Anda di halaman 1dari 24

LANDASAN PENDIDIKAN

MAKALAH
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Landasan Pendidikan

Oleh:
Kelompok 1:
Alya Riskina A.M. NIM. 220220101022
Aula Zahrotin Maghfiroh NIM. 220220101023
Rohikim Mahtum NIM. 220220101026

Dosen Pengampu:
Dr. Arikah Indah Kristiana, S.Si., M.Pd.
Dr. Didik Sugeng Pambudi, M.S.
Dr. Erfan Yudianto, S.Pd., M.Pd.

PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN MATEMATIKA


JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2023

1
BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Landasan pendidikan merupakan asumsi, gagasan atau prinsip yang dapat
dijadikan titik tolak atau pijakan dalam rangka melakukan praktik pendidikan atau
pembelajaran. Menguasai landasan pendidikan merupakan salah satu kompetensi
yang harus dimiliki seorang guru. Seorang guru harus memiliki landasan yang kokoh
sehingga ia dapat melaksanakan suatu proses pembelajaran dengan efektif dan
profesional. Landasan pendidikan yang harus dikuasai oleh seorang guru antara lain
meliputi Landasan Filosofi, Landasan Psikologi, Landasan Sosiologi, Landasan
Antropologi, Landasan Historis dan Landsan Yuridis.
Dalam pembelajaran mempelajari tentang landasan filosofis dapat membantu
kita untuk mengetahui bagaimana, mengapa dan apa yang harus kita lakukan
dalam sebuah pembelajaran. Landasan filosofi bersumber dari pandangan para filsuf
yang menyangkut keyakinan terhadap sumber nilai, hakikat pengetahuan dan tentang
kehidupan lebih baik di kehidupan yang akan datang. Dalam Filsafat Umum,
Landasan Filosofis memiliki beberapa aliran diantaranya adalah Filosofis Idealisme,
Filosofis Realisme, Filosofis Perenialisme, Filosofis Esensialisme, Filosofis
Pragmatisme, Filosofis Progresivisme, dan Filosofis Eksistensialisme. Indonesia
memiliki Landasan Filosofis sendiri, yaitu Landasan Filosofis Pendidikan
berdasarkan Pancasila. Oleh karena itu kelompok kami mengkaji tentang beberapa
Landasan Filosofis Pendidikan dan Landasan Filosofis yang menjadi dasar
Pendidikan di Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dalam
pembuatan makalah ini sebagai berikut.
a. Apakah yang dimaksud dengan Landasan FIlosofis Pendidikan?
b. Apa yang dimaksud dengan Filosofis Idealisme?
c. Apa yang dimaksud dengan Filosofis Realisme?
d. Apa yang dimaksud dengan Filosofis Perenialisme?
e. Apa yang dimaksud dengan Filosofis Esensialisme?
f. Apa yang dimaksud dengan Filosofis Pragmatisme?
g. Apa yang dimaksud dengan Filosofis Progresivisme?
h. Apa yang dimaksud dengan Filosofis Eksistensialisme?

2
1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan dalam pembuatan
makalah ini sebagai berikut.
i. Mengetahui definisi dan karakteristik Landasan FIlosofis Pendidikan
j. Mengetahui definisi dan implementasi Pendidikan Filosofis Idealisme
k. Mengetahui definisi dan implementasi Pendidikan Filosofis Realisme
l. Mengetahui definisi dan implementasi Pendidikan Filosofis Perenialisme
m. Mengetahui definisi dan implementasi Pendidikan Filosofis Esensialisme
n. Mengetahui definisi dan implementasi Pendidikan Filosofis Pragmatisme
o. Mengetahui definisi dan implementasi Pendidikan Filosofis Progresivisme
p. Mengetahui definisi dan implementasi Pendidikan Filosofis
Eksistensialisme

3
BAB 2. PEMBAHASAN

2.1 Definisi dan Karakteristik Landasan Filosofis Pendidikan


Didalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah Landasan diartikan sebaagai
alas, dasar atau tumpuan. Adapun istilah landasan sebagai dasar dikenal pula sebagai
fondasi. Mengacu pada pengertian tersebut, landasan dapat diartikan sebagai suatu
alas, dasar atau pijakan dari suatu hal, suatu titik tumpu atau titik tolak dari sesuatu
hal atau fondasi tempat berdirinya sesuatu hal.
Berdasarkan sifat wujudnya terdapat dua jenis landasan, yaitu landasan yang
bersifat material, seperti landasan pacu pesawat dan fondasi bangunan kemudian
landas an yang bersifat konseptual seperti Pancasila dan UUD RI Tahun 1945.
Landasan pendidikan merupakan landasan yang bersifat konseptual yang pada
dasarnya identik dengan asumsi, yaitu suatu gagasan, kepercayaan, prinsip, pendapat
atau pernyataan yang sudah dianggap benar, uag ditajadikan titik tolak dalam rangka
berpikir (melakukan studi) dan/ atau dalam rangka bertindak (melakukan praktik).
Filosofis, berasal dari bahasa Yunani yang terdiri atas dua kata yaitu
philein/philos yang artinya cinta dan sophos/ sophia yang artinya kebijaksanaan,
hikmah, ilmu atau kebenaran. Filsafat dimaknai sebagai pengetahuan yang mencoba
untuk memahami hakikat segala sesuatu untuk mencapai kebenaran atau
kebijaksanaan. Untuk mencapai dan menemukan kebenaran tesebut, masing-masing
filosof memiliki karakteristik yang berbeda antara yang satu dengan lainnya.
Demikian pula kajian yang dijadikan objek telaahan akan berbeda selaras dengan cara
pandang terhadap hakikat segala sesuatu.
Pendidikan ialah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang ataupun
kelompok dalam upaya mendewasakan manusia melalui sebuah pengajaran maupun
pelatihan. Pendidikan pada hakikatnya bertujuan untuk mewujudkan manusia ideal
yang sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma yang dianut. Contoh manusia ideal
yang menjadi tujuan pendidikan tersebut antara lain, menjadi manusia yang beriman
dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, cerdas, terampil
dan seterusnya. Oleh karena itu, pendidikan bersifat dan dapat
dipertanggungjawabkan. Pendidikan harus normatif dilaksanakan dengan mengacu
pada suatu landasan yang kokoh, sehingga jelas tujuannya, tepat isi kurikulumnya,
serta efisien dan efektif cara-cara pelaksanaannya.

