Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH HUKUM KETENAGAKERJAAN

PENGARUH REFORMASI TERHADAP


HUBUNGAN INDUSTRIAL DI INDONESIA

Disusun Oleh :
Eko Nugroho

(NPM : 5113500159)

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PANCASAKTI TEGAL
2014

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT akhirnya penulis dapat menyelesaikan makalah
ini. Makalah yang berjudul Pengaruh Reformasi Terhadap Hubungan Industrial di
Indonesia ini penulis buat dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Hukum
Ketenagakerjaan di Jurusan Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal
semester 3, sekaligus sebagai media pembelajaran agar penulis dapat mengetahui dan
memahami bagaimana kondisi hubungan industrial yang ada di Indonesia pasca era
reformasi.
Hubungan industrial di Indonesia secara garis besar dibedakan dalam 3 (tiga) era
yakni, orde lama, orde baru, dan reformasi. Sedikit banyak penulis akan berupaya
memberikan ulasan mengenai hal tersebut, dengan maksud untuk memberikan informasi
yang bermanfaat bagi penulis pribadi maupun bagi para pembaca.
Semoga dengan makalah ini kita semua dapat belajar bersama-sama tentang
hubungan industrial di Indonesia lebih dalam lagi serta lebih baik lagi. Penulis sadar atas
kekurangan yang ada dalam tulisan ini, untuk itu harap dijadikan maklum. Terima kasih
atas partisipasinya dan semoga bermanfaat. Salam

Tegal, Desember 2014

Penulis

DAFTAR ISI

Halaman Judul ...


Kata Pengantar ...
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .
1.2 Rumusan Masalah
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Hubungan Industrial ...
2.2 Prinsip Hubungan Industrial .
2.3 Hubungan Industrial pada msa Orde Lama dan Orde Baru .
2.4 Pengaruh Reformasi Terhadap Hubungan Industrial ...
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ...
3.2 Saran .............
Daftar Pustaka ...

1
2
3
4
5
6
6
7
9
12
13
14

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah

Perubahan institusional pada sistem hubungan industrial merupakan suatu hal yang
sangat penting untuk dipelajari. Untuk menciptakan sebuah kerangka berpikir yang
sistematis serta ingin menunjukkan sebuah perubahan institusional pada sistem hubungan
industrial maka tulisan ini juga sedikit membahas pola hubungan sistem hubungan
industrial di Indonesia yang bisa dikategorikan menjadi tiga zaman yaitu masa orde lama
(1945-1965), orde baru (1965-1998), dan pasca orde baru (1998 sekarang). Perbedaan
bentuk institusi yang muncul di setiap periode pemerintahan yang muncul akan mewakili
perubahan logika dan akomodasi sementara antara kepentingan kelompok sepanjang waktu
yang berbeda. Pembagian tersebut menunjukkan bahwa pada waktu tertentu, lembaga yang
mengatur hubungan industrial dapat dikonseptualisasikan sebagai representasi struktural
dari hubungan kekuasaan yang sedang berlangung antara berbagai kelompok kepentingan
dan upaya untuk menyeimbangkan kepentingan tersebut sesuai dengan tujuan mereka
sendiri.
Teori yang digunakan penulis untuk memahami serta menganalisa sistem hubungan
Industrial di Indonesia adalah menggunakan teori institusional atau kelembagaan. Seperti
yang dijelskan bahwa Institusional theory suggests that institutions give order to social life
and influence the sensemaking and actions of social control (Campbell, 2004; Weick,
1995). Serta formal and informal rule, norms and cognitive schemas function through
normative, cognative and regulative institusional mechanisms to shape the social order
(Scoot, 2008). Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin kuat lembaga maka keadaan
akan stabil, disisi lain kompleksitas kelembagaan akan memunculkan aktor untuk memulai
perubahan.
Terdapat dua perubahan konstitusional yaitu dengan jalur evolusioner dan terus
menurus, juga perubahan keseimbangan yang diskontinyu, dan radikal. Periodisasi waktu
pemerintahan tersebut akan menjelaskan bagaimana perubahan kelembagaan tersebut.
Selain itu tulisan ini juga memperhitungkan penigkatan penekanan peran aktor dalam
penjelasan terbaru pada teori institusional (e.g Sahlin & Wedlin, 2008), hal tersebut untuk
menjelaskan studi mengenai makro dan mikro kelembagaan serta bagaimana peran
lembaga terhadap aktor atau sebaliknya mengenai peran aktor terhadap lembaga. Tulisan
ini mempertimbangkan peran yang diambil oleh aktor hubungan industri terkait di
Indonesia, serta bagaimana mereka menjalankan kekuatan dan pengaruh yang dimiliki
4

