MAKALAH
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Landasan Pendidikan
Oleh:
Kelompok 1:
Alya Riskina A.M. NIM. 220220101022
Aula Zahrotin Maghfiroh NIM. 220220101023
Rohikim Mahtum NIM. 220220101026
Dosen Pengampu:
Dr. Arikah Indah Kristiana, S.Si., M.Pd.
Dr. Didik Sugeng Pambudi, M.S.
Dr. Erfan Yudianto, S.Pd., M.Pd.
1
BAB 1 PENDAHULUAN
2
1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan dalam pembuatan
makalah ini sebagai berikut.
i. Mengetahui definisi dan karakteristik Landasan FIlosofis Pendidikan
j. Mengetahui definisi dan implementasi Pendidikan Filosofis Idealisme
k. Mengetahui definisi dan implementasi Pendidikan Filosofis Realisme
l. Mengetahui definisi dan implementasi Pendidikan Filosofis Perenialisme
m. Mengetahui definisi dan implementasi Pendidikan Filosofis Esensialisme
n. Mengetahui definisi dan implementasi Pendidikan Filosofis Pragmatisme
o. Mengetahui definisi dan implementasi Pendidikan Filosofis Progresivisme
p. Mengetahui definisi dan implementasi Pendidikan Filosofis
Eksistensialisme
3
BAB 2. PEMBAHASAN
4
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa landasan filosofis
pendidikan adalah asumsi-asumsi filosofis yang dijadikan titik tolak dalam rangka
studi dan praktik dalam pendidikan. Landasan filosofis pendidikan berperan dalam
memberikan rambu-rambu apa dan bagaimana seharusnya pendidikan dilaksanakan.
Rambu-rambu tersebut bertolak pada kaidah metafisika (hakikat realitas dan hakikat
manusia), epistemologi (hakikat pengetahuan) dan aksiologi (hakikat nilai)
pendidikan. Hubungan implikasi antara konsep-konsep filsafat umum terhadap
konsep pendidikan tersebut dapat divisualisasikan sebagai berikut.
Konsep Filsafat Umum Konsep Pendidikan
- Hakikat Realitas - Tujuan Pendidikan
Metafisika
- Hakikat Manusia - Kurikulum Pendidikan
Epistemologi - Hakikat - Metode Pembelajaran
Pengetahuan
Aksiologi - Hakikat Nilai - Peranan Pendidikan dan Peserta
didik
5
yang tidak dapat dipikirkan tidaklah nyata. Oleh karena itu, keberadaan sesuatu
tergantung kepada pikiran/ide/ jiwa (Thufailah, 2020).
Sejalan dengan hal diatas, idealisme berpandangan bahwa hakikat manusia
bukanlah fisiknya melainkan pikiran atau jiwanya. Manusia adalah makhluk berpikir,
mampu memilih atau bebas, hidup dengan suatu moral yang jelas dan bertujuan.
Pikiran merupakan suatu wujud yang mampu menyadari dunianya, bahkan sebagai
pendorong dan penggerak semua tingkah laku. Oleh karena itu, manusia memiliki
bakat kemampuan masing-masing yang megimplikasikan status, kedudukan dan
peranannya dalam masyarakat.
Berkaitan dengan hakikat pengetahuan, idealisme berpandangan bahwa
pengetahuan yang diperoleh melalui indera tidak pasti dan tidak lengkap, karena
dunia bersifat tiruan yang menyimpang dari keadaan yang sebenarnya. Pengetahuan
yang benar hanyalah hasil akal pikiran, karena akal mampu membedakan antara
bentuk spiritual dan benda-benda material. Menurut pandangan idealisme, nilai itu
hakikatnya adalah tetap dan absolut. Nilai tidak diciptakan oleh manusia, melainkan
merupakan bagian dari alam semesta (Rusdi, 2013).