4
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa landasan filosofis
pendidikan adalah asumsi-asumsi filosofis yang dijadikan titik tolak dalam rangka
studi dan praktik dalam pendidikan. Landasan filosofis pendidikan berperan dalam
memberikan rambu-rambu apa dan bagaimana seharusnya pendidikan dilaksanakan.
Rambu-rambu tersebut bertolak pada kaidah metafisika (hakikat realitas dan hakikat
manusia), epistemologi (hakikat pengetahuan) dan aksiologi (hakikat nilai)
pendidikan. Hubungan implikasi antara konsep-konsep filsafat umum terhadap
konsep pendidikan tersebut dapat divisualisasikan sebagai berikut.
Konsep Filsafat Umum Konsep Pendidikan
- Hakikat Realitas - Tujuan Pendidikan
Metafisika
- Hakikat Manusia - Kurikulum Pendidikan
Epistemologi - Hakikat - Metode Pembelajaran
Pengetahuan
Aksiologi - Hakikat Nilai - Peranan Pendidikan dan Peserta
didik

Landasan filosofis pendidikan dikatakan bersifat normatif atau preskriptif


sebab landasan filosofis pendidikan tidak berisi konsep-konsep tentang pendidikan
apa adanya (faktual) melainkan berisi tentang konsep-konsep pendidikan yang ideal,
yang dijadikan sebagai titik to dalam rangka praktek maupun studi pendidikan.
Sebagaimana halnya di dalam filsafat umum, didalam landasan filosofis pendidikan
juga terdapat berbagai aliran pemikiran. Sehingga dalam landasan filosofis pendidikan
pun dikenal adanya landasan filosofis pendidikan Idealisme, landasan filosofis
pendidikan Realisme, landasan filosofis pendidikan pragmatisme, dan sebagainya.
2.2 Landasan Filosofis Idealisme
2.2.1 Konsep Umum Filosofi Idealisme
Idealisme merupakan aliran filsafat yang berpendapat bahwa objek
pengetahuan yang sebenarnya adalah ide. Menurut penganut idealisme, realitas pada
hakikatnya diturunkan dari suatu substansi yang fundamental yaitu pikiran/ jiwa/ roh.
Benda-benda yang bersifat material yang tampak nyata, sesungguhnya diturunkan dari
pikiran. Pandangan metafisika idealisme diekspresikan oleh Parmenides, filsuf dari
Elea (Yunani Purba) dengan kalimat “What cannot be thought cannot be real” apa

5
yang tidak dapat dipikirkan tidaklah nyata. Oleh karena itu, keberadaan sesuatu
tergantung kepada pikiran/ide/ jiwa (Thufailah, 2020).
Sejalan dengan hal diatas, idealisme berpandangan bahwa hakikat manusia
bukanlah fisiknya melainkan pikiran atau jiwanya. Manusia adalah makhluk berpikir,
mampu memilih atau bebas, hidup dengan suatu moral yang jelas dan bertujuan.
Pikiran merupakan suatu wujud yang mampu menyadari dunianya, bahkan sebagai
pendorong dan penggerak semua tingkah laku. Oleh karena itu, manusia memiliki
bakat kemampuan masing-masing yang megimplikasikan status, kedudukan dan
peranannya dalam masyarakat.
Berkaitan dengan hakikat pengetahuan, idealisme berpandangan bahwa
pengetahuan yang diperoleh melalui indera tidak pasti dan tidak lengkap, karena
dunia bersifat tiruan yang menyimpang dari keadaan yang sebenarnya. Pengetahuan
yang benar hanyalah hasil akal pikiran, karena akal mampu membedakan antara
bentuk spiritual dan benda-benda material. Menurut pandangan idealisme, nilai itu
hakikatnya adalah tetap dan absolut. Nilai tidak diciptakan oleh manusia, melainkan
merupakan bagian dari alam semesta (Rusdi, 2013).

2.2.2 Implikasi Filosofi Idealisme dalam Pendidikan


Hakikat realitas, manusia, pengetahuan dan nilai pada filosofi idealisme yang
telah diuraikan diatas memberi sumbangan besar terhadap perkembangan teori
pendidikan. Implikasi filosofi idealisme dalam pendidikan sebagai berikut (Rusdi,
2013):
a. Tujuan Pendidikan
Tujuan penddikan adalah untuk membantu perkembangan pikiran dan pribadi
peserta didik. Dengan kata lain, pendidikan bertujuan untuk membantu
pengembangan karakter serta mengembangkan bakat manusia dan kebajikan sosial
(Edwatd J Power). Mengingat bakat manusia berbeda-beda maka pendidikan yang
diberikan kepada setiap orang harus sesuai dengan bakatnya masing-masing. Dengan
demikian, kedudukan, jabatan, fungsi dan tanggung jawab setiap orang dalam
masyarakat atau negara akan menjadi teratur sesuai dengan asas “the right man on the
right place” dan lebih jauh lagi agar manusia hidup sesuai nilai dan norma yang
diturunkan dari Yang absolut.
b. Kurikulum Pendidikan

6
Demi mencapai tujuan pendidikan tersebut, kurikulum pendidikan idealisme
berisikan pendidikan liberal dan pendidikan vokasional (praktis). Pendidikan liberal
dimaksudkan untuk pengembangan kemampuan rasional dan moral, sedangkan
pendidikan vokasional untuk pengembangan kemampuan suatu pekerjaan. Kurikulum
disusun menurut mata pelajaran dan berpusat pada materi pelajaran. Isi kurikulum
harus merupakan nilai-nilai kebudayaan yang esensial dalam segala zaman, sehingga
cenderung berlaku sama untuk semua peserta didik.
c. Metode Pembelajaran
Metode mengajar hendaknya mendorong siswa memperluas cakrawala;
mendorong berpikir reflektif; mendorong pilihan-pilihan moral pribadi, memberikan
keterampilan-keterampilan berpikir logis; memberikan kesempatan menggunakan
pengetahuan untuk masalah-masalah moral dan sosial; meningkatkan minat terhadap
isi mata pelajaran; dan mendorong siswa untuk menerima nilai-nilai peradaban
manusia. Filosofi idealisme lebih mengutamakan metode dialektika, tetapi tidak
menutup kemungkinan penggunaan metode lain yang efektif dalam mendorong
pembelajaran.
d. Peranan Pendidik dan Peserta Didik
Pendidik harus unggul dalam pengetahuan dan memahami kebutuhan serta
kemampuan peserta didik, dan juga harus mampu menjadi teladan moral dalam
keyakinan dan tingkah lakunya. Guru bertanggung jawab dalam menciptakan
lingkungan pendidikan bagi peserta didik agar peserta didik dapat bebas
mengembangkan kepribadian dan bakatnya.
2.3 Landasan Filosofis Realisme
2.3.1 Definisi Realisme
Istilah realisme berasal dari Bahasa Latin “realis” yang berarti “sungguh-
sungguh, nyata benar”. Secara istilah, realisme merupakan filsafat yang menganggap
bahwa terdapat satu dunia eksternal nyata yang dapat dikenali. Sehingga, realisme
berpandangan bahwa objek persepsi indrawi dan pengertian sungguh-sungguh ada,
terlepas dari indra dan budi yang menangkapnya karena objek itu memang dapat
diselidiki, dianlisis, dipelajari lewat ilmu, dan ditemukan hakikatnya lewat ilmu
filsafat Sebagai aliran filsafat, realisme berpendirian bahwa yang ada yang ditangkap
panca dan indra dan yang konsepnya ada dalam budi itu memang nyata ada (Adela,
2021).

7
Pada hakikatnya, lahirnya realisme sebagai aliran filsafat sebagai sintesis
antara filsafat idealisme Immanuel Kant di satu pihak dan empirisme John Lock di
pihak lain. Realisme kadang-kadang disebut sebagai neorasionalisme. “John Lock
memandang bahwa tidak ada kebenaran dari metafisik dan universal”. Dia percaya
bahwa sesuatu bisa dikatakan benar jika didasarkan pada pengalaman indrawi, pada
sifat induksi John Locke mengingkari adanya kebenaran akal (Yuliyanti, Damayanti,
Hidayat, & Dewi, 2023).
Aliran realisme menganggap bahwa kebenaran berasal dari kehidupan nyata.
Aliran realisme merupakan pelengkap dari aliran idealisme, jika idealisme merupakan
ide abstrak dalam mencari kebenaran, maka realisme menggunakan alat indera dalam
mencari kebenaran dengan melakukan observasi langsung (Gandhi, 2017).
Realisme mengungkapkan objek pada pengetahuan yang diketahui nyata
ternyata ada didalam diri sendiri. Kemudian objek ini tidak tergantung pada
pengetahuan, persepsi, atau pemikiran. Pemikiran dan di dunia luar terintegrasi, tetapi
interaksi ini tidak akan berpengaruh pada sifat dunia. Karena dunia ini ada sebelum
pikiran menyadari kemudian semuanya terlihat nyata setelah pikiran terhenti
menyadarinya (Yuliyanti, Damayanti, Hidayat, & Dewi, 2023).

