala


menjadi semakin luas dalam melihat apa yang menjadi bahasan terkini
dari Hubungan Industrial.

Mukhlis Yunus | Muhammad Bahtiar Abdillah | R. Marsha Aulia Hakim


| Devi Melisa Damiri | Fithriya Zahra | Risna Resnawatiy|
Moh. Benny Alexandri

Unit Penerbitan dan


Percetakan
Fakultas Ekonomi
Universitas Syiah Kuala
BAB I
IMPLEMENTASI HUBUNGAN INDUSTRIAL :
PANCASILA DI INDONESIA DAN KOLEKTIF DI CINA

1. PENDAHULUAN

Dalam ketenagakerjaan terdapat hubungan yang


saling membutuhkan dan saling mengisi satu sama lain
antara pekerja dan pengusaha. Hubungan industrial
merupakan interaksi antara pekerja, pengusaha, serikat
pekerja maupun pemerintah mengenai hal-hal yang
berhubungan dengan ketenagakerjaan. Pemeliharaan
hubungan antara pekerja, serikat pekerja dan pengusaha
dalam lingkup hubungan industrial sangat diperlukan
untuk mencegah konflik yang dapat menimbulkan
ketidakharmonisan hubungan kerja. Masalah hubungan
kerja antara pekerja dengan pengusaha merupakan cikal
bakal berkembangnya bidang hubungan industrial di
Indonesia yang terbentuk berdasarkan pada Pancasila
dan UUD 1945. Hubungan industrial di Indonesia
berkaitan dengan hubungan diantara semua pihak yang
terlibat dalam hubungan kerja di suatu perusahaan.
Hubungan industrial yang berkembang di Indonesia
berpedoman kepada nilai-nilai Pancasila dalam
menjalankan aktivitas di lingkup industrial.
Awal tahun 1920 hubungan industrial diakui
sebagai bidang penelitian independen. Susetiawan

Pancasila Di Indonesia Dan Kolektif Di Cina 1


(2000)1 Indonesia menganut asas hubungan industrial
Pancasila yang merupakan prinsip dasar dalam
pelaksanaan hubungan hukum ketenagakerjaan.
Trihastuti (2013)2 mengatakan tercapainya hubungan
industrial yang harmonis harus terus menerus dibangun
mengingat dampaknya yang luas terhadap
pembangunan ekonomi negara. Dengan demikian
hubungan industrial yang digunakan di negara Indonesia
menganut nilai-nilai Pancasila. Penerapan hubungan
industrial memiliki konsep yang berbeda-beda dalam
setiap negara, seperti di negara Amerika Serikat, Inggris,
Perancis, Jerman, Belanda, Jepang, dan beberapa negara
lainnya menerapkan hubungan industrial yang bersifat
kapitalistik. Negara Cina sebagai negara sosialis
mengadopsi praktek hubungan industrial kolektif, Shen
& Benson (2008)3 memaparkan “Sejak tahun 1978,
ketika China memulai reformasi ekonomi yang
berorientasi pada pasar dan pembukaan perdagangan
dengan negara-negara Barat, insiden pelanggaran hak-
hak pekerja dan perselisihan perburuhan, baik individual
maupun kolektif, telah meningkat secara substansial”.
Kai Chang (2015)4 meamaparkan bahwa Hubungan kerja
kolektif mengacu pada hubungan sosial yang terbentuk

1
Susetiawan, “Konflik Sosial Kajian Sosiologis Hubungan Buruh Perusahaan Dan
Negara Di Indonesia”, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2000.
2
Nanik Trihastuti, “Membangun Hubungan Industrial yang Harmonis di Indonesia”,
Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 32 No. 2. Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, 2013.
3
Jie Shen, and John Benson, “Tripartite Consultation In China : A First Step Towards
Collective Bargaining?”, International Labour Review, Vol. 147 No. 2–3, 2008.
4
Chang Kai, “Two Forms Of Labour Movements In The Transition Towards Collective
Labour Relations In China – Characteristics Of Current Development And Prospect”,
Paper for the International Labour and Employment Relations Association (ILERA),
17th World Congress, South Africa, 2015.

Pancasila Di Indonesia Dan Kolektif Di Cina 2


antara pekerja sebagai kelompok atau partai (biasanya
diwakili oleh serikat pekerja) dan pengusaha atau
organisasi pengusaha. Chang (2009)5 menyatakan “China
telah mempercepat pembangunan institusi hubungan
industrial, yang mencakup pembentukan badan
konsultasi tripartit dari tingkat pusat sampai ke tingkat
kabupaten, promosi perundingan bersama dan negosiasi
upah, dan kampanye pengorganisasian serikat pekerja
terpadu.” Menurut Howell (2005)6 “Pekerja di China
sekarang merupakan kelompok sosial yang semakin
terfragmentasi dan beragam.” Howell pun
menambahkan bahwa Kompleksitas ini menimbulkan
tantangan tidak hanya bagi pemerintah pusat dan
daerah yang mencari satu sisi, untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi dan di sisi lain, untuk menjaga
stabilitas sosial, namun juga kepada ACFTU yang telah
berjuang untuk beradaptasi dan Menanggapi perubahan
sifat dan tuntutan pekerja.
Perkembangan hubungan industri mencerminkan
perubahan-perubahan kerja, baik dalam arti ekonomi
maupun sosial dan terkait peraturan perundangan
mengenai ketenagakerjaan. Hubungan industrial
menjadi kajian yang menarik untuk diteliti, penelitian
terkait hubungan industrial dapat dipergunakan sebagai
acuan dalam mengatasi dan menyelesaikan berbagai
persoalan yang timbul dalam bidang ketenagakerjaan.
Dengan mempelajari dan meneliti sejarah serta

5
Chang Hee Lee, “Industrial Relations And Collective Bargaining In China”, Geneva :
International Labour Organization, 2009.
6
Jude Howell, “Industrial Relations in China”, Journal of Contemporary Asia, Vol.
35.2, 2005 : 275-276.

Pancasila Di Indonesia Dan Kolektif Di Cina 3


implementasi hubungan industrial dapat memberikan
pemahaman yang lebih komprehensif tentang konsep
Hubungan Industrial Pancasila di negara Indonesia dan
Hubungan Industrial Kolektif negara Cina.

2. HUBUNGAN INDUSTRIAL SULIT DIRUMUSKAN


SECARA UNIVERSAL

Pihak-pihak yang terlibat dalam hubungan


industrial mencakup pengusaha, pekerja, serikat pekerja
dan pemerintah. Menurut Mills (1994)7 dalam bukunya
yang berjudul Labor Management Relations bahwa
“Hubungan Industrial dapat didefinisikan sebagai proses
dimana manusia dan organisasinya berinteraksi di
tempat kerja dan secara lebih luas, di masyarakat secara
keseluruhan untuk menetapkan syarat dan kondisi
kerja.” Shamad (1995)8 merumuskan hubungan
industrial dapat diartikan sebagai suatu corak atau
sistem pergaulan atau sikap dan perilaku yang terbentuk
diantara para pelaku proses barang dan jasa, yaitu
pekerja, pengusaha, pemerintah dan masyarakat.
Payaman Simanjuntak (2003)9 menyatakan Hubungan
industrial adalah hubungan antara semua pihak yang
tersangkut atau berkepentingan atas proses produksi
barang atau pelayanan jasa disuatu perusahaan. Pihak
yang paling berkepentingan atas keberhasilan

7
Daniel Quinn Mills. “Labor Management Relations”, Singapore : McGraw Hill, 1994.
8
Yunus Shamad, “Hubungan Industrial di Indonesia”, Jakarta: Bina Sumberdaya
Manusia, 1995.
9
Payaman Simanjuntak, “Manajemen Hubungan Industrial”, Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 2003.

Pancasila Di Indonesia Dan Kolektif Di Cina 4


perusahaan dan berhubungan langsung sehari-hari
adalah pengusaha atau manajemen dan pekerja.
Hubungan industrial sulit untuk dirumuskan secara
universal agar dapat diterima semua pihak, Michael
Salamon (2000)10 dalam bukunya Industrial Relation
menyatakan “Sulit untuk mendefinisikan istilah
hubungan industrial dengan cara yang tepat dan
diterima secara universal. Hubungan industrial bagi
banyak orang dianggap melibatkan laki-laki, pekerja
tetap, serikat pekerja, pekerja kasar, unit manufaktur
yang memaksakan praktik restriktif, pemogokan, dan
penjarangan kolektif.” Dalam hubungan industrial, tidak
terdapat hubungan hukum akan tetapi peran serta
Negara (dalam hal ini Pemerintah) yang mengatur di
dalamnya.

Hubungan Industrial dibawa masuk oleh Penjajah


Belanda
Shamad (1995) Perkembangan hubungan industrial
secara historis di bawa masuk ke Indonesia oleh Belanda
sebagai penjajah pada akhir abad ke-20 dengan
memperkenalkan perusahaan-perusahaan asing,
khususnya perusahaan Belanda yang pekerjanya juga
orang-orang Belanda. Dalam Rurimpunu (2014) 11
memaparkan Hubungan Industrial Belanda beroperasi di

10
Michael Salamon, “Industrial Relation Theory and Practice”, London : Prentice Hall,
2000.
11
Fritje Rumimpunu, “Sistem Hubungan Industrial Pancasila Di Indonesia Dengan
Tenaga Kerja, Perusahaan Dilihat Dari Aspek (Undang-Undang Tenaga Kerja No. 13
Tahun 2003)”, Jurnal Hukum Unsrat Vol. II, No. 02, 2014.

Pancasila Di Indonesia Dan Kolektif Di Cina 5


wilayah Indonesia karena yang diatur pada waktu itu
adalah hubungan antara pekerja Belanda dengan
pengusaha Belanda. Rurimpunu (2014) menambahkan
terdapat tiga periode dalam sejarah Hubungan Industrial
di Indonesia :
1. Sejak kebangkitan nasional tahun 1908 mulailah
terbentuk serikat pekerja yang anggotanya adalah
orang-orang Indonesia. Mulai dipraktekan
Hubungan Industrial yang pihaknya adalah para
pekerja Indonesia dan pengusaha Belanda. Pada
tahun 1919 Semaun sebagai tokoh komunis mulai
mengenalkan Hubungan Industrial yang
berdasarkan perjuangan Kelas, sejak itu di
Indonesia sudah berkembang dua sistem
hubungan Industrial yaitu yang berdasarkan
Liberalisme dan Marxisme. Sejak awal Hubungan
Industrial di Indonesia diwarnai oleh politik
karena semua ditujukan untuk perjuangan
Kemerdekaan, sehingga pembahasan Hubungan
Industrial dalam sosial ekonomi kurang mendapat
perhatian. Hubungan Industrial masih tetap
diwarnai oleh orientasi politik. Pada tahun 1947
mulai lagi timbul polarisasi dalam Hubungan
Industrial dengan terbentuknya serikat buruh
SOBSI yang secara nyata-nyata berorientasi
kepada komunisme, dimana pada tahun 1948
SOBSI bersama-sama dengan PKI terlibat dalam
pemberontakan Madiun.
2. Setelah penyerahan kedalutan dengan sistem
serikat pekerja yang pluralistis maka sistem

Pancasila Di Indonesia Dan Kolektif Di Cina 6


Hubungan Industrial baik yang berdasarkan
liberalisme maupun Marxisme berkembang pesat
dipelopori oleh serikat pekerjanya masing-
masing. Dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959,
Indonesia kembali melaksanakan UUD 1945.
Sejak itu mulailah Era Demokrasi Terpimpin,
dalam era demokrasi terpimpin ini partai komunis
bertambah memegang peran penting. Sejalan
dengan itu Hubungan Industrial yang berdasarkan
Marxisme juga berkembang pesat. Praktek-
praktek Hubungan Industrial yang bersifat
antagonis dan konforntatif makin menonjol. Hal
ini berlanjut terus sampai menjadi tulang
punggung pemberontakan tersebut, mirip dengan
apa yang terjadi tahun 1948.
3. Setelah pemberontakan G30 dapat ditumpas dan
lahirlah pemerintahan Orde Baru dengan
melanjutkan upaya penataan kehidupan politik,
termasuk merestrukturisasi organ-organ
perburuhan yang ada. Pemerintahan Orde Baru
bertekad ingin melaksanakan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan
konsekuen. Hal ini berarti Pancasila harus
dilaksanakan dalam setiap aspek kehidupan
bangsa termasuk dalam Hubungan Industrial.
Oleh karena itu, tokoh-tokoh Hubungan Industrial
baik dari kalangan pekerja, pengusaha,
pemerintah dan cendekiawan bersepakat dalam
suatu Seminar Nasional pada tahun 1974 untuk
mengembangkan suatu sistim Hubungan

Pancasila Di Indonesia Dan Kolektif Di Cina 7


Industrial yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945. Sejak saat itu
lahirlah “Hubungan Industial Pancasila”. HIP
dimaksudkan sebagai instrument kontrol negara
sekaligus sarana penyeimbang aspirasi negara-
negara kreditor yang meminta agar pemerintahan
Soeharto bersikap lebih bersikap responsif-
akomodatif terhadap tuntutan buruh. Borkent, et
al (1981)12 mengemukakan, pada masa orde baru
digunakannya sarana-sarana utama untuk
mendukung terlaksananya hubungan perburuhan
Pancasila tersebut, yang meliputi : lembaga
kerjasama Tripartit dan Bipartit, keselamatan
kerja bersama, penyelesaian perselisihan
industrial, peraturan perundangan
ketenagakerjaan, pendidikan dan penyuluhan,
organisasi ketenagakerjaan dan kelembagaan
lainnya.

Pancasila sebagai landasan filosofis di Indonesia


Dalam pemerintahan orde baru, Hubungan
Industrial Indonesia harus didasarkan pada ideologi
negara Pancasila yang sesuai dengan spirit kebudayaan
Indonesia dan cara pandang orang-orang Indonesia.
Dalam situasi demikian, dinamika syarat-syarat kerja,
kondisi kerja, perubahan hukum perburuhan sangat

12
Hans Borkent, et. al, “Indonesian Vorkers and Their Right to Organise”, Netherlands
: Leiden, 1981.

Pancasila Di Indonesia Dan Kolektif Di Cina 8


bergantung pada pemerintah selaku pembuat maupun
pelaksana hukum. Maimun (2007)13 mengemukakan
Hubungan industrial sebagai suatu sistem hubungan
yang terbentuk antara para pelaku dalam proses
produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur
pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah yang
didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Susetiawan (2000)14 Indonesia menganut asas hubungan
industrial Pancasila yang merupakan prinsip dasar dalam
pelaksanaan hubungan hukum ketenagakerjaan.
Ardana, Mujiati dan Mudiartha (2012) 15
menyatakan Hubungan Industrial Pancasila (HIP) adalah
suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para
pelaku dalam proses produksi barang dan jasa (pekerja,
pengusaha, dan pemerintah) yang didasarkan atas nilai-
nilai yang merupakan manisfestasi dari keseluruhan sila-
sila Pancasila dan UUD 1945, yang tumbuh dan
berkembang di atas kepribadian bangsa dan kebudayaan
nasional Indonesia. Soejadi (1999)16 Kapasitas Pancasila
sebagai nilai filosofi bangsa Indonesia, dimaksud bahwa
nilai-nilai yang tersebut di dalam rumusan sila-sila
Pancasila itu merupakan nilai yang mengandung

13
Maimun, “Hukum Ketenagakerjaan Suatu Pengantar”, Jakarta : Paradnya Pramita,
2007.
14
Susetiawan, “Konflik Sosial Kajian Sosiologis Hubungan Buruh Perusahaan Dan
Negara Di Indonesia”, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2000.
15
I Komang Ardana, et al, “Manajemen Sumber Daya Manusia”,. Yogyakarta : Graha
Ilmu, 2012.
16
Soejadi, “Pancasila Sebagai Sumber Tertib Hukum Indonesia”, Yogyakarta : Lukman
Offset, 1999.

Pancasila Di Indonesia Dan Kolektif Di Cina 9


pengertian abstrak umum universal. Soepomo (1975)17
memaparkan hubungan industrial Indonesia dengan
bersumberkan Pancasila sebagai landasan filosofis, maka
secara normative segala aturan hukum yang mengatur
Hubungan Industrial Pancasila, berupa hukum dasar
(UUD 1945), juga Peraturan Perundang-undangan
lainnya adalah pengimplementasian dari nilai-nilai
Pancasila, karenannya secara normative hukum yang
mengatur hubungan industrial di Indonesia haruslah
senantiasa dikontrol keserasiannya dengan nilai-nilai
Pancasila.
Gunarto (2011)18 mengatakan bahwa Indonesia
memiliki basis kultural atau kosmologi sendiri yang
berbeda dengan kosmologi negara-negara Barat, yaitu
bersifat kolektif (tidak individual), keserasian-
keseimbangan (harmoni), musyawarah dan menjunjung
tinggi nilai-nilai spiritualitas. Kosmologi negara Indonesia
yang demikian terumuskan ke dalam Pancasila yang
merupakan moral positif Indonesia atau dapat dikatakan
bahwa Pancasila merupakan basis kultural atau
kosmologi hukum Indonesia yang dapat dilihat dari nilai-
nilai yang terkandung dari kelima sila Pancasila. Arah
pengembangan HIP untuk memelihara dan
mempertahankan kelangsungan usaha. Pada sisi lain
pengusaha (pemilik modal) diarahkan untuk memiliki

17
Soepomo, Imam. “Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja”, Jakarta :
Jambatan, 1975.
18
Gunarto, “Dampak Hubungan Industrial Yang Bersifat Kapitalistik Terhadap
Harmonisasi Hubungan Industrial Pengusaha Dengan Pekerja”, Jurnal Dinamika
Hukum, Vol. 11, Edisi Khusus, 2011.

Pancasila Di Indonesia Dan Kolektif Di Cina 10


dan mengembangkan sikap untuk menganggap pekerja
atas dasar kemitraan yang sejajar sesuai dengan kodrat,
harkat, martabat dan harga diri, serta meningkatkan
kesejahteraan pekerja. Rumimpunu (2014) menjelaskan
Hubungan Industrial Indonesia berlandaskan Sila-Sila
Pancasila, yaitu:
1) Sila pertama sebagai landasan spiritual hubungan
industrial, dalam bekerja manusia tidak hanya
mencari nafkah tetapi mengabdi kepada Tuhan
dan sesama manusia
2) Sila kedua sebagai landasan kemanusiaan dengan
menganggap pekerja bukan sekedar faktor
produksi tetapi sebagai mitra perusahaan
3) Sila ketiga sebagai dasar kesatuan yang
diterapkan berpedoman kepada tri dharma yang
mengandung asas partnership dan tanggung
jawab bersama antara pekerja, manajemen, dan
serikat pekerja sehingga tercipta saling merasa
ikut memiliki, memelihara, mempertahankan dan
terus-menerus mawas diri
4) Sila keempat sebagai landasan demokrasi dalam
hubungan industrial di Indonesia, semua pihak
dalam proses produksi memiliki hak
mengeluarkan pendapat yang sama sehingga
selalu mengutamakan musyawarah mufakat
dalam setiap pengambilan keputusan
5) Sila kelima sebagai landasan perwujudan
keadilan sosial dalam hubungan industrial
dengan menerapkan prinsip keadilan dalam
lingkungan kerja di segala aspeknya dengan

Pancasila Di Indonesia Dan Kolektif Di Cina 11


menghindari kesewenangan manajemen
terhadap pekerja sebagai pihak yang lemah.
Dalam Hubungan Industrial Pancasila setiap
perbedaan pendapat antara pekerja dan pengusaha
harus diselesaikan dengan jalan musyawarah untuk
mencapai mufakat yang dilakukan secara kekeluargaan.
Suwarno dan Ellot (2000) 19 Konsep Hubungan Industrial
Pancasila berdasarkan pada tiga azas kemitraan, yaitu:
mitra dalam produksi, mitra dalam tanggungjawab, dan
mitra dalam keuntungan, antara pekerja/buruh,
pengusaha, dan pemerintah. Tujuan konsep ini adalah
untuk mewujudkan masyarakat industri yang ideal.
Konsep Hubungan Industrial Pancasila (HIP) yang
disusun berdasarkan pertimbangan sosial budaya dan
nilai-nilai tradisional Indonesia. Rurimpunu (2014) yang
diambil dari seminar Nasional HIP yang diselenggarakan
tahun 1974 dikemukakan tujuan Hubungan Industrial
Pancasila adalah “Mengemban cita-cita Proklamasi
Kemerdekaan Negara Republik Indonesia 17 Agustus
1945 di dalam pembangunan nasional untuk
mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang
berdasarkan Pancasila serta ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan Pancasila serta ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial
melalui penciptaan ketenangan, ketentraman dan
ketertiban kerja serta ketenangan usaha, meningkatkan
produksi, dan meningkatkan kesejahteraan pekerja serta
19
S Suwarno, and J. Elliot. “Changing Approaches to Employment Relations in
Indonesia, in Employment Relations in the Asia Pacific: Changing Approaches”, Ed.
Bamber, Greg J, 2000.

Pancasila Di Indonesia Dan Kolektif Di Cina 12


derajatnya sesuai dengan martabat manusia.” Sutedi
(2009)20 menyatakan bahwa HIP bertujuan untuk
menciptakan ketenangan, ketentraman kerja serta
ketenangan usaha, meningkatkan produksi,
meningkatkan kesejahteraan pekerja serta derajatnya
sesuai dengan martabat manusia. Idealnya jika
implementasi HIP di Indonesia mampu berjalan dengan
baik, maka dapat menciptakan industrial peace yang
tidak semu, serta bagi pemerintah Indonesia akan
mengurangi tingginya angka pengangguran, terciptanya
lapangan kerja yang semakin luas, meningkatnya
produktivitas perusahaan, meningkatnya kesejahteraan
pekerja, meningkatnya investasi di Indonesia dan
meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara Indonesia.
Menurut Subijanto (2011) 21 Hubungan Industrial
Pancasila seharusnya disosialisasikan kepada para
anggota Serikat Pekerja secara bertahap dan
berkesinambungan. Hal ini perlu mendapat perhatian
khususnya dari Pemerintah dan serikat pekerja maupun
pengusaha karena hal ini dapat menciptakan suasana
kerja yang saling menguntungkan yaitu dapat
menumbuhkembangkan suasana kekeluargaan,
kegotong-royongan, dan musyawarah untuk mufakat
dalam aktivitas dan perolehan hak-haknya di
perusahaan. Rurimpunu (2014) menyatakan bahwa
Hubungan Industrial Pancasila bukan merupakan
penciptaan kekuatan bagi buruh untuk menghadapi
kekuatan ekonomis dari pengusaha, melainkan harus
20
Adrian Sutedi, “Hukum Perburuhan”, Jakarta : Sinar Grafika, 2009.
21
Subijanto, “Peran Negara dalam Hubungan Tenaga Kerja di Indonesia”, Jurnal
Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 17, No. 6, 2011 : 705-718.

Pancasila Di Indonesia Dan Kolektif Di Cina 13


dipandang sebagai wujud kerjasama dari pekerja.
Pekerja akan secara gotong royong bersama pengusaha
menciptakan aturan-aturan yang adil dalam perjanjian
kerja mereka. Rahayu, et. al (2002)22 dalam mewujudkan
HIP diperlukan sarana utama, yaitu adanya: SP/SB,
organisasi pengusaha, lembaga kerjasama bipartit,
lembaga kerjasama tripartit, perjanjian kerja (PK),
peraturan perusahaan (PP), Kesepakatan Kerja Bersama
(KKB), peraturan penyelesaian perselisihan industrial,
dan peraturan perundang-undangan. Dalam pasal 103
UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 bahwa
hubungan industrial dilaksanakan melalui sarana serikat
pekerja/serikat buruh; organisasi pengusaha; lembaga
kerja sama bipartit; lembaga kerja sama tripartit;
peraturan perusahaan; perjanjian kerja bersama;
peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan;
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Transisi China Menuju Sosialisme


Zhining (2011)23 mengemukakan bahwa pada
tahun 1921 didirikan Partai Komunis China, dimana
partai tersebut mendirikan sekretariat asosiasi buruh
China di Shanghai dalam usaha untuk terlibat dalam
gerakan buruh. Kai Chang (2015) mengemukakan bahwa
secara historis, perkembangan Partai Komunis China
(PKC) memiliki dasar gerakan buruh. Gerakan buruh

22
Sri Kusumastuti Rahayu, et al. “Hubungan Industrialdi Jabotabek, Bandungdan
Surabaya pada Era Kebebasan Berserikat”, Lembaga Penelitian SMERU, USAID/PEG,
2002.
23
Ma Zhining, “Industrial Relations In China: A Review Based On A Six-Party Model”,
International Labour Review, Vol. 150, No. 1-2, 2011 : 145-162

Pancasila Di Indonesia Dan Kolektif Di Cina 14


adalah pondasi dan landasan sosial PKC, sebagian besar
pemimpin awal PKC telah memimpin dan berpartisipasi
dalam gerakan pekerja. Laulusa (2008)24 mengatakan
“ACFTU dibentuk pada tahun 1925 bertindak sebagai
bagian administrasi ketenagakerjaan untuk
berkoordinasi dengan Negara dalam mengawasi tenaga
kerja.” Setelah pembentukan dan kepemimpinan
Federasi Serikat Buruh China (ACFTU), gerakan serikat
yang dipimpin oleh PKC telah menjadi bagian penting
dari perjuangan revolusioner. Sejak lahir ACFTU,
kegiatan politik telah menjadi kegiatan utama dan jarang
terlibat dalam perundingan bersama dan pemogokan
ekonomi di bawah pasar ekonomi. Kaple (1994) 25
mengatakan bahwa ACFTU menjadi bagian tak
terpisahkan dari sistem "Iron rice bowl" (tie fan wan),
status "pekerjaan seumur hidup" yang harus dinikmati
para pekerja dari tahun 1950 sampai 1980an.
Chang (2009) mengatakan tahun 1949 Partai
komunis secara resmi merebut kekuasaan di daratan
Cina dan mendirikan Republik Rakyat China.
Perundingan bersama secara aktif telah dipromosikan
pada tahun-tahun awal Republik Rakyat China. Namun
pertengahan tahun 1950an, Mao mengumumkan
transisi China menuju sosialisme. Dalam Taylor et al
(2003)26, tahun 1994 Pemerintah China mengeluarkan
undang-undang ketenagakerjaan baru untuk

24
Leon Laulusa, “Confucianism and its implications for industrial relations in China”.
Journal of Management Spirituality and Religion, Vol.5 (4), 2008 : 385-403.
25
Deborah A. Kaple, “Dream of a red factory : The legacy of high Stalinism”, Oxford,
Oxford University Press, 1994.
26
Taylor Bill, et.al, “Industrial Relations in China”, Edwar Elgar, 2003 : 267.

Pancasila Di Indonesia Dan Kolektif Di Cina 15


menciptakan sistem hubungan industrial baru di China
yang menjelaskan hubungan antara pengusaha dan
pekerja di perusahaan. Menurut Ng & Warner (1998) 27,
Brown, (2010)28 menjelaskan bahwa Undang-undang
Serikat Buruh Tahun 1992 dan Undang-Undang
Ketenagakerjaan tahun 1994 mulai berlaku pada tahun
1995, dan UU tersebut merupakan langkah besar dalam
perjalanan menuju sistem berbasis pasar yang
menggabungkan gerakan buruh ke dalam proses
reformasi. Zhu (2011)29 mengemukakan Undang-undang
tersebut melembagakan "pasar tenaga kerja" yang
muncul dengan mengesahkan kontrak individu (geren
hetong) dan kesepakatan bersama (jiti hetong) sebuah
langkah ke arah tawar menawar kolektif. Taylor et al
(2003) memaparkan bahwa Undang-undang baru yang
berkaitan dengan ketenagakerjaan dan manajemen
telah dijelaskan dalam kaitannya dengan sebuah langkah
menuju sistem hubungan kerja yang dapat dikenali,
namun ACFTU tetap menjadi bagian integral darinya. Ng
& Warner (1998) menyatakan “Selama beberapa
dekade, ACFTU telah terlihat bertindak sebagai
mekanisme “transmission-belt” Leninis yang
menghubungkan Partai/Negara Bagian dengan lapisan
yang berada di bawahnya.” Di samping itu Zhu (2011)
pun memaparkan kebijakan Partai baru bergeser pada
penciptaan sebuah "masyarakat yang harmonis" (hexie
27
Ng Sek Hong, and Warner Malcolm, “China’s Trade Unions And Management”,
New York : St Martin’s Press, 1998.
28
Ronald C. Brown, “Understanding Labor And Employment Law In China. New York :
Cambridge University Press, 2010.
29
Ying Zhu, “Employment Relations “With Chinese Characteristics”: The Role Of Trade
Unions In China”, International Labour Review, Vol. 150, No. 1–2, 2011.

Pancasila Di Indonesia Dan Kolektif Di Cina 16


shehui) yang didasarkan pada "prinsip dasar
kemanusiaan dan pembangunan ilmiah" mungkin bisa
memberi kesempatan untuk perubahan.
Chang (2006)30 mengatakan “Perkembangan
hubungan industrial di cina sejak tahun 2000 dapat
digambarkan sebagai usaha bersama untuk
korporatisme preemptive oleh negara partai dan
ACFTU.” Hishida (2010)31 mengemukakan bahwa ACFTU
kembali mengubah strateginya dengan menekankan
pengembangan cabang dan anggota serikat pekerja yang
solid dan stabil. Sejak saat itu, kegiatan utama ACFTU
adalah berfokus pada representasi dan perlindungan
yang lebih kredibel terhadap anggota serikat melalui
organisasi akar rumputnya. Chang (2009) menyatakan
“China telah mempercepat pembangunan institusi
hubungan industrial, yang mencakup pembentukan
badan konsultasi tripartit dari tingkat pusat sampai ke
tingkat kabupaten, promosi perundingan bersama dan
negosiasi upah, dan kampanye pengorganisasian serikat
pekerja terpadu.” Akibatnya, China sekarang memiliki
salah satu kepadatan serikat pekerja tertinggi. Cakupan
tawar kolektif juga meningkat pesat sejak awal tahun
2000an. Wang (2008)32 menambahkan “Evolusi utama
dari hubungan industrial sejak reformasi ekonomi
30
Chang Hee Lee, “Recent Industrial Relations Developments in China and Viet Nam:
The Transformation of Industrial Relations in East Asian Transition Economies”,
Journal of Industrial Relations 48. 3, 2006 : 415-429.
31
Masaharu Hishida, et.al, “China’s Trade Unions: How Autonomous Are They? A
Survey Of 1,811 Enterprise Union Chairpersons”, Abingdon, Oxon, Routledge, 2010.
32
Wang Kan, “A changing arena of industrial relations in China, What is happening
aftjker 1978”, Employee Relations, Vol. 30, no.2, 2008 : 190-216.