6
Demi mencapai tujuan pendidikan tersebut, kurikulum pendidikan idealisme
berisikan pendidikan liberal dan pendidikan vokasional (praktis). Pendidikan liberal
dimaksudkan untuk pengembangan kemampuan rasional dan moral, sedangkan
pendidikan vokasional untuk pengembangan kemampuan suatu pekerjaan. Kurikulum
disusun menurut mata pelajaran dan berpusat pada materi pelajaran. Isi kurikulum
harus merupakan nilai-nilai kebudayaan yang esensial dalam segala zaman, sehingga
cenderung berlaku sama untuk semua peserta didik.
c. Metode Pembelajaran
Metode mengajar hendaknya mendorong siswa memperluas cakrawala;
mendorong berpikir reflektif; mendorong pilihan-pilihan moral pribadi, memberikan
keterampilan-keterampilan berpikir logis; memberikan kesempatan menggunakan
pengetahuan untuk masalah-masalah moral dan sosial; meningkatkan minat terhadap
isi mata pelajaran; dan mendorong siswa untuk menerima nilai-nilai peradaban
manusia. Filosofi idealisme lebih mengutamakan metode dialektika, tetapi tidak
menutup kemungkinan penggunaan metode lain yang efektif dalam mendorong
pembelajaran.
d. Peranan Pendidik dan Peserta Didik
Pendidik harus unggul dalam pengetahuan dan memahami kebutuhan serta
kemampuan peserta didik, dan juga harus mampu menjadi teladan moral dalam
keyakinan dan tingkah lakunya. Guru bertanggung jawab dalam menciptakan
lingkungan pendidikan bagi peserta didik agar peserta didik dapat bebas
mengembangkan kepribadian dan bakatnya.
2.3 Landasan Filosofis Realisme
2.3.1 Definisi Realisme
Istilah realisme berasal dari Bahasa Latin “realis” yang berarti “sungguh-
sungguh, nyata benar”. Secara istilah, realisme merupakan filsafat yang menganggap
bahwa terdapat satu dunia eksternal nyata yang dapat dikenali. Sehingga, realisme
berpandangan bahwa objek persepsi indrawi dan pengertian sungguh-sungguh ada,
terlepas dari indra dan budi yang menangkapnya karena objek itu memang dapat
diselidiki, dianlisis, dipelajari lewat ilmu, dan ditemukan hakikatnya lewat ilmu
filsafat Sebagai aliran filsafat, realisme berpendirian bahwa yang ada yang ditangkap
panca dan indra dan yang konsepnya ada dalam budi itu memang nyata ada (Adela,
2021).
7
Pada hakikatnya, lahirnya realisme sebagai aliran filsafat sebagai sintesis
antara filsafat idealisme Immanuel Kant di satu pihak dan empirisme John Lock di
pihak lain. Realisme kadang-kadang disebut sebagai neorasionalisme. “John Lock
memandang bahwa tidak ada kebenaran dari metafisik dan universal”. Dia percaya
bahwa sesuatu bisa dikatakan benar jika didasarkan pada pengalaman indrawi, pada
sifat induksi John Locke mengingkari adanya kebenaran akal (Yuliyanti, Damayanti,
Hidayat, & Dewi, 2023).
Aliran realisme menganggap bahwa kebenaran berasal dari kehidupan nyata.
Aliran realisme merupakan pelengkap dari aliran idealisme, jika idealisme merupakan
ide abstrak dalam mencari kebenaran, maka realisme menggunakan alat indera dalam
mencari kebenaran dengan melakukan observasi langsung (Gandhi, 2017).
Realisme mengungkapkan objek pada pengetahuan yang diketahui nyata
ternyata ada didalam diri sendiri. Kemudian objek ini tidak tergantung pada
pengetahuan, persepsi, atau pemikiran. Pemikiran dan di dunia luar terintegrasi, tetapi
interaksi ini tidak akan berpengaruh pada sifat dunia. Karena dunia ini ada sebelum
pikiran menyadari kemudian semuanya terlihat nyata setelah pikiran terhenti
menyadarinya (Yuliyanti, Damayanti, Hidayat, & Dewi, 2023).
8
bayangan, (2) pikiran atau rasio manusia dapat mengetahui tentang dunia nyata dan
(3) seperti itu pengetahuan adalah panduan yang paling dapat diandalkan untuk
perilaku individu dan sosial.
9
2.4 Landasan Filosofis Perenialisme
2.4.1 Definisi Perenialisme
Perenialisme berasal dari kata perenial yang dapat diartikan sebagai abadi,
kekal ataupun terus menerus tanpa akhir (lasting for a very longtime) (Nurrochman &
Fauziati, 2023). Filsafat pendidikan perenialiasme percaya dan mengedepankan
adanya norma dan nilai yang bersifat kekal di dunia ini. Norma dan nilai akan terus
bertumbuh dan berkembang pada lingkungan masayarakat untuk menjadi pegangan
dalam mempertahankan keutuhan masyarakat dan bersifat mengikat (Nuryamin,
2019).