2.3.2 Karakteristik Realisme


Realisme dalam filasat terdiri dari beberapa jenis, mulai dari personal
raelisme, realisme platonic atau konseptual atau klasik asumsi yang dipakai adalah
bahwa yang riil itu bersifat permanen dan tidak berubah. Sehingga, ide atau universal
adalah lebih riil daripada yang individual. Selain itu, muncul pula jenis relisme yang
lebih menarik diwakili oleh Aristoteles. Menurutnya, dunia yang riil adalah dunia
yang dirasakan sekarang, dan bentuk serta materi tak dapat dipisahkan. Realitas justru
terdapat dalam benda-benda kongkrit atau dalam perkembangan benda-benda itu
(Anwar, 2021)
Realisme ilmiah percaya bahwa adanya realitas yang ada, terlepas dari
pengetahuan kita dan metode ilmiah adalah cara terbaik untuk mendapatkan akurasi
dari apa yang ada di dunia dan bagaimana cara kerjanya. Untuk menjelaskan dan
menggunakan penemuan ilmiah kita harus membangun sebuah teori. Seperti
penyelidikan ilmiah yang meningkat, kita dapat merevisi dan memperbaiki teori teori
sehingga mereka dapat menyelaraskan diri dengan kenyataan yang paling akurat.
Realisme menyatakan bahwa (1) ada dunia keberadaannya nyata, real, objek, bukan

8
bayangan, (2) pikiran atau rasio manusia dapat mengetahui tentang dunia nyata dan
(3) seperti itu pengetahuan adalah panduan yang paling dapat diandalkan untuk
perilaku individu dan sosial.

2.2.3 Implikasi Realisme dalam Pendidikan


Pendidikan menurut pendangan kaum realis, sebenarnya dimaksudkan sebagai
kajian atau pembelajaran disiplin-disiplin keilmuan yang melaluinya kemudian kita
mendapatkan definisi-definisi dan juga pengklasifikasiannya. Matematika, sains, dan
sejarah adalah tubuh dari pengetahuan. Jika kita mengetahuinya maka kita akan
mengetahui hal-hal yang lebih luas tentang dunia dimana kita tinggal. Pengetahuian
adalah jalan terbaik untuk menuntun kita mengenal lingkungan, alam, dan kehidupan
keseharian kita (Anwar, 2021).
Berdasarkan aliran realisme, maka tujuan pendidikan akan dirumuskan
sebagai upaya pengembangan potensi-potensi yang ada dan dimiliki oleh peserta didik
untuk menjadi seoptimal mungkin. Menurut Realisme, yang dimaksud dengan hakikat
kenyataan itu berada pada “hal” atau “benda”. Jadi, bukan sesuatu yang terlepas atau
dilepaskan dari pemiliknya. Oleh karena itu, wajar bila yang menjadi perhatian
pertama dalam Pendidikan adalah apa yang ada pada peserta didik. Prinsip dasar
Pendidikan realisme diantaranya: (a) Belajar pada dasarnya mengutamakan perhatian
pada peserta didik; (b) Inisiatif dalam Pendidikan harus ditekankan pada pendidik
bukan pada peserta didik; (c) Inti dari proses Pendidikan asimilasi dari subjek mater
yang telah ditentukan (Adela, 2021).
Implikasi filsafat realisme bagi Pendidikan antara lain; (1) Tujuan Pendidikan:
Pendidikan bertujuan untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan dan mampu
melaksanakan tanggung jawab social; (2) Kurikulum/Isi Pendidikan: Kurikulum harus
bersifat komprehensif yang memuat ilmu pengetahuan, matematika, humaniora dan
ilmu sosial, serta nilainilai. Kurikulum mengandung unsur pendidikan liberal dan
pendidikan praktis. Kurikulum disusun berdasarkan mata pelajaran (subject matter)
dan berpusat pada mata pelajaran (subject centered); (3) Metode: Metode harus logis
dan psikologis. Habituasi adalah metode utama bagi penganut Realisme; (4) Peran
Pendidik dan Siswa: Pendidik adalah pengelola kegiatan belajar mengajar (kelas
berpusat pada guru). Pendidik harus menguasai pengetahuan yang dapat (Yuliyanti,
Damayanti, Hidayat, & Dewi, 2023)

9
2.4 Landasan Filosofis Perenialisme
2.4.1 Definisi Perenialisme
Perenialisme berasal dari kata perenial yang dapat diartikan sebagai abadi,
kekal ataupun terus menerus tanpa akhir (lasting for a very longtime) (Nurrochman &
Fauziati, 2023). Filsafat pendidikan perenialiasme percaya dan mengedepankan
adanya norma dan nilai yang bersifat kekal di dunia ini. Norma dan nilai akan terus
bertumbuh dan berkembang pada lingkungan masayarakat untuk menjadi pegangan
dalam mempertahankan keutuhan masyarakat dan bersifat mengikat (Nuryamin,
2019).
Istilah philosophia perennis (filsafat keabadian) barangkali digunakan untuk
pertama kalinya di dunia Barat oleh Augustinus Steuchus sebagai judul karyanya De
Perenni Philosophia yang diterbitkan pada tahun 1540. Istilah tersebut dimasyhurkan
oleh Leibniz dalam sepucuk surat yang ditulis pada 1715 yang menegaskan pencarian
jejak-jejak kebenaran di kalangan para filosof kuno dan tentang pemisahan yang
terang dari yang gelap, sebenarnya itulah yang dimaksud dengan filsafat (Mu'ammar,
2014).
Aliran perenialisme merupakan suatu aliran tentang pendidikan yang sudah
ada sejak abad ke XX. Aliran perenialisme lahir yang menjadi reaksi terhadap
pendidikan progresivisme dimana aliran ini menekankan pada suatu perubahan dan
sesuatu yang baru. Terdapat 3 tokoh yang membawa pengaruh pendidikan terhadap
aliran ini yaitu Plato, Aristoteles, dan Thomas Aquinas. Aliran perenialisme lebih
menekankan pada kebenaran, keabadian, keindahan pada warisan budaya. Pendidikan
yang menganut aliran ini menekankan pada kebenaran absolut, universal yang tidak
terikat pada tempat dan waktu. Aliran ini bersifat masa lampau, dimana aliran ini
kembali pada nilai-nilai budaya.

2.4.2 Karakteristik Perenialisme


Perenialisme memiliki empat karakteristik, diataranya; (1) perenialisme selalu
mengambil jalan regresif, maksudnya adalah kembali ke nilai inti dan prinsip dasar
yang melekat pada pendidikan masa Yunani Kuno dan abad Pertengahan; (2)
perenialisme menganggap bahwas realitas memiliki tujuan; (3) perenialime
memandang bahwa belajar sebagai latihan dan disiplin mental; (4) perenialisme
mengatakan bahwa realitas tertinggi berada di luar alam, penuh kedamaian dan
transcendental (Putri, 2021).