Pancasila Di Indonesia Dan Kolektif Di Cina 17


Negara China, menunjukkan bahwa hubungan industrial
telah bergeser dari sistem yang dikendalikan oleh negara
ke arena aktor-pro-negosiasi yang lebih fleksibel, di
mana persatuan tripartisme (negara-perusahaan-serikat
pekerja) muncul. Akan tetapi tidak bisa sepenuhnya
mengungkapkan realitas kerja Cina”. Hal ini berarti
bahwa evolusi utama dari hubungan industrial di Cina
adalah sejak reformasi ekonomi, dimana hubungan
industrial telah bergeser dengan munculnya persatuan
tripartisme (negara-perusahaan-serikat pekerja).

Membangun Masyarakat Yang Harmonis


Chang (2009) menyatakan “Reformasi ekonomi
telah mengubah China menuju ke 'pabrik dunia' dan
perekonomian terbesar ketiga.” Chang pun
menambahkan “Reformasi ekonomi di China telah
disertai dengan diperkenalkannya kerangka legislatif dan
kelembagaan baru untuk hubungan industrial dan
ketenagakerjaan.” Taylor et. al (2003) mengatakan
“Pemerintah China telah memperkenalkan komponen
kelembagaan inti dari sistem semacam itu dengan
mengatur kontrak kerja individu dan kolektif dan sistem
penyelesaian sengketa dan merevisi undang-undang
serikat pekerja untuk menentukan hak dan kewajiban
serikat pekerja.” Dalam Zhining (2011) menambahkan
“Hubungan industrial China berbeda secara signifikan
dengan demokrasi ala Barat.” Dalam Taylor, et. al (2003)
bahwa mereka mempertimbangkan karakteristik khusus
sistem persatuan China, dengan mengusulkan untuk
merevisi model tripartit menjadi model empat partai.

Pancasila Di Indonesia Dan Kolektif Di Cina 18


Laulusa (2008) memaparkan beberapa perbedaan
hubungan industrial yang terjadi di negara China dengan
Negara-negara Barat, yaitu :
1. Serikat pekerja bergantung pada pemerintahan
China.
Tahun 1978 ACFTU didirikan kembali dengan
memegang peran ganda, yaitu membela hak dan
kepentingan para pekerja, serta mempromosikan
stabilitas sosial dan harmoni serta reformasi
Negara dengan mendorong pekerja untuk
meningkatkan produktivitas dan dengan
menerapkan disiplin ketenagakerjaan, melakukan
propaganda ekstensif atas nama manajemen.
2. Danwei merupakan semacam organisasi keluarga.
Lü dan Perry (1997)33 menyatakan bahwa fungsi
politik dan sosial "dapat dicirikan sebagai
"paternalistik" dan "maternalistik". Seperti dalam
keluarga tradisional, danwei bertindak sebagai
patriarki yang mendisiplinkan dan memberi sanksi
kepada anak-anaknya, sementara pada saat yang
sama melayani sebagai penyedia perawatan ibu
dan kebutuhan sehari-hari.
3. Sistem kontrak kolektif lebih merupakan
perangkat formal karena tidak didasarkan pada
peraturan perundingan kerja yang dinegosiasikan
antara kedua belah pihak secara independen
mewakili kepentingan pengusaha dan karyawan.
Oleh karena itu, sistem ini didasarkan pada asumsi

33
Lü Xiaobo, and Perry Elizabeth J, “Danwei : The Changing Chinese Workplace in
Historical and Comparative Perspective”, M. E. Sharpe, 1997 : 262.

Pancasila Di Indonesia Dan Kolektif Di Cina 19


berkelanjutan tentang kepentingan persatuan
antara perusahaan, yang dimiliki secara
tradisional oleh seluruh orang, dan para pekerja,
perusahaan, dinyatakan dalam komitmen
bersama terhadap kepatuhan terhadap norma-
norma hukum.
4. Di negara China, konflik dihindari sebagai usaha
dalam menjaga hubungan yang harmonis.
Chang (2009) menyatakan, Titik balik hubungan
industrial terjadi pada awal tahun 2000an ketika
kepemimpinan baru Hu Jintao menggeser prioritas
kebijakan Partai-Negara Bagian. Di bawah slogan-slogan
menyeluruh tentang 'membangun masyarakat yang
harmonis' dan 'pembangunan yang berpusat pada
orang-orang', kepemimpinan politik yang baru
menetapkan tujuan ambisius untuk mengarahkan
strategi pembangunan ekonomi dan sosial China. Dalam
konteks inilah Partai-Negara menemukan nilai baru
serikat pekerja sebagai pilar utama manajemen sosial
dalam menstabilkan 'hubungan sosial inti', yaitu
hubungan perburuhan. Partai-Negara menyadari bahwa
serikat pekerja harus dapat berfungsi sebagai 'pelindung'
dalam parameter yang ditetapkan oleh Negara.
Pelembagaan praktik hubungan industrial baru seperti
perundingan bersama dan konsultasi tripartit mendapat
perhatian baru karena tidak hanya dilihat sebagai katup
pengaman sosial, tetapi juga sebagai mekanisme
ekonomi untuk mengurangi kesenjangan yang dihasilkan
oleh kekuatan pasar yang tidak terkendali. Serikat
pekerja dan pekerjaan membangun institusi hubungan

Pancasila Di Indonesia Dan Kolektif Di Cina 20


industrial yang menjadi bagian penting dari Partai
Negara dengan strategi “preemtif korporatis” yang
bertujuan untuk mencegah konflik sosial dengan
memperluas wilayah persatuan monopoli dan
memasukkan pekerja ke dalam sistem hubungan
industrial yang resmi.
Kai Chang (2015) pun menambahkan bahwa
Penyesuaian kerja dan strategi ACFTU terutama terkait
dengan isu-isu mengenai bagaimana serikat pekerja
dapat mewakili massa pekerja, dan bagaimana
menyusun standar kontrak kolektif dan membuatnya
valid. Di samping itu Zhu dan Warner (2000) 34
menambahkan bahwa istilah 'ekonomi pasar sosialis
dengan karakteristik China' menjadi slogan campuran
yang memberikan legitimasi bagi kontrol politik Partai
Komunis (mempertahankan identitas 'sosialis'),
menciptakan kesempatan untuk mengenalkan
mekanisme pasar untuk pembangunan ekonomi, di saat
yang bersamaan memungkinkan nilai-nilai tradisional
seperti Konfusianisme untuk mengisi kekosongan
ideologis dan menolak untuk 'kebarat-baratan'.
Kai Chang (2015) mengatakan bahwa Pemerintah
China melihat bahwa sistem hubungan industrial tidak
hanya sebagai alat untuk mengatur hubungan kerja,
namun lebih mendasar yaitu sebagai sarana menjaga
stabilitas sosial dalam periode perubahan sosial dan
ekonomi yang cepat. Di samping itu, serikat pekerja
34
Warner M, and Y. Zhu, “An emerging model of employment relations in China : A
divergent path from the Japanese?”, Working paper 12/2000, the Judge Institute of
Management, University of Cambridge, 2000.

Pancasila Di Indonesia Dan Kolektif Di Cina 21


harus dapat berfungsi sebagai 'pelindung' pekerja, tidak
hanya sebagai mitra bawahan pemerintah dalam
parameter yang ditetapkan oleh Negara. Strategi
pembangunan ekonomi dan sosial China menuju
pembangunan yang lebih seimbang dengan
menyeimbangkan pembangunan pedesaan dan
perkotaan melalui dukungan untuk pembangunan
pedesaan, pembangunan berkelanjutan melalui
perlindungan lingkungan yang lebih baik, keseimbangan
antara ekspor dan pengembangan sektor dalam negeri,
dan keseimbangan antara efisiensi ekonomi dan
keadilan sosial, tetapi juga sebagai mekanisme ekonomi
untuk mengurangi kesenjangan yang dihasilkan oleh
kekuatan pasar yang tidak terkendali.
Peralihan menuju hubungan kerja kolektif
mengacu pada sistem hubungan kerja individu dan
penyesuaiannya tidak lagi memadai untuk
menyelesaikan konflik perburuhan dan menjaga
stabilitas hubungan kerja di negara China. Kai Chang
(2015) memaparkan bahwa kekuatan pendorong utama
untuk transisi menuju hubungan kerja kolektif sebagian
besar berasal dari tuntutan hak perlindungan diri dari
para pekerja. Hubungan kerja kolektif mengacu pada
hubungan sosial yang terbentuk antara pekerja sebagai
kelompok atau partai (biasanya diwakili oleh serikat
pekerja) dan pengusaha atau organisasi pengusaha
dalam proses negosiasi kondisi ketenagakerjaan, standar
ketenagakerjaan dan terkait urusan ketenagakerjaan
lainnya. Penerapan hubungan yang mengarahkan
kepada stabilitas dan menjaga keharmonisan dalam

Pancasila Di Indonesia Dan Kolektif Di Cina 22


hubungan industrial akan terus diperkuat atau
diterapkan negara China.

Bagaimana Konsep dan Penerapannya di Kedua


Negara?
Berdasarkan Sejarah Hubungan Industrial dan
penerapannya di kedua Negara, Indonesia dan China
memiliki kesamaan konsep bahwa Hubungan Industrial
didasarkan pada keadilan dan keharmonisan baik baik
pengusaha maupun pekerja. Negara Indonesia
menganut Hubungan Industrial Pancasila (HIP) dengan
memberi tekanan pada kemitraan antara pekerja,
pengusaha, dan pemerintah yang bertujuan
mewujudkan masyarakat industrial yang ideal yang
terkandung dalam Pancasila sebagai dasar negara.
Dalam sejarah Hubungan Industrial di Indonesia dibagi
menjadi tiga periode perubahan, terlihat pada tabel
berikut :

Tabel 1. Sejarah Hubungan Industrial Indonesia


Tahun 1908 mulai terbentuk serikat
Periode pekerja yang dan dipraktekan Hubungan
pertama Industrial yang pihaknya adalah para
pekerja Indonesia dan pengusaha
Belanda. Pada tahun 1947 mulai lagi
timbul polarisasi dalam Hubungan
Industrial dengan terbentuknya serikat
buruh SOBSI yang secara nyata-nyata
berorientasi kepada komunisme, dimana
pada tahun 1948 SOBSI bersama-sama

Pancasila Di Indonesia Dan Kolektif Di Cina 23


dengan PKI terlibat dalam
pemberontakan Madiun.
Periode Setelah penyerahan kedalutan dengan
kedua sistem serikat pekerja yang pluralistis
maka sistem Hubungan Industrial baik
yang berdasarkan liberalisme maupun
Marxisme berkembang pesat dipelopori
oleh serikat pekerjanya masing-masing.
Praktek-praktek Hubungan Industrial
yang bersifat antagonis dan konforntatif
makin menonjol.
Periode Setelah pemberontakan G30 dapat
ketiga ditumpas dan lahirlah pemerintahan
Orde Baru yang bertekad ingin
melaksanakan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945 secara murni dan
konsekuen.
Peralihan menuju hubungan kerja kolektif di
Negara China mengacu pada hubungan sosial yang
terbentuk antara pekerja sebagai kelompok atau serikat
pekerja dan pengusaha atau organisasi pengusaha.
Penerapan hubungan yang mengarahkan kepada
stabilitas dan menjaga keharmonisan dalam hubungan
industrial akan terus diperkuat atau diterapkan negara
China. Perubahan Hubungan Industrial di China dapat
dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 2. Sejarah Hubungan Industrial China


Didirikannya Partai Komunis China dalam
Tahun 1921 usaha untuk terlibat dalam gerakan buruh.

Pancasila Di Indonesia Dan Kolektif Di Cina 24


Gerakan buruh sebagai pondasi dan
landasan sosial PKC, sebagian besar
pemimpin awal PKC telah memimpin dan
berpartisipasi dalam gerakan pekerja
Tahun 1925 All China Federation of Trade Unions
(ACFTU) dibentuk dan bertindak sebagai
bagian dari administrasi ketenagakerjaan
untuk berkoordinasi dengan Negara dalam
mengawasi angkatan kerja.
Tahun 1950 Masa transisi China menuju sosialisme.
Tahun 1994 Pemerintah China mengeluarkan Undang-
Undang ketenagakerjaan baru untuk
menciptakan sistem hubungan industrial
baru di China yang menjelaskan hubungan
antara pengusaha dan pekerja di
perusahaan. UU tersebut melembagakan
"pasar tenaga kerja" yang muncul dengan
mengesahkan kontrak individu (geren
hetong) dan kesepakatan bersama (jiti
hetong) sebuah langkah ke arah tawar
menawar kolektif.
Tahun Pengembangan hubungan industrial di
2000-an China dapat digambarkan sebagai usaha
bersama untuk korporatisme preemptif
oleh partai negara dan ACFTU dengan
bertujuan untuk mencegah konflik sosial
dengan memperluas wilayah persatuan
monopoli dan memasukkan pekerja ke
dalam sistem hubungan industrial yang
resmi.. Kepemimpinan baru Hu Jintao

Pancasila Di Indonesia Dan Kolektif Di Cina 25


menggeser prioritas kebijakan Partai-
Negara, dengan slogan-slogan
menyeluruh tentang 'membangun
masyarakat yang harmonis' dan
'pembangunan yang berpusat pada orang-
orang', kepemimpinan politik yang baru
menetapkan tujuan ambisius untuk
mengarahkan strategi pembangunan
ekonomi dan sosial China menuju
pembangunan yang lebih seimbang:
menyeimbangkan pembangunan
pedesaan dan perkotaan melalui
dukungan untuk pembangunan pedesaan,
pembangunan berkelanjutan melalui
perlindungan lingkungan yang lebih baik,
keseimbangan antara ekspor dan
pengembangan sektor dalam negeri, dan
keseimbangan antara efisiensi ekonomi
dan keadilan sosial. Hal ini menjadi
peralihan menuju hubungan kerja kolektif
yang terjadi di Negara China.

Perubahan Hubungan Industrial yang terjadi di


Negara Indonesia dan China tentu memiliki keunggulan
masing-masing dalam penerapannya, berikut ini akan
disajikan dalam bentul tabel terkait Perbandingan
Hubungan Industrial kedua Negara.

Tabel 3. Perbandingan Hubungan Industrial Indonesia


dan China

Pancasila Di Indonesia Dan Kolektif Di Cina 26


Indonesia China
Hubungan Hubungan Industrial Hubungan Industrial
Industrial yang Pancasila. Kolektif.
diterapkan HIP sebagai suatu sistem Hubungan kerja kolektif
hubungan yang mengacu pada hubungan
terbentuk antara para sosial yang terbentuk
pelaku dalam proses antara pekerja sebagai
produksi barang dan jasa kelompok atau partai
(pekerja, pengusaha, dan (biasanya diwakili oleh
pemerintah) yang serikat pekerja) dan
didasarkan atas nilai-nilai pengusaha atau
yang merupakan organisasi pengusaha
manisfestasi dari dalam proses negosiasi
keseluruhan sila-sila kondisi ketenagakerjaan,
Pancasila dan UUD 1945, standar ketenagakerjaan
yang tumbuh dan dan terkait urusan
berkembang di atas ketenagakerjaan lainnya.
kepribadian bangsa dan
kebudayaan nasional
Indonesia.
Latar belakang Instrumen kontrol Kekuatan pendorong
negara sekaligus sarana utama dalam transisi
penyeimbang aspirasi menuju hubungan kerja
negara-negara kreditor kolektif sebagian besar
yang meminta agar berasal dari tuntutan hak
pemerintahan bersikap perlindungan diri dari
responsif-akomodatif para pekerja.
terhadap tuntutan
buruh.
Konsep Konsep HIP adalah Konsep Hubungan

Pancasila Di Indonesia Dan Kolektif Di Cina 27


mewujudkan masyarakat Industrial kolektif
industri yang ideal yang mengarahkan kepada
disusun berdasarkan stabilitas serta menjaga
pertimbangan sosial keharmonisan dalam
budaya dan nilai-nilai hubungan industrial
tradisional Indonesia.
Manfaat Menciptakan industrial Strategi pembangunan
peace yang tidak semu, ekonomi dan sosial China
serta bagi pemerintah menuju pembangunan
Indonesia akan yang lebih seimbang
mengurangi tingginya dengan
angka pengangguran, menyeimbangkan
terciptanya lapangan pembangunan pedesaan
kerja yang semakin luas, dan perkotaan melalui
meningkatnya dukungan untuk
produktivitas pembangunan pedesaan,
perusahaan, pembangunan
meningkatnya berkelanjutan melalui
kesejahteraan pekerja, perlindungan lingkungan
meningkatnya investasi yang lebih baik,
di Indonesia dan keseimbangan antara
meningkatkan ekspor dan
pertumbuhan ekonomi pengembangan sektor
negara Indonesia. dalam negeri, dan
keseimbangan antara
efisiensi ekonomi dan
keadilan sosial, tetapi
juga sebagai mekanisme
ekonomi untuk
mengurangi kesenjangan

Pancasila Di Indonesia Dan Kolektif Di Cina 28


yang dihasilkan oleh
kekuatan pasar yang
tidak terkendali.
Keunggulan Hubungan Industrial Keunggulan Hubungan
Indonesia berlandaskan Industrial Kolektif
Sila-Sila Pancasila. dengan Karakteristik
1. Sila pertama sebagai China. Istilah 'ekonomi
landasan spiritual pasar sosialis dengan
hubungan industrial, karakteristik China'
dalam bekerja menjadi slogan
manusia tidak hanya campuran yang
mencari nafkah tetapi memberikan legitimasi
mengabdi kepada bagi kontrol politik Partai
Tuhan, sesama Komunis
manusia, masyarakat, (mempertahankan
dan bangsa dan identitas 'sosialis'),
negara; menciptakan
2. Sila kedua sebagai kesempatan untuk
landasan kemanusiaan mengenalkan
dengan menganggap mekanisme pasar untuk
pekerja bukan sekedar pembangunan ekonomi,
faktor produksi tetapi di Saat yang sama
sebagai mitra memungkinkan nilai-nilai
perusahaan, manusia tradisional seperti
pribadi dengan segala Konfusianisme untuk
harkat dan mengisi kekosongan
martabatnya; ideologis dan menolak
3. Sila ketiga sebagai untuk 'kebarat-baratan'.
dasar kesatuan yang Dengan demikian
diterapkan Hubungan industrial

Pancasila Di Indonesia Dan Kolektif Di Cina 29


berpedoman kepada China berbeda dengan
tri dharma yang beberapa Negara Barat.
mengandung asas 1. Serikat pekerja
partnership dan bergantung pada
tanggung jawab pemerintahan China.
bersama antara ACFTU didirikan
pekerja, manajemen, kembali dengan
dan serikat pekerja memegang peran
sehingga tercipta ganda, yaitu membela
saling merasa ikut hak dan kepentingan
memiliki, memelihara, para pekerja, serta
mempertahankan dan mempromosikan
terus-menerus mawas stabilitas sosial dan
diri, mempunyai harmoni serta
kepentingan yang reformasi Negara
sama; dengan mendorong
4. Sila keempat sebagai pekerja untuk
landasan demokrasi meningkatkan
dalam hubungan produktivitas dan
industrial di Indonesia, dengan menerapkan
semua pihak dalam disiplin
proses produksi ketenagakerjaan,
memiliki hak melakukan
mengeluarkan propaganda ekstensif
pendapat yang sama atas nama
sehingga selalu manajemen.
mengutamakan 2. Danwei merupakan
musyawarah mufakat semacam organisasi
dalam setiap keluarga. Fungsi politik
pengambilan dan sosial "dapat

Pancasila Di Indonesia Dan Kolektif Di Cina 30


keputusan. dicirikan sebagai
diselesaikan melalui "paternalistik" dan
musyawarah untuk "maternalistik".
mencapai mufakat; Seperti dalam keluarga
5. Sila kelima sebagai tradisional, danwei
landasan perwujudan bertindak sebagai
keadilan sosial dalam patriarki yang
hubungan industrial mendisiplinkan dan
dengan menerapkan memberi sanksi
prinsip keadilan dalam kepada anak-anaknya,
lingkungan kerja di sementara pada saat
segala aspeknya yang sama melayani
dengan keseimbangan sebagai penyedia
antara hak dan perawatan ibu dan
kewajiban kedua kebutuhan sehari-hari.
belah pihak dalam 3. Sistem kontrak kolektif
perusahaan. lebih merupakan
perangkat formal
karena tidak
didasarkan pada
peraturan
perundingan kerja
yang dinegosiasikan
antara kedua belah
pihak secara
independen mewakili
kepentingan
pengusaha dan
karyawan. Oleh karena
itu, sistem ini

Pancasila Di Indonesia Dan Kolektif Di Cina 31


didasarkan pada
asumsi berkelanjutan
tentang kepentingan
persatuan antara
perusahaan, yang
dimiliki secara
tradisional oleh
seluruh orang, dan
para pekerja,
perusahaan,
dinyatakan dalam
komitmen bersama
terhadap kepatuhan
terhadap norma-
norma hukum.
4. Di negara China,
konflik dihindari
sebagai usaha dalam
menjaga hubungan
yang harmonis.
Persamaan Negara Indonesia dan China memiliki orientasi yang
sama dalam menciptakan hubungan industrial yang
harmonis, adil, makmur, dan kondusif yang terjalin
antara pengusaha, pekerja, serikat kerja, maupun
pemerintah. Dengan demikian dapat meningkatkan
investasi, menjaga stabilitas dan meningkatkan
pertumbuhan ekonomi negara Indonesia maupun
China.

Pancasila Di Indonesia Dan Kolektif Di Cina 32


Hubungan Industrial Yang Adil dan Harmonis
Penerapan hubungan industrial memiliki konsep
yang berbeda pada setiap negara, Indonesia menganut
Hubungan Industrial Pancasila untuk mewujudkan
masyarakat adil dan makmur yang berdasarkan
Pancasila serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan Pancasila serta ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial melalui
penciptaan ketenangan, ketentraman dan ketertiban
kerja serta ketenangan usaha, meningkatkan produksi,
dan meningkatkan kesejahteraan pekerja serta
derajatnya sesuai dengan martabat manusia. Meskipun
penerapan hubungan industrial yang harmonis masih
belum sepenuhnya terwujud, dibuktikan oleh berbagai
isu berkaitan dengan ketenagakerjaan, seperti kontrak
kerja antara pekerja dan pengusaha, pengupahan,
outsourcing dalam proses rekrutmen yang sering
menimbulkan aksi mogok kerja, serta ketentuan
mengenai pesangon yang dirasakan cukup memberatkan
bagi pengusaha.
Berbeda dengan Negara China, berdasarkan Badan
Koordinasi Penanaman Modal (Juli 2010) 35, Negeri
Panda tercatat surplus perdagangan tertinggi sepanjang
tahun 2010 dengan nilai US$ 28,7miliar. Di bandingkan
negara lain seperti Thailand, Filipina, Vietnam, dan
Indonesia, upah buruh di China kini lebih tinggi berkisar

35
www.bkpm.go.id

Pancasila Di Indonesia Dan Kolektif Di Cina 33


rata-rata US$,81per jam. Jika dibandingkan dengan
pusat-pusat investasi di China dan India, upah buruh di
Indonesia merupakan yang paling rendah di antara 10
negara ASEAN jika dilihat dari aspek biaya tenaga kerja.
Peralihan menuju hubungan kerja kolektif mengacu
pada sistem hubungan kerja individu untuk
menyelesaikan konflik perburuhan dan menjaga
stabilitas hubungan kerja di negara China. Dengan
adanya pengaturan yang mengatur hubungan kerha,
hal‐hal yang harus dilaksanakan oleh pekerja dan
pengusaha, maupun pemerintah dalam melaksanakan
hubungan industrial, maka diharapkan terjadi hubungan
yang harmonis dan kondusif sesuai dengan konsep dan
tujuan penerapan hubungan industrial di kedua negara.

3. REFERENSI
Ardana, I Komang., et al. 2012. Manajemen Sumber
Daya Manusia. Yogyakarta : Graha Ilmu.
Bill, Taylor., et.al. 2003. Industrial Relations in China.
Edwar Elgar : 267.
Borkent, Hans., et. al. 1981. Indonesian Vorkers and
Their Right to Organise. Netherlands : Leiden.
Brown, Ronald C. 2010. Understanding labor and
employment law in China. New York : Cambridge
University Press.
Chang, Hee Lee. 2009. Industrial Relations And Collective
Bargaining In China. Geneva : International Labour
Organization.

Pancasila Di Indonesia Dan Kolektif Di Cina 34


Chang, Hee Lee. 2006. Recent Industrial Relations
Developments in China and Viet Nam: The
Transformation of Industrial Relations in East Asian
Transition Economies. Journal of Industrial
Relations 48, 3 : 415-429.
Gunarto. 2011. Dampak Hubungan Industrial Yang
Bersifat Kapitalistik Terhadap Harmonisasi
Hubungan Industrial Pengusaha Dengan Pekerja.
Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 11, Edisi Khusus.
Hishida, Masaharu., et.al. 2010. “China’s Trade Unions:
How Autonomous Are They? A Survey Of 1,811
Enterprise Union Chairpersons.” Abingdon, Oxon,
Routledge.
Howell, Jude. 2005. Industrial Relations in China. Journal
of Contemporary Asia, Vol. 35.2 : 275-276.
Internasional Labour Organization. 2002. Meningkatkan
Hubungan Industrial Di Tingkat Perusahaan.
Jakarta : Kantor Perburuhan Internasional.
Jie, Shen., and John Benson. 2008. Tripartite
Consultation In China : A First Step Towards
Collective Bargaining?. International Labour
Review, Vol. 147 No. 2–3.
Kai, Chang. 2015. Two Forms Of Labour Movements In
The Transition Towards Collective Labour Relations
In China – Characteristics Of Current Development
And Prospect. Paper for the International Labour
and Employment Relations Association (ILERA),
17th World Congress, South Africa.

Pancasila Di Indonesia Dan Kolektif Di Cina 35


Kaple, Deborah A. 1994. Dream of a red factory: The
legacy of high Stalinism. Oxford, Oxford University
Press.
Laulusa, Leon. 2008. Confucianism and its implications
for industrial relations in China. Journal of
Management Spirituality and Religion, Vol.5 (4) :
385-403.
Launa. 2011. Buruh Dan Politik : Tantangan Dan Peluang
Gerakan Buruh Indonesia Pascareformasi. Jurnal
Sosial Demokrasi, Vol. 10. 4 : 4-15.
Lü, Xiaobo., dan Perry Elizabeth J. 1997. Danwei : The
Changing Chinese Workplace in Historical and
Comparative Perspective, M. E. Sharpe : 262.
Ma, Zhining. 2011. Industrial Relations In China: A
Review Based On A Six-Party Model. International
Labour Review, Vol. 150, No. 1-2 : 145-162.
Maimun. 2007. Hukum Ketenagakerjaan Suatu
Pengantar. Jakarta : Paradnya Pramita.
Mills, Daniel Quinn. 1994. Labor Management Relations.
Singapore : McGraw Hill.
Ng, Sek Hong., dan Warner, Malcolm. 1998. China’s
trade unions and management. New York : St
Martin’s Press.
Rahayu, Sri Kusumastuti. et al. 2002. Hubungan
Industrialdi Jabotabek, Bandungdan Surabaya
pada Era Kebebasan Berserikat. Lembaga
Penelitian SMERU, USAID/PEG.
Rumimpunu, Fritje. 2014. Sistem Hubungan Industrial
Pancasila Di Indonesia Dengan Tenaga Kerja,
Perusahaan Dilihat Dari Aspek (Undang-Undang

Pancasila Di Indonesia Dan Kolektif Di Cina 36


Tenaga Kerja No. 13 Tahun 2003). Jurnal Hukum
Unsrat Vol. II, No. 02.
Salamon, Michael. 2000. Industrial Relation Theory and
Practice. London : Prentice Hall.
Shamad, Yunus. 1995. Hubungan Industrial di Indonesia.
Jakarta: Bina Sumberdaya Manusia.
Simanjuntak, Payaman. 2003. Manajemen Hubungan
Industrial. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
Soejadi. 1999. Pancasila Sebagai Sumber Tertib Hukum
Indonesia.Yogyakarta: Lukman Offset.
Soepomo, Imam. 1975. Hukum Perburuhan Bidang
Hubungan Kerja. Jakarta : Jambatan.
Subijanto. 2011. Peran Negara dalam Hubungan Tenaga
Kerja di Indonesia. Jurnal Pendidikan dan
Kebudayaan, Vol. 17, No. 6 : 705-718.
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Administrasi.
Bandung : Alfabeta.
Susetiawan. 2000. Konflik Sosial Kajian Sosiologis
Hubungan Buruh Perusahaan Dan Negara Di
Indonesia. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Suwarno, S., and J., Elliot. 2000. Changing Approaches to
Employment Relations in Indonesia, in Employment
Relations in the Asia Pacific: Changing Approaches.
Ed. Bamber, Greg J.
Trihastuti, Nanik. 2013. Membangun Hubungan
Industrial yang Harmonis di Indonesia. Jurnal
Hukum Bisnis, Vol. 32 No. 2. Yayasan
Pengembangan Hukum Bisnis.