Istilah philosophia perennis (filsafat keabadian) barangkali digunakan untuk
pertama kalinya di dunia Barat oleh Augustinus Steuchus sebagai judul karyanya De
Perenni Philosophia yang diterbitkan pada tahun 1540. Istilah tersebut dimasyhurkan
oleh Leibniz dalam sepucuk surat yang ditulis pada 1715 yang menegaskan pencarian
jejak-jejak kebenaran di kalangan para filosof kuno dan tentang pemisahan yang
terang dari yang gelap, sebenarnya itulah yang dimaksud dengan filsafat (Mu'ammar,
2014).
Aliran perenialisme merupakan suatu aliran tentang pendidikan yang sudah
ada sejak abad ke XX. Aliran perenialisme lahir yang menjadi reaksi terhadap
pendidikan progresivisme dimana aliran ini menekankan pada suatu perubahan dan
sesuatu yang baru. Terdapat 3 tokoh yang membawa pengaruh pendidikan terhadap
aliran ini yaitu Plato, Aristoteles, dan Thomas Aquinas. Aliran perenialisme lebih
menekankan pada kebenaran, keabadian, keindahan pada warisan budaya. Pendidikan
yang menganut aliran ini menekankan pada kebenaran absolut, universal yang tidak
terikat pada tempat dan waktu. Aliran ini bersifat masa lampau, dimana aliran ini
kembali pada nilai-nilai budaya.
10
Adolf Huxley mempopulerkan istilah filsafat perenial tersebut dengan menulis
buku yang diberi judul The Perennial Philosophi. Ia menyebutkan, bahwa filsafat
perenial mengandung tiga pokok pemikiran: 1) Metefisika yang memperlihatkan
sesuatu hakikat kenyataan ilahi dalam segala sesuatu. 2) Suatu psikologi yang
memperlihatkan adanya sesuatu yang ada dalam jiwa manusia. 3) Etika yang
meletakkan tujuan akhir manusia dalam pengetahuan yang bersifat transenden
(Huxley, 2001).
Kaum perenialis amat menekankan tradisi kesejarahan. Secara historis,
perenialisme lahir sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Mereka
menentang pandangan progresivisme yang menekankan perubahan dan sesuatu yang
baru. Perenialisme memandang situasi dunia dewasa ini penuh kekacauan,
ketidakpastian, dan ketidakteraturan, terutama dalam kehidupan moral, intelektual dan
sosio kultual. Oleh karena itu perlu ada usaha untuk mengamankan ketidakberesan
tersebut, yaitu dengan jalan menggunakan kembali nilai-nilai atau prinsip-prinsip
umum yang telah menjadi pandangan hidup yang kukuh, kuat dan teruji (Mu'ammar,
2014).
11
dilakukan dengan cara melatih karakter, melatih kemampuan berpikir, melatih
intelektual secara cermat.
12
2.5 Landasan Filosofis Esensialisme
2.5.1 Definisi Esensialisme
Secara etimologi esensialisme berasal dari bahasa Inggris yakni essential yang
berarti inti atau pokok dari sesuatu, dan isme berarti aliran, mazhab atau paham
(Junaidin & Komalasari, 2019). Esensialisme adalah suatu aliran filsafat yang
menginginkan agar manusia kembali kepada kebudayaan lama. Mereka beranggapan
bahwa kebudayaan lama itu telah banyak memperbuat kebaikan-kebaikan untuk umat
manusia (Riyadi, 2021).
Aliran filsafat esensialisme merupakan perpaduaan ide filsafat idealisme-
objektif dan realisme- objektif, yaitu alam semesta diatur oleh hukum alam sehingga
tugas manusia memahami hukum alam adalah dalam rangka penyesuaian diri dan
pengelolaannya (Wathoni, 2018).