10
Adolf Huxley mempopulerkan istilah filsafat perenial tersebut dengan menulis
buku yang diberi judul The Perennial Philosophi. Ia menyebutkan, bahwa filsafat
perenial mengandung tiga pokok pemikiran: 1) Metefisika yang memperlihatkan
sesuatu hakikat kenyataan ilahi dalam segala sesuatu. 2) Suatu psikologi yang
memperlihatkan adanya sesuatu yang ada dalam jiwa manusia. 3) Etika yang
meletakkan tujuan akhir manusia dalam pengetahuan yang bersifat transenden
(Huxley, 2001).
Kaum perenialis amat menekankan tradisi kesejarahan. Secara historis,
perenialisme lahir sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Mereka
menentang pandangan progresivisme yang menekankan perubahan dan sesuatu yang
baru. Perenialisme memandang situasi dunia dewasa ini penuh kekacauan,
ketidakpastian, dan ketidakteraturan, terutama dalam kehidupan moral, intelektual dan
sosio kultual. Oleh karena itu perlu ada usaha untuk mengamankan ketidakberesan
tersebut, yaitu dengan jalan menggunakan kembali nilai-nilai atau prinsip-prinsip
umum yang telah menjadi pandangan hidup yang kukuh, kuat dan teruji (Mu'ammar,
2014).

2.4.3 Tujuan Perenialisme


Perenialisme percaya bahwa dalam dunia yang tidak menentu dan penuh
kekacauan dan berbahaya, tidak ada satu pun yang lebih berguna daripada kepastian
tujuan pendidikan dan kestabilan dalam perilaku pendidik (Simanjuntak, 2013).
Tujuan filsafat pendidikan perenialisme ialah untuk memberikan kebenaran hakiki
kepada peserta didik dan mentransformasikan akhlak mulia yang tentu berdampak
pada bentuk pembelajarannya (Nanggala & Suryadi, 2021).
Perenialisme sebagai aliran yang menempatkan nilai pada kebenaran tertinggi
yang bersumber dari Tuhan, sehingga dalam membicarakan pendidikan sasaran
utamanya adalah tentang kebenaran, kenyataan, nilai yang abadi, tidak terikat dengan
waktu dan ruang (Saragih, 2021). Dengan demikian maka kebenaran tertinggi berupa
kebenaran supernatural, sehingga kalangan perenialisme cenderung memiliki sifat
teosentris. Karenanya untuk sampai pada penyebaran nilai dalam pendidikan harus
merujuk pada kebaikan dan kebenaran yang bersumber dari wahyu yang dapat
dilakukan dengan cara melakukan aktivitas penanaman nilai kepada peserta didik
(Suyono, 2016). Sedangkan untuk mengembangakan kemampuan spiritual dapat

11
dilakukan dengan cara melatih karakter, melatih kemampuan berpikir, melatih
intelektual secara cermat.

2.4.5 Implementasi Perenialisme dalam Pendidikan


Secara tidak langsung, aliran perenialisme ini telah memberikan dampak pada
dunia pendidikan dewasa ini. Hal ini banyak tergambar dalam potret dunia pendidikan
yang memakai prinsip dan nilai dari perenialisme. Ini berarti apa yang terdapat dalam
diri manusia, menurut pandangan Plato, tokoh yang mempengaruhi aliran ini, menjadi
bukti nyata bahwa manusia membutuhkan proses pendidikan dalam menumbuh-
kembangkan akal pikiran, kemauan, dan nafsunya. Dalam pendidikanlah semuanya
akan diatur, dikelola, diarahkan menuju perkembangan yang baik, yang sesuai dengan
kodrat manusia hakiki yakni makhluk sosial yang beretika dan mendayagunakan akal
pikirannya untuk menundukkan nafsu manusiawinya (Nuryamin, 2019).
Dengan menempatkan kebenaran supernatural sebagai sumber tertinggi, oleh
karena itu perenialisme selalu bersifat theosentris. Karena itu menurut perenialisme,
penyadaran nilai dalam pendidikan harus didasarkan pada nilai kebaikan dan
kebenaran yang bersumber dari wahyu dan hal itu dilakukan melalui proses
penanaman nilai pada peserta didik (Rohmat, 2004)
Dalam pendidikan umum, perenialisme melihat materi pendidikan merupakan
rangkaian beberapa materi atau disiplin ilmu yang memuat berbagai macam materi
pelajaran. Diantaranya pada ilmu matematika, humaniora, dan sejarah. Kemudian
dalam pendidikan Islam, bentuk materi dan metode pembelajaran yang sesuai dengan
aliran perenialisme yaitu di dunia pesantren. Kongkritnya dipraktikkan dalam bentuk
metode pembelajaran sorogan atau klasikal (Nursalim & Khojir, 2021).
Perenialisme membedakan kurikulum pendidikan menengah bagi anak 12-20
tahun, antara program “general education”, dan pendidikan kejuruan. Program
“general education” dipersiapkan untuk perguruan tinggi dan adult education (Adela,
2021). Melalui pendekatan perenialisme, konsep pendidikan dapat diterima oleh
lembaga pendidikan untuk memberikan pendidikan karakter yang baik dan mengatasi
krisis moral dengan meneladani nilai budaya masa lampau. Perenialisme sebagai
bagian dari aliran filsafat yang merupakan hasil pemikiran, agar manusia memiliki
sikap yang baik, tegas dan lurus (Nurrochman & Fauziati, 2023).

12
2.5 Landasan Filosofis Esensialisme
2.5.1 Definisi Esensialisme
Secara etimologi esensialisme berasal dari bahasa Inggris yakni essential yang
berarti inti atau pokok dari sesuatu, dan isme berarti aliran, mazhab atau paham
(Junaidin & Komalasari, 2019). Esensialisme adalah suatu aliran filsafat yang
menginginkan agar manusia kembali kepada kebudayaan lama. Mereka beranggapan
bahwa kebudayaan lama itu telah banyak memperbuat kebaikan-kebaikan untuk umat
manusia (Riyadi, 2021).
Aliran filsafat esensialisme merupakan perpaduaan ide filsafat idealisme-
objektif dan realisme- objektif, yaitu alam semesta diatur oleh hukum alam sehingga
tugas manusia memahami hukum alam adalah dalam rangka penyesuaian diri dan
pengelolaannya (Wathoni, 2018).
Filsafat pendidikan esensialisme merupakan perpaduan antara ide-ide filsafat
idealisme dan realisme. Aliran tersebut akan tampak lebih mantap dan kaya akan ide-
ide, apabila hanya mengambil salah satu dari aliran atau posisi sepihak. Pertemuan
dua aliran tersebut bersifat elektik, yakni keduanya berposisi sebagai pendukung,
tidak ada yang melebur menjadi satu atau tidak melepaskan identitas dan ciri masing-
masing (Muslim, 2020)