Pancasila Di Indonesia Dan Kolektif Di Cina 37


Wang, Kan. 2008. A changing arena of industrial
relations in China, What is happening after 1978.
Employee Relations, Vol. 30, no.2 : 190-216
Warner, M., and Ying Zhu. 2000. An emerging model of
employment relations in China : A divergent path
from the Japanese?. Working paper 12/2000, the
Judge Institute of Management, University of
Cambridge.
Ying, Zhu. 2011. Employment Relations “With Chinese
Characteristics”: The Role Of Trade Unions In
China. International Labour Review, Vol. 150, No.
1–2.
www.bkpm.go.id

Pancasila Di Indonesia Dan Kolektif Di Cina 38


BAB II
PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRI
MELALUI ARBITRASE DILIHAT DI NEGARA INDONESIA
DAN AUSTRALIA

1. PENDAHULUAN

Suatu perubahan yang dilakukan sebuah


organisasi terkadang tidak selalu berjalan sesuai dengan
rencana yang diinginkan. Organisasi mungkin akan
menemui berbagai permasalahan antar individu atau
pihak-pihak berkepentingan dalam organisasi yang
menentang atau mendukung perubahan yang terjadi.
Kejadian seperti ini bukan sesuatu yang jarang ditemui.
Permasalahan yang muncul bisa jadi karena adanya
kekhawatiran dari pihak tertentu akan perubahan yang
dilakukan oleh organisasi. Tentu saja tidak seluruh
elemen dalam organisasi akan menentang, adapun yang
mendukung. Hal ini memunculkan perbedaan pendapat
antar kedua pihak. Perbedaan pendapat seperti ini yang
bisa memunculkan perselisihan. Neale dan Kleiner
(2001) mengatakan bahwa perselisihan terjadi karena
adanya perbedaan kepentingan. Penjelasan ini dapat
dikatakan bahwa adanya perselisihan terjadi karena
pihak tertentu dalam organisasi memiliki
kepentingannya tersendiri yang berbeda dengan pihak
lain sehingga memunculkan adanya perselisihan
tersebut.

Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industri Melalui Arbitrase 39


Dilihat Di Negara Indonesia Dan Australia
Semakin besarnya suatu organisasi, perselisihan
yang terjadi di dalamnya bisa semakin kompleks, ketika
banyaknya kepentingan-kepentingan dalam pihak
tertentu tersebut memiliki pandangan yang berbeda
dengan pihak lainnya. Apabila perselisihan yang terjadi
dapat terselesaikan dengan antar pihak tersebut dengan
cara dapat menerima pernyataan dari pihak lain dengan
adanya persetujuan-persetujuan tertentu maka
perselisihan bisa saja tercegah.
Pada sebuah perusahaan, biasanya perselisihan
yang terjadi ini terjadi antara pekerja dengan
perusahaan. Adanya kepentingan dari pekerja yang tidak
terpenuhi dan perusahaan tidak dapat menerima untuk
memenuhi kepentingan tersebut dapat memunculkan
adanya perselisihan. Seringnya hal ini terjadi ketika
pekerja menuntut agar kepentingannya terpenuhi,
karena menurut Chelliah dan D’Netto (2006) banyak
orang yang membangun hidupnya saat mereka bekerja.
Chelliah dan D’Netto (2006) menambahkan bahwa
prospek masa depan dan pendapatan mereka didirikan
dari adanya harapan dari keberlanjutan dari pekerjaan
yang mereka miliki. Tentu saja setiap pekerja akan
memiliki harapannya masing-masing saat bekerja
mereka akan meningkatkan taraf hidupnya pula. Itulah
mengapa mereka akan selalu berjuang agar hak atau
kepentingannya ini bisa didapat dari perusahaannya
tersebut.
Perjuangan pekerja dalam menuntut perusahaan
agar kepentingannya terpenuhi tentu saja tidak selalu
akan dituruti oleh perusahaan. Perusahaan pasti

Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industri Melalui Arbitrase 40


Dilihat Di Negara Indonesia Dan Australia
memiliki kepentingan tersendiri. Bahkan bisa saja
perusahaan melakukan sebuah aturan bahwa adanya
tuntutan pekerja terhadap perushaaan bisa membuat
pekerja tersebut dikeluarkan dari pekerjaannya. Hal ini
akan membuat pekerja takut untuk melakukan tuntutan
tersebut. HMSO (1978) menambahkan bahwa bagi
pekerja yang lebih tua mungkin akan menemui banyak
kesulitan dalam menemukan pekerjaan lain. Apabila
tidak adanya perlindungan bagi pekerja dalam suatu
perusahaan, maka aturan yang dibuat perusahaan bisa
melemahkan pekerja tersebut. Oleh karena itu, menurut
Chelliah dan D’Netto (2006) menjelaskan bahwa banyak
pekerja di Australia yang akan meminta bantuan
arbitrator untuk mendapatkan kembali pekerjaannya.
Namun menurut Davis & Lansburry (1989) mengatakan
bahwa the Insustrial Relations Commission menawarkan
pengembalian hak dari adanya pemecatan. Davis & Lans
burry (1996) menambahkan bahwa komisi akan
membantu pekerja dalam memberikan hak akan
informasi dan konsultasi dalam keputusan manajeral
dari perubahan organisasi.
Wallace-Bruce (1999) menambahkan bahwa
pemecatan yang tidak adil terjadi biasanya ketika
penghentian kerja tersebut terbilang tidak adil, kejam
atau tidak beralasan. Chelliah dan D’Netto (2006)
menambahkan bahwa obat dari adanya pemcatan yang
tidak adil di Australia adalah pengembalian hak. Bagian
170 CH (3) of the Workplace Relation Act (1996)
menjelaskan bahwa kompensasi hanyalah obat kedua.
Pada penjelasan ini dapat terlihat bahwa perselisihan

Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industri Melalui Arbitrase 41


Dilihat Di Negara Indonesia Dan Australia
yang terjadi di Australia adalah ketika adanya
pemecatan yang tidak adil bagi pekerja. Sehingga
pekerja perlu melakukan suatu tindakan agar mereka
dapat menerima hak yang seharusnya mereka dapat.
Terdapat tiga jalan yang legal untuk
menyelesaikan perselisihan hubungan industry di
Australia. Macken et.al. (1997) mengatakan bahwa jalan
legal pertama adalah common law. Grubb dan Naugton
(1992) mengatakan bahwa pengadilan umum merupaan
jalan bagi para manajer senior (dengan gaji tahunan
lebih daru $81.500 pada tahun 2002 dan diindeks setiap
tahun) yang penghentian pekerjaannya tidak tercakup
dalam undang-undang tertentu atau kesepakatan
bersama. Chelliah dan D’Netto (2006) mengatakan
bahwa jalan legal kedua yaitu Federal Law. The
Workplace Relation Act (1996) menetapkan bahwa
“unfair dismissals
jurisdiction on the Australian Industrial Relations
Commission”. Lawrence (1998) mengatakan bahwa
“Commonwealth public sector employees, territory
employees, employees of a constitutional corporation or
engaged in interstate or overseas trade and most
employees in the State of Victoria are covered under
Federal law”. Pada penjelasan ini dapat diketahui bahwa
Yuridiksi pemecatan yang tidak adil berada di Komisi
Hubungan Industri Australia. Pada negara bagian
Viktoria sendiri, pekerja telah dilindungi dengan adanya
Federal Law. (Wheelwright (1999) mengatakan bahwa
jalan legal ketiga yang bisa dilakukan berasal dari the
Workplace Relations Act (1996), dimana “non-federal

Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industri Melalui Arbitrase 42


Dilihat Di Negara Indonesia Dan Australia
award employees back to their state jurisdictions with
the exception of the State of Victoria, which transferred
most of its industrial power to the Commonwealth in
1996”. Tiga jalan legal inilah yang bisa dilakukan pekerja
di Australia untuk menuntut kembali haknya.
Tidak hanya pemecatan yang bisa menimbulkan
peerselisihan dalam hubungan industry ini. Perselisihan
yang terjadi di Indonesia seringnya adalah Juwana
(2003) pekerja dalam beberapa peristiwa menuntut
terhadap perusahaan untuk memberikan pembayaran
yang sesuai, mereka berpendapat bahwa bayaran yang
mereka dapat terlalu rendah dibandingkan dengan
keuntungan perusahaan, dengan tambahan untuk
meningkatkan kondisi bekerja. Tuntutan yang dilakukan
oleh pekerja ini tidak hanya ditargetkan kepada
perusahaan, mereka pun menuntut kepada pemerintah
Indonesia sebagai penanggungjawab dalam mengatur
standar upah minimum. Juwana (2003) mengatakan
bahwa pemerintah telah memberikan aturan dengan
standar upah minimum yang lebih tinggi dibandingkan
sebelumnya.
Permasalahan yang terjadi tidak hanya sampai
disitu, perusahaan juga merasa bahwa pekerja terlalu
banyak menuntut, hal ini terlihat bagi perusahaan
pekerja tidak meningkatkan produktivitas perusahaan.
Juwana (2003) menambahkan bahwa alasan adanya
ketidaksetujuan dari pihak perusahaan dalam
meningkatkan standar upah minimum adalah karena
perusahaan berusaha untuk meminimalkan biaya
pekerja. Juwana (2003) menambahkan bahwa

Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industri Melalui Arbitrase 43


Dilihat Di Negara Indonesia Dan Australia
perusahaan mengkritisi pemerintah dengan
berpendapat bahwa hal tersebut akan merugikan
operational perusahaan. Adanya perbedaan pendapat
antar perusahaan dengan pekerja atau pemerintah ini
yang menimbulkan adanya perselisihan hubungan
industry di Indonesia. Sampai saat ini, masih banyak
pekerja yang melakukan prostesnya agar tuntutannya
bisa diterima oleh perusahaan.
Perselisihan industry di Indonesia bisa
terselesaikan dengan berlakunya Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2004 mengenai Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Internasional dihubungakan
dengan Peraturan Pelaksanaan Tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial dapat ditempuh dalam
dua jalur. Pertama, jalur peradilan: Penyelesaian
perselisihan melalui jalur peradilan telah diatur dalam
sistim peradilan bahwa tenaga hakim sudah ditambah
dengan Hakim Ad-Hoc, yang proses litigasinya berjalan
diperadilan umum. Kedua, Penangana Perselisishan di
Luar Pengadilan, yaitu (a) konsiliasi, (b) arbitrase, (c)
mediasi.
Berbagai perselisihan yang terjadi di kedua
negara, tentu saja perlu ada tindakan lebih lanjut agar
kedua belah pihak antara perusahaan dengan pekerja
bisa mencapai suatu kesepakatan bersama. Abdussalam
(2009
) menambahkan bahwa penyelesaian
perselisihan yang terbaik adalah penyelesaian oleh para
pihak yang berselisih. Jones Day (2004) mengatakan
bahwa terdapat sebuah metode yang telah banyak

Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industri Melalui Arbitrase 44


Dilihat Di Negara Indonesia Dan Australia
dikenal yaitu prosedur Alternative Dispute Resolution
(ADR) yang terdiri dari arbitrase, negosiasi, mediasi,
konsiliasi, badan pemantau perselisihan dan para ahli.
Adanya perselisihan yang terjadi dalam hubungan
industry, mulai dari perselisihan hak, kepentingan,
perselisihan permulaan hubungan kerja serta
perselisihan antar serikat pekerja dalam suatu
perusahaan tentu akan adanya tuntutan untuk
penyelesaian dari perselisihan tersebut. Perselisihan
yang terjadi di antara kedua negara yaitu Indonesia dan
Australia bisa menjadi salah satu contoh adanya
perselisihan yang terjadi.
Pada artikel ini akan difokuskan mengenai
penyelesaian perselisihan melalui arbitrase. Jones Day
(2004) berpendapat bahwa meskipun abritase tidak
selalu lebih murah dari litigasi, secara umum arbitrase
lebih cepat, tidak terlalu kaku dan memiliki tingkatan
privasi yang tinggi. Selain itu, Jones Day (2004) juga
menambahkan tidak seperti litigasi dalam persidangan
terbuka, arbitrase dalam aturannya dilarang untuk
mengungkapkan informasi apapun saat proses arbitrase
atau hasilnya kepada pihak ketiga. Hal ini dikarenakan
untuk menghindari gangguan apapun yang mungkin
terjadi dalam penyelesaian perselisihan dan publikasi
yang tidak diperlukan. Oleh karena itu, dalam artikel ini
akan difokuskan mengenai penyelesaian permasalahan
dengan arbitrase di negara Indonesia dan Australia.

Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industri Melalui Arbitrase 45


Dilihat Di Negara Indonesia Dan Australia
2. PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRI

Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Tentang


Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial mengatur
penyelesaian perselisishan hubungan industrial di luar
pengadilan maupun di dalam pengadilan Hubungan
Industrial. Penyelesaian perselisihan hubungan Industrial
di luar pengadilan merupakan penyelesaian wajib yang
harus ditempuh para pihak sebelum para pihak
menempuh penyelesaian melalui pengadilan hubungan
industrial. Penyelesaian perselisihan di luar pengadilan
mengutamakan musyawarah untuk mufakat. UU No. 2
Tahun 2004, menetapkan 4 (empat) jenis perselisihan,
yaitu perselisihan hak, perselisihan kepentingan,
perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan
antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam 1 (satu)
perusahaan.
ILO (2006) mengatakan bahwa setiap
perselisihan yang terjadi di suatu perusahaan, wajib
diselesaikan secara bipartite antara pengusaha dengan
pekerja/buruh dana tau dengan serikat pekerja/serikat
buruh. Bila upaya penyelesaian secara bipartite tidak
berhasil, maka salah satu atau kedua pihak yang
berselisih mencatat kasus perselisihannya kepada
Instansi yang bertanggung jawab di bidang
Ketenagakerjaan setempat dilengkapi dnegan bukti-
bukti upaya penyelesaian secara bipartite yang telah
dilakukan.

Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industri Melalui Arbitrase 46


Dilihat Di Negara Indonesia Dan Australia
Instansi yang bertanggungjawab di bidang
ketenagakerjaan, provinsi atau kabupaten/kota, setelah
meneliti berkas perselisihan, bila perselisihan berkaitan
dengan perselisihan hak maka perselisihan tersebut
dilimpahkan kepada mediator untuk segera melakukan
mediasi. Perselisihan kepentingan dan perselisihan antar
serikat ekerja/serikat buruh dalam 1(satu) perusahaan,
Instansi yang bertanggungjawab di bidang
ketenagakerjaan menawarkan kepada kedua belah pihak
dalam waktu 7(tujuh) hari kerja tidak sepakat memilih
Arbiter atau Konsiliator, maka Instansi yang
ebrtnaggungjawab di bidang ketenagakerjaan
melimpahkan penyelesaian kasusnya untuk ditangai oleh
mediator. Demikian juga untuk menyelesaikan
perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK), instansi
yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan
menawarkan kepada pihak yang berselisih utuk
menggunkan penyelesaian konsiliator dan bisa salah
satu pihak menolak tawaran tersebut, instansi yang
bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan secara
otomatis melimpahkan berkas perselisihan PHK kepada
mediator.

Arbitrasi di Indonesia
Yunarko (2011) menjelaskan bahwa wilayah kerja
arbitrase hubungan industrial dalam hal penyelesaian
perselisihan hubungan industrial meliputi semua wilayah
di negara Indonesia. Dasar legal proses Arbitrase di
Indonesia dampai tahun 1999 adalah aticle 615 sampai
651 dari Reglemen op de Burgerlijke Rechtsvordering

Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industri Melalui Arbitrase 47


Dilihat Di Negara Indonesia Dan Australia
(Stb-1847), Article 377 of the Het Herziene Indonesisch
Reglement (Stb-1941) and Article 705 of the
Rechtsreglement Buitengewesten (Stb-1927) (“Old
Arbitration Law”). Hadiprutanto, et.al. (2011)
menjelaskan bahwa hukum Arbitrasilama ini tidak cukup
komprehensif dengan arbitrase dalam berbagai isu
perselisihan, sehingga seringkali mencapai
ketidakpastian legal. Hal ini membuat hukum arbitrase
lama ditinggalkan oleh departemen social dan saat ini
dikembangkan pada departemen bisnis modern. Pada
tanggal 12 Agustus 1999, Pemerintah Indonesia
mengumumkan hukum no. 30 tahun 1999, mengenai
Arbitrase dan Resolusi alternative perselisihan (hukum
arbitrase baru).
Arbitrase juga memiliki batasan mengenai
pekerja yang dapat diselesaikan yang dijelaskan dalam
Undang-Undnag Nomor 2 Tahun 2004. Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2004 secara spsifik merinci kompetensi
arbitrase hubungan industrial yang hanya berwenang
menyelesaikan perselisihan hubungan industrial.
Pertama, perselisihan kepentingan, yang di dalam UU
No. 2 Tahun 2004 didefinisikan sebagai perselisihan yang
timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya
kesesuaian pendapat mengenai pembuatan dan/atau
perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam
perjanjian kerja bersama. Kedua, perselisihan antar
serikat pekerja/Serikat Buruh, yang di dalam UU No. 2
Tahun 2004 didefinisikan sebagai perselisihan antar
serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat
pekerja/serikat buruh lain hanya dalam sat perusahaan,

Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industri Melalui Arbitrase 48


Dilihat Di Negara Indonesia Dan Australia
akrena tidak adanya kesesuaian paham mengenai
keanggotaan, pelaksanaan hak dan kewajiban keserikat
pekerjaan.
Yunarko (2011) menjelaskan bahwa penyelesaian
perselisihan hubungan industrial harus dilakukan melalui
kesepakatan tertulis dari para pihak yang berselisih
untuk menyerahkan penyelesaian perselisihannya serta
putusannya agar mengikat para pihak dan bersifat final.
UU No. 2 Tahun 2004 Pasal 32 ayat (3) mensyaratkan
bahwa penyelesaian perselisihan melalui arbitrase
dilakukan atas dasar kesepakatan para pihak yang
bersellisih dan dinyatakan secara tertulis dalam surat
perjanjian arbitrase. Arbiter wajib menyelesaikan
perselisihan hubungan industrial dalam waktu selambat-
lambatnya 30 hari kerja sejak penandatangan surat
perjanjian penunjukkan arbiter. Aturan ini diatur dalam
UU No. 30 Tahun 1999. Pada aturan tersebut, proses
arbitrase harus diselesaikan dalam waktu 180 hari
dengan konstitusi pengadilan. Terdapat keunggulan dari
aturan ini aitu hukum arbitrase memberikan beberapa
tingatakn kerahasiaan dan membiarkan pihak tersebut
untuk memilih tingkatan mana saja dalam memprokteksi
perselisihannya sesuai yang diinginkan. Sedangkan
kekurangan dari arbitrase ini adalh biaya. Pengadilan di
Indonesia terbilang cukup mahal dibangdingkan dengan
yurisdiksi hukum biasanya, dimana hasilnya arbitrase
akan memakan biaya yang banyak.
Hukum Arbitrase Indonesia mengambil sudut
pandang teritori dari sifat arbitrase maksudnya adalah
keseluruhan arbitrase yang dilakukan di Indoesia ini

Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industri Melalui Arbitrase 49


Dilihat Di Negara Indonesia Dan Australia
dianggap domestic. Sedangkan yang dilakukan diluar
Nusantara dianggap ‘Internasional’, terlepas dari
kewarganegaraan pihak-pihak tersebut, hukum
pemerintah atau lokasi dimana perselisihan terjadi.
Indonesia memiliki beberapa institusi arbital, institusi
yang paling tua dan umum yaitu Badan Arbitrase
Nasional Indonesia (BANI), dimana mengadili berbagai
kasus setiap tahunnya. Ada juga institusi dengan spesifik
industry yang lebih sedikit mengadili. Ad hoc dan ICC
juga umum melakukan arbitrase. Arbitrase hanya
menangani perselisihan komersil sesuai dengan article
5(i). Kasus yang umunya terjadi yang melibatkan
arbitrase yaitu asuransi, pemecatan dan lain-lain. Seperti
yang telah dijelaskan sebelumnya, praktik arbitrase
sendiri di Indonesia ini dimulai oleh Indonesian Chamber
of Commerce and Industry (Kamar Dagang dan Industri
Indonesia – “KADIN”) kemudian pada tanggal 3
Desember 1977 BANI dibentuk.
Yunarko (2011) menjelaskan bahwa walaupun
terdapat keterbatasan waktu dalam menyelesaikan
arbitrase di Indonesia, terkadang batasan tersebut bisa
berubah. Namun apabila berubah atau dapat
diperpanjang, harus terdapat batasan waktu yang
diberikan dan biasanya di Indonesia arbitrase akan
selesai kurang dari satu tahun. Hukum arbitrase tidak
mengkriteriakan apakah orang asing bisa menjadi
arbitrator atauh tidak, hanya terdapat aturan mengenai
umur, pengalaman dan indepedensi dari pengadilan
atau pemerintah. BANI membatasi arbitratornya dari
panel yang terdaftar sudah termasuk sejumlah arbitrator

Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industri Melalui Arbitrase 50


Dilihat Di Negara Indonesia Dan Australia
asing-nasional. Sampai saat ini arbiter asing masih belum
diwajibkan untuk memiliki izin kerja di Indonesia. Selama
mereka tidak berada di Indonesia lebih dari 60 hari maka
mereka tidak akan menjadi suyek pajak. Tidak ada
larangan bagi orang asing yang bertindak sebagai
arbitrator di Indonesia.
Sebagai aturan umum, pengadilan Indonesia
akan menerapkan hukum Indonesia dimana tidak ada
yang ditunjuk dan kecuali terdapat indikasi kuat bahwa
hukum lainnya harus diatur, arbitrator juga akan
menerapkan hukum Indonesia dimana terdapat
hubungan Indonesia yang signifikan, khususnya jika
perselisihan berhubungan dengan proyek atau bisnis di
Indonesia. Hukum Arbitrase menjelaskan bahwa seluruh
pemeriksaan tertutup dari public. Indonesia sendiri tidak
memiliki hukum terhadap privasi, sehingga pihak yang
terkait perlu menjaga kerahasiaan dari setiap informasi
atau dokumen yang perlu disepakati.
Kesepakatan arbitrase dapat menentukan
peraturan arbitrase yang akan digunakan dalam
persidangan. Pihak terkait dalam perselisihan bisa
menentukan tempat dimana kesepakatan arbitrase
dibuat. Apabila pihak terkait tidak menentukan aturan
arbitrase maka perselisihannya akan diawasi menurut
aturan baru dari hukum arbitrase yang baru. Setiap
tindakan dalam arbitrase harus dituliskan, kecuali verbal
diperbolehkan.
Pada hukum arbitrase baru dalam arbitrase
domestik, hasil dari juri arbitrase merupakan hasil akhir
dan sebelumnya diharapkan tidak ada naik banding

Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industri Melalui Arbitrase 51


Dilihat Di Negara Indonesia Dan Australia
terhadap hasil tersebut. Arbitrator atau perwakilannya
harus mendaftarkan hasil tersebut kepada pengadilan
daerah yang terkait. Apabila pihak yang kalah menolak
untuk menerima hasil, maka pihak yang menang bisa
meminta kepada kepala pengadilan daerah dimana hasil
tersebut terdaftarkan untuk diinstruksikan pelaksanaan
hasil. Sebagai proses dari instruksi tersebut, kepala
pengadilan daerah harus meninjau kemali kesepakatan
arbitrase, kemudian memutuskan apakah perselisihan
tersebut merupakan isu komersil dan memutuskan
apakah hasilnya itu kontra dengan etika dan ketertiban
umum.
Pada hukum arbitrase baru menjelaskan
arbitrase internasional sebagai pelaksanaan hasil setelah
kepala dari pengadilan daerah Jakarta Pusat telah
mengeouarkan surat perintah untuk dieksekusi.
Penyelesaian perselisihan dalam lingkup internsional
melibatkan Indonesia sebagai pihak yang terkait harus
mendapatkan surat eksekusi yang telah disetujui oleh
Mahkamah Agung. Bagaimanapun, apabila terjadi
penolakan maka bisa melakukan pengajuan kembali
kepada Mahkamah Agung dengan waktu 90 hari untuk
keputusannya. Hal initerjadi karena Indonesia
merupakan salah satu negara yang menandatangani
New York Convention.

Arbitrase di Australia
Bray & Stewart (2013a) Sistem yang telah
mendominasi hukum federal labour di Australia selama
abad ke-20 menempatkan penekanan yang berat pada

Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industri Melalui Arbitrase 52


Dilihat Di Negara Indonesia Dan Australia
peraturan yang didelegasikan. The Conciliaion and
Arbitration Act 1904 (Cth) dan perubahannya, the
Industrial Relation Act 1988 (Cth), sesungguhnya
berdasarkan pada kekuatan Commonwealth dibawah
Konstitusi s 51 (xxxv) untuk melegilasikan konsiliasi dan
arbitrase dari perselisihan industry yang melampaui satu
keadaan. Pengadilan legilasi yang berwenang seperti the
Court of Conciliation and Arbitration dan pengganti
akhirnya, the Australian Industrial Relations Commission
(AIRC), untuk mencegah atau menyelesaikan
perselisihan dengan membuat penghargaan yang
menetapkan upan dan kondisi pekerjaan lainnya bagi
industry, pekerja atau perusahaan pilihan. Bray &
Stewart (2013a) Penentuan Undang-Undang secara
langsung untuk standar pekerja sangat jarang, dimana
membuat kesepakatan secara kolektif dan individu telah
disetujui, naming bentuk dan kontennya sangat
terpengaruh oleh pengadilan. Bray & Stewart (2013b)
menjelaskan bahwa unilateralisme manajerial melebur
dan memudar sesuai dengan lingkup peraturan yang
didelegasikan, ditentukan dengan mengubah ketentuan
legislative dan keputusan pengadilan.
Committee of Review into Australian Industrial
Relations Law and Systems, Report (1985) menjelaskan
bahwa sistem konsiliasi dan arbitrase memiliki implikasi
yang signifikan terhadap suara pekerja, itu hak istimewa
serikat pekerja dan khususnya serikat kerja yang
teregistrasi sebagai sebuah mekanisme untuk
pengumpulan suara. Frazer (1995) mengatakan bahwa
sistem pengadilan tidak akan bisa beroperasi tanpa

Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industri Melalui Arbitrase 53


Dilihat Di Negara Indonesia Dan Australia
serikat pekerja dan asosiasi pekerja yang mewakili
konstituennya. Tahun 1984 merupakan tahun dimana
terbentuknya Commercial Arbitration Acts yang
memberikan ruang lingkup yang luas pada intervensi
yudisial dalam proses arbitrase.
The Workplace Relations Act, 1996 mengatur
fungsi dari Australian Industrial Relations Commission
dibawah part VI (Dispute Prevention and Settlement).
Salah satu peran utama komisis adalah untuk berusaha
membantu pekerja dan perusahaan mencapai suatu
kesepakatan mengenai adanya ketidakadilan. Komisis
akan berusaha keras agar ada kesepakatan tersebut
dengan melakukan konsiliasi. Apabila konsiliasi tidak
berhasil maka perselisihan tersebut akan diselesaikan
dengan arbitrase. Patmore (2006) menjelaskan bahwa
sistem dari arbitrase Australia akan diwakili oleh serikat
pekerja.
Sub divisi B dari Div 3 Part VIA dalam the
Workplace Relations Act, 1996 memberdayakan the
Australian Industrial Reltions Commission untuk
melakukan arbitrase dimana adanya perlakukan yang
tidak adil, tidak beralasan atau kasar. Ketika
melakukannya, harus dipartikan bahwa “fair go all” bagi
pekerja maupun perusahaan. Chelliah & D’Netto (2006)
mengatakan bahwa arbitrase merupakan sebauh prses
pengambilan kepuutsan dimana Komisioner akan
mempertimbangkan pendapat dan bukti yang diberikan
oleh setiap pihak dan pengambilan keputusan dikenal
dengan perintah atau keputusan juri.

Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industri Melalui Arbitrase 54


Dilihat Di Negara Indonesia Dan Australia
Re Carus-Wilson & Greene (1886) menjelaskan
bahwa esensi dari arbitrase adalah untuk mengadakan
penyelidikan dalam penyelidikan yudisial dan
menghormati kasus dari masing-masing pihak dan
memutuskan buktiyang ada. Hayward (2016)
menjelaskan bahwa dalam arbitrase modern, arbitrator
yang memutuskan setiap kasus sesuai dengan hukum
yang berlaku. Hal tersebut terjadi pada beberapa kasus
saja, dimana beberapa pihak bersepakat untuk
melakukan arbitrase. The Commercial Arbitration Act
2011 (Vic) merupakan procedural hukum yang perlu
dilakukan dalam arbitrase. Penetapan ini memberikan
fondasi bagi arbitrase di Austalia karena memberikan
dasar legal untuk arbitrase. Penetapan ini juga mengatur
seluruh prosedur mengenai bagaimana arbitrase
dilakukan. Terdapat dua legislative yang mengatur
arbitrase ini, Commenwealth Act mengatur mengenai
commercial arbitration, sedangkan the State and
Territory Acts mengatur mengenai arbitrase domestic.
Aplikasi keduanya sebenarnya hampir sama. Apabila
arbitrase tersebut dilakukan untuk international
commercial arbitration, maka hanya the Internationa
Arbitration Act 1974 (Cth) yang bisa dijadikan dasar.
Sedangkan apabila terdapat kasus arbitrase domestic
maka yang relevan dengan kasus tersebut bisa
menggunakan State atau Territory legislation, seperti
Commercial Abritation Act 2011 (Vic).
Walaupun demikian, keduanya ini berdasarkan
dari model praktik yang sama. Terdapat versi 2006 dari
the Model Law yang merupakan dasar bagi the

Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industri Melalui Arbitrase 55


Dilihat Di Negara Indonesia Dan Australia
international commercial arbitration yang dibawahi the
International Commercial Arbitration Act 1974 (Cth).
Versi Model Law tahun 2006 ini juga disesuaikan dengan
arbitrase domestic, sebagai dasar bentuk dari the
uniform State and Territory domestic commercial
arbitration Acts.
The International Arbitration Act 1974 (Cth)
terkait dengan the Model Law pada schedule 2. Binder
(2010) mengatakan bahwa The Model Law pada
International Commercial Arbitration merupkan
‘prototype’ yang efektif dibandingkan dengan konvensi
internasional negara lain. Model law ini bisa diadopsikan
di negara lain sebaga legislasi arbitrase negara itu
sendiri. Selain Model Law, Australia juga
mengimplementasikan New York Convention untuk
arbitrase internasional. Pihak terkait diperbolehkan
untuk mengecualikan hukum ini dan sehingga menjadi
subyek dari Commercial Arbitration Act of the State atau
territory dimana international commercial arbitration
diadakan.
Hayward (2016) mengatakan bahwa terdapat
dua batasan bahwa arbitrase harus internasional dan
komersil. Pada Art 1(1), Model Law, n.2 menjelaskan
bahwa arbitrase harus komersil dimana arbitrase
diperlukan untuk menyelesaikan permasalahan yang
muncul dari seluruh kegiatan yang komersil, secara
kontrak atau tidak. Sedangkan untuk penjelsan arbitrase
haus internasional dijelaskan pada Art 1(3) Model law,
terdapat empat kategori, yaitu:

Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industri Melalui Arbitrase 56


Dilihat Di Negara Indonesia Dan Australia
1. Ketika pihak-pihak yang terkait dengan
kesepakatan arbitase memiliki bisnis di
berbagai negara.
2. Tempat arbitrase dilaksanakan diluar
negara dimana pihak yang melakukan
arbitrase melakukan bisnisnya.
3. Beberapa bagian substansial dari
hubungan obligasi atau tempat dimana
permasalahan perselisishan terjadi
berhubungan dimana kerjadian tersebut
berada di negara luar bisnis itu
dijalankan.
4. Setiap pihak menyetujui bahwa subyek
permasalahan yang terjadi berhubungan
lebih dari satu negara.
Pencapaian eksklusid dari the International
Arbitration Act 1974 (Cth) untuk international
commercial arbitration kemudian dikonfirmasi oleh s
21(1) of the Act.
Pada bagian ini akan menjelaskan mengenai
domestic arbitrase dimana diatur dalam State dan
Territory. Pada arbitrase domestic ini dimaksudkan
bahwa setiap arbitrase komersil tidak
mempertimbangkan model law secara internasional. The
commercial arbitration Act 2011 (Vic) s 1(1) menjelaskan
bahwa Act pada domestic arbitrase komersil dan s 1(3)
menjelaskan bahwa apa yang dimaksud dengan
domestic arbitrase komersil merupakan arbitrase
dimana pihak-pihak tersebut memilii bisnis di Australia
dan arbitrase tersebut bukan th e International

Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industri Melalui Arbitrase 57


Dilihat Di Negara Indonesia Dan Australia
Arbitration Act 1974. Salah satu prosedur dari arbitrase
ini adalah otonomi dari pihak tersebut, setiap pihak
memiliki haknya untuk memutuskan bagaimana
menyelesaikan permasalahannya.
Hayward (2016) menjelaskan bahwa aturan
arbitrase merupakan aturan procedural untuk
dilakukannya arbitrase. Aturan arbitrase dapat
dikembangkan menjadi arbitrase ad hoc, dimana tidak
adanya institusi yang mengawasi. Aturan arbitrase bisa
juga dikembangkan oleh institusi arbitrase, tie ini dikenal
degan institusional arbitrase. Di Australia terdapat dua
institusi, pertama arbitrase bida dilakukan dengan the
Resolution Institue. Wadah dari the Resolution Institut
ini dikenal dengan LEADR dan IAMA (the Institur of
Arbitrators and Mediators Australia). IAMA telah
mengembangkan the IAMA Arbitratioan Rules 2014 dan
telah digunakan oleh the Resolution Institue samapai
saat ini. Selanjutnya, Australia memiliki Australian
Centre for International Commercial Arbitration atau
ACICA. ACICA dibentuk pada tahun 1985 dengan tujuan
untuk memfasilitasi arbotrase internasional di Australia,
khususnya Sydney. Arbitrase di ACICA ini akan
berdasarkan dengan ACICA Arbitration Rules 2016 dan
juga fast-track arbitrase degan ACICA Expedited
Arbitration Rules 2016. Tidak hanya kedua institusi ini
saja yang bisa menyelesaikan permasalahan di Australia,
Institusi asing pun bisa melakukannya.
Pengadilan memiliki peranan penting dalam
mengawasi berjalannya arbitrase secara yurisdiksi.
Secara langsung, pengadilan juga memiliki fungsi-fungsi

Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industri Melalui Arbitrase 58


Dilihat Di Negara Indonesia Dan Australia
yang bisa mendukung proses arbitrat, sebagai legislasi
arbitrase. Selain itu juga pengadilan memiliki peranan
dalam penjurian arbital, pengadilan akan memiliki
perannya saat mengawasi penjurian dengan adanya
aplikasi pembatalan.

Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industri Melalui Arbitrase 59


Dilihat Di Negara Indonesia Dan Australia
3. PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

Perselisihan hubungan Industri seringkali terjadi


dalam setiap negara, hal ini telah dijelaskan seblumnya
dalam latar belakang. Indonesia dan Australia memiliki
perselisihan hubungan industry yang sampai saat ini
masih saja menjadi suatu permasalahan. Hal ini tidak
menutup kemungkinan bagi setiap pihak yang
berhubung dengan perselisihan untuk menyelesaikan
perselisihan tersebut. Pada penelitian ini khususnya,
difokuskan pada penyelesaian perselisihan melalui
Arbitrase. Penyelesaian perselisihan ini akan dilihat dari
dua negara, yaitu Indonesia dan Australia. Terdapat
berbagai persamaan maupun perbedaan pelaksanaan
arbitrase dari kedua negara ini.
Beriktu ini akan dijabarkan mengenai persamaan
dari pelaksanaan Arbitrase dari kedua negara, yaitu
Indonesia dan Australia mengimplementasikan New
York Convention dalam aturan Arbitraseny dan
Pengadilan memiliki peranan penting dalam mengawasi
berjalannya arbitrase. Terdapat dua bagian yang
menurut penulis hemat memiliki kesamaan. Kemudian
berikut ini akan dijelaskan mengenai perbedaan dari
pelaksanaan Arbitrase dari kedua negara.
Tabel 1
Pelaksanaan Arbitrase di Indonesia dan Australia
Indonesia Australia
Institusi:
Domestik BANI ACICA

Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industri Melalui Arbitrase 60


Dilihat Di Negara Indonesia Dan Australia
Internasional BANI ACICA
Dasar Legal UU No. 30 The Commercial
Tahun 1999 Arbitration Act 2011
Waktu 180 hari
penyelesaian
perselisihan
Naik banding Bisa Bisa
Legislatif Commenwealth Act
State and Territory
Act

Pada tabel diatas, dapat diketahui bahwa


terdapat beberapa perbedaan yang dapat terlihat.
Setiap negara akan memiliki penetapan hukumnya
masing-masing sesuai dengan yang berlaku. Indonesia
dan Australia tentunya akan memiliki institusi yang
berbeda sesuai dengan teritori dari negaranya itu
sendiir. BANI merupakan institusi yang akan menjadi
wadah secara khusus perselisishan hubungan industry
yang terjadi di Indonesia, sedangan ACICA menjadi
wadah bagi penyelesaian perselisihan di Australia. Di
Indonesia, memiliki tenggat wakttu tertentu dalam
menyelesaikan perselisihan yaitu selama 180 hari dan 30
hari untuk penyelesaian ketika telah dilakukan
penunjukkan arbitrator. Di Australia, peneliti tidak
menemukan adanya tenggat waktu tersebut. Namun
tenggat waktu yang telah ditentukan bisa saja berubah
apabila pengadilan dan pihak terkait menyetujuinya.
Selain itu juga, kedua negara bisa melakukan naik
banding apabila hasil dari penyelesaian perselisihan

Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industri Melalui Arbitrase 61


Dilihat Di Negara Indonesia Dan Australia
tersebut tidak sesuai. Oleh karena itu, secara
keseluruhan perbedaan dari kedua negara ini terlihat
dari aturan penyelesaian perselisihan yang berlaku.

4. KESIMPULAN
Neale dan Kleiner (2001) mengatakan bahwa
perselisihan terjadi karena adanya perbedaan
kepentingan. Penjelasan ini dapat dikatakan bahwa
adanya perselisihan terjadi karena pihak tertentu dalam
organisasi memiliki kepentingannya tersendiri yang
berbeda dengan pihak lain sehingga memunculkan
adanya perselisihan tersebut. Penyelesaian perselisihan
di luar pengadilan mengutamakan musyawarah untuk
mufakat. UU No. 2 Tahun 2004, menetapkan 4 (empat)
jenis perselisihan, yaitu perselisihan hak, perselisihan
kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja
dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh
hanya dalam 1 (satu) perusahaan. Terdapat tiga
peneyelesaian perselisihan, yaitu mediasi, konsiliasi dan
arbitrase. Pada penelitian ini difokuskan pada Arbitrase.
Persamaan dari pelaksanaan Arbitrase dari kedua
negara, yaitu Indonesia dan Australia
mengimplementasikan New York Convention dalam
aturan Arbitraseny dan Pengadilan memiliki peranan
penting dalam mengawasi berjalannya arbitrase.
Kemudian dilihat dari perbedaan yang anatara Indonesia
dan Australia ini terlihat bahwa Indonesia dan Australia
berbeda dari adanya aturan yang berlaku di Indonesia
berbeda dengan negara lain.

Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industri Melalui Arbitrase 62


Dilihat Di Negara Indonesia Dan Australia
5. REFERENSI

Abdussalam. 2009. Hukum Ketenagakerjaan. Jakarta:


Restu Agung
Binder, Peter. International Commercial Arbitration and
Conciliation in UNCITRAL Model Law Jurisdictions
3rd ed. Sweet & Maxwell.
Bray, Mark & Andrew Stewart. 2013a. From the
Arbitration System to the Fair Work Act: the
Changing Approach in Australia to Voice and
Representation at Work. Adelaide Law Review,
Vol 23, 21-41.
Bray and Andrew Stewart. 2013b. What is Distinctive
About the Fair Work Regime?. Australian Journal
of Labour Law, vol. 26.
Frazer, Andrew. 1995. Trade Unions Under Compulsory
Arbitration and Enterprise
Bargaining: An Historical Perspective’ in Paul
Ronfeldt and Ron McCallum (eds),
Enterprise Bargaining: Trade Unions and the Law.
Federation Press
Chelliah, John & Brian D’Netto. 2006. Unfair dismissals in
Australia: does arbitration help employees?.
Employee Relations, Vol 28(5), 483-495.
Davis, E.M. and Lansbury, R.D. 1989. Worker
participation in decisions on technological
change in Australia. in Bamber, G.J. and
Lansbury, R.D. (Eds), New Technology, Unwin
Hyman, London, pp. 100-16.

Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industri Melalui Arbitrase 63


Dilihat Di Negara Indonesia Dan Australia
Edward M. Davis Russell D. Lansbury. 1996. Employee
involvement and industrial relations reform:
reviewing a decade of experience in Australia.
Employee Relations, Vol. 18 Iss 5 pp. 5 - 24
Grubb, I. and Naugton, R. 1992, “Unfair and wrongful
dismissal: recent developments”,
Law Institute Journal, Vol. 66, pp. 913-5
Jones Day. 2004. International Commercial Arbitration in
Asia. Jones Day: USA
Hadiputranto, Hadinoto & Partners. 2011. Arbitration in
Indonesia Law No. 30 of 1999 Arbitration and
Alternative Dispute Resolutions.
Hayward, Benjamin 2016, The Australian arbitration
framework, in Notes from the 2016 Resolution
Institute CPD Seminar, [The Seminar],
Melbourne, Vic., pp. 1‐24.
Husein, Umar. 2002. Metode Riset Bisnis. Jakarta:
Rajawali Pers.
HMSO (1978), Report of the Donovan Commission on
Trade Unions and Employer Associations 1965-
1978, HMSO, London.
ILO. 2006. Manual Mediasi Konsiliasi Arbitrasi; Bahasa
Indonesia dan Inggris. Kantor Perburuhan
Interansional: Jakarta.
Juwana, Hikmahanto. 2003. Dispute Resolution Process
in Indonesia. IDE ASIAN Law Series No.21
Lawrence, B. 1998, “The law of unfair dismissal: 1983-
1998”, Law Institute Journal, Vol. 72 No. 6, pp.
51-3

Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industri Melalui Arbitrase 64


Dilihat Di Negara Indonesia Dan Australia
Macken, J.J., O’Grady, P. and Sapiddeen, C. 1997. Law of
Employment, 4th ed. LBC Information Services:
Sydney
Moh Nazir. 2005. Metode Penelitian. Jakarta: Ghaila
Indonesia
Neale, Bennet A. and Brian H. Kleiner. 2001. How to
conduct arbitration effectively. Managerial Law,
Vol. 43 Iss ½, 112-115.
Patmore, Greg. 2006. A Voice for whom? Employee
representation and labou legislation in Australia. UNSW
Law Journal, Vo. 29(1), 8-21.
Re Carus-Wilson & Greene. 1886 18QBD 7,9.
Yunarko, Bambang. 2011. Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial mellaui lembaga Arbtrase
Hubungan Industrial. Perspektif, vol. xvi (1), 53-
58.
Wallace-Bruce, N.L. 1999. Outline of Employment Law,
2nd ed. Butterworths: Chatswood.

Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industri Melalui Arbitrase 65


Dilihat Di Negara Indonesia Dan Australia
BAB III
PERBANDINGAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DI
INDONESIA DAN NIGERIA
(DALAM PERSPEKTIF SEJARAH)

1. PENDAHULUAN

Pada abad ke-18, Indonesia telah dijajah oleh


bangsa colonial, yaitu Belanda. Terdapat berbagai
perkembangan yang terjadi, seperti ekonomi, politik dan
social. Salah satunya adalah mengenai hubungan
ketenagakerjaan di Indonesia. Sebelum bangsa colonial
memasuki wilayah Indonesia, banyak dari mereka hanya
bekerja sebagai buruh tani. Indonesia dikenal sebagai
negara agraris, dimana terdapat banyak rempah-rempah
dan hasil pertanian atau perkebunan yang berlimpah.
Sumber Daya Alam yang dimiliki Indonesia menjadi salah
satu daya Tarik negara Indonesia untuk dijajah oleh
bangsa kolonial. Mulai dari zaman penjajahan inilah
tumbuh adanya hubungan ketenagakerjaan antara
colonial dengan bangsa Indonesia.
Tidak jauh berbeda dengan Indonesia, Nigeria
juga sebelum dimasuki bangsa colonial merupakan
negara dengan ekonomi agrikulturnya. Ubeku (1984)
mengatakan bahwa “There was in existence employer-
employee relationship in Nigeria before the colonial era
based on the predominantly agricultural economy,
culture and traditions which were the basis for systems
of work and reward”. Yesufu (1967) mengatakan bahwa

Perbandingan Hubungan Industrial Di Indonesia 66


dan Nigeria (Dalam Perspektif Sejarah)
“In most cases the employer was the family head while
the employees were members of his immediate family
and the extended family”. Bagi Nigeria, hubungan
ketenagakerjaan ini berasal dari adanya hubungan
keluarga, kemudian kepala keluarga yang akan menjadi
kepala tenaga kerja dalam kelompok kerja tersebut.
Selain itu, pembayaran upah terhadap pekerja juga
belum dikenal oleh orang Nigeria. (Ibid (1968) dalam
George et. al. (2012)) mengatakan bahwa “On such
occasions, remuneration was mainly through exchange
of food and drinks as the economy was rural with no
acceptable monetary currency or probably to reciprocate
good gestures by working on another person’s farm
when required, or at the extreme end by providing
security in terms of invasion of the friend’s farm or
household by an enemy and in some cases as part of the
dowry for a very beautiful fiancée”. Lovejoy (1974)
mengatakan bahwa “In some cases commodities were
exchanged for goods and services; this was referred to as
‘barter trade’”. Hal ini terlihat bahwa, Nigeria masih
belum mengenal mata uang sehingga seluruh kegiatan
transaksi akan menggunakan komoditas yang dimiliki
oleh warga Nigeria untuk mendapatkan beberapa
barang atau jasa.
Iwuji (1968) akan menjelaskan mengenai
hubungan ketenagakerjaan di Nigeria sebelum
masuknya bangsa colonial, “The employer/family head
was at his discretion all-in-all as he determined the
reward system, recruitments, selections, promotions,
and not necessarily based on merit or seniority; he

Perbandingan Hubungan Industrial Di Indonesia 67


dan Nigeria (Dalam Perspektif Sejarah)
provided food, housing and security for all the employees
(mostly family members) and even determined when
they would get married and to whom”. Ubeku (1984)
mengatakan bahwa “This system of employment
relations practice was referred to as the Paternalistic
ERP”. Hubungan ketenagakerjaan ini kemudian
tergantikan dengan British Voluntarist ERP. Hal ini
dimula ketika adanya revolusi Industri yang terjadi di
Inggris pada abad 18 dan awal 19. Masuknya British
Voluntarist ERP tidak langsung mengubah hubungan
kerja pekerja dengan atasan secara langsung, terdapat
perbedaan budaya diantara keduanya. Akporherhe
(2002) mengatakan bahwa “Culture has been variously
defined as the way of life of a group of people”.
Evolusi hubungan ketenagakerjaan kedua negara
ini cukup menarik, dilihat dari sejarahnya yang bermula
dari adanya bangsa colonial yang masuk. Apa yang
terjadi pada kedua negara ini pada saat masuknya
bangsa colonial ke negara Nigeria dan Indonesia,
menjadi salah satu daya Tarik untuk diteliti untuk
melihat persamaan atau perbedaan dari evolusi
hubungan tenaga kerja yang terjadi dari dua bangsa
colonial yang berbeda.

Employment Relation
Rose (2004) mengatakan bahwa “Defining
employment relations involves a range of complex
patterns of interactions between different work- related
groups such as trade unions and employers at
organisational level, and the state and its agencies in the

Perbandingan Hubungan Industrial Di Indonesia 68


dan Nigeria (Dalam Perspektif Sejarah)
regional as well as the national levels”. Clegg (1972)
melihat bahwa “the discipline of employment relations
as the study of rules that govern employment, as well as
the ways in which the rules are changed, interpreted and
administered”. Employment Relationship bagaimanapun
akan melibatkan setiap pekerja yang ada di dalam
serikat pekerja dengan pegawai yang berada di
tingkatan organisasi tertinggi. Adanya hubungan tenaga
kerja ini tentu akan membantu tenaga kerja dalam
melakukan perundingan dengan atasannya mengenai
segala aspek yang berhubungan dengan pekerjaannya.
Blyton dan Turnbull (1998) dan Kelly (1998)
mengatakan bahwa “perceive employment relations as
the framework within which complicated interactions
between employees and employers are conducted, both
collectively and individually”. Bagaimanapun, Blyton dan
Tumbull (2004) mengatakan bahwa “understanding
employment relations involves locating it within the
broader nature of the economic activity involved and
also taking into consideration the structural basis of the
probable conflict and accommodation between
employee and employer; the persuasion as well as the
manipulation of the larger society on employment
relations is also important”. Employment Relation juga
bagian dari industrial relation, dimana menurut Adebisi
(2013). “The definitional conceptualization and scope of
industrial relations is a subject of much controversy due
mainly to the ideological or intellectual persuasions of
those trying to define or conceptualize it”.

Perbandingan Hubungan Industrial Di Indonesia 69


dan Nigeria (Dalam Perspektif Sejarah)
Secara spesifik, komunikasi dan relasi yang
dikelola akan mengacu terciptanya hubungan timbal
balik yang akan menguntungkan tenaga kerja dengan
atasannya. Hubungan tenaga kerja tidak hanya mencoba
menghubungkan tenaga kerja secara individual saja
tetapi juga bagaimana kelompok tenaga kerja bisa
merasakan hubungan timbal balik tersebut. Blyton dan
Tumbull (2004) mengatakan bahwa “Employment
relations are therefore not only involved in the
deployment or utilisation of human resources but also in
the experience as well as the expectations of labour in
the workplace along with the wider society. It involves
the formations and implementation of policies which
included activities that are intended at enhancing the
working lives of the employees; which include the
strategies to enhance the competitiveness of the
organisation”.

Employment Relation di Nigeria

a. Sejarah munculnya British Voluntarist


Employment Relations Practice
Florence (1957) mengatakan bahwa “The British
Voluntarist employment relations practice was
developed based on the prevailing social, political and
economic philosophy at the period of industrial
revolution of the 18th and early 19th centuries in
Britain”. Flanders (1974) mengatakan bahwa “This
philosophy brought about individual freedom of
contracts which included the employment contract and

Perbandingan Hubungan Industrial Di Indonesia 70


dan Nigeria (Dalam Perspektif Sejarah)
also restrained the State from intervening directly in
employment relations practice”. Yesufu (1928)
mengatakan bahwa “The forces of supply and demand
were believed to be enough to determine wages and
working conditions at economically and socially
acceptable levels without the State or any other
institution intervening; the State has therefore played a
very minimal role in the British employment relations
system”.
(Briggs (1953); Clapham (1939) mengatakan
bahwa “The rapid growth of industry in Great Britain at
the end of the 18th and the early 19th centuries as well
as the relatively new modes of industrial structure
contributed to the creation of the British employment
relations system; the factory system became
predominant”. Inggris pada abad 18 dan awal 19
mengalami pertumbuhan industry yang pesat sehingga
terbentuk British Employment Relations System menjadi
dominan. (Taylor (1842) dalam George et. al. (2012))
mengatakan bahwa “The factory system brought about
major changes in agriculture, manufacturing and mining,
which had a profound effect on the socioeconomic and
cultural situation of the country”. Hal ini mendukung
revolusi industry di Inggris, dimana setiap aspeknya
dalam negeri terpengaruhi dengan sistem tersebut.
Selain itu, Carlsson (1995), mengatakan bahwa “There
was a major transition from manual labour and draft
animal-based economy to machine based
manufacturing; which brought about a new socio-
economic organisation and system”. (Bamford (1893)

Perbandingan Hubungan Industrial Di Indonesia 71


dan Nigeria (Dalam Perspektif Sejarah)
dalam George et. al. (2012)) juga menambahkan bahwa
“The new factory system brought about a new spirit of
order and discipline”.
(Williamson (1998) dalam George et. al. (2012))
berpendapat bahwa sistem baru ini “more efficient
production as leakages were reduced, skills were better
utilised, transportation expenses were reduced and co-
ordination made easier”. Hutt (1926) menambahkan
bahwa “This is not to conclude that there were no ‘good’
employers whose ‘goodness’ was based on religion,
paternalism or both; they realised that ‘good’
industrial/employment relations were good for
business”. (Ibid (1926) dalam George et. al. (2012))
berpendapat bahwa “Unfortunately the ‘good’
employers realized that the ‘bad’ employers in the same
industries especially in the textile industry were
undermining their efforts and that there was little they
could do other than for government to intervene”.
Flanders (1970) mengatakan bahwa “The British
Voluntarist employment relations practice is hinged on
the following principles: the first is that ‘a priority is
accorded to collective bargaining over other methods of
external job regulation’”. (Ibid (1970) dalam George et.
al. (2012)) menambahkan bahwa “The main feature is
that trade unions and employers through their
associations act as ‘joint authors of rules made to
regulate employment contracts and ---- their own
relations’”. (Ibid (1970) dalam George et. al. (2012))
mengatakan bahwa “Both parties may solicit for the use
of third party assistance for conciliation, mediation, and

Perbandingan Hubungan Industrial Di Indonesia 72


dan Nigeria (Dalam Perspektif Sejarah)
arbitration purposes to reach agreements. The second
principle is that ‘the British system of industrial relations
has traditionally accorded a priority to voluntary over
compulsory procedural rules for collective bargaining’”.
Flanders (1970) menambahkan bahwa “The third
principle is that ‘the parties to collective bargaining have
generally preferred to build their relations more on their
procedural (rather) than on their substantive rules’”.
Intervensi negara dalam sistem ini sangat sedikit
dibandingkan dengan negara berkembnag, hal ini
membuat Kahn-Freund (1954) berpendapat bahwa
“There was perhaps no major country in the world in
which law has played a less significant role in the
shaping of industrial relations than in Great Britain and
in which today the law and legal profession have less to
do with labour relations”.

b. Sejarah wage employment di Nigeria


(Park (1905) dalam George et. al. (2012))
mengatakan bahwa “Wage employment started with the
advent of the British colonialists –Mungo Park and his
team- on 20 July 1795 as they required the services of
guides, and carriers when they stepped into the territory
now known as Nigeria”. Afigho (1991) menjelaskan
bahwa “Mungo Park ‘employed’ two guides - Amadi and
Isaac- whom he paid wages for their services, as was and
still is the employment relations practice in the UK.
Unfortunately, as at that time wage employment was
generally not known in the areas to be later known as
Nigeria, and Mungo Park was unaware of the

Perbandingan Hubungan Industrial Di Indonesia 73


dan Nigeria (Dalam Perspektif Sejarah)
implications of what he did; he unknowingly started the
introduction of the British Voluntarists ERP”. Tentu saja
ketika wage employment tanpa disadari dikenalkan ke
Nigeria, masyarakat disana tidak bisa langsung
menerima keadaan tersebut.
Iwuyi (1968) mengatakan bahwa “One major
setback to wage employment was the lack of
standardised or universally accepted currency as the
silver coins were not introduced until 1872”. Dike (1956)
menyebutkan bahwa “In 1912, the British pounds,
shillings and pence were introduced to all the former
British colonies in West Africa including Nigeria through
the West African Currency Board. Before the introduction
of the bar, the cowry’s shells and the manilla, trading
was by barter - using commodities as means of exchange
for goods and services - These currencies could not be
said to be universally acceptable as they all had
fluctuating values depending on the areas the
transactions were taking place and the time of the year;
was it during rainy season when not much of farming
was done or during harvest when farmers were busy”.
Hal ini terlihat bahwa Nigeria sudah semakin dengan
maju, dengan bisa menerima adanya mata uang untuk
dijadikan sebagai bayaran dari pekerjaannya.
Selain adanya kesenjangan yang terjadi pada saat
pengupahan, sistem kerja dalam wage employment
sangat berbeda dengan employment relation di Nigeria.
Iwuyi (1968) mengatakan bahwa “At the initial stage of
wage employment, labour recruitments were done
through the chief’s who acted as the recruitment agents

Perbandingan Hubungan Industrial Di Indonesia 74


dan Nigeria (Dalam Perspektif Sejarah)
or third party; they in most cases used slaves, their
children -the troublesome ones or children of less
favoured wives - wage employment was then seen as
degrading; as working for another man other than a
biological relative was only done by slaves”. Ubeku
(1984) menambahkan bahwa “The discipline involved in
wage employment was not something the workers were
used to as only the lowest category of slaves - those
captured during the various inter-tribal wars -; followed
by those slaves whose parents were owing money and
could not pay in time or could not pay at all- were
disciplined at work”.
Perbedaan budaya dalam hubungan kerja yang
terjadi ini dipandang berbeda dengan budaya di Nigeria.
Hill (1976) dan Yesufu (1967) mengatakan bahwa “In this
new dispensation, workers had to report to work at a
certain time, they could only go to eat at a certain time
and could only close at a certain time; this was seen as
the lowest degree of slavery”. Yesufu (1967) juga
menambahkan bahwa “The situation was made worst as
they were fined for lateness and unauthorised absence
from work: the fine was deducted from their meagre
salaries at the end of the month, the fines varied in
amount, but half a day’s pay was commonplace in the
civil service”. Apa yang terjadi ini memang jadi
permasalahan ketika dikenalkan dengan sesuatu yang
baru, seperti yang dikatakan oleh Bae et.al. (1998) dan
Tayeb (1998), “the transfer of the British Voluntarist ERP
to Nigeria would be problematic if not difficult mainly
because the culture of the people in the country of

Perbandingan Hubungan Industrial Di Indonesia 75


dan Nigeria (Dalam Perspektif Sejarah)
origin, (UK.) is different from the culture of the people in
the country of destination, (Nigeria) just as the cultures
of the people of the various ethnic groups merged to
become one Nigeria are different”.
(Ukpabi (1987) dalam George et. al. (2012))
mengatakan bahwa “Wage employment took a new
dimension when the Royal Niger Company (RNC) was
handed the absolute power to trade and administer the
country”. (Ibid (1987) dalam George et. al. (2012))
menambahkan bahwa “The company became the first
multinational company (MNC) to be granted powers to
trade and rule the country with legislative, military and
judicial powers”. Flint (1960) mengatakan bahwa “The
Royal Charter of July 1886 gave the company powers to
administer, make treaties, levy customs dues and trade
in all territories in the basin of the (River) Niger and it’s
affluent”. Cook (1943) mengatakan bahwa “Wage
employment was further made popular when for
economic, political and strategic reasons the Royal
Charter of the Royal Niger Company was revoked and
the administrations of the Protectorates of the Northern
and Southern Nigeria was taken away from a
multinational company –Royal Niger Company- towards
the end of 1899 and was vested directly in the hands of
the British Government with effect from 1 January
1900”. Hal ini mendorong banyaknya konstruksi yang
dibiayai oleh Inggris. Pekerjaan konstruksi tersebut
seperti lajur kereta, saluran telegraph. Selain itu wage
employment juga terjadi di pertambangan yang
membutuhkan 25000 sampai 30000 orang. Apa yang

Perbandingan Hubungan Industrial Di Indonesia 76


dan Nigeria (Dalam Perspektif Sejarah)
terjadi ini sesuai dengan ekspektasi yang berdasarkan
dari Ferner dan Quintanilla (1998) yang mengatakan
bahwa “multinational enterprises (MNE) in most cases
adopt themanagement practices prevalent in the parent
companies”. Penjelasan ini mengacu pada bagimana
Royal Niger Company bisa membawa British Volutarist
ERP di Nigeria.
Setelah itu, Pemerintah Kolonial Inggris
memperkenalkan pajak bagi populasi pria dewasa.
Yesufu (1967) mengatakan bahwa “The introduction of
taxes for the adult male of the population forced more
people to join wage employment, while the British
Colonial Government also introduced incentives such as
free medical facilities coupled with living in clean
environments; these attracted more people into wage
employment”. Selain itu, terdapat aspek lain seperti
gaya hidup yang mempengaruhi maraknya wage
employment. (Ibid (1982) dalam George et. al. (2012))
mengatakan bahwa “The tastes of the wage earners also
changed with the exposure to life in urban areas and
with the contacts with the Europeans; the only way to
satisfy these new tastes was to pick up a permanent
wage employment, which also became a status symbol”.
Pembubaran Royal Niger Company pada tahun
1899 mendorong Pemerintah Inggris untuk mengambil
alih Lagos. Hal ini memberikan keuntungan bagi Inggris
karena sumber bahan baku mentah bagi pabrik Inggris.
Ketika Perang Dunia 2 berakhir, 120.000 tentara dilatih
untuk bisa bekerja secara administrative seperti
telephonist, tailors, storekeepers. Hal ini membangun