Filsafat pendidikan esensialisme merupakan perpaduan antara ide-ide filsafat
idealisme dan realisme. Aliran tersebut akan tampak lebih mantap dan kaya akan ide-
ide, apabila hanya mengambil salah satu dari aliran atau posisi sepihak. Pertemuan
dua aliran tersebut bersifat elektik, yakni keduanya berposisi sebagai pendukung,
tidak ada yang melebur menjadi satu atau tidak melepaskan identitas dan ciri masing-
masing (Muslim, 2020)
13
pengarahan, dan bimbingan orang yang dewasa adalah melekat dalam masa balita
yang panjang atau keharusan ketergantungan yang khusus pada spesies manusia. c)
Oleh karena kemampuan untuk mendisiplin diri harus menjadi tujuan pendidikan,
maka menegakkan disiplin adalah suatu cara yang diperlukan untuk mencapai tujuan
tersebut. Di kalangan individu maupun bangsa, kebebasan yang sesungguhnya selalu
merupakan sesuatu yang dicapai melalui perjuangan, tidak pernah merupakan
pemberian. d) Esensialisme menawarkan sebuah teori yang kokoh, kuat tentang
pendidikan, sedangkan sekolah-sekolah pesaingnya (progresivisme) memberikan
sebuah teori yang lemah (Dahniar, 2021).
14
Menurut pandangan esensialisme kurikulum yang diterapkan dalam sebuah
proses belajar mengajar lebih menekankan pada penguasaan berbagai fakta dan
pengetahuan dasar merupakan sesuatu yang sangat esensial bagi kelanjutan suatu
proses pembelajaran dan dalam upaya untuk mencapai tujuan pendidikan secara
umum (Muslim, 2020).
15
Sekalipun Dewey bekerja lepas dari William James, namun menghasilkan
pemikiran dan menampakkan persamaan dengan gagasan James. Menurutnya filsafat
bertujuan untuk memper-baiki kehidupan manusia dan lingkungannya atau mengatur
kehidupan manusia serta aktifitasnya untuk memenuhi kebutuhan
manusiawi(Sudarsono, 1993). Kendati Dewey seorang pragmatis, namun ia lebih suka
menyebut sistemnya dengan istilah instrumentalisme. Pengalaman (experience)
merupakan kata kunci dalam filsafat instrumentalisme. Filsafat harus berpijak pada
pengalaman dan menyelidiki serta mengolah pengalaman itu secara aktif-kritis.
Dengan demikian filsafat akan dapat menyusun sistem norma-norma dan nilai-nilai
(Meiyani, 2013).
Progresivisme berasal dari kata progresif yang artinya bergerak maju. Kata
progresif dapat diartikan sebagai arah kemajuan, berhaluan kearah perbaikan, dan
bertingkat semakin naik. Dapat disimpulkan, secara singkat progresif dapat dimaknai
sebagai suatu gerakan yang menuju perbaikan. Progresivisme merupakan salah satu
aliran yang menghendaki suatu kemajuan, yang mana kemajuan ini akan
mendatangkan sebuah perubahan (Mutmainnah, 2020). Progresivisme berakar pada
pragmatisme. Progresivisme melihat peserta didik sebagai makhluk yang aktif dan
kreatif. Kreativitas tersebut hanya dapat diperoleh melalui pengalaman. Sebagai
makhluk sosial, proses belajar peserta didik akan lebih berhasil di dalam ikatan
dengan kelompok. Dalam hal ini, guru lebih sebagai fasilitator dalam proses belajar
dan pendidikan mempunyai multi fungsi untuk pengembangan fisik, emosional, sosial
dan intelektual anak. Menurut H.A.R Tilaar (2005:314) dalam (Wasitohadi, 2012),
aliran progresivisme di dalam pendidikan memunculkan aliran rekonstruksionisme
yang melihat pendidikan sebagai agen perubahan sosial, politik dan ekonomi. Selain
itu, progresivisme juga percaya kepada kemajuan masyarakat melalui langkah-
langkah yang tersusun, ke arah masa depan (futurisme) (Wasitohadi, 2012).