pada perubahan institusional dalam sistem hubungan industri, meskipun aksi-aksi tersebut
dapat dipahami apabila berada dalam batas pengaruh logika institusional.
Perubahan kelembagaan tersebut akan nampak pada di setiap periodiasi
pemerintahan yang ada di Indonesia.. Meskipun, perubahan yang dimaksudkan dan
dilaksanakan diberlakukan di setiap era serta karateristik lembaga dalam melestarikan
kelangsungan dan sekaligus membuka peluang bagi kelompok aktor untuk merangsang
setiap perubahan yang ada. Untuk melihat perubahan itu maka akan diklasifikasikan
perubahan kelembagaan pada hubungan industrial menjadi empat periode waktu, yaitu
orde lama dan orde baru, pasca orde baru, menjelaskan peran aktor yang terlibat pasca
orde baru, dan membahas mengenai isu-isu hubungan industri di Indonesia saat ini.
Review jurnal tersebut kemudian membuat penulis merefleksikan mengenai
hubungan industrial di Indonesia, serta kedudukan buruh sebagai kekuatan politik di
Indonesia. Selain menggunakan teori kelembagaan seperti pemaparan diatas juga akan
penulis masukkan teori strukturasi dari Anthony Giddines, teori ini akan memperlihatkan
bagaimana posisi buruh yang menjadi aktor sekaligus menjadi agen yang kemudian dapat
mempengaruhi struktur. Kemudian dari hal tersebut nantinya juga akan melakukan
pembabakan waktu untuk melihat bagaimana hubungan industri di Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian hubungan industrial?
2. Bagaimana prinsip hubungan industrial?
3. Bagaimana hubungan industrial di era orde lama dan orde baru?
4. Bagaimana pengaruh reformasi terhadap hubungan industrial?

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Hubungan Industrial


Hubungan industrial adalah hubungan antara semua pihak yang tersangkut atau
berkepentingan atas proses produksi atau pelayanan jasa di suatu perusahaan. Pihak yang
paling berkepentingan atas keberhasilan perusahaan dan berhubungan langsung sehari-hari
adalah pengusaha atau manajemen dan pekerja. Disamping itu masyarakat juga
mempunyai kepentingan, baik sebagai pemasok faktor produksi yaitu barang dan jasa
kebutuhan perusahaan, maupun sebagai masyarakat konsumen atau pengguna hasil-hasil
perusahaan tersebut. Pemerintah juga mempunyai kepentingan langsung dan tidak
langsung atas pertumbuhan perusahaan, antara lain sebagai sumber penerimaan pajak. Jadi
hubungan industrial adalah hubungan antara semua pihak yang berkepentingan tersebut.
Dalam pengertian sempit, hubungan industrial diartikan sebagai hubungan antara
manajemen dan pekerja atau Management-Employees Relationship.
2.2 Prinsip Hubungan Industrial
Prinsip hubungan industrial didasarkan pada persamaan kepentingan semua unsur
atas keberhasilan dan kelangsungan perusahaan. Dengan demikian, hubungan industrial
mengandung prinsip-prinsip berikut ini:
1. Pengusaha dan pekerja, demikian Pemerintah dan masyarakat pada umumnya,
sama-sama mempunyai

kepentingan atas

keberhasilan dan kelangsungan

perusahaan.
2. Perusahaan merupakan sumber penghasilan bagi banyak orang.
3. Pengusaha dan pekerja mempunyai hubungan fungsional dan masing-masing
mempunyai fungsi yang berbeda dalam pembagian kerja atau pembagian tugas.
4. Pengusaha dan pekerja merupakan anggota keluarga perusahaan.
5. Tujuan pembinaan hubungan industrial adalah menciptakan ketenangan berusahan
dan

ketentraman

bekerja

supaya

dengan

demikian

dapat

meningkatkan

produktivitas perusahaan.
6. Peningkatan produktivitas perusahaan harus dapat meningkatkan kesejahteraan
bersama, yaitu kesejahteraan pengusaha dan kesejahteraan pekerja.
2.3 Hubungan Industrial pada Masa Orde Lama dan Orde Baru
6