Perbandingan Hubungan Industrial Di Indonesia 77


dan Nigeria (Dalam Perspektif Sejarah)
wawasan pada orang Nigeria mengenai upah dan
menjadi berdampak pada saat orang asing yang
menemukan perkebunan kakao atau palm tidak
memberika bayaran yang cukup. (Luggard (1909) dalam
George et. al. (2012)) mengatakan bahwa “the
outrageous rates of pay which were instituted for local
labour of all kinds became one of the two most serious
problems facing the administration”. (Luggard (1909)
dalam George et. al. (2012)) menambahkan bahwa “that
the rates for the so–called skilled labour, - clerks,
artisans, engineers and pilots - were 50 percent higher
than they should have been; the Indians who were
considered to be more efficient earned less than their
Nigerian counterparts. On the expenditures on carriers
and unskilled labour, the Governor General in frustration
concluded that: ‘I hope largely to reduce (labour costs)
by the introduction of wheeled traffic and motor cars’.
He was very optimistic that with the introduction of
motor cars the government wage expenditure would be
drastically reduced”.
Namun, apa yang sudah direncanakan tersebut
tidak berjalan lancar karena banyaknya orang asing yang
kembali untuk berkebun daripada melakukan pekerjaan
pemerintah yang diupah. (Luggard (1915) dalam George
et. al. (2012)) mengatakan bahwa “This made the
Governor General to conclude some years later that
there was a notable exodus from the towns where the

Perbandingan Hubungan Industrial Di Indonesia 78


dan Nigeria (Dalam Perspektif Sejarah)
wage employment was in abundance into rural districts
to be engaged in farming”. Penyelesaian masalah ini
dilakukan dengan rekrutmen daerah yang dijajah
terlebih dahulu seperti Sierra Leone dan Ghana, namun
memunculkan permasalahan baru, yaitu transportasi
dan Bahasa. Seiring berjalannya waktu, alternative
lainnya adalah dengan melakukan kerja paksa dengan
kepala suku. Luggard dalam hal ini mencoba
membenarkan praktiknya, dengan mengatakan ‘among
primitive tribes, a measure of compulsion through their
tribal Chiefs in order to obtain labour construction and
other important works is justifiable as an educative
process to remove fear and suspicion’.
Yesufu (1967) mengatakan bahwa “By 1918 the
problem of labour shortage was over as there was a
surplus of labour and the law of supply and demand
forced down the price of labour - wages- so that even
African landowners could now hire some natives”. Iwuji
(1968) menambahkan bahwa “There was therefore no
more need for the use of forced labour; it was then time
for government to discourage the practice until the start
of the economic depression of 1930”. Tahun 1930,
International Labour Organization (ILO) menlakukan
Forced Labour Convention dimana mendeklarasikan
bahwa kerja paksa itu illegal. Mneurut Ahmed (2014),
“The International Labour Organisation (ILO)’s
conventions and recommendations are the most

Perbandingan Hubungan Industrial Di Indonesia 79


dan Nigeria (Dalam Perspektif Sejarah)
important international sources of Labour Law in
countries across the globe including Nigeria”.
Pada tahap ini wage employment telah diterima
di Nigeria, dimana mengubah Nigerian Paternalistic ERP
menjadi British Voluntarist ERP. Menurut Owolabi et.al.
(2012), “The British Voluntarists employment relations
system has come to stay in Nigeria yet the Nigerian
Paternalistic
employment relations system is refusing to die”. Hal ini
terlihat dari masih banyaknya suku di Nigeria sendiri
yang masih curiga terhadap hubungan kerja ini, sehingga
pemerintah perlu melakukan edukasi terus menerus
mengenai British Voluntarist ERP. Pada penelitian yang
dilakuka oleh (Odesola (2009) dalam George
et.al.(2012)) dapat diketahui bahwa beberapa bagian
Nigeria masih dilakukan edukasi, “The Federal
Government of Nigeria spends more money on education
in the Northern States than the Southern States up till
today”.
Sejarah Evolusi Employment Relation di Indonesia
D.N. Aidit (1952) memberikan penjelasan
mengenai perkembangan evolusi hubungan
ketenagakerjaan di Indonesia. Sebelum tahun 1870,
eksploitasi (penghisapan) yang dijalankan oleh
pemerintah Hindia Belanda terhadap Rakyat Indonesia
didasarkan atas peraturan “cultuurstelsel”. Peraturan ini
dilahirkan dalam tahun 1830 di bawah kekuasaan

Perbandingan Hubungan Industrial Di Indonesia 80


dan Nigeria (Dalam Perspektif Sejarah)
Gubernur Jenderal van den Bosch (gubernur jenderal di
Indonesia tahun 1830-1833. “Cultuurstelsel”
mewajibkan kaum tani : 1) menyerahkan hasil buminya
pada pemerintah Hindia Belanda; 2) kerja paksa (rodi)
untuk pemerintah; 3) memikul berbagai macam pajak.
Adanya “Cultuurstelsel” ini membuat pemerintah Hindia
Belanda memegang monopoli atas hasil ekspor
Indonesia.
Hal ini mengarahkan Belanda untuk mempelajari
ilmu tanah, ilmu bumi, ilmu tumbuhan, ilmu hewan, dan
sebagainya. Pengetahuan-pengetahuan tentang alam
dan tentang masyarakat Indonesia dipergunakan oleh
kaum imperialis untuk kepentingan pertambangan,
pertanian dan perkebunan, pemerintahan, dan
sebagainya. Demikianlah ilmu pengetahuan dipakai oleh
kaum imperialis untuk menguras kekayaan alam
Indonesia dan untuk terus memperbudak Rakyat
Indonesia. Kemudian hal ini mewujudkan sistem ‘baru’
dalam mengeksploitasi pekerja. Pada tahun 1880, orang
Indonesia terikat kontrak berdasarkan ‘ordonansi kuli’
dan jika mereka bekerja kurang keras sedikit saja,
mereka mendapat pecut dengan rotan. Mereka terikat
oleh apa yang dinamakan “poenale sanctie”, yaitu
ketentuan hukuman dari pemerintah Hindia Belanda
bagi mereka yang menjalani kontrak, misalnya bagi
mereka yang menolak untuk bekerja atau yang
melarikan diri karena tidak tahan siksaan.

Perbandingan Hubungan Industrial Di Indonesia 81


dan Nigeria (Dalam Perspektif Sejarah)
Wanita muda tidak sedikit yang juga diangkut ke
daerah-daerah perkebunan, jauh dari tempat
kelahirannya, dengan upah beberapa sen sehari, dan
mereka pada akhirnya banyak terpaksa menjalankan
prostitusi. Hal ini tentu membuat bangsa Indonesia tidak
tinggal diam saja. Banyak gerakan-gerakan nasionalis
yang dilakukan agar kerja paksa tersebut dihentikan.
Sejak Indonesia dalam tahun 1895 menginjak zaman
imperialis, maka terdapatlah di Indonesia tiga
pertentangan (kontradiksi) pokok dalam tubuh
imperialisme itu sendiri. Tiga pertentangan pokok itu
ialah
1. pertentangan antara buruh dengan kapital,
antara massa kaum buruh yang besar dengan
grup-grup kecil yang sangat kaya, dan karena
kayanya mereka berkuasa.
2. pertentangan antara berbagai grup finansiil
(kaum uang) dan berbagai grup negara imperialis
dalam perjuangannya untuk mendapatkan
sumber bahan mentah, untuk mendapat daerah-
daerah asing.
3. pertentangan antara segenggam bangsa yang
berkuasa, yang “berkebudayaan”, dengan
beratus-ratus juta bangsa jajahan dan setengah
jajahan.
Pertentangan-pertentangan yang terjadi tidak
membuat Indonesia diam. Mulai tahun 1905, Indonesia

Perbandingan Hubungan Industrial Di Indonesia 82


dan Nigeria (Dalam Perspektif Sejarah)
mulai melakukan gerakan buruh. Kemudian kaum
intelektual bangsawan mengorganisasikan diri pada
tahun 1908 dan kaum dagang tahun 1911. Kemudian
tahun 1912 meluas menjadi organisasi massa dengan
nama Serikat Islam. Gerakan buruh Indonesia ini diawali
dari amtenar dan pegawai perusahaan pemerintah. Pada
umumnya yang menjadi anggota-anggota serikat buruh-
serikat buruh yang disebutkan di atas ialah buruh-buruh
rendahan, karena pada waktu itu boleh dikata sangat
jarang orang Indonesia menduduki tempat yang penting
dalam jawatan. Dan jika ada yang menduduki tempat
yang penting, maka ia pun memisahkan diri dari
masyarakat bangsanya sendiri dan dalam pergaulannya
menggolongkan diri pada orang-orang Barat.
Di antara serikat-serikat buruh yang dibangun
oleh pribumi, layak disebut Perkoempoelan
Boemipoetera Pabean (1911), Persatoean Goeroe
Bantoe (1912) dan Personeel Fabriek Bond (1917). PFB
adalah sebuah serikat buruh yang dibentuk oleh
Soerjopranoto, yang kelak akan dikenal sebagai salah
seorang “radja mogok” Hindia Belanda.pemogokan yang
dilakukan PFB tertuju pada 3 sasaran, yaitu: ‘Berusaha
mendapat kuasa dalam pemerintahan negeri supaya
negeri terperintah oleh rakyat sendiri mengurus
jalannya rejeki, mengeratkan kaum buruh dalam
pekerjaannya guna merubah nasibnya, mengadakan
perdagangan oleh dan buat rakyat (koperasi).”

Perbandingan Hubungan Industrial Di Indonesia 83


dan Nigeria (Dalam Perspektif Sejarah)
Pada masa soekarno memerintah, pada tahun
1950 Soekarno memutuskan untuk mengundang unsur-
unsur progresif dalam pembentukan kabinetnya, SOBSI
telah kembali berdiri dan semakin menguat dalam
dasawarsa tersebut. Pada dasawarsa tersebut, SOBSI
adalah serikat buruh terbesar dan terkuat di Indonesia,
dengan 2,5 juta anggota dan 34 serikat buruh anggota.
Selain SOBSI, ada dua lagi serikat buruh beraliran
progresif yang patut disebut. Yang pertama adalah
GASBRI (Gabungan Serikat Buruh Revolusioner
Indonesia) yang dekat dengan Partai Murba. Partai
Murba sendiri adalah hasil pengembangan dari
sekelompok orang yang di tahun 1946 memisahkan diri
dari SOBSI. Dalam kongresnya tahun 1951, GASBRI
berubah nama menjadi SOBRI (Sentral Organisasi Buruh
Revolusioner Indonesia). Yang kedua adalah SARBUPRI
(Sarekat Buruh Perkebunan Republik Indonesia) yang
didirikan tahun 1947. SARBUPRI memiliki kedekatan
dengan SOBSI dan ormas-ormas lain yang juga dekat
dengan PKI.
Ketiga serikat buruh ini kerap mengadakan
pemogokan besar yang berujung pada kemenangan bagi
buruh. Statistik menunjukkan bahwa antara tahun 1921-
1955 terjadi 11.763 pemogokan yang melibatkan
918.739 buruh. Aksi-aksi nasionalisasi yang dilancarkan
oleh serikat-serikat ini menghasilkan kemenangan besar
di mana-mana, sekalipun kemudian kemenangan ini

Perbandingan Hubungan Industrial Di Indonesia 84


dan Nigeria (Dalam Perspektif Sejarah)
tidak banyak mereka nikmati malah banyak perusahaan
Belanda yang berhasil dinasionalisasi kemudian malah
diambil alih oleh Angkatan Darat. Tuntutan untuk
dilibatkan dalam proses produksi juga berhasil
dimenangkan. Presiden Soekarno mendukung program
ini dan memerintahkan membentuk Dewan Perusahaan
di tahun 1960, di mana buruh berkedudukan dalam
Dewan Pertimbangan.
Sebagaimana diketahui pemerintah orde baru
bertekad untuk melaksanakan pancasila secara murni
dan konsekuen dan disamping itu juga bertekad untuk
mengembangkan program pembangunan yang
berencana dan berkelanjutan. Dalam rangka penyatuan
dan penyederhanaan organisasi pekerja maka pada
tanggal 1 november 1969 terbentuklah MPBI. ada bulan
mei tahun 1972 sebagai tindak lanjut dari seminar yang
lalu MPBI mengadakan rapat pleno yang membahas
secara mendalam tentang pembaharuan dan
penyederhanaan eksistensi SPSI. Dari sidang itu
terbentuklah “ikrar bersama” yang intinya adalah
sebagai berikut: melakukan pembaharuan struktur
gerakan buruh sehingga serikat buruh tetap berfungsi
sosial ekonomis dan berorientasi kepada pembangunan.
Dari ikrar MPBI ini pada 20-02-1973 lahirlah “deklarasi
persatuan buruh seluruh indonesia”. Ada dua hal yang
sangat bersejarah dengan lahirnya FBSI tersebut yaitu, :
pertama, serikat pekerja telah berhasil disatukan dalam

Perbandingan Hubungan Industrial Di Indonesia 85


dan Nigeria (Dalam Perspektif Sejarah)
satu wadah yang selama ini telah menjadi obsesi setiap
pimpinan serikat pekerja. Kedua, serikat pekerja telah
berhasil melepaskan diri dari kegiatan politik dan
menjadi serikat pekerja yang profesional dan mandiri.

Perbandingan Hubungan Industrial Di Indonesia 86


dan Nigeria (Dalam Perspektif Sejarah)
2. TOPIK PEMBAHASAN

Apabila dilihat dari sejarah perkembangan


employment relation yang terjadi pada kedua negara
berkembang ini, yaitu Nigeria dan Indonesia. Keduanya
dipengaruhi oleh bangsa colonial. Nigeria merupakan
salah satu negara yang dijajah oleh bangsa colonial
Inggris dan berhasil merdeka pada tahun 1960. Adanya
jajahan dari bangsa colonial ini membawa Nigeria untuk
mengenal lebih jauh dalam hubungan kerja antara
pekerja dengan atasan. Hal ini terlihat dari adanya upah
tersebut. Berikut ini bisa dilihat proses yang terjadi pada
transisi perubahan dari paternalistic Nigeria ERP menjadi
British Volutarist ERP:

Gambar 1
Skema Perubahan Nigeria
British
Paternalisyic Wage
Voluntarit
Nigeria ERP Employment
ERP

Selain itu, Indonesia juga merupakan salah satu


negara yang dijajah oleh bangsa colonial Belanda dan
berhasil merdeka pada tahun 1945. Indonesia juga
mengalami perubahan dalam hubungan

Perbandingan Hubungan Industrial Di Indonesia 87


dan Nigeria (Dalam Perspektif Sejarah)
ketenagakerjaan, dimulai dari tenaga kerja Indonesia
yang terjajah karena adanya “cultuurstelsel” kemudian
sampai pada akhirnya terdapat gerakan buruh
yang mengangkat derajat tenaga kerja Indonesia lebih
baik. Hal ini dapat terlihat dari gambaran proses
terjadinya perubahan tersebut:
Gambar 2
Skema Perubahan Indonesia

ordonansi Gerakan
cultuurstelsel
kuli buruh

Setelah mengetahui bagaimana proses


perubahan hubungan ketenagakerjaan yang terjadi pada
bagian kajian pustaka mengenai sejarah dari kedua
negara berkembang ini. Tentu saja memiliki perbedaan
masing-masing. Hal ini bisa terlihat dalam tabel berikut
ini:
Tabel 1
Perbedaan dan Perbedaan
No. Nigeria Indonesia
1. Mata Pertanian Pertanian
Pencaharian
2. Hubungan Paternalistic cultuutstelsel
tenaga kerja
3. Keadaan Kelompok kerja Tenaga Kerja

Perbandingan Hubungan Industrial Di Indonesia 88


dan Nigeria (Dalam Perspektif Sejarah)
hubungan berdasarkan Indonesia
tenaga kerja adanya diharuskan
hubungan memberikan
keluarga, hasil bumi,
adanya kerja
paksa
4. Sistem Memberikan Tidak diberi
Pembayaran komoditas bayaran oleh
tenaga kerja karena masih bangsa colonial
sistem namun harus
pertukaran membayar
barang pajak
5. Masa transisi Dikenalkan Sistem ‘baru’
perubahan wage dengan kontrak
employment kerja ‘odonansi
kuli’
6. Hubungan Tenaga kerja Tenaga kerja
tenaga kerja diberi bayaran terikat oleh
pada masa “poenale
transisi sanctie”
ketentuan dari
pemerintah
Belanda
7. Hubungan British Gerakan Buruh
tenaga kerja Voluntarist
baru

Perbandingan Hubungan Industrial Di Indonesia 89


dan Nigeria (Dalam Perspektif Sejarah)
8. Pembawa Adanya upah Adanya
perubahan dan lapangan pemogokan
dalam pekerjaan
hubungan pemerintah
tenaga kerja
10. Awal mula Adanya revolusi Buruh Asing
hubungan Industri di yang pertama
tenaga kerja Inggris kali membuat
baru gerakan buruh
11. Tujuan Untuk Untuk membuat
hubungan membawa pekerja terlepas
tenaga kerja kebebasan dari kegiatan
baru individu dalam politik dan
kontrak kerja menjadi
professional
dan mandiri
12. Kendala Budaya Kemerdekaan
perubahan Negara
13. Keberhasilan Kesejahteraan Nasionalisme
Perubahan Hidup untuk Merdeka
Sumber: Data diolah peneliti (2017)

Pada tabel 1 diatas dapat secara jelas terlihat


perbedaan atau persamaan yang terjadi dari perubahan
dalam hubungan tenaga kerja di kedua negara
berkembang. Kedua negara tersebut memiliki misinya

Perbandingan Hubungan Industrial Di Indonesia 90


dan Nigeria (Dalam Perspektif Sejarah)
masing-masing sehingga akhirnya berhasil untuk
memberikan perubahan dalam negaranya sendiri. Hal
tersebut tidak mudah dan membutuhkan waktu selama
bertahun-tahun.

Perbandingan Hubungan Industrial Di Indonesia 91


dan Nigeria (Dalam Perspektif Sejarah)
3. KESIMPULAN
Pada studi ini, Perubahan yang terjadi di Nigeria
memang memunculkan beberapa masalah karena
perbedaaan budaya Nigeria dengan Inggris. Banyak
kelompok etnik yang masih awam dengan hubungan
tenaga kerja tersebut sehingga menyulitkan perubahan
ini terus berlangsung. Selain itu, bagi Indonesia
perubahan itu sendiri merupakan suatu gerakan
nasionalis negara untuk memperjuangkan kemerdekaan.
Hal tersebut perlu dilakukan karena penjajahan yang
terjadi oleh bangsa colonial membuat petani menderita.

4. REFERENSI
Adebisi, Moses Adesola. 2013. History and
Develompemnt of Industrial Realtions in Nigeria:
Hybridity of Western Models Versus Military
Interventionism Cultur. Mediterranean Journal of
Social Science, Vol. 4(14), pp. 687-693.
Afigbo, A. E. 1991. Background to Nigerian Federalism:
Federal Features in the Colonial State. The
Journal of Federalism (21): 40-52
Ahmed, A.B. 2014. Emerging Trends in Labour Law and
Industrial Relations in Nigeria. International
Journal of Humanities and Social Science, Vol.
4(11), pp. 29-44.
Akporherhe, F. 2002. The Challenge of English and other
foreign languages on Nigerian culture. Journal of
Nigerian Languages and Culture, 3, 29-33.

Perbandingan Hubungan Industrial Di Indonesia 92


dan Nigeria (Dalam Perspektif Sejarah)
Bae, J., Chen, S., & Lawler, J. 1998. Variation in HRM in
Asian countries: MNC home country and host
countries effects. International Journal of Human
Resource Management, 9(4), 653-70
Blyton, P and Turnbull P. 1998, 2004. The Dynamics of
Employee Relations. Basingstroke: Macmillan.
Briggs, T. 1953. Do we get our money’s worth? The
Educational Forum, 18(1), 5-13.
Carlsson, B. 1995. Technological Systems and Economic
Performance: The Case of Factory Automation.
Kluwer Academic Publishers Group.
Clapham, J. H. 1926, 1939. An Economic History of
Modern Britain. Cambridge University Press.
Clegg, H.A. 1972. The system of Industrial Relations in
Great Britain. Blackwell.
Cook, A. N. 1943. British Enterprises in Nigeria. Oxford
University Press
Dike, K.O. 1956. Trade and Politics in the Niger Delta,
1830-1885: An Introduction to the Economic and
Political History of Nigeria. Oxford Clarendon
Press.
D.N. Aidit. 1952. Sedjarah Gerakan Buruh Indonesia.
Jakarta: Jajasan
Ferner, A & Quintanivilla, J. 1998. Multinational,
national business systems and HRM: the enduring
influence of national identity or a process of
‘Anglo-Saxonization. The International Journal of
Human Resource Management, 9(4), 710-731
Flanders, A. 1974. Management and Unions: The Theory
and Reform of Industrial Relations. London:
Faber.

Perbandingan Hubungan Industrial Di Indonesia 93


dan Nigeria (Dalam Perspektif Sejarah)
Flanders, A. 1970. Management and Unions. Faber and
Faber London.
Flint, J.E. 1960. Sir George Goldie and the Making of
Nigeria. London: Oxford University Press‟.
Florence, 1957. Limits of Laissez-faire‟ in Tomlison, J.
(1994) in, Government and the Enterprise Since
1900, Oxford University Press‟.
George, Owoyemi dan Onokala. 2012. Evolution of
Employment and Industrial Relation practice: The
Nigerian Experience. International Journal of
Business and Social Science, Vol 13, No.12.
Hill, P. 1976. From Slavery to Freedom: The Case of
Farm- Slavery in Nigeria Hausaland.
Comparative Studie in Society and History, 18 (3):
393-426.
Hutt, W. H. 1926. The Factory system of the Early 19th
Century. Economica, 16: 78-93.
Iwuyi, E. C. 1968. International Handbook of Industrial
Relations Contemporary Developments and
Research. Aldwych Press.
Kahn- Freund, O. 1954. Legal framework, In A. Flanders
and H. Clegg (eds). The System of Industrial
Relations in Great Britain: 42- 127.
Kelly J. 1998. Rethinking Industrial Relations:
Mobilization, Collectivism and Long Waves.
London: Routledge.
Lovejoy, P.E. 1974. Interregional Monetary Flows in the
Pre-Colonial Nigeria. Journal of African
History,XV(4) :563-585.
Olusoji, J.G., Owolabi L.K., & Uchechi C.O. 2012. Culture
and Mangement Practices are Siamese Twins:

Perbandingan Hubungan Industrial Di Indonesia 94


dan Nigeria (Dalam Perspektif Sejarah)
The Case of Employment Relation Practices in
Nigeria (Cadburry Nifgeria Plc) and the United
Kingdom (Cadbury Worldwide UK). Business and
Mangement Review, Vo. 2(2), pp. 09-12.
Rose, Ed 2004. Employment Relations. Prentice Hall.
Tayeb, M. 1998. Transfer of HRM practices across
cultures: An American company in Scotland.
International Journal of Human Resource
Management, 9(2): 332-358
Ubeku, A.K. 1984. Personnel Management in Nigeria.
Macmillian.
Whiting, R .J. 1964. Historical Search in Human
Relations. Academy of Management Journal, 7(1)
: 45-53
Yesufu, T.M. 1967. The State and Industrial Relations in
Developing Countries. Industrial Relations and
Economic Development (Published for the
International Institute for Labour).
Yesufu, T.M. 1982. The dynamics of industrial relations:
The Nigerian Experience. University Press Limited
Ibadan.

Perbandingan Hubungan Industrial Di Indonesia 95


dan Nigeria (Dalam Perspektif Sejarah)
BAB IV
SERIKAT PEKERJA DI INDONESIA DAN POLANDIA

1. PENDAHULUAN
Pembangunan nasional dilaksanakan dalam
rangka membangun manusia seutuhnya dan
membangun masyarakat seluruhnya. Membangun
manusia seutuhnya mengandung maksud bahwa
pembangunan manusia di laksanakan secara utuh yang
meliputi jasmani dan rohani. Sedangkan membangun
masyarakat seluruhnya mengandung maksud bahwa
masyarakat yang dibangun bukan hanya masyarakat
tertentu saja meleinkan seluruh masyarakat tanpa
memandang suku, agama dan ras. Adapun tujuan
pembangunan nasional yaitu untuk mewujudkan suatu
masyarakat yang sejahtera, adil, makmur yang merata
baik material maupun spiritual berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Negara berkembang yang terus menerus
melakukan pembangunan tidak hanya melakukan
pembangunan tersebut hanya di satu bidang saja tetapi
menyeluruh di semua bidang kehidupan yang meliputi
bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya
serta pertahanan keamanan dalam negeri. Semua
bidang tersebut mempunyai hubungan yang erat dan

Serikat Pekerja Di Indonesia Dan Polandia 96


tidak dapat dipisahkan. Pembangunan nasional
menitikberatkan pada bidang ekonomi. Sasaran
pembangunan di bidang ekonomi menitikberatkan pada
sektor industri yaitu mendorong perkembangan industri.
Hal ini secara tidak langsung membantu mengatasi
masalah pengangguran, karena perusahaan-perusahaan
selalu menyerap tenaga kerja setiap tahunnya.
Dengan adanya penyerapan tenaga kerja ini
berarti telah terjadi hubungan industrial antara
pengusaha dengan pekerja. Hubungan industrial adalah
hubungan antara semua pihak yang tersangkut atau
berkepentingan atas proses produksi barang atau
pelayanan jasa di suatu perusahaan (Payaman, 2003).
Pihak yang paling berkepentingan atas keberhasilan
perusahaan dan berhubungan langsung sehari-hari
adalah pengusaha beserta manajemen dan pekerja.
Pada dasarnya hubungan industrial antara pengusaha
dengan pekerja tersebut terjadi setelah diadakan
perjanjian kerja, dimana pihak pekerja menyatakan
kesanggupannya untuk bekerja dengan menerima upah
dan pengusaha menyatakan mempekerjakan pekerja
dengan membayar upah.
Pengertian Perjanjian kerja menurut Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan
adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pekerja
atau pemberi kerja yang memuat syarat-ayarat kerja,
hak dan kewajiban para pihak. Perjanjian kerja ini
merupakan hasil perundingan dari pihak pengusaha dan
pekerja yang isinya telah disepakati bersama dan

Serikat Pekerja Di Indonesia Dan Polandia 97


mendekati keinginan mereka. Agar perjanjian kerja ini
sesuai dengan kesepakatan antara pengusaha dengan
pekerja, maka dalam pelaksanaan perjanjian kerja harus
mengandung itikad yang baik. Hal ini diwujudkan dengan
menyerasikan hak dan kewajiban masing-masing pihak
secara musyawarah untuk mufakat.
Pengertian Serikat Pekerja menurut Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang serikat pekerja
“Serikat pekerja adalah organisasi yang di bentuk dari,
oleh dan untuk pekerja baik di perusahaan maupun di
luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri,
demokratis dan bertanggung jawab guna
memperjuangkan, membela, serta melindungi hak dan
kepentingan pekerja serta meningkatkan kesejahteraan,
pekerja dan keluarganya”. Serikat pekerja dapat
digunakan oleh pekerja sebagai alat untuk mencapai
tujuannya. Suatu kenyataan penetapan besarnya upah
dan syarat-syarat kerja yang lain diserahkan kepada
perusahaan dan pekerja sebagai pribadi.
Kedudukan pekerja adalah sangat lemah,
menyadari atas kelemahannya dalam menghadapi
perusahaan, maka pekerja merasa perlu adanya
persatuan. Dengan adanya persatuan mereka dapat
mempunyai kekuatan dalam menghadapi perusahaan.
Salah satu fungsi Serikat Pekerja menurut Undang-
Undang No 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja
adalah sebagai sarana menciptakan hubungan industrial
yang harmonis, dinamis dan berkeadilan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh

Serikat Pekerja Di Indonesia Dan Polandia 98


karena itu Serikat Pekerja harus menjalankan perannya
dengan baik agar tercipta hubungan industrial yang
harmonis sehingga tujuan perusahaan dapat tercapai.
Pekerja sebagai warga negara mempunyai
persamaan kedudukan dalam hukum, hak untuk
mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak,
mengeluarkan pendapat, berkumpul dalam satu
organisasi, serta mendirikan dan menjadi bagian
anggota serikat pekerja. Hak menjadi anggota serikat
pekerja merupakan hak dasar atas pekerja yang di jamin
dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945
“Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, menge-
luarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya
ditetapkan dengan undang-undang”. Tujuan serikat
pekerja adalah untuk memperjuangkan, melindungi dan
membela kepentingan serta meningkatkan
kesejahteraan pekerja dan keluarganya.
Dalam menggunakan hak-hak, serikat pekerja juga
berkewajiban bersama pengusaha dan pihak pemerintah
menciptakan hubungan industrial yang harmonis dan
dinamis guna memajukan dan menjamin kelangsungan
perusahaan, serta menjamin kepentingan bangsa dan
negara. Untuk menampung aspirasi sejumlah organisasi
pekerja yang telah menamakan serikat pekerja, maka
terbentuklah Undang-undang No. 21 tahun 2000 ini
yang berisikan tentang Undang-undang terhadap
seluruh Serikat Pekerja yang ada. Pengertian serikat
pekerja sebenarnya lebih luas dan lebih tepat dari
serikat buruh. Namun Undang-undang No. 21 tahun

Serikat Pekerja Di Indonesia Dan Polandia 99


2000 ini juga membuka pintu untuk memberikan nama
yang berbeda-beda seperti: serikat pekerja, serikat
buruh, kesatuan pekerja, kesatuan karyawan, kesatuan
buruh, persaudaraan pekerja, persatuan karyawan,
asosiasi pekerja, asosiasi karyawan, ikatan karyawan,
korps pegawai, dan lain-lain.

Tinjauan Tentang Pekerja


Pekerja merupakan mitra kerja pengusaha yang
sangat dekat dan sangat penting dalam proses produksi
guna meningkatkan kesejahteraan atas pekerja dan
keluarganya. Pekerja adalah setiap penduduk dalam usia
kerja yang melakukan kegiatan ekonomis, baik dalam
hubungan kerja di perusahaan maupun di luar hubungan
kerja seperti pekerja mandiri, pekerja keluarga dan
pekerja di sektor informal lainnya (Payaman, 2003).
Pengertian pekerja diperluas yakni (Lalu Husni,
2003)
1) Magang dan murid yang bekerja pada
perusahaan baik yang bekerja pada
perusahaan baik yang menerima upah
maupun tidak.
2) Mereka yang memborong pekerjaan kecuali
jika yang memborong adalah perusahaan.
3) Narapidana yang dipekerjakan perusahaan.
Berdasarkan pengertian di atas dapat
disimpulkan bahwa pekerja adalah setiap orang yang

Serikat Pekerja Di Indonesia Dan Polandia 100


bekerja di perusahaan maupun di luar perusahan
dengan hubungan kerja yang menerima upah atau
imbalan dalam bentuk apapun baik itu material dan non-
material. Imbalan tidak hanya berupa uang tetapi juga
bisa berupa barang.