2.5.2 Karakteristik Esensialisme


Esensialisme yang berkembang pada zaman Renaissance mempunyai tinjauan
yang berbeda dengan progressivisme mengenai pendidikan dan kebudayaan. Jika
progressivisme menganggap pendidikan yang penuh fleksibelitas, serba terbuka untuk
perubahan, tidak ada keterkaitan dengan doktrin tertentu, toleran dan nilai-nilai dapat
berubah dan berkembang, maka aliran Esensialisme ini memandang bahwa
pendidikan yang bertumpu pada dasar pandangan fleksibilitas dalam segala bentuk
dapat menjadi sumber timbulnya pandangan yang berubah-ubah, mudah goyah dan
kurang terarah dan tidak menentu serta kurang stabil. Karenanya pendidikan haruslah
diatas pijakan nilai yang dapat mendatangkan kestabilan dan telah teruji oleh waktu,
tahan lama dan nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan terseleksi.
Dalam dunia pendidikan, terdapat beberapa ciri-ciri pendidikan esensialisme
yang disarikan oleh William C. Bagley adalah sebagai berikut: a) Minat-minat yang
kuat dan tahan lama sering tumbuh dari upaya-upaya belajar awal yang memikat atau
menarik perhatian bukan karena dorongan dari dalam diri siswa. b) Pengawasan

13
pengarahan, dan bimbingan orang yang dewasa adalah melekat dalam masa balita
yang panjang atau keharusan ketergantungan yang khusus pada spesies manusia. c)
Oleh karena kemampuan untuk mendisiplin diri harus menjadi tujuan pendidikan,
maka menegakkan disiplin adalah suatu cara yang diperlukan untuk mencapai tujuan
tersebut. Di kalangan individu maupun bangsa, kebebasan yang sesungguhnya selalu
merupakan sesuatu yang dicapai melalui perjuangan, tidak pernah merupakan
pemberian. d) Esensialisme menawarkan sebuah teori yang kokoh, kuat tentang
pendidikan, sedangkan sekolah-sekolah pesaingnya (progresivisme) memberikan
sebuah teori yang lemah (Dahniar, 2021).

2.5.3 Tujuan Esensialisme


Tujuan pembelajaran menurut aliran filsafat esensialisme adalah untuk
meneruskan warisan budaya dan warisan sejarah melalui pengetahuan inti yang
terakomulasi dan telah bertahan dalam kurun waktu yang lama, serta merupakan suatu
kehidupan yang telah teruji oleh waktu yang lama, selain itu tujuan pendidikan
esensialisme adalah mempersiapkan manusia untuk hidup, tidak berarti sekolah lepas
tangan tetapi sekolah memberi kontribusi bagaimana merancang sasaran mata
pelajaran sedemikian rupa, yang pada akhirnya memadai untuk mempersiapkan
manusia hidup (Muslim, 2020).

2.5.4 Implementasi Esensialisme dalam Pendidikan


Power (1982) dalam (Sadullah, 2008) mengemukakan beberapa implikasi
filsafat pendidikan esensialisme:
a. Tujuan Pendidikan Transmisi kebudayaan untuk menentukan solidaritas sosial dan
kesejahteraan umum.
b. Kurikulum Di pendidikan dasar berupa membaca, menulis dan berhitung.
Keterampilan berkomunikasi adalah esensial untuk mencapai prestasi skolastik dan
hidup sosial yang layak. Kurikulum sekolah berisikan apa yang harus diajarkan.
c. Kedudukan Siswa Sekolah bertanggungjawab atas pemberian pengajaran yang logis
atau dapat dipercaya. Sekolah berkuasa untuk menuntut hasil belajar siswa. Siswa
pergi sekolah untuk belajar, bukan untuk mengatur pelajaran.
d. Metode Metode tradisional yang menekankan pada inisiatif guru.
e. Peranan Guru Guru harus terdidik. Secara moral ia merupakan orang yang dapat
dipercaya, dan secara teknis harus memiliki kemahiran/kemampuan dalam
mengarahkan proses belajar

14
Menurut pandangan esensialisme kurikulum yang diterapkan dalam sebuah
proses belajar mengajar lebih menekankan pada penguasaan berbagai fakta dan
pengetahuan dasar merupakan sesuatu yang sangat esensial bagi kelanjutan suatu
proses pembelajaran dan dalam upaya untuk mencapai tujuan pendidikan secara
umum (Muslim, 2020).

2.6 Landasan Filosofis Pragmatisme dan Progresivisme


2.6.1 Definisi Pragmatisme dan Progresivisme
Pragmatisme berasal dari kata pragma (bahasa Yunani) yang berarti tindakan,
perbuatan. Pragmatisme adalah aliran filsafat yang berpandangan bahwa kriteria
kebenaran sesuatu ialah, apakah sesuatu itu memiliki kegunaan bagi kehidupan nyata.
Oleh sebab itu kebenaran sifatnya menjadi relatif tidak mutlak (tetap) (Thaib, 2018).
Pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar ialah apa yang
membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibat-akibatnya yang
bermanfaat secara praktis. Pegangan pragmatisme ialah logika pengamatan. Aliran ini
bersedia menerima segala sesuatu, asal saja membawa akibat praktis. Pengalaman
pribadi, kebenaran mistis semuanya bisa diterima asalkan membawa akibat praktis
yang bermanfaat. Dengan demikian, patokan pragmatisme adalah manfaat hidup
praktis. Di Amerika Serikat aliran filsafat pragmatisme dikembangkan oleh seorang
tokoh filsafat yang terkenal, yakni William James, di samping John Dewey.
Di dalam bukunya The Meaning of Truth: A Sequel to "Pragmatism"(1909)
atau "Arti Kebenaran" William James mengemukakan bahwa tiada kebenaran yang
mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri, lepas dari segala
akal yang mengenal. Sebab pengalaman kita berjalan terus, dan segala yang kita
anggap benar dalam perkembangan pengalaman itu senantiasa berubah, karena di
dalam prakteknya apa yang kita anggap benar dapat dikoreksi oleh pengalaman
berikutnya. Oleh karena itu tiada kebenaran yang mutlak, yang ada adalah kebenaran-
kebenaran, (artinya: dalam bentuk plural atau jamak) yaitu apa yang benar dalam
pengalaman-pengalaman khusus, yang setiap kali dapat diubah oleh
pengalamanberikutnya (Sudarsono, 1993). Nilai pertimbangan dalam pragmatisme
tergantung kepada akibatnya, kepada kerjanya, artinya: tergantung kepada
keberhasilan dari perbuatan yang disiapkan oleh pertimbangan itu. Pertimbangan itu
benar jikalau bermanfaat bagi pelakunya, jikalau memperkaya hidup serta
kemungkinan-kemungkinan hidup.