Pada tahap awal masa orde lama (1945-1957) kebebasan tenaga kerja untuk
membentuk serikat kerja memang sangat diapresiasi oleh pemerintah kala itu. Hal tersebut
dikarenakan tujuan pemerintah yang ingin membuat iklim demokrasi dalam bernegara.
Masuknya Indonesia kedalam ILO (International Labor Organization) semakin
memberikan kesempatan bagi pengembangan buruh beserta kedudukan organisasinya.
Disisi lain diberinya ruang serikat pekerja, juga merupakan tujuan negara saat itu guna
memaksimalkan program-program nasionalisai terhadap perusahaan-perusahaan Belanda.
Tercatat pada masa itu sebanayak 1.501 organisasi buruh bermunculan pada kurun waktu
1945-1955.
Kebanyakan organisasi-organisasi buruh tersebut kemudian berafiliasi dengan
partai politik yang juga menjamur pada waktu itu, seperti catatan Vedi Hadiz All the
major unions and union federations ware somehowassociated, if not affliated, to political
parties, and us to a large extent, served to further the interest of the latter, including the
important matter of mobilising votes of during elections. Dengan perkembangan ini
strategi serikat tidak hanya menuntut perbaikan syarat hidup layak serta perbaikan dalam
bidang sosial ekonomi. Strategi serikat pekerja cenderung menjurus dalam bidang politik
dan tindakan serikat pekerja semakin dipengaruhi onderbow-isme (Mufti, Muslim. 2013:
188).
Hal tersebut kemudian berdampak pada pertarungan kepentingan diantara serikat
buruh seperti contoh yang diberikan Uwiyono (2001) dan Hasibuan (1968) mencatat
bahwa organisasi buruh tersebut kemudian melakukan pemogokan guna memberikan
keuntungan bagi partai politiknya seperti SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh
Indonesia) yang berafiliasi dengan PKI yang kemudian menjatuhkan kabinet Natsir, KBKI
(Kesatuan Buruh Kerakyatan Indonesia) yang menuntut kenaikan upah dengan setengah
hari, apabila pengusaha tersebut memberikan sumbangan kepada PNI dan SARBUMUSI
(Serikat Buruh Muslimin Indonesia) tidak bekerja sama dengan serikat pekerja lainnya
yang ingin menuntut perkebunan negara yang dikelola oleh manajer dengan latar belakang
NU. Strategi gerakan buruh pada era orde lama semakin didasari kepentingan sektarian,
fragmentasi, dan diwarnai, pertentangan di antara halaun Komunis dan Non-Komunis,
sehingga beberapa pemimpin buruh pada tahun 1950-an dan 1960-an mengatakan bahwa
The aim of improving the welfare workers often took second place to wider political
7