16
aku menjadi seorang pencuri, Dengan cara ini, secara pribadi aku akan mencapai
suatu tingkat kekayaan tertentu”. Karena hasil yang diraih adalah kepuasan, dalam arti
sesuatu yang telah menjadikanku kaya, aku mungkin tergiur untuk beranggapan
bahwa hal ini bermoral. Namun, menurut penganut pragmatisme, ketika hal itu
mungkin berguna dan berfungsi bagi seseorang, ia jelas tidak mungkin berguna dan
berfungsi bagi sistem sosial secara utuh karena tak seorangpun akan mampu
mengumpulkan kekayaan jika setiap orang yang lainnya berbuat mencuri. Dengan
demikian, ketika diletakkan pada pengujian publik, tindakan mencuri gagal menjadi
berguna dan tidak bisa dirumuskan sebagai hal baik atau bermoral karena ia akan
membuat kehidupan yang berkeadaban menjadi tidak mungkin terwujud.
Pendidikan progresif berdasarkan tiga agenda, yaitu
(1) meninggalkan berbagai jenis formalisme, rutinitas, dan birokrasi yang menghantui
cara belajar di sekolah;
(2) mempraktekkan metode inovatif yang difokuskan kepada minat serta kebutuhan
peserta didik; dan
(3) profesionalisasi mengajar serta administrasi sekolah. Pendidikan progresif
menekankan pada “learning by doing”, belajar melalui pengalaman, belajar aktif,
belajar secara kelompok serta problem solving (Wasitohadi, 2012).
Dalam buku Philosofical Alternatives in Education, Gutek (1974:140)
menyebutkan bahwa pendidikan progresif menekankan pada beberapa hal;
1) pendidikan progresif hendaknya memberikan kebebasan yang mendorong anak
untuk berkembang dan tumbuh secara alami melalui kegiatan yang dapat
menanamkan inisiatif, kreatifitas, dan ekspresi diri anak;
2) segala jenis pengajaran hendaknya mengacu pada minat anak, yang dirangsang
melalui kontak dengan dunia nyata;
3) pengajar progresif berperan sebagai pembimbing anak yang diarahkan sebagai
pengendali kegiatan penelitian bukan sekedar melatih ataupun memberikan banyak
tugas;
4) prestasi peserta didik diukur dari segi mental, fisik, moral dan juga perkembangan
sosialnya;
5) dalam memenuhi kebutuhan anak dalam fase perkembangan dan pertumbuhannya
mutlak diperlukan kerjasama antara guru, sekolah, rumah, dan keluarga anak tersebut;
6) sekolah progresif yang sesungguhnya berperan sebagai laboratorium yang berisi
gagasan pendidikan inovatif dan latihan-latihan (Fadlillah, 2017: 18).
17
Menurut progresivisme proses pendidikan memiliki dua segi, yaitu psikologis
dan sosiologis. Dari segi psikologis, pendidik harus dapat mengetahui tenaga-tenaga
atau daya-daya yang ada pada anak didik yang akan dikembangkan. Psikologinya
seperti yang berpengaruh di Amerika, yaitu psikologi dari aliran Behaviorisme dan
Pragmatisme. Dari segi sosiologis, pendidik harus mengetahui ke mana tenaga-tenaga
itu harus dibimbingnya. Di samping itu, progresivisme memandang pendidikan
sebagai suatu proses perkembangan, sehingga seorang pendidik harus selalu siap
untuk memodifikasi berbagai metode dan strategi dalam pengupayaan ilmu-ilmu
pengetahuan terbaru dan berbagai perubahan-perubahan yang menjadi kecenderungan
dalam suatu masyarakat (Mutmainnah, 2020).
18
Nama lain aliran pragmatisme adalah instrumentalisme dan
eksperimentalisme. Disebut instrumentalisme, karena aliran ini menganggap bahwa
potensi intelegensi manusia sebagai kekuatan utama manusia harus dianggap sebagai
alat (instrumen) untuk menghadapi semua tantangan dan masalah dalam pendidikan.
Dikatakan eksperimentalisme, karena filsafat ini menggunakan metode eksperimen
dan berdasarkan atas pengalaman dalam menentukan kebenarannya.
Eksperimentalisme menyadari dan mempraktekkan bahwa eksperimen (percobaan
ilmiah) merupakan alat utama untuk menguji kebenaran suatu teori. Proses
pendidikan dalam pragmatism bertujuan memberikan pengalaman empiris kepada
anak didik sehingga terbentuk suatu pribadi yang belajar,berbuat (learning by doing).