Hak dan Kewajiban Pekerja


Hak pekerja merupakan pemenuhan kewajiban
pengusaha. Hak pekerja didasarkan kewenangan
pengusaha untuk mengaturnya. Kewajiban pekerja
adalah melakukan pekerjaan sesuai dengan penugasan
pimpinan menurut disiplin kerja dan dalam waktu kerja
yang diaturkan. Hak-hak pekerja adalah sebagai berikut,
(Darwan Prints, 2002) :
1. Hak mendapat upah atau gaji
2. Hak atas pekerjaan dan penghasilan yang layak
bagi kemanusiaan
3. Hak bebas memilih dan pindah pekerjaan sesuai
bakat dan kemampuannya
4. Hak atas pembinaan keahlian kejuruan untuk
memperoleh serta menambah keahlian dan
ketrampilan lagi
5. Hak mendapatkan perlindungan atas
keselamatan, kesehatan serta perlakuan yang
sesuai dengan martabat manusia dan norma
agama
6. Hak mendirikan dan menjadi anggota
perserikatan tenaga kerja

Serikat Pekerja Di Indonesia Dan Polandia 101


7. Hak atas istirahat tahunan Sebagai imbalan atas
jasa kerja, pekerja berhak memperoleh upah,
tunjangan-tunjangan dan jaminan sosial lainnya,
beristirahat, cuti, memperjuangkan haknya
secara langsung melalui serikat pekerja.
Disamping itu pekerja berhak memperoleh
berbagai jenis perlindungan: perlindungan tidak
melebihi jam kerja tertentu termasuk jam dan hari
istirahat serta cuti tahunan, perlindungan atas
keselamatan dan kesehatan pekerja, perlindungan atas
hak berserikat dan berunding dengan pengusaha, serta
perlindungan upah dan penghasilan pada saat tidak
mampu melakukan pekerjaan. (Payaman, 2003)

Tinjauan Tentang Pengusaha


Pengusaha adalah Istilah untuk majikan sang
pekerja. Ini sangat popular karena majikan sendiri lahir
pada masa kolonial Belanda. Majikan adalah orang atau
badan hukum yang mempekerjakan buruh. Sama halnya
dengan istilah buruh, istilah majikan juga kurang sesuai
dengan konsep Hubungan Industrial Pancasila karena
istilah majikan berkonotasi sebagai pihak yang selalu
berada di atas sebagai lawan atau kelompok penekanan
dari buruh, padahal antara buruh dan majikan secara
yuridis merupakan mitra kerja yang mempunyai
kedudukan yang sama. Karena lebih tepat jika dengan
istilah pengusaha.

Serikat Pekerja Di Indonesia Dan Polandia 102


Dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan Pasal 1 Ayat 5 menyebutkan
pengertian pengusaha adalah sebagai berikut :
1. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan
hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik
sendiri
2. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan
hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan
perusahaan bukan miliknya
3. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan
hukum yang berada di Indonesia mewakili
perusahaan
Selain pengusaha Undang-Undang No. 13 Tahun
2003 juga memberikan pengertian pemberi kerja yakni
orang perseorangan, pengusaha, badan hukum atau
badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja
dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain
(Pasal 1 angka 4). Pengaturan istilah pemberi kerja ini
muncul untuk menghindari orang yang bekerja pada
pihak lain yang tidak dapat dikategorikan sebagi
pengusaha khususnya bagi pekerja sektor informal.

Kewajiban Pengusaha
Menurut Lalu Husni (2003) Kewajiban pengusaha
adalah sebagai berikut
1. Kewajiban membayar upah. Dalam hubungan
kerja kewajiban utama bagi pengusaha adalah

Serikat Pekerja Di Indonesia Dan Polandia 103


membayar upah kepada pekerjaannya secara
tepat waktu. Ketentuan tentang upah ini juga
telah mengalami perubahan sesuai dengan
pengaturan pemerintah tentang biaya upah
minimum. Hal ini terlihat dari campur tangan
pemerintah dalam menetapkan besarnya upah
terendah.
2. Kewajiban memberikan istirahat/cuti. Pihak
pengusaha diwajibkan untuk memberikan
istirahat tahunan kepada pekerja secara teratur.
Hak atas istirahat ini penting artinya untuk
menghilangkan kejenuhan pekerja dalam
melakukan pekerjaan.
3. Kewajiban mengurus perawatan dan
pengobatan. Pengusaha wajib mengurus
perawatan/pengobatan bagi pekerja yang
bertempat tinggal di rumah pengusaha
4. Kewajiban memberikan surat keterangan tentang
pekerjaan yang akan dilaksanakan oleh sang
pekerja

Tinjauan Tentang Serikat Pekerja


Serikat pekerja merupakan sebuah keniscayaan
yang tidak mungkin dihindari oleh perusahaan. Serikat
pekerja dapat digunakan oleh pekerja sebagai alat untuk
mencapai tujuannya. Suatu penetapan besarnya upah
dan syarat-syarat kerja yang lain diserahkan kepada
perusahaan atas berdasarkan ketetapan pemerintah.

Serikat Pekerja Di Indonesia Dan Polandia 104


Dengan kedudukan pekerja yaitu sangat lemah dan
menyadari atas kelemahannya dalam menghadapi
perusahaan sebuah perusahaan maka pekerja merasa
perlu adanya persatuan. Dengan adanya persatuan
dapat mempunyai kekuatan dalam menghadapi
perusahaan. Dari persatuan ini maka munculnya serikat
para pekerja. Henry Simamora (1999) menyatakan
bahwa “Serikat Pekerja adalah sebuah organisasi yang
berunding bagi karyawan tentang upah-upah, jam-jam
kerja, dan syarat-syarat dan kondisi-kondisi pekerjaan
lainnya”. Dari pengertian tersebut di atas dapat
diketahui bahwa serikat pekerja merupakan organisasi
berunding bagi para pekerja. Dengan kehadiran Serikat
Pekerja para pekerja dapat melakukan negosiasi dengan
pengusaha dalam hal kebijakan perusahaan, sebab
ketika ada serikat pekerja maka menjadi sebuah
kewajiban bagi pengusaha untuk menegosiasikan segala
sesuatu dengan serikat pekerja. Adapun tujuan dari
serikat pekerja adalah memperjuangkan, membela serta
melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta
meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan
keluarganya. Dari berbagai pengertian di atas dapat
disimpulkan bahwa serikat pekerja adalah organisasi
yang didirikan oleh pekerja sebagai wadah untuk
memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan
kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan
kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.
Sifat serikat pekerja menurut Undang-Undang Nomor
21 Tahun 2000 tentang serikat pekerja yang tertuang
dalam Pasal 3

Serikat Pekerja Di Indonesia Dan Polandia 105


Serikat pekerja mempunyai sifat bebas, terbuka,
mandiri, demokratis dan bertanggungjawab. Bebas
berarti dalam melaksanakan hak dan kewajibannya
Serikat pekerja tidak di bawah pengaruh atau tekanan
dari pihak lain. Terbuka berarti serikat pekerja dalam
menerima anggota dan memperjuangkan kepentingan
Serikat Pekerja tidak membedakan aliran politik, agama,
suku bangsa dan jenis kelamin. Mandiri berarti bahwa
serikat pekerja dalam mendirikan, menjalankan dan
mengembangkan organisasinya ditentukan oleh
kekuatan sendiri, tidak dikendalikan oleh pihak lain di
luar organisasi. Demokratis berarti dalam pembentukan
organisasi, pemilihan pengurus, memperjuangkan dan
melaksanakan hak dan kewajiban organisasi dilakukan
sesuai dengan prinsip demokrasi. Bertanggungjawab
berarti dalam mencapai tujuan dan melaksanakan hak
dan kewajibannya serikat pekerja bertanggungjawab
kepada anggota masyarakat.

Peran dan Fungsi Serikat Pekerja


Menurut Sastrohadiwiryo (2003), fungsi utama
serikat pekerja adalah sebagai berikut:
1. Pihak dalam pembuatan perjanjian kerja
bersama dan penyelesaiannya
2. Wakil pekerja dalam lembaga kerjasama di
bidang ketenagakerjaan sesuai dengan
tingkatannya

Serikat Pekerja Di Indonesia Dan Polandia 106


3. Sarana menciptakan hubungan industrial
yang harmonis, dinamis dan berkeadilan
sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku
4. Sarana penyalur aspirasi dalam
memperjuangkan hak dan kepentingan
anggotanya
5. Perencana, pelaksana dan penanggungjawab
pemogokan pekerja/buruh sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku
6. Wakil pekerja dalam memperjuangkan
kepemilikan saham di perusahaan.
Menurut Payaman (2003) Serikat Pekerja
merupakan salah satu sarana dan pelaksana utama
hubungan industrial. Sebagai pelaksana utama
hubungan industrial, Serikat Pekerja mempumyai
peranan dan fungsi berikut ini:
1. Menampung aspirasi dan keluhan pekerja,
baik anggota maupun bukan anggota Serikat
Pekerja yang bersangkutan
2. Menyalurkan aspirasi dan keluhan tersebut
kepada manajemen atau pengusaha baik
secara langsung atau melalui lembaga
Bipartit
3. Mewakili pekerja di lembaga Bipartit
4. Mewakili pekerja di tim perunding untuk
merumuskan perjanjian kerja bersama
5. Mewakili pekerja di lembaga-lembaga
kerjasama ketenagakerjaan sesuai dengan

Serikat Pekerja Di Indonesia Dan Polandia 107


tingkatannya seperti lembaga Tripartit, P4D
dan P4P, dewan keselamatan dan kesehatan
kerja, dewan latihan kerja, dll
6. Memperjuangkan hak dan kepentingan
anggota baik secara langsung kepada
pengusaha maupun melalui lembaga-
lembaga ketenagakerjaan
7. Membantu menyelesaikan perselisihan
industrial
8. Meningkatkan disiplin dan semangat kerja
anggota
9. Aktif mengupayakan menciptakan atau
mewujudkan hubungan industrial yang aman
dan harmonis
10. Menyampaikan saran kepada manajemen
baik untuk penyelesaian keluh kesah pekerja
maupun untuk penyempurnaan system kerja
dan peningkatan produktivitas perusahaan

Pembentukan Serikat Pekerja


Para pekerja bebas membentuk Serikat Pekerja,
karena berserikat merupakan hak pekerja. Dalam
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 Tentang Serikat
Pekerja yang tertuang dalam Pasal 5, setiap
pekerja/buruh berhak membentuk Serikat
Pekerja/Serikat Buruh. Serikat Pekerja dapat dibentuk
oleh sekurang-kurangnya sepuluh orang pekerja. Serikat
Pekerja yang teleh terbentuk harus mencatatkan ke

Serikat Pekerja Di Indonesia Dan Polandia 108


Lembaga yang terkait, kemudian lembaga yang terkait
tersebut memberikan nomor bukti pencatatan.

Hak dan Kewajiban Serikat Pekerja Serikat


Serikat Pekerja yang telah mempunyai nomor
bukti pencatatan berkewajiban (Payaman, 2003)
1. Melindungi dan membela anggota dari
pelanggaran hak-hak dan memperjuangkan
kepentingannya
2. Memperjuangkan peningkatan kesejahteraan
anggota dan keluarganya
3. Mempertanggungjawabkan kegiatan
organisasi kepada aggotanya sesuai dengan
anggaran dasar dan anggaran rumah tangga.

Hal-Hal yang Diperjuangkan Serikat Pekerja


Serikat Pekerja merupakan wadah bagi para
pekerja untuk memperjuangkan kesejahteraannya.
Menurut Taliziduhu Ndraha (1999) pokok persoalan
yang selalu menjadi bahan negosiasi antara kedua belah
pihak yaitu para pekerja dengan pengusaha antara lain:
1. Pengakuan terhadap eksistensi Serikat
Pekerja
2. Keamanan dan perlindungan terhadap
Serikat Pekerja
3. Pemogokan
4. Jam kerja

Serikat Pekerja Di Indonesia Dan Polandia 109


5. Disiplin
6. Keluhan
7. Senioritas
8. Upah
9. Kesehatan dan keselamatan kerja
10. Tunjangan
11. Hak-Hak atasan

2. TOPIK BAHASAN

Negara Polandia
Nama Polandia berasal dari kata Slavia, yang
berarti “lapangan”. Nama ini tepat, karena Polandia
mencakup bagian dari dataran luas yang membentang di
sebagian besar wilayah Eropa tengah timur. Polandia
terletak di antara Jerman di barat, Republik Ceko dan
Slovakia di selatan, dan Rusia, Lithuania, Belarus, dan
Ukraina di timur. Lokasi Polandia yang seperti ini
ditambah kurangnya hambatan alam sangat
mempengaruhi sejarah negara ini. Di sebagian besar
sejarahnya, Polandia berjuang untuk menjadi
independen dari tetangga-tetangganya yang kuat.
Polandia pernah menjadi salah satu kerajaan
terbesar di Eropa. Namun, pada abad-abad selanjutnya,
Polandia sering ditaklukkan dan diduduki oleh negara-
negara lain. Antara akhir tahun 1700 dan awal 1900,

Serikat Pekerja Di Indonesia Dan Polandia 110


Polandia menghilang dari peta Eropa. Wilayahnya telah
dipartisi dibagi antara negara-negara tetangganya.
Selama periode ini, patriotisme menyatukan rakyat
Polandia bersama-sama. Polandia kembali meraih
kemerdekaannya pada tahun 1918, di akhir Perang
Dunia I. Tapi negara ini diserbu oleh tentara Jerman
pada tahun 1939, saat pecah Perang Dunia II. Sebagian
besar Polandia hancur selama pertempuran.

Setelah perang berakhir pada tahun 1945,


Polandia harus membangun kembali negara mereka dari
reruntuhan. Pemerintahan komunis didirikan di Polandia
setelah Perang Dunia II, di bawah arahan Uni Soviet,
yang didukung oleh pasukan Soviet. Komunis memegang
semua kendali kekuasaan sampai tahun 1989, ketika
Polandia pertama kali mengadakan pemilihan umum
yang bebas dan terbuka. Mereka membentuk
pemerintahan yang mereka pilih sendiri.

Sejarah Serikat Pekerja Polandia

Pada hakikatnya kemunculan gerakan anti


komunis di Polandia diakibatkan oleh sistem yang
diterapkan oleh pemerintah komunis yang berkuasa di
Polandia pada masa itu. Latar belakang budaya serta
kehidupan rakyat Polandia tidak sama dengan
kehidupan rakyat Rusia atau negara komunis lain, yang
mana kehidupan rakyat Polandia merupakan kehidupan
yang berbentuk demokratis dan bebas. Oleh karena itu

Serikat Pekerja Di Indonesia Dan Polandia 111


budaya serta kehidupan rakyat yang dahulunya hidup di
dalam kemerdekaan tentunya membentuk jiwa yang
demokratis pula, maka dengan sendirinya segala bentuk
sistem kehidupan Polandia yang berubah menetapkan
posisi kedalam posisi yang terjepit. Hal ini dialami oleh
rakyat Polandia sejak intervensi Negara Uni Soviet ke
Polandia pada tahun 1945 yang memaksa rakyat untuk
masuk kedalam suatu bentuk dan sistem kehidupan
yang sangat lain dari kehidupan sebelumnya dan ini yang
menyebabkan ketakutan rakyat Polandia terhadap
kekejaman militer Uni Soviet pada masa itu.

Perlawanan dan pergolakan serta usaha yang


dilakukan untuk mencoba menyingkirkan sistem otoriter
yang dilaksanakan di Polandia berasal dari kaum
sastrawan dan seniman. Sastrawan dan seniman
mengkritik sistem otoriter yang sangat mendominasi
segala aspek kehidupan rakyat Polandia, namun usaha
memperjuangkan aspirasinya harus dibayar dengan
darah dan bahkan dengan nyawa. Pergolakan politik
yang terjadi tahun 1956, disusul pada tahun 1970
merupakan sebagian rangkaian usaha yang akhirnya
selalu berakhir dengan kegagalan. Kegagalan tersebut
diakibatkan oleh kuatnya cengkraman Negara Uni Soviet
di Polandia serta kegagalan kegiatan yang mengarah
kepada pertentangan terhadap ideologi komunis.

Pergantian kepemimpinan di Polandia sering


terjadi, hal ini disebabkan karena pemimpin yang
berkuasa saat masa itu dianggap lemah dan memiliki
toleransi terhadap kelompok-kelompok yang berusaha

Serikat Pekerja Di Indonesia Dan Polandia 112


menyalurkan aspirasinya melalui berbagai aksi. Pada
tahun 1970, pemimpin Polandia Wladyslaw Gomulka
terpaksa turun dari kursi tertinggi partai komunis
Polandia karena dinilai lemah dalam memberikan
tekanan terhadap penentang sistem komunis, dan dinilai
ragu-ragu serta bahkan mau berkompromi dengan
kelompok penentang, dengan kata lain kelompok
Solidaritas.

Pemogokan dan kekacauan yang terjadi pada


tahun 1970, diawali dengan keputusan pemerintah
untuk menaikkan harga pangan, sandang dan bahan
bakar sehingga membuat rakyat gelisah dan menentang
keputusan pemerintah tersebut. Kekacauan politik
tersebut kemudian menyebabkan turunya Wladyslaw
Gomulka sebagai pemimpin dan pemerintahan
kemudian menggantikannya dengan Edward Gierek.
Perlu untuk diketahui bahwa lahirnya Solidaritas, Serikat
Buruh Bebas adalah sebuah bentukan oleh para buruh
serta pekerja. Lahirnya Solidaritas dan Serikat Buruh
Bebas merupakan kelompok yang berhasil menjatuhkan
kepemimpinan Wladyslaw Gomulka.
Jatuhnya kepemimpinan penguasa Polandia
masa itu karena dinilai tidak mampu untuk mengatasi
situasi yang dilakukan oleh para pekerja yang tergabung
dalam Serikat Buruh Bebas. Seluruh pekerja pelabuhan
ketika masa itu melakukan pemogokan dan melakukan
tuntutan di depan pelabuhan yang tidak dapat
dibendung lagi oleh pemerintah. Dalam aksi inilah
seorang tokoh rakyat Polandia bernama Lech Walesa

Serikat Pekerja Di Indonesia Dan Polandia 113


tampil sebagai pembicara yang menyampaikan
aspirasinya di depan semua pekerja, buruh hingga
petani yang telah berkumpul ditempat tersebut.
Sebelum Lech Walesa datang telah ada seorang pekerja
kapal Erzy Borowzack yang terlebih dahulu melakukan
orasi. Orasi tersebut sekaligus bertujuan untuk
menunjuk sebuah Komite Pemogokan serta orang yang
dapat dipercaya sebagai pemimpinnya, yang akhirnya
menetapkan Lech Walesa lah yang menjadi ketua komite
mogok tersebut.
Setelah hari pemogokan itu, Lech Walesa di
tunjuk dan resmi menjadi ketua komite mogok. Lewat
komite mogok yang telah terbentuk ini Solidaritas
melakukan perjuangan lewat aksi-aksi mogok dan
berjuang menentang pemerintah komunis di Polandia.
Kaum buruh merupakan penggerak dari sekian banyak
aksi-aksi yang terjadi di Polandia. Dari aksi yang
dilakukan inilah terjadi pembaharuan-pembaharuan di
Polandia. Semua kebijakan yang di buat pemerintah
sebagian berhubungan langsung dengan para buruh.
Terutama kebijakan ekonomi, perlu di ketahui bahwa
suatu pabrik tidak bisa beroperasi tanpa buruh dan hal
ini tidak disadari oleh para pemerintah di Polandia.

Serikat Pekerja Di Indonesia Dan Polandia 114


Lahirnya Serikat Pekerja Polandia
Para buruh membentuk suatu Komite
Pemogokan yang berasal dari 24 perusahaan berbeda di
Gdansk maupun di kota-kota besar lainnya seperti
Gdynia. Komite inilah yang nantinya merupakan badan
tunggal kaum buruh yang mewakili untuk perundingan
dengan wakil pemerintah dalam hal menyelesaikan
permasalahan. Komite ini juga yang merupakan
pencetus lahirnya kaum Solidaritas. Dari awalnya hanya
24 buah perusahaan yang berasal dari tiap-tiap
perusahaan, selang beberapa waktu kemudian jumlah
perusahaan terus bertambah hingga seratusan lebih
jumlahnya dan secara bersama-sama menyepakati
membentuk serikat yang di sebut dengan “Komite
Gabungan Pemogokan Antar Perusahaan” (KGPAP) dan
mereka menyepakati Lech Walesa untuk mewakili
mereka dalam perundingan dengan pemerintah komunis
Polandia.
Pada tanggal 31 Agustus 1980 ditandatanganilah
kesepakatan yang memperlihatkan kemenangan berada
di pihak kaum Solidaritas dan momentum tersebut
dijadikan sebagai hari lahirnya Kaum Solidaritas.
Peristiwa ini dikalangan rakyat Polandia disebut dengan
Perjanjian Gdansk. Perjanjian Gdansk adalah sebuah
perjanjian yang berisikan 21 tuntutan pokok kaum buruh
atas pemerintah.

Serikat Pekerja Di Indonesia Dan Polandia 115


Setelah ditetapkannya tanggal 31 Agustus 1980
sebagai hari lahirnya kaum Solidaritas, maka tidak lama
setelah itu utusan-utusan yang mewakili hampir
seperempat kaum buruh Polandia secara resmi pula
mengesah kan anggaran dasar baru bagi gerakan Serikat
Buruh Nasional dan ini untuk pertama kalinya di negara-
negara blok timur serikat buruh tidak diawasi lansung
oleh Partai Komunis. Serikat Buruh yang baru memiliki
dan mempunyai hak otonomi dengan sebutan “Solia
Solidarnosc” yang mempunyai arti “setia kawan” sesuai
dengan dasar perjuangan.
Utusan-utusan komite buruh di Polandia tersebut
berkumpul untuk bersama-sama mengesahkan Piagam
Serikat Buruh Bebas dan selanjudnya membahas
rencana pengelolaan gerakan baru. Setelah itu sekitar 30
sampai 40 utusan yang berangkat ke Warsawa pada
tanggal 25 September 1980 Lech Walesa mengadakan
kunjungan ke pengadilan Warsawa untuk mendaftarkan
organisasi tersebut sebagai suatu Serikat Buruh yang
otonomi.

Sejarah Serikat Pekerja Indonesia


Perjalanan sejarah serikat pekerja/serikat buruh
di Indonesia telah dimulai sejak akhir abad ke-18.
Beberapa peristiwa penting dalam sejarah termasuk
perjuangan dalam membebaskan nusantara dari tangan
kolonial diprakarsai, dikordinir dan digerakan oleh
serikat pekerja/serikatb uruh. Hingga saat ini catatan

Serikat Pekerja Di Indonesia Dan Polandia 116


sejarah perjalanan serikat pekerja/serikat buruh di
Indonesia masih berlanjut. Berikut catatan singkat
perjalanan serikat pekerja/serikat buruh di Indonesia
dari tahun ke tahun sebagai berikut :
Tahun 1878
Muncul serikat buruh guru Bahasa Belanda yang
dipengaruhi oleh pergerakan sosial demokrat di
Belanda.Pada masa itu serikat buruh tampil sebagai
organisasi golongan yang hanya menampung kulit putih.
Tahun 1879 : Lahir Nederland Indische Onderwys
Genootschap (NIOG), Serikat Pekerja Guru Belanda.
Tahun 1905 : Lahir Serikat Pekerja Pos (Pos Bond).
Tahun 1906 : Lahir Serikat Pekerja Perkebunan (Cultuur
Bond) dan Serikat Pekerja Gula (Zuiker Bond).
Tahun 1907 : Lahir Serikat Pegawai Pemerintah.
Tahun 1908 : Lahir Vereniging Spoor-Traam Personeel
(VSTP)

Tahun 1909
Pada 26 September di kalangan Tionghoa di Jakarta
dibentuk Tiong Hoa Sim Gie dipimpin oleh Lie Yan Hoei.
Empat bulan kemudian kelompok ini merubah nama
menjadi Tiong Hoa Keng Kie Hwee yang kemudian
menjadi inti dari Federasi Kaoem Boeroeh Tionghoa.

Serikat Pekerja Di Indonesia Dan Polandia 117


Tahun 1911 : Lahir Perkumpulan Bumi Putra Pabean
(PBPP).
Tahun 1912
Lahir Sarekat Dagang Islam (SDI) yang bergerak di bidang
perekonomian dan perdagangan, Serikat Islam sebagai
serikat buruh kaum pribumi dan Persatuan Guru Bantu
(PGB).
Tahun 1913 : Lahir Serikat Pekerja Kereta Api (Spoor
Bond).
Tahun 1914 : Lahir Persatuan Pegawai Pegadaian
Bumiputra (PPPB).
Tahun 1915 : Lahir Serikat Pekerja Perusahaan Swasta
(Partikulir) / (SPPP).
Tahun 1916 : Lahir Serikat Pekerja Opium Regie Bond
(ORB).
Tahun 1917 : Lahir Serikat Pekerja Pabrik Gula.
Tahun 1918
Pada bulan Agustus lahir PFB (Personeel Fabriek Bond)
yang beranggotakan buruh tetap, Perkumpulan Tani dan
koperasi yang kemudian lazim disebut sebagai Sarekat
Tani dengan anggota kuli kenceng atau pemilik tanah
yang disewa pabrik, serta Perserikatan Kaum Buruh
Umum (PKBO) yang beranggotakan buruh musiman.
Ketiga perhimpunan itu diketuai Suryopranoto yang juga
menyebut dirinya sebagai komandan Tentara Buruh
Adidarmo.

Serikat Pekerja Di Indonesia Dan Polandia 118


Tahun 1919 : Lahir Persatuan Pergerakan Kaum Buruh
(PPKB) dipimpin oleh Semaoen.

Tahun 1920
Pemogokan buruh terjadi pada 72 pabrik gula di seluruh
Jawa. Dari jumlah itu 28 pemogokan terjadi pada masa
sebelum dan sesudah giling yang meliputi 4.700 pekerja;
sedangkan pemogokan yang lain terjadi dalam masa
giling (dari bulan Mei sampai Oktober) dengan
pemogokan terdiri dari 20.716 orang. Pemogokan yang
terjadi di luar musim giling biasanya terpaksa dilakukan
sebagai reaksi tindakan pengusaha yang dianggap tidak
adil dan sewenang-wenang. Dari jumlah 4.700 pemogok
sebagian besar terdiri dari tukang yang berperan penting
dalam menjalankan proses produksi di pabrik gula.
Pemogokan dalam musim giling biasanya dilakukan atas
inisiatif buruh karena motif-motif ekonomis. Gerakan
telah dipersiapkan sehingga meskipun pemogok yang
terdiri dari buruh tetap hanya mencapai 1.997 orang
tetapi mereka mampu memimpin sejumlah besar buruh
musiman (7.584 orang) dan buruh tidak tetap sekitar
pabrik (11.135 orang).
Tahun 1920
Para pekerja anggota Personeel Fabrik Bond (PFB)
mogok kerja, menuntut majikan supaya mau mengakui
keberadaan Serikat Pekerja mereka.

Serikat Pekerja Di Indonesia Dan Polandia 119


Tahun 1921
Harga gula, komoditas andalan Belanda di tanah
jajahannya jatuh di pasaran dunia.Pemodal Belanda
yang mengalami kerugian cukup besar terpaksa harus
menekan ongkos produksi secara besar-besaran,
diantaranya adalah dengan memangkas upah
buruh.Buruknya kondisi kerja waktu itu memicu
pergolakan aksi buruh. Pemerintah mengaktifkan kantor
Pengawasan Perburuhan yang berada dibawah
Departemen Kehakiman. Ia punya bagian yang secara
terpusat mengawasi pergerakan serikat buruh dan
mengamati kebutuhan dikeluarkannya peraturan hukum
baru menyangkut perburuhan.

Tahun 1922
Para pekerja pelabuhan Surabaya melancarkan aksi
mogok kerja, menuntut perbaikan nasib. PPKB dan
Revolutionaire Vakcentrale berhasil membangun aliansi
yang bernama PVH (Persatuan Vakbond Hindia).
Tahun 1923
Pegawai Kereta Api mogok kerja.Tuntutan mereka kala
itu kurang berhasil.Pemerintah kolonial melarang
adanya aksi mogok kerja, yang dilakukan kaum pekerja
dan segera dikeluarkan Undang-Undang tentang
larangan mogok kerja (artikel 161 bis Buku Hukum
Pidana) tanggal 10 Mei 1923. Serikat Pekerja Kereta Api
dan Trem-Vereniging van Spoor en Trem Personeel

Serikat Pekerja Di Indonesia Dan Polandia 120


(VSTP) menjadi anggota Gabungan Serikat Pekerja
International yaitu International Federation of Trade
Union (IFTU) yang bermarkas besar di Moskow Rusia.
Revolutionaire Vakcentrale membangun hubungan
dengan Profintern (Red International Labour Union) dan
menjadi anggotanya.
Tahun 1924
Pada bulan Juni Serikat Pekerja Indonesia bersama-sama
Serikat Pekerja Filipina, India, Jepang dan Tiongkok di
undang untuk menghadiri Konferensi Serikat Pekerja
Angkutan Laut di Kanton. Dengan demikian keberadaan
dan kehidupan Serikat Pekerja di samping Iebih erat
menjalin hubungan kerja sama dengan Serikat-Serikat
Pekerja Internasional, juga lebih memperkuat posisi.
Tahun 1926
PVH (Persatuan Vakbond Hindia) berakhir akibat dari
kegagalan aksi politik PKI yang disusul penangkapan
besar-besaran terhadap aktivis RV.
Tahun 1930
Serikat Kaum Buruh Indonesia (SKBI) dibubarkan oleh
pemerintah kolonial, dicurigai turut aktif dalam kegiatan
perjuangan kebangsaan.