objective that were set by political parties Tujuan meningkatkan kesejahteraan para
pekerja sering beralih menjadi tujuan politik yang lebih luas yang ditetapkan oleh partaipartai politik (Mufti, Muslim. 2013: 188).
Namun pada masa akhir orde lama (1957-1965), Soekarno kala itu merubah sistem
pemerintahan yang bercorak Demokrasi Parlementer menjadi Demokrasi Terpimpin yang
juga dibarengi dengan peningkatan kontrol atas hubungan kerja. Adanya Undang-Undang
Nomor 86 tahun 1958 tentang status perubahan perusahaan asing yang telah
dinasionalisasi menjadi BUMN, membuat adanya konrol terhadap organisasi dengan
dibentuknya BKS-BUMIL (Badan Koordinasi Buruh dan Militer) (Djumadi. 2005:25).
Undang-Undang Darurat Nomor 7 yang disahkan pada tahun 1963, melarang pemogokan
di industri vital (Uwiyono. 2001). Sejak saat itu jumlah pemogokan dan pekerja yang
terlibat terus-menurus menurun sepanjang waktu, dengan beberapa penyimpangan kecil
pada tahun-tahun tertentu, dan mencapai nol pada tahun 1962.
Berbeda dengan masa orde lama yang memberikan kebebasan bagi buruh untuk
terlibat langsung dalam proses politik, orde baru sangat mengkontrol ketat kebebasan
buruh. Hal tersebut terkait dengan kebijakan pemerintah yang melakukan pembangunan
dengan menjamin adanya stabilitas nasional, artinya disini pemerintah tidak menghendaki
adanya gangguan seperti pemogokan kerja dan protes buruh seperti yang dilakukan pada
masa orde lama. Stabilitas tersebut diciptakan untuk membuat keamanan jaminan kepada
investor asing yang masuk untuk menanam modal di Indonesia. Penciptaan stabilitas itu
kemudian juga didukung oleh militer yang digunakan rezim untuk mengawasi gerak dari
gerakan buruh.
Sikap paternalistik pemerintahan orde baru terhadap hubungan industrial meliputi
penentuan tingkat Upah Minimum Regional (UMR), tingkat hak asasi para buruh/pekerja.
Pola paternalistik ini ditunjukkan oleh kebijakan Hubungan Industrial Pancasila (HIP)
yang dikumandangkan pada tahun 1974, yang menitikberatkan kemitraan antara buruh
dengan pengusaha (Shainad, Yusuf. 2000: 16). Kemudian saat itu pula FBSI yang
awalanya organisasi liberationist berubah menjadi SPSI (Serikat Pekerja Seluruh
Indonesia) yang berbentuk unitaris (dengan 10 departemen) dan budaya dropping
(mengangkat orang yang dekat dengan rezim sebagai pimpinan SPSI) (Mufti, Muslim.
2013: 191). Divisi sektoral independen di bawah FBSI diubah menjadi bentuk departemen
8

pengorganisasian terpusat, di mana peran sentral serikat dipegang oleh personil dari partai
yang berkuasa, pada saat itu Golkar (Golongan Karya) dan juga diserap oleh personil
militer (La Botz. 2001).
Pada awal tahun 1990-an terdapat sebuah perubahan dalam gerakan untuk melawan
sebuah sistem hubungan industrial yang sangat membuat buruh tertekan. Perlawanan ini
dilakukan dengan cara melakukan sebuah konsolidasi dengan kelompok masyarakat lain
seperti kelompok mahasiswa. Aktivis mahasiswa di antaranya merupakan pemain utama
dalam hal ini, mereka mengembangkan kontra-logika terhadap logika institusional orde
baru dan pekerja pabrik berpendidikan dan terorganisir dan petani, meskipun mereka
beresiko terhadap tindakan represif, termasuk penyiksaan, dipenjara, atau dibunuh secara
misterius (La Botz. 2001). Perlawanan itu kemudian membuat terjadinya pemogokan kerja
oleh para buruh, gelombang pemogokan terbesar terjadi pada tahun 1996, pemogokan
mencapai puncaknya, yaitu 350 kasus pemogokan dengan 2.796.488 jam kerja yang hilang
(Mufti, Muslim. 2013: 191). Perlawanan buruh serta adanya kesatuan kekuatan kelompok
masyarakat lainnya kemudian membuat rezim orde baru tumbang pada tahun 1998, namun
ada juga anggapan yang mengatakan bahwa yang paling berperan menjatuhkan rezim orde
baru adalah kalangan mahasiswa.
2.4 Pengaruh Reformasi Terhadap Hubungan Industrial
Adanya gelombang demokratisasi yang terjadi pada era reformasi juga berdampak
pada pola hubungan industrial. Ada beberapa langkah kebijakan yang dilakukan
pemerintah untuk memberikan keterbukaan serta kebebasan bagi buruh untuk berserikat
menurut (Mufti, Muslim 2013: 193): Pertama, langkah awal diprakarsai oleh
pemerintahan Habibie dengan meratifikasi Konvensi ILO No. 87 tentang Kebebasan
Berserikat dan Perlindungan Hak-Hak untuk Berorganisasi melalui Keputusan Presiden
No. 83 pada tanggal 5 Juni 1998. Pada pemerintahan Abdurrahman Wahid, dikeluarkan
Undang-Undang No. 21 tahun 2000 yang menyatakan Serikat Pekerja (SP)/Serikat Buruh
(SB) atau Serikat Pekerja Tingkat Perusahaan dapat dibentuk dengan minimalnya 10
anggota. Kedua, security approach terhadap hubungan industrial sangat dihilangkan pada
era reformasi, sebagaimana ditandai dengan dicabutnya dwifungsinya militer (TNI).
Kebebasan itu juga berdampak pada tuntutan buruh yang tidak pada hak-hak normatif saja.
9