15
Sekalipun Dewey bekerja lepas dari William James, namun menghasilkan
pemikiran dan menampakkan persamaan dengan gagasan James. Menurutnya filsafat
bertujuan untuk memper-baiki kehidupan manusia dan lingkungannya atau mengatur
kehidupan manusia serta aktifitasnya untuk memenuhi kebutuhan
manusiawi(Sudarsono, 1993). Kendati Dewey seorang pragmatis, namun ia lebih suka
menyebut sistemnya dengan istilah instrumentalisme. Pengalaman (experience)
merupakan kata kunci dalam filsafat instrumentalisme. Filsafat harus berpijak pada
pengalaman dan menyelidiki serta mengolah pengalaman itu secara aktif-kritis.
Dengan demikian filsafat akan dapat menyusun sistem norma-norma dan nilai-nilai
(Meiyani, 2013).
Progresivisme berasal dari kata progresif yang artinya bergerak maju. Kata
progresif dapat diartikan sebagai arah kemajuan, berhaluan kearah perbaikan, dan
bertingkat semakin naik. Dapat disimpulkan, secara singkat progresif dapat dimaknai
sebagai suatu gerakan yang menuju perbaikan. Progresivisme merupakan salah satu
aliran yang menghendaki suatu kemajuan, yang mana kemajuan ini akan
mendatangkan sebuah perubahan (Mutmainnah, 2020). Progresivisme berakar pada
pragmatisme. Progresivisme melihat peserta didik sebagai makhluk yang aktif dan
kreatif. Kreativitas tersebut hanya dapat diperoleh melalui pengalaman. Sebagai
makhluk sosial, proses belajar peserta didik akan lebih berhasil di dalam ikatan
dengan kelompok. Dalam hal ini, guru lebih sebagai fasilitator dalam proses belajar
dan pendidikan mempunyai multi fungsi untuk pengembangan fisik, emosional, sosial
dan intelektual anak. Menurut H.A.R Tilaar (2005:314) dalam (Wasitohadi, 2012),
aliran progresivisme di dalam pendidikan memunculkan aliran rekonstruksionisme
yang melihat pendidikan sebagai agen perubahan sosial, politik dan ekonomi. Selain
itu, progresivisme juga percaya kepada kemajuan masyarakat melalui langkah-
langkah yang tersusun, ke arah masa depan (futurisme) (Wasitohadi, 2012).

2.6.2 Karakteristik Pragmatisme dan Progresivisme


Pragmatisme memiliki tiga ciri, yaitu: (1) memusatkan perhatian pada hal-hal
dalam jangkauan pengalaman indera manusia; (2) apa yang dipandang benar adalah
apa yang berguna atau berfungsi; dan (3) manusia bertanggung jawab atas nilai-nilai
dalam masyarakat (George R. Knight, 1982 dalam Wasitohadi, 2012).
George R. Knight (1982) memberi ilustrasi contoh “jika tujuanku adalah untuk
meraih kekayaan, maka aku mungkin beranggapan bahwa akan tercapai tujuanku jika

16
aku menjadi seorang pencuri, Dengan cara ini, secara pribadi aku akan mencapai
suatu tingkat kekayaan tertentu”. Karena hasil yang diraih adalah kepuasan, dalam arti
sesuatu yang telah menjadikanku kaya, aku mungkin tergiur untuk beranggapan
bahwa hal ini bermoral. Namun, menurut penganut pragmatisme, ketika hal itu
mungkin berguna dan berfungsi bagi seseorang, ia jelas tidak mungkin berguna dan
berfungsi bagi sistem sosial secara utuh karena tak seorangpun akan mampu
mengumpulkan kekayaan jika setiap orang yang lainnya berbuat mencuri. Dengan
demikian, ketika diletakkan pada pengujian publik, tindakan mencuri gagal menjadi
berguna dan tidak bisa dirumuskan sebagai hal baik atau bermoral karena ia akan
membuat kehidupan yang berkeadaban menjadi tidak mungkin terwujud.
Pendidikan progresif berdasarkan tiga agenda, yaitu
(1) meninggalkan berbagai jenis formalisme, rutinitas, dan birokrasi yang menghantui
cara belajar di sekolah;
(2) mempraktekkan metode inovatif yang difokuskan kepada minat serta kebutuhan
peserta didik; dan
(3) profesionalisasi mengajar serta administrasi sekolah. Pendidikan progresif
menekankan pada “learning by doing”, belajar melalui pengalaman, belajar aktif,
belajar secara kelompok serta problem solving (Wasitohadi, 2012).
Dalam buku Philosofical Alternatives in Education, Gutek (1974:140)
menyebutkan bahwa pendidikan progresif menekankan pada beberapa hal;
1) pendidikan progresif hendaknya memberikan kebebasan yang mendorong anak
untuk berkembang dan tumbuh secara alami melalui kegiatan yang dapat
menanamkan inisiatif, kreatifitas, dan ekspresi diri anak;
2) segala jenis pengajaran hendaknya mengacu pada minat anak, yang dirangsang
melalui kontak dengan dunia nyata;
3) pengajar progresif berperan sebagai pembimbing anak yang diarahkan sebagai
pengendali kegiatan penelitian bukan sekedar melatih ataupun memberikan banyak
tugas;
4) prestasi peserta didik diukur dari segi mental, fisik, moral dan juga perkembangan
sosialnya;
5) dalam memenuhi kebutuhan anak dalam fase perkembangan dan pertumbuhannya
mutlak diperlukan kerjasama antara guru, sekolah, rumah, dan keluarga anak tersebut;
6) sekolah progresif yang sesungguhnya berperan sebagai laboratorium yang berisi
gagasan pendidikan inovatif dan latihan-latihan (Fadlillah, 2017: 18).
17
Menurut progresivisme proses pendidikan memiliki dua segi, yaitu psikologis
dan sosiologis. Dari segi psikologis, pendidik harus dapat mengetahui tenaga-tenaga
atau daya-daya yang ada pada anak didik yang akan dikembangkan. Psikologinya
seperti yang berpengaruh di Amerika, yaitu psikologi dari aliran Behaviorisme dan
Pragmatisme. Dari segi sosiologis, pendidik harus mengetahui ke mana tenaga-tenaga
itu harus dibimbingnya. Di samping itu, progresivisme memandang pendidikan
sebagai suatu proses perkembangan, sehingga seorang pendidik harus selalu siap
untuk memodifikasi berbagai metode dan strategi dalam pengupayaan ilmu-ilmu
pengetahuan terbaru dan berbagai perubahan-perubahan yang menjadi kecenderungan
dalam suatu masyarakat (Mutmainnah, 2020).

2.6.3 Tujuan Pragmatisme dan Progresivisme


Prinsip pendidikan berbasiskan pengalaman sebagaimana ditekankan dalam
pragmatisme, diakui dan disarankan dipraktekkan dalam dunia pendidikan di
Indonesia (Wasitohadi, 2012). Dalam pandangan progresivisme pendidikan
merupakan suatu sarana atau alat yang dipersiapkan untuk mengembangkan
kemampuan peserta didik supaya tetap survive terhadap semua tantangan
kehidupannya yang secra praktis akan senantiasa mengalami kemajuan
(Muhmidayeli, 2011:156). Selain itu, proses pendidikan dilaksanakan berdasarkan
pada asas pragmatis. Artinya, pendidikan harus dapat memberikan kebermanfaatan
bagi peserta didik, terutama dalam menghadapi persoalan yang ada di lingkungan
masyarakat. Progresivisme menghendaki pendidikan yang progres. Dalam hal ini,
tujuan pendidikan hendaklah diartikan sebagai rekonstruksi pengalaman yang terus-
menerus. Pendidikan bukan hanya menyampaikan pengetahuan kepada anak didik,
melainkan yang terpenting melatih kemampuan berpikir secara ilmiah. Dalam konteks
pendidikan di Indonesia, maka tujuan pendidikan menurut progresivisme ini sangat
senada dengan tujuan pendidikan nasional yang ada di Indonesia. Menurut Undang-
Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa
pendidikan bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggungjawab. Jadi berdasarkan pengertian ini, maka aliran progresivisme
sangat sejalan dengan tujuan pendidikan yang ada di Indonesia (Fadlillah, 2017).
2.6.4 Implementasi Pragmatisme dan Progresivisme dalam Pendidikan