Tahun 1932
Lahir dua organisasi Serikat Pekerja, yaitu Persatuan
Vakbonden Pegawai Negeri (PVPN) dan Persatuan

Serikat Pekerja Di Indonesia Dan Polandia 121


Serikat Pekerja Indonesia (PSPI), yang didirikan oleh dr.
Soetomo.
Tahun 1937
Direktur Intemasional Labour Organization (ILO), Harold
B. Butle berkunjung ke Indonesia pada bulan Oktober
untuk memperoleh informasi tentang perkembangan
kehidupan perburuhan di Indonesia yang akan dijadikan
bahan laporan dalam Konfrensi ILO.
Tahun 1938
Lahir gerakan politik yang bekerja sama dengan gerakan
serikat pekerja untuk bersama-sama melindungi dan
membebaskan hak-hak dan kepentingan pekerja,
memberantas pengangguran, mengantisipasi tantangan
industrialisasi yang menggusur lapangan usaha kerajinan
rakyat.
Tahun 1940
Pemerintah kolonial mengeluarkan Ordonansi Regeling
Arberdsverhouding (ORA), suatu peraturan yang
mengatur tentang jaminan dan perlindungan kaum
pekerja di perusahaan-perusahan swasta (partikelir).
Tahun 1945
Pada 15 September lahir sebuah organisasi masa buruh
yang bernama BBI (Barisan Buruh Indonesia). BBI
mengutamakan barisan buruh untuk memudahkan
mobilisasi oleh serikat sekerja dan Partai Buruh.Dalam
kongresnya pada bulan September 1945 yang dihadiri

Serikat Pekerja Di Indonesia Dan Polandia 122


oleh kaum buruh dan tani, tercetuslah Partai Buruh
Indonesia.BBI juga sepakat untuk menuntaskan revolusi
nasional.Untuk mempertahankan tanah air dari
serangan musuh, BBI membentuk Laskar Buruh
bersenjata di pabrik-pabrik.Untuk kaum perempuan
dibentuk Barisan Buruh Wanita (BBW).
Tahun 1946
BBI dilebur menjadi GASBI (Gabungan Serikat Buruh
Indonesia).Serikat buruh yang tidak sepakat dengan
struktur GASBI keluar dan membentuk GASBV
(Gabungan Serikat Buruh Vertikal). Tetapi pada bulan
November, tahun yang sama, atas usaha Alimin dan
Harjono, GASBI dan GASBV berhasil dilebur menjadi
SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia).
Tahun 1948
SOBSI sempat mengalami perpecahan akibat perbedaan
sikap dalam menanggapi perjanjian Renville.Tetapi tidak
lama kemudian SOBSI berhasil kembali
mengkonsolidasikan pecahan-pecahannya.Bahkan
dalam pernyataan politiknya tahun 1948, SOBSI
kemudian menegaskan menolak perjanjian
Renville.SOBSI kemudian menyatakan keluar dari HISSBI
(Himpunan Serikat-serikat buruh Indonesia) karena
perbedaan garis politik.
Tahun 1957
Soekarno mengeluarkan dua konsepsi mengenai kabinet
karya dan dewan nasional.Kabinet karya ini adalah

Serikat Pekerja Di Indonesia Dan Polandia 123


kabinet eksekutif yang menampung orang-orang di
parlemen dan partai politik.Buruh sebagai golongan
fungsional mendapatkan tempat di Dewan Perancang
Nasional. Anggota Dewan ini 77 orang, dan dari 77 itu
ada lima wakil angkatan buruh/pegawai yaitu dari SOBSI,
SOBRI,RKS dan dua orang dari KBKI. Sementara di Dewan
Pertimbangan Agung, duduk dua orang wakil dari buruh
yaitu dari SOBSI dan KBKI.
Tahun 1973
Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) didirikan
sebagai satu-satunya serikat buruh yang diakui
pemerintah.
Tahun 1990
Pada bulan November serikat buruh independen
pertama dibentuk dengan nama Serikat Buruh Merdeka
Setia Kawan (SBM-SK) di bawah kepemimpinan HJC.
Princen.Karena adanya konflik internal dan tekanan
pemerintah, serikat ini berhenti beraktivitas.
Tahun 1992
Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) didirikan pada
25 April oleh sekelompok aktivis pro-demokrasi yang
mengadakan “pertemuan buruh nasional” di Cipayung,
Jawa Barat.Hadir sekitar 100 buruh dari 18 propinsi.SBSI
mendapat dukungan dari Abdurrahman Wahid (NU),
Sabam Sirait (PDI) dan Asmara Nababan. Mochtar
Pakpahan, seorang lawyer buruh dari Medan menjadi
Sekjen SBSI.

Serikat Pekerja Di Indonesia Dan Polandia 124


Tahun 1993
Pada 14 Juni, 7 buruh pabrik udang, PT. Tambaksari
Jalmorejo di Medan di-PHK karena menjadi anggota
SBSI.Kongres SBSI yang sedianya diselenggarakan pada
29 Juli tidak mendapat ijin pemerintah.
Tahun 1994
Konfederasi Serikat Pekerja Bebas Internasional
mengajukan pengaduan resmi terhadap Indonesia ke
Organisasi Buruh Internasional, ILO.Mereka menuduh
pemerintah menolak hak pekerja untuk membentuk
serikat pekerja atas pilihan mereka sendiri, mengganggu
organisasi pekerja independen, dan melakukan tindakan
yang bertentangan dengan standar ILO mengenai
kebebasan berserikat dan hak untuk tawar-menawar
kolektif.
Serikat buruh independen ketiga, Pusat Perjuangan
Buruh Indonesia (PPBI), lahir pada bulan Oktober.
Permohonan Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI)
untuk didaftar sebagai serikat pekerja kembali ditolak
pada bulan November.Departemen Tenaga Kerja juga
menghalangi niat SBSI untuk mendaftar pada
Departemen Dalam Negeri sebagai organisasi sosial di
bawah Undang-undang Keormasan.Pemerintah
menganggap SBSI tidak sah.

Serikat Pekerja Di Indonesia Dan Polandia 125


Tahun 1995
Struktur Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI),
dengan 13 federasi serikat pekerja sektoralnya berubah
dari kesatuan (sentralisasi) menjadi federasi
(desentralisasi) dengan nama Federasi Serikat Pekerja
Seluruh Indonesia (FSPSI). Ke-13 sektor industrinya
didaftar sebagai serikat pekerja nasional yang terpisah;
SPSI merupakan satu-satunya federasi serikat pekerja
yang diakui oleh Departemen Tenaga Kerja. Menteri
Tenaga Kerja menyatakan bahwa serikat pekerja yang
dibentuk harus berafiliasi dengan SPSI, dan bahwa
pemerintah tidak akan mengakui setiap serikat pekerja
di luar federasi.
Tahun 1996
PPBI membantu mengorganisasi demo buruh pada bulan
Juli di Surabaya. Dengan partisipasi sekira 15.000 buruh
dari 10 pabrik, demo ini barangkali merupakan
demonstrasi terbesar di masa Orde Baru.
Tahun 1998
Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) diakui oleh
pemerintah. Ketuanya, Mochtar Pakpahan, dibebaskan
pada bulan Mei setelah beberapa tahun mendekam di
penjara.
Tahun 2000

Serikat Pekerja Di Indonesia Dan Polandia 126


Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat
Pekerja/Serikat Buruh disahkan di Jakarta pada 4
Agustus oleh Presiden Abdurrahman Wahid.
Tahun 2003
Kongres Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) yang
merupakan gabungan dari 12 organisasi serikat pekerja
melaksanakan kongres pendirian pada bulan Januari di
Jakarta.
Tahun 2004
Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) yang bertujuan
untuk memperjuangkan aspirasi Buruh Migran Indonesia
di tingkat nasioanal maupun internasional dideklarasikan
di Semarang pada tanggal 10 Juli.Konfederasi Serikat
Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) Sumatera Utara
mendapat kehormatan menjadi tuan rumah kongres
World Federation of Clerical Workers (WFCW) pada 1-4
November. WFCW beranggotakan 70 negara Asia,
Afrika, Eropa dan Amerika, merupakan federasi dari
World Confederation of Labour (WCL), organisasi buruh
dunia yang terkuat.

Serikat Pekerja Di Indonesia Dan Polandia 127


5. KESIMPULAN
Serikat pekerja muncul atas dari ketidakadilan
sang pemilik usaha maupun sistem yang ditetapkan oleh
pemerintah karena dianggap melanggar hak-hak sebagai
pekerja. Serikat pekerja yaitu organisasi yang dibentuk
dari, oleh ,dan untuk pekerja atau buruh baik di
perusahaan maupun diluar perusahan, yang bersifat
bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung
jawab guna memperjuangkan, membela serta
melindungi hak dan kepentingan pekerja atau buruh
serta meningkatkan kesejahteraan pekerja atau buruh
dan keluargannya. Bukan hanya memperjuangkan serta
melindungi hak para pekerja saja, serikat pekerja juga
berfungsi sebagai jembatan antara perusahaan dan
pekerja, serta tugas serikat pekerja juga menjaga
hubungan yang baik antara serikat pekerja dengan
perusahaan atau antara pekerja dengan perusahaan.
Maka dari itu, dengan adanya serikat pekerja, dapat
membantu pekerja untuk mendapatkan haknya
sehingga kesejahteraan pekerja dan keluarganya pun
terjamin. Bukan hanya pekerja saja yang mendapatkan
kesejahteraan, dan kelangsungan perusahaanpun dapat
diperoleh dengan adanya semangat kerja, dan
produktivitas tinggi dari pekerja.

Serikat Pekerja Di Indonesia Dan Polandia 128


6. DAFTAR PUSTAKA

Husni, Lalu. 2003. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan


Indonesia. Jakarta: Rajawali Press.
Prints. Darwan. 2002. Hukum Ketenagakerjaan
Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti
Sastrohadiwiryo. Siswanto 2003. Manajemen Tenaga
Kerja Indonesia. Pendekatan
Administrasi Dan Operasional. Jakarta: Bumi
Aksara.
Simamora, Henry. 1999. Manajemen sumber Daya
Manusia. Yogyakarta: Bagian
Penerbitan STIE YKPN
Simanjuntak, Payaman. 2003. Manajemen Hubungan
Industrial. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.
Undang-Undang Nomor. 21 Tahun 2000
Undang-Undang Nomor. 13 Tahun 2003
http://www.hubunganindustri.com/2016/10/28/sejarah
-perkembangan-serikat-buruh-di-indonesia/
Be´la Greskovits. 2015. Ten years of enlargement and
the forces of labour in Central and Eastern Europe. Vol.

Serikat Pekerja Di Indonesia Dan Polandia 129


21(3) 269–284 ª The Author(s) 2015 Reprints and
permission: sagepub.co.uk/journalsPermissions.nav DOI:
10.1177/1024258915585932 trs.sagepub.com
Michał Pilc. 2015. The temporary employed in Poland:
Beneficiaries or victims of the liberal labour market.
Economic and Industrial Democracy 1 –25 © The
Author(s) 2015 Reprints and permissions:
sagepub.co.uk/journalsPermissions.nav DOI:
10.1177/0143831X15574113 eid.sagepub.com
Michał Polakowski & Dorota Szelewa. 2016. Poland in
the migration chain: Causes and consequences. 1–12 ª
The Author(s) 2016 Reprints and permission:
sagepub.co.uk/journalsPermissions.nav DOI:
10.1177/1024258916636581 trs.sagepub.com
Kari Tapiola. 2015. Trade union development in the
CEECs. International Affairs Director, Central
Organisation of Finnish Trade Unions SAK.
trs.sagepub.com at MOUNT ALLISON UNIV on June 21,
2015.

Serikat Pekerja Di Indonesia Dan Polandia 130


BAB V
PERBANDINGAN SPIRITUALITAS DI TEMPAT KERJA DAN
EFEKTIVITAS ORGANISASI DI INDIA DAN DI INDONESIA

1. LATAR BELAKANG

Tanpa adanya sumber daya manusia yang efektif,


mustahil bagi organisasi untuk menghampiri tujuannya.
Sumber daya manusia yang berkualitas sangat
diperlukan dalam menghadapi kondisi sekarang ini.
Untuk menghadapi persaingan yang semakin berat,
perusahaan-perusahaan di Indonesia mulai
mengembangkan spiritualitas dalam manajemennya.
Saat ini, baik pimpinan dan pemilik perusahaan, maupun
karyawan semakin sadar akan pentingnya kebutuhan
spiritual. Sehubungan dengan karyawan, disadari bahwa
kepuasan dan kepenuhan hidup yang terus diupayakan
oleh perusahaan dengan cara memenuhi kebutuhan-
kebutuhan psikologis dan spiritualnya, dapat
menciptakan atmosfer yang kondusif bagi karyawan
untuk bekerja sebaik mungkin.
Perusahaan yang ingin berhasil harus berupaya sebaik-
baiknya untuk memenuhi kebutuhan spiritualnya (Bagir,
2003).

Perbandingan Spiritualitas Di Tempat Kerja Dan Efektivitas 131


Organisasi Di India Dan Di Indonesia
Peningkatan mutu kerja salah satunya dilakukan dengan
meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Sumber
daya manusia dalam perusahaan merupakan aspek
penting yang menentukan keefektifan dan keberhasilan
suatu perusahaan. Perusahaan yang lengkap dengan
sarana dan prasarana tidak akan berarti tanpa adanya
manusia sebagai pengelola dan pembuat gagasan.
Menurut Simamora (2004), aset organisasi paling
penting yang harus dimiliki oleh perusahaan dan sangat
diperhatikan oleh manajemen adalah aset manusia.

Spiritualitas kerja adalah membangun lain yang telah


dipertimbangkan dalam penelitian ini karena pentingnya
peningkatan kinerja organisasi (Giacalone dan
Jurkiewicz, 2010). Meskipun sulit untuk mendefinisikan
konstruk ini secara konkret karena sifat abstrak, sarjana
dan peneliti telah berusaha untuk mendefinisikan dari
berbagai perspektif. Misalnya, Ashmos dan Duchon
(2000) berpendapat bahwa 'tempat kerja dapat
dianggap spiritual ketika mengakui bahwa karyawan
memiliki kehidupan batin yang memelihara dan
dipelihara oleh pekerjaan yang berarti yang terjadi
dalam konteks masyarakat. Pawar (2009), di sisi lain,
telah disebut 'spiritualitas sebagai karyawan
pengalaman di tempat kerja yang mencakup beberapa
aspek yang luar biasa seperti rasa makna, masyarakat
dan transendensi'. Selanjutnya, Giacalone dan Jurkiewicz

Perbandingan Spiritualitas Di Tempat Kerja Dan Efektivitas 132


Organisasi Di India Dan Di Indonesia
(2003) 'spiritualitas sebagai kerangka nilai-nilai
organisasi dibuktikan dalam budaya yang
mempromosikan karyawan lihat pengalaman
transendensi melalui proses kerja, memfasilitasi rasa
yang terhubung ke orang lain dengan cara yang
memberikan perasaan kelengkapan dan kegembiraan'.
Definisi tersebut menetapkan fakta bahwa lebih atau
kurang tempat kerja.

Pawar (2009), on the other hand, has been called


'spirituality as an employee of work experience that
includes some extraordinary aspects such as sense of
meaning, community and transcendence'. Furthermore,
Giacalone and Jurkiewicz (2003) 'spirituality as a
framework of organizational values is evidenced in a
culture that promotes employees see transcendence
experience through work processes, facilitating a sense
of being connected to others in a way that gives a
feeling of completeness and joy'. The definition
establishes the fact that more or less workplace

Spiritualitas meliputi budaya dan nilai-nilai organisasi.


Namun, beberapa penelitian sinkronis telah ditetapkan
spiritualitas tempat kerja dengan perspektif psikologi
positif. Misalnya, Sengupta (2010) mendefinisikan
spiritualitas sebagai kekuatan psikologis yang
menciptakan energi positif dan sikap positif terhadap

Perbandingan Spiritualitas Di Tempat Kerja Dan Efektivitas 133


Organisasi Di India Dan Di Indonesia
orang lain dan diri sendiri. Dalam studi terbaru yang lain,
Tombaugh et al. (2011) telah mendefinisikan spiritualitas
sebagai dampak dari spiritualitas pribadi pada keyakinan
sehari-hari, perilaku dan interaksi karyawan. Terlepas
dari beberapa definisi, masalah lain yang berkaitan
dengan spiritualitas di tempat kerja adalah perbedaan
antara spiritualitas dan agama, yang telah diamati oleh
beberapa peneliti. Misalnya, Krisnakumar dan Leher
(2002) berpendapat bahwa spiritualitas adalah konsep
atau prinsip yang berasal dari dunia tak terduga dan luar
biasa dari realitas psikologis individu dan melampaui
peraturan yang telah ditetapkan agama. Selanjutnya,
juga telah melihat bahwa agama adalah masyarakat
terfokus, diamati, objektif, ortodoks terukur dan
terorganisir sementara spiritualitas individualistik,
subjektif, kurang terukur, kurang ortodoks dan kurang
sistematis (Hill dan Smith, 2010, p.174)

Efektivitas Manajerial

Efektivitas manajerial selalu menjadi perhatian utama


dan motto dari pemilik bisnis (Shukla dan Mishra, 2010).
Menyadari fakta ini, peneliti manajemen selalu berusaha
untuk menyelidiki faktor yang memainkan peran penting
dalam menentukan efektivitas manajerial. Beberapa
faktor tersebut adalah kepribadian (Barrick dan Mount,
1991; Kumar et al, 2008;. Rastogi dan Dave, 2004),

Perbandingan Spiritualitas Di Tempat Kerja Dan Efektivitas 134


Organisasi Di India Dan Di Indonesia
budaya (Pathak et al, 2009;. Smith dan Schwartz, 1997;
Vallabh, 2010) dan pengembangan sumber daya
manusia praktek (Narayan dan Rangnekar, 2008;
Ravichandran, 2011).

Muniapan dan Satpathy (2010) telah menunjukkan


relevansi spiritualitas dari perspektif epik India Valmiki
Ramayana dalam mengembangkan efektivitas
manajerial. Hal ini menunjukkan potensi pentingnya
spiritualitas di tempat kerja sebagai pendorong utama
efektivitas manajerial; Namun, untuk yang terbaik dari
pengetahuan kita, ada kelangkaan studi empiris yang
menguji hubungan antara spiritualitas di tempat kerja
dan efektivitas manajerial, terutama, dalam konteks
India. spiritualitas di tempat kerja juga telah diamati
sebagai penentu utama kinerja organisasi dan
kepemimpinan. Dalam sebuah studi eksplorasi enam
unit kerja dalam suatu sistem kesehatan yang besar,
Duchon dan Plowman (2005) telah menemukan
hubungan yang positif dan signifikan antara spiritualitas
di tempat kerja dan kinerja unit kerja. Dalam studi
terbaru yang lain, Abdullah et al. (2009) telah meneliti
hubungan positif antara spiritualitas di tempat kerja dan
efektivitas kepemimpinan di antara kepala sekolah
menengah di Malaysia. Selain itu, Kolodinsky et al.
(2008) telah meneliti efek dari spiritualitas pada hasil
sikap dan lampiran tempat kerja. Mereka telah

Perbandingan Spiritualitas Di Tempat Kerja Dan Efektivitas 135


Organisasi Di India Dan Di Indonesia
menemukan bahwa spiritualitas yang positif berkaitan
dengan keterlibatan kerja, identifikasi organisasi dan
kepuasan kerja. Para peneliti juga telah melaporkan
hubungan positif antara spiritualitas di tempat kerja dan
variabel organisasi seperti sikap karyawan (Crawford et
al, 2009;.. Milliman et al, 2003) (. Crawford et al, 2009),
harga diri, komitmen organisasi (Malik dan Naeem,
2011; Nasina dan Doris, 2011; Usman dan Denmark,
2010), kualitas hidup dan karyawan dengan baik menjadi
(Karakas, 2010), dan kepuasan kerja (Noor dan Arif,
2011)

Merebaknya spiritualitas dalam pekerjaan di Indonesia


juga ditegaskan sebagai dampak dari perkembangannya
di Barat (Mulawarman, 2008). Terdapat lima alasan
tumbuhnya ketertarikan perusahaan-perusahaan di
Amerika dalam mengembangkan spiritualitas di tempat
kerja, yaitu: (1) meningkatnya tekanan terhadap
persaingan global mengharuskan pemimpin suatu
organisasi menyadari akan pentingnya menumbuhkan
kreativitas para karyawannya, (2) terjadinya downsizing,
reengineering dan pemberhentian karyawan yang
mengakibatkan karyawan menjadi kehilangan semangat
di lingkungan kerja, (3) fakta bahwa tempat kerja
berkembang menjadi komunitas utama bagi manusia,
(4) meningkatnya akses dan keingintahuan akan filosofi
timur, dan (5) pengembangan minat terhadap makna

Perbandingan Spiritualitas Di Tempat Kerja Dan Efektivitas 136


Organisasi Di India Dan Di Indonesia
kehidupan kontemplatif (Marques dkk, 2005).
Spiritualitas adalah suatu keadaan atau pengalaman
yang dapat memberikan arah atau makna bagi individu
atau memberikan perasaan memahami, semangat,
keutuhan dalam diri atau perasaan terhubung. Perasaan
terhubung ini dapat dengan diri sendiri, orang lain, alam,
jagad raya, Tuhan atau kekuatan supranatural lainnya
(International Center for Spirit at Work [ICSW] dalam
Wikipedia, 2007).

Spiritualitas menurut Judith A Neal dalam jurnal nya


tentang Spiritual Perspectives On Individual,
Organizational And Societal Transformation mengatakan
bahwa “Spirit wasnot atthe core ofany oftheir change
theory, and none oftheir case studies was related to
spirituality per se. Yet a marvelous if puzzling finding was
revealed through qualitative analysis of nearly a dozen
specific examples of organizational transformation.”
(Neal, 1999 p179), selain itu juga Dunde Ashmos dan
Dennis Dunchon dalam jurnal nya yang berjudul
Spirituality at work, conceptual and measurement
mengatakan bahwa “after recognizing a spiritual
element in employees, the expression of spirituality at
work requires accepting tat employees want to be
involved in work that gives meaning to their lives”
(Dunchon, 2000, p 134)

Perbandingan Spiritualitas Di Tempat Kerja Dan Efektivitas 137


Organisasi Di India Dan Di Indonesia
Studi tersebut di atas jelas menunjukkan potensi
pentingnya spiritualitas tempat kerja di antara para
peneliti manajemen, dan masih telah menerima terbatas
empiris, perhatian (Geh dan Tan, 2009). Oleh karena itu,
penelitian ini merupakan upaya untuk mengisi
kekosongan dan tidak adanya, yang terletak di suatu
tempat di penelitian sebelumnya dengan menjelajahi
hubungan antara spiritualitas di tempat kerja dan
efektivitas manajerial dalam sampel manajer India
dengan tujuan dan hipotesis berikut.

2. TOPIK BAHASAN

Spiritualitas dalam pekerjaan didefinisikan sebagai


kerangka kerja dari nilai-nilai budaya organisasi yang
mendorong pengalaman transenden para karyawan
melalui proses bekerja, memfasilitasi perasaan
terhubung mereka dengan orang lain sekaligus
memberikan mereka perasaan lengkap dan bahagia
(Giacalone & Jurkiewicz, 2005). Neck dan Milliman
(dalam Litzsey, 2003) mengemukakan bahwa
spiritualitas dalam pekerjaan adalah tentang
mengekspresikan keinginan diri untuk mencari makna
dan tujuan dalam hidup dan merupakan sebuah proses
menghidupkan satuan set nilai-nilai pribadi yang sangat
dipegang oleh seseorang. Berdasarkan definisi dari
Giacalone dan Jurkiewicz (dalam Paloutzian & Park,

Perbandingan Spiritualitas Di Tempat Kerja Dan Efektivitas 138


Organisasi Di India Dan Di Indonesia
2005) di atas, terdapat empat komponen dalam
spiritualitas dalam pekerjaan. Pertama, nilai- nilai
individu, meliputi kebajikan, generativitas,
perikemanusiaan, integritas, keadilan, mutualitas,
penerimaan, rasa hormat, tanggung jawab, dan
kepercayaan. Kedua, pengalaman transenden, yaitu
mengenai bagaimana individu merasa melakukan
perubahan melalui pelayanan terhadap orang lain, dan
dengan melakukannya individu tersebut merasakan
makna dan tujuan dalam hidupnya. Ketiga, rasa
terhubung, meliputi perasaan dipahami dan dihargai
yang didapatkan melalui interaksi sosial dan juga melalui
keanggotaan. Keempat, perasaan terlengkapi dan
bahagia, individu merasa bahwa pekerjaannya dapat
membuatnya merasa terhubung dengan sesuatu yang
lebih besar dan sesuatu yang penting bagi kehidupan
pribadinya dan juga membawa kebahagiaan bagi dirinya.
Umumnya, efektivitas manajerial dianggap sebagai
masalah inti dalam bidang manajemen. Penelitian ini
bertujuan untuk mengatasi masalah ini dengan
menjelajahi hubungan antara spiritualitas di tempat
kerja dan efektivitas manajerial dalam sampel manajer
India. Hasil tersebut mengungkapkan fakta bahwa
spiritualitas di tempat kerja dapat diakui sebagai
prediktor efektivitas manajerial dalam sampel manajer
India. Selain itu, studi ini juga menyoroti peran
pekerjaan yang berarti, rasa kebersamaan dan

Perbandingan Spiritualitas Di Tempat Kerja Dan Efektivitas 139


Organisasi Di India Dan Di Indonesia
keselarasan nilai-nilai sebagai faktor penting untuk
menentukan efektivitas manajerial. Oleh karena itu,
disarankan agar para pemimpin organisasi harus
mencoba untuk menyuntikkan spiritualitas dalam visi
organisasi, misi dan kebijakan sedemikian rupa bahwa
manajer dapat mewujudkan arti sebenarnya dalam
pekerjaan mereka, pengalaman komunitas perasaan dan
menyelaraskan nilai-nilai pribadi mereka dengan nilai-
nilai organisasi, yang pada gilirannya akan
mengakibatkan kinerja manajerial yang lebih baik.
Selanjutnya, terlepas dari temuan yang unik, penelitian
ini memiliki keterbatasan tertentu yang harus diakui.
Dalam hal ini, perbandingan antara spiritualitas dalam
organisasi di India dan Indonesia
India Indonesia
Mempunyai akar budaya Budaya yang kental
yang kuat
Mempunyai nilai yang kuat Nilai dan prinsip yang kuat

Spiritualitas dalam pekerjaan adalah tentang


mengekspresikan keinginan diri untuk mencari makna
dan tujuan dalam hidup dan merupakan sebuah proses
menghidupkan serangkaian nilai-nilai pribadi yang
sangat dipegang oleh seorang karyawan. Spiritualitas
dalam pekerjaan bukan mengenai membawa agama ke
dalam pekerjaan, namun mengenai kemampuan

Perbandingan Spiritualitas Di Tempat Kerja Dan Efektivitas 140


Organisasi Di India Dan Di Indonesia
menghadirkan keseluruhan diri karyawan untuk bekerja.
Spiritualitas dalam pekerjaan merupakan aspek penting
bagi perusahaan untuk dapat bersaing di masa sekarang
ini. Spiritualitas dapat membuat karyawan lebih efektif
dalam bekerja, karena karyawan yang melihat pekerjaan
mereka sebagai alat untuk meningkatkan spiritualitas
akan menunjukkan usaha yang lebih besar dibanding
karyawan yang melihat pekerjaannya hanya sebagai alat
untuk memperoleh uang. Kegunaan spiritualitas dapat
dilihat dalam pengaruh etika positif sehingga
menciptakan keefektifan dan efisiensi dalam organisasi
sehingga dapat meningkatkan daya saing perusahaan di
tingkat global

3. KESIMPULAN

. Dari pemaparan di atas, dapat ditarik beberapa


kesimpulan mengenai spiritualitas dalam organisasi
bisnis.
 Yang pertama, konsep spiritualitas memiliki
perbedaan dengan konsep agama, meskipun
keduanya memiliki keterkaitan yang sangat erat.
Konsep spiritualitas bersifat lebih personal dan
universal sehingga dapat secara luas diadopsi dalam
organisasi bisnis yang memiliki keberagaman latar
belakang karyawannya, bahkan memiliki keterkaitan

Perbandingan Spiritualitas Di Tempat Kerja Dan Efektivitas 141


Organisasi Di India Dan Di Indonesia
yang erat dengan berbagai konsep manajemen
organisasi modern dan kepemimpinan.
 Yang kedua, spiritualitas dalam organisasi bisnis
berdasarkan berbagai kajian dan penelitian
memberikan sejumlah peranan positif dalam
peningkatan kinerja karyawan dan organisasi apabila
diterapkan dengan baik dan sesuai.
 Yang ketiga, penerapan spiritualitas dalam
organisasi bisnis dapat menyentuh pada level
individual, level unit kerja, level kepemimpinan, dan
level organisasi secara keseluruhan. Disarankan
penerapan spiritualitas ini dilakukan dalam level
organisasi sehingga terbentuk budaya organisasi
yang mendukung spiritualitas dan menghasilkan
perubahan dan perkembangan organisasi ke arah
yang lebih baik.