Dalam filsafat pragmatisme, pengalaman adalah basis pendidikan. Pendidikan
merupakan suatu proses penggalian dan pengolahan pengalaman secara terus-
menerus. Inti pendidikan adalah usaha untuk terus-menerus menyusun kembali
(reconstruction) dan menata ulang (reorganization) pengalaman hidup subjek didik.
Pendidikan haruslah memampukan subjek didik untuk menafsirkan dan memaknai
rangkaian pengalamannya sedemikian rupa, sehingga ia terus bertumbuh dan
diperkaya oleh pengalaman tersebut. Hakekat pendidikan semacam itu, berimplikasi
pada segenap komponen pendidikan lainnya, dalam pandangannya tentang peserta
didik, peran guru, kurikulum, metode pendidikan dan lain lain. Intinya, bahwa
segenap komponen pendidikan lainnya kondusif atau mendukung terwujudnya ideal
pendidikan yang menempatkan pengalaman sebagai basis orientasinya. Pendidikan
berbasis pengalaman sangat diakui dan disarankan secara formal di Indonesia.
Ketentuan-ketentuan yang dimuat dalam kurikulum kita, sangat menekankan agar
pendidikan dan pembelajaran memberi pengalaman yang beragam pada peserta didik.
(Thaib, 2018).
Aliran progresivisme adalah suatu aliran dalam filsafat pendidikan yang
menghendaki adanya perubahan secara cepat praktik pendidikan menuju ke arah yang
positif. Dengan kata lain, pendidikan harus mampu mebawa perubahan pada diri
peserta didik menjadi pribadi yang tangguh dan mampu menghadapi berbagai
persolan serta dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan sosial di masyarakat. Oleh
karena itu, progresivisme sangat menghendaki adanya pemecahan masalah dalam
proses pendidikan (Mutmainnah, 2020).
19
2.7 Landasan Filosofis Eksistensialisme
2.7.1 Definisi Eksistensialisme
Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang memandang segala gejala dengan
berpangkal pada eksistensi. Dalam filsafat istilah eksistensi memeliki beberapa
pengertian yaitu pertama, apa yang ada. Kedua, apa yang memiliki aktualitas (ada).
Ketiga, segala sesuatu yang dialami manusia. Yang penting bahwa sesuatu itu ada
sehingga jelas berbeda dengan esensisalisme. Keempat, kesempurnaan sehingga
sesuatu menjadi eksisten. Jadi jelas bahwa pusat perhatian eksistensialisme adalah
situasi manusia. Karena itu eksistensi dapat difahami sebagai cara manusia berada di
dunia. Dari pemaparan arti eksistensi diatas dapat memberikan pemahaman bahwa
eksistensialisme adalah aliran yang berpendirian bahwa filsafat harus bertitik tolak
pada manusia yang kongkrit, yaitu manusia sebagai eksistensi. Sehubungan degan
titik tolak ini maka bagi manusia, eksistensi itu mendahului esensi. Definisi ini sangat
terkait dengan sejarah kelahiran filsafat eksistensialisme yang merupakan reaksi
terhadap materialisme (Abdurrahman Wahid, 2022).
Eksistensi individu merupakan fokus utama pemikiran eksistensialisme
terhadap realitas. Eksistensialisme dikontraskan dengan pernyataan kaumneo-
skolastik yang menyatakan bahwa esensi mendahului eksistensi dalam hubungannya
dengan waktu. Contohnya, beberapa kaum neo-skolastik memandang Tuhan sebagai
pencipta segala sesuatu, termasuk manusia. Ketika tuhan menciptakan manusia, dia
berkata bahwa dia telah mempunyai ide tentang manusia (esensi manusia) dalam
pemikiran-Nya sebelum mewujudkannya. Sebaliknya, kaum eksistensialis berpegang
pada pendapat bahwa eksistensi mendahului esensi. Manusia ada terlebih dahulu, baru
kemudian ia berusaha untuk menentukan apa yang menjadi esensinya ke depan
(Mutmainnah, 2020).