18
Nama lain aliran pragmatisme adalah instrumentalisme dan
eksperimentalisme. Disebut instrumentalisme, karena aliran ini menganggap bahwa
potensi intelegensi manusia sebagai kekuatan utama manusia harus dianggap sebagai
alat (instrumen) untuk menghadapi semua tantangan dan masalah dalam pendidikan.
Dikatakan eksperimentalisme, karena filsafat ini menggunakan metode eksperimen
dan berdasarkan atas pengalaman dalam menentukan kebenarannya.
Eksperimentalisme menyadari dan mempraktekkan bahwa eksperimen (percobaan
ilmiah) merupakan alat utama untuk menguji kebenaran suatu teori. Proses
pendidikan dalam pragmatism bertujuan memberikan pengalaman empiris kepada
anak didik sehingga terbentuk suatu pribadi yang belajar,berbuat (learning by doing).
Dalam filsafat pragmatisme, pengalaman adalah basis pendidikan. Pendidikan
merupakan suatu proses penggalian dan pengolahan pengalaman secara terus-
menerus. Inti pendidikan adalah usaha untuk terus-menerus menyusun kembali
(reconstruction) dan menata ulang (reorganization) pengalaman hidup subjek didik.
Pendidikan haruslah memampukan subjek didik untuk menafsirkan dan memaknai
rangkaian pengalamannya sedemikian rupa, sehingga ia terus bertumbuh dan
diperkaya oleh pengalaman tersebut. Hakekat pendidikan semacam itu, berimplikasi
pada segenap komponen pendidikan lainnya, dalam pandangannya tentang peserta
didik, peran guru, kurikulum, metode pendidikan dan lain lain. Intinya, bahwa
segenap komponen pendidikan lainnya kondusif atau mendukung terwujudnya ideal
pendidikan yang menempatkan pengalaman sebagai basis orientasinya. Pendidikan
berbasis pengalaman sangat diakui dan disarankan secara formal di Indonesia.
Ketentuan-ketentuan yang dimuat dalam kurikulum kita, sangat menekankan agar
pendidikan dan pembelajaran memberi pengalaman yang beragam pada peserta didik.
(Thaib, 2018).
Aliran progresivisme adalah suatu aliran dalam filsafat pendidikan yang
menghendaki adanya perubahan secara cepat praktik pendidikan menuju ke arah yang
positif. Dengan kata lain, pendidikan harus mampu mebawa perubahan pada diri
peserta didik menjadi pribadi yang tangguh dan mampu menghadapi berbagai
persolan serta dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan sosial di masyarakat. Oleh
karena itu, progresivisme sangat menghendaki adanya pemecahan masalah dalam
proses pendidikan (Mutmainnah, 2020).

19
2.7 Landasan Filosofis Eksistensialisme
2.7.1 Definisi Eksistensialisme
Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang memandang segala gejala dengan
berpangkal pada eksistensi. Dalam filsafat istilah eksistensi memeliki beberapa
pengertian yaitu pertama, apa yang ada. Kedua, apa yang memiliki aktualitas (ada).
Ketiga, segala sesuatu yang dialami manusia. Yang penting bahwa sesuatu itu ada
sehingga jelas berbeda dengan esensisalisme. Keempat, kesempurnaan sehingga
sesuatu menjadi eksisten. Jadi jelas bahwa pusat perhatian eksistensialisme adalah
situasi manusia. Karena itu eksistensi dapat difahami sebagai cara manusia berada di
dunia. Dari pemaparan arti eksistensi diatas dapat memberikan pemahaman bahwa
eksistensialisme adalah aliran yang berpendirian bahwa filsafat harus bertitik tolak
pada manusia yang kongkrit, yaitu manusia sebagai eksistensi. Sehubungan degan
titik tolak ini maka bagi manusia, eksistensi itu mendahului esensi. Definisi ini sangat
terkait dengan sejarah kelahiran filsafat eksistensialisme yang merupakan reaksi
terhadap materialisme (Abdurrahman Wahid, 2022).
Eksistensi individu merupakan fokus utama pemikiran eksistensialisme
terhadap realitas. Eksistensialisme dikontraskan dengan pernyataan kaumneo-
skolastik yang menyatakan bahwa esensi mendahului eksistensi dalam hubungannya
dengan waktu. Contohnya, beberapa kaum neo-skolastik memandang Tuhan sebagai
pencipta segala sesuatu, termasuk manusia. Ketika tuhan menciptakan manusia, dia
berkata bahwa dia telah mempunyai ide tentang manusia (esensi manusia) dalam
pemikiran-Nya sebelum mewujudkannya. Sebaliknya, kaum eksistensialis berpegang
pada pendapat bahwa eksistensi mendahului esensi. Manusia ada terlebih dahulu, baru
kemudian ia berusaha untuk menentukan apa yang menjadi esensinya ke depan
(Mutmainnah, 2020).

2.7.2 Karakteristik Eksistensialisme


Eksistensialisme mempunyai ciri:
a. Penolakan untuk dimasukkan dalam aliran filsafat tertentu
b. Tidak mengakui adikuasa sistem filsafat dan ajaran keyakinan (agama)
c. Sangat tidak puas dengan sistem filsafat tradisional yang bersifat dangkal, akademis
dan jauh dari kehidupan.

20
2.7.3 Tujuan Eksistensialisme
Eksistensialisme bertujuan melawan pandangan yang yang materialistik
terhadap manusia. Menurut materialisme, manusia itu sama dengan benda lain yang
ada di dunia. Menurut bentuknya, manusia memang lebih unggul dibanding makhluk
lain, namun hakikatnya tetap sama-sama materi. Manusia hanya resultan atau akibat
dari proses unsur kimiawi. Itulah kesalahan fatal materialisme dalam memandangan
manusia. Materialisme memandang manusia tidak sebagai keseluruhan
(detotalisation). Bahwa benar manusia memliki unsur yang bersifat material layaknya
benda atau makhluk lain di alam semesta akan tetapi, jangan lupa sifat material atau
jasmani manusia itu hanya salah satu aspek sehingga tidak berarti keseluruhan.
(Biyanto, 2015, p. hlm.272 dalam Abdurrahman Wahid, 2022).

2.7.4 Implementasi Eksistensialisme dalam Pendidikan


Secara relatif, eksistensialisme tidak begitu dikenal dalam dunia pendidikan,
tidak menampakkan pengaruh yang besar pada sekolah. Sebaliknya, penganut
eksistensialisme kebingungan dengan apa yang akan mereka temukan melalui
pembangunan pendidikan. Mereka menilai bahwa tidak ada yang disebut pendidikan,
tetapi bentuk propaganda untuk memikat orang lain. Mereka juga menunjukkan
bahwa bagaimana pendidikan memunculkan bahaya yang nyata, sejak penyiapan
murid sebagai konsumen atau menjadikan mereka penggerak mesin pada teknologi
industri dan birokrasi modern. Malahan sebaliknya pendidikan tidak membantu
membentuk kepribadian dan kreativitas, sehingga para eksistensialis mengatakan
sebagian besar sekolah melemahkan dan mengganggu atribut-atribut esensi
kemanusiaan. Mereka mengkritik kecenderungan masyarakat masa kini dan praktik
pendidikan bahwa ada pembatasan realisasi diri karena ada tekanan sosio-ekonomi
yang membuat persekolahan hanya menjadi pembelajaran peran tertentu. Sekolah
menentukan peran untuk kesuksesan ekonomi seperti memperoleh pekerjaan dengan
gaji yang tinggi dan menaiki tangga menuju ke kalangan ekonomi kelas atas, sekolah
juga menentukan tujuan untuk menjadi warga negara yang baik, juga menentukan apa
yang manjadi kesuksesan sosial di masyarakat. Siswa diharapkan untuk belajar peran-
peran ini dan berperan dengan baik pula. Dalam keadaan yang demikian, kesempatan
bagi pilihan untuk merealisasikan diri secara asli dan autentik menjadi hilang atau
sangat berkurang. Keautentikan menjadi begitu beresiko karena tidak dapat membawa
pada kesuksesan sebagaimana didefinisikan oleh orang lain diantara kecenderungan