Terdapat juga perubahan dalam kelembagaan dalam hubungan industrial pada era
reformasi. Pertama, munculnya kembali beberapa serikat buruh dan pengembangan sekutu
munculnya federasi (multiple) dan konfederasi (tiga) yang tidak ada di masa lalu. Seusai
dengan catatan Albert Oleona mencatat bahwa SPSI ditantang untuk berkompetisi secara
sehat dengan organisasi-organisasi buruh lainnya yang tumbuh secara kuantitatif demikian
banyaknya (ada 26 federasi dan lebih kurang 60 organisasi anggota) sebagai akibat
diratifikasinya Konvensi ILO No.87. Disisi lain ada perubahan kelembagaan tersebut juga
membuat peluang bagi buruh untuk terlibat langsung dalam politik praktis dengan
membentuk partai politik pada tahun 1999 dan 2004. Munculnya partai-partai buruh ini
membuat adanya fragmentasi ideologi dalam aktor-aktor buruh tersebut.
Perkembangan kelembagaan kedua berkaitan dengan pengenalan pengadilan tenaga
kerja sebagai mekanisme formal baru untuk menyelesaikan perselisihan buruh. Hal ini
merupakan saran dari ILO untuk mengatasi sengketa dalam masalah perburuhan dengan
cara pengadilan, yang umumnya lazim dilakukan di negara-negara lain. Sistem peradilam
ini telah menggantikan mekanisme non-yudisial dalam peran panitia khusus (Panitia
Penyelesain Perselisihan Perburuhan, P4, Komite Penyelesain Perselisihan Perburuhan),
yang terdiri dari perwakilan tripartit. Yang hal tersebut sudah dijalankan oleh Departemen
Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada tahun 2006. Dalam hal ini sedikiti demi sedikit mulai
mengurangi peranannya dalam hubungan industri antara pengusaha dengan buruh dan
dengan demikian telah memungkin adanya pertarungan kepentingan antara pengusaha dan
buruh dalam hubungan bipatrit.
Disisi lain mulai mengurangnya peran negara terhadap hubungan industri tersebut
membuat terjadinya liberalisasi ekonomi. Hal tersebut kemudian mempunyai dampak
masalah terhadap hubungan industri. Pertama, diterapkannya kebijakan outsourching
dibawah pemerintahan Megawati Soekarnoputri membuat sebuah kerugian karena peran
pengusaha lebih mengeksploitasi tenaga kerja secara berlebihan. Hal ini tentu berbeda
dengan jaman orde baru yang menerapkan upah tenaga kerja karena merupakan praktek
bisnis pengusaha dengan pemerintah. Sedangkan outsourching lebih kepada memberikan
kebebasan pada pengusaha untuk melakukan eksploitasi sebesar-besarnya terhadap buruh.
Masalah kedua, kemudian muncul ketika pemerintah dalam era reformasi yang
ingin menggenjot kembali roda perekonomian melakukan kebijakan privatisasi. Pengertian
10

privatisasi dalam hal ini dapat diartikan sebagai partisipasi swasta dalam kegiatan
ekonomi yang semula dikuasi oleh pemerintah, baik sebagian maupun semua. Dampak
dari privatisasi perekonomian yang dilakukan pada era reformasi terutama pada
pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri itu berdampak pada pola hubungan
industrial yang terjadi. Privatisasi yang dilakukan terhadap penjualan PT Paiton Energy
Company dan PT Indonesian Satellite Coorporation Tbk. (Indosat). Hal tersebut kemudian
membuat serikat pekerja yang berada dalam dua perusahaan itu melakukan perlawanan
dengan melakukan gugatan atau legal action melalui pengadilan, akan tetapi cara itu tetap
tidak dapat memberikan perubahan.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Perubahan kelembagaan yang terjadi pada tiap era pemerintahan juga memberikan
dampak bagi hubungan industrial yang ada di Indonesia. Hal ini terlihat dari logika
institusional yang ada di setiap era. Adanya perubahan paradigma pemikiran kemudian
11