20
2.7.3 Tujuan Eksistensialisme
Eksistensialisme bertujuan melawan pandangan yang yang materialistik
terhadap manusia. Menurut materialisme, manusia itu sama dengan benda lain yang
ada di dunia. Menurut bentuknya, manusia memang lebih unggul dibanding makhluk
lain, namun hakikatnya tetap sama-sama materi. Manusia hanya resultan atau akibat
dari proses unsur kimiawi. Itulah kesalahan fatal materialisme dalam memandangan
manusia. Materialisme memandang manusia tidak sebagai keseluruhan
(detotalisation). Bahwa benar manusia memliki unsur yang bersifat material layaknya
benda atau makhluk lain di alam semesta akan tetapi, jangan lupa sifat material atau
jasmani manusia itu hanya salah satu aspek sehingga tidak berarti keseluruhan.
(Biyanto, 2015, p. hlm.272 dalam Abdurrahman Wahid, 2022).
21
masa kini yang begitu menyebar cepat tetapi sangat sulit dipisahkan adalah
mengikisnya kemungkinan keauntetikan manusia karena adanya tirani dari yang rata-
rata. Tata cara para guru eksistensialis tidak ditemukan pada tata cara guru tradisional.
Guru-guru eksistensialis tidak pernah terpusat pada pengalihan pengetahuan kognitif
dan dengan berbagai pertanyaan. Ia akan lebih cenderung membantu siswa-siswa
untuk mengembangkan kemungkinan-kemungkinan pertanyaan. Para guru
eksistensialis berusaha keras memperhatikan emosi dan hal-hal yang tidak masuk akal
pada setiap individu, dan berupaya untuk memandu siswanya untuk lebih memahami
diri mereka sendiri. Ia dan anak-anak muda yang bersamanya akan memunculkan
pertanyaan-pertanyaan tentang hidup, kematian, dan makna yang mereka tampilkan
dalam berbagai pengalaman kemanusiaan dengan beberapa sudut pandang. Melalui
berbagai pengalaman ini, guru-guru dan siswa akan belajar dan bertukar informasi
tentang penemuan jati diri dan bagaimana realisasinya dalam kehidupan dunia antar
sesama dan sebagai individu. Kurikulum pada sekolah eksistensialis sangat terbuka
terhadap perubahan karena ada dinamika dalam konsep kebenaran, penerapan dan
perubahan-perubahannya. Melalui perspektif tersebut, siswa harus memilih mata
pelajaran yang terbaik. Tetapi hal ini tidak berati bahwa mata pelajaran dan
pendekatan kurikuler pada filsafat tradisional tidak diberi tempat (Mutmainnah,
2020).
22
DAFTAR PUSTAKA
23
Putri, S. D. (2021). Analisis Filsafat Pendidikan Perenialisme dan Peranannya dalam
Pendidikan Sejarah. Jurnal Program Studi Pendidikan Sejarah, 16.
Riyadi, A. (2021). ESENSIALISME DALAM PRESPEKTIF FILSAFAT PENDIDIKAN
ISLAM. Jurnal Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Borneo, 132.
Rohmat, M. (2004). Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeta.
Rusdi, R. (2013). Filsafat Idealisme: Implikasinya dalam Pendidikan. DInamika Ilmu, 10-19.
Sadullah, U. (2008). Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Saragih, H. (2021). FIlsafat Pendidikan. Medan: Yayasan Kita.
Simanjuntak, J. (2013). Filsafat Pendidikan dan Pendidikan Kristen. Yogyakarta: Penerbit
ANDI.
Suyono, Y. (2016). Gap Antara Das Sollen Dan Das Sein Ilmu-Ilmu Keagamaan Islam:
Perspektif Filsafat Ilmu. Theologia, 103-126.
Thaib, R. M. (2018). Pragmatisme: Konsep Utilitas Dalam Pendidikan. Intelektualita, 4(1),
96–110.
Thufailah, N. (2020). FIlsafat Idealisme. Filsafat Pendidikan Islam, 1-10.
Wathoni, L. M. (2018). Filsafat Pendidikan Islam. Ponorogo: Uwais Inspirasi Indonesia
Ponorogo.
Wasitohadi, W. (2012). Pragmatisme, Humanisme Dan Implikasinya Bagi Dunia Pendidikan
Di Indonesia. Satya Widya, 28(2), 175. https://doi.org/10.24246/j.sw.2012.v28.i2.p175-
190
Yuliyanti, Damayanti, E., Hidayat, S., & Dewi, R. S. (2023). FIlsafat Pendidikan Realisme.
Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, 9.
24