4. SARAN

Saran dari tulisan ini adalah ;


 Belum adanya penelitian mengenai spiritualitas yang
ada di negara Eropa dan Amerika
 Bagaimana perbandingan spiritualitas di Asia,
Amerika dan Eropa

Perbandingan Spiritualitas Di Tempat Kerja Dan Efektivitas 142


Organisasi Di India Dan Di Indonesia
 Apakah Spiritualitas mempunyai pengaruh yang
cukup signifikan terhadap efektivitas organisasi di
Barat

Perbandingan Spiritualitas Di Tempat Kerja Dan Efektivitas 143


Organisasi Di India Dan Di Indonesia
5. DAFTAR PUSTAKA

Santosh Kumar Sharma*, Renu Rastogi and


Pooja Garg (2013) Workplace
spirituality and managerial
effectiveness among Indian
managers, Int. J. Indian Culture and
Business Management, Vol. 6, No. 3,
2013, Copyright © 2013 Inderscience
Enterprises Ltd.
Paloutzian, Raymond F; Park, Crystal F. (2005) Handbook
of The Psychology of Religion dan Spirituality.
New York : The Guilford Press
Hayden, Robert W.; Barbuto Jr, John E.; Goertzen, Brent
J. (2008) Proposing a Framework for a Non-
Ideological Conceptualization of Spirituality in
the Workplace. Journal Workplace Spirituality.
Fernando, M (2005) Workplace Spirituality : Another
Management Fad. Artikel dalam Bussines
Research Yearbook : Global Business
Perspectives, Volume XII, No. 2 2005,
International Academy of Business Disciplines.
Komala, Kashi; Anantharaman, R.N. Rationale and
Spirituality in Organizations. Journal

Perbandingan Spiritualitas Di Tempat Kerja Dan Efektivitas 144


Organisasi Di India Dan Di Indonesia
Department of Management Studies, Indian
Institute of Technology of Madras. Chennai
Bagir, H. (2003). Sejahtera Spiritual dan Finansial. 2007,
30 September. [online]. Diunduh dari:
http://www.jalal- center.com/
index.php?option=com_content &task =view
&id =147
Duchon, D. & Plowman, D.A. (2005). Nurturing the Spirit
at Work: Impact on Work Unit Performance.
The Leadership Quarterly, 16, 807–833.
Giacalone, R. A. & Jurkiewicz, C. L. (2005). Handbook of
Workplace Spirituality and Organizational
Performance. Armonk: M.E. Sharpe.
King, S. M. (2007). Religion, Spirituality, and The
Workplace: Challenges for Public
Administration. Public Administration Review,
67, 1, 103-114.
Litzsey, C. (2003). Spirituality in The Workplace and The
Implications It Has on Employees and
Organizations. 2008, 29 Juli. [online]. Diunduh
dari:http://wed.siu.edu/public/department
/Litzsey%20paper.pdf
Marques, J.F. (2005). The Spiritual Worker an
Examination of the Ripple Effect that Enhances
Quality of Life in- and Outside the Work
Environment. Journal of Management
Development, 25, 9, 884- 895.ew

Perbandingan Spiritualitas Di Tempat Kerja Dan Efektivitas 145


Organisasi Di India Dan Di Indonesia
Marques, J., dkk. (2005). Spirituality Paloutzian, R. F. dan
Park, C. L. 2005. Handbook of the Psychology of
Religion and Spirituality. New York: The Guilford
Press.
Tyler, T.R. & Blader, S.L. (2000). Cooperation in Groups:
Procedural Justice, Social Identity, and
Behavioral Engagement. Philadelphia:
Psychology Press.
http://fe.unpad.ac.id/id/arsip-fakultas-ekonomi-
unpad/opini/239023-kepemimpinan-dan-
manajemen-berbasis-spiritual diakses
10/3/2017
https://www.academia.edu/10663994/Spiritualitas_Dal
am_Organisasi_Bisnis, diakses 10/3/2017
Harlina Nurtjahjanti, Spiritualitas Kerja Sebagai Ekspresi
Keinginan Diri Karyawan Untuk Mencari Makna
Dan Tujuan Hidup Dalam Organisasi, Jurnal
Psikologi Undip Vol. 7, No. 1, April 2010
Judith A. Neal, 1999, Spiritual Perspectives On Individual,
Organizational And Societal Transformation
Journal of Organizational Change Management,
Vol. 12 No. 3, 1999, pp. 175-185. # MCB
University Press, 0953-4814
Donde P Ashmos, Dennis Duchon, 2000, Spirituality at
work: A conceptualization and measure Journal
of Management Inquiry Vol.9 No.2 June 2000
page 134-135

Perbandingan Spiritualitas Di Tempat Kerja Dan Efektivitas 146


Organisasi Di India Dan Di Indonesia
BAB VI
STUDI PERBANDINGAN PENYELESAIAN PERSELISIHAN
HUBUNGAN INDUSTRIAL
DI INDONESIA DAN DI INGGRIS

1. PENDAHULUAN
Dalam era industralisasi di atas kemajuan pengetahuan
dan teknologi informasi, perselisihan hubungan
industrial menjadi semakin kompleks, untuk
penyelesaiannya diperlukan institusi yang medukung
mekanisme penyelesaian perselisihan yang cepat, tepat,
adil dan murah. Perselisihan hubungan industrial
umumnya terjadi karena terdapat ketidaksepahaman
dan perbedaan kepentingan antara pelaku usaha dan
pekerja. Kendatipun demikian, akhir-akhir ini statistik
tenaga kerja menunjukan adanya penurunan jumlah
kasus perselisihan, sekalipun jumlah tenaga kerja
semakin banyak. Dari data yang ditunjukan, jumlah
kasus PHK pada tahun 2006 sebanyak 5.110 kasus
menjadi 63 kasus pada Agustus 2007. Jumlah pekerja
yang ter-PHK pada tahun 2006 sebesar 37.937 orang
turun menjadi 22.120 orang pada Agustus 2007. Namun
ada kenaikan rata-rata jumlah PHK per kasus, dari 7
orang per kasus pada tahun 2006 menjadi 351 orang per
kasus di tahun 2007.
Terkait dengan penyelesaian sengketa hubungan
industrial, Undang-undang Ketenagakerjaan dapat
dipandang sebagai sebuah hukum materil. Untuk dapat
Studi Perbandingan Penyelesaian Perselisihan 147
Hubungan Industrial Di Indonesia Dan Di Inggris
melaksanakan materi-materi hukum yang diatur di
dalamnya, diperlukanlah hukum formil untuk
menjalankannya, yaitu Undang-undang No. 2 tahun
2004 tentang Penyelesaian Perselisihan hubungan
industrial.
Hubungan Industrial, yang merupakan keterkaitan
kepentingan antara pekerja/buruh dengan pengusaha,
berpotensi menimbulkan perbedaan pendapat, bahkan
perselisihan antara kedua belah pihak. Perselisihan di
bidang hubungan industrial yang selama ini dikenal
dapat terjadi mengenai hak yang telah ditetapkan, atau
mengenal keadaan ketenagakerjaan yang belum
ditetapkan baik dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, perjanjian kerja bersama maupun
peraturan perundang-undangan. Perselisihan hubungan
industrial dapat pula disebabkan oleh pemutusan
hubungan kerja. Ketentuan mengenai pemutusan
hubungan kerja yang selama ini diatur di dalam Undang-
undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan
Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta, ternyata tidak
efektif lagi untuk mencegah serta menanggulangi kasus-
kasus pemutusan hubungan kerja. Hal ini di sebabkan
karena hubungan antara pekerja/buruh dan pengusaha
merupakan hubungan yang didasari oleh kesepakatan
para pihak untuk meningkatkan diri dalam suatu
hubungan kerja. Dalam hal salah satu pihak tidak
menghendaki lagi untuk terikat dalam hubungan kerja
tersebut, maka sulit bagi para pihak untuk tetap
mempertahankan hubungan yang harmonis. Oleh
karena itu perlu dicari jalan keluar yang terbaik bagi

Studi Perbandingan Penyelesaian Perselisihan 148


Hubungan Industrial Di Indonesia Dan Di Inggris
kedua belah pihak untuk menentukan bentuk
penyelesaian, sehingga Pengadilan Hubungan Industrial
yang diatur dalam Undang-undang ini akan dapat
menyelesaiakn kasus-kasus pemutusan hubunga kerja
yang tidak diterima oleh salah satu pihak. Sejalan
dengan era keterbukaan dan demokratisasi dalam dunia
industri yang diwujudkan dengan adanya kebebasan
untuk berserikat bagi pekerja/buruh, maka jumlah
serikat pekerja/serkat buruh di satu perusahaan tidak
dapat di batasi. Persaingan diantara serikat
pekerja/serikat buruh di satu perusahaan ini dapat
mengakibatkan perselisihan di antara serikat
pekerja/serikat buruh yang pada umumnya terkaitan
dengan masalah keanggotaan dan keterwakilan di dalam
perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama.
Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
penyelesaian perselisihan hubungan industrial selama ini
ternyata belum mewujudkan penyelesaian perselisihan
secara cepat, tepat, adil, dan murah. Undang-undang
Nomor 22 Tahun 1957 yang selama ini digunakan
sebagai dasar hukum penyelesaian perselisihan
hubungan dirasa tidak dapat lagi mengakomodasi
perkembangan-perkembangan yang terjadi, karena hak-
hak pekerja/buruh perseorangan belum terakomodasi
untuk menjadi pihak dalam perselisihan hubungan
industrial. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 yang
selama ini digunakan sebagai dasar hukum penyelesaian
perselisihan hubungan industrial hanya mengatur
penyelesaian perselisihan hak dan perselisihan
kepentingan secara kolektif, sedangkan penyelesaian

Studi Perbandingan Penyelesaian Perselisihan 149


Hubungan Industrial Di Indonesia Dan Di Inggris
perselisihan hubungan industrial pekerja/buruh secara
perseorangan belum terakomodasi. Hal lainnya yang
sangat mendasar adalah dengan ditetapkannya putusan
P4P sebagai objek sengketa Tata Usaha Negara,
sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 5
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Dengan adanya ketentuan ini, maka jalan yang harus
ditempuh baik oleh pihak pekerja/buruh maupun oleh
pengusaha untuk mencari keadilan menjadi semakin
panjang. Penyelesaian perselisihan yang terbaik adalah
penyelesaian oleh para pihak yang berselisih sehingga
dapat diperoleh hasil yang menguntungkan kedua belah
pihak. Penyelesaian biparti ini dilakukan melalui
musyawarah mufakat oleh para pihak tanpa dicampuri
oleh pihak manapun. Namun demikian Pemerintah
dalam upayanya untuk memberikan pelayanan
masyarakat khususnya kepada masyarakat
pekerja/buruh dan pengusaha.

Studi Perbandingan Penyelesaian Perselisihan 150


Hubungan Industrial Di Indonesia Dan Di Inggris
2. TOPIK BAHASAN

Perselisihan Perburuhan adalah:

”pertentangan antara majikan atau perkumpulan


majikan dengan serikat buruh atau gabungan serikat
buruh berhubung tidak adanya persesuaian paham
mengenai hubungan kerja, syarat-syarat kerja
dan/ataudengan keadaan perburuhan” .

(Pasal 1 ayat (1) huruf c UU No. 22 Tahun 1957 tentang


Penyelesaian Perselisihan Perburuhan).

Berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. KEP-


15 A./MEN/1994, istilah perselisihan perburuhan
diganti menjadi perselisihan hubungan industrial .

Perselisihan Hubungan Industrial adalah :

”perbedaan pendapat yang mengakibatkan


pertentangan antara pengusaha atau gabungan
pengusaha dengan pekerja / buruh atau serikat pekerja
/ serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai
hak, perselisihan kepentingan, dan perselisihan
pemutusan hubungan kerja serta perselisihan antara
serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam 1 (satu)
perusahaan”.

(Pasal 1 angka 22 UU. No. 13 Tahun 2003 tentang


Ketenagakerjaan, juncto Pasal 1 angka 1 UU. No. 2
Studi Perbandingan Penyelesaian Perselisihan 151
Hubungan Industrial Di Indonesia Dan Di Inggris
Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial) .

Perselisihan Hubungan Industrial di Indonesia


Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan
pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara
Pengusaha atau gabungan pengusaha dengan Pekerja
atau buruh atau serikat pekerja atau serikat buruh
karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan
kepentingan dan perselisihan pemutusan hubungan
kerja, serta perselisihan antar serikat pekerja atau
serikat buruh dalam satu perusahaan. Dengan demikian
penyebab utama dari perselisihan hubungan industrial,
adalah karena adanya pertentangan pendapat antara
buruh dengan pengusaha, yang menyebabkan adanya2):
a. Perselisihan Hak ;
Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena
kelalaian atau ketidakpatuhan salah satu atau para pihak
dalam melaksanakan ketentuan noramatif yang telah
diatur dalam peraturan perundang-undangan, perjanjian
kerja atau perjanjian kerja bersama. Atau perselisihan ini
timbul akibat adanya perbedaan penafsiran atau
keinginan buruh dan pengusaha2 terhadap hal-hal yang
telah diatur dalam peraturan perburuhan, peraturan
perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Perselisihan
ini lebih menyangkut hal-hal yang bersifat normatif,
karena perselisihan ini terjadi terhadap hal-hal yang
telah ada aturan formalnya dan lebih kepada adanya
perbedaan penafsiran atau kepentingan terhadap aturan
Studi Perbandingan Penyelesaian Perselisihan 152
Hubungan Industrial Di Indonesia Dan Di Inggris
yang memang tidak memberikan batas yang jelas atau
karena adanya perbedaan penilaian atas fakta hukum,
yang pada akhirnya hak salah satu pihak tidak terpenuhi.
b. Perselisihan Kepentingan ;
Perselisihan Kepentingan adalah perselisihanyang timbul
karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai
perbuatan dan atau perubahan syarat-syarat kerja yang
ditetapkan dalam perjanjian kerja atau perjanjian kerja
bersama, atau terhadap hal-hal yang belum diatur dalam
aturan perundang-undangan, perjanjian kerja bersama
atau peraturan perusahaan, sehingga perselisihan ini
disebut yang disebut tidak normatif.
c. Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja ;
Perselisihan ini adalah terjadi karena adanya pemutusan
hubungan kerja, yang pada umumnya perselisihan ini
timbul akibat adanya perbedaan pendpat, tentang sah
tidaknya pemutusan hubungan kerja dan atau besaran
jumlah pesangon.
d. Perselisihan antara serikat pekerja atau serikat
buruh dalam suatu perusahaan yang sama ;
Perselisihan ini terjadi disebabkan oleh karena adanya
lebih dari satu serikat pekerja dalam suatu perusahaan,
yang tentunya adanya perbedaan kepentingan dari
serikat pekerja tersebut, terhadap perusahaan yang
menyebabkan adanya perselisihan.
3.2 Penyelesaian Perselisihan Secara Bipartit

Studi Perbandingan Penyelesaian Perselisihan 153


Hubungan Industrial Di Indonesia Dan Di Inggris
Penyelesaian Perselisihan hubungan industrial secara
bipartit dimaksudkan untuk mencari jalan keluar atas
perselisihan dengan cara musyawarah dan mufakat
secara internal antara pekerja dengan pengusaha, tanpa
melibatkan pihak ketiga. Upaya melalui jalan bipartit ini,
adalah merupakan upaya yang wajib ditempuh lebih
dahulu melalui proses peradilan hubungan industrial.
Kewajiban melalui proses bipartit tersebut, adalah
terhadap semua jenis perselisihan hubungan industrial,
dan tanpa melakukan upaya bipartit lebih dahulu, proses
mediasi, proses konsiliasi, arbitrase maupun pengadilan,
adalah tidak dapat diterima. Hal ini sesuai dengan apa
yang digariskan dalam pasal 3 ayat 1 Undang-Undang
No. 2 Tahun 2004.
Hasil perundingan secara bipartit tersebut, dituangkan
dalam berita acara pertemuan yang memuat catatan
atau keterangan hasil perundingan. Apabila bipartit
mencapai kesepakatan, maka dibuat perjanjian bersama
yang mengikat kedua belah pihak. Selanjutnya perjanjian
bersama tersebut didaftarkan kepada Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah
para pihak mengadakan perjanjian bersama. Dengan
pendaftaran perjanjian bersama termaksud,
mengakibatkan apabila salah satu pihak tidak
melaksanakan isi perjanjian bersama, salah satu pihak
dapat mengajukan permohonan eksekusi. Dengan
demikian hasil kesepakatan dari upaya bipartit yang
dituangkan dalam perjanjian bersama dan didaftarkan
kepada Pengadilan Hubungan Industrial, yang kemudian
mendapat akta pendaftaran, adalah sama dengan
Studi Perbandingan Penyelesaian Perselisihan 154
Hubungan Industrial Di Indonesia Dan Di Inggris
Putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap, sehingga apabila salah satu pihak ingkar,
dapat langsung diajukan permohonan eksekusi. Namun
apabila hasil perundingan bipartit tersebut mengalami
kegagalan, maka salah satu pihak atau kedua belah
pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang
bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan setempat,
dengan dilampiri bukti-bukti tentang upaya bipartit itu
telah dilakukan. Apabila berkas bukti telah dilakukannya
upaya bipartit tidak dilampirkan, maka instansi yang
berwenang akan mengembalikan berkas tersebut untuk
dilengkapi, paling lambat 7 hari setelah diterimanya
pengembalian berkas tersebut. Dengan penerimaan
pencatatan yang lengkap, termasuk bukti telah
dilakukannya upaya bipartit, maka instansi yang
berwenang dibidang ketenagakerjaan wajib
menawarkan kepada para pihak untuk menyepakati
memilih penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase.
Akan tetapi apabila para pihak tidak menentukan pilihan
selama 7 hari kerja, maka instansi yang
bertanggungjawab dibidang ketenagakerjaan, akan
melimpahkan penyelesaian perselisihan kepada
mediator. Dengan demikian upaya melalui proses
mediasi (mediator) menjadi wajib dilakukan apabila
terhadap penyelesaian perselisihan melalui proses
perundingan bipartit gagal, dan para pihak tidak
menentukan pilihan yang disampaikan instansi yang
berwenang, untuk melakukan upaya konsiliasi atau
arbitrase.

Studi Perbandingan Penyelesaian Perselisihan 155


Hubungan Industrial Di Indonesia Dan Di Inggris
Penyelesaian Perselisihan Secara Mediasi
Mediasi adalah merupakan upaya penyelesaian
perselisihan hubungan industrial, baik perselisihan
kepentingan, perselisihan hak, perselisihan PHK maupun
perselisihan antar serikat pekerja dalam satu
perusahaan, melalui musyawarah yang ditengahi oleh
seorang atau lebih perantara atau mediator yang netral
yang terdaftar di instansi ketenagakerjaan. Mediator
wajib menyelesaikan tugasnya paling lama 30 hari kerja
sejak menerima pendaftaran penyelesaian perselisihan.
Bila para pihak tidak memilih arbitrase atau konsiliasi
untuk menyelesaikan masalah mereka, maka sebelum
mengajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial terlebih
dahulu harus melalui mediasi. Dalam Undang-Undang
No. 2 Tahun 2004, disebutkan bahwa mediator adalah
pegawai instansi pemerintah yang bertanggungjawab
dibidang ketenagakerjaan. Proses penyelesaian
perselisihan secara mediasi dilakukan oleh mediator,
setelah mediator menerima pelimpahan penyelesaian
perselisihan dari instansi yang bertanggunjawab dalam
bidang ketenagakerjaan, kemudian melakukan
penelitian dan melakukan sidang mediasi, dengan
memanggil saksi atau saksi ahli. Apabila tercapai
kesepakatan penyelesaian perselisihan melalui mediasi,
maka dibuat perjanjian bersama yang ditandatangani
kedua belah pihak dan disaksikan oleh mediator serta
didaftarkan pada Pengadilan Hubungan Industrial.
Namun apabila tidak ada kesepakatan, maka mediator
wajib mengeluarkan anjuran tertulis, yang dalam jangka
waktu 10 hari para pihak harus menyampaikan
Studi Perbandingan Penyelesaian Perselisihan 156
Hubungan Industrial Di Indonesia Dan Di Inggris
persetujuan atau penolakannya. Bagi pihak yang tidak
memberikan pendapat berarti ia menolak anjuran
tertulis dari mediator. Apabila anjuran tertulis tersebut
telah disepakati, dalam waktu 3 hari kerja, maka
mediator harus membantu para pihak membuat
perjanjian bersama untuk didaftarkan kepada
Pengadilan. Namun apabila anjuran tertulis itu ditolak,
maka para pihak dapat mengajukan gugatan ke
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan dalam
wilayah hukumnya Perjanjian Bersama itu dibuat untuk
mendapatkan akta pendaftaran, (pasal 13 ayat 1 dan 2
UUPPHI).
Penyelesaian Perselisihan Secara Konsiliasi
Konsiliasi adalah penyelesaian perselisihan kepentingan,
perselisihan hak, atau perselisihan antar serikat pekerja
hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang
ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral
yang dipilih atas kesepakatan para pihak. Dan konsiliator
tersebut harus terdaftar di instansi tenaga kerja
kabupaten/kota.3)3 Konsiliator harus menyelesaikan
perselisihan tersebut paling lama 30 hari kerja sejak
menerima permintaan penyelesaian perselisihan
tersebut. Dalam menyelesaikan sengketa tersebut pada
kesempatan pertama konsiliator wajib mendamaikan
para pihak. Jika terjadi kesepakatan untuk berdamai,
maka dibuatkan Perjanjian Bersama yang kemudian
didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial di
wilayah hukum dibuatnya perjanjian tersebut. Bila
kesepakatan tersebut tidak dijalankan oleh salah satu

Studi Perbandingan Penyelesaian Perselisihan 157


Hubungan Industrial Di Indonesia Dan Di Inggris
pihak, pihak yang dirugikan dapat mengajukan
permohonan eksekusi di Pengadilan Hubungan Industrial
di tempat pendaftaran Perjanjian Bersama.
Kemungkinan lain, bila konsiliator gagal mendamaikan
para pihak, konsiliator mengeluarkan anjuran
penyelesaian secara tertulis paling lambat 10 hari kerja
sejak sidang konsiliasi pertama. Persetujuan atau
penolakan para para pihak terhadap anjuran tersebut
harus disampaikan paling lama 10 hari kerja sejak
menerima anjuran tertulis dari konsiliator. Anjuran
tertulis yang disetujui para pihak diikuti dengan
dibuatnya Perjanjian Bersama untuk kemudian
didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial di
wilayah hukum pihak-pihak yang mengadakan Perjanjian
Bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran.
Namun bila anjuran tertulis tersebut ditolak oleh salah
satu pihak atau para pihak, salah satu pihak atau para
pihak dapat melanjutkan penyelesaian perselisihan ke
Pengadilan Hubungan Industrial setempat dengan
mengajukan gugatan. Seperti telah disampaikan pada
bagian terdahulu, semua jenis perselisihan hubungan
industrial wajib dilakukan penyelesaian lebih dahulu
melalui proses bipartit, maupun mediasi apabila proses
bipartit gagal dan para pihak tidak memilih upaya
konsiliasi atau arbitrase. Akan tetapi upaya penyelesaian
perselisihan tentang perselisihan hak tidak dapat
dilakukan melalui proses ini. Dengan demikian bila
terjadi ketidak sepakatan dalam penyelesaian
perselisihan hak yang dilakukan melalui proses bipartit,
maka para pihak hanya dapat melakukan upaya hukum,

Studi Perbandingan Penyelesaian Perselisihan 158


Hubungan Industrial Di Indonesia Dan Di Inggris
yakni mengajukan gugatan kepada Pengadilan
Hubungan Industrial.
Dengan demikian dapat kita simpulkan, bahwa upaya
konsiliasi ini hanya dapat dilakukan terhadap jenis
perselisihan, yakni perselisihan kepentingan,
perselisihan PHK dan perselisihan antar serikat pekerja.
Artinya apabila terjadi perselisihan hak, dan ketika
proses bipartit tidak mencapai kata sepakat, maka
secara langsung instansi yang bertanggungjawab
dibidang ketenagakerjaan, tidak ada hak untuk
memberikan pilihan kepada para pihak untuk
penyelesaian melalui konsiliasi, akan tetapi langsung
melalui cara penyelesaian mediasi. Penyelesaian
perselisihan melalui lembaga konsiliasi, dilakukan
setelah para pihak mengajukan permintaan
penyelesaian secara tertulis kepada konsiliator yang
ditunjuk dan disepakati oleh kedua belah pihak. Proses
acara penyelesaian perselisihan melalui konsiliator
dilakukan dengan musyawarah, dengan melakukan
proses-proses yang tidak beda dengan upaya melalui
sidang mediasi.
Dalam hal ini bisa dilihat dari table berikut ini

Studi Perbandingan Penyelesaian Perselisihan 159


Hubungan Industrial Di Indonesia Dan Di Inggris
3. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian sebagaimana tersebut di atas,


penulis mencoba memaparkan kesimpulan sebagai
berikut:
1. Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan
pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara
pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja
atau buruh atau serikat pekerja atau serikat buruh,
karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan
kepentingan dan perselisihan pemutusan hubungan
kerja, serta perselisihan antar serikat pekerja atau
serikat buruh dalam satu perusahaan.

Studi Perbandingan Penyelesaian Perselisihan 160


Hubungan Industrial Di Indonesia Dan Di Inggris
2. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial secara
bipartit dimaksudkan untuk mencari jalan keluar atas
perselisihan dengan cara musyawarah dan mufakat
secara internal antara pekerja atau serikat pekerja
dengan pengusaha, tanpa melibatkan pihak ketiga.
Upaya melalui jalan bipartit ini, adalah merupakan
upaya yang wajib ditempuh lebih dahulu sebelum
melakukan upaya pilihan konsiliasi maupun arbitrase
ataupun melalui proses perdailan hubungan industrial.
Kewajiban melalui proses bipartit tersebut, adalah
terhadap semua jenis perselisihan hubungan industial,
dan tanpa melakukan upaya bipartit lebih dahulu, proses
mediasi, proses konsiliasi, arbitrase maupun pengadilan,
adalah tidak dapat diterima. Hal ini sesuai dengan apa
yang digariskan dalam pasal 3 ayat 1 Undang-Undang
No. 2 Tahun 2004.
3. Mediasi merupakan upaya penyelesaian perselisihan
hubungan industrial, baik perselisihan kepentingan,
perselisihan hak, perselisihan PHK maupun perselisihan
antar serikat pekerja dalam satu perusahaan, melalui
seorang perantara atau mediator. Hal ini tidak berbeda
jauh dengan proses konsiliasi, yang berbeda dimana
lembaga konsiliasi baru bekerja setelah para pihak
mengajukan permintaan penyelesaian secara tertulis
kepada konsiliator yang ditunjuk dan disepakati oleh
kedua belah pihak, serta perselisihan yang menyangkut
hak, tidak dapat diajukan melalui lembaga konsiliasi ini.

Studi Perbandingan Penyelesaian Perselisihan 161


Hubungan Industrial Di Indonesia Dan Di Inggris
DAFTAR PUSTAKA
Djumialdji, F. X, 2006, Perjanjian Kerja, Edisi Revisi, Sinar
Grafika, Jakarta.

Husni,Lalu, 2008, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia,


Edisi Revisi , PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta

Marhendi, SH., MH. Upaya Penyelesaian Perselisihan


Hubungan Industrial Secara Bipartit, Mediasi Dan
Konsiliasi, Sebuah Kajian Yuridis
Penyelesaian Sengketa Hubungan Industrial Berbasis
Win-Win Solution

http://www.apindo-kepri.com/ruang-media/phi/hukum-
acara-peradilan-hubungan-industrial

Studi Perbandingan Penyelesaian Perselisihan 162


Hubungan Industrial Di Indonesia Dan Di Inggris
DR. H. Mukhlis Yunus, lahir di Garot, Nanggroe
Aceh Darussalam pada tanggal 13 Desember
1960. Tahun 1986 tamatan pendidikan Strata 1
pada Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala,
Tahun 1992 tamatan pendidikan Strata 2 di
Universitas Gadjah Mada dengan predikat sangat
memuaskan, dan tahun 2011 tamatan pendidikan
Strata 3 pada Universitas Padjadjaran. Sejak
Program Magister Manajemen di buka di
Universitas Syiah Kuala, dipercayai mengasuh
mata kuliah Metode Riset untuk Manajemen,
Ekonomi Manajerial, dan Manajemen
Operasional hingga saat ini.

i
Fithriya Zahra, S.MB. Lulus S1 dari Institut
Manajemen Telkom jurusan Manajemen Bisnis
Telekomunikasi dan Informatika pada tahun
2008. Saat ini sedang melanjutkan pendidikan
Magister di Program Pascasarjana Universitas
Padjadjaran Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
(FISIP) Jurusan Administrasi Bisnis. Pernah
menjadi penulis terbaik mahasiswa baru S1 pada
tahun 2001 dengan judul “Manajemen dan
Bisnis”. Artikel nya masuk ke dalam Konferensi
Internasional ISCBRM 2017 dengan judul
“Spirituality in workplace comparison India and
Indonesia” bersama dengan Dr. Mohammad
Benny Alexandri dan Prof. Dr. Oekan Abdullah.

Devi Melisa Damiri, S.Ab. Sarjana Administrasi


Bisnis Universitas Padjadjaran, dan kini berstatus
sebagai mahasiswi semester akhir (angkatan
2015) pada Program Studi Magister Administrasi
Bisnis, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di
Universitas Padjadjaran.

ii
Raden Marsha Aulia Hakim, S.Ab. Lulus S1 di
Program Studi Administrasi Bisnis, Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Padjadjaran
(FISIP UNPAD) pada tahun 2015. Saat ini sedang
melanjutkan pendidikan Master di Program Studi
Magister Administrasi Bisnis, Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik, Universitas Padjadjaran (FISIP
UNPAD).

Muhammad Bahtiar Abdillah,S.Ab. Lahir di


Medan tanggal 13 Februari 1992. Telah
menyelesaikan studi S1 Administrasi bisnis di
Universitas Sumatera Utara pada tahun 2015.
Saat ini sedang menjalani masa studi S2
Administrasi Bisnis di Universitas Padjadjaran.

DR. Risna Resnawaty, lahir di Bandung, Jawa


Barat pada tanggal 7 Desember 1981. Penulis
adalah dosen di Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Padjadjaran.
Penulis menyelesaikan pendidikannya di
Departemen Kesejahteraan Sosial FISIP Unpad
pada tahun 2004, menyelesaikan gelar Master di
bidang Pengembangan Masyarakat di Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada tahun
2007, dan menyelesaikan pendidikan doktor
kesejahteraan sosialnya di Universitas Indonesia

iii
pada tahun 2015.
Penulis telah melakukan penelitian di bidang
pengembangan masyarakat dan CSR di
perusahaan pertambangan dan minyak dan gas
bumi sejak tahun 2008. Data yang dimiliki
keahlian: penelitian, artikel dan jurnal tentang
pengembangan masyarakat, pemberdayaan
masyarakat, dan CSR yang dipublikasikan di
media cetak dan media online.

DR. Mohammad Benny Alexandri.


Menyelesaikan S1 di Unpad, S2 di ITB dan S3 di
Unpad. Ini adalah buku Hubungan Industrial yang
ke dua. Buku pertama Hubungan Industrial
adalam mengenai Etika Bisnis. Selain Hubungan
Industrial, buku yang pernah ditulis adalah
Manajemen Keuangan Bisnis (Alfabeta, Bandung
2009), 500 Soal Keuangan (Alfabeta Bandung,
2006), Manajemen Keuangan Internasional
(Unpad Press, 2016), Kota Kreatif (Unpad Press,
2016) dan lainnya.

iv

Anda mungkin juga menyukai