membuat hubungan industrial berubah, terlebih perubahan itu juga mempengaruhi


tindakan buruh dalam hal ini. Buruh yang awalnya menuntut perubahan hal-hal yang
normatif seperti peningkatan hidup layak, kemudian berubah menjadi tuntutan yang
bersifat untuk mempengaruhi kebijakan perusahaan mengenai struktur organisasi. Adanya
organisasi buruh maupun serikat pekerja memberikan sebuah kesadaran bagi buruh dalam
hal sosial, politik, ekonomi, dan hukum. Terlebih lagi ketika masa reformasi itu kesadaran
buruh semakin tinggi dengan ikut terlibat langsung dalan politik praktis dengan
membentuk partai politik, hal ini kemudian memberikan sebuah pandangan bahwa buruh
dalam melakukan aksinya tidak hanya melakukan pemogokan tetapi juga menempuh cara
legal action.
Perubahan hubungan industrial yang terjadi di era reformasi juga masih
menyisakan sebuah permasalahan, hal ini terkait dengan adanya liberalisasi ekonomi yang
dilakukan pemerintah dengan melakukan sebuah kebijakan privatisasi serta adanya
kebijakan outsourching. Hal tersebut kemudian membuat buruh tereksploitasi meskipun
sudah ada kebebasan bagi buruh untuk membentuk sebuah organisasi atau serikat pekerja
yang independen tanpa adanya campur tangan dari pemerintah. Akan tetapi peran
pemerintah yang mulai menggeser ini juga tidak dikatakan benar karena pada esensi
negara harus menjamin kesejahteraan rakyatnya, terlebih lagi dalam masalah ini adalah
kelompok buruh.

3.2 Saran
Menurut penulis perlu adanya kesinambangun antara pengusaha, buruh, dan
pemerintah dalam hal ini yang merupakan pemegang mandat dari rakyat harus berpihak
dengan rakyat yang pada kasus ini adalah buruh. Di sisi lain pemerintah juga harus
memberikan kenyamana bagi para pengusaha atau modal ini mengenai jaminan keamanan,
pemerintah kita harus mempunyai posisi tawar yang kuat. Disamping itu kebijakan
privatisasi dengan menjual sebagian saham atau keseluruhan saham bukan merupakan
sebuah jalan guna mendorong kemajuan ekonomi, hal yang harus dilakukan adalah
12

melakukan sebuah pembagian keuntungan yang jelas antara pemerintah dengan pengusaha
dengan pertimbangan pendapat dari buruh. Hal tersebut nantinya akan membentuk
perekonomian yang kuat serta adanya kelayakan tingkat kehidupan bagi para buruh. Serta
pada akhirnya akan membawa perbaikan tingkat perekonomian masyarakat dan
mengantarkan Indonesia ke jenjang kemakmuran yang lebih baik.

Daftar Pustaka
Campbell, J.L. (2004). Institutional change and globalization. Pricenton, New Jersey,
Princeton University Press
Caraway, T.L. (2004). Protective Repression, International Pressure, and Institutional
design; Explaining Labor Reform in Indonesia. Studies in Comparative International
Development, 39(3): 28-49

13

Ford, M. (2003). NGO As Outside Intellectual; A History of Non-Governmental


Organisations Role In The Indonesian Labour Movement. Phd dissertation, School of
History and Politic,University of Wollongong
Ford, M. (2000a), Continuity and Change in Indonesian Labor Relations in the Habibie
Interregnum, Shoutheast Asian Journal of Sociel Science, 28 (2): 59-88
Muslim, Mufti (2013), Kekuatan Politik di Indonesia .Bandung, CV Pustaka Setia
Djumadi (2005), Sejarah Keberadaan Organisasi Buruh di Indonesia. Jakarta, PT
RajaGrafindo Persada

14

Anda mungkin juga menyukai