21
masa kini yang begitu menyebar cepat tetapi sangat sulit dipisahkan adalah
mengikisnya kemungkinan keauntetikan manusia karena adanya tirani dari yang rata-
rata. Tata cara para guru eksistensialis tidak ditemukan pada tata cara guru tradisional.
Guru-guru eksistensialis tidak pernah terpusat pada pengalihan pengetahuan kognitif
dan dengan berbagai pertanyaan. Ia akan lebih cenderung membantu siswa-siswa
untuk mengembangkan kemungkinan-kemungkinan pertanyaan. Para guru
eksistensialis berusaha keras memperhatikan emosi dan hal-hal yang tidak masuk akal
pada setiap individu, dan berupaya untuk memandu siswanya untuk lebih memahami
diri mereka sendiri. Ia dan anak-anak muda yang bersamanya akan memunculkan
pertanyaan-pertanyaan tentang hidup, kematian, dan makna yang mereka tampilkan
dalam berbagai pengalaman kemanusiaan dengan beberapa sudut pandang. Melalui
berbagai pengalaman ini, guru-guru dan siswa akan belajar dan bertukar informasi
tentang penemuan jati diri dan bagaimana realisasinya dalam kehidupan dunia antar
sesama dan sebagai individu. Kurikulum pada sekolah eksistensialis sangat terbuka
terhadap perubahan karena ada dinamika dalam konsep kebenaran, penerapan dan
perubahan-perubahannya. Melalui perspektif tersebut, siswa harus memilih mata
pelajaran yang terbaik. Tetapi hal ini tidak berati bahwa mata pelajaran dan
pendekatan kurikuler pada filsafat tradisional tidak diberi tempat (Mutmainnah,
2020).

22
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman Wahid, L. (2022). Filsafat Eksistensialisme Martin Heidegger dan Pendidikan


Perspektif Eksistensialisme. Pandawa Jurnal Pendidikan Dan Dakwah, 4(1), 1–13.
https://ejournal.stitpn.ac.id/index.php/pandawa/article/view/1403
Adela, D. (2021). Buku Ajar Filsafat Pendidikan. Sukabumi: NUSAPUTRA PRESS.
Anwar, S. S. (2021). Aliran dan Pemikirian FIlsafat Pendidikan. Riau: Yayasan Do'a Para
Wali.
Dahniar. (2021). Filsafat Pendidikan Esensialisme. Azkia, 166.
Fadlillah, M. (2017). ALIRAN PROGRESIVISME DALAM PENDIDIKAN DI
INDONESIA M . Fadlillah Universitas Muhammadiyah Ponorogo Email :
fadly_ok@yahoo.co.id. Dimendi Pendidikan Dan Pembelajaran, 5(1), 17–24.
Huxley, A. (2001). FIlsafat Perennial. Yogyakarta: Qolam.
Junaidin, & Komalasari. (2019). KONSTRIBUSI ESENSIALISME DALAM
IMPLEMENTASI KURIKULUM 2013. Jurnal Manajemen dan Supervisi
Pendidikan, 143.
Meiyani, N. (2013). Penerapan Aliran Filsafat Pragmatisme. Jassi, 12(2), 209–220.
https://ejournal.upi.edu/index.php/jassi/article/download/4066/2929
Mu'ammar, M. A. (2014). Aliran Konsep Filsafat Perenial dan Aplikasinya dalam Pendidikan
Islam. Nur Islam, 15-28.
Muslim, A. (2020). TELAAH FILSAFAT PENDIDIKAN ESENSIALISME DALAM
PENDIDIKAN KARAKTER. Jurnal Visionary, 39.
Mutmainnah. (2020). Pemikiran Progresivisme dan Eksistensialisme pada Pendidikan Anak
Usia Dini. 6(1), 95–108. https://sugiartoagribisnis.wordpress.com/2010/07/14/seks-
bebas-di-kalangan-remaja-pelajar-dan-mahasiswa-
Nanggala, A., & Suryadi, K. (2021). ANALISIS KONSEP KAMPUS MERDEKA DALAM
PERSPEKTIF ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN PROGRESIVISME DAN
PERENIALISME. Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan Undiksha, 23.
Nurrochman, T., & Fauziati, E. (2023). Kajian Filsafat Pendidikan Perenialisme: Studi
Pemikiran Robert Maynard Hutchins dalam Pendidikan Karakter di Sekolah Dasar.
Univetbantara, 55.
Nursalim, E., & Khojir. (2021). Aliran Perenialisme dan Implementasinya dalam Pendidikan
Islam. Cross-border, 673-684.
Nuryamin. (2019). . Implementasi Filsafat Parenial dalam Pembelajaran. Jurnal Aqidah-Ta,
673–684.

23
Putri, S. D. (2021). Analisis Filsafat Pendidikan Perenialisme dan Peranannya dalam
Pendidikan Sejarah. Jurnal Program Studi Pendidikan Sejarah, 16.
Riyadi, A. (2021). ESENSIALISME DALAM PRESPEKTIF FILSAFAT PENDIDIKAN
ISLAM. Jurnal Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Borneo, 132.
Rohmat, M. (2004). Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeta.
Rusdi, R. (2013). Filsafat Idealisme: Implikasinya dalam Pendidikan. DInamika Ilmu, 10-19.
Sadullah, U. (2008). Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Saragih, H. (2021). FIlsafat Pendidikan. Medan: Yayasan Kita.
Simanjuntak, J. (2013). Filsafat Pendidikan dan Pendidikan Kristen. Yogyakarta: Penerbit
ANDI.
Suyono, Y. (2016). Gap Antara Das Sollen Dan Das Sein Ilmu-Ilmu Keagamaan Islam:
Perspektif Filsafat Ilmu. Theologia, 103-126.
Thaib, R. M. (2018). Pragmatisme: Konsep Utilitas Dalam Pendidikan. Intelektualita, 4(1),
96–110.
Thufailah, N. (2020). FIlsafat Idealisme. Filsafat Pendidikan Islam, 1-10.
Wathoni, L. M. (2018). Filsafat Pendidikan Islam. Ponorogo: Uwais Inspirasi Indonesia
Ponorogo.
Wasitohadi, W. (2012). Pragmatisme, Humanisme Dan Implikasinya Bagi Dunia Pendidikan
Di Indonesia. Satya Widya, 28(2), 175. https://doi.org/10.24246/j.sw.2012.v28.i2.p175-
190
Yuliyanti, Damayanti, E., Hidayat, S., & Dewi, R. S. (2023). FIlsafat Pendidikan Realisme.
Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, 9.

24

Anda mungkin juga menyukai